Dokumen tersebut membahas peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga di Indonesia. Mencakup definisi keluarga, syarat perkawinan, proses perceraian, hak dan tanggung jawab anggota keluarga menurut undang-undang perkawinan dan perceraian di Indonesia.
Hukum Kelurga Mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga . Yang termasuk dalam hukum keluarga adalah peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian
Hukum Kelurga Mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga . Yang termasuk dalam hukum keluarga adalah peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian
2. 2
Definisi “ Keluarga”
UU no 10 tahun 1992
• Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau
suami istri dan anaknya atau ayah dan
anaknya atau ibu dan anaknya.
Keluarga adalah wahana utama & pertama
untuk :
• Mengembangkan potensi keluarga
• Mengembangkan aspek sosial dan ekonomi
keluarga
• School of love atau penyemaian cinta–kasih-
sayang
3. 3
Keluarga sejahtera adalah keluarga yang
dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah,
mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras, dan seimbang antar anggota dan antara
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Kualitas keluarga adalah kondisi keluarga yang
mencakup aspek pendidikan, kesehatan,
ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga,
dan mental spiritual serta nilai-nilai agama yang
merupakan dasar untuk mencapai keluarga
sejahtera.
4. 4
Kemandirian keluarga adalah sikap mental dalam
hal berupaya meningkatkan kepedulian
masyarakat dalam pembangunan,
mendewasakan usia perkawinan, membina dan
meningkatkan ketahanan keluarga, mengatur
kelahiran dan mengembangkan kualitas dan
kesejahteraan keluarga, berdasarkan kesadaran
dan tanggung jawab.
Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu
keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik-materiil dan psikis-mental spiritual guna
hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam
meningkatkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin.
5. 5
Peraturam Pemerintah (PP) No 21 Thn 1994 ttg
Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga
Sejahtera tentang Fungsi Keluarga (BKKBN)
Fungsi keluarga dijalankan untuk mencapai
tujuan KELUARGA
Fungsi Keagamaan
Fungsi Sosial Budaya
Fungsi Cinta Kasih
Fungsi Perlindungan
Fungsi Reproduksi
Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan
Fungsi Ekonomi
Fungsi Pembinaan Lingkungan
6. 6
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumahtangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Keuhanan
Yang Maha Esa.
Umur untuk perkawinan bagi pria berumur
19 tahun dan bagi wanita berumur 16
tahun
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
7. 7
Perkawinan dianggap sah, jika
diselenggarakan:
1. Menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan
2. Secara tertib menurut Hukum
Syari’ah (bagi yang beragama
Islam)
3. Dicatat menuruut perundang-
undangan, dengan dihadirir oleh
pegawai pencatat nikah
8. 8
Syarat-syarat perkawinan
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai,
2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
ijin kedua orang tuanya,
3. Jika salah satu dari kedua orang meninggal dunia atau tidak
mampu menyatakan kehendaknya, ijin diperoleh dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya,
4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya, ijin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
selama garis keturunan lurus keatas,
5. Jika terdapat perbedaan pendapat diantara mereka, atau jika
seorang atau lebih tidak menyatakan kehendaknya, ijin
diperoleh dari Pengadilan,
6. Hal-hal tersebut dalam angka 1 – 5 ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
9. 9
Asas atau dasar yang dianut UU
Perkawinan no.1 tahun 1974 sebagai
asas perkawinan
Dalam UU Perkawinan dianut asas
monogami yaitu suatu perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita
sebagai isteri dan seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami. Akan
tetapi UU Perkawinan juga memberi
kemungkinan seorang pria mempunyai
lebih seorang isteri (ber-poligami)
10. 10
Cara seorang suami akan beristeri
lebih dari satu
Harus diperoleh ijin dari isteri yang
pertama atau isteri-isterinya yang
lain dan dikehendaki oleh pihak-
pihak. Jika ijin-ijin itu tidak diberikan
oleh isteri atau isteri-isterinya, maka
suami harus memperoleh ijin
Pengadilan, dengan jalan
mengajukan permohonan disertai
alasan-alasan yang kuat.
11. 11
Menurut UU alasan-alasan itu adalah:
1. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
2. Isteri mendapat cacat badaniah
atau berpenyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan
12. 12
Syarat yang harus dipenuhi suami,
jika hendak menikah lagi (Poligami)
1. Adanya persetujuan dari isteri dan isteri-
isterinya
2. Adanya kepastian bahwa si suamimampu
menjamin keperluan hidup ister-isteri dan
anak-anak mereka
3. Adanya jaminan bahwa si suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anak
mereka
Persyaratan tidak berlaku apabila isteri atau isteri-
isterinya tidak mungkin dimintai persetujuan
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
(sakit ingatan, gila, gangguan syaraf, dll) atau
jika ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya
selama kurang lebih 2 tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan
13. 13
Yang dimaksud dengan keperluan
hidup bagi isteri dan anak-anak
adalah:
1. Nafkah dan pakaian bagi isteri dan
anak-anak
2. Biaya sekolah anak-anak hingga
tamat
3. Tempat tinggal berupa rumah,
sekalipun bukan rumah sendiri
(rumah sewa)
4. Uang saku
14. 14
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Perceraian
Tentang proses/ prosedur perceraian
melalui Pengadilan Agama.
Pada Bab III pasal 49 : 1 menyatakan
bahwa :
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
15. 15
UU NO. 7 TH 1989
BAB IV: Bagian Kedua: Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
PSL 65 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
PSL 66 : 1 Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.
PSL 66 : 2 Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
PSL 66 : 3 Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
PSL 66 : 5 Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
16. 16
PSL 70 : 1 Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi
didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan
bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
PSL 70 : 2 Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat
mengajukan banding.
PSL 70 : 3 Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan
istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
PSL 70 : 4 Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu
akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang
dihadiri oleh istri atau kuasanya.
PSL 70 : 5 Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya
dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
PSL 70 : 6 Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang
penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka
gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan
lagi berdasarkan alasan yang sama.
PSL 71 : 2 Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus
sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan
banding atau kasasi.
17. 17
Paragraf 3
Cerai Gugat (Pasal 73-86)
PSL 73 : 1 Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
PSL 77 Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
PSL 78 Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat, Pengadilan dapat:
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-
barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.
PSL 79 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum
adanya putusan Pengadilan.
18. 18
PSL 81 : 2 Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya
terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
PSL 82 : 1 Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim
berusaha mendamaikan kedua pihak.
PSL 82 : 2 Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara
pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar
negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat
diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
PSL 82 : 3 Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka
penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara
pribadi.
PSL 82 : 4 Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
PSL 83 Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh
penggugat sebelum perdamaian tercapai.
19. 19
Paragraf 4
Cerai Dengan Alasan Zina
(Pasal 87 – 88)
PSL 87 : 1 Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak
melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-
bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim
berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama
sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari
pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena
jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
PSL 87 : 2 Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan
sanggahannya dengan cara yang sama.
PSL 88 : 1 Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan
cara li'an.
PSL 88 : 2 Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum
acara yang berlaku.
Biaya Perkara (Pasal 89 – 91)
Pasal 89 : 1 : “Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan
kepada penggugat atau Pemohon”.
21. 21
REMAJA
ANAK DAN REMAJA
7 hr
ANAK USIA SEKOLAH
28 mgg
NEONATUS
PERINATAL
LAHIR
BAYI ANAK BALITA
ANAK PRA
SEKOLAH
28 Hr 1Thn 4 Thn 6Thn 14 Thn
5 Thn
22. 22
PSL 77 SENGAJA MELAKUKAN : DISKRIMINASI & MENELANTARKAN ANAK 5 TAHUN DENDA Rp. 100.000.000,-
PSL 78 SENGAJA MEMBIARKAN ANAK DLM SITUASI DARURAT 5 TAHUN DENDA Rp. 100.000.000,-
PSL 79 PENGANGKATAN ANAK BERTENTANGAN KETENTUAN 5 TAHUN DENDA Rp. 100.000.000,-
PSL 80 1. KEKEJAMAN, PENGANIAYAAN, KEKERASAN, ANCAMAN ANAK.
2. MENGAKIBATKAN LUKA BERAT
3. MENGAKIBATKAN MATI
4. PERLAKUAN ORANGTUA SENDIRI
3,5 TAHUN DENDA Rp. 100.000.000,-
10 THN DENDE Rp. 200.000.000,-
HUKUMAN TAMBAHAN 1/3
PSL 81 1. MEMAKSAANAK DISETUBUHI
2. MENIPU, MEMBUJUK DISETUBUHI
MIN 3 TAHUN, MAX 15 THN
DENDA MIN Rp.60 MAX Rp.300
PSL 82 MEMAKSA. MENIPU, BUJUK, MEMBIARKAN PERBUATAN CABUL THDP
ANAK
MIN 3 TAHUN, MAX 15 THN
DENDA MIN Rp.60 MAX Rp.300
PSL 83 MENJUAL & MECULIK ANAK MIN 3 TAHUN, MAX 15 THN
DENDA MIN Rp.60 MAX Rp.300
PSL 84 TRANSPLANTASI ORGAN ANAK ILEGAL 10 THN, DENDA Rp.200.000.000,-
PSL 85 MEMAKSA. MENIPU, BUJUK, MEMBIARKAN PERBUATAN CABUL THDP
ANAK
MIN 3 TAHUN, MAX 15 THN
DENDA MIN Rp.60 MAX Rp.300
PSL 86 MEMAKSA. MENIPU, BUJUK, MEMBIARKAN PERBUATAN CABUL THDP
ANAK
MIN 3 TAHUN, MAX 15 THN
DENDA MIN Rp.60 MAX Rp.300
PSL 87 REKRUT, MEMPERALAT ANAK UTK KEPENTINGAN MILITER,
SALAHGUNA UTK GIAT POLITIK ATAU LIBAT SENGKETA SENJATA
5 THN, DENDA Rp. 100.000.000,-
PSL 88 EKSPLOITASI EKONOMI / SEKSUAL 10 THN DENDA 200 JUTA
PSL 89 1. MELIBATKAN ANAK UTK NARKOBA
2. MELIBATKAN ANAK UTK ALKOHOL & ADITIF
1. SEUMUR HIDUP / 20 THN MIN 5
THN. DENDA MIN 50 JT MAX 500
JT
2. MIN 2 THN MAX 10 THN, DENDA
MIN 20 JT MAX 200 JT.
PSL 90 1. PIDANA TSB BERLAKU BAGI PENGURUS KORPORASI
2. PIDANA DENDA + 1/3
HANYA PIDANA DENDA + 1/3
7.
23. 23
ANAK YG DIEKSPLOITASI SECARA FISIK & EKONOMI
MENURUT UU NO.1/2000 YAITU
ANAK YANG DILACURKAN
ANAK YANG BEKERJA DI PERTAMBANGAN
ANAK YANG BEKERJA SEBAGAI PENYELAM
ANAK YANG BEKERJA DI KONSTRUKSI
ANAK YANG BEKERJA DI JERMAL
ANAK YANG BEKERJA SEBAGAI PEMULUNG SAMPAH
ANAK YANG BEKERJA PRODUKSI BAHAN PELEDAK
ANAK YANG BEKERJA DI JALAN
ANAK YANG BEKERJA SEBAGAI PEMBANTU RUMAH
TANGGA
ANAK YANG BEKERJA DI PERKEBUNAN
ANAK YANG BEKERJA PD PENEBANGAN, LOLA & ANGKUT
KAYU
ANAK YANG BEKERJA DI INDUSTRI & JENIS GIAT YG
PAKAI BHN KIMIA BERBAHAYA
25. 25
Hasil pnelitian Yayasan Kakak (2002:40)
terhadap 50 orang anak yang dilacurkan di
Surakarta menyebutkan :
Sebanyak 37 orang di antara mereka telah
mengalami pengalaman seksual usia dini,
yakni saat usia mereka 12 tahun – 17
tahun. Bahkan satu orang diantaranya
mengalaminya saat berusia 5 tahun,
akibat perkosaan yang dilakukan
kerabatnya sendiri.
Sebanyak 70% dilakukan dengan pacar
dan 10% dilakukan dengan teman
26. 26
Kemiskinan yang terdapat pada keluarga
anak yang dilacurkan di kedua lokasi itu
menyebabkan orangtua memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap
anaknya sehingga segala sesuatu
dibebankan pada anaknya, dari sejak
kebutuhan sehari-hari hingga anak dapat
membangun rumah atau telah memiliki
sawah.
Fasilitas pendidikan terbatas
27. 27
Anak yang dilacurkan di Indramayu
pada umumnya pada umumnya
memasuki dunia prostitusi dengan
status janda, sehingga kawin muda
seolah-olah menjadi semacam “batu
loncatan” untuk memasuki dunia
prostitusi. Sedangkan di Surakarta
pada umumnya anak memasuki
prostitusi dengan status belum
menikah.
28. 28
Anak yang dilacurkan di Surakarta berlatar
belakang pendidikan lebih tinggi dibandingkan yang
di Indramayu. Sehingga anak yang di Indramayu
lebih mudah dibohongi oleh konsumen, calo dan
germo.
Gaya penampilan anak yang dilacurkan di
Surakarta: rambut disemir, telinga atau cuping
hidung ditindik, alis dikerik, baju, kaos dan celana
ketat, selop bertumit tinggi, bertato, dandanan
menor dan berbau parfum khas anak yang
dilacurkan dan beberapa di antara mereka memiliki
bekas siletan di anggota tubuhnya.
Gaya penampilan anak yang dilancurkan di
Indramayusulit dibedakan dengan anak pada
umumnya, karena mereka bersolek dan perpakaian
tidak terlalu mencolok. Akan tetapi interaksi
dengan konsumen lebih aktif daripada anak yang
dilacurkan di Surakarta.
29. 29
Pemahaman mayoritas anak akan
pengertian/konsep mengenai anak yang
dilacurkan :
“Anak yang dilacurkan sebagai orang
yang pekerjaannya melayani laki-
laki, mandiri karena mereka adalah
orang yang dapat mencari uang dan
dapat hidup membiayai diri sendiri,
orang yang kurang kasih sayang,
orang yang berdosa, dan penduduk
orangtua yang tidak bertanggung
jawab.”
30. 30
Permasalahan yang dialami oleh
anak yang dilacurkan meliputi :
Tindakan kekerasan : mental, fisik seksual
atau kombinasi di antara ketiganya.
Masalah kesehatan : kesehatan seksual
(termasuk PMS), reproduksi (kehamilan
dan aborsi), kesehatan secara umum
(termasuk nonkulit dan penyakit kulit
nonkelamin)
Permasalahan pemakaian minuman keras
dan obat-obat terlarang.
31. 31
Proses Masuk Menjadi Anak yang
Dilacurkan :
Peran keluarga dekat dan teman
Lingkaran keluarga (Family Cycle)
Peran Orangtua
Peran calo dalam prostitusi
Peran germo
Peran teman
Peran pacar
33. 33
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan
rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah, perkawinann, pesusunan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
34. 34
3.Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
4. Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga
bertujuan :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga
b. Nelindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga; dan
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera.
35. 35
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara :
a. Kekerasan fisik (perubahan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat);
b. Kekerasan psikis (perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang);
c. Kekerasan seksual (a. pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah
tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertantu. ;
d. Penelantaran rumah tangga.
36. 36
Hak-hak Korban
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kerahasiaan
korban;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
37. 37
Setiap orang yang mendengar, melihat,
atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya
sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.
38. 38
PIDANA UU No.23 TH 2004 (KDRT)
PSL 44 : 1 Melakukan kekerasan fisik Penjara 5 tahun atau denda
paling besar 15 juta
PSL 44 : 2 Kekerasan yang mengakibatkan korban jatuh sakit
atau luka berat
Penjara 10 tahun atau denda
30 juta
PSL 44 : 3 Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya yang menimbulkan panyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencarian atau kegiatan sehari-hari
Penjara 15 tahun atau denda
45 juta
PSL 44 : 4 Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan panyakit/
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencarian atau kegiatan sehari-hari
Penjara 5 bulan atau denda 5
juta
PSL 45 : 1 Melakukan kekerasan psikis Penjara 3 tahun atau denda 9
juta
PSL 46 Melakukan kekerasan seksual Penjara 12 tahun atau denda
36 juta
PSL 47 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap
dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual
Penjara 4 -15 tahun atau
denda 12 juta – 300 juta
39. 39
PSL 48 Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka
yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kewajiban
sekurang-kurangnya selama 4 (empat)
minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau
matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi
Penjara 5 – 20
tahun atau denda
25 juta – 500 juta
PSL 49 Menelantarkan orang lain dalam lingkup
rumah tangganya
Penjara 3 tahun
atau denda 15 juta
PIDANA UU No.23 TH 2004
40. 40
RUU Pornografi
Badriyah Fayumi (Panitia kerja RUU
Pornografi dari Fraksi Kebangkitan
Bangsa) RUU pornografi hadir
sebagai lex specialist (pengaturan
lebih khusus) dari pengaturan soal
kesusilaan dan pornografi yang
terdapat dalam KUHP.
41. 41
Ada 3 hal mendasar, mengapa isi
RUU APP pornografi
mengandung kontroversi
1. Dari sisi substansi, RUU ini dianggap
memuat kata-kata yang ambigu,
bahkan tidak bisa dirumuskan secara
absolut. Seperti kata-kata eksploitasi
seksual, kecabulan, gerakan yang
menyerupai hubungan seksual,
masturbasi dan lain-lain.
42. 42
2. RUU ini dianggap tidak mengakui
keragaman rakyat Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku, etnis dan agama.
Masing-masing suku dan daerah punya
cara pandang berbeda mengenai nilai-nilai
kesusilaan.
3. RUU ini dianggap menempatkan wanita
sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap kejahatan seksual. Kerusakan
moral bangsa disebabkan karena kaum
wanitanya yang tidak bertingkah laku
sopan, antara lain tidak menutup rapat-
rapat tubuhnya.
43. 43
Pasal-Pasal “Berbahaya” dari RUU
Pornografi (Draf 4 September 2008)
Pasal Isi Kritik Masyarakat
PSL 1 : 1 Pornografi adalah materi
seksualitas yang dibuat oleh
manusia dalam bentuk
gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi,
kartun, syair, percakapan,
gerak tubuh, atau bentuk
pesan komunikasi lain
melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/ atau
pertunjukkan di muka umum,
yang dapat membangkitkan
hasrat seksual dan/ atau
melanggar nilai-nilai
kesusilaan dalam
masyarakat.
1.“Mengacu pada definisi Kamus Besar
Bahasa Indonesia : Pornografi adalah
bahan bacaan yang dengan sengaja
dan semata-mata dirancang untuk
membangkitkan nafsu berahi dalam
seks”
2.“Dengan mendefinisikan fornografi
sebagai materi yang dapat
membangkitkan hasrat seksual,
maka RUU ini membuat penjelasan
menjadi subjektif, kabur dan
relative.” (Dewan Kesenian Jakarta)
3.“Dalam kalimat ‘pertunjukan di muka
umum’ artinya terdapat kesalahan
tentang definisi pornografi.
Seharusnya pertunjukkan di muka
umum tidak tergolong pornografi,
karena pornografi berasal dari kata
porno dan grafi”(yang berhubungan
dengan cetak). (Jaringan Kerja
Legislasi Nasional Pro-Perempuan
dan Federasi LBH APIK)
44. 44
Pasal Isi Kritik Masyarakat
PSL 3 : A & B 3a. Mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat
yang beretika, beretika,
berkepribadian luhur, menjungjung
tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa, serta menghormati
harkat dan martabat kemanusian.
3b. Memberikan pembinaan dan
pendidikan terhadap moral dan
akhlak masyarakat
“Terlihat bahwa RUU ini
hendak mengatur dan
mengarahkan moralitas
individu yang didasarkan
pada persepsi moralitas
golongan tertentu, dan
bukan mengatur soal
pornografinya.”
(Jaringan Kerja Legislasi
Nasional Pro-Perempuan
dan Federasi LBH APIK)
PSL 4 : 1 Setiap orang dilarang memproduksi,
membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang memuat :
a. persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang
b. kekerasan seksual
c. menstrubasi atau onani
d. ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan
e. alat kelamin
”Mengapa tidak ada poin
tentang larangan
pornografi anak (tampilan
anak atau citra anak
sebagai objek pornografi)?
Bukankah kalau RUU ini
adalah RUU Pornografi,
seharusnya ini adalah
concern-nya? Bukan
semata-mata mengatur
masalah seksual orang
dewasa.”
(Jaringan Kerja Legislasi
Nasional Pro-Perempuan
dan Federal LBH APIK)
45. 45
Pasal Isi Kritik Masyarakat
PSL 6
Setiap orang dilarang
memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 : 1 kecuali yang
diberi kewenangan oleh perundang-
undangan
”Kata ’setiap orang’ berarti semua orang
termasuk anak-anak bisa terkena sanksi
hukuman tersebut (hukuman 4 tahun
penjara dan denda Rp. 2 miliar). Orang
dewasa pun dilarang memanfaatkan,
memiliki atau menyimpan produk
pornografi bahkan untuk konsumsi
sendiri. Padahal, konsumsi tersebut juga
penting bagi orang dewasa sebagai
kebutuhan. Seharusnya, pornografi
yang sifatnya soft porn masih boleh
dikonsumsi orang dewasa asal tidak
mengandung kekerasan dan
penyimpangan seksual, serta tidak
disebarluaskan. Dengan RUU ini seolah
seks dianggap negatif dan merusak
moral sehingga negara harus
intervensi.” (Jaringan Kerja Legislasi
Nasional Pro-Perempuan dan Federasi
LBH APIK)
PSL 8 Setiap orang dilarang dengan
sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model
yang mengandung muatan
pornografi
”RUU ini justru berpotensi
mengkriminalkan anak sebagai
pihak yang seharusnya dilindungi.
Padahal, dalam banyak kasus,
anak adalah korban. Hal ini
bertentangan dengan Konvensi
Hak Anak tentang penjualan,
prostitusi, dan ponografi anak.”
(Jaringan Kerja Legislasi Nasional
Pro-Perempuan dan Federasi LBH
APIK)
46. 46
Pasal Isi Kritik Masyarakat
PSL 14 Pembuatan, penyebarluasan dan
penggunaan materi seksualitas dapat
dilakukan untuk kepentingan dan
memiliki nilai: a. Seni dan budaya; b.
Adat istiadat; dan c. Ritual tradisional
”Dengan pengecualian tersebut,
RUU ini terbukti tidak mengerti
tantang kesenian dan kebudayaan,
dan menganggap seni dan budaya
sebagai bagian yang sama sekali
terpisah dari kehidupan
masyarakat sehari-hari.” (Dewan
Kesenian Jakarta)
PSL 21 Masyarakat dapat berperan serta dalam
melakukan pencegahan terhadap
pembuatan, penyebarluasan dan
penggunaan pornografi
”Melalui pasal ini, kelompok-
kelompok tertentu akan makin
mendapat legitimasi untuk menjadi
polisi moral, bukan tidak mungkin
jalan yang ditempuh anarkis.”
(Jaringan Kerja Legislasi Nasional
Pro-Perempuan dan Federasi LBH
APIK)”Pasal tersebut paling
berbahaya dan paling mendukung
sikap intoleran dan anti
keragaman, serta membuka jalan
untuk kekerasan.” (Dewan
Kesenian Jakarta)
47. 47
UNDANG-UNDANG NO. 22 TH. 1999
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD menurut asas Desentralisasi.
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta
perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan
Eksekutif Daerah.
48. 48
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pejabat yang berwenang adalah pejabat Pemerintah di
tingkat Pusat dan atau pejabat Pemerintah di Daerah
Propinsi yang berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
49. 49
PSL 2 : 1 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam
Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang
bersifat otonom.
PSL 4 : 1 Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan
disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota
yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
PSL 4 : 2 Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-
masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki
satu sama lain.
PSL 5 : 1 Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan
ekonomi, potensi Daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah
penduduk, luas Daerah, dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
PSL 6 : 1 Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah
dapat dihapus dan atau digabung dengan Daerah lain.
PSL 6 : 2 Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah.
50. 50
PSL 10 : 1 Daerah berwenang mengelola sumber daya
nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
PSL 10: 2 Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, meliputi:
a. eksplorasi, eskploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut
tersebut;
b. pengaturan kepentingan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah; dan
e. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan
negara.
51. 51
UNDANG-UNDANGNO.25 TH.1999
TENTANG
PERIMBANGANKEUANGAN
ANTARAPEMERINTAHPUSATDANDAERAH
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan
Desentralisasi adalah:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan;
c. Pinjaman Daerah;
d. Lain-lain Penerimaan yang sah.
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 huruf a terdiri dari:
a. hasil pajak Daerah;
b. hasil retribusi Daerah;
c. hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
Daerah lainnya yang dipisahkan;
d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
52. 52
Pasal 6
(1) Dana Perimbangan terdiri dari :
a. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari
sumber daya alam;
b. Dana Alokasi Umum;
c. Dana Alokasi Khusus.
(2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan
imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90%
(sembilan puluh persen) untuk Daerah.
(3) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
(4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan
20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan
kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
53. 53
(5) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan,
sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi
dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah
Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
(6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan
minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah
yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:
a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang
berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen
pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan
imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah
Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal
dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70%
(tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga
puluh persen) untuk Daerah.
54. 54
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS
DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara
yang menaati asas2 umum penyelenggaraan negara dan bebas dari
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela
lainnya.
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi.
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan
hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara
Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan
atau negara.
Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya
dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan
negara.
55. 55
HAK DAN KEWAJIBAN PENYELENGGARA
NEGARA
Pasal 4
Setiap Penyelenggara Negara berhak untuk :
1. Menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
2. Menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran,
tindakan dari atasannya, ancaman hukuman, dan kritik
masyarakat;
3. Menyampaikan pendapat di muka umum secara
bertanggung jawab sesuai dengan wewenangnya; dan
4. Mendapatkan hak2 lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
56. 56
Pasal 5
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
1. Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya;
2. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
3. Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat;
4. Tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
5. Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan
golongan;
6. Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kroni, maupun kelompok. Dan tidak mengharapkan imbalan
dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
57. 57
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
negara merupakan hak dan tanggung jawab
masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih.
(2) Hubungan antara Penyelenggara Negara dan
masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh
pada asas2 umum penyelenggaraan negara.
58. 58
Pasal 9
(1). Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diwujudkan dalam bentuk :
a. Hak mencari. memperoleh. dan memberikan informasi tentang
penyelenggaraan negara;
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi; dan saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2). Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan
menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
(3). Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat
dalam penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
59. 59
KOMISI PEMERIKSA
Pasal 10
Untuk mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi. dan nepotisme,
Presiden selaku Kepala Negara
membentuk Komisi Perneriksa.
60. 60
Pasal 12
(1) Komisi Pemeriksa mempunyai fungsi
untuk mencegah praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme dalam penyelenggaraan
negara.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Komisi Pemeriksa dapat melakukan kerja
sama dengan lembaga2 terkait baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.
61. 61
Pasal 17
(1). Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2). Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
:
a. Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
Penyelenggara Negara;
b. Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau instansi Pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi,
dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c. Melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan
Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi,
dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara ybs.;
d. Mencari dan memperoleh bukti2, menghadirkan saksi2 untuk penyelidikan
Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme atau meminta dokumen2 dari pihak2 yang terkait dengan penyelidikan
harta kekayaan Penyelenggara Negara ybs.;
e. Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian
atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh
dari korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai
Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang
membuktikan dugaan tsb sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
62. 62
Pasal 21
Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi
Pemeriksa yang melakukan kolusi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun
dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00.
Pasal 22
Setiap Penyeienggara Negara atau Anggota Komisi
Pemeriksa yang melakukan nepotisme dengan
pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling
lama 12 tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00.
63. 63
UNDANG-UNDANG
NOMOR 25 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan
masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
1. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh
semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan
bernegara.
1. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan
oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah.
64. 64
Pasal 2
1. Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi
dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
Nasional.
2. Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara sistematis,
terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap
perubahan.
3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diselenggarakan
berdasarkan Asas Umum Penyelenggaraan Negara.
4. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
• mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
• menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
• menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
• mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
• menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.