Teks ini menceritakan tentang seorang wanita yang percaya bahwa keberuntungan seseorang ditentukan oleh tahun kelahiran. Ia merasa tidak beruntung karena lahir pada tahun yang tidak beruntung. Suatu hari, keponakannya sakit parah di rumah sakit. Ia menyesal telah hanya berdoa untuk dirinya sendiri dan meminta rasa sakit keponakan itu dialihkan kepadanya. Ia jatuh sakit, namun kepon
3. Andai aku bisa memilih tanggal, bulan, dan tahun kelahiranku, aku akan
memilih lahir di tahun keberuntungan itu. Pamanku yang hidupnya
paling berhasil di antara saudara-saudaranya yang lain, lahir pada tahun
keberuntungan. Karirnya cemerlang dan kekayaan materinya berlimpah-
limpah.
Dan hampir sama seperti pamanku, kehidupan adikku berkelimpahan
harta. Adikku lahir pada tahun kelipatan dua belas dari tahun
keberuntungan itu. Lalu aku membandingkan dengan nasib ibuku yang
sebelum dan sesudah menikah dengan ayahku hidupnya penuh
pengorbanan dan penderitaan, tak jauh beda dengan hidupku yang
dihujani kesulitan hidup dan penderitaan. Nasib kami hampir sama
karena aku lahir pada tahun kelipatan dua belas dari tahun lahir ibuku.
4. Mungkin kau berpikir aku mengada-ada, tapi itu sungguh nyata, bahkan
aku telah dapat meramalkan nasib keponakanku, anak kedua dari adikku,
yang lahir pada tahun kelipatan dua belas dari tahun keberuntungan itu,
dan ramalan itu tidak salah, sejak kelahiran keponakanku, rejeki yang
mengalir begitu deras dan tiada henti, seperti air yang mengalir dari mata
air pegunungan.
Apakah kau masih tidak percaya tentang garis keberuntungan itu. Dan
aku tidak memilikinya. Kau tahu kenapa aku yang pintar, berpendidikan
tinggi, dan penuh dedikasi tapi selalu gagal menapaki karir, semua itu
karena garis tangan yang tak bisa kulawan. Apakah ini yang disebut
keadilan hidup, aku diberi kemampuan dan kelebihan tapi orang lain
yang mendapat keberuntungan.
5. “Itulah hal yang tidak kusukai darimu, kau suka berpikir dan
menganalisa, lalu mengambil kesimpulan yang salah tentang
hidup.” katamu, menghentikan bicaraku yang menurutmu
berlebihan.
“Kau tahu kenapa kau tidak menjadi apa-apa meski memiliki
potensi untuk sukses? Karena puluhan tahun kau mempercayai
omong kosong itu. Aku heran orang berpendidikan tinggi
sepertimu masih mempercayai hal-hal seperti itu.”
6. “Yang kau katakan memang benar, aku tidak bisa berhasil sepertimu atau
seperti adikku karena aku terkurung oleh pikiran-pikiranku sendiri. Aku
begitu rapuh di dalam, tidak sekuat dirimu.Kau adalah pribadi yang keras
pada diri sendiri, dan itu membuatmu mampu menjadi pribadi yang
tangguh dan dapat diandalkan. Itulah yang membedakan aku denganmu,
kau mampu mengontrol diri dan lebih banyak menggunakan nalar dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan hidup, sementara aku menggunakan
perasaan. Kau begitu hebat dan dihargai karena daya pikir dan daya kelola
diri yang tinggi. Sementara aku seperti tak pernah ada, benar-benar tidak
berharga karena tidak memiliki apa yang kau miliki. Yang aku miliki hanya
kebaikan hati dan welas asih, yang tidak diperlukan untuk menjadi pribadi
yang melesat dalam pekerjaan dan kehidupan yang mapan. Kebaikan hati
yang menurutmu adalah kelemahanku karena banyak orang yang
memanfaatkan kebaikan hatiku itu untuk kepentingan mereka. Dan aku
tidak mendapat apa-apa. Aku tenggelam oleh kebaikan hatiku dan mereka
bersinar dan terlihat oleh semua orang karena mereka berdiri di atas
pundak kebaikanku.”
7. “Kau harus mendobrak pikiranmu, jika kau ingin menjadi sukses,
berkelimpahan harta dan tidak dipandang sebelah mata,” katamu.
“Mulai hari ini berhentilah berdoa untuk mereka, mulailah
berdoa untuk diri sendiri.” Kalimat terakhir darimu itu terus
kuingat. Ya, aku harus berhenti berdoa untuk orang lain, aku
harus berdoa untuk diri sendiri. Aku harus bisa menghancurkan
segala penghalang, semua tembok yang menutupi jalanku menuju
kesuksesan hidup.
“Tuhan, berilah aku keberuntungan hidup seperti yang Kau
berikan kepada adikku, temanku dan orang-orang lain di dunia
ini. Tuhan Yang Maha Pemurah, berilah aku kemurahan-Mu,
belas kasih-Mu, berilah berkat hidup yang berlimpah bagiku.
Tuhan, kabulkanlah doaku. ”
8. Segala permohonanku itu kuucap berulang-ulang seperti mantra.
Aku merasa kini saatnya aku memikirkan diri sendiri, meminta
berkat untuk diri sendiri, setelah belasan tahun berdoa untuk
orang lain. Aku memutuskan untuk menolak orang-orang yang
meminta bantuan doa, karena aku ingin energi besar dari doa-
doaku kali ini hanya untuk diriku sendiri. Hari demi hari bergulir
dalam penantian yang mendebarkan. Ya, aku sedang menunggu
jawaban Tuhan, menunggu berkat apa yang akan aku dapatkan
dari Tuhan.
9. Tengah malam aku dikejutkan oleh suara gembok pintu pagar dipukul
dan dibenturkan pada batang besi. Aku segera mengintip ke luar,
kulihat keponakanku datang.
“Kenapa tante tidak mengangkat telepon dari mama, mengapa tidak
membalas sms mama?” tanyanya sementara tanganku membuka kunci
gembok. Aku belum sempat menjawab ketika tangisnya meledak.
“Kakak opname sejak tadi pagi, sesak nafas parah, mama minta tolong
supaya tante bantu doa, tolong jangan matikan handphone.”
Berita itu seperti pukulan keras ke dadaku.
10. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit air mataku jatuh.
Sungguh aku menyesal telah menjadi manusia yang begitu egois,
hanya berdoa untuk diri sendiri sementara keponakanku
berjuang untuk bisa bernafas dan bertahan hidup. Sampai di
rumah sakit, aku melihat Kakak menangis menahan sakit, aku
melihat perjuangannya yang begitu berat untuk setiap tarikan
nafasnya. Dokter sudah memberikan tindakan medis beberapa
jam sebelumnya tapi belum ada tanda-tanda membaik. Mama-
papanya menangis sesenggukan, berdoa sambil memegang
tangan Kakak. Dan aku menangis melihat semua itu.
11. “Kakak, ini tante, sayang. Biar tante ambil rasa sakit Kakak. Berikan rasa
sakit itu pada tante, Nak.” Bisikku di telinganya. Kami berlima menangis,
aku, Kakak, Adik dan mama-papanya.
‘Tuhan, berikanlah rasa sakit dan penderitaan itu kepadaku.
Ijinkanlah aku menanggungnya, memikul penderitaan itu.
Bebaskanlah Kakak dari rasa sakit, ya Tuhan.’ Kuucap doa itu
berulang-ulang di dalam hati sepanjang malam hingga
menjelang pagi. Dan semua itu sungguh terjadi, semua rasa sakit
dan penderitaan Kakak berpindah ke tubuhku.
12. “Aku kuat, aku bisa atasi semua ini,” kataku sebelum pamit meninggalkan
rumah sakit dengan menyembunyikan rasa sakit di dada dan sesak nafas
yang kualami. Dengan sisa kekuatan aku pulang ke rumah. Aku jatuh
tersungkur ketika telah sampai di rumah, di kamarku. Seharian aku
tergeletak tak berdaya dalam penderitaan yang luar biasa. Tapi aku tahu
Tuhan akan menolongku, dan Tuhan memang sungguh-sungguh
menolongku, menyembuhkanku dengan cara-Nya yang ajaib. Kau
tersenyum sinis mendengar ceritaku.
“Bagaimana kau tahu, keponakanmu sembuh karena doa-doa itu. Mungkin
saja itu efek dari obat yang diberikan dokter. Atau Tuhan sendiri yang
menyembuhkan meski kau tidak berdoa sekali pun. Dan semua rasa sakit
yang kau alami hanya karena sugesti,” katamu, seperti biasa tak pernah
menghargai apa pun yang kulakukan.
13. Bagimu tak ada yang hebat kecuali menghasilkan banyak uang. Dan aku
tak pernah mendapatkan apa-apa setelah berdoa dan menolong orang.
Tapi mungkin kau benar, mungkin aku memang tidak melakukan apa-
apa, mungkin Tuhan sendiri yang menolong tanpa kita minta, karena
Tuhan Maha Penolong dan Maha Berkehendak. Tapi aku tak pernah
menyesal meski aku keliru, meski segala hal baik yang terjadi adalah
kehendak Tuhan meski tanpa doa permohonan yang kupanjatkan.
Satu-satunya penyesalanku adalah mengikuti nasehatmu agar aku
berhenti berdoa untuk orang lain dan hanya berdoa untuk diri sendiri,
yang membuat aku hampir kehilangan keponakanku. Kau tahu aku tidak
akan pernah memaafkan diriku sendiri seumur hidupku jika hal itu
terjadi.
***
Surabaya, 2012