2. Thomas L Friedman membagi fase globalisasi menjadi
tiga babak, yakni:
1. Globalization 1.0 Fase pertama globalisasi terjadi sekitar tahun 1492 hingga
1800-an. Pada fase ini, negara-bangsa atau kekaisaran menjadi penggerak
globalisasi.
2. Globalization 2.0 Pada tahun 1900-an hingga awal abad ke-21, globalisasi
mulai ditandai oleh hilangnya batas-batas antarnegara. Aktivitas ekonomi
global, migrasi pekerja, hingga pertukaran budaya terjadi pesat di kurun Abad
20 tersebut.
3. Globalization 3.0 Globalisasi abad ke-21 berkembang lebih jauh karena
melibatkan individu sebagai aktor utama di proses menyatunya dunia. Pada
saat ini, semua orang yang bisa mengakses koneksi internet dapat berjejaring
dengan individu lain di seluruh dunia.
Globalization 3.0, menurut Friedman, menjadi penanda bahwa dunia bersifat datar
dan rata. Maka itu, ia menyebut fenomena ini dengan istilah the world is flat.
3. • Pra-digital Aristoteles menyebut manusia zoon logon echon, makhluk
pemakai bahasa. Penutur hadir ragawi bagi pendengar.
• Di era digital keduanya "telepresen". Manusia hanyalah sebuah komponen
sistem media komunikasi. Ia tampaknya memakai media, tetapi sebenarnya
ia sendiri adalah media komunikasi, karena dalam sebuah jejaring anonim
komunikasi digital manusia hanyalah penyalur pesan. Makhluk yang
dikendalikan media, berfungsi sebagai media, dan mengadaptasi iklim
teknologi digital ini boleh kita sebut homo digitalis.
• Homo digitalis bukan sekadar pengguna gawai. Ia bereksistensi lewat
gawai. Eksistensinya ditentukan oleh tindakan digital, yakni: uploading
(mengunggah), chatting (ngobrol), posting (mengirim), dan seterusnya.
• Dengannya ia berbagi atau pamer untuk kebutuhan akan pengakuan.
Meniru istilah Heidegger, dia adalah Being-in-the-www. Kelahirannya ke
panggung sejarah dimungkinkan oleh teknologi.
5. • Tom Nichols telah mendalilkan matinya otoritas itu dalam buku The
Death of Expertise (2017). Tidak ada lagi hierarki yang selama ini
berlaku atas dasar otoritas yang bersumber pada status akademik,
intelektual, strata sosial, dan kedudukan formal.
• Tom Nichols menyebutkan tentang efek negatif dari dunia digital,
“Internet membuat kita lebih kejam, bersumbu pendek, dan tak
mampu membangun iklim diskusi di mana setiap orang saling belajar.
Masalah utama dengan komunikasi instan ini adalah sifatnya yang
instan itu … Kadang-kadang, manusia perlu berhenti sejenak dan
merenung, memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk menyerap
informasi dan mencernanya”.
6. • Seorang filsuf Prancis Paul Virilio dalam
bukunya Speed and Politics: An Essay on
Dromology (1986) menyatakan, realitas
kebudayaan dewasa ini digerakkan oleh logika
dan obsesi akan kecepatan. Kemajuan teknologi
yang mendengungkan kecepatan dan akselerasi
seolah tidak memberikan pilihan ruang dan semua
hal dipaksa mengikuti arus yang serbacepat.
Masyarakat seolah terseret ke dalam sebuah
ruang dan memaksa mereka teperdaya tipuan
citra.
7. • Jaron Lanier dalam bukunya You Are Not a Gadget tahun 2010 menegaskan bahwa semakin aktif kita
berselancar dalam dunia cyber, semakin jauh dan intensif kehidupan digital sesorang terintegrasi dalam
ekosistem informasi komunikasi yang disediakan oleh beragam teknologi. Dalam ekosistem tersebut, kita
sesungguhnya hidup dengan pilihan-pilihan yang serba terbatas dan diseleksi oleh kode-kode matematis
komputasional yang bekerja secara laten otomatis dan tanpa kita sadari (Lanier, 2010).
• Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (2016) menjelaskan sebuah istilah menarik tentang
kedigdayaan algoritma digital. Dalam buku tersebut disebut sebuah istilah digital dictatorship. Istilah yang
menarik tersebut menjelaskan bagaimana kekuatan digital mampu menuntun dan mengendalikan selera,
pikiran dan tindakan melalui program algoritma yang bekerja melalui gawai kita.
• Harari mengulas bahwa otak dan perasaan manusia sangat mungkin bisa diretas. Apa yang menjadi kesukaan
dan kegemaran tanpa sadar sudah diprogram oleh sistem algoritma yang bekerja secara otomatis yang
mengarahkan cara pandang manusia atas sesuatu hal, termasuk ideologi tertentu (Harari, 2016).
8. • Manusia digital terjerembap dalam apa yang disebut digital panopticon. Merujuk pada pemikiran Jeremy Bentham dan Michel Foucault, manusia
digital ibaratnya hidup dalam kamp konsentrasi raksasa di mana hampir semua yang mereka lakukan diawasi the all-seeing digital eyes, yakni platform
digital global.
Panopticon, yang berarti ’melihat
segalanya’, adalah sebuah konsep
tentang penjara yang berbentuk
silinder. Di pusat silinder itu ada
menara yang punya jendela
dengan kaca satu arah yang
menghadap ke sisi dalam silinder.
Dinding silinder terdiri atas sel-
sel yang satu jendelanya
menghadap ke dalam dan
jendela lainnya menghadap
keluar untuk mendapat cahaya
matahari.
9. Bagaimana Negara?
• Negara dengan persepsi keamanan nasional tentunya khawatir melihat
fenomena Arab Spring dan gerakan ISIS, kelompok teroris, yang sempat
menguasai media sosial.
• Kasus Cambridge Analytica-Facebook serta perusahaan swasta Israel
Terrogence yang menggunakan pengenalan wajah dengan basis data
Facebook juga semakin menyadarkan publik dan menimbulkan efek
Panopticon bahwa setiap individu sadar bahwa ia selalu berada dalam
pengawasan.
• Tidak saja media sosial digunakan untuk propaganda dan perekrutan,
tetapi ruang maya juga menjadi akses logistik yang tak terbatas. Tidak
heran, negara juga ingin menguasai ruang digital ini, minimal melakukan
pengawasan.
10. Aktivisme Digital
• Aktivisme digital dan gerakan politik dalam sejarah Indonesia bukan sesuatu hal yang baru. Lim menjelaskan
bahwa era baru internet dalam kontek politik di Indonesia telah berperan sebagai ruang maya yang strategis
dimana individu dan grup menghasilkan aktivisme online secara kolektif dan menerjemahkannya menjadi
pergerakan dunia nyata di ranah offline. Lim. M. (2006). Cyber-urban Activism and Political Change in
Indonesia. Eastbound, 1 (1), 1–19.
• Koin Untuk Prita
• Cicak Vs Buaya Jilid 1 (Simulator SIM)
• Cicak Vs Buaya Jilid 2 (Penyiraman Air Keras)
• Omnibus Law (Gejayan Memanggil Dst)
• Dst
11. Bennet dan Segerberg (2012) merumuskan Tiga Tipologi Aksi
Pertama, crowd-enabled action yang dihasilkan murni dari ekspresi personal individu yang saling
menarik berbagai aksi personal lainnya. Dalam tipe ini, media digital menjadi struktur sekaligus
agen organisasi.
Kedua, organizationally-enabled action, paling sering dijumpai saat ini, di mana logika hibrid
collective dan connective action berjalan berdampingan. Tetap ada struktur formal yang
dikoordinasi oleh suatu badan organisasi, tetapi lewat media digital, organisasi membuka partisipasi
individu lewat berbagai kampanye.
Terakhir yaitu organizationally-brokered action yang berarti aksi yang terpusat oleh kontrol
organisasi tertentu. Dalam jenis aksi ini, media digital hanya digunakan sebagai perangkat atau
corong untuk menyebarkan gagasan. Anggota dan personel organisasi tetap menjadi aktor inti
dalam mobilisasi. Mereka merumuskan collective action frame untuk menarik orang berpatisipasi.
13. Tantangan & Peluang Muhammadiyah di dunia SNS (Hyung-Jun Kim, 2023)
Tantangan Peluang
• Kuatnya organisasi atas individu: aktivis susah
atas nama Muhammadiyah
• Secara stuktural, ada arus mementingkan
kreativitas
• ‘Fun’ adalah hal yang penting untuk menarik
• Wataknya generasi muda Indonesia masa kini
cair.
• Eksisnya angkatan muda yang rela
• Hal-hal yang berkait dengan keIslaman dapat
menarik hati orang awam
• Kecukupan massa yang terkait dengan amal
(murid, mahasiswa dll)
• Kecukupan acara terkait dengan Muhammadiyah
• Kegiatan SNS dapat membawa keuntungan