Dokumen tersebut membahas tentang sistem pemerintahan desa di Aceh, dimana desa disebut gampong. Ia menjelaskan perubahan peraturan yang mengatur pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala gampong sejak masa kolonial hingga diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dokumen ini juga menyinggung upaya pemerintah untuk meningkatkan administrasi desa melalui pembentukan le
1. Desa (bahasa Jawa) di Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan nama Gampong, yang secara harfiah
artinya kampung. Jumlah seluruhnya 5.463 buah Secara administratif desa atau gampong ini merupakan unit
pemerintahan terkecil yang berada di bawah satuan pemerintahan lain yang lebih besar yang dalam istilah Aceh
dinamakan mukim. Perkataan mukim berasal dari bahasa Arab “muqim” yang artinya tempat tinggal, jumlah di
seluruh Kabupaten Pidie 126 buah, dan Nanggroe Aceh Darussalam 591 buah. Gampong dan mukim ini saling
berhubungan satu dengan yang lain. Tidak ada mukim tanpa gampong dan demikian juga sebaliknya.
Landasan bagi kepala Daerah Tk. II untuk memilih, mengakui dan memberhentikan seorang kepala gampong di
daerahnya mulai sejak akhir tahun 1953-1961 adalah ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera
Utara tanggal 31 November 1953. Karena pada waktu itu Daerah Istimewa Aceh berstatus Keresidenan
merupakan bagian dari wilayah Sumatera Utara. Dalam ketetapan itu disebutkan tentang tata cara pemilihan
kepala gampong (keuchik/geuchik). Setelah Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi berdasarkan Undang-
Undang No. 24 Tahun 1956 yang realisasinya tanggal 27 januari 1957, maka dalam perkembangannya pada
tahun 1961 hal mengenai peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala gampong
(keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan suatu keputusan baru. yaitu berdasarkan Keputusan
Gubernur KDH Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum dan pusat) No.32/GA/1961.
Keputusan ini di antaranya mencabut semua peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-
kepala gampong (keuchik/geuchik) yang bertentangan dengan peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara
No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong
(keuchik/geuchik) di dalam Daerah Propinsi Sumatera Utara yang dianggap tidak sesuai lagi. Dalam keputusan
itu juga ditetapkan mengenai peraturan tentang memilih, mengakui, dan memberhentikan kepala-kepala
gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh saat itu (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan
demikian segala hal yang menyangkut tentang pemilihan, memberhentikan dan mengakui seorang kepala
gampong didasarkan atas keputusan No.32/GA/1961
Namun dalam pelaksanaannya baik peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei
1953 maupun keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh No.32/GA/1961 tidak selalu sesuai. Hal ini banyak
tergantung faktor situasi dan kondisi yang ada pada suatu gampong (kampung) yang bersangkutan. Dengan
demikian, pengakuan dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) tidak selalu ditempuh dengan
cara yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut di atas.
Banyak kepala gampong tidak dipilih menurut ketentuan itu, tetapi karena warisan dari orang tuanya secara turun
menurun, disebabkan karena si orang tua ini sudah sangat tua. Dan banyak juga kepala gampong
(keuchik/geuchik) yang ditetapkan/dipilih berdasarkan hasil musyawarah penduduk gampong yang
bersangkutan. Orang yang dipilih itu biasanya dilihat bagaimana pengalamannya, tingkah laku akhlaknya dan
dianggap sebagai orang yang banyak mengetahui tentang seluk beluk kampung itu.
Aparat-aparat atau unsur-unsur pemerintahan gampong lainnya seperti Teungku Meunasah (Teungku Imeum),
Tuha Peut, Waki Keuchik/geuchik, pemilihannya juga dilakukan secara musyawarah. Tentang jabatan Waki
Keuchik/geuchik (wakil kepala kampung) meskipun baik dalam peraturan Gubernur Kepala Daerah Sumatera
Utara No.30/U.U/1953 maupun keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 32/GA/1967,
menyebutkan bahwa wakil kepala kampung adalah orang yang ditunjuk oleh kepala kampung bersangkutan
untuk mewakili dirinya dalam hubungan dengan masyarakat di kampung itu atas jaminan dan tanggung jawab
dari kepala kampung itu sendiri, tetapi dalam prakteknya hal ini juga jarang terjadi.
2. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sebelum keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menjadi landasan bagi seorang Bupati Kepala Daerah Tingkat II
atau seorang Camat, untuk memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala desa dalam wilayah Daerah
Istimewa Aceh ialah surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum
pusat) No. 32/GA/1961, dan surat kawat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 16353/18a tanggal 2
Nopember 1971 yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh,
yang intinya mengenai masa jabatan keuhik-keuchik/geuchik (kepala-kepala kampung).
Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979, yang mengatur tentang pemerintahan
desa (pasal 3) termasuk cara pemilihan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah (pasal 4, 5 dan pasal
9), maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah Daerah
tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan
dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala kampung/desa untuk seluruh daerah di
Indonesia termasuk dalam wilayah Aceh seharusnya didasarkan atas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 itu.
Namun seperti halnya surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 32/GA/1961, serta surat-
surat instruksi yang berkaitan dengan pemerintahan desa, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu juga dalam
pelaksanaannya belum pada semua kampung/desa di Daerah Istimewa Aceh, berjalan secara lancar. Faktor
tradisi, situasi dan kondisi serta faktor sosial politik yang ada di kampung-kampung masih memegang peranan
atau masih dijadikan unsur pertimbangan bagi seorang bupati ataupun bagi seorang camat, dalam memilih,
mengangkat dan memberhentikan seorang kepala kampung/desa. Selain juga karena Undang-Undang No. 5
Tahun 1979 itu sendiri belum diketahui secara luas dan belum sepenuhnya dimengerti oleh kepala-kepala
kampung/desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Dapat ditambahkan bahwa dalam hubungan dengan pengaturan pemerintahan desa di Daerah Istimewa Aceh,
hingga tahun 80-an, belum ada suatu peraturan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah Tingkat II
maupun oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Namun dalam hubungan dengan usaha peningkatan
penyelenggaraan Pemerintahan Kampung / desa Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Aceh telah
mengusahakan sistem pemerintahan kampung/desa. Untuk ini misalnya pada tahap pertama Pelita I Tahun
1969/1970 pemerintah telah menetapkan gampong (kampung) di Daerah Istimewa Aceh sebagai unit
pemerintahan desa. Penetapan ini sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri Nomor Desa 5/1/29 tanggal 29
April 1969. Dan sesuai dengan surat instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh tanggal 11 Oktober 1971
Nomor 6018, maka pada setiap desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, mulai diadakan Sekretaris
Kampung. Selain itu untuk meningkatkan administrasi desa, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, pada
tanggal 8 Juni 1976 mengeluarkan suatu Surat Keputusan Nomor 263/1976, yaitu tentang penyeragaman
stempel kepala kampung yang digunakan oleh kepala-kepala kampung dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Usaha untuk peningkatan bidang Pemerintahan Kampung, sesungguhnya terus dipaksakan untuk dilaksanakan
oleh pemerintah, sudah semenjak Pelita I dikumandangkan misalnya dengan mendirikan kantor-kantor desa
sebagai tempat pelaksanaan administrasi desa pada setiap gampong dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh
(berdasarkan surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 36/2/37 tanggal 21 April 1975 dan surat Pemerintah
Nomor 36/2/28, tanggal 21 Juni 1976.
Selain pengadaan kantor-kantor desa, pemerintah juga mengusahakan penyediaan rupa-rupa alat kelengkapan
administrasi seperti mesin ketik, buku register desa dan alat-alat tulis menulis. Untuk desa-desa di Daerah
Istimewa Aceh, selama Pelita I hingga Pelita IV pemerintah juga telah memberikan subsidi desa yang dari tahun
3. ke tahun semakin meningkat. Dan sesuai dengan Daftar Isian Proyek dan Daftar Usulan Proyek uang bantuan
desa tersebut dimanfaatkan oleh kepala-kepala kampung untuk perbaikan/ pembangunan kampungnya masing-
masing.
Pada setiap desa, mulai tahun 1969 dan tahun 1970 telah dibentuk suatu lembaga yang disebut LSD (Lembaga
Sosial Desa) dengan tujuan untuk menghidupkan kembali unsur gotong royong melalui organisasi formal. Dalam
perkembangannya sejak tahun 1971 lembaga ini mendapat landasan hukum, yaitu keputusan presiden No. 81
Tahun 1981, tahun 1971 berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya menurut Keputusan Presiden
No. 28 Tahun 1980 lembaga ini dirubah menjadi LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Tugas dan
fungsinya adalah membantu pemerintahan, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
Adanya berbagai usaha dari pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan Pelita dalam rangka untuk
menyempurnaan lembaga pemerintahan kampung telah menempatkan kepala kampung dalam posisi yang
penting dan luas. Penting, karena ikut menentukan maju mundurnya masyarakat di kampungnya, dan luas,
karena menangani hampir semua segi kehidupan masyarakat kampung. Kedudukannya adalah sebagai “wakil
pemerintah”, sebagai pemimpin yang paling bawah yang melaksanakan tugas-tugas untuk kepentingan negara.
Tugas untuk menjalankan administrasi pemerintahan dan pembangunan kelihatannya merupakan tugas baru
bagi kepala kampung. Oleh karena itu jelas beberapa kepala kampung, “belum siap” menerima tugas semacam
itu. Mereka belum terbiasa dengan pekerjaan administrasi, berkantor, membuat program kampung dan
sebagainya. Banyak kepala desa masih “kaku” dalam melaksanakan tugas-tugas mereka yang berhubungan
dengan hal-hal tersebut di atas meskipun kepala-kepala desa telah memperoleh bantuan dari pemerintah berupa
alat-alat penunjang administrasi, namun ada yang belum pernah menggunakannya; lebih-lebih di antara mereka
ada yang masih buta aksara latin.
Akibatnya sesuai dengan situasi zaman, lembaga pemerintahan gampong telah mengalami perubahan-
perubahan dan penyempurnaannya meskipun di sana-sini masih menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan.
Misalnya LKMD belum seluruhnya menunjukkan keaktifannya, masih ada yang merupakan sekedar nama saja.
Demikian juga halnya dengan kantor-kantor desa, ada yang tidak/belum berfungsi sebagai mana mestinya.
Keuchik/geuchik-keuchik/geuchik masih banyak yang menggunakan tempat kediaman mereka atau meunasah
sebagai tempat kegiataan dalam urusan kampung. Demikian juga masih banyak penduduk jika berurusan
dengan kepala kampung dilaksanakan pada sore atau malam hari, dikediaman kepala desa atau di meunasah-
meunasah, karena pada siang harinya mereka harus ke sawah atau ke ladang. Oleh karenanya sulit bagi
mereka jika disuruh berdiam di kantor desa pada siang hari, kecuali bagi beberapa rekan mereka yang sudah
berstatus “lurah”.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa gampong-gampong di Aceh/Pidie
terkoordinir di dalam suatu wilayah yang disebut mukim (kemukiman), yang dikepalai oleh seorang kepala
mukim. Pada masa sekarang lembaga ini masih ada, tetapi hak dan kewajibannya tidak jelas, karena tidak ada
suatu ketentuan atau pedoman tertulis yang mengatur tentang lembaga ini (lebih-lebih bila dikaitkan dengan U.U
No. 5 tahun 1979), sehingga seberapa jauh wewenang kepala mukim selaku koordinator kampung dan sebagai
pembantu camat juga tidak jelas. Dalam menjalankan tugasnya kepala mukim bekerja tanpa pembantu, namun
untuk ini ia menerima upah jerih payah menurut ketentuan yang ditetapkan (ketentuan ini termuat dalam daftar
jerih payah para pamong Desa. Kepala mukim/keuchik/geuchik dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh 8 April
1968).
4. Hingga kini, desa-desa di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sejak 2001) masih berada di bawah koordinasi
kemukiman. Namun peranan kepala mukim sebagai pembantu camat sudah sangat berkurang. Para
Keuchik/geuchik bila berurusan dengan camat tidak lagi melalui perantaraan kepala mukim tetapi langsung
dengan Camat sebagai kepala kecamatan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang No. 5
Tahun 1979, yaitu yang mengatur tentang hak, wewenang, kewajiban, kepala desa.
Dengan melihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka dapat dikatakan bahwa
jabatan sekretaris kampung adalah sebagai pembantu-pembantu keuchik/geuchik dalam melaksanakan tugas-
tugas yang berhubungan dengan administrasi di desa-desa itu. Adanya jabatan Sekretaris Desa ini telah
membawa pengaruh pula terhadap sistem pemerintahan gampong, terutama dalam cara pengaturan
administrasinya dan telah membawa pengaruh pula terhadap jabatan Waki Keuchik/geuchik yang ada, yang
sebelumnya berfungsi sebagai pembantu keuchik/geuchik dalam menjalankan tugas-tugas kampung. Adanya
jabatan sekretaris kampung telah mengaburkan kedudukan Waki Keuchik/geuchik. Namun hingga kini jabatan
untuk itu pada beberapa gampong masih tetap ada. Demikian pula dengan fungsi Tuha Peut pada sejumlah
gampong menjadi “kabur”.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelas bahwa usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
menyeragamkan desa di seluruh Indonesia seperti terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,
mengakibatkan runyamnya struktur masyarakat gampong di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Rusdi Sufi, 2000).
Oleh karenanya, dengan diberlakukan Undang-Undang No.44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan desa masalah struktur masyarakat gampong perlu
difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Pelaksanaan Undang-Undang
baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri.
Dengan demikian, harapan untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat gampong di Aceh dapat tercapai.
B. Struktur Kelembagaan di dalam Gampong/Desa
Menurut Kuahaty (1983: 14), susunan organisasi pemerintahan desa di Aceh terdiri dari keuchik/geuchik, peutua
meunasah, dan tuha peuet, dengan pusat kegiatan pemerintahannya berada di meunasah Susunan organisasi
pemerintahan desa seperti ini didasarkan pada kerja sama, pembagian kerja, dan hubungan kerja yang jelas,
khususnya menyangkut dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, adat istiadat, hukum, administrasi, sosial budaya,
dan ekonomi. Dalam hal ini, keuchik/geuchik menjalankan urusan adat istiadat dan pemerintahan, peutua
meunasah melaksanakan urusan keagamaan, dan tuha peuet bertugas menuntun perkara, menimbang keadilan,
serta memberikan saran-saran kepada keuchik/geuchik, diminta maupun tidak diminta. Namun demikian menurut
Undang-Undang No. 5 tahun 1979 struktur pemerintahan desa terdiri dari lembaga-lembaga seperti
keuchik/geuchik/kepala desa, LMD, Sekretaris desa, Kepala urusan, kepala dusun dan LKMD.
Untuk lebih jelasnya pada bagian di bawah ini diuraikan lembaga-lembaga yang ada di desa, baik formal maupun
nonformal.
1. Lembaga Formal Desa
a. Keuchik/geuchik/kepala desa
Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, ditetapkan bahwa Kepala Desa dalam menjalankan hak,
wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan kewajiban pimpinan pemerintahan
desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab
5. utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan
pemerintahan desa, urusan pemerintah umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong
masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa.
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan jiwa gotong royong
masyarakat desa, Kepala Desa antara lain melakukan usaha pemnatapan koordinasi melalui Lembaga Sosial
Desa, Rukun Tetangga , Rukun Warga dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di desa.
Dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang ketentraman dan ketertiban, ia dapat menyelesaikan perselisihan-
perselisihan yang terjadi di desa. Dengan melihat uraian di atas dapat dikemukan bahwa :
1. Kepala Desa mempunyai tugas :
a. Menjalankan urusan rumah tangganya sendiri;
b. Menjalankan urursan pemerintah, dan pembangunan baik dari Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah, serta urusan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah
Desa termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
c. Menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama
pelaksanaan pemerintah dan pembangunan desa.
2. Kepala Desa mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya desanya sendiri.
b. Menggerakan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya.
c. Melaksanakan tugas dari pemerintah Pusat dan dari pemerintah Daerah.
d. Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa.
e. Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan , pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di
desanya.
Kepala Desa juga mempunyai hak, wewenang dan kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1984 yaitu :
1. Hak Kepala Desa :
a. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dari pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b. Menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang dibebankan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
c. Mendapatkan bimbingan dan pembinaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2. Wewenang Kepala Desa :
a. Pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
b. Pembinaan ideologi negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa di wilayah desanya.
c. Pembinaan tertib pemerintahan di wilayah desanya.
d. Pembinaan tugas-tugas pemerintahan lainnya yang ditugaskan oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
e. Menyelenggarakan koordinasi fungsional di desa.
3. Kewajiban Kepala Desa :
a. Memelihara dan meningkatkan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
b. Memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pembangunan yang ada di wilayah desanya.
6. c. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang ditugaskan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa Kepala Desa dipilih secara
langsung, umum dan rahasia oleh penduduk yang telah berusia 17 tahun. Selanjutnya sesuai dengan pasal 6
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dari calon yang terpilih, dan syarat-syarat untuk dapat dipilih
menjadi Kepala Desa antara lain sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang
berpengetahuan yang setingkat dengan itu.
b. Sekretaris Desa
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 bahwa sekretaris desa adalah unsur staf yang
membantu kepala desa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan
bertugas
1. Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, serta menyampaikan kepada yang
bersangkutan.
2. Melaksanakan urusan keuangan.
3. Melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
4. Tuigas yang paling penting adalah melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa
berhalangan melaksanakan tugasnya.
Sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati kepala daerah tingkat II setelah mendengar
pertimbangan camat atas usul kepala desa sesudah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1979). Sekretaris desa karena jabatanya menjadi sekretaris Lembaga Musyawarah Desa
dan sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
c. Kepala Dusun
Kepala dusun/kepala lorong berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa dalam wilayah kerjanya.
Adapun tugas dan wewenang kepala dusun adalah menjalankan kegiatan kepala desa yaitu menyangkut dengan
kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban di
wilayah kerjanya masing-masing. Di samping itu juga pelaksana dari keputusan kepala desa.
Kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikota kepada daerah tingkat II atas
usul kepala desa (pasal 9 ayat 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1979).
d. Kepala Urusan
Kepala urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu sekretaris desa. Tugas dan urusan meliputi kegiatan-
kegiatan melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan dan urusan
umum sesuai dengan bidang masing-masing. Jumlah kepala urusan tiap-tiap desa adalah sekurang-kurangnya 3
yaitu kepala urusan pemerintahan, kepala urusan pembangunan, kepala urusan umum. Apabila perlu, dapat
ditambah sehingga sebanyak-banyak 5 kepala urusan yaitu selain yang diatas ditambah lagi 2 yaitu kepala
urusan kesejahteraan rakyat dan kepala urusan keuangan.
Kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingakt
II atas usul kepala desa.
e. Lembaga Musyawarah Desa
Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dibentuk berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979. Dalam
ayat 4 pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan mengenai LMD akan ditetapkan dengan peraturan daerah
7. sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 17
Undang-Undang No. 5 tahun 1979 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1981 dan
selanjutnya untuk Daerah Istimewa Aceh (saat ini Nanggroe Aceh Darussalam) telah dikeluarkan Peraturan
Daerah No. 7 tahun 1982.
Dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa lembaga
Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada
di desa. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan memperhatikan sungguh-
sungguh kenyataan hidup dan berkembang dalam masyarakat desa bersangkutan. Hasil musyawarah kemudian
ditetapkan dalam keputusan desa dan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat untuk mendapatkan
pengesahannya. Kepala desa karena jabatannya menjadi ketua LMD dan sekretaris desa menjadi sekretaris
LMD.
Keanggotaan LMD disusun berdasarkan hasil pemufakatan yang dilakukan oleh kepala desa dengan pemuka-
pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan jumlah sekurang-kurangnya 9 orang dan sebanyak-
banyaknya 15 orang tidak termasuk ketua dan sekretaris
f. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah suatu lembaga masyarakat yang merupakan wadah
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Tugas pokok dari LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan
dalam
1. Merencanakan pembangunan yang didasarkan atas asas musyawarah.
2. Menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan
secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong
masyarakat.
3. Menumbuhkan kondisi dinamis di desa atau kelurahan.
Lembaga ini adalah pembantu pemerintah desa/kelurahan dalam menumbuhkan prakarsa dan menggerakkan
swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam
menghadapi dan mengatasi segala hambatan dan tantangan dalam rangka pembinaan/pengembangan desa,
juga diharapkan dapat memberikan motivasi bagi membangkitnya potensi masyarakat desa untuk kepentingan
pembangunan.
Adapun disamping mempunyai tugas pokok sebagaimana yang telah disebutkan di atas, LKMD mempunyai
fungsi sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980
adalah
1. Sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila.
2. Menanamkan pengertian dan kesadaran penghayatan dan pengamalan Pancasila.
3. Menggali, memanfaatkan potensi dan menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat untuk
pembangunan.
4. Sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat serta antarmasyarakat untuk pembangunan.
5. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
6. Membina dan menggerakkan potensi pemuda untuk pembangunan.
7. Meningkatkan peran wanita dalam mewujudkan keluarga sejahtera.
8. 8. Membina kerja sama antarlembaga yang ada dalam masyarakat.
9. Melaksanakan tugas-tugas lain dalam rangka membantu pemerintah desa atau pemerintah kelurahan untuk
menciptakan ketahanan yang mantap.
Dilihat dari segi operasional pemerintah desa merupakan suatu proses kerjasama yang dari lembaga-lembaga
formal yang ada seperti disebutkan di atas.
2. Lembaga Nonformal
Selain lembaga-lembaga formal seperti yang disebutkan di atas, di desa/gampong masih terdapat lembaga
nonformal (yang sebelumnya merupakan lembaga formal) yang kadang-kadang masih diakui keberadaannya
oleh masyarakat, walaupun menurut undang-undang tidak disebutkan.
a. Imeum Meunasah
Kedudukan imeum meunasah dalam sistem pemerintahan desa baik di Aceh maupun di Pidie sangat
dominan. Setiap desa di Pidie mempunyai imeum meunasah masing-masing. Antara imeum meunasah
dengan keuchik/geuchik/kepala desa terjalin hubungan yang dwitunggal, yang saling membutuhkan
satu sama lain. Kepala desa/keuchik/geuchik mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hubungan kemasyarakatan, sedangkan imeum meunasah lebih banyak memfokuskan tugasnya di
bidang keagamaan, pelaksanaan ibadah, peringatan hari-hari besar Islam, dan sebagainya.
Dalam masyarakat keberadaan imeum meunasah ini sangat dihormati. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar
karena kehidupan masyarakat Pidie yang sangat Islami. Keputusan-keputusan atau nasihat imeum meunasah
lebih dipatuhi oleh masyarakat tanpa paksaan. Keputusan yang tumbuh dari hati masyarakat itu sendiri.
Imeum meunasah diangkat melalui musyawarah desa. Namun demikian, orang yang menjadi imeum meunasah
haruslah orang yang benar-benar menguasai ajaran-ajaran agama Islam, di samping itu ia harus pula memiliki
akhlak yang mulia sebagai panutan setiap warga desa.
Peranan imeum meunasah sangat besar pengaruhnya terhadap ketentraman masyarakat. Imeum meunasah
bersikap netral yang tidak memihak salah satu golongan. Saat ini keberadaan imeum meunasah dalam struktur
organisasi pemerintah desa ada yang melebur menjadi anggota LMD dan ada pula pada bidang tugas lainnya.
b. Keujruen Blang
Keujruen Blang sangat besar peranannya dalam bidang pertanian. Keujruen Blang menjalankan fungsi mengatur
segala sesuatu yang berhubungan dengan jadwal turun ke sawah, mengatur pengadaan air irigasi dan tugas-
tugas pertanian lainnya. Oleh karena itu, untuk memangku jabatan keujruen blang haruslah orang-orang yang
mempunyai pengalam dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya produksi pangan juga
sangat ditentukan oleh keberadaan keujruen blang. Perhitungan kapan mulai turun ke sawah, membersihkan tali
air dan peraturan-peraturan lainnya ditentukan oleh keujruen blang.
c. Panglima Laot
Lembaga panglima laot merupakan sebuah organisasi dalam bentuk persekutuan hukum adat laot. Persekutuan
hukum tersebut dalam menjalankan tugas di bidang kelautan didukung oleh Panglima Laot, Pawang, Aneuk
Pukat, dan Muge (Sulaiman Lubis, 1978: 16). Lembaga ini biasanya terdapat pada desa/gampong yang berada
di daerah pantai.
Penunjukan panglima laot dilakukan atas dasar pemilihan oleh dan dari pawang, pukat, perkumpulan yang
bersangkutan serta ada persetujuan dari uleebalang. Menurut ketentuan pasal 5 Perda No. 2 tahun 1990 bahwa
9. lembaga panglima laot berfungsi membantu kepala desa/keuchik/geuchik dalam pembangunan kemasyarakatan
dan adat istiadat, terutama yang menyangkut masalah kelautan.
Adapun yang merupakan tugas dari panglima laot adalah sebagai berikut.
1. Mengatur segala kegiatan para nelayan yang melakukan penangkapan ikan dan hasil laut lainnya.
2. Mengatur waktu turun ke laut.
3. Mendamaikan perselisihan yang terjadi antara para nelayan dalam lingkungan wilayahnya.
4. Menjaga dan mengawasi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penangkapan ikan di laut.
5. Membantu imeum mukim dalam menjaga keamanan dan ketertiban daerah pantai dan laut.
6. Membantu imeum mukim dalam mengusahakan perbaikan kehidupan nelayan.
7. Dengan demikian, panglima laot mempunyai kedudukan dan peran penting di dalam masyarakat, khususnya
masyarakat nelayan yang hidup di pantai.
d. Seunebok Baro
Seunobok merupakan suatu organisasi persekutuan adat pada masyarakat yang berada di wilayah pertanian.
Seunebok dipimpin oleh seorang ketua, yang dalam konsep hukum adat Aceh disebut dengan peutua seunebok.
Peutua seunebok berperan dalam usaha perambahan hutan untuk pembukaan lahan pertanian baru. Pada
umumnya pembukaan lahan pertanian baru dilakukan setelah dimusyawarahkan lebih dahulu dengan peutua
seunebok setempat.
Peutua seunobok membantu tugas-tugas kepala desa/keuchik/geuchik khususnya yang berkaitan dengan
pembukaan lahan pertanian. Dalam menjalankan tugasnya peutua seunebok bertanggung jawab kepada kepala
desa/keuchik/geuchik. Tidak semua desa di Pidie terdapat peutua seunebok. Desa-desa yang mempunyai
peutua seunebok adalah desa-desa yang berada di daerah dataran tinggi (pegunungan) atau daerah yang masih
belantara.
Peutua seunobok umumnya diangkat oleh masyarakat adat di wilayah pembukaan lahan pertanian tersebut.
Peranan peutua seunebok tidak begitu tampak dalam masyarakat adat karena organisasi ini tidak menyentuh
seluruh lapisan masyarakat. Peutua seunebok hanya berperan pada saat perambahan hutan untuk membuka
lahan pertanian baru, setelah itu peutua seunebok tidak berperan lagi.
e. Tuha Peut
Tuha peut merupakan lembaga adat yang masih besar pengaruhnya dalam sistem pemerintahan desa di Pidie.
Keberadaan tuha peut terutama membantu kepala desa dalam menjalankan tugasnya di bidang
kemasyarakatan. Lembaga tuha peut berfungsi secara optimal dalm struktur pemerintahan desa/gampong
sebagai lembaga pengontrol (legislatif), hukum adat, dan peradilan (yudikatif) bagi setiap lapisan masyarakat
(Muhammad Gade, 1992: 18). Tuha peut secara sederhana dapat kita sebutkan bahwa tugas mereka meliputi
bidang agama, adat, pertanian dam cendikiawan.
Tuha peut terdiri dari tokoh-tokoh kharismatik yang dipilih masyarakat desa dalam suatu musyawarah dan
diangkat oleh kepala desa. Tuha peut lebih banyak berperan memberikan pertimbangan-pertimbangan dan
nasihat-nasihat kepada kepala desa. Demikian juga masyarakat sering meminta nasihat tuha peut dalam
berbagai masalah kemasyarakatan.
Pembentukan lembaga tuha peut di Kabupaten Pidie adalah sah dan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Pidie No. 6 tahun 1966 (Abdul Kadir, 1988: 214). Wakil rakyat yang duduk dalam lembaga ini
dianggap mampu, cukup berpengalaman, dan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang adat-istiadat
gampong. Snouck Hurgronje (1906: 75) menyebutkan dengan men of experience, woldly wisdom, good
10. mannerand knowledge of the adat the gampong. Lembaga tuha peut diketuai oleh keuchik/geuchik karena
jabatannya.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, pembinaan terhadap
kedudukan tuha peut dalam sistem pemerintahan desa telah kurang mendapat perhatian dan kurang
difungsikan, jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum lahirnya undang-undang tersebut. Namun demikian
ada kesan dari penelitian ini sebagian masyarakat desa masih mendambakan agar fungsi tuha peut berlaku
seperti sedia kala.