1. Oseana, Volume XVI, Nomor 4 : 21 - 29 ISSN 0216-1877
PEMIJAHAN DAN PEMELIHARAAN LARVA IKAN KAKAP PUTIH
(Lates calcarifer)
Oleh
Mayunar 1)
ABSTRACT
THE SPAWNING AND LARVAL REARING OF SEABASS, Lates calcarifer. The seabass
(Lates calcarifer), also know locally as kakap, is an economically impor-tant food fish in the
tropical and subtropical regions. Owing to its fast growth, delicate-flavoured flesf high
market value and availability of fry from artificial breeding, the fish is cultured either in
inland earthen pond or in floating net-cage in coastal water. Three methods were used in
spawning, i.e. natural, stripping/artificial farti-lization and induced. Induced spawning is one
method using a single intramuscular injection of either and analogue of the Luteinizing
Hormone Releasing Hormone (LHRHaj, Puberogen or Human Chorionic Gonadotropin
(HCG) with dosage ranges between 25 -. 15 ug/kg, 200 Ill/kg and 250 - 500 IU/kg body
weight. Fiberglass and concrete tank of 1,3 and 10 ton in valume were used for larval
rearing of seabass. The larvae were fed with rotifer (Branchionus plicatilis), Artemia,
Daphnia/Moina and Acetes/Trash fish. Light intensity, salinity, ammonia, nitrite, water
temperature, dissolved oxygen, stocking density, quantity and quality of food are important
factors in larval rearing of seabass (Lates carcarifer).
PENDAHULUAN
Ikan kakap biru snapper (Lutjanus sanguineus) dan kehijauan gelap/seabass/giant
seaperc Ikan kakap putih (Lates calcarifer) (Lates calcarifer). Walaupun namanya sama,
merupakan ikan yang sangat digemari oleh tetapi kedua jenis ini berlainan suku, masyarakat
luas, tidak saja di Indonesia, kakap merah dari suku Lutjanidae dan lain-melainkanjugadinegara-
negaraAsialainnya nya dari suku Centropomidae (ASIKIN
dan Australia. Jenis ikan kakap di Indonesia 1985). banyak, diantaranya kakap merah/blood
Pembenihan kakap putih (Lates calca-rifer) mulai diusahakan di Thailand pada tahun
1971 (T ATT ANON and MANEE-WONGSA 1982) dan Malaysia tahun 1982
(RUANGPANIT 1984), sedangkan di Indo-nesia di mulai tahun 1987.
Penyediaan benih yang tepat, baik dalam jumlah, waktu, maupun mutu menjadi faktor utama
untuk menjamin kelangsung-an usaha pembesaran ikan kakap. Dewasa ini produksi benih
ikan dari larva sampai mencapai ukuran finger ling (tokolan) ma-sih sangat rendah. Diduga
larva dibawah umur 3 minggu kondisinya masih leniah, sehingga mudah terserang
hama/penyakit dan dimangsa oleh ikan yang lebih besar (RUSSEL et al 1987). Usaha untuk
memper-cepat pertumbuhan dan mempertinggi kelu-lus hidupan benih, parameter lingkungan
yang tepat harus tersedia dalam air. Kemun-duran mutu air dapat mengakibatkan kema-tian,
hambatan pertumbuhan, timbulnya hama/penyakit, pengurangan rasio konversi pakan, serta
menurunnya mutu daging ikan (HIRAYAMA 1974, BO YD 1979).
Pesatnya kemajuan budidaya ikan ka-kap putih pada tanibak dan kurung apung, baik
secara tradisional, semi maupun inten-sip akan menimbulkan berbagai masalah, diantaranya
adalah ketersediaan benih dan pengelolaan mutu air. Secara alami produksi benih ikan kakap
dari ukuran larva sampai ukuran fingerling masih sangat rendah.
Mengingat kemungkinan pengembang-an usaha pembesaran ikan kakap, baik di-tanibak
maupun dikurung apung, usaha pem-benihan merupakan faktor utama untuk
2. menunjang usaha tersebut. Berdasarkan ma-salah ini, penulis mencoba menyajikan cara
pemijahan dan pemeliharaan larva kakap putih (Lates calcarifer).
PEMELIHARAAN INDUK, PEMIJAHAN DAN PEMBUAHAN
Pemeliharaan Induk
Induk ikan kakap yang baru diperoleh dari alam diseleksi menurut jenis dan ukur-annya.
Bentuk induk jantan lebih langsing dan beratnya lebih ringan bila dibanding-kan
dengan induk betina, meskipun badan-nya sama panjang. Induk kakap yang dipeli-hara dalam
kurung apung diperairan pantai, juga harus diseleksi untuk keperluan pemi-jahan. Pilihlah
induk-induk kakap yang sehat (tidak sakit, tidak luka, memiliki sperma atau telur yang baik)
serta umur jantan dan betina kurang lebih sama.
Dean kakap yang agak kecil dapat dija-dikan induk dan harus dipelihara dengan baik dalam
kurung apung dengan ketentu-an sebagai berikut:
Ukuran jaring 2 x 2 x 2 m untuk ukuran ikan 100 gram dengan kepadatan 300 - 500
ekor/jaring.
Ukuran ikan 100 - 200 gram, ukuran jaring 5 x 5 x 3 m dengan kepadatan 50 sampai
100 ekor/m .
Dean ukuran 3 kg, kepadatan 50 — 80 ekor per jaring.
Makanan berupa ikan rucah, udang, cumi- cumi dan Iain-lain dengan konversi pakan
2 — 3 % dari total biomas.
Ukuran induk jantan 2 — 2,5 tahun dan betina 3—4 tahun.
Kematangan telur ditentukan oleh sampel yang menggunakan polyethyline canula
(diameter 1,5 - 2,5 mm). Telur yang niatang berbentuk seragam, spherical dan tidak
melekat, rata-rata diameter 0,45 mm atau lebih.
Musim pemijahan, abdomen dari betina lebih gelap dan genital membuka serta
ukurannya bundar dan abdomen jantan lebih terang.
Pemijahan
Menurut BARLOW (1981) metoda pemijahan pada ikan kakap putih (Lates
calcarifer) dibagi atas 3 yaitu : pemijahan alami (Natural spawning), pemijahan (Strip-ping
atau artificial fertilization) dan penyun-tikan (induced spawning).
Natural spawning atau pemijahan alami dalam bak/tangki pemeliharaan biasa-nya
berlangsung sama seperti pada pemijah-an yang terjadi diperairan terbuka. Pemijah-an
diperairan terbuka berlangsung dari bu-lan April sampai akhir bulan September. Waktu
pemijahan dalam bak berlangsung antara jam 20.00 — 24.00 pada bulan pur-nama.
Telur yang dibuahi mengapung diper-mukaan, sedangkan yang tidak dibuahi
tenggelam ke dasar bak. Kemudian telur yang mengapung dikoleksi dan dipindahkan
kedalam bak-bak penetasan. Guna melin-dungi perkembangan telur secara layak, salinitas
harus dipertahankan 25—32 °/oo dan temperatur 27 — 30 °C. Beberapa fak-tor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan/ kegagalan dalam pemijahan adalah pakan, mutu air (oksigen
terlarut, pH, salinitas) dan ukuran induk.
Stripping atau pemijahan dengan cara pemijatan merupakan cara yang baik untuk
memperoleh produksi benih secara besar-besaran. Induk jantan yang digunakan ber-ukuran 2
— 5 kg dan betina 3 — .7 kg. Untuk melakukan pemijatan diperlukan 2 orang, satu orang
memegang induk kakap diatas sebuah wadah dan seorang lagi mengeluar-kan telur dengan
jalan pemijatan perut ikan perlahan-lahan dari depan kebelakang de-ngan ibu jari dan
telunjuk.
Pemijatan induk jantan juga sama dengan induk betina, spefma disimpan dalam ice
box (dapat disimpan selama 5 hari).
3. Tanda-tanda sperma yang baik tidak meng-gumpal dan tidak melekat pada plasma, apabila
dipijat spermanya akan keluar de-ngan mudah dan bila dilihat dibawah mikros-kop mereka
bergerak secara aktif dan cepat. Setelah sperma dan telur dikeluarkan dari induknya segera
dicampur dalam sebuah wa-dah, lalu diaduk dengan bulu ay am. Kemu-dian telur yang sudah
dibuahi dicuci dengan air laut bersih berulang- ulang. Cara pem-buahan demikian sering
disebut dengan "dry method of eggs fertilization".
Induce spawning atau pemijahan de-ngan suntikan menggunakan hormon HCG
(Human Chorionic Gonadotropin), Pubero-gen dan LHRHa (Luteinizing Hormone Releasing
Hormone Analoque). Hormon ter-sebut disuntikan secara intramusculer lebih kurang 3-4 cm
dibawah sirip dorsal.
Menurut LIM et al (1986) dosis yang digunakan tergantung pada jenis hormon-nya.
Untuk hormon HCG 250 IU/kg berat badan (betina) dan 100 (IU/kg (jantan), Puberogen 200
IU/kg (jantan dan betina), sedangkan hormon LHRHa adalah 75 kg ug/kg (betina) dan 40
ug/kg (jantan). Pada Sub Balitdita Bojonegara-Serang menggu-nakan hormon HCG dengan
dosis 250 IU/kg (jantan dan betina) untuk penyuntikan I dan 500 IU/kg penyuntikan II,
sedangkan hormon LHRHa dengan dosis 50 ug/kg (jantan dan betina) baik untuk penyuntik-an
I dan II. Interval penyuntikan I dan II lebih kurang 12 jam (Lampiran 1).
Pembuahan
Telur yang sudah dibuahi berbentuk bundar, permukaannya licin, transparan dan
berdiameter 0,69 — 0,80 mm. Mereka saling melekat dan apabila dalam kelompok ber-warna
kuning muda atau keemasan. Dalam telur terdapat gelembung minyak dengan diameter 0,20 -
0,23 mm.
Telur yang dibuahi ditempatkan keda-lam bak penetasan yang sebeluninya dicuci
dengan larutan acriflavine 5 ppm sebanyak 2-3 kali. Bak diisi air laut bersih dengan salinitas
28-32 °/oo dan diaerasi dari dasar. Setelah telur dibuahi, 35 menit kemudian dimulai
perkembangan embryonic. Dimulai dari stadium 1 sel, kemudian berturut-turut menjadi 2 sel,
4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel, 128 sel, prablastula, blastula, gastrula, neurula dan
kemudian meningkat menjadi embryo yang sudah berkepala dengan bola mata dan tunas
ekornya. Bebe-rapa menit kemudian jantungnya mulai berfungsi, ekornya tumbuh dan
badannya mulai bergerak-gerak, sampai akhirnya telur itu menetas.
Penetasan telur kakap putih sangat dipengaruhi oleh temperatur air dan sali-nitas. Pada
temperatur 30 — 32 °C menetas setelah 12-14 jam, temperatur 27 °C menetas setelah 17 jam.
Sedangkan salini-tas yang baik untuk penetasan berkisar an-tara 25 - 34 °/oo.
PEMELIHARAAN DAN PERTUMBUHAN LARVA
Pemeliharaan Larva
Penieliharaan larva ikan kakap dilaku-kan' dalam bak pemeliharaan atau circular fibre
glass tank (diameter 1,4 dan tinggi 0,8 m) atau Rectangular concrete tank (5 x 2 x 1 m atau 2
x 1,5 x 1 m). Bak-bak diisi air laut bersih dan diberi aerasi secukup-nya.
Untuk menekan peningkatan kadar amonia didalam tangki pemeliharaan, diino-kulasikan
Chlorella atau Tetraselmis, Kepa-datan yang ideal untuk Chlorella adalah
50 x 10 sel/ml dan untuk Tetraselmis 5 x 104 sel/ml. Chlorella dan Tetraselmis juga
berfungsi sebagai pakan rotifer didalam tangki (ANONYMOUS 1985).
Pembersihan tangki harus dilakukan secara periodik dengan menggunakan sipon. Bila larva
ikan berumur 7-20 hari, dasar tangki harus dibersihkan setiap 2 hari, se-dangkan larva
berumur diatas 21 hari pem-bersihan dasar tangki dilakukan setiap hari.
Umur larva dibawah 7 hari tidak me-merlukan pergantian air, sedangkan umur larva 7-15 hari
memerlukan pergantian air 20 - 30 % dan larva berumur 15 hari ke-atas pergantian air 50 - 60
4. %. Pergantian air tidak boleh dilakukan sekaligus, tetapi se-dikit demi sedikit dengan cara
mengalirkan air bersih.
Disamping hal-hal diatas yang tidak kalah pentingnya adalah pengelolaan mutu air
dalam tangki pemeliharaan seperti in-tensitas cahaya, temperatur, pH, oksigen terlarut,
salinitas, amonia dan nitrit. Menu-rut BO YD and LINCHOPPLER (1979) pertumbuhan ikan
baik pada temperatur 25 - 32 °C, pH 6,5 - 9 dan oksigen terla-rut diatas 5 ppm. Selanjutnya
RUSSEL et al (1987) menytakan temperatur yang baik untuk pemeliharaan larva kakap
(Lates calcarifer) berkisar 26 — 30 °C dan optimal 28 °C, pH 7,5 - 8,6 dan amonia dibawah
0,1 ppm.
Pakan dan cara pemberiannya
Jasad pakan yang diberikan pada larva kakap putih (Lates calcarifer) adalah rotifer,
artemia, daphnia/moina, acetes dan daging ikan (trash fish). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada skema dibawah ini:
Menurut CHEONG dan YENG (1986) kepadatan jasad pakan yang diberikan ter-gantung
pada uniur larva. Larva umur 2 hari diberikan rotifer 2-3 ind./ml, umur 3-10 hari (3-5
ind./ml), umur 11-15 had (5-10 ind./ml), umur 13-20 hari (10 ind./ml + artemia 0,5 — 1,0
ind./ml), umur 18-20 hari dapat ditambhakan moina (0,10-0,15 ind./ml) dan umur diatas 21
hari dapat diberikan Acetes atau daging ikan cacahan. Sedangkan di Sub Balitdita Bojo-negara
- Serang, pemberian jasad pakan rotifer dimulai pada umur 2 hari dengan kepadatan
10 ind,/ml sampai umur 14 hari, dimana setiap hari kepadatan rotifer diper-tahankan 10
ind./ml. Sedangkan mulai hari ke-15 ditambah dengan Artemia dengan kepadatan 1—2
ind./ml dan setelah umur diatas 30 hari diberikan cacahan daging ikan.
CHOMDEJ (1986) menyatakan bahwa pemberian niakanan pada larva kakap dapat
dimulai hari ke 2 setelah penetasan dengan rotifer (10-20 ind./ml). Mulai harike 8-14
ditambah dengan nauplii artemia 1—2 in./ ml, hari ke 15-20 ditambah 4-5 ind./ml, hari 20-30
artemia 6-7 ind./ml dan mulai umur 25 hari sudah dapat diberikan daging ikan.
Pertumbuhan Larva
Benih kakap yang baru menetas di-sebut larva (kebul) berukuran 1,5 — 2,0 mm
dengan sebuah kantung kuning telur dan satu gelembung minyak pada bagian depannya.
Tubuh larva langsing, berwarna pucat, mata, anus dan sirip ekornya sudah kelihatan dan
mulutnya masih tertutup. Posisi larva dalam air membentuk sudut 45 — 90 derajat, mereka
cenderung berada di permukaan air dan disudut-sudut tangki pemeliharaan.
Setelah umur 3 hari, mulutnya mulai membuka dan siap untuk memakan niakan-an
tambahan dari luar (rotifer). Sampai umur 7 hari masih berwarna pucat dan ber-angsur-angsur
5. berubah dan setelah umur 19—20 hari terjadi metamorfosa yaitu ber-warna gelap dengan
garis-garis tegak pada bagian tubuh tertentu. Kemudian setelah umur 20 hari, warnanya
berubah menjadi kecoklatan dan garis-garis tegaknya kelihat-an jelas sebanyak 3 buah (1
pada pangkal ekor, 1 antara sirip punggung yang lunak dan 1 lagi diatas kepala).
Dalam waktu sebulan larva berubah jadi juwana (burayak), kemudian umur 3 - 5
bulan m'enjadi gelondongan dan dapat bergerak dengan aktif dan mulai tumbuh dengan
cepat. Karena ikan kakap bersifat kanibal, niaka perlu dilakukan seleksi atau penyortiran
terhadap ukuran larva. Seleksi bisa dimulai pada niinggu kedua (umur 15 hari) dengan
nienggunakan saringan atau jaringan dengan bermacam-macam ukuran, sehingga berbagai
ukuran benih dapat di-pisahkan dengan mudah.
Pertumbuhan dan kelulushidupan ka-kap putih dipengaruhi oleh faktor luar dan
dalam. Faktor dalam meliputi genetis, umur dan jenis. Sedangkan faktor luar sebagian besar
dipengaruhi oleh lingkungan/kualitas air dan kepadatan. Kualitas air berpengaruh pada
kelulushidupan, reproduksi, pertum-buhan dan produksi (Lampiran 2).
KESIMPULAN
Dari hasil uraian diatas mengenai pe-mijahan dan pemeliharaan larva ikan kakap
putih (Lates calcarifer) dapat diambil bebe-rapa kesimpulan :
Pemijahan ikan kakap dapat dibagi atas pemijahan alami, stripping dan penyun- tikan.
Hormon yang digunakan dalam pemijah an ikan kakap adalah HCG, Puberogen dan
LHRHa.
Ukuran induk jantan pemijahan minimal berumur 2 — 2,5 tahun dan betina 3 - 4
tahun.
Pemeliharaan larva kakap putih dapat di lakukan dalam circular fibre glass tank atau
rectangular concrete tank.
Jasad pakan yang diberikan pada larva kakap putih adalah rotifer, artemia,
daphnia/rnoina dan acetes atau daging ikan.
Faktor lingkungan yang harus diperhati- kan dalam pemijahan dan pemeliharaan larva
kakap adalah salinitas, pH, oksigen terlarut, temperatur, ammonia dan nitrit.
Lampiran 1.
Tabel 1. Hasil pemijahan ikan kakap putih (Lates calcarifer) di Sub Balai Penelitian
Budi-daya Pantai Bojonegara – Serang
6.
7. Lampiran 2.
Tabel 2. Standart kepadatan dan pertumbuhan larva kakap putih {Lates calcarifer)
berdasarkan umur.
Tabel 3. Pengaruh kepadatan terhadap kelulushidupan larva kakap putih (Lates
calcarifer).
8. DAFTAR PUSTAKA
ANONYMOUS. 1985. Pembenihan ikan la-ut. Seri ke Delapan. Kerjasama Sub Ba-litdita
Bojonegara - Serang dengan JICA: 20 pp.
ASIKIN. 1985. Budidaya ikan kakap. Seri Perikanan No. XVII/119/85. Penerbit Penebar
Swadaya : 58 pp.
BARLOW, C.G. 1981. Breeding and Larval rearing of hates calcarifer (Bloch) in Thailand.
Sidney. N.S.W. 2000. Austra-lia : 7 pp.
BOYD, C.E. 1979. Water quality in warm-water fish ponds. Agricultural Auburn University.
Alabama : 359 pp.
BOYD, C.E. and L. LINCHKOPPLER. 1979. Water quality management in pond fish
culture. Series No. 22. Aubrun Uni-versity. Alabama: 30 pp.
CHEONG, L and L. YENG. 1986. Status of seabass (hates calcarifer) culture in Singapore.
Proceeding of a International workshop held at Darwin, N.T. Australia. 24 – 30
September 1986 : 65 - 68.
CHOMDEJ, W. 1986. Technical manual for seed production of seabass. National Institute of
Coastal Aquaculture. Kaw-Seng, Songkhla. Thailand : 49 pp.
HIRAYAMA, K. 1974. Water and waste-water technology. John Wiley & Sons. New York
504 pp.
LIM, L.C., H.H. HENG and H.B. LEE. 1986. The induced breeding of seabass (hates
calcarifer) in Singapore. Singapore J. Pri. Ind. 14 (2): 81 -95.
MANEEWONG, S. 1986. Research on the nursery stages of seabass (hates calcari-fer) in
Thailand. Proceding of a Interna-tional wlrkshop held at Darwin, N.T. Australia. 24
30 September 1986 : 138-141.
RUANGPANIT, N. 1984. Fry production on seabass hates calcarifer, at NIC A in 1983.
Report of Thailand and Japan Joint Coastal Aquaculture Research Pro-ject No. 1:7
12.
RUSSEL, D.J., J.J. O. BRIEN and C. LONG-HERT. 1987. Barramundi egg and larval
culture. Australian Fisheries. Jul. 1987 : 26 - 29.
TATTANON, T. and S. MANEEWUNGSA. 1982. Larval rearing of seabass. Report of
training courses on seabass spawning and larval rearing. South China sea Fisheries
Development and Coordinating Programme : 29 - 30.