Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang pengertian kepemimpinan transformasional dan transaksional menurut beberapa ahli.
2. Terdapat empat karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Bass yaitu karisma, inspirasi motivasi, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual.
3. Kepemimpinan transaksional lebih menekankan pertukaran antara pemimpin dan bawahan berdasarkan p
1. BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Pengertian Kepemimpinan
Judge dan Locke (1993) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan
merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins (dalam Manajemen,
1990), mengungkapkan bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh
ketidakpuasan terhadap kondisi kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak
memberi kepercayaan kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam
pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada
karyawan. Pendapat ini didukung oleh Nanus
Terry dalam Kartono (1998) menyatakan kepemimpinan adalah aktivitas
mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok. Hasil tinjauan penulis-penulis lain mengungkapkan bahwa para penulis
manajemen sepakat bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas
seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Menurut Ordway Teod dalam bukunya ”The Art Of Leadership” (Kartono 1998).
Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang-orang bekerja sama
untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Kepemimpinan dapat terjadi
2. dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi
perilaku orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu. Sedangkan Young
dalam Kartono (1998) mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah bentuk
dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau
mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan akseptasi atau
penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi
situasi khusus.
Kepemimpinan adalah proses memberi inspirasi kepada semua karyawan
agar
bekerja
sebaik-baiknya
untuk
mencapai
hasil
yang
diharapkan.
Kepemimpinan adalah cara mengajak karyawan agar bertindak secara benar,
mencapai komitmen dan memotivasi untuk mencapai tujuan bersama (Sunarto,
2005).
Burns
(1978)
menjelaskan
kepemimpinan
sebagai
sebuah
arus
antarhubungan yang berkembang yang padanya para pemimpin secara terusmenerus membangkitkan tanggapan-tanggapan motivasional dari para pengikut
dan memodifikasi perilaku mereka pada saat mereka menghadapi tanggapan atau
perlawanan, dalam sebuah proses arus dan arus balik yang tidak pernah berhenti.
John Adair, seorang ahli kepemimpinan, menyatakan bahwa dua peran
utama seorang pemimpin adalah: menyelasaikan tugas dan menjaga hubungan
yang efektif. Kemudian ke dua peran utama tersebut dibagi ke dalam tiga tuntutan
yang harus dipenuhi oleh pemimpin; (1) tuntutan tugas yaitu menyelesaikan
pekerjaan, (2) tuntutan kelompok, yakni membangun dan menjaga semangat
kelompok, (3) tuntutan individu, yakni menyelaraskan tuntutan individu, tugas
3. dan kelompok (Sunarto, 2005).
Locke (1997) melukiskan kepemimpinan sebagai suatu proses membujuk
(inducing) orang-orang lain menuju sasaran bersama. Definisi tersebut mencakup
tiga elemen berikut:
1. Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept).
Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para
pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Tersirat
dalam definisi ini adalah premis bahwa para pemimpin yang efektif harus
mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para
pengikut mereka.
2. Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin
harus melakukan sesuatu. Seperti telah diobservasi oleh John Gardner
(1986-1988) kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas.
Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong
proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak
menandai seseorang untuk menjadi pemimpin.
3. Kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil
tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti
menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi
teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi
organisasi dan mengkomunikasikan visi.
Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling
komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan
4. transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gaya
kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James
MacFregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini
selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional
oleh Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993).
Pada dasarnya, kepemimpinan merupakan kemampuan pemimpin untuk
mempengaruhi karyawan dalam sebuah organisasi, sehingga mereka termotivasi
untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam memberikan penilaian terhadap gaya
kepemimpinan yang diterapkan pemimpin, karyawan melakukan proses kognitif
untuk menerima, mengorganisasikan, dan memberi penafsiran terhadap pemimpin
(Solso, 1998).
Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja
terutama dalam hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan
transaksional. Penelitian yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dan
transaksional dengan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan
Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap organisasi sangat besar.
Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling
komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan
transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gaya
5. kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James
MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini
selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional
oleh Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993).
Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan
keduanya
merupakan
gaya
kepemimpinan
yang
saling
bertentangan.
Kepemimpinan transformasional dan transaksional sangat penting dan dibutuhkan
setiap organisasi.
Selanjutnya Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997; Keller, 1992)
mengembangkan konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional
dengan berlandaskan pada pendapat Maslow mengenai hirarki kebutuhan manusia.
Menurut Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) keterkaitan tersebut dapat
dipahami dengan gagasan bahwa kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti
kebutuhan fisiologis dan rasa aman hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya
kepemimpinan transaksional. Sebaliknya, Keller (1992) mengemukakan bahwa
kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri, hanya dapat
dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transformasional.
Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional telah diformulasi
oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin-pemimpin
politik. Burns (1978) menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai
sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri
6. ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Para pemimpin tersebut
mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita
yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan dan
kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan,
kecemburuan atau kebencian.
Kepemimpinan transformasional menunjuk kepada proses membangun
komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para
pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut (Yukl, 1998).
Kepemimpinan transformasional merupakan model kepemimpinan bagi
seorang pemimpin yang cenderung untuk memberikan motivasi kepada bawahan
untuk bekerja lebih baik serta menitikberatkan pada perilaku untuk membantu
transformasi antara individu dengan organisasi (Nurrachmat dan Wahyuddin,
2007).
Podsakoff dkk (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi
dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada
pemimpin, motivasi dan kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik
yang sering terjadi dalam suatu organisasi.
Bass (1990) dan Koh, dkk (1995) mengemukakan bahwa seorang
pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin transformasional dengan melihat
hubungannya dengan pengaruh pemimpin tersebut berhadapan dengan karyawan.
Oleh karena itu, Bass (1990) mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin
transformasional memotivasi karyawannya yaitu dengan:
7. 1. Mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha;
2. Mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan
3. Meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan
aktualisasi diri.
Bass dalam Howell dan Hall-Merenda (1999) mengemukakan adanya
empat karakteristik kepemimpinan transformasional yaitu:
1. Charisma, sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi
para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan
identifikasi dengan pemimpin tersebut.
2. Inspirational
motivation,
sejauh
mana
seorang
pemimpin
mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan simbolsimbol untuk memfokuskan usaha-usaha bawahan, dan memodelkan
perilaku-perilaku yang sesuai (Bass dan Aviolo, 1990).
3. Intelectual stimulation, sebuah proses yang padanya para pemimpin
meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah dan
mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah dari
suatu perspektif yang baru.
4. Individualized consideration, memberi dukungan, membesarkan hati, dan
memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para
pengikut.
Gary Yukl (1998) menyebutkan bahwa para pemimpin transformasional
memiliki beberapa atribut. Pada setiap tahap dari proses transformasional,
keberhasilan sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai dan keterampilan
8. pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif dalam studi ini
mempunyai atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri
sebagai agen-agen perubahan, (2) mereka adalah para pengambil resiko yang
berhati-hati, (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap
kebutuhan-kebutuhan mereka, (4) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah
nilai inti yang membimbing perilai mereka, (5) mereka fleksibel dan terbuka
terhadap pelajaran dari pengalaman, (6) mereka mempunyai keterampilan
kognitif, dan yakin kepada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan
analisis masalah yang hati-hati, dan (7) mereka adalah orang-orang yang
mempunyai visi yang mempercayai intuisi mereka.
Pengertian Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang
pemimpin memfokuskan perhatiannya pada interaksi interpersonal antara
pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran Bass (1990).
Menurut Bycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995), kepemimpinan
transaksional
adalah
gaya
kepemimpinan
di
mana
seorang
pemimpin
menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan
karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan
pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja,
dan penghargaan.
Gaya kepemimpinan transaksional merupakan jenis kepemimpinan di
mana para pemimpin memotivasi para pengikut dengan menunjuk kepada
kepentingan dari sendiri. Kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran
9. imbalan-imbalan untuk mendapatkan kepatuhan (Burn, 1978).
Gary Yukl (1998) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional
menyangkut nilai-nilai, namun berupa nilai-nilai yang relevan bagi proses
pertukaran, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan pertukaran.
Dua komponen utama dari gaya kepemimpinan transaksional adalah
contingent reward dan management exception. Contingent reward, adalah suatu
situasi di mana pemimpin menjanjikan imbalan apabila bawahan dapat
melaksanakan yang diperintahkannya. Pemimpin melakukan kesepakatan tentang
hal-hal apa saja yang dilakukan oleh bawahan dan menjanjikan imbalan jika hal
tersebut dicapai. Sedangkan management by exception adalah di mana seorang
pemimpin memantau kesalahan yang dilakukan bawahan dan melakukan
perbaikan. Selain secara aktif, manajemen dengan eksepsi juga bisa dilakukan
secara pasif.
Contingent reward mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta
untuk memperoleh imbalan-imbalan dan penggunaan insentif dan contingent
reward untuk mempengaruhi motivasi. Komponen kedua (disebut active
management by exception) termasuk pemantauan dari para bawahan dan
tindakan- tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut
telah dilaksanakan secara efektif. Management by exception juga terbagi lagi
disebut passive management by exception. Komponen ini baru ditambahkan oleh
Bass dan kawan-kawannya (Bass dan Avolio, 1990; Yammarino dan Bass, 1990).
Termasuk di dalamnya penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan
memperbaiki lainnya sebagai tanggapan terhadap penyimpangan yang nyata dari
10. standar-standar kinerja yang diterima. Bass (1985) menganggap teori-teori seperti
teori LMX dan teori path-goal sebagai penjelasan mengenai kepemimpinan
transaksional. Ia memandang kepemimpinan transformasional dan transaksional
sebagai proses-proses yang berbeda namun tidak saling eksklusif, dan ia mengaku
bahwa pemimpin yang sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan
tersebut pada waktu-waktu dan situasi-situasi yang berbeda.
Hubungan antara pemimpin transaksional dengan bawahan terjadi jika: (1)
pemimpin mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan berusaha menjelaskan
bahwa mereka akan memperoleh apa yang diinginkan apabila kinerja mereka
memenuhi harapan, (2) pemimpin memberikan atau menukar usaha-usaha yang
dilakukan bawahan dengan imbalan atau janji memperoleh imbalan, (3) pemimpin
responsive terhadap kepentingan pribadi bawahan selain kepentingan pribadi itu
sepadan dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan oleh bawahan.
Kepemimpinan transaksional menekankan pada transaksi atau pertukaran
yang terjadi antara pemimpin, rekan kerja dan bawahannya. Pertukaran ini
didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan
apa yang dibutuhkan dan bagaimana spesifikasi kondisi dan upah atau hadiah jika
bawahan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Pengertian Kepuasan Kerja
Malthis dan Jackson (2001) menyatakan bahwa pada pikiran yang paling
mendasar, kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi
pengalaman kerja seseorang
Malayu (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional
11. yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja dinikmati
dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.
Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepuasan yang dinikmati dalam pekerjaan
dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan
suasan lingkungan kerja yang baik. Kepuasan di luar pekerjaan adalah kepuasan
kerja karyawan yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang
akan diterima dari hasil kerjanya, agar dia dapat membeli kebutuhankebutuhannya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan adalah
kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara
balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya.
Locke memberikan definisi comprehensive dari kepuasan kerja yang
meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif dan evaluatif dan menyatakan bahwa
kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal
dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah
hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka
memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006).
Handoko (2001) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana
para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini terlihat dari sikap positif karyawan
terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Kepuasan kerja adalah tingkat perasaan seseorang akan kesukaan dan
ketidaksukaannya dalam memandang pekerjaannya, artinya seorang karyawan
12. akan menyukai atau tidak menyukai pekerjaannya dapat terlihat dari sikapnya
terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Teori-Teori Kepuasan Kerja
Menurut Wexley dan Yukl dalam As’ad (1998) teori-teori tentang
kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu Discrepancy theory,
Equity theory, dan Two Factor theory.
1. Discrepancy Theory (Teori Perbedaan)
Teori
discrepancy
menjelaskan
bahwa
keadilan
ditentukan
oleh
keseimbangan antara apa yang dirasakan seorang sebagai hal yang
seharusnya ia terima dengan apa yang secara nyata ia terima (Gomes,
2003).
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Porter dalam As’ad (1998).
Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih
antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (difference
between how much of something there should be and how much there “is
now”).
Locke dalam Yuli (2005) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang
bergantung pada Discrepancy antara should be expectation, need or values
dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah dicapai atau
diperoleh melalui pekerjaannya.
Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka
orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi
merupakan discrepancy yang positif. Sebaliknya semakin jauh kenyataan
13. yang dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative
discrepancy, makan makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap
pekerjaannya.
2. Equity Theory (Teori Keseimbangan atau Keadilan)
Teori keadilan adalah bahwa karyawan akan membandingkan usaha
mereka dan imbalan mereka dengan usaha dan imbalan yang diterima
rekannya dalam situasi kerja yang sama (Nasution, 2000).
Equity Theory pertama kali dikembangkan oleh Adam (1963). Adapun
pendahulu dari teori ini adalah Zeleznik dalam As’ad (1998). Prinsip dari
teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung
apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi.
Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan
cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor
maupun di tempat lain.
Yulk dan Wexley dalam Yuli (2005) mengelompokkan tiga elemen dari
teori ini yaitu elemen input, outcome, comparison person dan equity-inequity. Yang dimaksud dengan input adalah segala sesuatu yang sangat
berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap
pekerjaan atau semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang
pelaksanaan kerja. Sebagai contoh input adalah pendidikan, pengalaman,
skill, usaha, peralatan dan lain-lain. Outcome adalah semua nilai yang
diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya
upah, keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali,
14. kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri. Sedanglan comparison
person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang
sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri di waktu
lampau.
Equity-in-equity
diartikan
bahwa
setiap
karyawan
akan
membandingkan rasio input-outcomes dirinya sendiri dengan rasio inputoutcomes orang lain (comparison person).
3. Two Factor Theory (Teori Dua Faktor)
Dua faktor tentang motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg adalah
faktor yang membuat orang merasa puas (satisfiers) dan faktor yang
membuat orang tidak merasa puas (dissatisfiers) (Yuli, 2005).
Menurut Herzberg dalam As’ad (1998), satisfiers (motivator) adalah
faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan
kerja yang terdiri dari:
a. Prestasi (achievement)
b. Pengakuan (recognition)
c. Pekerjaan itu sendiri (the work it self)
d. Tanggung jawab (responsibility)
e. Kemajuan (advancement)
Menurut Herzberg bahwa hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan,
tetapi
tidak
hadirnya
faktor
ini
tidaklah
selalu
mengakibatkan
ketidakpuasan.
Dissatisfiers (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi
sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari:
15. a. Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan (company policy and
administrationi)
b. Mutu dari penyelia (supervison technical)
c. Upah (salary)
d. Hubungan antar personal (interpersonal relations)
e. Kondisi kerja (working condition)
f. Keamanan kerja (job security)
g. Status
Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau
menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia
bukan sumber kepuasan kerja.
2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Smith, Kendall dan Hulin dalam Munandar (2004), menyatakan ada lima
dimensi dari kepuasan kerja yaitu:
1. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, di mana hal itu terjadi bila
pekerjaan tersebut memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai
dengan minat serta kesempatan untuk bertanggung jawab.
2. Kepuasan terhadap imbalan, di mana sejumlah uang gaji yang diterima
sesuai dengan beban kerjanya dan seimbang dengan karyawan lain pada
organisasi tersebut.
3. Kesempatan poromosi yaitu kesempatan untuk meningkatkan posisi pada
struktur organisasi.
16. 4. Kepuasan terhadap supervise, bergantung pada kemampuan atasannya
untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi.
5. Kepuasan terhadap rekan kerja yaitu seberapa besar rekan sekerja
memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial.
Luthans (2006) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang diterima
secara umum dalam kepuasan kerja yaitu:
1. Kepuasan kerja merupakan proses emosional terhadap situasi kerja.
2. Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai
memenuhi atau melampaui harapan.
3. Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.
Robbins (2001), menyatakan bahwa faktor-faktor yang lebih penting yang
mendorong kepuasan kerja adalah:
1. Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan
mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik
mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja
secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan
kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan
perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan
karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
2. Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang
17. mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan
pengharapan mereka.
3. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar
yang tidak berbahaya dan merepotkan.
4. Rekan sekerja yang mendukung
Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang
berwujud dari pekerjaan mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah
mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung
menghantar ke kepuasan kerja.
5. Kesesuain antara kepribadian pekerjaan
Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan
pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan. Pada
hakikatnya logika adalah : orang-orang yang tipe kepribadiannya kongruen
(sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya
mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat
untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka, dengan demikian lebih
besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut; dan karena
sukses ini, mempunyai probabilitas yang lebih besar untuk mencapai
kepuasan yang tinggi dari pekerjaan mereka.
18. Menurut hasil penelitian Glison, Durick, dan Rousseau yang diadopsi oleh
Panggabean (2004), mengemukakan bahwa faktor-faktor penentu kepuasan yaitu:
1. Karakteristik pekerjaan
Karakteristik pekerjaan terdiri atas keanekaragaman keterampilan (skill
variety),
identitas
tugas
(task
identity),
keberartian
tugas
(task
significance), otonomi (autonomy), dan umpan balik {feedback).
2. Karakteristik organisasi
Karakteristik organisasi mencakup skala usaha, kompleksitas, formalisasi,
sentralisasi, jumlah anggota kelompok, anggaran anggota kelompok,
lamanya beroperasi, usai kelompok kerja, dan kepemimpinan.
3. Karakteristik individu
Karakteristik individu terdiri dari jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia
masa kerja, status perkawinan, dan jumlah tanggungan.
Yuli (2005), menyatakan ada enam faktor utama yang berpengaruh
terhadap kepuasan kerja karyawan yaitu:
1. Komponen upah atau gaji
Seseorang bekerja dalam organisasi mungkin mempunyai perbedaan
keterampilan,
pengalaman,
pendidikan
dan
senioritas.
Mereka
mengharapkan imbalan keuangan diterima mencerminkan perbedaan
tanggung jawab, pengalaman, kecakapan ataupun senioritas. Sehingga
apabila kebutuhan akan gaji atau upah dapat terpenuhi, maka karyawan
akan memperoleh kepuasan dari apa yang mereka harapkan.
2. Pekerjaan
19. Ada dua aspek penting yang mempengaruhi kepuasan kerja yang berasal
dari pekerjaan itu sendiri (Arnold dan Felman : 1986), yaitu variasi
pekerjaan dan kontrol atas metode dan langkah-langkah kerja. Secara
umum, pekerjaan dengan jumlah variasi yang moderat akan menghasilkan
kepuasan kerja yang relatif. Pekerjaan yang menyediakan kepada
karyawan sejumlah otonomi akan memberikan kepuasan kerja yang tinggi.
3. Pengawasan
Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan,
yaitu usaha mempengaruhi kegiatan pengikut melalui proses komunikasi
untuk tujuan tertentu. Supervisor secara langsung mempengaruhi kepuasan
kerja dan prestasi melalui kecermatannya dalam mendisiplinkan dan
menerapkan peraturan-peraturan.
4. Promosi karir
Promosi berfungsi sebagai perangsang bagi mereka yang memiliki ambisi
dan prestasi kerja yang tinggi. Dengan demikian, usaha-usaha menciptakan
kepuasan atas komponen promosi dapat mendorong mereka untuk
berprestasi lebih baik di masa-masa yang akan datang.
5. Kelompok kerja
Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung
menyebabkan para karyawan puas berada dalam kelompok tersebut.
Kepuasan tersebut timbul terutama berkat kurangnya ketegangan,
kecemasan
dalam
kelompok,
dan
karena
mereka
menyesuaikan diri dengan tekanan pengaruh dari pekerjaan.
lebih
mampu
20. 6. Kondisi kerja
Karyawan menginginkan kondisi di sekitar pekerjaanya baik karena
kondisi tersebut mengarah kepada kenikmatan atau kesenangan secara
fisik.
Konsekuensi Kepuasan Kerja
Adapun konsekuensi kepuasan kerja yang diadopsi oleh Panggabean
(2004) adalah sebagai berikut:
1. Perputaran Karyawan
Seorang karyawan yang puas dengan perusahaan di mana ia bekerja
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk bertahan lebih lama pada
perusahaan tersebut, sehingga tingkat keluar masuknya karyawan rendah.
2. Komitmen Organisasi
Dapat dikatakan sebagai suatu kondisi di mana seorang karyawan yang
puas akan lebih memihak kepada suatu perusahaan dan berusaha untuk
tetap memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan tersebut.
3. Absensi
Karyawan yang kurang puas terhadap pekerjaannya akan sering absen
dengan alasan-alasan yang direncanakan atau dapat juga dengan cara
datang terlambat.
4. Semangat kerja
Karyawan yang puas terhadap pekerjaannya akan bersemangat dalam
bekerja, sehingga dapat menghasilkan suatu pekerjaan yang lebih baik bagi
perusahaan.
21. Menurut Robbins (2001) konsekuensi dari kepuasan kerja ada tiga yaitu:
1. Kepuasan dan produktivitas
Seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif. Jika
karyawan melakukan suatu pekerjaan yang baik, secara instrinsik
karyawan merasa senang dengan hal itu. Lagi pula, dengan mengandaikan
bahwa organisasi memberikan ganjaran untuk produktivitas, produktivitas
yang lebih tinggi seharusnya meningkatkan pengakuan verbal, tingkat gaji,
dan probabilitas untuk dipromosikan. Ganjaran-ganjaran ini selanjutnya
menaikkan kepuasan karyawan pada pekerjaan.
2. Kepuasan dan kemangkiran
Seorang karyawan yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki tingkat
absensi rendah, namun tidak menutupi kemungkinan bahwa karyawan
yang memiliki kepuasan dalam bekerja juga dapat memiliki absensi yang
tinggi. Supaya tidak terjadi hal demikian, sebaiknya perusahaan
memberikan kompensasi yang menarik seperti pemberian cuti masa kerja
di luar hari besar/hari libur nasional.
3. Kepuasan dan tingkat keluar-masuknya karyawan
Salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mempertahankan
karyawannya yang handal yaitu dengan memberikan kepuasan dalam
bekerja kepada karyawan tersebut. Dengan demikian, karyawan yang
mempunyai kepuasan kerja tinggi tidak akan keluar atau meninggalkan
perusahaan itu.