1. DESAKRALISASI UJIAN NASIONAL
Oleh Denny Kodrat
(Dosen STBA Sebelas April Sumedang, Mahasiswa S-3 Ilmu Pendidikan, Uninus Bandung)
Ujian Nasional (UN) 2014 kali ini nampak sepi dari hiruk pikuk pemberitaan, terkecuali masalah
soal yang memuat Jokowi, yang memberbeda dengan tahun lalu yang terjadi kekisruhan dalam
pendistribusian naskah soal, barcode, hingga permintaan maaf, Prof. Dr. M. Nuh, sang menteri
pendidikan, atas kejadian tersebut padahal anggaran yang dikeluarkan sudah sangat besar hingga
menyentuh 644 milyar rupiah.
Entah karena seluruh berita dimonopoli oleh pemilu legislatif dan analisis mengenai capres dan
wakilnya, atau bisa jadi, publik lelah mempersoalkan UN, menyusul tidak diturutinya keputusan
Mahkamah Konstitusi terkait moratorium UN bila pemerintah belum dapat menyamakan kualitas
pendidikan dari Sabang hingga Merauke. Jika minimnya pemberitaan disebabkan persiapan pemerintah
yang lebih matang dibandingkan tahun lalu dan juga publik memafhumi UN sebagai sebuah proses
evaluasi yang niscaya dan biasa, maka ini kabar baik bagi dunia pendidikan kita. Namun, kabar buruknya
adalah jika publik sudah apatis dengan kebijakan ini, yakin siswa lulus seratus persen dengan
mengabaikan substansi pendidikan: kompetensi siswa dan kualitas pendidikan. Bila yang terakhir ini
terjadi, pendidikan kita tengah mengalami kebangkrutan.
UN Di Tengah Pusaran Kepentingan
Perlu disepakati terlebih dahulu bahwa UN seharusnya bukanlah cerminan kualitas pendidikan
di daerah sehingga menjadi jualan politik para kepala daerah. Melainkan suatu proses evaluasi yang
niscaya dan melekat dalam kebijakan pendidikan. Sehingga hasil berikutnya, apapun itu, menjadi pijakan
program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam bahasa manajemen mutu terpadu
(TQM), Salis (2002) menyebutnya sebagai external examination, yang dilakukan oleh konsumen
eksternal pendidikan, dalam hal ini pemerintah, terhadap satuan pendidikan. Walhasil ia selazimnya
steril dari kepentingan politik.
Bahkan dalam konteks mikro pendidikan, secara konseptual sebuah evaluasi yang baik adalah
saat ia mampu mengukur kompetensi-kompetensi yang sudah diajarkan sebelumnya (Brown, 2004:23).
Dari sinilah Brown (2004:98) menyatakan bahwa evaluasi yang memadai adalah evaluasi yang dilakukan
oleh guru di dalam kelas, bukan oleh pihak lain. Ini dikarenakan evaluasi menunjukkan siswa mana yang
sudah dianggap mampu memahami materi yang diajarkan dan siswa mana yang perlu dilakukan terapi
(remedial). Tujuannya adalah sebagai upaya untuk membantu siswa memahami materi yang diajarkan.
Berdasarkan evaluasi ini pulalah guru secara kreatif melakukan berbagai teknik-teknik pengajaran yang
tujuannya untuk memudahkan siswa memahami materi yang diajarkan.
Perdebatan yang selalu muncul selama ini terkait dengan dijadikannya UN sebagai syarat
kelulusan, yang seharusnya menjadi kewenangan pendidik. Tidak hanya itu, jumlah siswa yang lulus pun
menjadi diklaim sebagai mutu pendidikan. Bila siswa seratus persen lulus, sekolah seakan mendukung
citra politik kepala daerah, dan sebaliknya, bila tidak seratus persen, maka sekolah dianggap
“menghambat” kepemimpinan sang kepala daerah. Cerita selanjutnya dapat ditebak, hukum stick and
carrot terjadi. Ada yang siap-siap promosi, dan ada yang akan dimutasi baik di SKPD hingga ke sekolah.
Karena sudah jauh bergeser dari yang semestinya, terjadilah pensakralan UN. Ia dianggap hakim
yang siap memvonis bersalah atau bebas, lulus atau tidak. Pendidikan pun kehilangan ruhnya sebagai
pembentuk peradaban dan mengajari berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill) (Sanusi, 2013).
Softskills kejujuran yang biasanya menjadi nafas dan nadi pendidikan, nampak di pause sesaat,
digantikan ketidakjujuran dan manipulasi. Tentulah yang menjadi korban adalah siswa. Korban secara
psikologis, tertekan oleh sebuah ujian yang seharusnya menjadi bagian yang melekat dalam dirinya.
2. Korban secara intelektual, diajarkan hal-hal instan dalam menjawab pertanyaan, bukan melalui proses
inkuiri atau bahkan discovery.
Di lihat dari situasi ini saja, jelas UN telah kehilangan legitimasi kevalidannya. Apa yang dapat
kita baca saat satu daerah lulus 100 (seratus) persen UN? Apakah dengan 100 persen ini kita meyakini
pendidikan di daerah tersebut telah berkualitas (baca: memuaskan kebutuhan masyarakat dan
penggunanya)? Ataukah kita hanya tersipu-sipu malu bahwa 100 persen ini jauh panggang dari api? Bila
benar, maka kritikan Ivan Illich dalam bukunya yang provokatif, Deschooling (1970:23), perlu
direnungkan bahwa institusi sekolah hanyalah menjadi perpanjangan tangan penguasa, sekolah hanya
menguntungkan profesi guru karena membuka lapangan pekerjaan baginya, tapi tidak bagi masyarakat.
Sehelai Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) tidak memiliki nilai substansi bagi siswa, karena
ia hanya artifisial, bukan gambaran hakiki kompetensinya.
Dalam konteks ini, mengikuti UN secara serius adalah wajib, namun lulusnya UN bukan menjadi
tujuan tunggal. Ia justru gerbang awal dari sebuah tantangan berikutnya. Mampukah kompetensi yang
dimiliki menjawab segala macam kebutuhan dalam ujian kehidupan? Seorang siswa yang lulus SMA dan
akan melanjutkan ke perguruan tinggi, kompetensi, baik softskill maupun hardskill, yang diajarkan sejak
SD hingga SMA seharusnya mendukung minat dan perkembangan belajarnya di sekolah tinggi. Ia
mampu bersaing dengan jujur dan tentunya, ia akan menjadi manusia yang tercerahkan, tidak menjadi
beban masyarakat. Begitu pula, siswa SMK yang memilih kerja seharusnya meyakini bahwa kompetensi
yang ia latih selama di sekolah menjadi bekal untuk mencari penghidupan. Ia mampu berkompetisi di
dunia kerja.
Kekhawatiran terbesar yang seharusnya muncul di kalangan pendidik adalah bila mereka gagal
mewariskan ilmu, nilai (values) dan cara pandang yang bermanfaat dunia dan akhirat kepada para
siswanya. Pewarisan ilmu ini seharusnya terjadi dalam proses pendidikan di sekolah secara efektif.
Interaksi pendidik dan siswa seharusnya berwujud silaturahmi akademik dan kepribadian. Dengan fitrah
mulia yang dimiliki sebagai manusia, potensi siswa dapat dikembangkan. Jika siswa dari kota-kota besar
mampu melewati UN dengan sukses, tanpa keberadaan tim sukses, maka itu seharusnya terjadi
pulapada siswa di kota-kota kecil, mengingat standar proses, kurikulum dan pendidiknya sama. Jangan
sampai, kritikan dan gugatan terhadap UN yang didengungkan oleh pendidik hanya sebagai pengalihan
dari tidak berkualitasnya pelayanan pembelajaran di dalam kelas. Apalagi, secara realitas UN tetap
bergulir, sehingga tidak ada pilihan lain bagi pendidik mengkualitaskan pelayanan pembelajaran di
sekolah.
Terobosan
Tentunya siapapun pasti berbangga, apalagi pendidik, bila seluruh siswanya mampu melewati
UN dengan sukses. Pemerintah daerah dan pusat pun akan puas saat program-programnya tepat
sasaran. Artinya, UN sewajibnya diperlakukan sama oleh pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana
lazimnya evaluasi dalam pendidikan, semisal ulangan harian, ulangan umum, akreditasi sekolah, Ujian
Kompetensi Guru, Penilaian Kinerja Guru atau benchmarking yang mampu mengevaluasi sekolah atau
pendidik secara apa adanya. Hasil evaluasi tersebut tentunya tidak selalu berakhir dalam pendekatan
rewards and punishment, melainkan lebih ke upaya perbaikan yang terus menerus (a continuous quality
improvement).
Perlu terobosan, khususnya bagi pemerintahan baru ke depan, bila UN tetap ingin
dipertahankan sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan, diantaranya, pertama, UN dapat
dilakukan seperti evaluasi dalam sistem Cambridge, dimana siswa diperbolehkan mengikuti UN sejak di
bangku kelas VIII untuk SMP dan XI untuk SMA. Bila ia lolos, maka ia tinggal menyelesaikan ujian sekolah
di bangku tingkat akhir. Bila ia gagal, ia bisa mencoba lagi hingga kelas IX SMP atau XII SMA. Namun
perlu diperhitungkan persentase muatan soal yang akan di uji, sehingga siswa kelas VII atau XI dapat
menjawab soal-soal yang nanti akan diperdalam di kelas IX atau XII.
3. Kedua, kemendikbud secara ikhlas menyerahkan seluruh penyelenggaraan UN dari mulai
pembuatan soal hingga hasilnya ke tingkat daerah dan secara supportive menerima hasil UN dari
daerah, sebagai bagian dari semangat otonomi daerah dan penerapan manajemen berbasis sekolah
(MBS). Penetapan kelulusan siswa berada di tingkat pemerintah daerah. Meski demikian, kemendikbud
tetap memegang kewenangan dalam penyusunan standar evaluasi dan keputusan, yang pada tahap
selanjutnya hasil ini akan ditindaklanjuti oleh program-program kemendikbud yang sesuai dengan
kebutuhan di setiap daerah.
Ketiga, pelaksanaan UN tetap seperti saat ini, namun dengan jenis soal berbasis masalah
sebagaimana yang disarankan oleh Prof. B.J. Habiebie, bukan jenis soal berganda dengan jawaban
tunggal. Jenis soal berbasis masalah akan mengukur aspek-aspek seperti rhetoric dan logic, selain sisi
kreatif, yang selama ini hanya mengukur kepada ranah kognitif.
Namun demikian, pra-syarat utama dari terobosan ini adalah lagi-lagi berujung pada kerelaan
menteri hingga kepala daerah untuk tidak menginfiltrasi persoalan dan kepentingan politik dalam
evaluasi ini. Hitam atau merah rapot pendidikan di suatu daerah, tidak dibawa ke ranah elektabilitas
politik. Melainkan ditujukan untuk perbaikan, sehingga seluruh siswa yang lulus sekolah dapat
dipastikan berkualitas dan memiliki dampak yang baik bagi masyarakat. Wallahu’alam bishawwab
IDENTITAS PENULIS:
NAMA : Denny Kodrat
Alamat : Griya Palem Semi no. 3 Bojong Inong, Desa Jatimulya, Kec. Sumedang Utara, Sumedang
HP : 08112203367
Email : denny_kodrat2001@yahoo.com