1. Hukum Merayakan Hari Besar Umat Lain
Dan hukum merayakan hari besar umat lain merupakan hal yang terlarang dalam agama kita. Dalilnya
adalah firman Allah SWT :
Dan orang-orang yang tidak menghadiri Az-Zuur.(QS. Al-Furqan : 72).
Para mufassirin menerjemahkan bahwa yang dimaksud dengan menghadiri az-Zuur adalah menghadiri
hari raya agama lain atau perayaan orang-orang musyrikin.
Yang tidak boleh adalah mengucapkan selamat dan menghadirinya. Namun bukan berarti hal itu membuat
kita harus bermusuhan dengan pemeluk agama lain. Juga tidak mengharuskan kita kehilangan basa-basi
dengan mereka.
Dan bangsa kita paling terkenal dengan keramahan dan basa-basinya. Sehingga bila sehari-hari kita
bersikap ramah dan baik kepada teman non muslim, lalu tiba-tiba pada hari natal mulut kita terkunci mati
lantaran takut ‘terpaksa harus’ mengucapkan natal, tentu menjadi rusaklah suasananya. Dan semakin
kuatlah imej bahwa orang yang fanatik Islam itu memang tidak bisa ramah dengan non muslim.
Jadi kita tetap dibolehkan berbasa basi dengan mereka meski dalam suasana hari natal. Namun
ungkapannya tentu bukan selamat natal. Sebagian kalangan ada yang membolehkan bila kita terpaksa
berbasa-basi dengan bertanya, ”Bagaimana keadaan Anda hari ini?”, atau, ”Bagaimana perayaan natal
Anda?” atau ”Anda merayakan natal kemarin dimana ?”. Kalimat-kalimat itu sama sekali bukan ungkapan
selamat, tetapi basa-basi semata. Menanyakan kabar tidak berarti meridhainya, berbeda dengan
mengucapkan selamat.
Meski pendapat ini belum tentu diterima semua pihak, namun yang pasti lebih ringan dari pada ucapan
langsung tentang selamat natal. Karena yang terlarang adalah mengucapkan selamat, karena meski niatnya
basa-basi, namun maknanya mendalam. Mengucapkan selamat natal itu sebenarnya punya makna yang
mendalam dari sekedar basa-basi antar agama. Karena tiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai
sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing.
Karena itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang
dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadatian itu
punya makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga
masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal cuma dua penggal kalimat
yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Nah, dalam hal ini pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada nashrani juga memiliki implikasi
hukum yang tidak sederhana. Benar bahwa muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama
lain bahkan melindungi bila mereka zimmi. Namun perlu diberi garis tengah yang jelas. Manakah batasan
hormat dan ridha disini. Hormat adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita hormati nasrani karena memang itu kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena itu kewajiban.
Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang
mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang menjadi batas tegas disini.
Jangan sampai ada perasaan takut di hati para tokoh agama kita bila belum mengucapkan selamat natal,
maka kita kurang toleran, kurang ramah dan kurang menghargai agama lain. Ini penyakit kejiwaan yang
hingga dalam lubuk sanubari kebanyakan kita. Sehingga terkadang menjelma menjadi sikap yang kurang
2. tepat.
Bila kita tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan
perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang
toleransi dan kerukunan. Adanya orang nasrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama
ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup
tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri dimana umat Islam minoritas, bagaimana mereka
diteror, dipaksa, dipersulit, dibuat tidak betah, diganggu dan dianiyaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan
jempol. Hal itu terjadi dimana pun dimana ada umat Islam yang minoritas baik eropa, amerika, australia
dan sebagainya.
Rasulullah SAW sering mendoakan orang non muslim agar mendapat hidayah dan masuk Islam. Ingatlah
ketika beliau berdoa kepada Allah SWT agar Islam ini dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar, yaitu
Umar bin Khattab atau Umar yang merupakan nama lain dari Abu Lahab.
Begitu juga bila kita memberi salam khusus kepada non muslim, maka salam yang syar’i adalah salamun
‘ala man ittaba’al huda. Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka yang mengikuti petunjuk.
Seringkali ketika Rasulullah SAW dicelakakan oleh kaumnya, dilempari atau diusir, beliau berdoa dan
bermunajat kepada Allah SWT dengan kalimat "Ya Allah, tunjukilah kaumku, karena mereka tidak
mengerti".
Jadi bila kita berdoa kepada Allah SWT agar orang non muslim itu disadarkan, diberi petunjuk dan
dibukakan hatinya untuk memeluk Islam, tentu jelas dibolehkan, bahkan dianjurkan. Yang tidak boleh
adalah memintakan ampunan kepada Allah SWT atas kekafiran non muslim. Hal seperti itu pernah
dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan ditegurr Allah SWT dalam Al-Quran Al-Kariem.
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada
kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari mu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali
perkataan Ibrahim kepada bapaknya : Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku
tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu Allah". : "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami
bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali."
(QS. Al-Mumtahanah : 4)