1. MAKALAH PKN
KELOMPOK VI
KELAS XI MIA 3
1. YULIATIM
2. DESHA NURSYAHBAN
3. LIZA NURAIN
4. RANO KARNO
5. RAHMAT BUDIRIYANTO
SMA NEGERI 1 RAHA
KABUPATEN MUNA
2014
2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu contoh Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di
Indonesia yaitu Penyerbuan kantor PDI sebagai bentuk intervensi
negara terhadap PDI dibawah pimpinan Megawati tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa
kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58
Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati
Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi
(Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat
dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di
Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat.
Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak
kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan
para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman
terberat, yakni 13 tahun penjara.
Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:
Kudatuli. Akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Pertama kali dimuat di
Tabloid Swadesi dan kemudian luas digunakan oleh berbagai
media massa. Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Soehardiman, SE
juga pernah menggunakannya dalam bukunya.
Sabtu Kelabu. Merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini
yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk menggambarkan "suasana
gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu.
Tidak diketahui pencetusnya, namun diduga semula beredar
dalam forum-forum di Internet.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang
meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang
ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah
pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh
Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu
3. adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko
Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang
Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP
PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah
garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex
Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam
Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota
pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan.
Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu
menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu
dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta
serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan
Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]
1.2. Rumusan Masalah
1. Peristiwa apa yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996?
2. Jelaskan deskripsi peristiwa pada tanggal 27 Juli 1996 !
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui peristiwa yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996.
2. Untuk mendeskripsikan peristiwa tanggal 27 Juli 1996.
4. BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Peristiwa 27 Juli 1996
Penyerbuan kantor PDI sebagai bentuk intervensi negara
terhadap PDI dibawah pimpinan Megawati tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu karena
terjadi pada hari Sabtu. Pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi peristiwa
pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai
pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa
pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta
dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
2.2. Deskripsi peristiwa 27 Juli 1996
Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu
karena terjadi pada hari Sabtu. Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa
pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai
pendukung Megawati Soekarnoputri.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di
Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat.
Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak
kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan
para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman
terberat, yakni 13 tahun penjara.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang
meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang
ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah
pelanggaran hak asasi manusia.
Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh
Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu
adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko
Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang
5. Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP
PDI oleh Kodam Jaya.
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah
garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex
Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam
Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota
pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan.
Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu
menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu
dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta
serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan
Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]
Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di
Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu
dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor
DPP PDI.
Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan
aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran
kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi
pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.
Pasca Orde Baru
Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati
hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung
yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia
dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang
diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel
Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C
Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Peristiwa 27 Juli menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah
penelitian. Pejabat militer juga menulis buku untuk menjelaskan
posisinya dalam kasus itu. Benny S Butarbutar, yang menulis buku
Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari
perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI. Ia
membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti
Hardijanti Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga
memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang membuatnya tersingkir
dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck
6. Game, rekayasa untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum
kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang Mongondow.
Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu
27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Tim peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga membukukan hasil penelitian
mengenai Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru-Soeharto di Belakang
Peristiwa 27 Juli? (2001).
Pada Rabu 26 Juli 2006, Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996
digelar di bekas Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan
Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Acara hanya dihadiri
keluarga korban dan saksi mata peristiwa ini. Petinggi partai yang sudah
berubah nama menjadi PDI Perjuangan tidak terlihat hadir. Begitu juga
Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Walau begitu acara berjalan
khidmat. Setelah tahlilan, peringatan itu diteruskan pemotongan
tumpeng kemudian ditutup dengan renungan.
Kasus ini disidangkan melalui pengadilan koneksitas pada tahun
2004. Empat tersangka kasus tersebut dibebaskan, mereka adalah
Rahimi Ilyas dan Mohammad Tanjung ( warga sipil ), serta kolonel CZI
Purnawirawan Budi Purnama dan Kapten InfantriSuharto.
7. BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Peristiwa 27 Juli 1996 disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu
karena terjadi pada hari Sabtu. Dalam peristiwa ini menjebloskan para
aktivis PRD kepenjara. Peristiwa 27 Juli 1996 menghasilkan sejumlah
buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer Benny S Butarbutar, yang
menulis buku Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003), memaparkan Kasus
27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf
Umum ABRI.
Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu
27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman (2001). Kasus ini
disidangkan melalui pengadilan koneksitas pada tahun 2004. Empat
tersangka kasus tersebut dibebaskan.