Cerita ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Orvala yang bekerja di kafe bernama Fedde Velten Cafe. Dia dikenal sebagai pembancuh minuman coklat khas kafe yaitu Soleil Choco yang sangat populer. Cerita ini juga menggambarkan interaksi hangat antara Orvala dengan kekasihnya Aruna yang juga bekerja di kafe tersebut.
Pengajian am kertas 1 badan berkanun & tidak berkanun
COKLAT
1. Prolog
“Life is like a box of chocolates ... You never know what you’re gonna get.”
~Forrest Gump in Forrest Gump
Renyai hujan malam itu tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setiap individu di
ruang hangat itu terlarut dalam fikiran masing-masing, mengamati coklat panas di depan mereka
seperti layaknya sebuah cermin yang bisa merefleksikan kehidupan. Loceng angin yang
terpasang di atas pintu kafe berdenting nyaring.
Beberapa pengunjung yang sibuk menghirup coklat panas daripada cawan, mencuri
pandang ke arah daun pintu yang setengah terbuka.
Seorang pemuda berambut ikal kecoklatan melangkah santai memasuki kafe hangat itu.
Dia sibuk mengibaskan bahunya, mengusir titis-titis air yang membasahi lengan bajunya.
Helaian anak rambutnya basah, membuat tataan gel di rambutnya sedikit rosak.
“Selamat datang di Fedde Velten Café,” sapa seorang gadis berambut separas punggung
dengan suara ceria.
“Minuman yang sesuai untuk malam ini apa?” Pemuda itu menegakkan kepalanya.
Sepasang matanya menatap gadis berbaju coklat yang tadi menyapanya dengan suara ceria—
memerhati lama. Pemuda itu menarik sudut bibir kanannya, melempar seulas senyum tipis
kepada gadis berambut separas punggung itu. Bola mata hazelnya yang tajam bergerak perlahan
ke kanan, ke dada gadis itu. Membaca name tag berwarna coklat muda yang tersemat di sana.
“Sss … Soleil Choco,” jawab gadis itu tergagap.
Tatapan pemuda bermata tajam itu membuatnya terpaku di tempatnya. Jantungnya
berdegup tidak keruan saat pemuda itu mengangkat sudut bibir kanannya. Bukan, bukan hanya
tatapan pemuda itu yang membuatnya terpaku di tempatnya. Apa pun yang ada pada pemuda
berkemeja biru itu membuat si gadis seperti kehilangan jantungnya. Jantungnya seolah berhenti
bekerja sebaik mendapati si pemuda tersenyum tipis dengan mengangkat sudut bibir kanannya.
Otaknya tiba-tiba tumpul selepas melihat tatapan ekspresif di wajah pemuda itu.
Bola mata berwarna hazel yang sama. Tatapan tajam yang sama. Dan, juga … senyum
janggal sama yang tidak bisa beralih pada wajah siapa pun. Semua yang ada pada pemuda itu
membuat fikiran si gadis menjadi kosong.
1
2. “Orvala ....” Panggilan singkat itu menyentak lamunan si gadis.
Gadis bermata coklat gelap itu menoleh. Cepat-cepat menguasai lamunan yang sempat
menguncinya dengan bayangan memabukkan. Suara bariton yang sudah akrab itu menyebutkan
namanya, melenyapkan kenangan lama yang sesaat tadi hampir muncul. Mata pemuda bersuara
bariton itu tertambat pada pengunjung yang baru saja memasuki kafenya.
“Hai. Bila pulang?” sapa pemilik suara bariton, akrab. Terdengar riang dan penuh
kerinduan.
“Baru beberapa minit lalu—tapi aku sudah ingin mengunjungi kafemu,” jawab pemuda
bermata hazel dengan sengihan lebar. Suaranya berat, nge-bass1
, dan memberi kesan agak serak.
Tubuh gadis berambut separas punggung itu menegang selama beberapa saat. Kakinya
terpaku di tempat, membuat tubuhnya terasa kebas.
Kedua orang ini saling mengenal, batinnya resah.
Dia yakin, setelah ini, semuanya tidak akan pernah sama lagi
1
1
Bernada rendah, bass
2
3. “Chocolate is a perfect food, as wholesome as it is delicious,
a beneficent restorer of exhausted power.
It is the best friend of those engaged in literary pursuits.”
~Baron Justus von Liebig
“Vala ...,” bisikan lembut lelaki menggema di belakang kaunter juruwang. Suaranya
memanggil sepotong nama gadis berambut lurus hitam separas punggung itu. “Masih sibuk?”
lanjut pemilik suara bariton itu ragu, enggan mengusik gadis bermata bulat itu. Sepertinya, dia
sedang sibuk menyusun wang, mengasing-asingkan sesuai jumlah dan nominasinya untuk
disimpan ke dalam mesin juruwang. “Ada yang memesan soleil choco,” lanjutnya perlahan.
Sudut bibir gadis berambut separas punggung itu terangkat relaks, membentuk seulas senyum
lebar yang menunjukkan sepasang lesung pipit di pipi bulatnya.
“Okay.” Gadis itu beranjak dari tempat duduknya.
Dia segera mengekor di belakang lelaki bersuara bariton yang memanggilnya beberapa
minit lalu. Mereka menuju dapur kafe, tempat segala aktiviti di kafe itu berlangsung.
Aroma manis coklat panas meruap memenuhi dapur, bercampur dengan aroma lain yang
menambah kesan lazat di dapur itu; mint, almond, kayu manis, berry, dan buah-buahan segar
yang siap diblender.
“Vala, sebenarnya kita berharap tidak ada yang pesan Soleil Choco.” Salah seorang
pekerja pura-pura cemberut sambil memuncungkan bibir.
“Ya, soalnya hanya kamu yang bisa membuatnya,” dengus seorang pekerja lain. “Aruna
pernah membuatnya...”
“... dan gagal secara total. Rasa, tekstur, semuanya,” sambar si pemilik suara bariton yang
bernama Aruna.
Orvala—gadis berambut lurus separas punggung itu—hanya tersenyum simpul
mendengar celoteh teman-temannya di dapur kafe.
Entah sejak bila, kafe tempatnya bekerja itu menempatkan minuman coklat panas
ciptaannya sebagai menu utama kafe.
Recommended menu from Fedde Velten Café: Soleil Choco.
3
4. Padahal, masih ada menu lain yang sama unik kalau dibandingkan dengan Soleil Choco.
Bermula daripada coklat praline box yang memiliki tingkat rasa pahit yang berbeza-beza: Fedde
Velten Box, coklat lollipop yang meleleh saat dikulum, ciptaan minuman coklat yang dengan
berbagai topping, daripada keju, kayu manis, marshmallow, berry, hingga butiran kopi. Ada juga
buah-buahan segar yang bersalut lelehan lembut coklat fountain.
“Berapa cawan yang harus aku buat?” Mata bulat Orvala menjelajah ke seluruh sudut
dapur. Mencari-cari sesuatu, tetapi tidak ketemu.
Pandangannya beralih ke susunan bahan, menyiapkan bancuhan Soleil Choco dengan
pantas. Coklat couverture sebagai bahan dasar, susu asli segar, gula nipah, dan whipped cream.
“Ini yang biasa atau bagaimana?” Tambah gadis itu sambil mencampur bahan sampai
larut.
Aroma manis daripada adunan kental coklat couverture merebak di dapur bergaya
vintage itu. Kehangatan aromanya yang lembut memenuhi setiap sudut dapur, memberi kesan
selesa. Manis dan terasa lembut.
Seperti itulah keadaan dapur Fedde Velten Café tiap kali Orvala mulai membancuh
minuman Soleil Choconya. Ada kehangatan dan keakraban yang tidak bisa disajikan oleh
pekerja lain. Orvala menyajikan minuman coklat biasa dengan cara yang luar biasa sehingga
menghasilkan rasa yang juga luar biasa. Itulah salah satu alasan kuat untuk menjadikan Soleil
Choco buatan Orvala sebagai menu utama yang disyorkan di FV Café.
Semua berhenti untuk melihat cara Orvala membancuh Soleil Choco. Gadis berambut
separas punggung itu membancuh dengan seulas senyum cerah di wajahnya. Aruna pernah
melakukan itu sebelumnya—membancuh Soleil Choco sambil tersenyum, dengan sukatan yang
sama seperti bancuhan Orvala. Rudi juga pernah mencubanya bahkan sambil menyanyi. Rina
juga pernah. Namun, sekerap mana pun mereka bereksperimen dengan resepi Soleil Choco yang
diajarkan Orvala, sesering itu juga mereka gagal membuat minuman coklat hangat yang nikmat
seperti buatan Orvala.
“Jadi, ini Soleil Choco yang bagaimana?” Orvala memecahkan keheningan di dapur
dengan suara halusnya.
Beberapa orang tersentak, terbangunkan daripada aroma Soleil Choco yang menghipnosis
alam sedar mereka.
“Warm Soleil Choco satu.” Rudi melihat catatan pesanan. “Soleil Choco biasa tiga.”
4
5. “Pilihan tepat saat hari hujan.” Orvala menyambar bahan-bahannya dengan pantas. Dia
mengolahnya, lalu menuang bancuhan minuman coklat yang masih hangat ke dalam cawan.
Gadis itu baru saja membuat ciptaan baru dengan Soleil Choconya: warm Soleil Choco—
Soleil Choco biasa yang diberi tambahan suatu bahan lagi supaya lebih hangat. Sejak minuman
ini dilancarkan di FV Café, permintaannya tidak pernah menyurut, bahkan bisa dikatakan
semakin naik. Lebih lagi pada hari hujan seperti ini—saat udara di luar sana dingin. Secawan
coklat panas adalah menu tepat untuk menghangatkan badan dan membuat fikiran relaks sejenak.
“Warm,” Orvala meletakkan Soleil Choco ke atas dulang yang dibawa Rudi. “Soleil
Choco biasa,” lanjutnya.
Rudi mengangguk. Kakinya terhayun perlahan keluar dari dapur kafe, melangkah menuju
meja pelanggan. Sepasang matanya tertumpu kepada pengunjung yang sudah menunggu pesanan
sejak beberapa minit lalu. Aroma manis hangat kembali merebak saat Orvala membancuh Soleil
Choco untuk pesanan meja lain. Gadis itu selalu menyukai ini, saat sepasang matanya
berhadapan langsung dengan bancuhan minuman coklat. Selalu ada sensasi hangat tiap kali
menghirup aroma manis coklat daripada wap yang berasap di depannya. Ada perasaan tenang
yang terselit di dalamnya—saat buih-buih coklat itu mengapung.
“Vala, pakai apron. Kotor nanti bajumu.” Suara Aruna mengaburkan lamunan gadis itu.
Orvala tersenyum. Hampir dua tahun menjalin hubungan dengan lelaki itu, tetapi
perhatian yang diberikan lelaki itu kepadanya tidak pernah memudar. Malah semakin bertambah.
Lelaki bermata sepet itu selalu memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya, memperhatikannya
layaknya barang mudah pecah yang wajib dijaga.
“Aku sudah mencarinya, tapi tidak ada,” sahut gadis itu lurus.
Aruna mengedarkan mata ke setiap sudut dapur. Orvala benar, tidak ada apron atau kain
alas yang bisa dipakai kekasihnya pada saat ini.
Tanpa banyak berkata, Aruna membuka apron yang sejak tadi melekat di badannya.
“Pakai apronku.” Dia menghulurkan apronnya.
Apron berwarna coklat muda dengan tulisan FV Café b huruf gotik. Tulisan FV Café
disulam dengan benang berwarna coklat keemasan di dada sebelah kanan. Apron khusus untuk
para pembancuh coklat di FV Café, senada dengan seragam khas yang digunakan para pekerja di
kafe bergaya Eropah tersebut.
“Ini sudah hampir selesai, kok.”
5
6. “Kotor nanti bajumu.”
“Paling kotor pun terkena coklat,” Orvala mendebat sambil melebarkan senyum. “Coklat,
kan, manis. Kalau bajuku terkena coklat, bukankah aku juga jadi tambah manis?” Tambahnya
sambil menarik lengan baju. “Aromanya pun sudah enak, nih.”
“Ya … ya ….” Aruna pura-pura marah. Kakinya maju beberapa langkah, mendekati
Orvala yang sedang asyik mengacau bancuhan Soleil Choco di atas api. “Katakan saja kalau
ingin aku pakaikan.”
Senyuman nakal tergambar di wajah lembut lelaki bermata gelap itu.
“Aku bisa memakainya sendiri,” tolak Orvala malu.
Aruna hampir terkekeh. “Kamu sejak tadi melawan terus kerana ingin aku pakaikan, ya?”
Mata sepet lelaki itu bersinar nakal “Mengaku saja, Vala.”
“Bu … bukan begitu.”
Aruna tidak peduli. Dia selalu menikmati momen-momen saat wajah Orvala memerah
kerana malu. Ekspresi lucu di wajah Orvala tatkala gementar saat menghadapi dirinya kelihatan
unik dan menggeramkan. Lebih-lebih lagi saat pipi bulat gadis itu berubah warna jadi merah
jambu—membuatnya menahan senyum geli hati.
Lelaki ramping itu berdiri tepat di belakang Orvala— hanya terpisah sekitar 30
sentimeter. Dia sedikit menunduk, menyejajarkan tingginya yang lebih 17 sentimeter
dibandingkan gadis itu.
Tanpa menuturkan sepatah kata pun, Aruna memakaikan apron yang tadi dipakainya
pada Orvala. Aruna memasukkan tali atas agar melekap sempurna di leher Orvala, lalu mengikat
tali bawah apron ke pinggang ramping Orvala dengan gerakan setenang mungkin. Hal itu
berjaya membuat Orvala tersentak kaget dengan wajah memerah, tidak berani memusingkan
badannya dan hanya berdiri mematung sambil membelakangi lelaki bertinggi 176 sentimeter itu.
Dia membiarkan lelaki tegap itu memakaikan apron coklat muda ke badannya.
Dalam jarak sedekat itu aroma coklat yang melekat pada Orvala semakin kuat—
mengusik hidung Aruna, membuatnya tersenyum simpul sambil memandang kekasih di
depannya itu. Sejak saat itu, bahkan sampai saat ini, cintanya kepada gadis itu tidak pernah
meluntur. Gadis ceria yang polos—begitu penilaian pertama Aruna kepada Orvala saat kali
pertama bertemu. Dia memiliki karakter unik—suasana hatinya saat senang atau sedih kentara
6
7. daripada gerakan dan ekspresi di wajahnya. Gadis penggila coklat yang membancuhkan soleil
choco pertama untuknya.
Orvala membatu tanpa berani menoleh ke belakang. Aruna berada dalam jarak yang
sangat dekat di belakangnya, sibuk memasangkan apron untuknya. Nafas Aruna yang teratur
berhembus perlahan, menyentuh kepalanya—menawarkan rasa hangat khas yang sudah
dihafalnya.
“Sudah selesa?” Tanya Aruna singkat sambil menarik hujung-hujung apron, memastikan
sudah terpasang serapinya.
Orvala mengangguk, mengusir rasa gugup yang menyelubunginya sejak Aruna berdiri di
belakangnya. “Aku bilang sia-sia, kan? Soleil Choconya hampir selesai.”
“Sebenarnya, resepi rahsia apa yang kamu masukkan ke dalam Soleil Choco itu?” Aruna
mengintip dibalik bahu Orvala, meletakkan dagunya di sana sementara Orvala sibuk menunggu
bancuhan Soleil Choco mendidih. “Aku selalu gagal membuatnya.”
“Perasaan senang dan selesa saat membuatnya.”
“Ha?”
“Sungguh,” sahut Orvala serius. Jantungnya berdentum hebat saat pipi Aruna menyentuh
rambut panjangnya yang halus. Pipi hangat dengan tulang tegap, yang membuat wajah diamond
Aruna kelihatan tegas dan berwibawa.
“Yang seperti itu, kan, hanya ada dalam dongeng, sayang.”
Aruna terkekeh. Tidak berniat berpindah tempat. “Maksudku, percaya bahawa ‘cinta’
akan mengubah segalanya—termasuk mengubah nenek sihir jahat.”
“Tidak percaya?” Orvala merungut kecil. Otak kecilnya mencari akal untuk melakukan
kesibukan demi mengusir rasa gementar tiap kali dirinya berada pada jarak yang begitu dekat
dengan Aruna. “Bagiku, coklat itu seperti perasaan, peka. Saat kamu memberikan cinta, ia akan
membalas dengan memberikan cinta—rasanya bisa menjadi sangat enak. Saat kamu memberikan
kebencian, coklat akan memberikan kebencian yang sama.”
“Contohnya?” Aruna menautkan alis.
“Coklat asli couverture jika disajikan dengan bahan-bahan terbaik akan memberikan rasa
lazat yang ketagih, kan? Meleleh dalam mulut, membuat orang yang merasakan coklat ini
menjadi relaks dan mendapatkan perasaan hangat.”
“Aku tahu itu.” Aruna mengangguk-angguk di bahu Orvala.
7
8. “Yang negatif?”
“Saat membuat minuman coklat, jika yang kamu fikir adalah mengejar keuntungan,
bukankah kamu akan melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan keuntungan? Tidak peduli
jadinya seperti apa, kamu akan menambahkan bahan-bahan yang tidak seharusnya ditambahkan:
pemanis buatan, pewarna buatan, lemak sayuran yang memiliki kandungan lemak tepu tinggi,
pokoknya hal-hal yang buruk. Tentunya akan memberikan kesan negatif pada yang
memakannya, kan?”
“Uhm, ya.” Aruna berfikir. “Kandungan gula yang tidak baik bisa menyebabkan gemuk,
karies, batuk ....”
“Seperti itulah.” Orvala tersenyum. Dia mulai merasa selesa berada berdekatan Aruna
saat membancuh soleil choco. “Semua itu kembali pada cinta kerana cinta akan membuatmu
melakukan hal-hal yang baik.”
Aruna meresapi kalimat itu. Mencerna dalam benaknya sambil terus menatap cairan
coklat yang berasap di depannya. Orvala benar, cinta memang bisa membuat seseorang
melakukan hal-hal baik kerana setiap orang akan berusaha menyajikan yang terbaik untuk bisa
mendapatkan cintanya.
“Buatkan satu, ya?” Rajuk Aruna. Dia melingkarkan lengannya ke pinggang Orvala.
Aroma Soleil Choco yang dituang Orvala ke cawan menerbitkan air liurnya. Apa lagi jika
aromanya terhidu saat dia berdekatan dengan gadis yang disayanginya itu.
“Pelanggan prioriti utama.” Suara tegas disebalik pintu dapur membuat Orvala segera
menyelesaikan dua cawan Soleil Choco yang berbaki. Rudi muncul sambil membawa dulang
kosong.
“Aru, jangan macam-macam.” Ancam lelaki gempal itu sambil mengangkat Soleil
Choco. “Jangan ganggu Orvala. Dia tidak bisa konsentrasi kalau kamu melekat saja.”
Aruna terkekeh mengejek.
“Iya, tuh. Sejak tadi pekerjaannya merayu Vala saja,” Rina tidak mahu kalah, membuat
pipi Orvala semakin merona.
“Kita transfer saja dia.” Rudi melangkah keluar dapur sambil membawa cawan Soleil
Choco yang tersisa. “Kalau dia berada di dapur, nanti Vala terganggu terus. Aru jaga kaunter
kalau Vala sedang membancuh Soleil Choco di dapur.”
“Tidak adil!” Protes Aruna.
8
9. “Cukup adil.” Rina membela Rudi. “Kalian kan masih bisa bermesra setelah kafe tutup.”
“Tapi, kan, waktunya jadi berkurang. Iya, kan, sayang?”Aruna mengedip, meminta
pembelaan.
“Nah, itu sepertinya ada yang sedang menunggu di kaunter.” Orvala menepuk pipi Aruna
dengan lembut.
“Nah, kamu pun tidak mahu membela aku? Sampai hati, ya.”
“Aru! Jangan biarkan para pelanggan menunggu lama,” Rudi pura-pura geram.
Aruna menyerah. Sepasang kakinya melangkah menuju kaunter juruwang dengan tegas.
Namun, matanya tidak terlepas daripada Orvala, memerhatikannya seperti biasa, menatapnya
lama, seolah tidak ada objek lain yang bisa dipandang selain gadisnya itu.
Orvala tersenyum lebar sambil mengatakan, “Aku sayang kamu,” tanpa suara. Itu saja
sudah cukup bagi Aruna—cukup membuatnya semangat berjaga di kaunter walaupun Orvala
berada di dapur.
***
Fedde Velten Café, sebuah kafe dengan menu utama coklat yang mengusung tema
vintage ala kafe-kafe di Eropah. Kafe ini terletak di sudut Jalan Jendral Soeprapto di Kota Lama
Semarang dan berhadapan dengan Taman Srigunting.
Kafe selesa yang memanfaatkan bangunan tua peninggalan kolonial Belanda, memiliki
dua tingkat dengan dinding tebal sekitar 20 sentimeter lebih.
Fedde Velten Café memiliki atap unik, lengkap dengan tingkap besar dan pintu lebar
yang menjulang tegap. Dinding depan terbuat daripada bata merah kecoklatan yang tersusun
artistik. Pintu kafe di Tingkat bawah berdaun dua dan bercat coklat tua—memberikan kesan
pintu tua yang tersiram lelehan coklat, dilengkapi dengan kanopi melengkung bercat coklat muda
di atas pintu depan. Warna-warna inilah yang juga dijadikan sebagai gabungan warna seragam
dan apron yang dipakai para pekerja di Fedde Velten Café.
Tingkat 2 kafe dikelilingi oleh tingkap kaca besar dan tinggi dengan tirai lutsinar
berwarna krim. Tingkap-tingkap dengan tinggi yang sama berjajar di setiap sisi. Tepat di atas
tingkap depan Tingkat 2 terdapat tulisan “FV Café” besar daripada lampu berwarna merah.
Menyusul tulisan Fedde Velten Café daripada lampu berwarna biru di bawah tulisan besar
9
10. tersebut. Tulisan khas tersebut dibingkai bentuk persegi dengan rekaan floral yang di sisi kirinya
terdapat replika gigitan coklat bar warna coklat terang.
Antara tingkat 2 dan tingkat 1 kafe dihubungkan dengan tangga spiral daripada kayu
coklat tua tegap—diperbuat daripada kayu tua yang artistik. Letak tangga tepat di sebelah
kaunter juruwang, di sebelah peti pameran coklat praline yang menyajikan coklat-coklat unggul
Fedde Velten Café.
Atap bangunan unik, mengusung senibina art deco yang dipadukan dengan senibina khas
Belanda: hujung tumpul, tetapi di bahagian depan menyudut dengan ukiran-ukiran tegas. Di
setiap sudut atap terdapat tiang-tiang raksasa tegap.
Menyusur ke dalam, interior FV Café direka menyerupai Whittamer Café di Belgium.
Tingkap-tingkap besar tertutup tirai lutsinar berwarna krim. Cat dinding bahagian dalam
berwarna merah muda, warna yang kelihatan smooth jika dipadukan dengan warna coklat. Meja-
meja mini berderet rapi, terdiri atas dua atau empat kerusi daripada kayu dengan ukiran yang
rumit. Di sudut kanan ruangan terdapat sebuah kaunter juruwang—sebaris dengan kaca antik
besar yang menghadap langsung ke meja pengunjung. Tepat di belakang kaunter juruwang
terdapat pintu tua yang menghubungkan ruang kafe dengan dapur.
Lampu hias daripada kristal berwarna kuning tergantung di beberapa sudut kafe,
membangkitkan suasana hangat di kafe dua tingkat tersebut. Kelihatan vintage dan mewah, tetapi
dengan harga yang bisa dijangkau oleh berbagai golongan kerana konsep utama kafe adalah
“kehangatan untuk semua”.
Sebaris dengan kaunter juruwang, tepatnya di bahagian kanan kafe terdapat sebaris kotak
pameran daripada kaca jernih yang menyimpan sajian utama kafe. Fedde Velten Box—paraline
kebanggaan FV Café—disusun rapi di dalam kotak pameran tiga tingkat tersebut. Sementara itu,
bertentangan dengan kotak pameran—tepatnya di sebelah kiri dari pintu masuk—terdapat coklat
fountain setinggi satu meter yang menyajikan lelehan coklat couverture asli untuk dimakan
bersama buah segar yang bisa dipesan daripada pekerja kafe.
Di tiap sisi dinding terdapat papan tanda yang mempamerkan menu utama kafe, gambar
Fedde Velten Café, serta gambar para krew yang bekerja di kafe coklat tersebut.
Tidak ada yang berubah dari bangunan tua itu. Semua masih sama—menyajikan kejayaan
kolonialisme Belanda saat masih menduduki Semarang. Hanya saja, lantai yang dahulu usang
dan tua sudah direnovasi dengan lantai kayu mewah berwarna coklat tua bermotif serat coklat
10
11. muda. Sungguh membangkitkan rasa selesa bagi siapa pun yang mengunjungi Fedde Velten
Café.
Sebelum dijadikan kafe, bangunan dua tingkat itu hanyalah bangunan lama bekas
peninggalan kolonial yang terbiar setelah lama tidak digunakan. Bangunan kusam yang dianggap
menakutkan kerana dibiarkan kosong.
Akan tetapi, setelah Fedde Velten Café dibangunkan, bangunan tua yang dahulu dihindari
itu menjadi ramai pengunjung. Bangunan itu dirombak sedemikian rupa menjadi kafe yang
tampak cozy bagi siapa pun; direnovasi dengan tidak mengubah kesan tua bangunan lama.
Renovasi tersebut membuat kafe tersebut menjadi unik kerana siapa pun yang mengunjunginya
seolah sedang merasakan kunjungan ke salah satu kafe coklat ternama di Belgium.
Setiap orang ingin menikmati coklat unik yang ditawarkan FV Café. Setiap orang ingin
bercengkerama sambil menghirup soleil choco yang memiliki rasa istimewa itu. Banyak yang
menjadi pelanggan baru dan tidak sedikit pula yang baru kali pertama mencuba mengunjungi
kafe coklat itu.
Masing-masing pulang sambil mengingat kesan hangat setelah menikmati coklat yang
disajikan Fedde Velten Café. Mereka membawa kesan tersendiri tentang kehangatan coklat yang
disajikan kafe itu. Mereka menceritakan suasana kekeluargaan yang ditawarkan oleh para
pekerja di kafe unik tersebut.
BAB 2
“A memory is what is left when something happens
and does not completely unhappen.”
~Edward de Bono
“Vala, hari ini ada banyak baki.” Seorang wanita separuh baya menyerahkan bakul
kepada gadis berambut separas bahu. Matanya menatap gadis itu dengan hiba. Tak lupa dia
menyerahkan beberapa lembar wang rupiah kepada gadis berseragam putih kelabu tersebut. Di
dalam bakul masih tersisa beberapa biji roti pisang.
11
12. Kota Semarang mulai memasuki pertengahan musim kemarau. Siang itu benar-benar
terik, lebih-lebih lagi di wilayah Semarang Bawah yang wilayahnya bersempadan langsung
dengan laut.
“Tidak apa, Bu,” sahut gadis itu. Dia berusaha tersenyum seceria mungkin walaupun ada
rasa sedih yang menggelayuti fikirannya.
Hari ini roti pisang buatan ibunya yang dihantar ke kantin sekolah berbaki lagi. Dia
bingung bagaimana dan harus diapakan baki roti itu. Pernah dia berfikir apakah kuantiti roti yang
dibuat ibunya terlalu banyak. Namun, fikirannya segera teringat pada saat roti yang dihantar
tetap saja berbaki walaupun kuantitinya sudah dikurangi. Mungkin faktor cuaca juga
mempengaruhi penjualan. Pada cuaca seterik ini, orang-orang lebih memilih membeli minuman
sejuk daripada roti yang membuat haus.
“Terima kasih sudah membantu menjualkan.” Orvala berpamitan kepada penjaga kantin.
Sepasang kakinya melangkah perlahan menuju pagar sekolah. Melewati lapangan luas
tempat anak lelaki berkumpul. Beberapa ada yang bermain futsal. Sepasang kasut hitamnya yang
sudah buruk bergesekan perlahan dengan rumput hiasan yang memenuhi halaman sekolah.
Nafasnya teratur perlahan dengan fikiran yang berjalan ke mana-mana. Rezeki memang sudah
diatur Tuhan, tidak ada yang boleh meramalnya. Manusia hanya merancangankan, tetapi tidak
ada yang boleh menetapkan hasilnya.
Dan, itulah yang kadang membuat Orvala marah. Orang tuanya memang selalu
mengajarkan kesederhanaan kepadanya. Bahawa, lebih baik memandang ke bawah daripada
memandang ke atas kerana memandang ke atas hanya akan membuat manusia sombong dan tak
pernah puas. Namun, fikirannya selalu memberontak. Hidup sederhana bukan bererti harus
bersusah payah seperti ini, saat pembayaran SPP2
tertunggak. Hidup sederhana bukan bererti
harus susah makan saat keperluan yang dipenuhi tumpah ruah menjadi satu—saling berdesakan.
Ibunya hanyalah suri rumah tangga biasa dan tidak bekerja. Ayahnya hanya tukang
masak di sebuah restoran kecil yang hampir bankrap. Semakin hari gaji ayah Orvala semakin
mengecil. Itu bererti segala bentuk perbelanjaan harus ditekan seminima mungkin. Ibunya
sampai turun padang. Ibu berusaha membantu dengan membuat roti-roti kecil untuk dihantarkan
ke kedai jiran tetangga, di kantin sekolah Orvala, dan di beberapa gerai kenalannya di pasar.
Namun, semua tidak bisa membantu secara signifikan. Roti tidak pernah habis sehingga
2
Sumbangan Pembiayaan Pendidikan, sejenis yuran yang dikenakan di sekolah di Indonesia.
12
13. keuntungan hanya boleh dihitung dalam tiga digit rupiah. Tidak ada lebih untuk sekadar
memikirkan buku pelajaran yang harus dibeli pada semester baru. Tidak ada lebih untuk sekadar
memikirkan kasut hitamnya yang sudah usang. Yang terpenting saat ini hanyalah bisa survive
dengan makan lengkap tiga kali sehari, walau apa pun menunya.
“Awas!” Teriakan kencang mematikan lamunan panjang Orvala. Suara sedikit garau,
sedikit serak dengan tone nyaring.
Orvala menoleh ke sisi, mencari arah datangnya suara. Belum sempat menghindar,
sebuah bola sepak mendarat ke kepalanya, membuatnya terjatuh hingga bakul berisi roti yang
sejak tadi dibawanya jatuh ke tanah.
Baki roti pisang yang seharusnya boleh dimakan hari itu kotor.
“Kamu kenapa, sih? Jalan, kok, sambil melamun!” Bentak suara yang tadi meneriakkan
seruan “awas” kepada gadis berambut separas bahu itu. “So, kalau begini, siapa yang salah?”
Orvala tetap bersikap tenang. Dia mencuba berdiri sambil mengibaskan debu yang
melekat di skirt kelabunya. Dia menghela satu tarikan nafas, mencuba relaks sebelum
menghadapi orang paling tak bertanggung jawab di dunia ini.
“Kamu pura-pura selamba atau memang pekak, sih?”
Orvala melirik lelaki itu daripada sudut matanya. Tidak ada tanda-tanda penyesalan di
wajahnya. Dia mengambil bola begitu saja tanpa berniat meminta maaf terlebih dahulu.
Nama “Juno Aswanda” tertera di name tag sebelah kanan kemeja putih lelaki itu.
Seragamnya tidak keruan. Hujung kemeja putihnya terkeluar dengan dua butang atas terbuka
begitu saja. Warna kemejanya pun tidak boleh dikatakan putih lagi, menguning, kecoklatan
bercampur tanah—yang jelas sangat kotor. Rambut ikal coklat gelap yang agak panjang—
padahal sekolah melarang murid lelakinya berambut panjang. Sepasang bola mata hazel itu
kelihatan bersinar saat memantulkan cahaya matahari—dinaungi alis tebal, memberi kesan tajam
dan ekspresif. Bibir tipisnya selalu merah, serta badan tinggi kurus yang kelihatan tegap.
Orvala menggumam marah. Siapa yang tidak kenal Juno Aswanda? Seantero sekolah
kenal lelaki itu, mulai daripada para murid, staf pengajar, bahkan pengetua. Para gadis
mengatakan bahawa Juno kacak. Beberapa orang bekas kekasih lelaki berambut ikal itu
mengatakan bahawa Juno playboy yang kejam. Staf pengajar, pengetua, dan penjaga sekolah
sepakat memberikan jolokan “rebel” kepada Juno. Tidak hanya sering ponteng, dia juga jarang
13
14. sekali mengerjakan kerja sekolah. Kerap dihukum kerana gemar berbuat sesuka hatinya saat
berada di sekolah.
“Dasar kurang ajar!” Orvala mendengus keras. Bibirnya terkatup kuat, membuat giginya
berlaga ringan di dalam rongga mulut.
Orvala belum pernah membenci orang sejauh ini. Namun, bentuk kesombongan sekecil
apa pun tidak pernah boleh ditoleransi. Sikap terlebih sombong yang ditunjukkan anak manja
seperti Juno, yang hanya memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk mencari kesenangan, dan
hobinya menghamburkan wang tanpa menggunakan otak padahal di luar sana masih banyak
orang yang lebih susah daripada dirinya: tidak bisa makan dan terpaksa harus tidur di mana saja.
“Hei, anak manja, minta maaf!” Jerit Orvala dengan suara tertahan. Cicitan suaranya
tertahan di tenggorokan. Antara marah, kecewa, dan sedih, semua bercampur di kepalanya.
“Minta maaf atau aku lempar!”
Juno tidak peduli. Dia terus mengepit bola sepak itu, menghampiri teman-temannya yang
sudah menunggu di padang.
Orvala hilang kesabaran. Kesombongan lelaki berambut ikal itu membuatnya muak. Sisa
roti pisang buatan ibunya di tanah membuatnya sedih. Dan, panas yang menyengat siang itu
membuat kepalanya mendidih.
Tanpa fikir panjang, Orvala mencabut kasut kirinya yang sudah berlubang di bahagian
ibu jari kaki. Dia melemparnya sepenuh tenaga hingga tepat mengenai kepala Juno yang berada
beberapa meter di depannya.
“Kita seri!” Kalimat Orvala terdengar datar, seiring dengan umpatan dan makian Juno
yang ditujukan kepadanya.
Balingan itu tepat mengenai kepala Juno. Sebuah kasut mendarat tepat di kepalanya,
membuatnya menyeringai kesakitan saat tapak kasut yang sangat keras itu mengenai kepalanya.
Umpatan keras berhamburan daripada bibir Juno. Lelaki itu langsung berbalik, mencari
arah datangnya kasut.
Beberapa meter di depannya berdiri gadis polos dengan wajah merah padam. Tangannya
terkepal di sisinya. Dia kelihatan marah. Bakul berwarna hijau tergeletak di depannya, lengkap
dengan baki roti pisang yang sudah bersalutan tanah.
“Kamu sengaja melemparku?” Juno menjerit marah sambil mengunjukkan kasut hitam
buruk itu ke wajah Orvala. “Apa ini?”
14
15. Senjata utama yang dikeluarkan Juno untuk menakut-nakut lawan bicaranya selama ini—
menggertak. Namun, sepertinya gertakannya tidak berpengaruh kepada gadis berambut lurus
separas bahu itu. Gadis itu berdiri di tempatnya. Lawan menatap lewat mata coklat gelapnya
dengan tatapan berani.
Harga diri Juno tersengat. Sejauh ini belum pernah ada yang berani melawannya.
“Sekali-sekala pendidikan dalam keluargamu perlu dibetulkan,” kata gadis itu pedas.
“Kamu perlu diajari tatasusila dan toleransi. Aku benar-benar kasihan kepada orang tuamu.”
Hidung Orvala mengembang.
Juno berkerut mendengar cacian gadis itu. Dia gadis pertama yang berani mencacinya
dengan kata-kata menusuk seperti duri.
“Oh, ya? Bukankah terbalik?” Juno mengangkat sudut bibir kanannya, tersenyum sinis.
“Seharusnya, kamu yang perlu diajari membaca situasi. Perlukah aku beritahu kamu sedang
berhadapan dengan siapa?”
“Aku berhadapan dengan orang paling sombong dan paling bodoh dalam dunia.”
Juno merasa terusik.
“Dunia sudah penuh orang-orang jahat. Tanpa kehadiranmu, dunia tidak akan kiamat.”
Orvala mendecak keras sambil memicingkan sepasang mata bulatnya. Juno mengecilkan mata.
Dia tidak menyangka akan mendengar cacian bertubi-tubi yang sangat pedas daripada mulut
seorang gadis. Teman-teman sekelasnya tidak ada yang berani mencacinya. Guru-gurunya tidak
ada yang berani mengusiknya. Dia salah seorang penyumbang dana sekolah, semua tahu itu.
Wangnya sangat bererti, itu yang membuatnya seolah ditinggikan di atas angin. Namun, hari ini
… ada seorang gadis yang mencacinya habis-habisan gara-gara dia menumpahkan bakul berisi
roti pisang secara tidak sengaja.
Juno melirik name tag di seragam gadis itu. Tertulis “Orvala T.” di sana.
Jadi, ini yang bernama Orvala? gumam Juno dalam hati. Sepasang matanya belum
beralih daripada gadis itu, mempelajari dan menerka.
Murid baru di kelas X yang terkenal kerana berani melawan keinginan aneh senior OSIS3
saat MOS4
. Murid baru di kelas X yang terkenal kerana berjaya mendapatkan nilai purata gred
3
Organisasi Siswa Intra Sekolah, seperti Majlis Perwakilan Pelajar
4
Masa Orientasi Siswa, minggu suaikenal
15
16. tertinggi saat pembahagian keputusan peperiksaan semester tahun lalu. Murid kelas X yang baru-
baru ini berjaya menjuarai English Debate antara sekolah di Semarang.
Jadi, Orvala yang itu ….
“Aku kembalikan kasutmu.” Juno mendekat.
Juno merasakan reaksi aneh saat melihat ekspresi marah di wajah gadis itu. Seharusnya,
Juno juga geram telah dimarahi seperti itu oleh Orvala. Namun, bukannya membalas kata kata
tajam Orvala, Juno malah mencangkung di depan Orvala. Dia membalik bakul yang terjatuh, lalu
memungut roti pisang kotor itu satu persatu.
Ini semacam gerakan refleks dan spontan yang diperintahkan otaknya. Dia sendiri tidak
tahu mengapa begitu peduli pada kesusahan yang diderita orang lain. Ini bukan dirinya yang
biasa.
“Aku beli ini semua,” kata Juno perlahan. Masih tetap bingung. Selama ini, dia tidak
pernah mahu susah-susah mengeluarkan tenaga untuk membantu orang lain.
Orvala gugup.
“Aku tidak tahu berapa harga roti pisang ini. Tapi, aku ingin membeli semuanya.” Juno
mengeluarkan selembar wang lima puluh ribu rupiah daripada dompet yang terselit dalam saku
seluarnya.
“Kamu tidak perlu mengasihaniku,” tolak Orvala dingin.
“Huh,” decak Juno marah. “Saat susah seperti ini, tidak perlu berlagak. Aku tidak
mengasihanimu. Aku hanya ingin bertanggungjawab.”
Bertanggungjawab? Juno geli hati sendiri mendengar kata-kata itu. Apakah selama ini
dia pernah bertanggungjawab? Dia tidak pernah peduli pada apa pun. Memikirkan kesusahan
orang lain hanya membuatnya susah. Namun, anehnya, di depan gadis berwajah bujur itu dia
berbicara tentang tanggungjawab.
“Aku tidak mengasihanimu. Aku hanya ingin membeli roti pisang itu.”
“Tapi…” debat Orvala. Menerima wang daripada seseorang yang membuat harinya
buruk? Tentu saja tidak. Egonya lebih besar daripada kewarasannya.
“Aku tidak ingin punya hutang kepada siapa pun, okay.” Juno menyisipkan selembar
wang berwarna biru tersebut ke celah jemari Orvala yang sejak tadi terkepal.
16
17. Reaksi aneh lagi-lagi mengusik fikiran Juno saat kulitnya bersentuhan langsung dengan
kulit Orvala. Gadis yang sudah mencacinya itu membuat jantungnya berdegup tidak keruan.
Entah mengapa…
3
“Kamu tidak akan pernah bisa menebak apa yang akan terjadi dalam
hidupmu, sampai kamu merasakannya sendiri suatu ketika ....”
~Orvala T.
Manusia pada dasarnya tidak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi kepadanya.
Entah hari ini, besok, lusa, atau bahkan beberapa saat ke depan. Aku juga tidak pernah menduga
bahawa hidupku akan jadi seperti ini.
Menurutku, waktu adalah benda yang paling kejam yang bisa mengumbang-ambingkan
seseorang. Saat ini kau bisa tertawa, tidak menutup kemungkinan bisa saja kau menangis
beberapa saat kemudian kerana pada dasarnya manusia itu hidup dalam ketidakpastian. Manusia
hidup dalam sekumpulan kejutan yang tidak tentu, layaknya pesalah hukuman mati yang belum
tahu bila akan ditamatkan riwayatnya.
Sejak ayah diberhentikan daripada pekerjaannya sebagai tukang masak restoran, keluarga
kami hidup terkontang-kanting. Ayah bekerja apa saja, yang penting halal demi sesuap nasi
17
18. untuk aku dan ibuku. Ibu masih kuat mengedarkan kuih-kuih buatannya ke toko-toko,
menghantarkan di kantin sekolahku dulu, menjua keliling pasar, dan tetap kukuh walaupun
dagangannya selalu berbaki. Kedua orang tuaku terus meyakinkan bahawa keadaan ekonomi
keluarga kami baik-baik saja sehingga aku tidak perlu cemas dan terus kuliah, tidak peduli
keadaan seperti apa yang terjadi di keluargaku.
Akan tetapi, bagaimana mungkin aku bisa tenang?
Ayah bekerja membanting tulang setiap hari, lalu aku harus pura-pura selamba dan terus
belajar dengan tenang?
Saat orang tuamu berkata bahawa mereka baik-baik saja, sebenarnya ada sesuatu yang
mereka risaukan. Hanya saja, mereka tidak ingin membuatmu khuatir. Dan, sebagai anak tunggal
yang sudah dewasa, tidak mungkin aku boleh pura-pura tidak peduli dengan keadaan ini.
Setelah diberhentikan dari restoran tempatnya bekerja, ayah mencuba melamar pekerjaan
di hotel-hotel dan restoran. Namun, kerana faktor usia yang dinyatakan sudah tidak produktif,
tidak satu pun dari tempat yang dilamar ayah mahu menerimanya bekerja. Ayah bersaing dengan
graduan dari universiti-universiti, yang tentu saja masih muda dan dalam usia produktif.
Penolakan-penolakan itu membuat ayah bekerja dua kali ganda lebih keras daripada
biasanya. Ayah melakukan apa pun, berkeliling menjual kain dan pakaian, mencangkul di sawah,
menerima tempahan katering, atau menjadi kuli membina bangunan. Apa pun. Tidak peduli
berapa banyak waktu yang harus dikorbankan.
Dan, apa yang aku takutkan selama ini nyatanya terjadi.
Ayah meninggalkanku dan ibu dalam tidur panjangnya yang tenang.
Kamu pernah mendengar istilah teodesi? Orang jahat di dunia ini terkadang memiliki
umur lebih panjang dibandingkan orang baik. Orang baik selalu mendapatkan dugaan bertubi-
tubi, sedangkan orang jahat selalu selamat.
Aku pernah berfikiran sempit seperti itu. Aku pernah merasa mengapa Tuhan begitu tidak
adil dalam mengatur dunia ini. Kalau Tuhan memang ada, seharusnya kejahatan dan ketidak
adilan seperti itu tidak ada, kan? Bukankah banyak orang tidak bersalah di luar sana yang harus
menderita kerana dipersalahkan? Orang baik banyak yang menderita kerana kebaikannya, kalah
dengan orang licik yang hidupnya penuh muslihat. Orang tua sebaik dan sejujur ayah—kerana
mempertahankan kejujurannya—harus bekerja membanting tulang hingga mengorbankan
18
19. segalanya demi menghidupi keluarga. Padahal, di luar sana banyak sekali orang manipulatif yang
selalu selamat dan hanya bisa menghabiskan waktu dengan berfoya-foya.
Akan tetapi, semakin berfikir bahawa Tuhan tidak adil, semakin aku mengerti akan erti
sesuatu. Bahawa, dengan hal itulah aku bisa memahami kehadiran Tuhan. Bahawa, Tuhan
tidaklah cacat malah begitu adil dalam mengatur semesta. Keadilan itu ditunjukkan dengan
adanya kejahatan dan kebaikan yang sudah diciptakan seimbang. Seperti adanya siang dan
malam yang beriringan. Terbentuknya yang relatif dan tetap. Adanya imanen dan transenden
yang saling berlawanan. Panas dan hujan yang menseimbangkan. Mungkin, seperti itulah putaran
alam—bahawa Tuhan itu tegas. Barangkali Karl Barth benar bahawa manusia memiliki fikiran
yang terbatas untuk mampu memahami tindakan Tuhan yang serba tidak terbatas. Dan, fikiranku
memang masih sangat terbatas untuk bisa memahami semuanya.
“Vala, ada panggilan dari Tingkat 8.”
Aku tersentak daripada lamunan panjangku. Seseorang mengibaskan jemarinya tepat di
depan mataku. Entah sudah berapa lama aku menopang dagu sambil menatap kosong ruang
housekeeper yang mulai sepi.
“Kamu melamun dari tadi,” tegur teman kerjaku, Lunetta.
Ruangan housekeeper ini adalah tempat kerjaku yang baru. Baru beberapa minggu aku
bekerja di sini. Di salah satu hotel ternama yang terletak di Semarang Atas, tepatnya di kawasan
perbukitan candi.
Menjadi seorang housekeeper ternyata bukan pekerjaan mudah. Semasa shift
berlangsung, kami harus bersedia sepanjang masa jika ada tamu hotel yang memerlukan
perkhidmatan. Namun, aku suka bekerja di tempat ini. Hotelnya strategik, di tengah kota. Hanya
perlu waktu beberapa minit jika ditempuh dengan motosikal dari kediamanku. Suasana di sini
juga tenang kerana terletak di kawasan perbukitan. Ditambah, aku menjaga kebersihan bilik di
Tingkat 8—tempat suasana Kota Semarang terbentang luas dari tingkap bilik di tingkat itu.
“Yang lain sedang sibuk. Kamu saja yang tinggal,” lanjut Lunetta.
Aku mengangguk sambil beranjak dari tempatku duduk, mengambil alat-alat pembersih
yang kuperlukan untuk membersihkan bilik.
“By the way, jangan melamun saat bekerja,” Lunetta berpesan.
Aku tersenyum kekok. “Aku lebih senang bergerak daripada diam. Saat sedang sibuk,
aku bisa melupakan masalahku.”
19
20. “Okay, gantikan tugasku membersihkan taman, ya,” candanya.
“Deal. Tapi, 50% gajimu buatku.” Aku terkekeh.
Lunetta berbeza bahagian daripada ku. Dia bertanggung jawab atas kebersihan public
area kerana bekerja di bawah naungan seksyen area umum, sedangkan aku bertanggungjawab
atas kebersihan bilik-bilik di beberapa tingkat kerana bekerja di bawah naungan seksyen bilik.
Hujan di luar semakin deras. Butiran air yang tertumpah daripada langit menghentam
atap hotel—menimbulkan bunyi kuat yang membuat orang lebih memilih memerap di dalam
bilik masing-masing daripada keluar hotel.
Aku berdiri di hadapan salah sebuah bilik Deluxe Room di Tingkat 8, memastikan
bahawa nombor bilik yang aku tuju sama dengan nombor bilik yang disebutkan Lunetta. Setelah
cukup jelas dan memastikan diri bahawa penampilanku tidak awful, aku mengetuk pintu bilik
tiga kali.
“Ada yang perlu saya bantu?” Tanyaku sopan saat seseorang membukakan pintu bilik.
Lelaki. Ku anggar usianya lebih tua beberapa tahun daripada ku.
“Boleh minta tolong bersihkan lantai? Gelas susunya tidak sengaja terjatuh dan pecah,”
kata lelaki itu sopan. Dia menunjukkan tumpahan susu putih dekat kaki meja. Dan, di sekitar
cairan putih itu terdapat serpihan kaca.
Aku mengangguk mengerti sambil tersenyum, meminta izin untuk memasuki bilik sambil
membawa masuk peralatan membersih yang ku bawa.
Lelaki itu tidak sendirian. Ada lelaki lain dalam bilik tersebut. Seorang lelaki kulit putih
berambut blonde yang tubuhnya sangat tinggi lampai—hampir dua meter lebih. Lelaki itu duduk
di sofa yang membelakangi tingkap kaca bilik. Tatapannya terbuang jauh ke cluster Kota
Semarang yang kelihatan dari tingkap kaca bilik itu.
Hujan masih turun, menkondensasikan titis embun kecil-kecil ke tingkap kaca kembar
yang ada di bilik itu. Hanya ada pemandangan gelap di luar sana, berbaur dengan titisan air hujan
yang berbaris, serta bercampur dengan titik-titik lampu Kota Semarang yang kelihatan dari aras
itu. Spot seperti ini adalah kegemaranku.
Aku memulakan tugasku tanpa banyak bicara. Membersihkan taburan pecahan kaca atas
lantai dengan penyapu, kemudian mengelap tumpahan susu putih yang berbau manis itu.
Dengung penghawa dingin di bilik itu berbaur dengan bunyi hujan yang bergemeletuk di luar
20
21. sana, berbaur dengan suara pembaca berita di BBC News yang ditonton oleh lelaki kulit putih
itu.
“Duh, maaf kerana menyusahkan malam-malam begini,” kata lelaki itu sambil mendekati
coffee maker. Loghatnya terdengar asing, mungkin dari luar Jawa.
“Tidak, ini sudah menjadi kewajiban kami, kan,” sahutku sambil mengakhiri pekerjaanku
dengan mengemop lantai sampai berkilau. Setelah semua beres, aku segera menyusun peralatan
semula, lalu menegakkan belakang sambil memberi salam—berpamitan kepada kedua penghuni
bilik itu.
“Terima kasih,” kata lelaki itu sambil tersenyum canggung. Dia mempamerkan giginya
yang berpendakap gigi, membuat bibir tipisnya kelihatan lebih menarik. Senyumnya melengkung
sempurna dengan pendakap gigi berwarna merah itu.
Sebelum meninggalkan bilik itu, aku menyedari sesuatu. Lelaki itu mengamatiku dengan
tatapan tajam. Dia melirik seragam yang kupakai, mencari-cari name tag yang terpasang di sana.
Sepertinya, bibirnya mengeja nama yang tertera di name tag-ku perlahan, Orvala Theobroma.
21