1. CSR Industri Ekstraktif
& Penanggulangan Kemiskinan
BRIEF No.001/CSR/2013 | July 22, 2013
Pada tahun 2010, laju pertumbuhan ekonomi dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
perkapita Kabupaten Tuban masih masuk dalam
kuadran-IV, yakni tergolong merah dengan
kategori tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan
PDRB perkapita yang rendah. Posisi ini bahkan di
bawah kabupaten sekitarnya seperti Bojonegoro
dan Lamongan yang masuk dalam kuadran-III.
Salah satu indikator yang menunjukkan masih
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
dalam dimensi pembangunan ekonomi kabupaten
Tuban adalah besarnya jumlah penduduk miskin.
Berdasarkan Hasil Pendataan Program Perlindung
Sosial (PPLS) Tahun 2008, Jumlah Rumah Tangga
Miskin (RTM) di Kabupaten Tuban mencapai
105.447 RTM atau 332.241 jiwa. Di Tahun 2011,
Jumlah tersebut justru naik menjadi 147,847
RTM, jumlah ini setara dengan 42% dari jumlah
KK di kabupaten Tuban yang berjumlah 351,917
KK.
Meskipun Tuban menjadi daerah perluasan
industri di Jawa Timur, namun jumlah
pengangguran masih terbilang besar. Di tahun
2010 mencapai 37.131 orang, dan di tahun 2011
bertambah menjadi 37,889, dengan rerata
penempatan kerja hanya berkisar 0,02% dari
jumlah pengangguran yang ada di kabupaten
Tuban (LKPJ
Kab. Tuban
2011).
Industrialisasi di
kabupaten ini
justru
menciptakan
kantong-kantong
kemiskinan yang sangat dekat dengan area
industri, diantaranya sebut saja di sekitar area
industri ekstraktif. Kondisi ini ibarat
pepatah:‘tikus mati di lumbung padi’-daerah kaya
sumber daya alam namun tetap miskin.
Jumlah RTM di beberapa kecamatan seperti:
Soko, Rengel, Plumpang, Widang, Grabagan,
Semanding dan Palang-yang notabene merupakan
lokasi sasaran CSR industri ekstraktif seperti JOB
PPEJ, MCL dan PT. Perhutani, masih di angka
lebih dari 50% dari total KK di wilayah tersebut.
Audit Sosial oleh Warga Sekitar Blok Migas JOB PPEJ
Kabupaten Tuban, Jawa Timur
2. Bahkan, di kecamatan Soko-yang menjadi wilayah
sasaran CSR JOB PPEJ, pada PPLS tahun 2011 lalu
mengalami peningkatan jumlah RTM sebesar 104%
(13,209 RTM), tertinggi se-kabupaten Tuban.
Sementara rumah tidak layak huni di kecamatan
tersebut mencapai 9,646 rumah, tertinggi se-
kabupaten.
Jika menilik lebih dalam ke tingkat desa, sebagian
besar desa yang berlokasi di ring-I wilayah
eksploitasi minyak milik JOB PPEJ, masih
menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi. Sebut
saja desa Rahayu (308 RTM), desa Sokosari (379
RTM), dan dua desa lainnya seperti Sumurcinde (422
RTM) dan desa Sandingrowo (274 RTM).
JOB PPEJ telah beroperasi di kabupaten Tuban sejak
27 Februari 1988 hingga peralihan ketiga menjadi
JOB PPEJ pada 4 Juli 2002 hingga sekarang. Namun,
keberadaan industri ekstraktif tersebut masih belum
memberikan dampak yang berarti bagi pengentasan
kemiskinan. Padahal, potensi keseluruhan dana CSR
di kabupaten Tuban mencapai Rp. 168.417.590.500
atau setara dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Sehingga, sudah seharusnya potensi dana CSR
tersebut dikelola secara akuntabel dan disingkronkan
dengan program pemerintah-terutama dalam
penanggulangan kemiskinan. Program CSR juga
harus dikelola secara transparan, sesuai kebutuhan
masyarakat, dan memiliki visi perubahan bagi
wilayah terdampak, untuk pembangunan
berkelanjutan. Hal tersebut juga mengingat bahwa
CSR industri ekstraktif adalah sebuah kewajiban
(bukan kesukarelaan) perusahaan atas dampak yang
ditimbulkan dari kegiatan perusahaan tersebut, yang
harus memenuhi standar praktek pertambangan yang
baik (good mining practices).
Berangkat dari kontek diatas, FITRA Jawa Timur-
yang merupakan anggota Publish What You Pay
Indonesia, melakukan sebuah studi kebijakan CSR
industri ekstraktif, serta melakukan audit sosial
bersama-sama warga masyarakat di sekitar area
pertambangan migas JOB Pertamina-Petrochina East
Java (PPEJ) di Kabupaten area Tuban, Jawa Timur.
Tujuan
Kegiatan Audit Sosial CSR ini bertujuan untuk
meningkatkan peran pengawasan warga serta
memastikan kualitas dan akuntabilitas pelaksanaan
CSR industri ekstarktif Migas. Dari sini, diharapkan
lahir rekomendasi pengelolaan CSR Migas yang
lebih berpihak kepada masyarakat sekitar, terbangun
mekanisme keterlibatan multistakeholders utamanya
penerima manfaat, sehingga CSSR berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pengurangan kemiskinan.
9,646
7,303
6,201
4,327
3,354
2,463
1,522
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
SO
K
O
PAREN
G
AN
PLU
M
PAN
G
W
ID
AN
G
BAN
CAR
K
EREK
SIN
G
G
AH
AN
SEN
O
RI
PALAN
G
BAN
G
ILAN
M
O
N
TO
N
G
REN
G
EL
JATIRO
G
O
G
RABAG
AN
TAM
BAK
BO
YO
SEM
AN
D
IN
G
TU
BAN
JEN
U
M
ERAK
U
RAK
K
EN
D
U
RU
AN
JUMLAH RUMAH TIDAK LAYAK HUNI
KABUPATEN TUBAN 2011
Soko menjadi kecamatan terbesar se-kabupaten Tuban
terdapat rumah tidak layak huni
Sumber : Bappeda Tuban
3. Metode
Metode Audit Sosial oleh warga bersifat kualitatif dengan teknik verifikasi lapangan untuk mengetahui
kesesuaian Program CSR dengan kebutuhan masyarakat, mekanisme pelaksanaan program CSR dan melihat
Aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan program CSR serta memverifikasi akuntabilitas pelaksanaan
program-program CSR, termasuk kegiatan-kegiatan CSR dalam bentuk sarana dan prasarana, ekonomi,
pendidikan maupun kesehatan.
Verifikasi lapangan dilakukan melalui wawancara langsung dengan stakeholder pelaksanaan CSR yang
terdiri dari JOB PPEJ, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Komite Pelaksana CSR serta wawancara
kepada komunitas masyarakat sebagai penerima manfaat. Wawancara yang dilakukan oleh auditor warga
tersebut juga melakukan pencocokan beberapa dokumen dengan data-data di lapangan, selanjutnya
dilakukan analisa terhadap data primer dan data sekunder untuk menjadi temuan sementara. Hasil temuan
sementara tersebut kemudian didiskusikan dalam diskusi kelompok terfokus bersama pelaku dan penerima
manfaat CSR guna memastikan bahwa temuan audit sosial tersebut dapat diyakini kebenarannya
Sasaran Audit sosial CSR Migas adalah lima desa di wilayah Ring-1 yang menjadi prioritas alokasi
pelaksanaan program CSR oleh JOB PPEJ, yakni meliputi tiga desa di Kecamatan Soko (Desa Rahayu,
Sokosari dan Sumurcinde) serta dua desa di Kecamatan Rengel (Desa Bulurejo dan Kebonagung).
4. Temuan-Temuan
Penilaian
dalam
audit
sosial
dilakukan
sesuai
dengan
tahapan
perencanaan
dan
pelaksanaan
CSR
oleh
JOB
PPEJ,
termasuk
penilaian
terhadap
bidang-‐bidang
yang
menjadi
prioritas
programnya.
Tahap Penilaian Kebutuhan dan Perencanaan
Pada akhir 2011 JOB PPEJ menginisiasi pembentukan Komite Program Pengembangan Masyarakat Desa (KPPMD) di lima
desa (Ring-1), dengan tugas dan wewenang untuk mengelola CSR di tingkat desa bersama Pemerintah desa. Komite CSR
merencanakan program usulan yang disesuaikan dengan empat bidang program yang telah ditentukan oleh JOB PPEJ yakni
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan serta ekonomi. Namun pengambilan keputusan usulan di tingkat desa ini masih
dilakukan secara terbatas oleh Komite yang didominasi dan di pimpin oleh kelompok elit desa dari perangkat desa, LPMD
maupun BPD.
Terdapat keluhan terhadap lamanya proses persetujuan usulan program CSR di intenal kontraktor JOB PPEJ hingga
SKKMIGAS. Tahun 2011 misalnya, kegiatan baru bisa dimulai di akhir tahun. Keterbatasan waktu dan minimnya sumber
daya komite menjadi alasan tidak dilakukannya proses perencanaan secara mendalam. Komite tidak melakukan pemetakan
potensi dan pemecahan masalah bersama. Komite dan desa tidak memiliki panduan dalam pengelolaan CSR, karena sejak
awal tidak ada batasan pagu anggaran per desa. Usulan anggaran dari masyarakat yang terlampau besar menyebabkan proses
revisi yang juga memakan waktu.
Tahap Pelaksanaan Program CSR
KPPMD sebagai tim pelaksana Program Sosial Penunjang Operasi (PSPO) dan CSR di tingkat desa, berperan sebagai pelaksana
kegiatan pembangunan infrastruktu-dengan memperkerjakan warga sekitar, namun KPPMD juga memfungsikan diri sebagai
penyalur kepada kelompok masyarakat untuk kegiatan selain infrastruktur. Sempitnya waktu tentu berpotensi mengurangi kualitas
pelaksanaan program yang direncanakan. Kondisi yang sama terjadi di tahun 2012, yang hingga Desember 2012 anggaran belum
dapat dicairkan oleh JOB PPEJ, namun komite telah diminta untuk mengusulkan proposal program CSR tahun 2013. Komite CSR
di lima desa mengharapkan anggaran CSR JOB PPEJ bisa di cairkan di awal tahun agar waktu pelaksanaan kegiatan lebih panjang
dan kualitas program bisa lebih baik.
KPPMD tidak dibolehkan untuk mengalokasikan biaya operasional dari dana CSR. Namun Pemerintah Desa Sokosari dan Desa
Rahayu mengalokasikan biaya operasional dari uang Kas Desa. Namun ada juga pengakuan dari anggota pengurus KPPMD Desa
Rahayu, bahwa biaya operasional tersebut biasanya juga didapatkan dari fee penyuplai material pembangunan infrastruktur. Di
Desa Sokosari juga ditemukan pemotongan anggaran untuk penerima manfaat dengan alasan sebagai biaya operasional komite.
Tentu hal ini tidak bisa dibenarkan karena akan berpotensi mengurangi kualitas program CSR.
Lembaga pengawas tidak dibentuk secara khusus dalam program PSPO dan CSR JOB PPEJ di lima desa tersebut, sehingga
Komite nyaris tanpa pengawasan yang memadai. Di sisi lain, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa juga
merangkap sebagai pengurus KPPMD, hal ini berpotensi adanya konflik kepentingan (conflict of interest) yang tidak
memungkinkan terjadinya pengawasan secara benar. Sedangkan pada aspek pemeliharaan, tidak adanya tim pemeliharaan yang
dibentuk serta tidak adanya alokasi anggaran untuk itu, maka pemeliharaan diserahkan kepada masyarakat sebagai penerima
manfaat, menjadi bagian dari aset desa yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah desa.
Tidak seluruh program PSPO dan CSR dikelola oleh Komite CSR di lima desa ring satu, di tahun 2011, dari anggaran sebesar Rp.
7,297,717,000 Hanya Rp. 1, 454,000,000 yang di kelola langsung oleh KPPMD, sebagian besar program PSPO dan CSR JOB
dikelola langsung oleh JOB PPEJ. Di desa Rahayu misalnya, relokasi SD I dan II dengan anggaran Rp. 763,344,000, Perbaikan
Tanggul Desa Rahayu dengan Alat Berat Rp. 13,277,000 serta Pemberian uang kompensasi.
5. Bidang
Insfrastruktur
Infrastruktur masih
menjadi pilihan prioritas
pada kelima desa. Desa
Bulurejo mengalihkan
seluruh rencana
anggaranya untuk
pembangunan infrastruktur, begitu juga desa Rahayu
dari 75 juta rupiah dialihkan untuk infrastruktur
pengadaan air minum sebesar 50 juta rupiah.
Besarnya anggaran PSPO dan CSR untuk
pembangunan infastruktur belum sepenuhnya
diprioritaskan untuk pembangunan fasilitas yang
berkaitan secara langsung dengan peningkatan
pendapatan masyarakat sekitar. Misalnya,
pembangunan kantor, pemasangan pavin,
pembangunan joglo dan sebagainya.
Ditemukan perbedaan informasi volume pembangunan
tembok penahan jalan di Desa Rahayu. Menurut LPJ
Komite KPPMD volumenya mencapai 2,000 m,
namun menurut masyarakat pengerjaannya hanya
1,200 m Sementara yang 800 m berupa saluran air
yang berada di ujung desa dusun kayunan di kerjakan
murni oleh swadaya masyakat. Terdapat juga
perbedaan yang mencolok terkait satuan harga bahan
bangunan, padahal proyek tersebut dilakukan dalam
waktu yang bersamaan.
Di desa Sokosari juga terdapat selisih hitungan dalam
LPJ KPPMD untuk pembangunan infrastruktur yang
seharusnya ada sisa Rp. 522,500 namun dalam LPJ
komite dibulatkan dengan sisa Nol rupiah. Penerima
manfaat di lima desa hanya terlibat sebagai tenaga
kerja namun tidak mengetahui berapa jumlah nominal
anggaran pembangunannya
Bidang Ekonomi
Program PSPO dan CSR JOB
PPEJ digunakan untuk
penambahan modal Kredit Usaha
Bersama (KUB) yang masih
berjalan. Bantuan KUB tersebut
dipergunakan untuk usaha
penjualan pupuk dan pemberantas
hama pertanian.
Masyarakat bisa mendapatkan
pinjaman bagi yang membutuhkan,
namun akses yang tidak jauh
berbeda juga bisa didapat dari Kios
Pupuk yang ada di wilayah
setempat. Sementara informasi sisa
hasil usaha juga tidak diterima
oleh anggota. KUB di desa
kebonagung yang dirintis sebagai
BUMDesa, mayoritas dikelola
pengurus yang di tunjuk oleh
pemerintah desa, namun
masyarakat tidak tahu pengelolaan
anggarannya.
Ditemukan adanya pemotongan
dari penambahan modal dan
pemberian bantuan kepada
masyarakat.Di temukan juga nama
fiktif yang tidak ada orangnya.
Sementara program ekonomi di
desa Sumurcinde oleh KPPMD
digunakan untuk dua kegiatan,
pinjaman penguatan modal
UMKM dan pelatihan tenaga kerja
masing-masing sebesar Rp. 25
juta. Tidak semua penerima
manfaat adalah orang miskin.
Kegiatan simpan pinjam UMKM
hanya berjalan sekali, dimana
pengembalian pinjaman oleh
komite dialihkan untuk
membangun infrastruktur meski
sebenarnya masyarakat merasa
terbantu dengan pinjaman tanpa
bunga tersebut dan mengharapkan
ada perguliran lagi.
Sedangkan pelatihan tenaga kerja
dengan kegiatan menjahit/Bordil
sebagaimana dilaporkan dalam
LPJ dikucurkan bantuan sebesar 1
juta rupiah, namun verifikasi di
lapangan ditemukan pengakuan
penerima manfaat hanya diberikan
bantuan sebesar Rp. 300.000,
dengan jumlah 16 orang dan bukan
22 orang seperti dalam LPJ,
kegiatan usaha menjahit dan bordil
sudah tidak jalan lagi setelah
pelatihan tersebut karena bantuan
mesin jahit tidak diberikan kepada
penerima manfaat tapi di taruh di
balai desa.
6. Bidang Pendidikan
Masing-masing desa berbeda
dalam pengelolaan program CSR
di bidang pendidikan. Komite desa
Rahayu hanya menyalurkan
bantuan dalam bentuk uang yang
dibelanjakan sendiri-sendiri oleh
lembaga penerima manfaat.
Sementara di desa Sokosari,
Sumurcinde dan Kebunagung,
komite yang membelanjakan
lembaga pendidikan menerima
dalam bentuk barang. Pola
pembelanjaan yang langsung
dilakukan sendiri-sendiri oleh
lembaga penerima manfaat
umumnya tidak ada permasalahan,
sedangkan yang dibelanjakan oleh
komite malah muncul beberapa
permasalahan.
Secara umum lembaga penerima
manfaat tidak mengetahui jumlah
nominal bantuan yang seharusnya
diterimakan, bantuan barang tanpa
ada musyawarah dengan penerima
secara tiba-tiba (ujug-ujug) dan
belum tentu sesuai kebutuhan
masyarakat.
Bidang Kesehatan
Program CSR di bidang kesehatan
meliputi Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) untuk balita,
Bantuan APE untuk TK/RA,
Bantuan Seragam Kader
Kesehatan, dan alat-alat olahraga
untuk kepemudaan. Manfaat yang
diterima oleh masyarakat terhadap
bantuan PMT penyuluhan hanya
bersifat untuk memotifasi
masyarakat untuk aktif berkunjung
ke Posyandu. Padahal PMT
penyuluhan sudah dianggarkan oleh
APBD, semestinya program ini
diarahkan pada pemberian Bantuan
PMT Pemulihan yang bermanfaat
untuk pemenuhan gizi serta
kegiatan prefentif kesehatan ibu
dan anak seperti, kelas ibu hamil
atau menciptakan Desa Siaga yang
menjadi percontohan.
Bantuan alat-alat olahraga bagi
kepemudaan seharusnya
memperhatikan kualitas barang
seperti halnya bantuan Meja Tennis
seharga Rp. 2,800,000 yang baru
berumur satu tahun sudah dalam
kondisi rusak. Bantuan meja tennis
yang masuk dalam program
kesehatan juga dianggap tak
berhubungan dengan kesehatan.
Bidan yang juga sebagai komite di
bidang kesehatan tidak tahu secara
pasti berapa jumlah bantuan yang
diterimakan, sementara penerima
manfaat menyatakan hanya
menerima bentuk barang dan tidak
tahu nominal bantuannya. KPPMD
dianggap sangat tertutup dalam
pengelolaan bantuan kesehatan ini.
Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban program
CSR JOB-PPEJ secara
administratif dilakukan oleh
komite dengan cara
menyampaikan LPJ kepada JOB
PPEJ sebagai pemberi bantuan dan
kepada Kepala desa masing-
masing. Permasalahannya,
KPPMD tidak merasa perlu untuk
melakukan pertanggungjawaban
publik kepada masyarakat sebagai
penerima manfaat.
Belum adanya media informasi
yang mudah diakses masyarakat
untuk mengetahui bentuk
kegiatan, jumlah anggaran, lokasi
kegiatan, dan penerima
manfaatnya dari program CSR
perusahaan.
Sistem informasi dan transparansi
dalam pengelolaan program CSR
di desa-desa sekitar JOB PPEJ
masih sangat sederhana. Desa
Rahayu misalnya, kepala desa
menggunakan media informasi
pada kegiatan rapat-rapat desa dan
setiap ada even-even pengajian
untuk menginformasikan terkait
adanya kegiatan CSR desa, namun
informasi yang disampaikan juga
sangat terbatas.
Belum ada papan-papan
pengumuman misalnya, yang
mudah diakses masyarakat untuk
menginformasikan pengelolaan
CSR dari JOB PPEJ secara detail.
Keterbatasan informasi menyebab
masyarakat sebagai penerima
manfaat tidak bisa berbuat banyak
dalam mengawasi komite dan
memastikan pengelolaan PSPO
dan CSR benar-benar berkualitas
dan bermanfaat untuk masyarakat.
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
Perlu adanya tanparansi dan jaminan keterlibatan warga dalam pengelolaan CSR
Alokasi dana yang bersumber dari perusahaan melalui CSR atau
Community Development yang sebagian besar merupkan bagian dari
skema cost recovery diharapkan makin mendukung upaya pengentasan
kemiskinan di daerah khususnya di wilayah operasi industri ekstraktif.
Kebijakan dalam pengelolaan CSR belum sepenuhnya menjamin
masyarakat di wilayah terdampak mendapatkan informasi mengenai
program CSR yang dibutuhkan , sehingga transparansi dan akuntabilitas
menjadi kata kunci untuk mendorong dan memperkuat posisi warga
sebagai pelaksana sekaligus sebagai penerima manfaat dari program
CSR. Dengan demikian, warga perlu didorong menjadi warga aktif
(active citizen) dalam proses pelaksanaan program-program CSR mulai
dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawabannya. Hal ini dalam rangka untuk mendorong tata
kelola CSR yang efektif dan berkelanjutan, yang memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat
sekitar, serta meminimalisir segala bentuk penyalahgunaan
Memperkuat kapasitas Pemerintah desa dan KPPMD
Pemberian program CSR oleh perusahaan tidak bisa hanya dimaknai
sebagai pembelanjaan anggaran (budget disbursement) namun juga harus
disertai penguatan kapasitas kelembagaan KPPMD dan pemerintah desa
dalam menyusun rencana program yang partisipatif, sesuai dengan
potensi lokal dengan pola pendampingan dan pemberdayaan yang
intensif untuk mewujudkan kemandirian. Perusahaan industri ekstraktif
dalam hal ini dapat membangun kemitraan dengan stakeholder lain yang
memiliki kompetensi dan kapasitas untuk memastikan hal tersebut.
Membangun sinergi perencanaan antara pemerintah dan KKKS
Mengefektifkan sinergi perencanaan antara swasta dan pemerintah tidak bisa dilakukan dengan hanya membentuk
“Forum Komunikasi CSR”, perlu di dorong adanya penilaian kebutuhan (need assesment) yang mendalam dan
perencanaan yang singkron dengan perencanaan pembangunan. Sinergi antara forum CSR dengan forum
musrenbang yang dimiliki perusahaan dan pemerintah dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi, penting dilakukan sebagai upaya bersama dalam mengatasi persoalan kemiskinan.
Perlu adanya efesiensi dalam Mekanisme pengambilan keputusan usulan CSR
Lamanya proses administrasi dan persetujuan pelaksanaan CSR oleh
Pemerintah (SKK Migas) menyebabkan kualitas pengelolaan CSR yang
menjadi rendah. Sehingga diperlukan mekanisme pengambilan
persetujuan yang lebih cepat dengan tanpa mengurangi akuntabilitas
pelaksanaan CSR.
Pemberian bantuan sosial (kompensasi) akibat pengoperasian flare dalam
bentuk uang cash secara terus menerus cenderung tidak mendidik dan
bersifat sementara, sehingga pelru difikirkan bentuk kompensasi berupa
program yang berkelanjutan.
8. AUDIT SOSIAL OLEH WARGA
Diterbitkan oleh FITRA Jawa Timur
bekerjasama dengan Publish What You Pay Indonesia
atas dukungan Yayasan TIFA Indonesia
Disusun oleh : Miftahul Huda & M. Dahkelan
Reviewer : Maryati Abdullah
Sekretariat FITRA Jawa Timur
Jl. Jeruk A3-17, Perum Perbon Permai Tuban,
Telp/Fax : +62-356-323084.Jawa Timur, Indonesia
www.fitrajatim.com, fitra_jatim@yahoo.co.id
Sekretariat Nasional PWYP Indonesia
Jl. Intan No.81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan,
Telp/Fax : +6221-75915498/+6221-7512503. Indonesia
www.pwyp-indonesia.org, info@pwyp-indonesia.org