“Penngaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Fotosintesis yang Diukur dengan Fluoresensi Klorofil pada Budidaya Eucheuma dan Denticulatum Kappaphycus sp (Strain Sumba) dari Indonesia
1. J. Appl Phycol
DOI: 10.1007/s 10811-012-9874-5
“Effect of Temperatur and Light on the Photosynthesis as Measured by
Chlorophyll Fluorescence of Cultured Eucheuma denticulatum and Kappaphycus
sp. (Sumba Strain) From Indonesia”.
“Penngaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Fotosintesis yang Diukur dengan
Fluoresensi Klorofil pada Budidaya Eucheuma dan Denticulatum Kappaphycus
sp (Strain Sumba) dari Indonesia
Lideman. Gregory N. Nishihara. Tadahide Noro, Ryuta Terada
Diterjemahkan Oleh:
Riasni Audin
I1A214019
Dibawah Bimbingan:
Prof. Dr. Ir. La Ode Muhammad Aslan, M.Sc
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
J. Appl Phycol
DOI: 10.1007/s 10811-012-9874-5
“Effect of Temperatur and Light on the Photosynthesis as Measured by
Chlorophyll Fluorescence of Cultured Eucheuma denticulatum and Kappaphycus
sp. (Sumba Strain) From Indonesia”.
“Penngaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Fotosintesis yang Diukur dengan
Fluoresensi Klorofil pada Budidaya Eucheuma dan Denticulatum Kappaphycus
sp (Strain Sumba) dari Indonesia
Lideman. Gregory N. Nishihara. Tadahide Noro, Ryuta Terada
Diterjemahkan Oleh:
Riasni Audin
I1A214019
Dibawah Bimbingan:
Prof. Dr. Ir. La Ode Muhammad Aslan, M.Sc
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
J. Appl Phycol
DOI: 10.1007/s 10811-012-9874-5
“Effect of Temperatur and Light on the Photosynthesis as Measured by
Chlorophyll Fluorescence of Cultured Eucheuma denticulatum and Kappaphycus
sp. (Sumba Strain) From Indonesia”.
“Penngaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Fotosintesis yang Diukur dengan
Fluoresensi Klorofil pada Budidaya Eucheuma dan Denticulatum Kappaphycus
sp (Strain Sumba) dari Indonesia
Lideman. Gregory N. Nishihara. Tadahide Noro, Ryuta Terada
Diterjemahkan Oleh:
Riasni Audin
I1A214019
Dibawah Bimbingan:
Prof. Dr. Ir. La Ode Muhammad Aslan, M.Sc
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
2. Judul
HALAMAN PENGESAHAN
Pengaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Fotosintesis
yang Diukur dengan Fluoresensi Klorofil pada
Budidaya Eucheuma denticulatum darr Kappaphycus
sp. (Strain Sumba) dari Indonesia
Riasni Atrdin
nA2 t4 019
Budidaya Perairan
Laporan Lengkap Ini
Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :
Koordinator Dosen Mata Kuliah
Manaj ement Akuakultur Laut
Nama
Stambuk
Jurusan
A ,l^ !,utProf. Dr.Ir. La Ode Muh.-KnM.Sc
NrP. 19661210 199403 I 005
Kendari. eJuli 2018
Tanggal Pengesahan
3. Abstrak
Hasil fotosintesis terdiri dari dua bahasa Indonesia karagenan (Solieriaceae),
yaitu Eucheuma denticulatum dan Kappahycus sp. (yang di sebut strain sumba),
diselidiki di bawah berbagai suhu dan kondisi cahaya hasil budidaya laut mereka.
Sebuah modulasi pulsa klorofil fluorometer (Diving-PAM) di gunakan untuk
menghasilkan kurva cahaya cepat (RLC) untuk memberikan pemikiran relatif tarif
transport elektron (rETR) untuk lebih dari 10 suhu (yaitu, dari 16 hingga 340
C) dan
pada sembilan tingkat fotosintesis aktif radiasi, yang berkisar dari 0 hingga 1.000
µmol foton m-2
s-1
. Radiasi bawah air di area budidaya juga di ukur di lokasi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Awal kemiringan (ɑ), koefisien fotoinhibisi (β), dan
koefisien fotosintesis, maksimum dengan asumsi tidak ada fotoinshibisi (γ) di hitung
dengan memasang RLC ke model nonlinier dengan menggunakan model herarkis dua
tingkat Bayesian menyatakan bahwa E. Denticulatum dan Kappaphycus sp.
Membutuhkan suhu mulai dari 23 hingga 320
C dan 22 hingga 330
C untuk
mempertahankan tingkat aktifitas fotosintesis. Suhu yang di butuhkan mulai dari 23
hingga 320
C dan 22 higga 330
C untuk mempertahankan aktivitas fotosintesis yang
masing-masing. Jelas, bahwa kedua spesies ini tampaknya beradaptasi dengan baik
untuk cahaya alami dan kondisi suhu di kultivasi situs, dan kami berharap hasil dari
penelitian iniakan berguna untuk desain dan manajemen yang berkelanjutan dari
aktivitas budidaya laut yang sama.
Pendahuluan
Genus Alga merah Eucheuma dan Kappaphycus (Soliericeae) dianggap
sebagai komoditas komersial karena produksi karagenan (Waaland, 1981). Mereka
sebagian besar dibudidayakan di daerah tropis di Asia Tenggara, kususnya Indonesia
dan Philipina (Bixer dan Porse, 2011). Marikultur dari genera ini telah memasok
besar bagian dari produk karagenan dunia (Dawes et al, 1994) banyak strain dan
spesies yang telah dibudidayakan. Namun, kami menunjukan bahwa ada banyak
strain dan spesies, yang respon fisiologinya dan strategi kultivasi tetap harus
4. diungkapkan. Banyak strain dengan nama Kappaphycus. alvarezii dan spesies terkait
dibudidayakan di Indonesia, seperti Sakol, Tambalang, Cottoni dan Sumba. Misalnya,
Strain Sumba (Kapaphycus sp.) Diyakin berasal dari Sumba pulau di Indonesia,
sedangkan Sakol dan Tambalang strain dibawa dari Filipina ke Indonesia 1990-an.
Selain itu, banyak kasus fisiologis pada respon fotosintesis dari alga yang
memproduksi karagenan menggunakan percobaan yang memeriksa produksi oksigen.
Misalnya E. denticulatum dan K. alvarezii adalah spesies yang paling umum
digunakan di Indonesia percobaan pada laga yang memproduksi karagenan (Dawes et
al. 1994; Ohno et al,1994; Wobeser et al, 2001). Kasus fotositesis pertama diukur
sehingga mengalami perubahan pada oksigen dibawa kondisi radiasi relatif rendah
(misalnya, <650µmol foton m-2
s-1
; Wobeser et al, 2001). Meskipun kasus sumba
strain di Indonesia, strain Kappaphycus dan E. denticulatum merupakan spesies yang
paling menonjol dibudidayakan dan sedikit mengenai fisiologi. Peningkatan lebih
lanjut dalam tingkat produksi dan efisien akan membutuhkan wawasan lebih lanjut
mengenai fisiologi organisme. Memang, suhu dan radiasi merupakan optimal
persyaratan yang menjadi ketentuan oleh spesies yang dibudidayakan di Indonesia.
Sejak akhir 1980-an modulasi amplitudopulsa (PAM) klorofil flouremetri
telah digunakan untuk tanaman lamun terrestrial (Beeer et al, 1998; Bird dan Bjork,
2000; Aldea dkk. 2006; Kuster dkk. 2007; Raph et al. 1998 dan 2006) sebagai cara
efisien untuk mengevaluasi respon fotositesis dari seluruh tanaman utuh. PAM juga
telah digunakan dalam penelitian akuatik makroalga untuk respon fotosintesis
(Renger dan Schreiber. 1986; Huppertz et al. 1990; Gevart et al, 2002; Enriquez dan
Borowitzka, 2011). PAM akan menjadi efisien dengan cara mengklarifikasi respon
budidaya tanaman Eucheuma dan Kappaphycus ( Aguirre-von- Weber et al. 2001)
dan dapat dirancang untuk mengklarifikasi suhu dan kondisi radiasi yang optimal
sehingga memaksimalkan fotosintesis (yaitu pertumbuhan) dan juga digunakan untuk
mendiagnosa kondisi fisiologis makroalga yang dibudidayakan (yaitu, kesehatan).
Dalam kasus ini kami fokus pada penjelasan suhu dan kondisi radiasi yang
diperlukan untuk meningkatkan fotosintesis pada E. denticulatum dan Kappaphycus
sp. (Sumba strain) dari Indonesia menggunakan PAM flouremetri. Kami
5. menggunakan teknologi untuk melakukan kasus percobaan pertama bahasa Indonesia
fotobiologi Eucheuma/Kappaphycus dengan harapan bahwa pengetahuan ini akan
mengarah pada kemajuan dalam kultivasi output dan efisiesi spesies ini.
Bahan dan Metode
Spesimen budidaya Eucheuma denticulatun dan Kappaphycus sp. (Strain
Sumba) dikumpulkan di area penelitian Fakultas Perikanan Universitas Kagoshima.
Sulawesi Selatan Indonesia (50
34´56.62”N1190
27´42,E”) pada 15 Agustus 2010.
Untuk setiap spesies, 10 tanaman budidaya yang melekat pada tali dengan kedalaman
1-2 m pertama dikemukakan oleh penulis disimpan dalam kantong plastik 1.000 ml
dengan suhu berkisar 240
C. Selama percobaan spesies dipertahankan dalam tangki
(1,0 x 1,0 x 0,5 m) mengandung air laut alami (Salinitas sekitar 33 ppt, PH 8,0) yang
ditempatkan di Laboratorium. Suhu air dipertahankan pada suhu 240
C oleh air
pengontrol suhu. Radiasi aktif fotosintesis (PAR) disediakan oleh lampu flouresensi
kamar sekitar 90 µml foton m-2
s-1
dega 12:12 siklus terang/gelap. Setelah
transportasi, sampel diaklimatisasi selama 4 jam sebelum melakukan penelitian.
Voucher spesimen herbarium dari dua taksa diendapkan di herbarium Marine Botani.
Universitas Kogashima Museum (KAG)
Temperatur Bawah Air dan Radiasi Aktif Fotosintesis
Radiasi bawa air dengan suhu air diukur dalam lagunan karang, yang terletak
pada budidaya laut cuaca yang baik yaitu bulan Agustus 2010. PAR light meter
dengan kuantum bawah air (LI-193,LI-250,LI-COR USA) dan Thermometer (model
YSI 85, AS) digunakan untuk mengukur PAR dan air laut. Secara khusus, PAR
diukur dari garis pantai pada kedalaman 4 m, 700 m dari garis pantai pada
kedalaman 5 m, dan 1.000 m. Menurut Beer-Lamber PAR merupakan alat
pengukuran untuk menentukan kepunahan koefisien (K. alvarezii)
6. Kurva dan Cahaya
Kurva cahaya cepat (RLC) dihasilkan dengan menggunakan logaritma standar
dari PAM flourometer (Diving-PAM, Heinz Walz Gmbh, Jerman) menggunakan
tambahan periode pencahayaan aktinik, dengan intensitas PAR meningkat dalam
sembilan langkah dari 0 hingga 1.000µmol foto m-2
s-1.
Transport elektron tingkat
relatif (rETR).
Suhu dan Efektif Cahahya Pada Parameter Fotosintesis
Dari masing-masing spesimen yang dikumpulkan, bagian panjang 2 m tali
ditempatkan dalam tangki plastik 50x40x50 cm dengan air laut, dengan empat
ulangan untuk setiap spesies. Suhu disesuaikan oleh suhu air yang terkontrol. Suhu
air dalam tangki diukur dengan Termokopel untuk mengkofirmasi bahwa air
mencapai suhu yang diinginkan. Transpor elektron relatif ditentukan untuk
menghasilkan RLC dengan 9 level PAR, untuk setiap hari air dinaikan sebanyak 20
C
kenaikan suhu berkisar 16 hingga 340
C. Ketika kami mengubah kondisi suhu, kami
meghabiskan waktu sekitar satu jam untuk mengubah 20
C. Kami juga melakukan
aklimatisasi ganggang lebih satu jam sebelum percobaan pada suhu.
Kami memodelkan rETR Versus PAR untuk menghitung rETR maksimum
dalam keadaan fotoinhibition (γ), kemiringan awal (α) dari fotositesis radiasi kurva
(P- kurva I) dan koefisien fotoinhibisi (β) PAR (mol foto m-2
s-1).
Analisis Statistik.
Analisis statistik dari parameter fotosintesis γ,α, dan β dilakukan dengan
menggunakan R (R Development Core Team) dan pemasangan model menggunakan
open BUGS (Thomas et al. 2006). Parameter diperiksa dengan memasag RLC ke
model nonlinear (persamaan 3) mengunakan metode hirearki Bayesian open BUGS
terutama menggunakan sampel Gibbs untuk sampel dihasilkan dan dinilai untuk
konfersi. Seragam prior ditempatkan hiper parameter model.
7. Gambar 2. Radiasi aktif fotosintesis bawah air, PAR (µmol foton m-2
s-1
) di area
budidaya Funga, Sulawesi Selatan, Indonesia (diambil pada jam 11.00 hingga 12.00,
4 Agustus 2011).
Perumusan model dan pemilihan hubungan menjadi dua parameter yaitu suhu
air dan temperatur juga diperiksa berdasarkan metode yang digunakan oleh Bhujel
(2008). Berdasarkan hasil model, berbagai pilihan suhu untuk aktivitas fotosintesis ini
spesies dapat didefiisikan sekitar 95% dari perkiraan nilai parameter maksimum atau
minimum. Linear umum model digunakan untuk memeriksa pengaruh suhu spesies
dan interaksi mereka pada spesies pada parameter fotosintesis uji homogenitas
digunakan untuk menguji kesetaraan varian estimasi kurva dan model linear umum
adalah dianalisis menggunakan SPSS v.17(SPSS inc)
Hasil
Radiasi dan suhu di habitat spesimen
Dilokasi pengumpulan, E. deticulatum dan Kappaphycus sp yang dibudidaya.
diletakan pada tali dengan kedalaman 1-2 m. Dengan radiasi 1,448 hingga 393µmol
foton m-2
s-1
antara kedalam 0,5 dan 3m untuk lokasi 300 m dari garis garis pantai.
Pada 700 m dari garis pantai, PAR berkisar antara 1,482 hingga 109µmol foton m-2
s-
1
antara kedalaman 0,5 da 5 m da pada 1. 000 m dari pantai, PAR berkisar dari 1,213
hingga 138µmol foton m-2
s-1
antara kedalaman 0,5 dan 5 m (Gbr.2). Suhu permukaan
laut rata-rata adalah 290
C. Menurut Beer- Lambert tion, 300 m dari garis pantai
radiasi bias digambarkan sebagai E.(Z) 01.848.4 e-0.54. Z(R2
00.9713);700 m dari
garis pantai (Z) 01,964.8e-60. Z (R2
00.9752). Kedalaman merupakan koefisien (K)
yang ditentukan untuk perairan pada 300,400 dan 700 m dari garis pantai adalah
0,54, 0,60,0,50 masing-masing koefisien PAR permukaan 148,1.964, dan 1.666µmol
foton m-2
s-1
. Berdasarkan estimasi parameter ini dan asumsi PAR permukaan 2.000
µmol foton m-2
s-1
, PAR pada kedalaman tanaman berbudaya (1-2 m) dapat
diperkirakan berkisar dari 600 dan 1.001µmol foton m-2
s-1
8. Kurva Cahaya Cepat
Umumnya kurva cahaya cepat dari spesies ini meningkat sampai mencapai
beberapa temperatur, dan foto-foto tidak mudah terlihat sampai PAR mencapai
1.000µmol foton m-2
s-1
(Gbr 3.) Pada suhu dan PAR tertentu, rETR Kappaphycus sp.
Cenderung lebih tinggi dari pada E. denticulatum. Dengan menyesuaikan persamaan.
Ke 4 dari hasil menggunakan Hirearki Metode Baysian menjelaskan tentang
parameter.
Gambar 3. Kurva cahaya cepat Retr dari E. denticulatum dan kappaphycus sp.
Ditentukan melalui gradient suhu 16-340
C. Garis putus-putus menunjukan model
yang cocok untuk Eucheuma denticulatum dan Kapphycus sp. Masing-masing 04
sampel untuk setiap suhu dan PAR.
Model (γ,α, dan β) disemua suhu air, serta estimasi dari rETR maksimum,
Eucheuma. denticulatum dan Kappaphycus. alvarezii . Pengaruh suhu pada parameter
fotosintesis nilia rata-rata dari rETR dari fothoinhibitor (γ), berkisar dari 13,1 hingga
25,0000µmol foton m-2
s-1
untuk Kappaphycus sp. Selama daya tahan tubuh rentan
diperiksa dan mereka meningkat secara monoton peningkatan suhu. (Gbr 4.).
Parameter γ baik untuk E.denticulatum dan K. alvarezii dengan suhu linear masing-
masing meningkat (F(1,39) 0112,992, P <0,001 dan F (1,39) 0207,365,P<0,001.
Model-model dari γ. Suhu (t) dapat dijelaskan dengan persamaan:
γ00. 127+0,753 t (R 2 00,748) untuk E. denticulatum dan γ0-5,43+0,73t.
Gmbar 4. Fotosintesis parameter pada suhu tertentu tingkat E. denticulatum
berbudaya (segitiga) dan Kappaphycus sp. (lingkara hitam) dan model untuk E.
denticulatum (garis abu-abu) dan Kappaphycus sp (garis padat). Maksimum transpor
elektron tarif relatif (RETR) dalam fothoinhibitor, γ.b. Awal kemiringa kurva cahaya
cepat, α . c Koefisien fothoinhibisi, β. d. RETR maksimum diamati radiasi aktif
fotosintesi (PAR) adalah optimal, maksimum RETR. PAR dimana tingkat RETR
9. mulai jenuh, E.dentikulatu dan K. alvarezii . PAR dimana RETR maksimum diamati.
Menunjukan satu stadar deviasi. n 04 sampel untuk setiap suhu PAR.
(R =0.845) untuk Kappaphycus sp. Pengaruh suhu yang signifikan pada γ masing-
masing (F (9,80) 055,905<0,001 dan F (9,80) 148. 159. P<0.001, antara suhu dan
spesies (F (1.80) 04,914, P<0,001 yang menunjukan bahwa γ untuk Kappaphycus sp
terdapat respon suhu yang berbeda jika dibandingkan dengan E. denticulatum. Nilai
rata-rata dari kemiringan awal (α) dari E. deticulatum dan Kappaphycus sp. Berkisar
antara 0,076-0,148µmol (foton µmol)-1 dan 0,123hingga 0,181µmol (foton µmol)-1,
masing-masing berbentuk kubah dengan spesies temperatur (Gbr 4b). Model antara
suhu dan temperatur yaitu α dari E. denticulatum dan Kappaphycus sp. Dapat
dijelaskan oleh fungsi kuadrat masing-masing (F (2,39) 051.151 p<0,001 dan F (2,39)
031,098. P<0.001, dan dijelaskan oleh persamaan: α0-0.2726+0,0313 t 2 (R 2 00.734)
untuk E. denticulatum dan α0-0.1615+0,0256 t -0.0005 t 2 (R 2 00.627) untuk
Kappaphycus sp.
Berdasarkan hal tersebut model Kappaphycus sp tertingg diduga karena
masing-masing 0,135 dan 0,163µmo (foton µmol) dan terjadi pada suhu 26,1 dan
25,60
C, Oleh karea itu untuk α, 95% dari maksimum 0, 128µmol m-2
s-1
. E.
denticulatum dan 0,154µmol m-2
s-1
untuk Kappaphycus sp, yang mengarah ke suhu
kisaran 22,6 - 29,60
C dan 21,5-29,70
C. Nilai α secara sigifikan dipengaruhi oleh suhu
(F (9,80) 0 16.860, P< 0,001), sedangkan interaksi antara suhu dan spesies tidak
signifikan (F (1,80) 04,914, P 00, 976). Namun, efek spesies terdeteksi (F (9,80)
0149. 863, P <0.001), menunjukan bahwa nilai-nilai α dari Kappaphycus sp. Secara
signifikan lebih tinggi dari E. Denticulatum. Diperkirakan 0,03 µmol (foton µmol)
berbeda dalam perkiraan parameter tingkat α maksimum antara spesies ini. Nilai rata-
rata dari koefisien fotoinhibisi (β) dari spesies ini berkisar antara 0,001 hingga 0,010
µmol (foton µmol)-1
untuk E. Denticulatum dan 0,002-0,09 µmol (foton µmol) -1
untuk Kappaphycus sp. Parameter ini juga bisa dimodelkan sebagai hubungan
kuadratik dengan suhu untuk keduanya E. Denticulatum (F(2,39) 018,921, P<0,001)
sp dan Kappaphycus sp. (F(2,39) 019,164, P<0,001) dan dijelaskan oleh persamaan:
10. β00.0589-0,046 t + 0,0000918 t2 (R 2 00. 506) untuk E. Denticulatum dan β00.0232-
0,0019 t + 0,0000452 t 2 (R 2 00,509) untuk Kappaphycus sp dapat diperkirakan pada
suhu dekat 25 dan 210
C untuk E. Denticulatum dan Kappaphycus sp masing-masing
tipe. Dalam kasus β 95% dari nilai minimum 0,001390 µmol m-2
s-1
untuk E.
Denticulatum dan 0,0034 µmol m-2
s-1
untuk Kappaphycus sp yang berkisar pada suhu
24-260
C dan 19,2-22,80
C. Meskipun suhu memiliki pengaruh yang signifikan pada β
(F(9,80) 07,065, P< 0,001), perbedaan spesies ini tidak tampak menjadi faktor
penting (F(1,80) 01,304, P< 00.258) dan interaksi antara spesies dan suhu temperatur
tidak kuat (F(9,80) 02,74,P < 00,037).
Spesies- Spesifik Dalam Parameter Model
Persamaan model sesuai dengan nilai yang diamati rETR dengan baik untuk
spesies, hubungan antara masing-masing parameter dan suhu yang serupa. Diberikan
data, berupa Kappaphycus memiliki kapasitas fotosintesis yang lebih tinggi aktivitas
dan dapat merespon lebih cepat ke cahaya lingkungan yang dinamis, mengingat nilai
adalah jenis untuk E dan K, dimana nilai parameter ini hampir identik (P>0,05). Hal
ini sangat menyarankan bahwa kedua spesies diadaptasikan pada suhu dan kondisi
cahaya yang memiliki kapasitas fotosintesis berbeda. Eksperimen budidaya secara
perinci akan diperlukan jika kita ingin menjelaskan perbedaan produktiovitas antara
dua spesies ini. Pothesize menyatakan bahwa (1) kedua spesies akan tumbuh dengan
baik dibawah kondisi. (2) Kappaphycus sp akan kalah bersaing dengan E.
denticulatum dalam tingkat pertumbuhan dibawah suhu optimal dan kondisi cahaya.
Kesimpulan
Marikultur E. denticulatum dan Kappaphycus sp adalah industri penting bagi
banyak orang yaitu pada Negara-negara Asia Timur, termasuk Cina dan Afrika.
Meskipun sudah banyak penelitian, termasuk kita, untuk kawasan Asia Tenggara,
spesies dan lingkungan sangat cocok untuk meningkatkan dua spesies karena dapat
merespon fotosintesis dan merupakan lingkungan yang sangat penting bagi
peningkatan karagenan penghasil ganggang merah untuk merespon suhu dan radiasi,.
11. Kosa Kata
Flourescence; Floresensi
Genera: menghasilkan
Point: Titik
Originated : Berasal
Whose: yang
South: Selatan
Commonly: Umumnya
Particularly: Terutama
Supplied: dipasok
Measured: Terukur
Brought: dibawa
Revealed: Mengungkapkan
Indeed: Memang
Therefore: Karena itu
Light: Cahaya
Examine: Memeriksa
Mainly: Terutama
Prominent: Menonjol
Further: Lebih lanjut
Regarding: mengeani
Maximize: Memaksimalkan
Advancement: Kemajuan
Incremental: Tambahan
12. Spent: dihabiskan
Modeled: Dimodelkan
Maintained: Terawat
Assessed: Dinilai
Convergence: Konvergenci
Uniform: Seragam
Relationship: Hubungan
According: Menurut
Respectively: Masing-masing
Based: Bersadarkan
Result: Hasil
Increased: Meningkat
Described: Dijelaskan
Absence: Ketiadaan
Differently: Berbeda
Compared: Dibandingkan
Argued: Berdebat
Appears: Muncul
Similar: Serupa
Combine: Menggabungkan
Robust: Kuat
Among: Antara
Typically: Khas
Values: Nilai-nilai