Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Muslim Dalam Menghadapi Era GlobalisasiDjadja Sardjana
Globalisasi ==> Sebuah era yang tidak
dapat dihindari:
- Semua bangsa sedang bersaing
untuk menjadi yang terdepan
dalam era persaingan.
- Setiap bangsa dituntut untuk
memiliki daya saing yang tinggi
- Ditandai kemampuan SDM yang andal,
penguasaan pengetahuan yang tinggi,
dan penguasaan perekonomian global
Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Muslim Dalam Menghadapi Era GlobalisasiDjadja Sardjana
Globalisasi ==> Sebuah era yang tidak
dapat dihindari:
- Semua bangsa sedang bersaing
untuk menjadi yang terdepan
dalam era persaingan.
- Setiap bangsa dituntut untuk
memiliki daya saing yang tinggi
- Ditandai kemampuan SDM yang andal,
penguasaan pengetahuan yang tinggi,
dan penguasaan perekonomian global
Pendekatan Good Governance sesuai dengan budaya Indonesia, Riyoko Yudhi WibowoRiyoko Yudhi Wibowo
Pendekatan Good Gorvenance sesuai dengan budaya Indonesia, dilihat dari definisi, dan karateristik GGG, dan melihat dari Ideologi dasar negara Indonesia yaitu pancasila, apa saja yang terjadi dan diperlukan oleh Indonesia, dan bagimanakah pendekatan yang sesuai
Buku Change ! manajemen perubahan dan manajemen harapan yang diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama pertama kali di Jakarta pada tahun 2005. Cetakan terakhir yakni keduabelas pada November 2013 dengan 47 halaman pengantar dan 434 halaman inti yang terbagi dalam 5 Bagian dengan 14 Bab.
Pelayanan publik sebagai bentuk dampak perubahan reformis paling riil tetap memerlukan 1) standardisasi pelayananyang bertumpu pada pelibatan masyarakat di dalam proses dan penilaian kinerjanya. Masalahnya, akar persoalan menyatu dengan kapasitas administratif kementerian/ lembaga itu sendiri sehingga 2) rasionalisasi penataan organisasidiperlukan untuk pengembangannya ke arah birokrasi yang dinamis, responsif, dan efisien.
Terlalu banyak unsur dalam birokrasi yang tersusun dan bekerja dalam hubungannya yang fragmenteddan mengedepankan ego-sektoral sehingga muncul kebutuhan untuk 3) mengintegrasikan administrasi pelayanan perizinanbagi dunia bisnis/pelaku swasta. Namun, dalam pelaksanaannya, 4) pengembangan penatalaksanaandiperlukan untuk mencapai target-target kerja administrasi dengan menghilangkan berbagai duplikasi dan inefisiensi prosedural. Sebagai langkah modernisasi yang mendorong hal tersebut, 5) aplikasi e-Officetak terelakkan untuk merespon tuntutan era informasi dewasa ini.
Aspek manajemen sumberdaya aparatur tak tertinggal dari agenda perubahan yang mesti dielaborasi secara praktis dan aplikatif. Berangkat dari kesadaran bahwa masalah kepegawaian bermula dari tahap perekrutan pegawai, buku ini tidak hanya memuat gagasan praktis 6) rekrutmen dan promosi aparatur secara terbuka tetapi juga diiringi 7) perbaikan remunerasiuntuk menunjang kinerjanya yang optimal.
Pengembangan dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumberdaya manajemen dalam lingkungan birokrasi mesti difasilitasi secara komprehensif, simultan, dan berkesinambungan melalui mekanisme 8) assessment center. Setelah pengembangan dilakukan, penjaminan mutu kinerja birokrasi sudah seharusnya keluar dari tradisi loyalitas PNS secara subyektif dalam rezim DP3 melalui pengembangan pengukuran kinerja yang dikaitkan dengan kerangka strategis pencapaian dampak kebijakan melalui penggunaan 9) balanced score card. Diperlukan inkubasi penumbuhan etos kerja positif dan integritas di samping pemeliharaan sistem antikorupsi secara komprehensif melalui penerapan 10) zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (ZI-WBK). Penerapan ZIWBK tidak mudah tidak hanya dasar peraturan belum tepat dalam menyediakan pedoman pelaksanaan teknisnya tetapi juga memerlukan kerja-keras semua pihak dan mengantisipasi resistensi dari dalam institusi.
Pendekatan Good Governance sesuai dengan budaya Indonesia, Riyoko Yudhi WibowoRiyoko Yudhi Wibowo
Pendekatan Good Gorvenance sesuai dengan budaya Indonesia, dilihat dari definisi, dan karateristik GGG, dan melihat dari Ideologi dasar negara Indonesia yaitu pancasila, apa saja yang terjadi dan diperlukan oleh Indonesia, dan bagimanakah pendekatan yang sesuai
Buku Change ! manajemen perubahan dan manajemen harapan yang diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama pertama kali di Jakarta pada tahun 2005. Cetakan terakhir yakni keduabelas pada November 2013 dengan 47 halaman pengantar dan 434 halaman inti yang terbagi dalam 5 Bagian dengan 14 Bab.
Pelayanan publik sebagai bentuk dampak perubahan reformis paling riil tetap memerlukan 1) standardisasi pelayananyang bertumpu pada pelibatan masyarakat di dalam proses dan penilaian kinerjanya. Masalahnya, akar persoalan menyatu dengan kapasitas administratif kementerian/ lembaga itu sendiri sehingga 2) rasionalisasi penataan organisasidiperlukan untuk pengembangannya ke arah birokrasi yang dinamis, responsif, dan efisien.
Terlalu banyak unsur dalam birokrasi yang tersusun dan bekerja dalam hubungannya yang fragmenteddan mengedepankan ego-sektoral sehingga muncul kebutuhan untuk 3) mengintegrasikan administrasi pelayanan perizinanbagi dunia bisnis/pelaku swasta. Namun, dalam pelaksanaannya, 4) pengembangan penatalaksanaandiperlukan untuk mencapai target-target kerja administrasi dengan menghilangkan berbagai duplikasi dan inefisiensi prosedural. Sebagai langkah modernisasi yang mendorong hal tersebut, 5) aplikasi e-Officetak terelakkan untuk merespon tuntutan era informasi dewasa ini.
Aspek manajemen sumberdaya aparatur tak tertinggal dari agenda perubahan yang mesti dielaborasi secara praktis dan aplikatif. Berangkat dari kesadaran bahwa masalah kepegawaian bermula dari tahap perekrutan pegawai, buku ini tidak hanya memuat gagasan praktis 6) rekrutmen dan promosi aparatur secara terbuka tetapi juga diiringi 7) perbaikan remunerasiuntuk menunjang kinerjanya yang optimal.
Pengembangan dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumberdaya manajemen dalam lingkungan birokrasi mesti difasilitasi secara komprehensif, simultan, dan berkesinambungan melalui mekanisme 8) assessment center. Setelah pengembangan dilakukan, penjaminan mutu kinerja birokrasi sudah seharusnya keluar dari tradisi loyalitas PNS secara subyektif dalam rezim DP3 melalui pengembangan pengukuran kinerja yang dikaitkan dengan kerangka strategis pencapaian dampak kebijakan melalui penggunaan 9) balanced score card. Diperlukan inkubasi penumbuhan etos kerja positif dan integritas di samping pemeliharaan sistem antikorupsi secara komprehensif melalui penerapan 10) zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (ZI-WBK). Penerapan ZIWBK tidak mudah tidak hanya dasar peraturan belum tepat dalam menyediakan pedoman pelaksanaan teknisnya tetapi juga memerlukan kerja-keras semua pihak dan mengantisipasi resistensi dari dalam institusi.
Apa itu SP2DK Pajak?
SP2DK adalah singkatan dari Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak (WP). SP2DK juga sering disebut sebagai surat cinta pajak.
Apa yang harus dilakukan jika mendapatkan SP2DK?
Biasanya, setelah mengirimkan SPT PPh Badan, DJP akan mengirimkan SP2DK. Namun, jangan khawatir, dalam webinar ini, enforce A akan membahasnya. Kami akan memberikan tips tentang bagaimana cara menanggapi SP2DK dengan tepat agar kewajiban pajak dapat diselesaikan dengan baik dan perusahaan tetap efisien dalam biaya pajak. Kami juga akan memberikan tips tentang bagaimana mencegah diterbitkannya SP2DK.
Daftar isi enforce A webinar:
https://enforcea.com/
Dapat SP2DK,Harus Apa? enforce A
Apa Itu SP2DK? How It Works?
How to Response SP2DK?
SP2DK Risk Management & Planning
SP2DK? Surat Cinta DJP? Apa itu SP2DK?
How It Works?
Garis Waktu Kewajiban Pajak
Indikator Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak
SP2DK adalah bagian dari kegiatan Pengawasan Kepatuhan Pajak
Penelitian Kepatuhan Formal
Penelitian Kepatuhan Material
Jenis Penelitian Kepatuhan Material
Penelitian Komprehensif WP Strategis
Data dan/atau Keterangan dalam Penelitian Kepatuhan Material
Simpulan Hasil Penelitian Kepatuhan Material Umum di KPP
Pelaksanaan SP2DK
Penelitian atas Penjelasan Wajib Pajak
Penerbitan dan Penyampaian SP2DK
Kunjungan Dalam Rangka SP2DK
Pembahasan dan Penyelesaian SP2DK
How DJP Get Data?
Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3)
Sumber Data SP2DK Ekualisasi
Sumber Data SP2DK Ekualisasi Penghasilan PPh Badan vs DPP PPN
Sumber Data SP2DK Ekualisasi Biaya Gaji , Bonus dll vs PPh Pasal 21
Sumber Data SP2DK Ekualisasi Biaya Jasa, Sewa & Bunga vs PPh Pasal 23/2 & 4 Ayat (2)/15
Sumber Data SP2DK Mirroring
Sumber Data SP2DK Benchmark
Laporan Hasil P2DK (LHP2DK)
Simpulan dan Rekomendasi Tindak Lanjut LHP2DK
Tindak lanjut SP2DK
Kaidah utama SP2DK
How to Response SP2DK?
Bagaimana Menyusun Tanggapan SP2DK yang Baik
SP2DK Risk Management & Planning
Bagaimana menghindari adanya SP2DK?
Kaidah Manajemen Perpajakan yang Baik
Tax Risk Management enforce A APPTIMA
Tax Efficiency : How to Achieve It?
Tax Diagnostic enforce A Discon 20 % Free 1 month retainer advisory (worth IDR 15 million)
Corporate Tax Obligations Review (Tax Diagnostic) 2023 enforce A
Last but Important…
Bertanya atau konsultasi Tax Help via chat consulting Apps enforce A
Materi ini telah dibahas di channel youtube EnforceA Konsultan Pajak https://youtu.be/pbV7Y8y2wFE?si=SBEiNYL24pMPccLe
Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah.
Program sarjana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional.
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
BE & GG, Syifa Khoirudin , Hapzi Ali, Good Corporate and Governance, Universitas Mercu Buana, 2017
1. FORUM 1 BE & GG
GOOD CORPORATE AND GOVERNANCE
A. Pendahuluan
Istilah dan konsepsi Good Corporate Governance dan Good Government Governance muncul
dan berkembang di Indonesia pasca krisis ekonomi di paruh akhir tahun 1997 ditandai dengan
ditandatanganinya Letter of Intents (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan lembaga donor
(IMF) yang mensyaratkan perbaikan governance (public maupun korporasi) sebagai syarat
bantuan yang diberikan. Dari perspektif Indonesia, persyaratan perbaikan governance menjadi
beban yang sangat berat bagi lembaga pemerintah dan korporasi di Indonesia yang sudah dalam
kondisi yang sangat terpuruk, bahkan banyak yang mengalami kebangkrutan, gulung tikar. Dalam
waktu sekejap kita menyaksikan banyaknya Perbankan Nasional, satu persatu masuk ke ruang
“ICU” BPPN untuk disehatkan kembali.
Rhenald Kasali, Ph.D (2005) menjelaskan beberapa ciri-ciri Perusahaan yang berada dalam krisis,
sbb :
1. Keadaan Fisik tak terurus, lampu redup, toilet kotor, seragam petugas lama tak berganti,
mobil tua, pabrik bekerja di bawah optimal.
2. SDM malas datang & pulang seenaknya, pemimpin jarang hadir, banyak terlihat tidak
bekerja dan kongko-kongko, tenaga yang bagus-bagus sudah keluar.
3. Produk andalan hampir tidak ada, hanya menyelesaikan yang sudah ada saja, banyak
retur dan defect.
4. Konflik, Hampir setiap hari terdengar, perasaan resah dimana-mana.
5. Energi ,Hampir tidak ada.
6. Demo Karyawan, Tinggi, rasa takut kena PHK.
7. Proses Hukum,Meningkat, datang dari mana-mana.
8. Bagian keuangan, hidup dalam suasana stress, dikejar tagihan-tagihan yang tak terbayar
dan oleh debt collector.
Penting untuk dicatat, walaupun keinginan kuat dari pemerintah Pasca Orde Baru (Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawaty Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono) bersama
Legislatif dan Yudikatif untuk melakukan revitalisasi Penyelenggaraan Negara dan BUMN
dengan membuat berbagai UU dan Peraturan Pemerintah seperti UU No. 28 tahun 1999 tentang
2. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme ; UU no 31
tahun tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU no.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU no. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara
hingga UU no. 19 tahun 2003 tentang BUMN, tapi kemudian semua UU dan Peraturan
Pemerintah belum menyentuh persoalan dasar, dan malah isi UU dan Peraturan Pemerintah
tersebut membuat ”masalah baru” yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Ini membuktikan
bahwa persoalan perbaikan Governance bukanlah masalah yang mudah. Tak semudah
membalikkan telapak tangan dan tak semanis janji-janji dalam kampanye.
Kondisi ini semakin diperparah dengan apa yang menjadi kecenderungan global di awal abad 21
ini. Kritik dan meningkatnya ketidakpercayaan pada birokrasi dan korporasi, sebenarnya tidak
saja mewabah di Negara-Negara Sedang Berkembang seperti Indonesia dan Negara-Negara
ASEAN lainnya, tetapi juga terjadi di Negara-Negara Maju. Bahkan, seperti yang ditulis David
Osborne dan Ted Gaebler (1992) dalam bukunya Reinventing Government (Mewirausahakan
Birokrasi) bahwa perestroika tidak saja terjadi di Uni Soviet tetapi juga terjadi di Amerika Serikat.
Kedua penulis tersebut menjelaskan bahwa di penghujung tahun 1980-an, majalah Time pada
sampul mukanya menanyakan :” Sudah matikah pemerintahan”. Di awal tahun 1990-an, jawaban
yang muncul bagi kebanyakan orang Amerika adalah ”Ya”.
Yang membedakan Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara lainnya adalah
jika negara-negara ASEAN dan negara-negara lainnya dapat dengan cepat melakukan
revitalisasi Penyelenggaraan Negara dan Korporasi, maka di Indonesia revitalisasi masih
merupakan bahasa langit yang sulit untuk dibumikan (down to earth). Bahkan dengan munculnya
kelangkaan BBM, krisis listrik dan kenaikan harga hingga melemahnya rupiah terhadap dolar
yang menembus level Rp 10.000 sekarang ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan negara dan
korporasi masih jauh dari harapan.
Adalah sesuatu yang sehat, cerdas, pro aktif, beradab dan menjadi bagian dari pemecah masalah
(part of solution) serta menjadi peluang dan kesempatan yang positif, jika umat Islam sebagai
jumlah mayoritas di Negeri ini, melalui Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
dan International Seminar on Islamic Economics as A Solution ikut memberikan sumbangan
pemikiran dan aksi bagaimana Implementasi Good Corporate Governance dan Good
Government Governance dapat dilaksanakan melalui ekonomi dan manajemen Islam. Tentu saja,
sumbangan pemikiran tersebut tidak saja dalam kerangka wacana dan debat kusir, tetapi harus
mengarah pada sesuatu yang nyata, membuahkan hasil (performance) dan meningkatkan daya
saing. Kalau tidak, ini hanya akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan. Seperti yang
3. diingatkan oleh almarhum Prof. DR. H. Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa perputaran waktu
begitu sangat cepatnya, tidak saja dalam hitungan tahun, bulan dan minggu, tetapi sudah dalam
hitungan jam, menit dan detik. Kondisi yang tak diperkirakan ini (unpredictable) ”memaksa”
semua penyelenggara negara, pengelola korporasi dan bisnis, dan semua orang berlari untuk
mengejarnya. Selain perputaran waktu (Time Management), umat Islam juga diminta untuk dapat
menggunakan kompas, petah dan arah yang tepat (Compas & Road Map Management).
Bagi umat Islam, hidup ini adalah peluang & kesempatan. Peluang & Kesempatan tersebut tidak
saja sesuatu yang bersifat nyata (Tangible) tetapi juga bersifat tidak nyata (Intangible). Dalam
konteks Rahman dan Rahim-Nya Allah SWT, peluang dan kesem patan tersebut adalah sesuatu
yang tak terbatas (The Unlimited), yang bisa didaur ulang (Recycling), sesuatu yang bisa
dikembangkan (Development), sesuatu yang bisa dikemas (Packaging), serta sesuatu yang bisa
diperbaharui (Inovasi), sesuatu yang bisa digali (Explore), dan sesuatu yang bisa digabungkan
(Inter Connection), dsb. Keberlimpahan rahman dan rahim-Nya Allah SWT akan menjadi
keunggulan bersaing (Comparative Advantage) dan Kemampuan Bersaing (Competitive
Advantage) bagi kaum beriman bila kaum beriman mengikuti persyaratan, kaidah dan ketentuan
yang diberikan Allah SWT & Rasulnya.
B. Kompleksitas GCG dan GGG di Indonesia
Adalah realitas yang tak bisa dibantah bahwa untuk melaksanakan Good Corporate Governance
dan Good Government Governance, Indonesia harus dibenturkan (memperhalus istilah
dihancurkan) terlebih dahulu dalam Krisis Multi Dimensi yang berkepanjangan. Boleh jadi, jika
tidak didahului oleh Krisis Multi Dimensi yang berkepanjangan, kehendak untuk melaksanakan
GCG dan GGG adalah tidak sekuat seperti sekarang ini. Tentu saja, pasti ada hikmah di balik
peristiwa, mengapa Indonesia harus dibenturkan terlebih dahulu. Ada kasus nyata (Case Study)
yang dapat dijadikan contoh (benchmarking). Bagaimana Jepang dapat menjadi Negara Industri
Yang Maju di Asia setelah Hiroshima dan Nagasaki dibomatomkan oleh tentara sekutu pada
tahun 1945 menunjukkan bahwa bangsa Jepang ternyata mempunyai Adversity Quotient
(Kecerdasan Merubah Musibah Menjadi Nikmat) yang luar biasa. Dalam perspektif Al-Qur’an,
Nabi Yunus AS juga harus ditelan ikan Dzun Nun terlebih dahulu untuk kemudian tercerahkan
kembali. Hal yang sama, juga dialami oleh Nabi Muhammad SAW yang harus hijrah ke Madinah
Al-Munawwarah hingga akhirnya menalukkan kota Mekkah dan dunia dengan cerdas. Masih
banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan sebagai Benchmarking.
4. Adalah sesuatu yang sangat logis, jika Krisis Multi Dimensi 1998 mempunyai Rentetan Krisis. Di
antara Dampak Krisis Multi Dimensi 1998 itu adalah :
a) Dimensi beban yang dihadapi ekonomi.
b) Nilai mata uang rupiah merosot tajam.
c) Utang luar negeri (dalam mata uang asing) menggerogoti modal sendiri.
d) Puluhan bank ditutup, hutang dialihkan ke BPPN.
e) Tingkat bunga pinjaman & simpanan melambung tinggi.
f) Bahan baku tidak tersedia dan kalau ada mahal.
g) Pabrik-pabrik tutup, perputaran uang macet.
h) Pembangunan infrastruktur terhenti.
i) Kepercayaan dunia hilang, tidak bisa membuka LC di luar negeri.
j) Utilisasi mesin produksi di bawah 50 %.
k) Daya beli dan keinginan membeli hancur.
l) Inflasi tinggi, harga-harga melambung.
m) Tenaga Kerja Pengangguran Besar.
n) Terbentuk serikat-serikat pekerja untuk melindungi diri dari ancaman pemutusan
hubungan kerja
Dalam perspektif Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), dampak kriris multi dimensi yang
berkepanjangan ini berdampak bukan saja terhadap perilaku individu, team dan organisasi, tetapi
juga berdampak pada cara pandang (mind setting), permodalan, peraturan, struktur dan proses
organisasi maupun lingkungan strategis yang sangat dinamis. Kalau demikian jadinya, walaupun
belum tentu seluruhnya benar, tepat dan akurat, telah terjadi berbagai perubahan sebelum dan
sesudah reformasi di Indonesia.
Perubahan apa yang terjadi di Indonesia?. Apakah perubahan tersebut sesuatu yang bersifat
fundamental ataupun sebatas fenomena. Atau jangan-jangan, perubahan itu sebenarnya tidak
pernah ada. Atau yang sangat dan paling berbahaya, perubahan yang ada sekarang ini malah
lebih parah kondisinya dibanding masa sebelumnya. Kalau itu yang terjadi, seperti yang disindir
Al-Qur’an, kita tidak ubahnya seperti keledai yang membawa buku, yang tidak paham dan
mengerti apa yang dibawanya. Kita bukanlah keledai, kita adalah ciptaan Allah SWT yang terbaik,
bahkan kita adalah wakil Allah SWT di permukaan bumi ini (Khalifah Fil Ardh). Oleh karena itu,
kita tidak boleh lagi terperosok dalam kurang yang sama.
5. Secara umum, perspektif di dalam memahami corporate governance dapat dikategorikan menjadi
dua paradigma (1) perspektif pemegang saham (shareholding), dan (2) perspektif berbagai pihak
yang berkepentingan (stakeholding).
Perspektif pertama (shareholding)/teori shareholder dapat dianggap sebagai cara memandang
korporasi secara ”tradisional” yang berlandaskan pada argumen bahwa perusahaan didirikan dan
dioperasikan untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan pemagang saham per-se sebagai
akibat dari investasi yang dilakukannya.
Perspektif kedua (stakeholding)/teori stakeholder adalah baru marak dibicarakan pada akhir abad
ke 20 dengan diperkenalnya konsep stakeholder theory oleh Freeman (1984). Perspektif ini
memposisikan sudut pandang yang kontras dengan perspektif tradisional sebagaimana yang
dianut oleh shareholding. Dari sudut pandang stakeholding perusahaan di defisinikan sebagai
organ (locus) yang berhubungan dengan berbagai ”pihak yang berkepentingan” (stakeholders)
lain yang berada, baik di dalam maupun di luar perusahaan, dibandingkan dengan hanya
memperhatikan ”kepentingan” pemegang saham. Secara lebih spesifik, Freeman (1984) di dalam
definisi stakeholder ini termasuk ; karyawan, kreditur, supplier, pelanggan dan komunitas local di
mana sebuah korporasi berada. Proponen yang menganut perspektif ini memandang bahwa
hubungan yang berbasis ”kepercayaan” (trusts relationships) dan etika bisnis (business ethics)
merupakan prasyarat utama sebagai acuan di dalam setiap pengambilan keputusan melalui
proses stakeholding management.
Bertitik tolak dari 2 perspektif di atas, di dalam di dalam BUMN Directory 2005, maka Corporate
Governance didefinisikan sebagai “suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN
untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka pajang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders
lain, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Dari definisi di atas, Kementerian BUMN tampaknya berusaha menngkomodir 2 paradigma
tentang Corporate Governance, yaitu memadukan kepentingan antara shareholding dan
stakeholding.
Oleh Kementerian BUMN, maka setiap BUMN wajib menerapkan Good Corporate Governance
(GCG) secara konsisten dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya.
Sedangkan Good Government Covernance dapat dikembangkan dan dielaborasi menjadi 11
butir, yaitu :
6. 1. Pemerintahan Katalis : Mengarahkan Ketimbang Mengayuh.
2. Pemerintahan Milik Masyarakat : Memberi wewenang ketimbang melayani.
3. Pemerintahan yang Kompetitif : Menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.
4. Pemerintahan yang Berorientasi Hasil : Membiayai hasil, bukan masukan.
5. Pemerintahan Berorientasi Pelanggan : Memenuhi Kebutuhan Pelanggan, Bukan Birokrasi.
6. Pemerintahan Wirausaha : Menghasilkan Ketimbang Membelanjakan.
7. Pemerintahan yang Digerakkan oleh Misi : Mengubah Organisasi yang digerakkan oleh
Peraturan.
8. Pemerintahan Antisipatif : Mencegah daripada Mengobati
9. Pemerintahan Desentralisasi
10.Pemerintahan Berorientasi Pasar : Mendongkrak Perubahan Melalui Pasar.
11.Mengumpulkan semua menjadi satu
Untuk kasus Indonesia, penerapan GGG yang paling dominan baru pada Pemerintahan
Desentralisasi, seperti yang tertulis dalam butir no. 9. Saat ini, seiring dengan berlakunya
Undang-Undang No. 22 /1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 25/1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Good Goverment Governance. Kebutuhan
akan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi kebutuhan yang
tidak bisa ditawar-tawar. Gejala Disintegrasi, konflik horizontal, kesejangan pendapatan antara
pusat dan daerah menjadi fakta yang tak bisa ditutup-tutupi. Sedangkan butir 1 s/d 8, 10 s/d 11,
walaupun sudah ada good will, belum menemukan maqam yang sebenarnya, bahkan proses dan
implementasi GCG semakin terganggu dengan buruknya Kinerja Anggota Kabinet SBY – JK.
Baik GCG maupu GGG memiliki beberapa prinsip, yaitu sbb :
a) Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengembalian keputusan
dan keterbukaan dalam mengembangkan informasi materil dan relevan mengenai
perusahaan.
b) Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
7. c) Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
d) Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan terhadap peraturan
perundang – undangan dan prinsip – prinsip korporasi yang sehat.
e) Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.
Penerapan GCG pada BUMN dan GGG pada penyelenggaraan pemerintahan pastilah
mempunyai tujuan dan manfaat yang positif. Tujuan penerapan GCG pada BUMN bertujuan
antara lain :
a. Memaksimalkan nilai BUMN.
b. Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan dan efisien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ BUMN
c. Mendorong agar Organ BUMN dalam mengambil keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan peraturan.
d. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
e. Meningkatkan iklim investasi.
f. Mensukseskan program privatisasi
Sedangkan manfaat penerapan GCG adalah :
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestic maupun asing.
2. Mendapatkan cost of capital yang lebih murah (debt/capital).
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari shareholder terhadap perusahaan.
5. Melindungi Direksi dan Komisaris / Dewan Pengawas dari tuntutan hokum.
8. QUIZ 1 BE & GG
Pendekatan Good Corporate Governance yang sesuai dengan Budaya
kita (Budaya Panca Sila dan Kebinneka Tunngal Ika)
Pendahuluan
Pancasila memiliki dua kedudukan yaitu sebagai falsafah dan sumber dari segala sumber
hukum. Dalam kedudukannya ini maka Pancasila menjadi pedoman perilaku bagi seluruh
elemen bangsa serta landasan bagi hukum sebagai suatu sistem. Berdasarkan kedudukannya
inilah maka Pancasila memiliki kekuatan mendobrak hierarki hukum. Kedudukan Pancasila tidak
saja sebagai dasar bagi konstitusi tetapi dapat merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh karena itu, Pancasila tidak saja dimaknai
danmenjadi falsafah dalam bernegara secara luas. Setiap aspek kehidupan dalam
bermasyarakat yang bersifat mikro juga bertumpu pada Pancasila.
Wilayah hubungan privat seperti halnya tata kelola perusahaan tidak terlepas dari konsep-
konsep dasar dalam Pancasila sebagai filsafat negara. Tata kelola perusahaan atau corporate
governance juga membutuhkan landasan falsafah untuk berkontribusi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, dalam artikel ini akan diuraikan mengenai pemberlakuan
Pancasila dalam penata kelolaan perusahaan yang dilandasai konstruksi teoritis keadilan sosial
yang tercantum dalam Pancasila.
Pancasila Sebagai Falsafah
Keraguan Pancasila sebagai sebagai falsafah negara ini menghasilkan pemaknaan
bahwa Pancasila sekedar kumpulan mengenai kebaikan tanpa memenuhi unsur untuk
diklasifikasikan sebagai suatu nilai-nilai filsafat. Hal ini ditentang oleh Yamin yang membangun
proposisi melalui konstruksi Pancasila sebagai suatu sistem falsafah dengan merujuk pada tiga
sumber konseptual tentang filsafat yang berbeda yaitu pemikiran barat yang diwakili Hegel, Ibnu
Rusyid dari timur, dan Mpu Tantular sebagai filsuf nusantara. Proposisi pertama diawali dengan
merujuk pada konsepsi filsafat menurut Hegel bahwa nilai-nilai filsafati sebagai hasil sintesis
yang lahir dari proses antitesis pikiran.
Berdasarkan pada konsepsi ini, Yamin menilai bahwa kelima elemen dari Pancasila yaitu
peri ketuhanan, peri kerakyatan, peri kebangsaan, peri keadilan sosial, dan peri kemanusiaan
menyatu dalam satu kesatuan utuh yang terurai dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan menjadi
9. kesatuan ini maka Pancasila dapat diklasifikasikan sebagai suatu sistem falsafah yang memiliki
nilai- nilai filsafati. Menjadikannya sebagai suatu sistem, hal ini menunjukkan bahwa kelima
elemen tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dan secara secara formal
telah memenuhi unsurnya sebagai falsafah. Berikutnya, Yamin memberikan gambaran bahwa
Pancasila sebagai falsafah dengan menggunakan konsepsi filsafat menurut Ibnu Rusyid. Ibnu
Rusyid menyatakan bahwa nilai-nilai filsafati berasal dari dua sumber yaitu kitab suci dan hasil
hikmah kebijaksanaan manusia.
Pendekatan metafisika ini dengan meninjau lima elemen yang terdapat pada Pancasila.
Sila sebagai elemen pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa disalurkan oleh pengetahuan
naluri kepada manusia menurut tinjauan asli atau oleh berdasarkan kitab suci masing-masing
agama. Empat sila lainnya merupakan pengetahuan hasil dari hikmah kebijaksanaan manusia
sendiri. Hal ini memberikan satu gambaran yang menurut Yamin bahwasannya Pancasila telah
memenuhi persyaratan sebagai satu kesatuan nilai filsafat yang harmonis. Nilai ini berasal dari
tradisi naluri yang terdapat dalam kitab suci serta percikan hikmah kebijaksanaan manusia
Indonesia.
Proposisi terakhir adalah dari Mpu Tantular dengan menggunakan pendekatan sejarah
yang melatar belakangi suatu eksistensi kesamaan cara pandang dan berkehidupan di dalam
keberagaman.Pada fase kegemilangan Majapahit muncul berbagai aliran-aliran pemikiran,
agama, filosofi, dan kebudayaan. Untuk menghindari adanya perpecahan kemajemukan tersebut
maka digunakanlah pandangan filosofis dari Mpu Tantular tanhana dharma mangrwayang saat
ini dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika. Beranjak pada prosespenyatuan dari kemajemukan ini,
Yamin berpandangan Pancasila merupakan falsafah untuk mewadahi kemajemukan. Tujuannya
adalah Pancasila sebagai pemersatu kebhinekaan menjadi satu kesatuan yang terintegral
sebagaimana pernah terjadi dalam wilayah nusantara sebelumnya.
Konsep Dasar Keadilan Sosial dalam Pancasila
Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia. Dalam kedudukannya ini, Pancasila
melingkupi setiap aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, falsafah
bangsa ini menjadi pedoman nilai bagi seluruh wilayah berkehidupan baik secara makro maupun
mikro. Keadilan sosial merupakan salah satu asas yang tercantum dalam Pancasila. Kedudukan
asas yang bersifat abstrak ini membutuhkan penafsiran sebelum diaplikasikan baik sebagai dasar
dalam penyusunan hukum maupun perilaku. Yamin memberikan pandangan mengenai keadilan
10. sosial sebagai suatu kehendak keadilan bukan saja untuk perseorangan melainkan juga bisa
dirasakan oleh masyarakat.
Pemikiran ini dapat ditafsirkan bahwa perwujudan keadilan sosial sebagai pengakuan hak
pribadi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum. Soekarno
menafsirkan bahwa keadilan sosial sebagai perwujudan masyarakat adil dan makmur yang di
dalamnya tercipta kebahagian bagi semua orang, tidak adanya penghinaan, penindasan, dan
penghisapan, serta ketersediaan kebutuhan dasar yaitu sandang dan papan. Darmodiharjdo
memberikan penafsiran bahwa keadilan sosial sebagai satu bentuk keadilan yang berlaku dalam
masyarakat baik dalam bentuk materiil maupun spiritual. Setiap orang Indonesia berhak
mendapatkan perlakuan adil dalam setiap aspek kehidupan seperti hukum, sosial, politik,
ekonomi, dan budaya.
Dari tiga pemikiran di atas, terdapat tiga unsur penting dalam keadilan sosial yaitu
pengakuan hak pribadi, distribusi kesejahteraan, dan kepentingan umum. Hak pribadi ini sebagai
hak-hak yang melekat pada setiap subyek hukum.Jenis dari hak pribadi termasuk di dalamnya
hak yang bersifat materiil maupun immateriil yang berasal dari hak asasi manusia. Di dalam
keadilan social diupayakan distribusi kesejahteraan atas hak pribadi secara merata. Meskipun
keadilan sosial menjamin hak pribadi tetapi dibatasi dengan kepentingan umum.
Konsep Tata Kelola Perusahaan
Tata kelola perusahaan dibagi menjadi dua yaitu tata kelola perusahaan sebagai suatu
sistem dan tata kelola sebagai suatu pendekatan model pengelolaan.Tata kelola perusahaan
sebagai suatu sistem ditunjukan dengan adanya sistem mengenai (i) pengelolaan; dan (ii)
pengawasan terhadap pengelolaan.Di dalam hukum perusahaan dikenal dua sistem yaitu one-
tier board system dan two tier board system.
Pada one-tier board system adanya tiga karakter utama. Pertama, pengelola dan
pengawas dalam satu dewan. Kedua, organ dalam perusahaan hanya RUPS dan Dewan Direksi.
Ketiga, auditor memiliki peran yang signifikan karena pengawasan internal yang sangat minim.
Hal ini berbeda dengan two-tier board system dengan karakteristik sebagai berikut. Pertama,
adanya tiga organ dalam perusahaan yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Direksi. Kedua,
terdapat pemisahan yang tegas dan formal antara pengelola dengan pengawas pada dua organ
yang berbeda. Konsep tata kelola perusahaan sebagai suatu model pengelolaan dibagi menjadi
dua yaitu pendekatan kontraktarian atau shareholder approach dan pendekatan komunitarian
atau stakeholder approach. Pendekatan kontraktarian menitikberatkan model pengelolaan untuk
11. kepentingan investor. Inti dari pendekatan ini adalah perusahaan sebagai asosiasi modal yang
dibentuk untuk mencapai keuntungan pribadi dari investor itu sendiri.
Kepentingan investor sebagai pihak utama dan menjadi prioritas utama dalam tata kelola
perusahaan. Dalam konteks implementasi tata kelola perusahaanmaka pengelolaan perusahaan
menekankan kepentingan investor untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini
berbeda dengan pendekatan komunitarian yang menilai bahwa investor bukan satu-satunya
pihak yang menjadi prioritas dalam pengelolaan perusahaan.
Di dalam perusahaan, terdapat berbagai pihak yang terlibat seperti buruh, konsumen,
kreditor, masyarakat, dan perusahaan itu sendiri sebagai entitas hukum. Berdasarkan
pendekatan ini maka pengelolaan perusahaan diarahkan untuk memenuhi kepentingan dari
berbagai pihak yang terlibat dan berhubungan dengan perusahaan.
Keadilan Sosial dalam Hukum Tata Kelola Perusahaan
Implementasi falsafah Pancasila khususnya keadilan sosial dalam tata kelola perusahaan
ini dalam konteks model pengelolaan lebih tepat menggunakan pendekatan komunitarian.
Pendekatan ini sebagai landasan hubungan antara perusahaan dengan sumberdaya yang
berkontribusi dalam pencapaian tujuan perusahaan. Guna membangun model pengelolaan
perusahaan yang berkeadilan sosial tersebut maka dibangun suatu konsep berdasarkan teori
yang tepat. Adapun teori-teori tersebut adalah teori kesejateraan ekonomi atau welfare
economics dalam membangun konstruksi distribusi hak. Sedangkan teori corporate citizenship
dan team production sebagai dasar dalam menjelaskan kedudukan perusahaan dalamsistem
kemasyarakatan.
Teori kesejahteraan ekonomi atau welfare economics yang dicetus oleh Steven Shavell
mempunyai kesamaan dengan konsepsi tentang keadilan sosial. Ide pertama dari ekonomi
kesejahteraan diindikasikan dengan kesejahteraan dari setiap individu. Kesejahteraan ini bukan
semata-mata dalam hal yang dapat ditinjau secara materi tetapi termasuk juga dalam bentuk
kepuasan batiniah. Kedua, bila mana kesejahteraan individu ini dapat dicapai secara merata
maka secara otomatis kesejahteraan masyarakat akan tercapai.Merujuk pada konsepsi
kesejahteraan ekonomi tersebut, perusahaan berperan dalam mendistribusikan kesejahteraan
kepada para seluruh konstituenbaik pemodal maupun pemangku kepentingan yang
berhubungan dengan perusahaan. Semakin besar nilai yang didistribusikan semakin besar pula
nilai kesejahteraan bagi para pemangku kepentingan.
12. Keadilan sosial yang dinilai berdasarkan kesejahteraan ekonomi dalam wilayah tata kelola
perusahaan ini tidak berpijak pada paradigma perusahaan sebagai persekutuan modal seperti
yang ditegaskan dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.Konsep bahwa perusahaan
sebagai persekutuan modal penting dalam taraf pembentukan perusahaan untuk membedakan
karakteristik perusahaan dengan bentuk badan hukum lainnya khususnya yayasan yang
mengedepankan aspek sosial dan koperasi sebagai badan hukum dengan maksud dan tujuan
untuk mengkoordinir dan memberikan manfaat kepada anggotanya.
Konsep persekutuan modal mengalami degradasi saat perusahaan telah menjalankan
aktivitasnya. Paradigma persekutuan modal sudah beralih menjadi perusahaan sebagai warga
negara atau corporate citizenship dan perusahaan sebagai suatu tim produksi atau team
production. Perusahaan sebagai warga negara atau corporate citizenship adalah paradigma
dimana perusahaan sebagai subyek hukum. Teori ini memandang bahwa pengelolaan
perusahaan untuk memenuhi kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di samping
tujuan finansial berupa pencapaian profit dan membangun keseimbangan antara hak dan
kewajiban yang melekat pada status hukum dan sosial perusahaan dalam masyarakat. Status
sosial sebagai bagian dari masyarakat ini secara legal diatur dalam tata aturan hukum secara
sistematis. Pada status sebagai subyek hukum inilah maka perusahaan sebagai badan hukum
memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab berdasarkan hakikatnya dalam melaksanaan
kegiatannya.
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan mempunyai hubungan interdependen
dan saling mempengaruhi dengan seluruh bagian masyarakat.Hubungan interdependen tersebut
adalah hubungan yang terkait satu dengan lainnya dan perusahaan sebagai sentral dari
hubungan tersebut. Pada hubungan ini melibatkan berbagai banyak pihak ini dapat menimbulkan
konflik kepentingan di antara pihak yang terlibat tersebut. Konflik yang berpotensi muncul adalah
antara pemodal dengan pemangku kepentingan. Untuk menghindari konflik kepentingan tersebut
maka pengelolaan perusahaan perlu mengubah paradigma perusahaan bukan sebagai
persekutuan modal tetapi sebagai satu tim yang bekerja sama dalam menghasilkan produk atau
team production.
Teori team production melihat perusahaan mempunyai tiga unsur dasar yaitu: (i)
menggunakan banyak sumberdaya yang dipergunakan; (ii) sumberdaya tersebut untuk
menghasilkan satu produk; (iii) sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi tidak dimiliki
oleh satu pihak saja.Tiga unsur tersebut sangat konkrit sekali dimana perusahaan membutuhkan
berbagai sumberdaya untuk menghasilkan produknya. Sumberdaya tersebut antara lain modal,
13. hutang, tenaga, bahan baku, keahlian, dan lain sebagainya. Berbagai macam sumberdaya itu
sendiri tidak dimiliki oleh satu pihak saja. Berbagai pihak turut berkontribusi dan masing-masing
mempunyai hak dan kewajibannya. Kesemua hubungan di tata berdasarkan hukum. Hukum
menjadi pedoman mengenai distribusi hak dan kewajiban antara perusahaan dengan para
konstituennya baik pemodal maupun para pemangku kepentingan. Peranan hukum untuk
meminimalisir potensi kesewenangan yang dilakukan oleh internal perusahaan yang dapat
merugikan pemangku kepentingan.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari artikel ini adalah sebagai berikut. Pertama, Pancasila
sebagai falsafah berkehidupan bukan saja menjadi landasan dalam bernegara tetapi juga dalam
setiap aspek kehidupan secara mikro termasuk pada tata kelola perusahaan. Kedua, keadilan
sosial sebagai salah satu asas dalam Pancasila perlu diwujudkan dengan distribusi
kesejahteraan secara ekonomis berdasarkan kontribusi dari masing-masing konstituen
perusahaan. Ketiga, untuk mencapai ekonomi kesejahteraan tersebut perlu adanya perubahan
paradigma dalam pengelolaan perusahaan. Perusahaan tidak lagi dapat dipandang sebagai
persekutuan modal yang menjadikan kepentingan pemodal sebagai tujuan utama tata kelola
perusahaan. Para pemangku kepentingan lainnya yang juga berkontribusi dalam menghasilan
produk perusahaan juga mendapatkan atensi atas kegiatan penata kelolaan perusahaan.
14. DAFTAR PUSTAKA
1. Darmawanahmad, 2010. https://darmawanachmad.wordpress.com/2010/02/27/good-
corporate-governance/ (6 September 2017, jam 20.15).
2. Kurniawan, Wahyu, 2017. https://www.researchgate.net/publication/317131783 (6
September 2017, jam 21.25).