1. Tanda Si Gila
Judul : “Si Gila”
Pengarang : Chairil Gibran Ramadhan
Terbitan : Riau Pos, Ahad 18 Maret 2012
Kualat, sekiranya bisa menjadi kata yang cocok untuk menilai
Mamieh, tokoh utama dalam cerpen Si Gila ini. Bagaimana tidak, Marnieh
menjadi gila seperti sekarang dikarenakan goncanan batin yang dialaminya
lantaran ditinggal mati secara tragis oleh suami dan anak-anaknya. Keluarga
Mamieh mati secara tragis dalam kecelakaan lalu limas, motornya tertabrak
trek. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan kemalangan maupun kegilaan
Mamieh, justru dia diberi gelar Si Sangar alias Mpok Sarap alias Bu Bringas.
Semua merasa bahwa suami Mamieh mati karena kualat, sebab suaminya
yang tidak menegur istrinya yang berbuat zalim, begitupun anak-anaknya
yang kualat karena tidak menegur ibunya. Hal ini dilakukan warga lantaran
akhlak Mamieh yang kayak setan, sutra mendendam meski pemicunya hanya
masalah sepele, pemarah, dan gampang melupakan kebaikan orang lain,
betapapun baiknya orang tersebut. Mamieh juga sangat zalim terhadap
tetangganya, dia selalu melemparkan kotoran kucing ke rumah tetangganya itu
setiap kali menemukan tahi kucing. Bahkan sampai Mamieh gilapun ia kerap
melempari rumah tetangganya yang baik itu, sampai tetangganya pindah pun
perempuan sarap ini tetap melanjutkan aksinya.
Si Aku dalam cerpen ini bernama Alwan, menurutnya Marnieh
seperti itu karena tidak memiliki dasar agama, berasal dari keluarga kelas
sangat bawah, dan hanya tamatan Sekolah Dasar. Alwan melihat Mamieh yang
gila selalu berkeliaran di sekitar perumahannya, stasiun kereta api dan kampung-
kampung sekitarnya. Dengan perawakan: berjalan gagah seperti tentara, lengan
merekh seperti ada bongkahan bisul di ketiaknya, wajahnya mengencang, dengan
bibir kecil tipis terkatup dan mata tajam berkilat-kilat. Alwan termasuk Bering
melihat perempuan gila ini dimana-mana. Bahkan jauh sebelum perempuan
berusia 35 tahun itu gila, Alwan juga mengetahui Tatar belakang Mamieh,
2. karaktemya, semuanya karena mereka satu perumahan. Karena itu Alwan sangat
berharap dan selalu berdoa pada Allah agar kelak jodohnya tidak seperti Si Sangar
itu. Karena pasti dia akan sangat male dengan orang-orang sekitarnya. Dia juga
cukup yakin dengan nasibnya yang semoga tidak seperti Si Sangar itu karena
Alwan dididik dalam keluarga yang mengetahui agama dengan baik.
Tanda Gila
Bila diperhatikan ada kata, frasa maupun kalimat yang sebenarnya
merupakan perlambangan dari sesuatu yang lain, yang dapat membuat kita
bisa lebih memahami, merasakan dan mendapatkan sensasi nyata ketika
membacanya. Lengan merekah menyimbolkan keadaan lengan yang terangkat,
terbuka dan seperti ada bongkahan bisul yang sebenarnya pasti tidak ada di ketiak
Mamieh adalah indeks yang secara faktual menandakan penyebab dari
merekahnya lengan perempuan itu. Kalimat 'mata tajam berkilat-kilat' misalnya,
merupakan simbol dari sifat benda tajam dan menyilaukan karena pantulan
cahaya pads benda yang tajam(licin) sangatlah terang. Dengan mengetahui
sifat ini, kita bisa membayangkan bagaimana mata Mamieh yang gila sekaligus
pemarah itu. Kalimat `dari keluarga kelas sangat bawah' menyimbolkan
kepada kita betapa jelatanya Tatar belakang Mamieh. Bila membaca `akhlak
Mamieh yang kayak setan' juga menyimbolkan betapa jahatnya akhlak
perempuan ini, karena sudah menjadi pemahaman umum bagi kita manusia,
bahwasanya setan itu memiliki sifat yang tercels, senang menggoda manusia.
Penulis menceritakan kisah ini dengan bahasa yang ringan, komunikatif dan
merakyat, sehingga meski alurnya maju mundur, tidak menyulitkan
pembaca, jusrtu membuat pembaca penasaran. Pembaca juga bisa mengambil
kesimpulan secara cepat bahwa konteks agama para tokoh dalam cerita ini
adalah Islam, sebab si Sangar alias Mamieh yang padahal tiap malam jumat
ba'da salat Maghrib menghadiri pengajian para Ibu RT 03 RW 11 juga tiap
lepas shalat jumat menghadiri majelis taklim, namun tidak membawa
pengaruh padanya. Hal ini karena kata ba'da salat Maghrib, majelis taklim, salat
Jumat' memang merupakan ikon khas umat Islam. Dalam cerita yang ringan
namun memiliki amanat mendalam ini, penulis mampu membawa pembaca
3. untuk memikirkan ulang dan menyadari betapa pentingnya agama dalam
kehidupan. Apalagi dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah akhlak bukanlah
masalah sepele yang tak perlu dijadikan fokus, justru sebaliknya. Bela jar
agar diri tidak menjadi seorang yang pendendampun juga secara tersirat di
ungkapkan oleh penulis. Selalu mengingat kebaikan orang lain dan sebagainya.
Bukan hanya itu, masalah pendidikan juga menjadi faktor penentu
akhlak seseorang, bila dia orang yang berpendidikan pasti akhlaknya juga akan
berkelas, maksudnya tidak mengedepankan hawa nafsu. Tentu saja jika proses
pendidikan yang dilaluinya adalah pendidikan yang baik, sesuai tuntunan agama.
Sebab pola pikir seseorang mempengaruhi pola sikapnya. Secara halus
sekaligus lugas penulis telah memberi gambaran 'kualat-nya' orang yang tidak
baik dalam bermasyarakat, sekaligus yang bisa kena batunya bukan hanya
yang berbuat zalim tapi juga orang terdekat si pelaku kezaliman yang tidak
menasihati alias tidak melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, yang tidak
menyetandarkan kehidupannya dengan agama-dalam konteks ini-Islam.
(Shintia Minandar)