Perubahan merupakan hal yang penting bagi setiap organisasi untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Namun, pelaksanaan perubahan seringkali menemui hambatan dan gagal karena kurangnya kesadaran akan pentingnya perubahan (sense of urgency) dan pendekatan yang antagonis terhadap status quo. Pendekatan yang tepat adalah menyakinkan bahwa perubahan diperlukan karena status quo sudah tidak relevan, bukan karena status quo itu bur
Perubahan Budaya Organisasi dalam Era MilenialMuhammad Fajar
Budaya Organisasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan berorganisasi, budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berperilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi. Budaya organisasi mengacu pada hubungan yang unik dari norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan cara berperilaku yang menjadi ciri bagaimana kelompok dan individu dalam menyelesaikan sesuatu.
Budaya organisasi dalam era milenial tidak selalu tetap dan harus selalu disesuaikan dengan perkembangan lingkungan agar organisasi tetap survive. Orang yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasinya hanya sekadar hidup dan menjalankan kegiatannya, namun juga berharap organisasinya terus tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). Oleh karenanya, organisasi harus dapat melakukan perubahan-perubahan termasuk perubahan budaya organisasi yang diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja organisasi.
KELOMPOK 9 PROSES INFORMASI DAN BISNIS oleh Ibu Rismayani s.kom m.tNurArifah1909
TUGAS MAKALAH PROSES BISNIS DAN INFORMASI
KELAS B
JURUSAN SISTEM INFORMASI
STMIK DIPANEGARA MAKASSAR 2017
mengenai: 1.kelemahan proses bisnis sdm, keuangan, konversi
2. klasifikasi perubahan organisasi
3.prinsip dasar menangani perubahan dan contoh kasus-kasusnya
Perubahan Budaya Organisasi dalam Era MilenialMuhammad Fajar
Budaya Organisasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan berorganisasi, budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berperilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi. Budaya organisasi mengacu pada hubungan yang unik dari norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan cara berperilaku yang menjadi ciri bagaimana kelompok dan individu dalam menyelesaikan sesuatu.
Budaya organisasi dalam era milenial tidak selalu tetap dan harus selalu disesuaikan dengan perkembangan lingkungan agar organisasi tetap survive. Orang yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap organisasinya hanya sekadar hidup dan menjalankan kegiatannya, namun juga berharap organisasinya terus tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). Oleh karenanya, organisasi harus dapat melakukan perubahan-perubahan termasuk perubahan budaya organisasi yang diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja organisasi.
KELOMPOK 9 PROSES INFORMASI DAN BISNIS oleh Ibu Rismayani s.kom m.tNurArifah1909
TUGAS MAKALAH PROSES BISNIS DAN INFORMASI
KELAS B
JURUSAN SISTEM INFORMASI
STMIK DIPANEGARA MAKASSAR 2017
mengenai: 1.kelemahan proses bisnis sdm, keuangan, konversi
2. klasifikasi perubahan organisasi
3.prinsip dasar menangani perubahan dan contoh kasus-kasusnya
1. Perubahan: Niat & Usaha
Rabu, 17 Oktober 2018
sumber foto: cover buku Leading Change
Perubahan adalah hal yang mungkin dilakukan. Setiap orang, kelompok, organisasi, bahkan bangsa
bisa melakukan perubahan. Mereka dapat mengubah diri dan posisi serta peran di dalam
lingkungannya. Dari Asian Para Games 2018 kita bisa belajar, mereka yang berbeda kemampuannya
pun bisa mengubah diri menjadi berprestasidan berperan lebih di masyarakatasal mau bekerja keras.
Perubahan adalah keniscayaan. Agama Islam juga mengajarkan tentang perlunya manusia terus
berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-
kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d: 11)
Namun, perubahan juga bukan hal yang gampang untuk dilakukan. Ambil contoh yang sederhana.
Pada awal kita membiasakan diri puasa sunnah Senin-Kamis, atau mulai berolahraga secara rutin,
atau mengatur pola makan yang lebih sehat, pasti kita memasuki fase transisi yang tidak mudah.
Mungkin badan terasa lemas, kepala pusing, tidak bisa konsentrasi, dan keluhan lainnya.Namun, jika
kita yakin dengan niat kita, clear dengan tujuan yang akan kita capai, biasanya turbulensi di masa
transisi itu bisa kita lewati.
Begitu juga dalam konteks bangsa. Ketika bangsa Indonesia memilih meninggalkan sistem otoriter
Orde Baru, sebagian masyarakat mengeluh ketidakteraturan yang merebak di masa transisi, mulai
dari konflik sosial, kebebasan pers dan masyarakat sipil yang dirasa kebablasan, hingga premanisme
dan kriminalisme yang merebak. Seolah semua debu dan kotoran yang selama ini disimpan di balik
permadanikini menyeruak. Namun, apakah dengan semua kekacauan itu,kita ingin kembali ke sistem
otoriter, ke masa lalu yang seolah indah namun tanpa kebebasan?
2. Bangsa ini telah memilih. Meminjam untaian kata Taufiq Ismail dalam puisi berjudul Kita adalah
Pemilik Sah Republik Ini (1966), bangsa Indonesia berkata pada dirinya sendiri: kita harus berjalan
terus, karena berhenti atau mundur, berarti hancur. Dengan segala ketidaknyamanan, konflik, dan
perdebatan, kita memutuskan membangun sistem baru yang lebih demokratis dan lebih terbuka demi
tercapainya tujuan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam organisasi. Kita membaca berita tentang Nokia, telepon genggam sejuta umat,
atau Kodak, raja teknologi fotografi dan perfilman yang berdiri pada 1888 di Amerika, yang kini
bersusah payah bangkit dari keterpurukan akibat terlambat berubah atau gagal mengantisipasi
perubahan. Keduanya bahkan harus“mati suri” sebelum akhirnya dapatbertahan hidup walau dengan
ukuran dan keunggulan yang jauh dari kondisi ketika menjadi raksasa di bidangnya.
Perubahan Bisa Gagal
Perubahan organisasi adalah kajian yang sangat menarik sampai-sampai ada profesor Harvard
Business School yang berkutat mengkaji bidang ini, namanya Profesor John Kotter. Salah satu buku
Kotter yang menarik dan mungkin paling populer adalah Leading Change. Buku ini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut Kotter, salah satu yang membuat organisasi gagal adalah tidak ditanamkannya perubahan
sebagai bagian dari budaya organisasi (dalam konteks bisnis tentunya yang dimaksud adalah
perusahaan). Sebaliknya, organisasiyang menanamkan perubahan sebagaibagian dari budaya akan
lentur dan adaptif tanpa meninggalkan visi luhur organisasi itu. Jadi, jika kita percaya bahwa
perubahan adalah keniscayaan, maka praktik dalam organisasi yang selama ini dijalankan bukanlah
sesuatu yang sakral. Status quo menghambat dinamika dan inovasi organisasi, yang akhirnya
melahirkan organisasi yang lamban dan gagap.
Kotter juga mencatat pentingnya visi dalam suatu organisasi. Visi adalah narasi tentang masa depan
yang akan kita raih, tentang suatu keadaan yang lebih baik yang ingin kita wujudkan dengan adanya
keberadaan kita, tentang makna kehadiran organisasi di dalam suatu lingkungan strategis.
Sebaliknya, menurut penelitiannya, organisasi yang merendahkan (underestimate) kekuatan visi,
tidak cukup mengomunikasikan visi, dan membiarkan munculnya hambatan bagi anggota organisasi
memahami visi, akan terjebak dalam kenyamanan semu. Memahami visi di dalam organisasi
membutuhkan dinamika dan dialektika gagasan.Jika visi tidakdibenturkan dalam diskusi yang sehat,
ia hanya akan menjadi kata-kata indah dalam bingkai cantik di ruang rapat.
Titik paling krusial dalam melakukan perubahan adalah membuat sense of urgency untuk berubah di
dalam organisasi. Apalagi di dalam organisasi yang merasa berhasil dengan cara yang dilakukan
selama ini. “Ini cara yang membuat kita sukses,buat apa berubah?” Atau ada ungkapan dalambahasa
Inggris: If it’s not broken, don’t fix it. Apalagi jika cara dan budaya yang selama ini berlaku memberikan
keuntungan bagi pihak tertentu di dalam organisasi.
Tantangan dalam meyakinkan sense of urgency adalah, seorang pemimpin perubahan harus
meyakinkan anggotanya bahwa status quo sekarang ini lebih berbahaya dari situasi baru yang belum
kita ketahui. Ia harus menjawab keraguan: apakah pasti kita akan lebih baik dengan melakukan
perubahan? Apa jaminannya? Kotter memberi ukuran, paling tidak 75% dari pemimpin dan pemimpin
madya organisasi harus merasakan situasi genting untuk berubah, baru perubahan bisa bergulir.
Perubahan sering gagal di titik ini ketika pemimpin tidak berhasil mengajak orang keluar dari zona
nyaman, apalagi jika ia menjadi bagian dari yang menikmati kenyamanan itu.
Bukan Antagonis
3. Saya berbeda dengan Kotter dalam hal mengomunikasikan perubahan. Setelah meyakinkan sense
of urgency, Kotter menyarankan dibentuknya “koalisi perubahan” dalam skenario protagonis versus
antagonis dengan situasi dan cara lama. Dibayangkan seolah koalisi perubahan (yang dalam konteks
perusahaan sering disebut change taskforce atau change management office) adalah ksatria baik
yang akan menyelamatkan organisasi dari cengkeraman status quo jahat. Memang kadang masalah
perlu disederhanakan agar mudah dimengerti orang banyak, namun pemimpin tidak boleh terjebak
dalam pandangan hitam-putih yang simplistis.
Bagi saya, perubahan dalam organisasi bukanlah soal benar-salah atau baik-jahat, melainkan soal
relevan-tidak relevan. Apakah cara kerja kita selama ini relevan dengan lingkungan strategis yang
selalu dinamis? Apakah cara kita selama ini telah mengoptimalkan potensi insanidi dalam organisasi?
Kita memilih meninggalkan cara kerja dan budaya lama karena itu sudah tidak relevan lagi dengan
situasi sekarang dan sudah tidak efektif lagi untuk mencapai tujuan kita.
Pendekatan antagonis membuat perubahan menjadi sesuatu yang subyektif. Ini kontraproduktif
dengan niat perubahan itu sendiri. Syarat perubahan berhasil adalah pembacaan yang jernih dan
obyektif terhadap situasi eksternal dan internal. Apakah pilihan strategi kita dalam menjalankan
organisasi dan merespons suatu perkembangan tepat dan memberikan hasil?
Pendekatan antagonis yang subyektif juga membuat kita berkutat pada “mengapa kita berubah”,
bukan bagaimana berubah dan ke mana arah yang dituju dengan perubahan ini. Padahal, kembali ke
pendapat Profesor Kotter, masalah mengapa berubah hanyalah satu dan bagian awal dari perjalanan
perubahan yang panjang.
Akhirnya, tantangan terbesar dalam melakukan perubahan ada di fase akhir manajemen perubahan,
yaitu menginstitusionalkan cara dan budaya baru ke dalam arah baru yang akan ditempuh organisasi
ke depan. Transformasi adalah proses, bukan event. Dalam perjalanannya akan ada godaan untuk
mempercepat proses, melongkapi tahapan yang harus dilalui, tapi sejarah telah mengajarkan, jalan
pintas tak pernah berhasil. ***
Postnavigation
← Inspirasi Negeri Sulaiman