2. Your best quote that reflects your
approach… “It’s one small step for
man, one giant leap for mankind.”
- NEIL ARMSTRONG
3. Perkembangan Model
Kelembagaan
Kelembagaan pengelolaan perkotaan perlu dibentuk sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan sesuai dengan tipologi kawasan perkotaannya. Sementara perkembangan
model kelembagaan pengelolaan perkotaan di Indonesia saat ini pada umumnya masih
berupa model-model yang sudah banyak diterapkan seperti forum koordinasi atau
sekretariat bersama. Meskipun dari beberapa lembaga yang dibentuk telah mencoba
mengupayakan konsep kolaboratif dengan melibatkan unsur non pemerintahan, praktek
kelembagaan masih sering menemui kendala, terutama dalam hal teknis kelembagaan
dan teknis pembiayaannya. Hal ini juga berpengaruh pada saat kawasan perkotaan
yang sudah melewati batas administrasi wilayah dan membutuhkan kolaborasi
lebih dari 1 pemerintahan, yang diarahkan membentuk badan pengelola perkotaan
khusus untuk menangani permasalahan perkotaannya.
4. Identifikasi Model
Terdapat 3 (tiga) pendekatan utama dalam pengelolaan perkotaan jika merujuk
pada teori kelembagaan : fragmented, hybrid, dan consolidated.
Hasil identifikasi model kelembagaan yang berkaitan :
1. Model Pemerintah Kota
Model kelembagaan ini berada dalam lingkup satu administrasi seperti kota atau
kabupaten. Dalam pengelolaan kawasan tersebut, pemerintah daerah pada umumnya
menyerahkan kepada instansi pembangunan daerah untuk mengelola kawasan perkotaan.
a Local Strategic Partnership. Model ini banyak diterapkan di Inggris,
Australia, dan Kanada.
5. b. Local Economic Partnership lembaga non-struktural yang terbentuk
berdasarkan kerjasama sukarelawan, struktur
organisasinya dipimpin oleh 2 ketua yaitu Head
of Councillor dan Business Group Leader;
anggotanya terdiri dari seluruh departemen
teknis di daerah tersebut dan anggota grup
bisnis atau asosiasi pengusaha.
Model ini diterapkan di 38 titik permukiman
perkotaan strategis di UK
6. c. The League of Cities of the Phillippines (LCP)
asosiasi resmi pemerintah kota di Filipina yang dibentuk pada tahun 1988, anggotanya
berjumlah 145 kota dengan mandat untuk mendiskusikan dan menyelesaikan berbagai
isu tentang perkotaan dan tata kelola pemerintahannya
d. South Africa Local Government Association (SALGA)
asosiasi pemerintah daerah dengan anggota yang bersifat sukarela sebanyak 257
daerah otonom di Afrika Selatan.
e. Regional Authority Association : Metro Rhein-Frankfurt
lembaga kerja sama struktural yang terdiri dari Regional Council (adminsitratif);
terdapat departemen perencanaan di setiap kabupaten/kota otonom yang tergabung
ke dalam Planning Authority Association; serta terdapat inter-communal cooperation
(kerja sama masyarakat).
Dari sisi tata kelola, tujuan dari metropolitan ini adalah perencanaan dan
pengelolaan pembangunan perkotaan lintas kota otonom yang terintegrasi dan
berkelanjutan.
7. f. Greater Area Authority : Case Study of London 1990s
Greater Area Authority merupakan lembaga struktural yang terdiri dari
Dewan Pembina; Head of Area Authority ; Organisator Utama; Organisator
pendukung (pelayanan publik lain yang diperlukan sesuai dengan daerah
penanganan).
Dari sisi tata kelola, tujuan lembaga adalah meningkatkan kerja sama dan
integrasi antara pengembangan metropolitan dengan kota otonom utama
8. Model Formal/Informal
Pengelolaan Kawasan Perkotaan
Model formal/informal koordinasi kawasan perkotaan pada umumnya berbentuk
kerjasama antardaerah dalam mengatasi permasalahan sektor tertentu dengan
memadukan dan menyeimbangkan pelaksanaan pembangunan antardaerah
karena didasari oleh kondisi geografis, keragaman potensi sumber daya, atau terkait
kebutuhan penanganan eksternalitas.
Contoh model kelembagaan ini antara lain BKSP Jabodetabek, Kawasan Perkotaan
Jatinangor, BKAD Pawonsari, Sekber Kartamantul, Lembaga Kerjasama Regional
Barlingmascakeb.
9. a. Badan Kerja Sama Pengelolaan (BKSP) Jabodetabekjur
merupakan suatu lembaga koordinasi yang bertujuan untuk sinkronisasi program bersama yang
ada di wilayah Jabodetabekjur. Struktur lembaganya lebih kepada bentuk lembaga struktural
yang masih didominasi oleh unsur pemerintah, dengan struktur organisasi: Ketua BKSP,
Sekretariat BKSP yang terdiri dari Kepala Sekretariat dan dibantu Bagian Pembangunan, Bagian
Perekonomian, Bagian Pemerintahan dan Kesra, dan Bagian Umum. Kewenangannya hanya
sebagai lembaga koordinasi pengelolaan pembangunan di wilayah Jabodetabekjur, namun
masih terdapat tumpang tindih peran dan kegiatan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan, dan penyusunan anggaran pembangunan Jabodetabekjur dan tidak memiliki
wewenang untuk impelementasi kebijakan.
Dari sisi tata kelola, BKSP Jabodetabekjur memiliki tugas merumuskan kebijakan
pembangunan bersama di kawasan Jabodetabekjur. Fungsi hanya sebatas koordinasi
perumusan kebijakan pembangunan, penyusunan program pembangunan, pelaksanaan
pembangunan bersama, serta monitoring dan evaluasi program pembangunan bersama di
Jabodetabekjur.
Dari sisi sumber daya manusia, struktur organisasi masih diisi oleh unsur pemerintah daerah
dari Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan dari kabupaten/kota yang
terlibat kerja sama. Hubungan kerja sama yang dilakukan masih bersifat birokratis dan kaku, serta
terdapat beban kerja ganda bagi anggota kerja sama dalam melaksanakan tugas harian di daerah.
Dari sisi pembiayaan, sumber pembiayaan Sekretariat BKSP belum ada kejelasan untuk
mendukung kegiatan operasional.
10. b.Kawasan Perkotaan Jatinangor
Badan pengelola Kawasan Perkotaan Jatinangor merupakan lembaga non-struktural yang struktur
organisasinya terdiri dari Dewan Pengurus, Sekretaris, dan Sub Bagian Ketatausahaan, Sub Bagian
Inventarisasi Sumber Daya Masyarakat dan Swasta, Sub Bagian Aspirasi Masyarakat dan Informasi
Kawasan Perkotaan.
Dari sisi tata kelola, Badan Pengelola ini bertujuan mengelola kawasan perkotaan dan
mengoptimalkan peran serta masyarakat serta badan usaha swasta. Fungsinya untuk mengoptimalkan
penggalian dan pendayagunaan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat; penjaringan
aspirasi masyarakat dan badan usaha swasta kawasan perkotaan; pengembangan informasi kawasan
perkotaan; pemberian pertimbangan kepada Bupati dalam kebijakan operasional, implementasi kebijakan,
dan pemberdayaan masyarakat; dan Perumusan dan pemberian rekomendasi terhadap
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan, serta isu-isu strategis Kawasan
Perkotaan.
Dari sisi sumber daya, Dewan Pengurus berasal dari unsur pemerintah (tidak termasuk pejabat
fungsional seperti peneliti, dosen, guru, widyaiswara, dan perencana) dan non-pemerintah. Sekretariat
lembaga berasal dari non-pemerintah dan diutamakan pakar/ahli di bidang pengelolaan perkotaan atau
unsur masyarakat pemerhati kawasan perkotaan.
Dari sisi pembiayaan, sumber pembiayaan dapat berasal dari APBD Kabupaten dan sumber pendanaan
lain yang sah seperti CSR, iuran warga, sponsor perusahaan, dan sumbangan.
11. c. Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul)
merupakan lembaga kerja sama struktural dalam kerja sama antardaerah dengan struktur organisasi
meliputi: Dewan Pengarah, Pengurus Harian, Tim Teknis, dan Pelaksana Kantor. Kewenangan yang dimiliki
hanya sebagai lembaga koordinasi pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan.
Dari sisi tujuan dan fungsi, Sekber melaksanakan penyeimbangan dan harmonisasi pengelolaan
dan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan melalui fasilitasi, koordinasi, dan mediasi;
meningkatkan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan sarana dan
prasarana; serta merumuskan kebijakan teknis pengelolaan sarana dan prasarana perkotaan.
Dari sisi sumber daya manusia, struktur lembaga Sekber Kartamantul terdiri dari Dewan Pengarah
yang beranggotakan unsur pemerintah daerah yang bekerja sama dalam bidang/sektor jalan, drainase,
transportasi, persampahan, air limbah, dan air bersih. Pengurus Harian dan Tim Teknis ditunjuk
bergantian dari salah satu kabupaten/kota setiap 2 tahun. Sedangkan pelaksana kantor berasal dari
unsur non-pemerintah.
Dari sisi pembiayaan, sumber pendanaan untuk operasional sekretariat bersumber dari sharing
APBD Kabupaten/Kota, sedangkan operasional bidang kerja sama bersumber dari sharing APBD
Kabupaten/kota dan APBD Provinsi.
12. d. Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari)
BKAD Pawonsari merupakan badan kerjasama lintas wilayah yang berupa sekretariat
lembaga struktural yang melibatkan Kabupaten Pacitan (Provinsi Jawa Timur), Kabupaten
Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Gunung Kidul (Provinsi DIY). Struktur organisasi
terdiri dari: Penanggung Jawab; Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris; Koordinator Program;
Penghubung tiap Kabupaten; Kelompok Kerja (Pokja) untuk aspek pemerintahan, fisik, pariwisata,
sosial ekonomi, dan visualisasi. Kewenangannya sebagai lembaga koordinasi pengelolaan pokja-
pokja di tiap kabupaten terkait.
Dari sisi tata kelola, Sekretariat BKAD memiliki tujuan dan fungsi menyelenggarakan
kegiatan koordinasi, rencana program kerja sama dan usulan program bersama, serta
memfasilitasi penyelesaian perselisihan antarpemerintah kabupaten.
Dari sisi sumber daya manusia, struktur organisasi diisi oleh unsur pemerintah kabupaten yang
terlibat, sehingga hubungan kerja sama menjadi sangat birokratis dan kaku, serta terdapat beban
kerja ganda bagi anggota kerja sama dalam melaksanakan tugas harian di daerah.
Dari sisi pembiayaan, sumber pembiayaan Sekretariat BKAD bersumber dari iuran masing-
masing kabupaten; kemudian pembiayaan kegiatan yang sudah disetujui bersama ditanggung
masing-masing melalui APBD yang diusulkan dinas terkait; dan pembiayaan kegiatan skala besar
berasal dari APBN.
13. e. Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing Barlingmascakeb
(Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen).
Lembaga Kerjasama RM Barlingmascakeb merupakan lembaga non-struktural, dengan struktur organisasi:
Forum Regional; Dewan Eksekutif; dan Regional Manager. Kewenangannya sebagai lembaga koordinasi
pengelolaan dan pemasaran potensi dan produk unggulan dari sektor pertanian.
Dari sisi tata kelola, tujuan dan fungsinya antara lain: memfasilitasi masuknya investor di lima kabupaten
anggota; pemasaran produk-produk daerah melalui kegiatan perdagangan; dan kegiatan pengembangan wisata
regional.
Dari sisi sumber daya manusia, Forum Regional beranggotakan para Bupati dari 5 kabupaten; Dewan
Eksekutif diketuai oleh seorang Bupati dan dijabat bergiliran setiap 1 tahun, yang dibantu oleh sekretaris,
bendahara, dan tenaga administrasi. Regional Manager sebagai pelaksana operasional berasal dari unsur
profesional, yang tugasnya dibantu oleh sekretaris dan analis perekonomian dan investasi, dan analisis
pemasaran (investment, trade and tourism). Dengan pelibatan unsur pemerintah dan non-pemerintah (profesional),
hubungan kerja sama menjadi lebih dinamis.
Dari sisi pembiayaan, sumber pembiayaan operasional lembaga kerja sama berasal dari iuran APBD
Kabupaten/Kota; untuk pembiayaan kerja sama kegiatan bersumber dari bantuan lembaga donor; dan
sektor yang dikerjasamakan dikembangkan dengan membentuk Pokja seperti bidang pariwisata, pertanian,
perdagangan, dan infrastruktur untuk menggali pembiayaan dari sumber lainnya, seperti APBD Provinsi, APBN,
dan sumber lain yang sah.
14. Model Sektor Spesifik
Model pengelolaan ini juga menggunakan prinsip koordinasi di tahap awal karena
ada proses persiapan dari pemerintah untuk menyediakan pelayanan perkotaan,
yang kemudian pada praktik pelaksanaannya mengambil prinsip kolaborasi yang
melibatkan unsur non-pemerintahan, baik profesional, tenaga ahli, maupun badan
usaha swasta.
15. a. Badan Pengelolan SPAM Umbulan (PT Meta Adhya Tirta Umbulan) Surabaya.
Dalam model kerjasama ini, masing-masing pihak saling terbuka terhadap data
terkait pengelolaan air minum, harga yang ditentukan, dan sebagainya
untukmeningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proyek air minum
serta menghindari terjadinya konflik di masyarakat. Kelembagaan yang dibentuk
beserta struktur kelembagaannya diatur dalam peraturan pemerintah karena
merupakan proyek strategis nasional dan bersifat penyediaan infrastruktur publik.
b. Badan Pengelola Trans Jabodetabek (BPTJ)
BPTJ merupakan lembaga stuktural yang menangani pengelolaan transportasi
wilayah kawasan perkotaan Jabodetabek, struktur organisasinya terdiri atas Kepala
BPTJ, dan dibantu dengan Direktorat Prasarana, Direktorat Lalu Lintas,
danDirektorat Angkutan. BPTJ juga memiliki Sekretariat dan terdapat Kelompok
Kerja yang menangani penyediaan pelayanan transportasi.
16. Model Private Led Initiative
Model kelembagaan ini berupa kerja sama pemerintah daerah dan pihak swasta
dalam mengelola suatu kawasan, dimana pihak swasta bertanggung jawab dalam
merencanakan, membangun, mengoperasikan, mengelola, memelihara,
merawat bangunan, serta penyediaan sarana dan prasarana yang ada di suatu
kawasan. Model kelembagaan ini mengadop teori kolaborasi yang
mengedepankan peranan non-pemerintahan lebih besar dan memiliki kewenangan
pengelolaan secara menyeluruh
17. a. Pengelolaan Kawasan SCBD (PT Danayasa Arthatama)
Kawasan SCBD diarahkan dan direncanakan secara terpadu menjadi sebuah
kawasan superblok yang bertaraf internasional. Pihak swasta memiliki wewenang
untuk menyusun peraturan kawasan yang menjadi pedoman semua pihak, baik
perusahaan yang menjadi pengembang atau pengelola maupun juga para pemilik
bangunan untuk mematuhi peraturan kawasan tersebut. Peraturan yang dibentuk
memuat tentang pengaturan lingkungan, pengelolaan kawasan, serta keselamatan
dan kesehatan kerja.
18. b. Business Improvement District (BID)
BID diperkenalkan di Amerika Serikat dan Inggris sejak tahun 1980an,
kemudian diterapkan di beberapa negara lain seperti Australia, India, dan Kanada.
Pada dasarnya BID merupakan suatu Kawasan yang dikelola oleh swasta dan
masyarakat atas pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti misalnya: ekonomi
strategis, atau sebaliknya, secara ekonomi mengalami degradasi namun memiliki
potensi.
Model BID seringkali disamakan dengan skema vendor di mana pengelolaan
kawasan diserahkan oleh pemerintah kepada pihak ketiga dengan kontrak
kesepakatan yang memberi keuntungan dan tanggung jawab pada dua belah pihak.
19. Model Kawasan Ekonomi/Bounded
Zone
Model pengelolaan dengan tipe kawasan ekonomi merupakan pemberian wewenang
kepada suatu lembaga yang dibentuk Pemerintah untuk mengelola suatu kawasan yang
ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional berupa kawasan ekonomi khusus atau
kawasan industri. Model kelembagaan ini mengadop teori kolaborasi yang memberikan
wewenang kepada badan pengelola khusus untuk melaksanakan pengelolaan suatu
kawasan.
Salah satu contohnya adalah Badan Pengusahaan (BP) Batam yang diberi wewenang
untuk mengelola penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di
Pulau Batam.
20. Model Kawasan Pengelolaan
Model kelembagaan kawasan pengelolaan merupakan bentuk pengelolaan dalam
meremajakan kawasan perkotaan atau penanganan masalah prioritas di
kawasan perkotaan. Model kelembagaan ini mengadop teori kolaborasi yang
memberikan kewenangan kepada badan pengelola khusus untuk pengelolaan
perkotaan. Sebelum pelaksanaan dengan prinsip kolaborasi, tetap dilakukan
koordinasi pada tahap awal terutama untuk merumuskan kebijakan dan strategi
program pengelolaan perkotaan
21. a. Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Komplek (BLU PPK) Kemayoran
Kawasan Kemayoran menurut sejarahnya merupakan kawasan bekas bandar udara Kemayoran yang kemudian
diambil alih fungsinya oleh negara setelah didirikannya bandar udara yang baru yaitu Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta. Dengan luas sekitar ± 454 Ha dan lokasinya yang strategis di pusat Kota Jakarta
menjadikan kawasan Kemayoran perlu mendapat perhatian lebih dalam proses mengembangkan kawasan
b. Area-based initiative /Area-committee Initiative
Area-based initiative merupakan lembaga non-struktural yang struktur organisasnya terdiri dari Chief
Executive Officer (CEO), Head of Department/Cabinet, dan Area Committees. Model kelembagaan ini umumnya
diterapkan dalam pengelolaan kawasan skala kecil dan menengah. Penerapannya pertama kali di beberapa
kawasan permukiman di Inggris, seperti di Newcastle, Stoke, Liverpool, dan Exeter, bertujuan untuk
mereorganisasi struktur pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan terkait dengan pengelolaan
lingkungan. Area-based committee pada dasarnya adalah pemberian otoritas dan pengaruh yang lebih singnifikan
bagi aktor masyarakat dalam proses pengelolaan permukiman melalui komite masyarakat yang memiliki
kedudukan setara dengan council. Hak-hak yang muncul dalam model ini antara lain hak menyampaikan
pendapat, mengawal proses negosiasi dan penyusunan rencana, dan memonitor proses pelaksanaan
program. Area-based Initiative banyak digunakan untuk pengelolaan peremajaan kawasan, dengan sasaran
a g a r masyarakat dapat menyampaikan aspirasi tentang permasalahan serta harapan apa yang perlu untuk
difokuskan dalam peremajaan tersebut.
22. c. Metro Vancouver Canada (campuran model pemerintah kota)
Metro Vancouver di Kanada merupakan suatu konsorsium dari 22 kota yang saling
berkolaborasi dan membentuk suatu kerja sama regional. Di negara Kanada, struktur
dan kewenangan pemerintah kota dan kawasan regional ditentukan oleh pemerintah
provinsi. Regionalisasi Metro Vancouver merupakan kolaborasi pemerintah kota
untuk memenuhi pelayanan publik yang lebih efektif dan murah, mengangkat
pendelegasian tanggungjawab dalam memberikan pelayanan tersebut ke level
lembaga regional, serta menegaskan wewenang lembaga regional dalam menyediakan
pelayanan publik melalui peraturan atau kebijakan provinsi.
23. Dari review kelembagaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hampir
seluruh model kelembagaan mengutamakan prinsip koordinasi pada tahap awal dalam
perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan perkotaan, dan kemudian disepakati
pengelolaannya dengan menggunakan prinsip kerja sama atau kolaborasi. Dengan
demikian dapat dipetakan kelembagaan-kelembagaan tersebut berdasarkan teori
pengelolaan dengan model koordinasi, kerja sama, dan kolaborasi. Dari review yang ada
memperlihatkan bagaimana kecenderungan perkembangan pengelolaan perkotaan saat
ini. Model kolaborasi paling banyak diadopsi, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dari kajian berbagai model kelembagaan tersebut di atas, terdapat beberapa temuan
yang menjadi pertimbangan untuk mengusulkan bentuk alternatif kelembagaan kerja sama
pengelolaan perkotaan, seperti diuraikan berikut ini.
24. No Aspek Uraian
1 Bentuk
Kelembagaan
Pengelolaan perkotaan dapat dilakukan melalui berbagai bentuk kelembagaan, baik
hanya melibatkan unsur pemerintah maupun kolaborasi antara pemerintah dan
unsur non- pemerintah, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kawasan yang
dikelolanya.
Namun demikian, meskipun lembaga pengelolaan yang dibentuk secara non-
struktural dan didominasi oleh peran aktor dari pihak swasta, lembaga
pemerintah tetap ditempatkan/dilibatkan sebagai regulator dan pembina.
2 Tata Kelola Tata kelola perkotaandapat ditempuhdengan dua pendekatan utama, yakni pengelolaan
secara business as usual (koordinasi antarinstansi dalam upaya peningkatan
kinerjapengelolaan perkotaan) dan pengelolaan secara professional dengan mulai
melibatkan unsur non-pemerintah termasuk masyarakat.
Program-program pengelolaan perkotaan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pengelola perkotaan umumnya bersifat sektoral.
Pada tataran administrasi, umumnya tata kelola perkotaan dilakukan oleh unsur
pemerintah, sementara pada tataran teknis dan sektor, tata kelola perkotaan
mulai banyak diserahkan pada kolaborasi unsur pemerintah dan non- pemerintah
atau dikelola secara professional oleh non- pemerintah, khususnya swasta.
25. No Aspek Uraian
3 SumberDaya
Manusia
Pelibatan SDM di dalam pengelolaan perkotaan sudah sangat bervariasi. Tidak hanya SDM
dari Lembaga pemerintah, banyak bentuk kelembagaan yang merekrut SDM dari
kalangan swasta, NGO, akademisi, dan kelompok masyarakat independen.
4 Pembiayaan Pembiayaan pengelolaan perkotaan dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk
kerjasama pemerintah swasta, investasi swasta murni, hibah internasional, bahkan
dana masyarakat, namun demikian pembelajaran dari berbagai studi kasus menunjukkan
bahwa dana pemerintah (dalam bentuk anggaran belanja tahunan dan pembiayaan
program strategis) masih cukup berperan.
26. Model Kelembagaan Berdasarkan Kompleksitas Permasalahan
No Tipologi Kategori Perkotaan
Jumlah
Penduduk
Model Kelembagaan
Fragmented Hybrid Consolidated
1 Kawasan Perkotaan Sebagai
Daerah Otonom
Contoh: Kota Banjar
- - V
(dengan penguatan
kelembagaan eksisting)
2 Kawasan Perkotaan Bagian
dari Sebuah Kabupaten
Contoh: Kawasan Pelabuhan
Ratu (Kab. Sukabumi)
- -
V
(dengan penguatan
kelembagaan eksisting)
3 Kawasan Perkotaan Bagian
dari Dua atau Lebih
Kabupaten/Kota Berbatasan
dalam Satu Provinsi
Contoh: Kawasan Cekungan
Bandung, Metropolitan
Mamminasata
Metropolitan >1.000.000 V (2)
Perkotaan Besar 500.000-1.000.000 V (1)
Perkotaan Sedang 500.000-100.000 V
Perkotaan Kecil 50.000-100.000
V
4 Kawasan Perkotaan Bagian
dari Dua atau Lebih
Kabupaten/Kota Berbatasan
Lintas Provinsi
Contoh: Metropolitan
Jabodetabekjur
Metropolitan >1.000.000 V (3) V
Perkotaan Besar 500.000-1.000.000 V (2)
Perkotaan Sedang 500.000-100.000 V (1)
Perkotaan Kecil 50.000-100.000 V
27. Untuk kawasan perkotaan yang kategorinya sudah masuk sebagai kawasan perkotaan
sedang, besar dan metropolitan, membutuhkan bentuk kelembagaan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
1. Forum Kerja Sama, diarahkan dibentuk untuk kawasan perkotaan sedang (lintas
kabupaten/kota lintas provinsi) dan kawasan perkotaan besar (lintas kabupaten/kota dalam 1
provinsi) yang memberikan kontribusi ekonomi di bawah 5% terhadap nasional.
2. Badan Perkotaan Provinsi, diarahkan dibentuk untuk kawasan perkotaan besar (lintas
kabupaten/kota lintas provinsi) dan perkotaan metropolitan (lintas kabupaten/kota dalam 1
provinsi) yang memberikan kontribusi ekonomi 5-10% terhadap nasional.
3. Badan Otorita, diarahkan dibentuk untuk kawasan perkotaan khusus bersifat nasional atau
memiliki kontribusi ekonomi di atas 10% terhadap nasional, pada umumnya sudah lintas
kabupaten/kota dan lintas provinsi. Badan ini memiliki kewenangan pengelolaan perkotaan
yang menitikberatkan penanganan urusan yang berbasis jaringan (bersifat eksternalitas),
sedangkan urusan di luar jaringan diserahkan kepada kabupaten/kota masing-masing.
4. Consolidated (New Authority), diarahkan untuk kawasan perkotaan baru dengan
melakukan peleburan administrasi kabupaten/kota yang bergabung dalam satu entitas baru.
28. Usulan Model dan Bentuk Pengelolaan
Perkotaan di Indonesia
Fragmented Hybrid Consolidated
Unitary
Of Power
(New
Authority)
Disperse of
Power
(Existing
Authorities)
Forum
Kerja
Sama
Badan
Otorita
Badan
Perkotaa
n
Provinsi
Fragmented/
Otonom:
Forum
Koordinasi
Derajat
Urbanis
asi
Komple
ks
Kurang
Kompleks
Merger
Badan
Otorita
Badan
Perkotaan
Provinsi
Kerja
Sama
Otonom
Consolidated/
Merger:
New Authority
Hybrid:
(1): Forum Kerja Sama
(2): Badan Perkotaan Provinsi/
Pengelola
(3): Badan Otorita
29. A. Model Pengelolaan Perkotaan Fragmented:
Bentuk Konvensional Penyelenggaraan Perkotaan
Berbasis Koordinasi Lintas Sektor dan Daerah
Model pengelolaan fragmented mengadopsi prinsip menghormati otoritas masing-
masing daerah dan sektor. Tidak ada yang dikonsolidasikan di sini, dan pada
dasarnya, komunikasi yang dijalin antar daerah maupun antar sektor lebih bersifat
komunikatif, mediasi, dan menyelesaikan tanpa intervensi dan kontrak mengikat.
Banyak keputusan yang diambil dari hasil koordinasi adalah bersifat sugestif dan
bisa diikuti atau tidak, tergantung kesediaan daerah tersebut dan pertimbangan
apakah secara ekonomis atau lainnya menguntungkan atau merugikan daerah
tersebut.
30.
31. B. Model Pengelolaan Perkotaan Hybrid: Kerjasama Lintas
Sektor dan Daerah yang Lebih Terintegrasi
Model pengelolaan hybrid mengadopsi prinsip menghormati otoritas masing-masing
daerah dan sektor namun mulai mendorong adanya wadah khusus untuk
mengkomunikasikan urusan eksternalitas atau urusan lintas batas. Biasanya model ini
dikembangkan apabila terjadi atau apabila daerah-daerah tersebut memiliki hal teknis
tertentu yang perlu dibahas secara lebih mendalam seperti pengelolaan air, listrik,
transportasi, persampahan, bahkan urusan strategis seperti batas wilayah dan keamanan.
Meskipun belum ada yang dikonsolidasikan di sini, komunikasi yang dijalin antar daerah
maupun antar sektor mulai bersifat mengikat secara semi-formal. Antar daerah berinteraksi
lebih bersifat komunikatif, mediasi, dan menyelesaikan dan dikawal melalui proses yang
disaksikan bersama di dalam wadah kerjasama, baik itu berbentuk forum, badan perkotaan,
maupun otorita. Keputusan yang diambil dari hasil koordinasi adalah bersifat sugestif dan
masih bisa diikuti atau tidak, tergantung kesediaan daerah tersebut dan pertimbangan
apakah secara ekonomis atau lainnya menguntungkan atau merugikan daerah tersebut.
32.
33.
34.
35. C. Model Consolidated (Penggabungan Daerah)
Model consolidated merupakan model penggabungan daerah dengan
pertimbangan kebutuhan peleburan administrasi. Penggabungan merupakan salah
satu instrumen yang secara otoritas politik menarik sepenuhnya dan mengatur kembali
sektor publik lokal untuk wilayah tertentu. Penggunaan instrumen ini dapat bersifat
sukarela (opsional) dimana pemerintah daerah dapat mengambil inisiasi untuk
mengambil keputusan, namun di sisi lain juga dapat bersifat koersif (wajib) apabila
berasal dari keputusan pihak pemerintah yang mengawasi perkembangan wilayahnya
(dalam hal ini pemerintah pusat).