KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
Anemia bab 1
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh
anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi
kosong. Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk
eritropoiesis berkurang oleh karena pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial berkurang,
sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastik, penyediaan besi untuk
eritropoiesis berkurang karena gangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke
dalam heme terganggu. Oleh karena itu, ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai anemia
dengan gangguan metabolisme besi.1
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara-negara tropik oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Anemia
ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang
sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.1
Besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, dengan berurangnya besi maka
sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun.
Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar
hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat
dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh.2
Anemia defisiensi besi ini dapat diderita oleh bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa
baik pria maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat mendasari terjadinya anemia
defisiensi besi. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat besi
yang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis
kelamin. Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja dan wanita hamil, menyusui serta wanita
menstruasi. Oleh karena itu, kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika
terdapat kehilangan besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam
jangka panjang.2
2. 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.1,3
Gambar 1. Diagram Hubungan Antara Defisiensi Besi, Anemia Defisiensi Besi, dan Anemia
(sumber: Adaptasidari Yip R. Iron Nutritional Status Defined. In: Filer IJ, ed. Dietary Iron: Birth To Two
Years. New York, Raven Press, 1989: 19-35; World Health Organization, 2001).
2.2. Metabolisme besi
Besi merupakan trace elememt vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk
pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam
jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan besi dalam usus,
maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari sumber hewani,
tetapi kemudian pola makanan berubah di mana sebagian besar besi yang berasal dari sumber
nabati, tetapi perangkat absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak
menimbulkan defisiensi besi.1
3. 3
2.3. Kompartemen Besi Dalam Tubuh
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh berupa: (1) senyawa besi
fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi
cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport,
besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu
kompartemen ke kompartemen lainnya.1
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi
selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas akan merusak jaringan, mempunyai sifat
seperti radikal bebas. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan
besi 50 mg/kgBB, sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/kgBB. Tabel 1
menggambarkan komposisi besi pada seorang laki-laki dengan berat badan 75 kg. jumlah
besi pada perempuan pada umumnya lebih kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih
kecil.1,4
TABEL 1. Kandungan Besi Seorang Laki-laki dengan BB 75 kg
A. Senyawa besi fungsional Hemoglobin 2300 mg
Mioglobin 320 mg
Enzim-enzim 80 mg
B. Senyawa besi transportasi Transferin 3 mg
C. Senyawa besi cadangan Feritin 700 mg
Hemosiderin 300 mg
Total 3803 mg
2.4. Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan
besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi
pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorpsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi
dibagi menjadi 3 fase :
1. Fase Luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di
duodenum.
4. 4
2. Fase Mukosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses
aktif.
3. Fase Korporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh
sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.1
2.4.1. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme.
Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi.
Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah.
Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain)
karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke
fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.1
2.4.2. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejenum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi
heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border
dari sel absortif (terletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri
direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein
duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transport melalui membran difasilitasi oleh divalent
metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam
bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus.
Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.1
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferrin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa
dibantu oleh DMT-1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke
dalam lumen usus.1
5. 5
Gambar 2. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C., 2005. Understanding Heme
Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9)
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur
oleh “set point” yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta. Kemudian pada
saat pematangan, eritrosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorbtif.1
Dikenal adanya mucosal block, suatu fenomena di mana setelah beberapa hari dari
suatu bolus besi dalam diet, maka enterosit resisten terhadap absorbsi besi berikutnya.
Hambatan ini mungkin timbul karena kumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan
set-point diatur seolah-olah kebutuhan besi sudah berlebihan.1
6. 6
Gambar 3. Regulasi Absorbsi Besi (sumber: Andrews, N.C., 1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl
J Med; 26: 1986-95)
2.4.3. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian
dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat
mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2 - Tf) akan
berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada
permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu
cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi
sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom
sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke
sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferrin
mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.1
7. 7
Gambar 4. Siklus Transferin (sumber: Andrews, N.C., 1999. Disorders of Iron Metabolism. N Engl JMed;
26: 1986-95)
2.5. Mekanisme Regulasi Absorbsi Besi
Terdapat 3 mekanisme regulasi absorpsi besi dalam usus :
1. Regulator diabetik. Absorbsi besi dipengaruhi oleh jenis diet dimana besi terdapat.
Diet dengan bioavilabilitas tinggi yaitu besi heme, besi dari sumber hewani, serta
adanya faktor enhancer akan meningkatkan absorbsi besi. Sedangkan besi dengan
bioavaibilitas rendah adalah besi non-heme, besi yang berasal dari sumber nabati dan
banyak mengandung inhibitor akan disertai presentase absorbsi besi yang rendah.
Pada dietary regulator ini juga dikenal adanya mucosal block, seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.1
2. Regulator simpanan. Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam
tubuh. Penyerapan besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya apabila cadangan
besi rendah maka absorbsi besi akan ditingkatkan. Bagaimana mekanisme regulasi ini
bekerja belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan melalui crypt-cell programming
sehubungan dengan respon saturasi transferin plasma dengan besi.1
3. Regulator eritropoetik. Besar absorbsi besi berhubungan dengan kecepatan
eritropoiesis. Erythropoietic regulator mempunyai kemampuan regulasi absorbsi besi
lebih tinggi dibandingkan dengan stores regulator. Mekanisme erythropoietic
regulator ini belum diketahui dengan pasti. Eritropoiesis inefektif (peningkatan
8. 8
eritropoiesis tetapi disertai penghancuran prekursor eritrosit dalam sumsum tulang),
seperti misalnya pada thalassemia atau hemoglobinopati lainnya, disertai peningkatan
absorbsi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan eritropoiesis akibat destruksi
eritrosit di darah tepi, seperti misalnya pada anemia hemolitik autoimun. Oleh karena
itu hemokromatosis sekunder jauh lebih sering pada keadaan pertama dibandingkan
dengan keadaan kedua. Akhir-akhir ini ditemukan suatu peptida hormonal kecil yaitu
hepcidin yang diperkirakan mempunyai peran sebagai soluble regulator absorbsi besi
dalam usus.1
2.6. Siklus Besi dalam Tubuh
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh
besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi
diabsorbsi dari diet (berkisar antara 1-2 mg per hari) atau pelepasan sirkulasi cadangan dalam
ikatan plasma ke transferrin, besi pengangkut protein. Besi dari usus dalam bentuk transferin
akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar
22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis sebanyak 24 mg per hari. Pertukaran
(waktu paruh) transferin-terikat besi sangat cepat – biasanya 60-90 menit. Oleh karena,
hampir semua besi yang ditranspor oleh transferin diantar ke eritroid sumsum tulang. Dengan
perkiraan level besi plasma 80-100 µg/dL, jumlah besi yang melewati transferin adalah 20-40
mg per hari.3,5
Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi
memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag
karena terjadinya eritropoiesis inefektif (hemolisis intramedular).5
Pada individu normal, rentang hidup rata-rata dari sel darah merah adalah 120 hari,
sehingga 0,8-1,0% sel darah merah bertukar setiap hari. Pada akhir masa hidupnya, sel darah
merah tidak dikenali oleh sel dari sistem retikuloendotelial (RE), dan sel akan mengalami
fagositosis. Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami proses penuaan
juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg, sehingga dengan
demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed cicuit).5
Tambahan besi yang dibutuhkan untuk produksi sel darah merah harian didapat dari
diet. Normalnya, pria dewasa membutuhkan absorbsi setidaknya 1 mg elemen besi per hari
untuk memenuhi kebutuhan; wanita membutuhkan setidaknya 1,4 mg/hari. Bagaimanapun,
9. 9
untuk mencapai proliferasi maksimum respon sumsum tulang terhadap anemia, tambahan
besi harus tersedia. Dengan adanya stimulasi eritropoiesis, kebutuhan besi meningkat
sebanyak enam sampai delapan kali lipat. Jika hantaran besi ke sumsum tulang suboptimal,
respon proliferasi sumsum tulang tidak baik, maka sintesis hemoglobin akan terganggu.
Hasilnya adalah hipoproliferatif sumsum tulang diikuti dengan anemia mikrositik
hipokromik.5
Gambar 5. Skema Siklus Pertukaran Besi dalam Tubuh (Dikutip dari Bakta IM, Suega K,
Dharmayuda TG, Anemia Defisiensi Besi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV, Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2007, Jakarta)
2.7. Tingkatan Defisiensi Besi
Defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
1. Deplesi besi (iron depleted state) : keadaan dimana cadangan besi nya menurun,
tetapi penyediaan besi untuk eritropoiesis belum terganggu.
2. Eritropoiesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erytropoiesis) : keadaan dimana
cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk eritropoiesis sudah terganggu,
tetapi belum tampak anemia secara laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah tampak
gejala anemia defisiensi besi.2
10. 10
Anemia defisiensi besi merupakan kondisi dimana terdapat anemia dan bukti yang
jelas dari kurangnya besi. Progresi dari anemia defisiensi besi dibagi dalam 3 tingkatan.
Tingkat pertama adalah keseimbangan negatif besi, dimana kebutuhan untuk besi melebihi
kemampuan tubuh untuk mengabsorbsi besi dari diet. Tingkatan ini dihasilkan dari beberapa
keadaan fisiologis, termasuk perdarahan, kehamilan, diet besi yang tidak adekuat.5
Ketika cadangan besi habis, besi serum mulai menurun. Sedikit demi sedikit, TIBC
meningkat, begitu juga level sel merah protoporfirin. Dengan defenisi cadangan besi sumsum
tulang tidak ditemukan ketika level feritin serum < 15 µg/L. Selama iron serum dalam batas
normal, sintesa hemoglobin tidak dipengaruhi kecuali kurangnya cadangan besi. Bila saturasi
transferin jatuh menjadi 15-20%, sintesa hemoglobin menjadi terganggu. Periode ini
dinamakan eritropoiesis defisiensi besi. Perlahan-lahan, hemoglobin dan hematokrit
menurun, mencerminkan anemia defisiensi besi. Saturasi transferin pada titik ini adalah 10-
15%. Ketika dijumpai anemia sedang (hemoglobin 10-13 g/dL), sumsum tulang tetap
hipoproliferatif. Dengan anemia yang lebih berat (hemoglobin 7-8 g/dL), hipokrom dan
mikrositosis menjadi menonjol. Sebagai konsekuensinya, dengan anemia defisiensi besi yang
berlama-lama, hiperplasia eritroid dari sumsum tulang dijumpai.5
2.8. Prevalensi
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di
klinik maupun di masyarakat. ADB mrupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara
berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini, didapatkan gambaran
prevalensi anemia defisiensi besi seperti tertera pada tabel 2.1
TABEL 2. Prevalensi Anemia Defisiensi Besi di Dunia
Afrika Amerika Latin Indonesia
Laki dewasa 6% 3% 16 – 50%
Wanita tak hamil 20% 17 – 21% 25 – 48%
Wanita hamil 60% 39 – 46% 46 – 92%
11. 11
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo et al
memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada
pensiunan pegawai negri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan
oleh karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka
prevalensi ADB sebesar 27%.1
Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ADB. Di
India, Amerika Latin dan Filipina, prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar antara
35% sampai 99%. Sedangkan di Bali, pada suatu pengunjung puskesmas didapatkan
prevalensi anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam
suatu survei pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan
prevalensi ADB sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang
dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi.1
Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES III) tahun 1988 sampai tahun
1994, defisiensi besi dijumpai kurang dari 1% pada laki dewasa yang berumur kurang dari 50
tahun, 2-4% pada laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-11% pada perempuan
masa reproduksi, dan 5-7% pada perempuan menopause.1,6
2.9. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi,
gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
dan kehamilan.1,3
12. 12
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan
kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).1
Pada orang dewasa anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan
pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.1
Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB
di rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan umumnya disertai anemia ringan atau
sedang, sedangkan di klinik ADB pada umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan,
faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Pada penelirian di Desa
Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya pada
sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus, terutama pada
anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, seperti misalnya pada praktek
swasta, ternyata perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi
cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%),
hemoroid dan cacing tambang masing-masing 17%.1,6
2.10. Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang
meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan
besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi
besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.1,4
13. 13
Gambar 6. Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C., 1999. Disorders of iron
metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama
sekali, penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin
menurun dan kapasitas ikat besi total (total ironbinding capacity = TIBC) meningkat, serta
peningkatan reseptor transferin dalamserum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi
maka eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun.
Akibatnya, timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi
(iron deficiency anemia).1,4
14. 14
2.11. Gejala Anemia Defisiensi Besi
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin
yang terjadi secara perlahan-lahan, sering kali sindroma anemia tidak terlalu
menyolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya
terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan
baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan
jaringan dibawah kuku.1
2. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia
jenis lain adalah:
15. 15
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.1,7
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.1,7
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.1,7
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.1
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbuljan akhloridia.1
f. Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat,
es, lem, dan lain-lain.1
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Patersin Kelly adalah
kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil
lidah, dan disfagia.1
Gambar 7. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi
(Dikutip dari Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG, Anemia Defisiensi Besi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi IV, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007,
Jakarta)
3. Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit
cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
16. 16
berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker
kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung
dari lokasi kanker tersebut.1
2.12. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :
Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit : didapatkan anemia hipokromik mikrositer
dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH
menurun. MCV < 70 fL hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan talasemia mayor.
MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis
merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan
RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk
membedakan ADB dengan anemia kibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua
jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.1
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fL, tetapi pada
penelitian kasus ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik
pemilah < 78 fL memberi sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa
penggabungan MCV, MCH, MCHC dan RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks
eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin
menurun.1
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan
poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai
sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut
sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target.1
Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat
dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai
eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.1
17. 17
Gambar 8. Hapusan darah tepi pada anemia defisiensi besi. Tampak hipokromik mikrositik,
anisositosis dan poikilositosis (Dikutip dari Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG, Anemia Defisiensi
Besi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, Jakarta)
Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding capacity)
Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan
saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria
diagnosa ADB, kadar besi serum menurun < 50 µg/dL, total iron binding capacity (TIBC)
meningkat > 350 µg/dL, dan saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi
transferin < 16%, atau < 18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal
yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.1
Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada
Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk feritin
serum pada ADB dipakai angka < 12 µg/l, tetapi ada juga yang memakai < 15 µg/l. Untuk
daerah tropik di mana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan
di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di
rumah sakit di Bali, pemakaian feritin serum < 12 µg/l dan < 20 µg/l memberikan sensitivitas
dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%)
justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu
banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum
18. 18
< 20 mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas
seperti artritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 µg/l masih dapat
menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan labratorium
untuk diagnosis ADB yang paling kuat, oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun
di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin
serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di
atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.1
Protoporfirin Merupakan Bahan Antara pada Pembentukan Heme. Apabila sintesis
heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam
eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk defisiensi besi, protoporfirin
bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat
penyakit kronik dan keracunan timah hitam.1
Kadar Reseptor Transferin Dalam Serum Meningkat pada Defisiensi Besi. Kadar normal
dengan cara imunologi adalah 4-9 µg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama dipakai
untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila
dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin serum. Rasio > 1,5 menunjukkan ADB dan
rasio < 1,5 sangat mungin karena anemia akibat penyakit kronik.1
Sumsum Tulang Menunjukkan Hiperplasia Normoblastik Ringan Sampai Sedang
dengan Normoblas Kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini
disebut sebagai micronormoblast.
Pengecatan besi sumsum tulang denga biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi
yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast
mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi
besi maka sideroblast negative. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap
sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akir ini perannya
banyak diambil alih oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis.1
Studi Ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat
radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang
mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erythrocyte iron turn over rate (EIT)
19. 19
yang mengukur pergerakkan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar.
Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan
penelitian.1
Perlu Dilakukan Pemeriksaan untuk Mencari Penyebab Anemia Defisiensi Besi. Antara
lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam feses,
endoskopi, barium intake dan barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab
defisiensi besi tersebut.
2.13. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Penyebab
defisiensi Fe harus ditemukan dan dikoreksi. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap
pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau
kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap
ketiga adalah menentukan penyebab dan defisiensi besi yang terjadi.1,6
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan
tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria
Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fL dan
MCHC < 31% dengan salah satu dari a,b,c, atau d.
Dua dari tiga parameter di bawah ini :
- Besi serum < 50 mg/dl
- TIBC > 350 mg/dl
- Saturasi transferin : < 15%, atau
Feritin serum < 20 mg/l, atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
20. 20
Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.1
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi,
tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan
tetapi merpakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan,. Meskipun
dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.1
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi anamnesis
tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk
laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing
tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan
eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya tekni Kato-
Katz, untuk menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta
dapat dianggap sebagai penyebab utama ADB, harus dicari penyebab lainnya, titik kritis
cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg
per gram faeces (EPG) > 2000 pada perempuan dan > 4000 pada laki-laki. Dalam suatu
penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang
dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan.1
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat
cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya
eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,3%
pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang
dijumpai.1
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult
blood test) pada feses dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah.1
21. 21
2.14. Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya seperti ;
anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik. Cara membedakan
keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1
TABEL 3. Diagnosis Diferensial Anemia Defisiensi Besi
Anemia
defisiensi besi
Anemia akibat
penyakit kronik
Thalassemia Anemia
sideroblastik
Derajat
anemia
Ringan sampai
berat
Ringan Ringan Ringan sampai
berat
MCV Menurun Menurun/ N Menurun Menurun/ N
MCH Menurun Menurun/ N Menurun Menurun/ N
Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Normal/
meningkat
Normal/
meningkat
TIBC Meningkat > 360 Menurun < 300 Normal/
menurun
Normal/
menurun
Saturasi
transferin
Menurun < 15% Menurun/N 10 -
20%
Meningkat >20% Meningkat >20%
Besi sumsum
tulang
Negatif Positif Positif kuat Positif dengan
ring sideroblast
Protoporfirin
eritrosit
Meningkat Meningkat Normal Normal
Feritin serum Menurun
< 20 µg/l
Normal
20 – 200 µg/l
Meningkat
> 50 µg/l
Meningkat
> 50 µg/l
Elektrofoesis
Hb
Normal Normal Hb.A2
meningkat
Normal
22. 22
2.15. Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap
anemia defisiensi besi adalah :
a. Terapi kasual : terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing
tambang, pegobatan hemoroid, pengobatan menorrhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.1
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy):
Terapi Besi oral. Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif,
murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan
preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x200
mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas
ferosus 3x200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan
eritropoiesis dua sampai tiga kali normal.1
Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama
dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enteric coated yang dianggap
memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi.1
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih
sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami
intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.1
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai
pada 15 sampai 20% yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa
mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan saat makan
atau dosis dikurangi menjadi 3x100 mg.1
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12
bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.1
23. 23
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi dapat
meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati
dan daging yang banyak mengandung besi.1
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih
besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan
atas indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap
pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan pencernaan
seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu,
seperti misalnya pada gastrektomi; (5) keadaan di mana kehilangan darah yang banyak
sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada
hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek,
seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7) defisiensi besi fungsional
relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat
penyakit kronik.1
Preparat yang tersedia ialah iron dextra complex (mengandung 50 mg besi/ ml), iron
sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose
yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena
pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam
pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang
(0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut
dan sinkop.1
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi
besi sebesar 500 sampai 1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus di
bawah ini:
Dosis ini dapat diberian sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
24. 24
c. Pengobatan lain
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani
Vitamin c: vitamin c diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
- Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat menyolok
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid
intravena.1
Respons Terhadap Terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons
baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal
lagi setelah hari ke 14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/ hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu.
Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum
Dosis besi berkurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, peradangan menahun atau pada
saat yang sama ada defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang
tepat.1,6
25. 25
2.15. Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan
suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:
Pendidikan kesehatan:
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi
besi
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling
sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang
rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan.
Di negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu
dengan besi.1
26. 26
BAB III
KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD)
CATATAN MEDIK PASIEN
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Sumihar Tambunan
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : pria
Suku / Bangsa : Batak / Indonesia
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. widuk 8 A
Tanggal masuk : 26 November 2013
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan utama : Sesak Nafas
Telaah :
- Sesak nafas dialami OS sejak 2 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 hari ini. Sesak
nafas berhubungan dengan aktivitas dan tidak berhubungan dengan cuaca. OS
mengambil posisi tegak untuk mengurangi sesak nafas nya. Riwayat terbangun tengah
malam karena sesak nafas dijumpai. Riwayat tidur dengan 2-3 bantal untuk
mengurangi sesak nafas dijumpai. Riwayat kaki dan perut membengkak dijumpai
sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat nyeri dada tidak dijumpai. Riwayat nafas berbunyi
tidak dijumpai.
- Mual dan muntah tidak dijumpai. Batuk tidak dijumpai. Riwayat merokok disangkal
OS.
- Demam dialami OS dalam 1 minggu ini, demam tidak terlalu tinggi dan turun dengan
obat penurun panas.
- Riwayat sakit batu ginjal dialami OS sejak 1 tahun yang lalu, BAK (+) banyak.
Riwayat BAK seperti air cucian daging tidak dijumpai. Riwayat BAK keluar batu
tidak dijumpai. Riwayat BAK berpasir tidak dijumpai.
27. 27
- Riwayat perdarahan gusi , riwayat mimisan tidak dijumpai.
- Riwayat darah tinggi dialami OS sejak 5 tahun ini dengan tensi tertinggi 180 mmHg,
namun OS tidak teratur minum obat.
- Riwayat sakit gula dialami OS sejak 1 tahun yang ini dengan KGD tertinggi 250
mg/dl, OS mengaku teratur minum obat gula dan KGD terkontrol.
- BAK dan BAB (+) normal
- Riwayat Penyakit Terdahulu : DM, hipertensi, batu ginjal
- Riwayat Pemakaian Obat : tidak jelas
STATUS PASIEN
Sensorium : compos mentis
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Heart rate : 112 x/i
Respiratory rate : 36 x/i
Temperature : 36,5oC
Anemia : ( + )
Icterus : ( - )
Sianosis : ( - )
Dispnoe : ( + )
Oedem : ( + )
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Kepala
Kepala : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (+/+), sclera ikterik (-/-)
THM : dalam batas normal
Leher
Trakea : medial
TVJ : R+2 cm H2O
Pembesaran KGB : tidak dijumpai