SlideShare a Scribd company logo
Suara Pembaruan 
Minggu, 24 Juni 2007 
Dalam Rindu 
Cerpen: Hembang Tambun 
Aku benci rumah sakit. Tempat itu begitu dekat dengan kematian. Aku benci bau obat. 
Aromanya sangat tidak nyaman di hidungku. Aku benci dokter dan perawat. Mereka 
bisanya hanya menakut-nakutiku dengan jarum suntik yang membuatku bermimpi buruk 
sewaktu kecil. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini, aku harus belajar mengakrab-akrabkan 
diri dengan mereka semua. Belajar membetah-betahkan diri, bahkan menginap di 
ruang putihnya saat harus berjaga sepanjang malam. Belajar menahan muntah, meski bau 
obat itu masih terasa menusuk-nusuk. Belajar tersenyum pada dokter dan perawat, karena 
sekalipun mereka identik dengan jarum suntik, aku tahu itu bukan untukku. 
Dan sekarang, lagi-lagi rumah sakit ini berhasil memenjarakanku. Duduk di salah satu 
ruang sempitnya, menatap dalam-dalam pada wajah letih seorang perempuan tua yang 
sedang terbaring di salah satu bangsalnya. Wajah itu berkerut-kerut, seolah hendak 
mengukir jalan-jalan yang sudah ditapakinya sepanjang hayatnya yang melelahkan. Rongga 
matanya cekung, menciptakan dua lobang hitam di wajah tirusnya. Irama nafasnya mulai 
teratur. Dadanya bergerak naik turun dengan nada yang sama. Aku mengawasinya dengan 
hati penuh haru. 
Malam ini barulah ia bisa sedikit tenang setelah minum obat yang diberi dokter. Sepanjang 
dua malam, sejak ia diopname di sini, ia tak pernah setenang ini. Selalu mengerang dan 
mengaduh kesakitan. Ia tak selera menyantap apapun. Pun sekadar mencicipinya. Kalaupun 
dengan setengah terpaksa ia mau karena bujukanku yang mengiba, maka dalam sekejap ia 
langsung memuntahkan makanan itu. Lalu hanya wajah pucatnya yang tersisa. Aku pun 
hanya bisa menangis tertahan sambil menenangkannya. Akhirnya ia hanya bisa bergantung 
pada obat-obatan dari selang infus di pergelangan tangannya sebagai sumber penguat 
tubuhnya, serta dari beberapa suntikan yang sangat menyiksanya. 
"Tii...goor...!!!" suara paraunya terdengar seperti igauan. Lalu menceracau tidak jelas. 
Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah hendak mencari posisi tidur yang pas. 
"Aku di sini, Inong! Aku ada di sini!" kataku berbisik di telinganya, sambil menggenggam 
erat tangannya. Telapak tangannya yang kasar begitu kaku. Dingin. Kubetulkan selimut 
yang menutupi badannya. Kuelus keningnya perlahan sambil merapikan beberapa helai 
anak rambutnya yang menjuntai. Kukatupkan bibir dan kupejamkan mata menahan butir air 
yang sudah menggenang di pelupuk. Kalau tidak, butiran itu akan jatuh tepat di wajah ibu 
dan malah akan membangunkannya. 
Kembali kuterdiam. Hening. Aku hanya bisa terduduk di samping bangsal ibu di kamar 
putih ini, memandangi wajahnya sepuasnya tanpa henti, sambil mengucap doa-doa untuk 
kesembuhannya. Ia benar-benar tak berdaya. Seperti seorang pecundang yang dikalahkan 
oleh kerasnya hidup, seletih wajah pasukan yang terpukul mundur dari medan perang yang 
tak terhindarkan. 
"Inong...!" aku bergumam perlahan sembari membayangkan betapa ia juga dulu sering 
menatapku seperti ini, saat aku juga sama sekali tak berdaya di tahun-tahun pertamaku 
menyapa kehidupan. Ia sering memandangiku sampai terlelap, mengucap doa-doa, 
menguntai satu harap akan masa depan yang lebih baik untukku. 
Dulu, ibuku seorang yang kuat. Perkasa. Ia pekerja keras yang tak kenal letih, seperti
kebanyakan petani di kampung kami. Dunianya pun tak lebih dari sawah dan ladang 
belaka. Kerja dan kerja, hanya itu yang ada dalam kamusnya. Ia sudah berada di sawah 
mendahului matahari di waktu pagi, seolah ia hendak membangunkan fajar, dan ia baru tiba 
di rumah, setelah matahari jatuh di peraduannya. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana 
memperoleh hasil panen yang lebih banyak, karena setiap bulan, anaknya yang kuliah di 
kota provinsi akan menagih jatah bulanannya. Belum lagi anak-anaknya yang masih ada di 
sekolah lanjutan, yang sebentar lagi juga akan membutuhkan biaya yang semakin besar. 
Makanya jangan heran bila sepulang dari sawah, pertanyaan pertama yang akan terdengar 
adalah, "Kau sudah kasih makan pinahan kita?" Bukan pertanyaan, "Kau sudah mandi, 
Nak?" Atau, "Bagaimana pelajaran sekolahmu?" 
Namun, sekalipun semua perhatian sentimentil seperti itu tidak akan pernah terdengar dari 
bibirnya, aku tahu hatinya penuh dengan semangat memperjuangkan anak-anaknya. Entah 
siapa yang berhasil menanamkan prinsip anakhonhi do hamoraon di ahu ke dalam 
pikirannya, juga bagi mayoritas suku kami. Sepertinya prinsip itu sudah menjadi bagian 
yang melekat dengan detak jantungnya, bagian dari nafasnya. Hingga dengan seluruh daya 
ia berjuang tanpa henti. Dan, mungkin baginya, waktu dua puluh empat jam sehari itu 
seolah tidak pernah cukup untuk membaktikan dirinya bagi anak-anaknya. 
Dan beban itu semakin berat saja dipikulnya ketika di suatu malam yang naas, sepulang 
menghadiri upacara adat, mobil yang membawa ayah mengalami kecelakaan yang 
memaksanya untuk beristirahat total di rumah untuk selamanya. Tak ada lagi yang 
membantunya sejak saat itu. Ia harus benar-benar bisa mengandalkan dirinya sendiri. 
Apalagi ayah cuma sanggup bertahan hidup hampir setahun, setelah dua petak sawah 
tergadai untuk menutupi biaya pengobatannya. 
Maka semakin rentalah ia. Semakin keraslah ia membanting tulang dengan harapan anak-anaknya 
tidak akan semenderita dirinya kelak. Sungguh suatu harapan mulia yang 
diidamkan semua orang tua. 
"Tiii...goor...!!!" igauan ibu terdengar lagi. 
"Inong, aku di sini!" bisikku lagi sambil mengelap sebutir keringat yang mengalir di 
keningnya. Kubelai pipinya dengan punggung tanganku. 
"Tiii...goor...!!!" 
"Inong, anakmu ada di sini!" desisku lagi dengan perlahan. Hatiku terenyuh melihat 
bibirnya yang komat kamit menyebut nama anak terkasihnya, seperti melafazkan tabas dari 
alam bawah sadarnya. 
* 
Dulu, ibuku telah berjuang antara hidup dan mati sebanyak sebelas kali untuk melahirkan 
kami ke dunia ini. Ya, sebelas kali! Kami sebelas bersaudara, hanya saja tiga orang 
meninggal sewaktu masih bayi, karena tidak tersedianya sarana pertolongan kesehatan yang 
memadai di desa kami yang terpencil. Belasan orang bersaudara adalah jumlah yang 
sangat-sangat biasa bagi generasi saat itu. Sampai-sampai pemerintah menggalakkan 
Program KB (Keluarga Berencana) hingga ke pelosok-pelosok dengan motto: dua anak 
cukup, laki-laki perempuan sama saja! untuk meredam melonjaknya angka kelahiran. 
Sungguh suatu slogan yang membuat ibu-ibu yang sudah terlanjur beranak banyak menjadi 
minder. 
Namun sejujurnya bukan program itu yang menghambat angka kelahiran di desaku.
Umumnya ibu-ibu memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi saat anak siakkangan-nya 
sudah menikah. Karena bila cucunya berusia lebih tua dari anaknya sendiri, akan menjadi 
prestasi yang agak memalukan, dan sering menjadi bahan olokan di masyarakat. Persis 
dengan yang terjadi denganku. Ibuku mengandungku saat kakakku yang paling tua sedang 
mengandung anak sulungnya. 
"Tii...goor...!!!" 
Sekali lagi, dengan perlahan aku mengusap kening ibu sambil membisikkan jawaban 
lembut di telinganya. Keningnya masih terasa dingin. Betapa ibanya aku menatapnya dalam 
kondisi seperti ini. Sedalam apakah kerinduanmu terhadap anak-anakmu, Ibu? 
Semenjak aku membawa ibu ke rumah sakit ini, aku sudah segera menghubungi kakak 
yang tinggal di Jakarta maupun Surabaya untuk mengabari kondisi ibu. Tetapi mereka 
cuma bilang, "Segera kabari kami kalau kondisinya semakin kritis!" Itupun hanya melalui 
pesan singkat SMS. Mereka semua sama saja! 
Aku mendongkol dengan ketakperdulian mereka. Mentang-mentang mereka sudah pada 
sibuk dengan urusan keluarga mereka masing-masing, mereka mengacuhkan ibu yang 
sepertinya cuma menjadi pelengkap penderita, bahkan kadang-kadang jadi beban yang 
memberati mereka. Ataukah mereka telah memposisikan ibu - yang tak bisa lagi berbuat 
apa-apa itu - sebagai benalu? Parasit? Ah...! Andai mereka tahu tak henti-hentinya ibu 
memikirkan mereka.... 
"Mii...numm...! Ha...uss...!" desis ibu lemah. 
Kusodorkan sesendok air putih ke bibir keringnya. Tapi membuka mulutnya saja pun sudah 
membutuhkan satu usaha cukup keras darinya. Kucelupkan dua jariku ke segelas air putih 
dan membasahi bibirnya. 
Sekarang semuanya serba terbalik. Di tengah segala kesibukannya, dulu, ialah yang dengan 
penuh sabar memberiku minum tanpa mengeluh. Ialah yang mamemei aku. Ialah yang 
menunggui aku sampai terlelap. Ia pulalah yang mengajari aku dengan kata pertamaku, 
mengenalkanku pada segala sesuatu serta menjelaskan kegunaan segala benda yang masih 
asing bagiku, walaupun terkadang aku dengan teganya malah membalas dengan bentakan 
kasar saat ia berulangkali bertanya bagaimana memakai sebuah benda produksi abad ke-21. 
"Tii...goor...!!!" 
Suara ibu terdengar tertahan bersamaan dengan sebuah getar hand-phone di saku celanaku. 
Aku menenangkan ibu dengan sebuah usapan di keningnya sambil tangan kiriku berusaha 
merogoh HP (hand phone). Ternyata sebuah SMS dari kakak nomor lima yang tinggal di 
Makassar bersama suaminya. Lagi-lagi cuma bilang agar aku segera mengabari mereka bila 
kondisi ibu makin memburuk. Ah, ibu. Apakah hanya kabar kematianmu saja yang ingin 
mereka dengarkan saat ini? Terlalu merepotkankah seorang ibu yang tergolek tak berdaya 
di masa tuanya bagi mereka yang pernah bergelung nyaman di dalam rahimnya? 
Dasar anak-anak durhaka, geramku. Hatiku bergolak dengan sikap mereka yang tak 
memikirkan ibu yang sedang sekarat di depanku saat ini. Layakkah perlakuan sedemikian 
dituainya setelah sepanjang usia ia menabur berjuta asa? Belum cukupkah kisah Si Mardan 
atau Malin Kundang menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak yang melupakan budi baik 
orang tua? Perlukah ditulis cerita baru tentang kedurhakaan para durjana yang berlaku 
bagai kacang lupa kulitnya?
"Tiii...goor...!!!" 
Kutatap lagi wajah letih ibu. Kuelus dahi keriputnya. Ada sejumput bahagia yang tersamar 
bertunas di hatiku karena bisa menemaninya melewati malam-malam sunyi yang gulita dan 
menenangkan gundahnya. Andai ada hal besar yang bisa kulakukan untuk 
kesembuhannya.... 
Kugenggam tangan kanan ibu dengan kedua tanganku dan kutundukkan kepalaku. 
Kupejamkan mataku, memanjatkan doa untuk kepulihannya. Sukmaku melayang 
menembus langit-langit, mengadu pada satu kekuatan mahadahsyat yang menurutku 
mampu mengatasi semua masalahku, juga ibuku. Lalu semuanya senyap. Hanya hening 
meraja. Dan rasa kantuk tiba-tiba menyergapku dari segala arah, mengatupkan kedua 
mataku seolah ditindih pemberat yang tak mampu kusingkirkan. 
* 
Aku terjaga saat tangan ibu ditarik dengan sedikit menyentak, mengejutkanku. Entah sudah 
berapa lama aku tertidur sambil menggenggam tangannya. Lalu kulihat wajahnya yang 
berbinar menatapku dengan kerinduan yang seolah terpuaskan. Tangannya gementar 
memegangi rambut pendekku. Berusaha ditegakkannya kepalaku agar ia bisa melihat 
wajahku lebih jelas. Sepertinya ia ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku ke 
arahnya. Kubimbing tangannya membelai wajahku, dan kudekap dia dengan penuh kasih 
sayang. 
"Oh... Tii...goor! Ooh...! Akhirnya kau pulang juga...!" katanya terbata-bata sambil 
mengencangkan pelukannya dan menciumi wajahku. Suaranya terdengar serak, seolah 
hanya desis yang dipaksakan bergema di telingaku. 
Dan aku balas memeluknya. Air mataku meruah dalam dekapannya. 
Padahal aku bukan Tigor, satu-satunya anak lelaki di keluarga kami yang sudah puluhan 
tahun tak pernah pulang tanpa kabar, sejak meninggalkan kuliahnya begitu saja. Kabar 
angin yang bergaung mengatakan ia kawin dengan seorang gadis Banjar dan tinggal di 
Kalimantan sana. Anak yang tak punya rasa rindu itu seperti menguap begitu saja, hilang 
tanpa bekas, menghadiahkan nestapa bagi ibu sebagai balas jasanya. 
Aku adalah Tiur, boru siampudan yang namanya tak pernah ibu sebut dalam 
rindunya....*** 
Tanah Deli, 02 Februari 2007, 23:09:47/ 02 Juni 2007 
Catatan: 
Inong : ibu 
Pinahan : hewan ternak (khususnya babi) 
Anakhonhi do hamoraon di ahu: 
anakku itulah harta/kekayaan bagiku 
Tabas : mantra 
Siakkangan : anak sulung 
Mamemei : memberi makanan yang telah terlebih dahulu dihaluskan di dalam mulut 
Boru siampudan : putri bungsu

More Related Content

What's hot

Lifeline
LifelineLifeline
Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)
Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)
Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)
Izhan Nassuha
 
Cerita nyata yg mengharukan
Cerita nyata yg mengharukanCerita nyata yg mengharukan
Cerita nyata yg mengharukanErman Hidayat
 
Durian (djenar maesa ayu)
Durian (djenar maesa ayu)Durian (djenar maesa ayu)
Durian (djenar maesa ayu)
Andri Goodwood
 
Berdiri diatas impian
Berdiri diatas impianBerdiri diatas impian
Berdiri diatas impian
Edis Al Arshy
 
Cerita
CeritaCerita
Cerpen Sixth sense
Cerpen Sixth senseCerpen Sixth sense
Cerpen Sixth sense
Ana Puja Prihatin
 
Aku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinyaAku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinya
Pangeran Multilevel
 
Tangisan 12 malam
Tangisan 12 malamTangisan 12 malam
Tangisan 12 malam
Neyo Jr.
 
Teror via email part 1
Teror via email part 1Teror via email part 1
Teror via email part 1
Alya Titania Annisaa
 
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Arvinoor Siregar SH MH
 

What's hot (12)

Lifeline
LifelineLifeline
Lifeline
 
Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)
Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)
Ebook learning for life (Cerita inspiratif pembangun motivasi hidup)
 
Cerita nyata yg mengharukan
Cerita nyata yg mengharukanCerita nyata yg mengharukan
Cerita nyata yg mengharukan
 
Durian (djenar maesa ayu)
Durian (djenar maesa ayu)Durian (djenar maesa ayu)
Durian (djenar maesa ayu)
 
Berdiri diatas impian
Berdiri diatas impianBerdiri diatas impian
Berdiri diatas impian
 
Cerita
CeritaCerita
Cerita
 
Cerpen Sixth sense
Cerpen Sixth senseCerpen Sixth sense
Cerpen Sixth sense
 
Aku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinyaAku terpaksa-menikahinya
Aku terpaksa-menikahinya
 
Tangisan 12 malam
Tangisan 12 malamTangisan 12 malam
Tangisan 12 malam
 
Astral Travel Agent
Astral Travel AgentAstral Travel Agent
Astral Travel Agent
 
Teror via email part 1
Teror via email part 1Teror via email part 1
Teror via email part 1
 
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
Ilusi musim gugur (nugroho sukmanto)
 

Viewers also liked

Dadong dauh (sunaryono basuki ks)
Dadong dauh (sunaryono basuki ks)Dadong dauh (sunaryono basuki ks)
Dadong dauh (sunaryono basuki ks)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Atheis (m. dawam rahardjo)
Atheis (m. dawam rahardjo)Atheis (m. dawam rahardjo)
Atheis (m. dawam rahardjo)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Nurani manusia (iskandar saputra)
Nurani manusia (iskandar saputra)Nurani manusia (iskandar saputra)
Nurani manusia (iskandar saputra)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Arvinoor Siregar SH MH
 

Viewers also liked (7)

Dadong dauh (sunaryono basuki ks)
Dadong dauh (sunaryono basuki ks)Dadong dauh (sunaryono basuki ks)
Dadong dauh (sunaryono basuki ks)
 
Atheis (m. dawam rahardjo)
Atheis (m. dawam rahardjo)Atheis (m. dawam rahardjo)
Atheis (m. dawam rahardjo)
 
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
Gerimis yang sederhana (eka kurniawan)
 
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
Dilarang menjala ikan di hari sabtu (denny prabowo)
 
Nurani manusia (iskandar saputra)
Nurani manusia (iskandar saputra)Nurani manusia (iskandar saputra)
Nurani manusia (iskandar saputra)
 
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
Sayap malaikat (hamzah puadi ilyas)
 
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
Burung di atas kuburan (nugroho sukmanto)
 

Similar to Dalam rindu (hembang tambun)

Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)
arvin2014
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiriNovi Indah
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Para Penanti
Para PenantiPara Penanti
Para Penanti
Aulia Andri
 
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlapCerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
taufikku
 
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Kabut jingga
Kabut jinggaKabut jingga
Kabut jingga
desmin
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuHeni Handayani
 
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016] Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Ida Bagus Anom Sanjaya
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
BPBD Provonsi DKI Jakarta
 
Sahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lainSahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lainindaheja
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
HendryPutrihijau
 
Skrip-bercerita-tahap-1
 Skrip-bercerita-tahap-1 Skrip-bercerita-tahap-1
Skrip-bercerita-tahap-1
rozitabtzain
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangdesmin
 
Kereta malam
Kereta malamKereta malam
Kereta malam
Muhammad Ilham
 
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Aldon Samosir
 

Similar to Dalam rindu (hembang tambun) (20)

Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)Dalam rindu (hembang tambun)
Dalam rindu (hembang tambun)
 
cerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiricerpen karangan sendiri
cerpen karangan sendiri
 
Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)Ibu meninggal (hudan hidayat)
Ibu meninggal (hudan hidayat)
 
Para Penanti
Para PenantiPara Penanti
Para Penanti
 
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlapCerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
 
Hyrftu
HyrftuHyrftu
Hyrftu
 
Ustad yusuf mansur
Ustad yusuf mansurUstad yusuf mansur
Ustad yusuf mansur
 
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
 
Kabut jingga
Kabut jinggaKabut jingga
Kabut jingga
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktu
 
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016] Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
Bila Kita Bersyukur [Cerpen ARKI 2016]
 
Doa emak untuk asa
Doa emak untuk asaDoa emak untuk asa
Doa emak untuk asa
 
Sahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lainSahabat dari dunia lain
Sahabat dari dunia lain
 
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasicerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
cerpen rekomendasi analisis penuh unsur yang bisa di eksplorasi
 
Skrip-bercerita-tahap-1
 Skrip-bercerita-tahap-1 Skrip-bercerita-tahap-1
Skrip-bercerita-tahap-1
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembang
 
Kereta malam
Kereta malamKereta malam
Kereta malam
 
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
 

More from Arvinoor Siregar SH MH

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
Arvinoor Siregar SH MH
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
Arvinoor Siregar SH MH
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
Arvinoor Siregar SH MH
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
Arvinoor Siregar SH MH
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
Arvinoor Siregar SH MH
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
Arvinoor Siregar SH MH
 
Slavery
SlaverySlavery
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
Arvinoor Siregar SH MH
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
Arvinoor Siregar SH MH
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
Arvinoor Siregar SH MH
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
Arvinoor Siregar SH MH
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
Arvinoor Siregar SH MH
 

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Dalam rindu (hembang tambun)

  • 1. Suara Pembaruan Minggu, 24 Juni 2007 Dalam Rindu Cerpen: Hembang Tambun Aku benci rumah sakit. Tempat itu begitu dekat dengan kematian. Aku benci bau obat. Aromanya sangat tidak nyaman di hidungku. Aku benci dokter dan perawat. Mereka bisanya hanya menakut-nakutiku dengan jarum suntik yang membuatku bermimpi buruk sewaktu kecil. Tetapi sejak beberapa tahun terakhir ini, aku harus belajar mengakrab-akrabkan diri dengan mereka semua. Belajar membetah-betahkan diri, bahkan menginap di ruang putihnya saat harus berjaga sepanjang malam. Belajar menahan muntah, meski bau obat itu masih terasa menusuk-nusuk. Belajar tersenyum pada dokter dan perawat, karena sekalipun mereka identik dengan jarum suntik, aku tahu itu bukan untukku. Dan sekarang, lagi-lagi rumah sakit ini berhasil memenjarakanku. Duduk di salah satu ruang sempitnya, menatap dalam-dalam pada wajah letih seorang perempuan tua yang sedang terbaring di salah satu bangsalnya. Wajah itu berkerut-kerut, seolah hendak mengukir jalan-jalan yang sudah ditapakinya sepanjang hayatnya yang melelahkan. Rongga matanya cekung, menciptakan dua lobang hitam di wajah tirusnya. Irama nafasnya mulai teratur. Dadanya bergerak naik turun dengan nada yang sama. Aku mengawasinya dengan hati penuh haru. Malam ini barulah ia bisa sedikit tenang setelah minum obat yang diberi dokter. Sepanjang dua malam, sejak ia diopname di sini, ia tak pernah setenang ini. Selalu mengerang dan mengaduh kesakitan. Ia tak selera menyantap apapun. Pun sekadar mencicipinya. Kalaupun dengan setengah terpaksa ia mau karena bujukanku yang mengiba, maka dalam sekejap ia langsung memuntahkan makanan itu. Lalu hanya wajah pucatnya yang tersisa. Aku pun hanya bisa menangis tertahan sambil menenangkannya. Akhirnya ia hanya bisa bergantung pada obat-obatan dari selang infus di pergelangan tangannya sebagai sumber penguat tubuhnya, serta dari beberapa suntikan yang sangat menyiksanya. "Tii...goor...!!!" suara paraunya terdengar seperti igauan. Lalu menceracau tidak jelas. Kemudian ia memiringkan kepalanya seolah hendak mencari posisi tidur yang pas. "Aku di sini, Inong! Aku ada di sini!" kataku berbisik di telinganya, sambil menggenggam erat tangannya. Telapak tangannya yang kasar begitu kaku. Dingin. Kubetulkan selimut yang menutupi badannya. Kuelus keningnya perlahan sambil merapikan beberapa helai anak rambutnya yang menjuntai. Kukatupkan bibir dan kupejamkan mata menahan butir air yang sudah menggenang di pelupuk. Kalau tidak, butiran itu akan jatuh tepat di wajah ibu dan malah akan membangunkannya. Kembali kuterdiam. Hening. Aku hanya bisa terduduk di samping bangsal ibu di kamar putih ini, memandangi wajahnya sepuasnya tanpa henti, sambil mengucap doa-doa untuk kesembuhannya. Ia benar-benar tak berdaya. Seperti seorang pecundang yang dikalahkan oleh kerasnya hidup, seletih wajah pasukan yang terpukul mundur dari medan perang yang tak terhindarkan. "Inong...!" aku bergumam perlahan sembari membayangkan betapa ia juga dulu sering menatapku seperti ini, saat aku juga sama sekali tak berdaya di tahun-tahun pertamaku menyapa kehidupan. Ia sering memandangiku sampai terlelap, mengucap doa-doa, menguntai satu harap akan masa depan yang lebih baik untukku. Dulu, ibuku seorang yang kuat. Perkasa. Ia pekerja keras yang tak kenal letih, seperti
  • 2. kebanyakan petani di kampung kami. Dunianya pun tak lebih dari sawah dan ladang belaka. Kerja dan kerja, hanya itu yang ada dalam kamusnya. Ia sudah berada di sawah mendahului matahari di waktu pagi, seolah ia hendak membangunkan fajar, dan ia baru tiba di rumah, setelah matahari jatuh di peraduannya. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memperoleh hasil panen yang lebih banyak, karena setiap bulan, anaknya yang kuliah di kota provinsi akan menagih jatah bulanannya. Belum lagi anak-anaknya yang masih ada di sekolah lanjutan, yang sebentar lagi juga akan membutuhkan biaya yang semakin besar. Makanya jangan heran bila sepulang dari sawah, pertanyaan pertama yang akan terdengar adalah, "Kau sudah kasih makan pinahan kita?" Bukan pertanyaan, "Kau sudah mandi, Nak?" Atau, "Bagaimana pelajaran sekolahmu?" Namun, sekalipun semua perhatian sentimentil seperti itu tidak akan pernah terdengar dari bibirnya, aku tahu hatinya penuh dengan semangat memperjuangkan anak-anaknya. Entah siapa yang berhasil menanamkan prinsip anakhonhi do hamoraon di ahu ke dalam pikirannya, juga bagi mayoritas suku kami. Sepertinya prinsip itu sudah menjadi bagian yang melekat dengan detak jantungnya, bagian dari nafasnya. Hingga dengan seluruh daya ia berjuang tanpa henti. Dan, mungkin baginya, waktu dua puluh empat jam sehari itu seolah tidak pernah cukup untuk membaktikan dirinya bagi anak-anaknya. Dan beban itu semakin berat saja dipikulnya ketika di suatu malam yang naas, sepulang menghadiri upacara adat, mobil yang membawa ayah mengalami kecelakaan yang memaksanya untuk beristirahat total di rumah untuk selamanya. Tak ada lagi yang membantunya sejak saat itu. Ia harus benar-benar bisa mengandalkan dirinya sendiri. Apalagi ayah cuma sanggup bertahan hidup hampir setahun, setelah dua petak sawah tergadai untuk menutupi biaya pengobatannya. Maka semakin rentalah ia. Semakin keraslah ia membanting tulang dengan harapan anak-anaknya tidak akan semenderita dirinya kelak. Sungguh suatu harapan mulia yang diidamkan semua orang tua. "Tiii...goor...!!!" igauan ibu terdengar lagi. "Inong, aku di sini!" bisikku lagi sambil mengelap sebutir keringat yang mengalir di keningnya. Kubelai pipinya dengan punggung tanganku. "Tiii...goor...!!!" "Inong, anakmu ada di sini!" desisku lagi dengan perlahan. Hatiku terenyuh melihat bibirnya yang komat kamit menyebut nama anak terkasihnya, seperti melafazkan tabas dari alam bawah sadarnya. * Dulu, ibuku telah berjuang antara hidup dan mati sebanyak sebelas kali untuk melahirkan kami ke dunia ini. Ya, sebelas kali! Kami sebelas bersaudara, hanya saja tiga orang meninggal sewaktu masih bayi, karena tidak tersedianya sarana pertolongan kesehatan yang memadai di desa kami yang terpencil. Belasan orang bersaudara adalah jumlah yang sangat-sangat biasa bagi generasi saat itu. Sampai-sampai pemerintah menggalakkan Program KB (Keluarga Berencana) hingga ke pelosok-pelosok dengan motto: dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja! untuk meredam melonjaknya angka kelahiran. Sungguh suatu slogan yang membuat ibu-ibu yang sudah terlanjur beranak banyak menjadi minder. Namun sejujurnya bukan program itu yang menghambat angka kelahiran di desaku.
  • 3. Umumnya ibu-ibu memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi saat anak siakkangan-nya sudah menikah. Karena bila cucunya berusia lebih tua dari anaknya sendiri, akan menjadi prestasi yang agak memalukan, dan sering menjadi bahan olokan di masyarakat. Persis dengan yang terjadi denganku. Ibuku mengandungku saat kakakku yang paling tua sedang mengandung anak sulungnya. "Tii...goor...!!!" Sekali lagi, dengan perlahan aku mengusap kening ibu sambil membisikkan jawaban lembut di telinganya. Keningnya masih terasa dingin. Betapa ibanya aku menatapnya dalam kondisi seperti ini. Sedalam apakah kerinduanmu terhadap anak-anakmu, Ibu? Semenjak aku membawa ibu ke rumah sakit ini, aku sudah segera menghubungi kakak yang tinggal di Jakarta maupun Surabaya untuk mengabari kondisi ibu. Tetapi mereka cuma bilang, "Segera kabari kami kalau kondisinya semakin kritis!" Itupun hanya melalui pesan singkat SMS. Mereka semua sama saja! Aku mendongkol dengan ketakperdulian mereka. Mentang-mentang mereka sudah pada sibuk dengan urusan keluarga mereka masing-masing, mereka mengacuhkan ibu yang sepertinya cuma menjadi pelengkap penderita, bahkan kadang-kadang jadi beban yang memberati mereka. Ataukah mereka telah memposisikan ibu - yang tak bisa lagi berbuat apa-apa itu - sebagai benalu? Parasit? Ah...! Andai mereka tahu tak henti-hentinya ibu memikirkan mereka.... "Mii...numm...! Ha...uss...!" desis ibu lemah. Kusodorkan sesendok air putih ke bibir keringnya. Tapi membuka mulutnya saja pun sudah membutuhkan satu usaha cukup keras darinya. Kucelupkan dua jariku ke segelas air putih dan membasahi bibirnya. Sekarang semuanya serba terbalik. Di tengah segala kesibukannya, dulu, ialah yang dengan penuh sabar memberiku minum tanpa mengeluh. Ialah yang mamemei aku. Ialah yang menunggui aku sampai terlelap. Ia pulalah yang mengajari aku dengan kata pertamaku, mengenalkanku pada segala sesuatu serta menjelaskan kegunaan segala benda yang masih asing bagiku, walaupun terkadang aku dengan teganya malah membalas dengan bentakan kasar saat ia berulangkali bertanya bagaimana memakai sebuah benda produksi abad ke-21. "Tii...goor...!!!" Suara ibu terdengar tertahan bersamaan dengan sebuah getar hand-phone di saku celanaku. Aku menenangkan ibu dengan sebuah usapan di keningnya sambil tangan kiriku berusaha merogoh HP (hand phone). Ternyata sebuah SMS dari kakak nomor lima yang tinggal di Makassar bersama suaminya. Lagi-lagi cuma bilang agar aku segera mengabari mereka bila kondisi ibu makin memburuk. Ah, ibu. Apakah hanya kabar kematianmu saja yang ingin mereka dengarkan saat ini? Terlalu merepotkankah seorang ibu yang tergolek tak berdaya di masa tuanya bagi mereka yang pernah bergelung nyaman di dalam rahimnya? Dasar anak-anak durhaka, geramku. Hatiku bergolak dengan sikap mereka yang tak memikirkan ibu yang sedang sekarat di depanku saat ini. Layakkah perlakuan sedemikian dituainya setelah sepanjang usia ia menabur berjuta asa? Belum cukupkah kisah Si Mardan atau Malin Kundang menjadi pelajaran berharga bagi anak-anak yang melupakan budi baik orang tua? Perlukah ditulis cerita baru tentang kedurhakaan para durjana yang berlaku bagai kacang lupa kulitnya?
  • 4. "Tiii...goor...!!!" Kutatap lagi wajah letih ibu. Kuelus dahi keriputnya. Ada sejumput bahagia yang tersamar bertunas di hatiku karena bisa menemaninya melewati malam-malam sunyi yang gulita dan menenangkan gundahnya. Andai ada hal besar yang bisa kulakukan untuk kesembuhannya.... Kugenggam tangan kanan ibu dengan kedua tanganku dan kutundukkan kepalaku. Kupejamkan mataku, memanjatkan doa untuk kepulihannya. Sukmaku melayang menembus langit-langit, mengadu pada satu kekuatan mahadahsyat yang menurutku mampu mengatasi semua masalahku, juga ibuku. Lalu semuanya senyap. Hanya hening meraja. Dan rasa kantuk tiba-tiba menyergapku dari segala arah, mengatupkan kedua mataku seolah ditindih pemberat yang tak mampu kusingkirkan. * Aku terjaga saat tangan ibu ditarik dengan sedikit menyentak, mengejutkanku. Entah sudah berapa lama aku tertidur sambil menggenggam tangannya. Lalu kulihat wajahnya yang berbinar menatapku dengan kerinduan yang seolah terpuaskan. Tangannya gementar memegangi rambut pendekku. Berusaha ditegakkannya kepalaku agar ia bisa melihat wajahku lebih jelas. Sepertinya ia ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku ke arahnya. Kubimbing tangannya membelai wajahku, dan kudekap dia dengan penuh kasih sayang. "Oh... Tii...goor! Ooh...! Akhirnya kau pulang juga...!" katanya terbata-bata sambil mengencangkan pelukannya dan menciumi wajahku. Suaranya terdengar serak, seolah hanya desis yang dipaksakan bergema di telingaku. Dan aku balas memeluknya. Air mataku meruah dalam dekapannya. Padahal aku bukan Tigor, satu-satunya anak lelaki di keluarga kami yang sudah puluhan tahun tak pernah pulang tanpa kabar, sejak meninggalkan kuliahnya begitu saja. Kabar angin yang bergaung mengatakan ia kawin dengan seorang gadis Banjar dan tinggal di Kalimantan sana. Anak yang tak punya rasa rindu itu seperti menguap begitu saja, hilang tanpa bekas, menghadiahkan nestapa bagi ibu sebagai balas jasanya. Aku adalah Tiur, boru siampudan yang namanya tak pernah ibu sebut dalam rindunya....*** Tanah Deli, 02 Februari 2007, 23:09:47/ 02 Juni 2007 Catatan: Inong : ibu Pinahan : hewan ternak (khususnya babi) Anakhonhi do hamoraon di ahu: anakku itulah harta/kekayaan bagiku Tabas : mantra Siakkangan : anak sulung Mamemei : memberi makanan yang telah terlebih dahulu dihaluskan di dalam mulut Boru siampudan : putri bungsu