Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. 38 Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 1-55
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
DalamMewujudkan Good Governance
IRWAN WARIS
Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Tadulako,
Kampus Bumi Bahari Tadulako, Tondo, Palu, Sulawesi Tengah, Telp/Fax (0451) 422966
Abstract: Changing paradigms sentralized become decentralized, it is not easy. The problem is the conception
of centralization has been understood by the people during the Dutch colonial era, the end of the Sukarno
government (Guided Democracy), and in the reign of Suharto (New Order). It is therefore not too surprising
that the management of decentralization in the form of regional autonomy by using the concept of good
governance does not take place as expected. The application of this conception in the visible region was still
loaded with centralistic conception. The question is, should we give up? Should not give up, because something
new is to be learned while implemented. The thing to keep in mind is, in the learning phase should not be too
long and costly, especially at the expense of the people.
.
Keywords: Sentralized, decentralized, and good governance.
Sejak tumbangnya Rezim Soeharto (Orde
Baru), 21 Mei 1998, Indonesia memasuki fase
baru dalam system politik dan pemerintahan,
yakniterjadinyapergeseranparadigmadarisen-
tralisasi ke sistem desentralisasi. Kalangan
ReformisyangberhasilmenumbangkanRezim
OrdeBaru,salahsatucita-citanyaadalahmeng-
ganti system sentralisasi dengan sistem desen-
tralisasi sebagai bagian dari demokratisasi dan
menjalankannya menurut konsep good gover-
nance.
Jikadirujukkebelakangsebelumtumbang-
nyarezimOrdeBaru,dalamkurunwaktuyang
cukuplama,Indonesia menjadikan paradigma
pembangunansebagailandasannilaiyangmen-
jadiacaundariseluruhkebijakanpemerintahan.
Untuk memudahkan pelaksanaan paradigma
yangberorientasipembangunanini,pemerintah
Orde Baru menerapkan system pemerintahan
yangsentralistik,paternalistik,dansangat birok-
ratik (birocratic polity).Waktu itu GBHN dan
Repelita sebagai instrument utama dari penye-
lenggaraanpemerintahanOrdeBarusaratdengan
konsep dan rencana pembangunan yang mem-
perlihatkan pola sentralistik itu. Untuk melak-
sanakannya,pemerintahtampilsebagaipemeran
utamadaripembangunannasionalitu.Tujuannya
jelas:akselerasipembangunan.Pilihaninidiambil
karena di bawah pemerintahan sebelumnya,
ekonominasionalIndonesia memangterpuruk,
dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan
yang sangat tinggi. Di lain sisi investasi asing
dapatdikatakanhampirnihil.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan
paradigmapembangunanyangdilaksanakanoleh
Orde Baru itu. Hanya saja setelah dijalankan
sekian lama ternyata menimbulkan implikasi,
yakni terselenggaranya system pemerintahan
yang sentralistik. Sistem ini harus diterapkan,
karena menurutpemerintahpembangunanhanya
dapatterlaksanajikaterciptastabilitaspolitikdan
keamanan,katalaindaripembungkamanpartisi-
pasi politik rakyat. Dalam perkembangannya
pelaksanaan pembangunan menjadi terpusat,
partisipasirakyatdinafikan,rakyathanyamenjadi
objek pembangunan, dan pemerintah daerah
menjadi pelengkap saja dari sistem pemerin-
tahan nasional tanpa perlu berbuat apa-apa,
terutamadalamhalperencanaan.Dalamkonteks
ini terjadi perencanaan dan pengendalian ter-
pusat. Hal itu juga mengharuskan adanya pe-
nyeragamansistemorganisasipemerintahdaerah
danmanajemenproyekyangdikembangkandi
daerah.
127
2. 39
Sebagai akibatnya, kata M. Ryaas Rayid
(2002), penerapan pendekatan terpusat itu
menghasilkan suatu keadaan semakin kuatnya
ketergantungandaerahkepadapemerintahpusat.
Hal inilah kemudian menjadi salah satu peng-
hambat dari sekian banyak penghambat dalam
pelaksanaanpemerintahandaerahdalambentuk
otonomi daerah di era desentralisasi yang ter-
laksanadewasaini.Selainitu,dibidangpolitik,
rakyatberadapadaposisisebagaiobjekpolitik.
Partisipasi rakyat dibungkam, sehingga demo-
krasi hanya menjadi retorika penguasa tanpa
pernahmewujuddilapangan.
Di era reformasi ini, tepatnya sejak tahun
2001, paradigma sentralisasi berubah menjadi
desentralisasidengandiberlakukannyaUndang-
undangNo.22Tahun1999tentangPemerintahan
DaerahdanUndang-undangNo.25Tahun1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Kedua undang-undang itu, daerah
(provinsi dan kabupaten/kota) memperoleh
kewenangan dalam bentuk otonomi daerah
sebagai konsekwensi dari desentralisasi untuk
mengatur dan mengelola wilayahnya sendiri
bersama-samadenganrakyatdenganmelibatkan
kearifan lokal. Menurut kedua undang-undang
inipemerintahpusathanyamemilikilimakewe-
nangan, yakni di bidang pertahanan dan ke-
amanan; hukum; agama; fiskal; dan hubungan
luar negeri.Akan tetapi setelah kedua undang-
undang ini diberlakukan selama kurun waktu
2001-2004 dirasakan banyak hal yang kurang
sesuaidankurangbermanfaatbaikdalamkonteks
perkembangan pemerintahan daerah maupun
pusat. Karena itu pada tahun 2004 dilakukan
revisi terhadap kedua undang-undangtersebut
untukkemudianlahirlahUndang-undangNo.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang
PerimbanganKeuanganPusatdanDaerah.
Topik mengenai pergeseran paradigma
sentalisasikedesentralisasidalammewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) penting dikaji disebabkan desen-
tralisasi dan good governance, adalah bagian
dari demokratisasi yang sedang dijalankan de-
wasa ini.Artinya dalam kehidupan demokrasi,
sistem pemerintahan yang diterapkanharuslah
sistem desentralisasi yang dalam pelaksanaan-
nya haruslah merujuk pada konsep good
governance.Jikamerujukpadasaattumbangnya
Orde Baru tahun 1998, maka itu berarti para-
digmabaruinitelahterselenggaraselamakurang
lebih11tahun.Artinyasecarateoretikmestinya
telah banyak hal yang dihasilkan, khususnya
dalamhalpengelolaanpemerintahandidaerah.
Akantetapisepertiaparealitasnya?Pertanyaan
iniperludijawabmelaluipengkajian.Tulisanse-
derhana dan sepintas ini berpretensi menjawab
pertanyaantersebut.
Pemerintahanyangsentralistikdilaksanakan
oleh regim Orde Baru – Soeharto kurang lebih
32 tahun lamanya. Bahkan jika dihitung sejak
JamanDemokrasiTerpimpinyangdilaksanakan
oleh Soekarno sejak tahun 1959-1968 (Demo-
krasiTerpimpin)yangjugamenerapkansystem
pemerintahan sentralistik, maka sebetulnya
rakyat negeri ini berada pada kondisi peme-
rintahan sentralistik kurang lebih 39 sampai
dengan 40 tahun. Kurun waktu 40 tahun itu
bukanlah waktu singkat. Kurun waktu lama
tersebut sesungguhnya telah membentuk satu
generasi.Generasiyangdimaksudadalahgene-
rasi yang terbiasa dengan pemikiran mengenai
pengelolaanpemerintahandanpolitikyangsen-
tralistikdanpaternalistik.Generasiiniditengarai
tidak terbiasa berprakarsa; tidak terbiasa me-
ngambilresikountukkepentinganrakyat;tidak
terbiasamengelolapembangunantanpainstruksi;
terbiasa mengelola pemerintahan dengan cara-
cara KKN; dan seterusnya. Ironisnya, generasi
ini sebagian besar masih mengisi kursi-kursi
pemerintahandalamartiluasdidaerah(eksekutif,
legislatif,danyudikatif).Halinikemudianme-
nimbulkan permasalahan dalam penerapan
paradigmbarupemerintahanyaknidesentralisasi
termasuk tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance) yang merupakan dua hal
yangsalingberhubungandansalingmelengkapi
dalamkontekspelaksanaandemokrasi,khusus-
nya di daerah. Sebab generasi lama atau elite
lama ini secara sadar atau tidak tetap berupaya
melanggengkancara-caralamayangsentralistik.
Sebagai akibatnya masih kelihatan beberapa
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
3. 40 Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 1-55
prakteksentralistikitusebagaimanadikemuka-
kanberikutini:
1. Munculnya “raja-rajakecil”yangmemerintah
didaerah,baikditingkatprovinsimaupundi
kab/kota
2. Rendahnya tingkat kepatuhan pemerintah
kab/kotaterhadappemerintahprovinsi
3. Rendahnyatingkatkoordinasidalampelak-
sanaanpembangunanditingkatkab/kotadan
dalamhubungannyadenganprovinsi
4. PengelolaanSDAolehkab/kotadanprovinsi
yangcenderungkebablasan
5. Tatakelolapemerintahan(goodgovernance)
masihsebatasretorikapolitik
6. Rendahnya kemampuan menggali potensi
daerah
7. Kecenderungan mengabaikan profesiona-
lismedalampelaksanaanpemerintahan.
Sebetulnya daftar masalah ini masih dapat
diperpanjang, akan tetapi untuk konteks pem-
bahasan ini cukup hal yang disebutkan di atas
sajayangdibahasuntukmemperlihatkanbetapa
karut-marutnyapelaksanaandesentralisasi(oto-
nomidaerah), apalagijikadikaitkandengantata
kelola pemerintahan yang baik (good gover-
nance).
METODE
Penelitian ini tergolong ke dalam analisis
deskriptifyangmenjelaskantentangpergeseran
paradigma sentralisasi ke desentralisasi dalam
mewujudkan good governance. Pembahasan
diarahkan kepada pergeseran paradigma ter-
sebut dapat mewujudkan good governance.
Sementaraituinformanpenelitianadalahinforman
yangpahamakanpemerintahandieraotonomi
daerah dan informasi lainnya yang dapat men-
dukungpenjelasan.
HASIL
Sentralisasi dan Desentralisasi
Sistempolitikyangsentralistik,bertentangan
dengan demokrasi. Sistem ini menempatkan
penguasasebagaipihakyangpalingutama.Semua
halyangdikerjakanharusseizinpenguasa.Sistem
politik didesain sedemikian rupa sehingga par-
tisipasi rakyat di bidang politik seolah-olah
berlangsung,padahalsesungguhnyayangterjadi
adalah pemasungan hak-hak politik rakyat.
Partai politik biasanya dibiarkan hidup, akan
tetapi harus tunduk pada kemauan penguasa.
Partaipolitikdibuatsebagaibagiandarisystem
politik bukan untuk menegakkan demokrasi,
akantetapisebagaialatlegitimasibagipenguasa
untukmensakralkankekuasaannya.
DalamkonteksiniMiriamBudiardjo(1981),
mengemukakan:setelahusainyaPerangDunia
II banyak sekali Negara yang tadinya dijajah,
kemudian berhasil memperoleh kemerdekaan-
nya. Pada umumnya Negara-negara baru itu,
biasadisebutNegaraberkembang,menjadikan
demokrasisebagailandasansystempolitiknya.
Akan tetapi demokrasi itu tidak dilaksanakan
sepenuhnya.Prinsip-prinsipautoritarianmasih
tetapdipegangmeneruskankebiasaanpenjajah-
nya.Alasanlainnya,rakyatnegara-negarabaru
itu belum sepenuhnya memahami demokrasi,
sehingga dalam pelaksanaannya rakyat harus
dibimbingdandiarahkan.Dalamkonteksmem-
bimbingdanmengarahkanitu,penguasabiasanya
otoriter.
Untuk konteks Indonesia selama kurang
lebih 32 tahun kekuasaan Soeharto, dan sebe-
lumnyaselamamasaakhirkekuasaanSoekarno,
sistem politik di desain untuk terlaksananya
systemsentralisasi.Selamakurunwaktuitupula
terjadi perubahan secara gradual pada rakyat
Indonesia. Sungguhpun rakyat berada dalam
genggaman kekuasaan yang sentralistik, tetapi
harus diakui terjadi perubahan secara gradual
pada kehidupan rakyat sebagai akibat pemba-
ngunan.Perubahandimaksudantaralainadalah
mulaimembaiknya:tingkatpendidikan,tingkat
ekonomi, keterbukaan terhadap informasi,
mobilitaspendudukbahkanhinggamancanegara
yangmenghasilkanpengalaman,danseterusnya.
Halinikemudianmenghasilkankelasmenengah
yangsudahbisamenilaikeadaandanmerubah-
nya menjadi tuntutan agar perlunya perubahan
paradigmadaripembangunancentrisyangsen-
tralistikmenjadiparadigmdesentralistikyangadil
bagi rakyat dan menghasilkan pola hubungan
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
4. 41
antara pusat dan daerah yang lebih adil dan
partisipastif.Tuntutaninisebetulnyaadalahbagian
dari tuntutan akan demokratisasi atau perlunya
pelaksanaandemokrasiyangsesungguhnya.Hal
inilahyangmenjadituntutanolehkaumreformis
dan berusaha diterapkan saat mereka berhasil
menumbangkanRegimSoeharto.
Desentralisasimerupakankonsekuensidari
demokratisasi.Desentralisasiadalahazaspenye-
lenggaraanpemerintahanyangdipertentangkan
dengansentralisasi.Desentralisasimenghasilkan
pemerintahanlokal,sebabdisanaterjadi“…a
superior government assigns responsibility,
authority, or function to ‘lower’government
unit that is assumed to have some degree of
authority.Adanyapembagiankewenanganserta
tersedianya ruang gerak yang memadai untuk
memaknaikewenanganyangdiberikankepada
unitpemerintahanyanglebihrendah(pemerintah
local), merupakan perbedaan terpenting antara
konsepdesentralisasidansentralisasi.
UU. No. 32Tahun 2004Tentang Pemerin-
tahan Daerah mendefenisikan desentralisasi
sebagai penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalamsistemNegaraKesatuanRepublikIndonesia.
Penyerahan kewenangan kepada daetah
otonom berupa otonomi daerah ini oleh peme-
rintah (pemerintah pusat) dimaksudkan dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
NegaraRepublikIndonesiaTahun1945,peme-
rintahan daerah, yang mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomidantugaspembantuan,diarahkanuntuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan mas-
yarakat melalui peningkatan, pelayanan, pem-
berdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan mem-
perhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, ke-
adilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerahdalamsistemNegaraKesatuanRepublik
Indonesia;
Selanjutnyadidalammenimbangdidalam
undang-undang ini disebutkan bahwa efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih mem-
perhatikanaspek-aspekhubunganantarsusunan
pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah,
potensi dan keanekaragaman daerah, peluang
dan tantangan persaingan global dengan mem-
berikankewenanganyangseluas-luasnyakepada
daerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
alamkesatuansistempenyelenggaraanpemerin-
tahan Negara.
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good
Governance)
Istilah good governance pertama kali
dipopulerkanolehlembagadanainternasional,
sekitar tahun 90-an. Di masa pemerintahan
Soeharto, lembaga dana internasional sangat
rajin memberikan bantuan kepada Indonesia.
Atas nama pembangunan di segala bidang,
Soeharto ketika itu memang sangat gemar
mencariutangandiluarnegeri.MenurutSumarto
(2004) lembagadanainternasionalsepertiWorld
Bank, UNDP, IMF dan lain-lain dalam rangka
menjamin dan menjaga kelangsungan dana
bantuan yang diberikan kepada negara-negara
sasaran bantuan. Menurut badan Internasional
itu,bantuaninternasionaluntukpembangunan di
negara-negara dunia ketiga, terutama negara
berkembang, sulit berhasil tanpa adanya good
governance. Karena itu, good governance
kemudian menjadi isu sentral dalam hubungan
lembaga-lembaga multilateral tersebut dengan
negara-negara sasaran.
Istilah governance seringkali dikacaukan
dengan istilah government. Government dapat
diterjemahkan secara bebas, pemerintah. Jika
demikianhalnyamakaistilahpemerintahdapat
dipahamisebagailembagabesertaaparaturnya
yangmempunyaitanggungjawabuntukmengurus
negara dan menjalankan kehendak rakyat.
Kecenderungannya lebih tertuju kepada lem-
baga eksekutif/kpresidenan (executive heavy).
Dalam pada itu istilah governance penger-
tiannya lebih kompleks. Dikatakan lebih kom-
pleks,sebabmenyangkutbeberapapersyaratan
yang terkandung di dalam terminologinya. Hal
ini dikarenakan dalam good governance
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
5. 42 Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 1-55
diwajibkan keterlibatan tiga pilar (komponen),
yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat. Hubungan ketiganya harus dalam
posisi seimbangdansalingkontrol(checksand
balances),untukmenghindaripenguasaanatau
ekploitasi oleh satu komponen terhadap kom-
ponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih
tinggi daripada yang lain, yang terjadi adalah
dominasikekuasaanatauduakomponenlainnya.
DalamkonteksiniSumartomengemukakan:
Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek
dan tata cara pemerintah dan warga mengatur
sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah
public. Dalam konsep governance, pemerintah
hanya menjadi salah satu actor dan tidak selalu
menjadi actor paling menentukan. Implikasinya,
peran pemerintah … menjadi badan pendorong
terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi
pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk
ikut aktif melakukan upaya tersebut.
Berdasarkan argumentasi di atas dapat di-
kemukakan defenisi good governance, yaitu:
pencapaian kondisi pemerintahan yang ter-
selenggarasecaraseimbang dengankerjasama
individu dan lembaga, serta antara pemerintah,
duniausahaswasta,danpihakmasyarakat.Hal
iniberartimasing-masingpilarharussalingtahu
apa yang dilakukan oleh pilar lainnya.Adanya
ruangdialogdapatmembantuprosessalingme-
mahamiperbedaan-perbedaandiantaramereka.
Melaluiprosestersebutdiharapkanakantumbuh
consensusdansinergidalammasyarakat.
Good governance yang diusung oleh tiga
pilar, didalamnya terdapat berbagai prinsip.
Pendapatbanyakpihakitumisalnyadikemuka-
kanolehWorldBank,UNDP,JICA,danbanyak
pihaklainnya.Dariberbagaipandanganmengenai
prinsipyangharusdijalankansehubungandengan
pengelolaan good governance ini, Bappenas
(2007)palingtidakmenetapkan14unsur,yakni:
Wawasan ke depan (Visionary); Keterbukaan
dan Transparansi (Openness and Transpa-
rency); Partisipasi masyarakat (Participation);
Tanggung gugat (Accountability); Supremasi
hukum(Ruleoflaw);Demokrasi(Democracy);
Professionalisme dan Kompetensi (Profesio-
nalism and Competency); DayaTanggap (Res-
ponsiveness).Penjelasanmasing-masingunsure
dikemukakansebagaiberikut:
· Wawasan ke depan (Visionary)
Semuakegiatanpemerintahanberupapela-
yanan publik dan pembangunan di berbagai
bidangseharusnyadidasarkanatasvisidanmisi
yangjelasdisertaistrategipelaksanaanyangtepat
sasaran.Lembaga-lembagapemerintahanpusat
dandaerahprlumemilikirencanastrategissesuai
denganbidangtugasmasing-masingsebagaipe-
gangan dan arah pemerintahan di masa men-
datang.
· Keterbukaandantransparansi(Opennessand
Transparency)
Unsurinimerujukpadaketersediaaninfor-
masidankejelasanbagimasyarakatumumuntuk
mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan,
serta hasil yang telah dicapai melalui sebuah
kebijakan publik. Semua urusan tata kepeme-
rintahanberupakebijakan-kebijakanpublik,baik
yangberkenaandenganpelayananpublikmau-
pun pembangunan di daerah harus diketahui
publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan
kebijakanpublikharusdapatdiaksesolehpublik.
Demikian pula informasi tentang kegiatan pe-
laksanaan kebijakan tersebut beserta hasil-
hasilnya harus terbuka dan dapat diakses oleh
publik. Dalam hal ini, aparatur pemerintahan
harus bersedia secara terbuka dan jujur mem-
berikaninformasiyangdibutuhkanpublik
· Partisipasi masyarakat (Participation)
Partisipasi masyarakat merujuk pada ke-
terlibatanaktifmasyarakatdalampengambilan
keputusanyangberhubungandenganpenyeleng-
garaan pemerintahan. Partisipasi masyarakat
mutlakdiperlukanagarpenyelenggarapemerin-
tahan dapat lebih mengenal warganya berikut
carapikirdankebiasaanhidupnya,masalahyang
dihadapinya,caraataujalankeluaryangdisaran-
kannya, apa yang dapat disumbangkan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi, dan seba-
gainya. Dengan demikian kepentingan masya-
rakat dapat disalurkan di dalam penyusunan
kebijakan sehingga dapat mengakomodasi se-
banyak mungkin aspirasi dan kepentingan
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
6. 43
masyarakat, serta mendapat dukungan mas-
yarakatluas.Kehadirandankeikutsertaanwarga
masyarakatdalamforumpertemuanpublik,serta
keaktifan mereka dalam menyumbangkan pi-
kiran dan saran menunjukkan bahwa urusan
pemerintahan juga menjadi urusan mereka dan
bukan semata urusan birokrat.
· Tanggung gugat (Accountability)
Adalah suatu ukuran atau standar yang
menunjukkanseberapabesartingkatkesesuaian
penyelenggaraanpenyusunankebijakanpublik
dengan peraturan hukum dan perundang-
undanganyangberlakuuntukorganisasipublik
yang bersangkutan. Pada dasarnya, setiap pe-
ngambilan kebijakan publik akan memiliki
dampak tertentu pada sekelompok orang atau
seluruh masyarakat, baik dampak yang me-
nguntungkanataumemrugikan,maupunlangsung
ataupun tidak langsung. Oleh karena itu,
penyusunankebijakanpublikharusdapatmem-
pertanggungjawabkan setiap kebijakan yang
diambilmnyakepadapublik.
· Supremasi hukum (Rule of law)
Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya
pemberdayaanlembaga-lembagapenegakhukum,
penuntasan kasus KKN dan pelang-garan
HAM, peningkatan kesadaran HAM, pening-
katan kesadaran hukum, serta pengembangan
budaya hukum. Tidak diterapkannya prinsip
supremasi hukum akan menimbulkan ketidak-
pastiandalampenyelenggaraanpemerintahan.
· Demokrasi (Democracy)
Perumusan kebijakan publik dan pemba-
ngunan di pusat dan daerah dilakukan melalui
mekanismedemokrasi.Dalamdemokrasi,rakyat
dapat secara aktif menyuarakan keputusan-
keputusan yang diambil, baik oleh lembaga
eksekutifmaupunlegislative,dankeputusanke
dua lembaga tersebut harus didasarkan pada
konsensus. Kebijakan publik yang diambil se-
baiknyabenar-benarmerupakanhasilkeputusan
bersama.Apabila prinsip demokrasi tidak di-
terapkandalampenyelenggaraanpemerintahan,
rakyatakanmempunyairasamemilikiyangren-
dah atas berbagai kebijakan publik yang di-
hasilkan.
· ProfessionalismedanKompetensi(Profesio-
nalism and Competency)
Dalam pengelolaan pelayanan publik dan
pembangunandibutuhkanaparaturpemerintahan
yang memiliki kualifikasi dan kemampuan
tertentu.Olehkarenanyadibutuhkanupayauntuk
menempatkanaparatsecaratepat,denganmem-
perhatikankecocokanantaratuntutanpekerjaan
kualifikasi atau kemampuan.Tingkat kemam-
puandanprofesionalismeaparaturpemerintahan
yangadaperluselaludinilaikembali.Berdasarkan
penilaian itu dimiliki data dan informasi untuk
membenahikompetensiaparatursehinggaselalu
sesuai dengan kepentingan organisasi dan ke-
majuanzaman.
· Daya Tanggap (Responsiveness)
Pemerintahdiharapkanselalucepattanggap
denganmengambilsegalaprakarsauntukmenye-
lesaikanmasalah-masalahyangdihadapirakyat.
Aparat juga harus mampu mengakomodasi as-
pirasirakyatsekaligusmenindaklanjutinya dalam
bentukperaturan/kebijakan,kegiatan,program
atau proyek.
· Efisiensi dan Efektivitas (Efficiency and
Effectiveness)
Agar dapat meningkatkan kinerjanya, tata
kepemerintahanmembutuhkandukunganstruk-
turyangtepat.Olehkarenaitu,pemerintahbaik
pusatmaupundaerahdariwaktukewaktuharus
selalu menilai dukungan struktur yang ada,
melakukanperubahanstrukturalsesuaidengan
tuntutan perubahan seperti menyusun kembali
struktur kelembagaan secara keseluruhan serta
menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat.
Denganbegitucapaiankerjapemerintahandapat
dilakuikansecaraoptimal,efisiendanefektif.
· Desentralisasi (Decentralization)
Wujudnyatadaripirnsipdesentralisasidalam
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
7. 44 Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 1-55
tatakelolapemerintahanyangbaikadalahpen-
delegasianurusanpemerintahandisertaisumber
daya pendukung kepada lembaga dan aparat
yangadadibawahnyauntukmengambilkeputu-
sandanmenyelesaikanmasalahyangdihadapi.
Penerapan prinsip desentralisasi akan dapat
mengurangibebandanpenggunaansumberdaya
pada lembaga dan aparat di tingkat yang lebih
atas,sertadapatmendayagunakansumberdaya
lembagadanaparatpadatataranyanglebihbawah
sekaligus dapat mempercepat proses pengam-
bilankeputusan.
· Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan
Masyarakat (Private Sector and Civil
Society Partnership)
Masyarakat dan sektor usaha swasta harus
diberdayakanmelaluipembentukankerjasama
ataukemitraandenganpemerintah.
· Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan
(Commitment to Reduce Inequality)
Kesenjangan dapat memicu konflik dalam
masyarakat yang pada akhirnya dapat menye-
babkan disintegrasi bangsa. Upaya yang di-
lakukan untuk untuk mengurangi berbagai ke-
senjangan tersebut merupakan wujud nyata
prinsip komitmen pada pengurangan kesen-
jangan.Tanpa itu, maka berbagai ketimpangan
akantetapterjadi.Sebabitukomitmenterhadap
pengurangankesenjanganharusdilakukan.
· Komitmen pada Perlindungan Lingkungan
Hidup (Commitment to Environmental
Protection)
Kewajiban penyusunan analisis mengenai
dampaklingkungansecarakonsisten,penegakan
hukum lingkungan secara konsekwen, peng-
aktifan lembaga-lembaga pengendali dampak
lingkunganhidupsertapengelolaansumberdaya
alam secara lestari merupakan contoh untuk
mewujudkanprinsipkomitmenpadalingkungan.
· KomitmenpadaPasaryangFair(Commitment
to Fair Market)
Upayapengaitankegiatanekonomimasya-
rakat dengan pasar, baik di dalam daerah
maupunantardaerahmerupakancontohwujud
nyata penerapan prinsip komitmen pada pasar
yang fair. Pengembangan perekonomian mas-
yarakat tanpa di dukung oleh kebijakan publik
yangtidakmencerminkankomitmenpadapasar
akan menyebabkan rendahnya daya saing per-
ekonomian.
PEMBAHASAN
Pergeseran dari paradigma sentralisasi ke
desentralisasiyangdikeloladenganpenggunakan
prinsip good governance, adalah tuntutan
reformasi dalam bentuk proses demokratisasi.
Dengan demikian, desentralisasi dan good
governance adalah bagian dari proses demo-
kratisasi menuju penyelenggaraan demokrasi
yang sesungguhnya. Dalam konteks ini daerah
harus diberdayakan dan diharapkan mau dan
mampu mengimplementasikannya, terutama
dalam pengelolaan pemerintahan, yang men-
cakup segala segi kehidupan masyarakat, khu-
susnyadibidangpemerintahanitusendiri,pem-
bangunan, dan kemasyarakatan. Hal itu di-
maksudkansebagaiupayauntukmempercepat
terwujudnyakesejahteraanmasyarakatyangadil
danmerata,dimanasemuapihakmenjadibagian
daripengelolaannya.Pihak-pihakyangdimak-
sud,adalahpemerintah,sektorusahaswasta,dan
masyarakat.
Berubahnyaparadigmasentralisasimenjadi
desentralisasi yang diharapkan dilaksanakan
dengan menggunakan prinsi-prinsip good
governance, juga merupakan tuntutan per-
kembanganzaman.Globalisasiyangsaratdengan
persaingan mensyaratkan setiap Negara dapat
menjadikansetiapunsur,khususnyapemerintah,
sektor usaha swasta, dan masyarakat terutama
yangadadidaerahdapatterlibatdanmelibatkan
dirisebagaipelakudalamglobalisasiitu.Daerah
yangmampubersaingadalahdaerahyangselalu
menggagas perubahan sekaligus melaksana-
kannyadenganmelibatkanseluruhstakeholders
daerahsedemikianrupa,sehinggatimbulsinergi
yangmampumenempatkandaerahitumemiliki
keunggulan. Sehingga daerah tersebut mampu
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
8. 45
memasukiarenapersainganbaikdalamkonteks
nasional,regional,danglobal,sedemikianrupa,
di mana daerah dapat memetik keuntungan
sebagaiakibatkeunggulanyangdimilikinya.
Akan tetapi setelah sekian lama desen-
tralisasi dianut dan good governance dikon-
sepsikan dan disosialisasikan kepada daerah
dengan dasar UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahandaerahkemudiandirubahdengan
UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, hasilnya tampak sekali, belum terlalu
menggembirakan. Faktor-faktor yang mempe-
ngaruhikeberhasilandankeadaabelumberhasil,
implikasi dari keadaan itu, dan dampaknya,
dikemukakanpadauraianberikut.
Pengaruh Lingkungan (Eksternal dan
Internal)
Faktamenunjukkan,konsepsidesentralisasi
yang dikelola di daerah dengan menggunakan
prinsip-prinsipgood governancekeberhasilan-
nya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan,
terdiriatasfaktoreksternaldaninternal.
a. Faktor Eksternal
Sungguhpundesentralisasi,adalahpemberian
kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintahdaerahuntukmengelolapemerinta-
hannyasendirisesuaikearifanlokalyangberlaku,
akan tetapi monitoring dan supervise dari
pemerintahpusatmasihdiperlukan.Supervisiini
bukan saja dalam bentuk penyediaan regulasi,
akantetapijugaperlumonitoringdansupervise
secara langsung kepada daerah. Hal itu di-
maksudkan bukan untuk mencampuri urusan
daerah akan tetapi untuk memberikan pembe-
lajaran bagaimana mestinya otonomi daerah
yang dikelola dengan cara good governance
dilaksanakan. Sehingga pengelolaan pemerin-
tahan dengan cara itu benar-benar bermanfaat
baik oleh rakyat maupun oleh daerah yang ada
disekitarnya dan pemerintah provinsi dimana
daerah itu berada.
Persaingan daerah di tingkat nasional,
regional, dan global sesungguhnya menuntut
adanya struktur organisasi pemerintah daerah
yangsesuaidenganvisidanmisiyangdiusungnya
yangtelahdisesuaikandenganranahpersaingan
yang secara sadar diikuti oleh setiap daerah.
Karena itu berbagai daerah sekarang, melalui
berbagairegulasi,terakhirdenganberdasarpada
PP. No. 41 Thn. 2008 Tentang Restrukturisasi
Perangkat Daerah berupaya untuk membuat
struktur pemerintah daerah sesuai harapan di
atas. Dengan demikian upaya ini menegaskan,
bahwa factor eksternal memang menyebabkan
daerahberupayaberbenahdiri,satudiantaranya
adalah berupaya membuat strutkru organisasi
yang sesuai dengan konteks pencapaian tujuan
dan persaingan antar daerah.
b. Faktor Internal
Dalam pada itu faktor internal yang mem-
pengaruhikeberlangsunganpelaksanaandesen-
tralisasidanpenerapangoodgovernance,dapat
dikemukakan, antara lain, pertama: belum
utuhnya pengakuan terhadap pluralism mas-
yarakat, yang dapat dilihat dari keikhlasan
pemerintahdaerahdalammelibatkanmasyarakat
dan sector usaha swasta dalam pemerintahan
local dalam pengertian luas; kedua: Birokrasi
masihbekerjadengankulturyangdibangunse-
menjakmasahindiaBelanda,sehinggadinamika
social masih diwarnai (setidaknya mengacu)
kepada agenda pemerintah dan bukan agenda
masyarakat yang ditranformasikan menjadi
agenda pemerintah; ketiga: belum hadirnya
paradigmpembangunanbarusebagai“tandingan”
atas paradigm lama (masa pemerintahan Soe-
harto) yang bertumpu pada segitiga: kaum pe-
modal – keamanan – dan birokrasi; dan
keempat: berlarut-larutnya fase disorientasi
sosial sebagai akibat dari langkanya jiwa ke-
negarawanan dari para pemimpin politik yang
ada,sehinggamenyulitkankitauntukmenemukan
prinsip-prinsipminimalkehidupanberdemokrasi
yangbisaditerimaolehunsur-unsurmasyarakat.
Implikasi
Sebagai implikasi dari faktor-faktor ber-
pengaruhdiatas,pelaksanaandesentralisasiyang
diharapkan dikelola dengan menggunakan
prinsip-prinsipgoodgovernance,menghasilkan
hal-halsebagaiberikut:
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
9. 46 Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012, hlm. 1-55
1. Munculnya raja-rajakecildidaerah,baikdi
tingkatprovinsimaupundikab/kota
2. Rendahnya tingkat kepatuhan pemerintah
kab/kota terhadap pemerintah provinsi,
bahkandenganpemerintahpusat
3. Rendahnya tingkat koordinasi dalam
pelaksanaan pembangunan di tingkat kab/
kotadandalamhubungannyadenganprovinsi
4. PengelolaanSDAolehkab/kotadanprovinsi
cenderungkabablasan
5. Tatakelolapemerintahan(goodgovernance)
masihsebatasretorikapolitik
6. Rendahnya kemampuan menggali potensi
daerah
7. Kecenderungan mengabaikan profesio-
nalismedalampelaksanaanpemerintahan
Implikasiyangmengemukadiatas,hendak-
nya diakhiri. Sebab hal itu sesungguhnya telah
menjauhkan daerah dari tujuan diberikannya
desentralisasidenganprinsipgoodgovernance.
Implikasi seperti itu jelas sangat buruk bagi
upayaperwujudankesejahteraanrakyat.Bahkan
dapat dikatakan kesejahteraan rakyat dan
demokratisasiuntumencapaipengelolaanpeme-
rintahanyangdemokratisakansemakinjauh.
Dampak
Dampak yang terasa dewasa ini di daerah
sebagai akibatnya melencengnya atau tidak
siapnya daerah mengelola otonomi daerah de-
ngan menggunakan konsep good governance,
adalahpembangunanpengelolaanpemerintahan
dalam pengertian luas, yakni mencakup:
pemerintahan, pembangunan, dan kemasya-
rakatan, menjadi terganggu. Itu berarti peme-
rintahdenganketidakmampuannyaitusemakin
menjauhkandirinyadarirakyat,termasukdengan
para pelaku usaha swasta.
Good governance setiap hari dikuman-
dangkan, terutama jika para pejabat berpidato.
Bahkan baik para pelaku uasaha swasta dan
rakyatsendiri,jugapandaimengemukakangood
governance.Akan tetapi jikagood governance
dipandang sebagai pengelolaan pemerintahan
yangbaikdenganmelibatkanpemerintah,sector
usaha swasta, dan masyarakat, maka semua itu
tidakadadilapangan.Ke-3pihakmasing-masing
sibuk dengan dirinya sendiri. Pemerintah tetap
merasasebagaipihakyangpalingutamadalam
pelaksanaan pemerintahan (Pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan).Artinya
pihak pelaku usaha swasta, dan rakyat tidak
pernahdilibatkan.Sebagaiakibatnyaterjadilah
pembangunansesuaikeinginanpemerintahse-
mata. Masyarakat dan pelaku usaha swasta
sebagai pihak yang tidak dilibatkan tentu saja,
mungkin, merasa tidak memiliki hasil-hasil
pembangunanitu.Sebagaiakibatnyaprotes,be-
rupa demonstrasi dan berbagai bentuk protes
marak terjadi di daerah.
Alternatif Solusi
Konsepdesentralisasiyangdiselenggarakan
pada daerah otonom dengan menggunakan
prinsip good governance bukanlah hal yang
menjadi bagian dari budaya rakyat Indonesia.
BudayarakyatIndonesiayangterdiriataswilayah
daerah-daerah itu, pada umumnya bersifat
paternalistik dengan kata lain bentuk budaya
politiknya campuran parochial-subject dan
dibeberapawilayahkhususnyadiperkotaanada
campuranpartisipan.Dalamkonteksinikarena
budaya paternalistik yang menonjol, maka
tidaklah berlebihan jika dikemukakan budaya
politik rakyat umumnya adalah campuran
parochial-subject tetapi yang menonjol adalah
parochial.
Dengan demikian desentralisasi dan good
governance, sebagai bagian dari demokrasi
adalahsesuatuyangbarubagimereka.Paraelite
yang mengisi pemerintahan, termasuk para
pelaku usaha swasta, adalah orang-orang yang
berasal dari masyarakat biasa, yang kemudian
karena pendidikan dan privelage berhasil
menapakijalanhidupyanglebihtinggilalumenjadi
birokrat,elitepolitik,daneliteekonomi.Dengan
demikian sebagai pihak yang berasal dari
masyarakattentusajaiamembawabudayamas-
yarakatdimanadiaberasal.Sehubungandengan
argumentasiini,makasebagaialternativesolusi
dapatdikemukakanhal-halsebagaiberikut:
1. Pemerintahpusatmestinyamampumember
teladanmengenaipelaksanaandesenralisasi
dan good governance, sehingga ada best
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)
10. 47
practice yang dapat diikuti oleh daerah me-
ngenaibagaimanamengeloladaerahdengan
menggunakankonsepdesentralisasidangood
gevernance
2. Masihdiperlukanbimbingan,monitoring,dan
supervise dari pemerintah pusat mengenai
pelaksanaan konsepsi pemerintahan desen-
tralisasiyangdikeloladenganmenggunakan
konsep good governance. Hal ini disebab-
kan karena faktor sejarah dan faktor budaya
yang menempatkan para pelaku pemerin-
tahan, rakyat dan sektor usaha swasta seba-
gaipihakyangbelumsepenuhnyamemahami
konsepsibatuini.
3. Perlu punishment dan reward bagi daerah
yang telah berhasil mengelola daerahnya
denganmenggunakankonsepsidesentralisasi
dan good governance.
4. Elite-elite tua yang ada di daerah harus
memberikan kesempatan kepada generasi
mudauntukjugamendudukipuncak-puncak
kekuasaan dan jabatan-jabatan penting di
daerah.Elitetuadaerahtidakbolehmeman-
dang kekuasaan sebagai suatu yang abadi,
akan tetapi sesuatu yang harus secara suka-
rela diberikan kepada pihak yang memang
memilikikompetensimelaluipersainganatau
kompetisiyangsehat.
5. Konsep good governance harus dipandang
sebagai gerakan, dalam artian konsepsi ini
mestidisosialisasikankepadamasyarakatdan
sektor usaha swasta secara sistematik dan
terencanadisertaidenganupayanyatadalam
mewujudkannya.
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah
pemerintah, khususnya para elite tua yang
beradadidalamnyaharussungguh-sungguh
ingin melibatkan rakyat dan pelaku sector
usaha swasta dalam pengelolaan pemerin-
tahandalampengertianseluas-luasnya.
SIMPULAN
Sebagai penutup dapat dikemukakan, me-
ngubah paradigma sentralisai menjadi desen-
tralisasi,bukanlahhalyanggampang.Masalahnya
konsepsisentralisasitelahdipahamiolehrakyat
selama zaman penjajahan Belanda, masa akhir
pemerintahanSoekarno(DemokrasiTerpimpin),
dan seluruh masa kekuasaan Soeharto (Orde
Baru).Karenaitutidaklahterlalumengherankan
jika pengelolaan desentralisasi dalam bentuk
otonomi daerah dengan menggunakan konsep
good governance tidak berlangsung sebagai-
manayangdiharapkan.Penerapankonsepsiini
di daerah tampak sekali masih sarat dengan
konsepsisentralistik.Pertanyaannya,haruskah
kita menyerah? Tidak boleh menyerah, sebab
sesuatuyangbarumemangharusdipelajarisem-
bari dilaksanakan. Hal yang perlu dicamkan
adalah, dalam fase pembelajaran itu jangan
sampaiterlalulamadanberbiayamahal,apalagi
sampaimengorbankanrakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas, Penerapan Tata Pemerintahan
yang Baik, Jakarta: Bappenas, 2007.
Karl D. Jacson, dalam Irwan Waris, Elite Di
Sulawesi Selatan: Peran Elite Lokal dalam
Partisipasi Politik Masyarakat, Tesis S-2,
JurusanIlmuPolitikProgramPascasarjana
UGM, 1994.
M. Ryaas Rayid, Otonomi Daerah: Latar
BelakangdanMasaDepannya,JurnalIlmu
Politik No. 18. Tahun. 2002.
Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik di
Negara Sedang Berkembang, Jakarta:
rajawali Press, 1981.
Shabbir Cheema and Dennis Rondinelli,
Decentralization abd Development,
BeverlyHills,CA:SagePublications,1983.
Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good
Governance, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
PemerintahanDaerah.
Pergeseran Paradigma Sentralisasi ke Desentralisasi
Dalam Mewujudkan Good Governance (Irwan Waris)