TEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptx
Isi
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem pertanian yang efisien, berproduksi tinggi, dan berkelanjutan dapat dicapai antara
lain dengan memanfaatkan sumber daya lahan berdasarkan karakteristik, kemampuan, dan
kesesuaiannya. Lahan sebagai modal dasar dan faktor penentu utama dalam sistem produksi
pertanian perlu dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Oleh karena itu, penataan sistem
pertanian dan penetapan komoditas unggulan pada setiap wilayah kabupaten perlu dilakukan agar
produksi yang dihasilkan tetap tinggi dan dapat bersaing di pasaran, baik lokal maupun
internasional. Konsep sistem pakar dapat digunakan dalam menata sistem pertanian dan
menetapkan komoditas unggulan. Hasil delineasi peta zona agroekologi wilayah Sulawesi Tengah
skala 1:250.000 didapatkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian, dan beberapa jenis
tanaman alternatif. Komoditas unggulan juga telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah
kabupaten, yaitu kakao, jagung, bawang merah, sapi potong, serta perikanan laut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana menata sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan di sulawesi
tengah?
1.3 Tujuan
a. Membantu masyarakat dalam menata sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan
setidakya diwilayah mereka sendiri.
b. Lebih mengenalkan masyarakat mengenai agroteknologi.
1.4 Manfaat
a. Produksi pertanian yang dihasilkan tetap tinggi dan dapat bersaing di pasaran.
b. Masyarakat lebih mengetahui potensi-potensi alam dan manfaatnya bagi manusia itu
sendiri.
1
2. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penggunaan Sistem Pakar
Sistem pakar berawal dari kemajuan teknologi komputer yang telah banyak berperan
dalam alih teknologi pertanian dan evaluasi lahan. Sistem pakar termasuk dalam bidang
kecerdasan buatan dan merupakan perkembangan baru dalam ilmu peranti lunak komputer
(Wareman dalam Amien 1997b). Keunggulan dari sistem pakar adalah dapat mengolah sistem
database, simulasi, dan sistem informasi geografis. Selain itu, sistem pakar dapat mengolah dan
mempertimbangkan data yang dalam banyak hal masih sulit diperoleh atau memiliki tingkat
kepercayaan yang tidak terlalu baik. Sistem ini antara lain dapat diaplikasikan dalam penentuan
waktu tanam serta penetapan rekomendasi pemupukan dan pengapuran (Amien 1986). Dengan
mengolah data yang tersedia menggunakan sistem pakar akan dapat ditetapkan suatu sistem
pertanian dan zona utama pada suatu wilayah. Penerapan sistem pakar dalam menetapkan
komoditas unggulan serta memilih sistem pertanian dan kesesuaian tanaman telah berkembang di
Indonesia dengan adanya kerja sama antara Puslitbangtanak dengan BPTP. Penetapan ZAE
utama, arahan penggunaan lahan, sistem pertanian, dan jenis komoditas yang akan
dikembangkan didasarkan pada informasi tentang kondisi biofisik lahan, iklim, sosial ekonomi,
dan budaya. Penetapan ZAE dan sistem pertanian mengacu pada data biofisik lahan (kelerengan,
elevasi, jenis tanah, dan drainase), iklim, dan persyaratan tumbuh tanaman. Agar kebenaran dan
akurasi hasil yang diperoleh dari penggunaan sistem pakar dapat dipertanggungjawabkan, maka
dilakukan verifikasi di lapangan dengan cara melakukan pengamatan langsung, terutama pada
daerah atau zona yang masih diragukan akurasi datanya.
2.2 Penetapan ZAE (Zona Agroekologi)
Luas daratan wilayah Propinsi Sulawesi Tengah adalah 6. 803. 300 ha. Berdasarkan
program tata ruang daerah telah ditetapkan dua fungsi utama penggunaan lahan di Sulawesi
Tengah, yaitu kawasan konservasi dan kawasan budi daya. Kawasan budi daya mencakup
2.166.171 ha atau 31,84% dari luas daerah dan kawasan konservasi 4.637.316 ha atau 68,16%
dari luas daerah (Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah 2000). Berdasarkan data Badan Pertanahan
Nasional (1989), wilayah Propinsi Sulawesi Tengah didominasi oleh lahan berlereng terjal.
Lahan dengan tingkat kemiringan > 40% mencapai 52,66% dan kemiringan antara 15–40%
sekitar 25,74% dari luas lahan yang ada. Ini berarti bahwa lahan datar hingga agak datar dengan
tingkat kelerengan 0–15% hanya 21,60% dari luas propinsi. Fagi et al. (1993) mengemukakan
bahwa dua pertiga dari luas lahan di Sulawesi Tengah berada pada tingkat kelerengan lebih dari
15%. Syafruddin et al. (1999a) melaporkan bahwa sekitar 58,14% dari luas lahan mempunyai
tingkat kemiringan lebih dari 60%, 13,67% dengan tingkat kemiringan 15–40%, dan hanya
28,19% yang berlereng kurang dari 15%. Dari sumber data tersebut di atas, bila dikaitkan dengan
penetapan tata ruang daerah, maka lahan yang tergolong datar hanya sekitar 21,61−28,19%. Ini
berarti terdapat lahan yang cukup luas dengan tingkat kelerengan lebih dari 15% yang
dimanfaatkan untuk kawasan budi daya. Kondisi ini dapat memacu kerusakan lahan bila
2
3. pengelolaannya kurang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan penggunaan lahan dan
penetapan komoditas unggulan dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya
menuju penggunaan lahan berdasarkan kelas kemampuan dan kesesuaiannya. Delineasi ZAE
wilayah Propinsi Sulawesi Tengah berdasarkan metodologi penyusunan peta zona menghasilkan
tujuh zona utama, empat sistem pertanian, dan beberapa komoditas unggulan alternatif (Gambar
1) (Syafruddin et al. 1999a; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah 2000). Agar
lahan tidak mengalami kerusakan, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan kemampuan dan
kesesuaian lahan, diikuti pemilihan komoditas berdasarkan zonazona yang ada dan penerapan
teknologi secara spesifik.
2.3 Penetaan Sistem Pertanian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah sejak tahun 1997 telah melakukan
penataan sistem pertanian melalui pengkajian pemetaan zona agroekosistem wilayah.
Berdasarkan persyaratan dan parameter biofisik lahan, yang meliputi elevasi, suhu, kelembapan,
fisiografi, lereng, drainase, dan jenis tanah, telah ditetapkan penataan sistem pertanian dan
alternatif komoditas unggulan. Berdasarkan hasil delineasi peta ZAE, Syafruddin et al. (1999a)
mengemukakan bahwa di wilayah Sulawesi Tengah terdapat tujuh zona utama dengan penataan
sistem pertanian dan alternatif komoditasnya (Tabel 1). Sistem pertanian dan alternatif komoditas
berdasarkan ZAE (Syafruddin et al. 1999b) dapat dilihat pada Tabel 1. Zona I merupakan zona
untuk pengembangan tanaman kehutanan, yang meliputi meranti, damar, rotan, kemiri, kruing,
dan kapuk serta untuk konservasi. Pemanfaatan atau eksploitasi tanaman kehutanan tersebut
harus dilakukan dengan hati-hati dan terencana untuk mencegah malapetaka, seperti banjir pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Rotan dan damar merupakan tanaman alami
hutan dan sebagai sumber devisa.
3
4. Gambar 1. Zona agroekologi dan sistem pertanian Propinsi Sulawesi Tengah.
BAB III
KESIMPULAN
4