SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
Download to read offline
BAB I

                                        PENDAHULUAN




1.1        Latar Belakang

           Sejak tahun 1980-an, gejala monopoli dalam bentuk oligopoly sudah
hampir menguasai sektor industri. Di samping itu disebutkan bahwa tidak kurang
dari 67% usaha di sektor industri dikuasai oleh pengusaha besar yang
melakukan praktek monopoli. Hal ini disebabkan karena adanya ijin bagi satu
pengusaha untuk mendirikan berbagai macam industri satu-satunya, yang
sekaligus diberikan hak impor bahan baku industri satu-satunya pula. Berbagai
usaha untuk memiliki berbagai jenis industri besar, hanya akan merugikan
industri-industri yang sudah ada sebelumnya, bahkan tidak jarang dapat
berakibat adanya penutupan usaha yang umumnya golongan ekonomi lemah.
           Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama
telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya
kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai, didorong oleh
kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan
bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan
Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi
lainnya.1
           Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan
Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam
pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya
kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan
usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.
           Peluang-peluang usaha usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang
lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan
usaha swasta selama periode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk
kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di

1
    Binoto Nadapdap, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, (Jakarta ; Jala Permata Aksara, 2009) h.5


                                                1
2



sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
         Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya
hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha,
baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk
keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu pada amanat
Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak
yang sangat monopolistik.2
         Ketika pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto berhasil
“diturunkan”, ketika itu pula lah Indonesia memasuki “babak baru” dalam
melakukan perubahan (reformasi). Salah satu bidang yang menjadi fokus utama
pemerintah untuk direformasi kala itu adalah ekonomi. Hal tersebut diwujudkan
oleh pemerintah dengan membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.
5/1999).
         Ada 2 (dua) poin penting yang melatarbelakangi pemerintah merasa perlu
membuat UU No. 5/1999 kala itu, yaitu:
         1. Pemerintah ingin melakukan demokrasi dalam bidang ekonomi
              dengan cara memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga
              negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
              barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
              efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
              bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;3
         2. Pemerintah menginginkan agar setiap orang yang berusaha di
              Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan
              wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan
              ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari
              kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia
              terhadap perjanjian-perjanjian internasional;4
         Untuk mewujudkan pelaksanaan UU No. 5/1999 berjalan sesuai dengan
latar belakang pembentukannya tersebut, pemerintah kemudian membentuk
lembaga pengawas pelaksanaan dari UU No. 5/1999 itu sendiri. Keberadaan
lembaga pengawas yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha

2
  Ibid
3
  Huruf (a) Konsideran UU No. 5/1999.
4
  Huruf (b) Konsideran UU No. 5/1999.
3



(KPPU) ini diatur di dalam Bab VI UU No. 5/1999. Pembentukan KPPU
diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha
dengan lebih cepat, efisien dan efektif sesuai dengan asas dan tujuannya.
            Sebagai lembaga pengawas pelaksanaan UU No. 5/1999, KPPU
diberikan 2 (tugas) utama yaitu:
           1. Memberikan saran dan pertimbangan terkait dengan persaingan usaha
               di Indonesia; dan
           2. Melakukan penegakkan hukum persaingan usaha.
            Pelaksanaan proses penegakkan hukum persaingan usaha yang
dilakukan oleh KPPU dimulai dari pemeriksaan pendahuluan atas laporan secara
tertulis yang disampaikan oleh pelapor. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan
pemeriksaan pendahuluan dan menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan
pemeriksaan lanjutan.
            Setelah proses pemeriksaan lanjutan selesai dilaksanakan, KPPU wajib
membuat putusan terkait soal telah atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap
UU No. 5/19995. Pelaku usaha yang terbukti telah melakukan pelanggaran
terhadap UU No. 5/1999 dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU di
Pengadilan Negeri (PN)6. Jika pelaku usaha tersebut tidak mengajukan
keberatan atas putusan KPPU, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum
yang tetap7 dan harus diterima oleh pelaku usaha tersebut. Agar putusan KPPU
tersebut bisa dieksekusi, maka KPPU harus meminta penetapan eksekusi
kepada Pengadilan Negeri (PN)8.
            Sehubungan dengan hal tersebut, tampak jelas terlihat bahwa proses
penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU tidak berjalan
maksimal. Dikarenakan putusan yang diputus oleh KPPU tidak menimbulkan
akibat hukum apapun ketika putusan tersebut tidak dieksekusi oleh pihak PN. Hal
tersebut dapat dilihat dari minimnya pelaku usaha yang menjalankan putusan
KPPU walau sudah terbukti telah melakukan pelanggaran UU No 5/1999 dan
telah diputus oleh komisi.
            Padahal salah satu alasan sosiologis dibentuknya KPPU adalah
menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
serta beban perkara pengadilan yang sudah numpuk, ditambah dunia usaha

5
    Pasal 43 UU No. 5/1999
6
    Pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999
7
    Pasal 46 ayat (1) UU No. 5/1999
8
    Pasal 46 ayat (2) UU No. 5/1999
4



membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat
rahasia. Sehingga KPPU diharapkan bisa mengambil peranan pengadilan
khususnya dalam menangani kasus persaingan usaha tidak sehat secara lebih
efektif. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji soal “menjadikan
putusan KPPU berkekuatan hukum eksekutorial”.


1.2    Perumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka
muncul pertanyaan terkait dengan pelaksanaan eksekusi putusan yang sudah
ditetapkan oleh KPPU.
      1. Bagaimana        kendala-kendala   KPPU    dalam    melakukan     upaya
          penegakan hukum persaingan usaha ?
      2. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan supaya putusan KPPU bisa
          berkekuatan hukum eksekutorial ?


1.3    Tujuan Penulisan
       Adapun tujuan dari tulisan ini adalah;
      1. Untuk mengetahui kendala-kendala KPPU dalam melakukan eksekusi
          putusannya.
      2. Untuk memberikan solusi terhadap kendala putusan KPPU yang
          selama ini tidak bisa dieksekusi karena tidak berkekuatan hukum
          eksekutorial.


1.4    Sistematika Penulisan
       Tulisan terkait upaya menjadikan putusan KPPU memiliki kekuatan
hukum eksekutorial akan dibagi menjadi 4 (empat) Bab yaitu ;
       1. Bab I Pendahuluan
           Pada bab I pendahuluan ini terdiri dari 4 subbab yaitu latar belakang,
           perumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematikan penulisan itu
           sendiri. Di bagian latar belakang dibahas mengenai sejarah singkat
           lahirnya KPPU dan proses pelaksanaan penegakkan hukum yang
           dilakukan oleh KPPU.
       2. Bab II Tinjauan Literatur/kerangka teori dan Metode Penelitian
           Di bab II akan dibahas tentang tujuan pembentukan UU No.5/1999,
           tugas dan wewenang yang dilakukan oleh KPPU, tata cara
5



   penanganan perkara yang diatur dalam UU No. 5/1999, tata cara
   penangan perkara yang diatur dalam Peraturan Mahakmah Agung
   Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
   Keberatan Terhadap Putusan KPPU (Perma No.3/2005). Selain itu,
   pada bab ini juga akan dibahas mengenai pengertian, jenis-jenis, dan
   kekuatan hukum putusan.
3. Bab III Pembahasan Hasil Penelitian
   Kemudian pada bab III akan dideskripsikan secara lengkap dan
   mendalam kendala-kendala KPPU dalam melakukan eksekusi
   putusannya dan upaya KPPU untuk menjadikan putusannya
   berkekuatan hukum eksekutorial.
4. Bab IV Kesimpulan dan saran
   Terakhir, bab IV berisi kesimpulan dan rekomendasi atau saran yang
   akan ditawarkan sebagai perbaikan lembaga KPPU khususnya
   mengenai putusan KPPU itu sendiri.
BAB II

                                          KERANGKA TEORI




2.1         Tujuan Pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999

            Tujuan pembentukan undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut 9;
            1.   Menjaga Kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
                 nasional       sebagai    salah       satu   upaya   untuk   meningkatkan
                 kesejahteraan rakyat;
            2.   Kepentingan mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
                 pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin
                 adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
                 usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
            3.   Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
                 yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
            4.   Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


2.2         Tugas dan Wewenang KPPU

            Tugas KPPU diatur di dalam Pasal 35 UU No. 5/1999. Ada 7 (tujuh)
tugas KPPU yang diatur di dalam Pasal 35 tersebut. Ketujuh tugas itu adalah:
            1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
                 terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
                 sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
            2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
                 pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
                 dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
                 Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
            3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
                 posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
                 monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
                 dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;

9
    Lihat pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999



                                                   6
7



       4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
         diatur dalam Pasal 36;
       5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah
         yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
         tidak sehat;
       6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
         Undang-undang ini;
       7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
         Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
       Sedangkan pada Pasal 36 UU No. 5/1999 KPPU diatur mengenai
wewenang KPPU, yaitu:
       1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
          tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
          usaha tidak sehat;
       2. melakukan penelitian;
       3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan;
       4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan;
       5. memanggil pelaku usaha;
       6. menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap
          mengetahui pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999;
       7. meminta keterangan dari instansi pemerintah;
       8. mendapat, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
          lain;
       9. memutuskan atau menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak
          masyarakat atau pelaku usaha lain;
       10. menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran undang-undang ini.


2.3   Tata Cara Pengananan Perkara yang Diatur Dalam UU No. 5/1999

      Tata cara penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU diatur di dalam
Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 UU No. 5/1999. Di dalam Pasal 38 UU No. 5
1999 disebutkan bahwa proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU
dimulai dari pemeriksaan pendahuluan atas laporan secara tertulis yang
disampaikan oleh pelapor yang menyertakan identitasnya. Proses pemeriksaan
8



pendahuluan tersebut dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah KPPU menerima laporan.10
           Berdasarkan atas laporan tersebut, KPPU wajib melakukan pemeriksaan
pendahuluan dan menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan
lanjutan.       Dalam pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib melakukan pemeriksaan
terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Informasi yang diperoleh oleh KKPU
dari pelaku usaha yang diperiksa wajib dirahasikan oleh KPPU dikarenakan hal
tersebut dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. Selama proses pemeriksaan
lanjutan berlangsung, KPPU dapat memanggil dan mendengar mendengar
keterangan saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain jika hal tersebut dianggap
perlu.11
           Waktu yang diperlukan oleh KPPU untuk menyelesaikan pemeriksaan
lanjutan adalah selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan
pemeriksaan lanjutan. Jika dalam waktu 60 (enam puluh) hari tersebut KPPU
ternyata belum bisa menyelesaikan proses pemeriksaan lanjutan, maka waktu
pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Setelah proses pemeriksaan lanjutan selesai dilaksanakan, maka KPPU wajib
memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5/1999
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan
lanjutan. Putusan hasil pemeriksaan atas penangan perkara yang dilakukan oleh
KPPU harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk
umum dan hasilnya harus segera diberitahukan kepada pelaku usaha.12
           Putusan KPPU wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam waktu 30
(tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan. Selain
itu, pelaku usaha juga wajib menyampaikan laporan pelaksanaan putusan
kepada KPPU. Apabila pelaku usaha ingin mengajukan keberatan atas putusan
KPPU, maka pelaku usaha tersebut dapat mengajukannya kepada Pengadilan
Negeri (PN) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Akan tetapi, jika pelaku usaha tidak
mengajukan keberatan dalam jangka watu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut, maka putusan KPPU
telah mempunya kekuatan hukum yang tetap           dan pelaku usaha tersebut



10
     Pasal 38 UU No. 5/ 1999
11
     Pasal 38 UU No. 5/1999
12
     Pasal 43 UU No. 5/1999
9



menerima putusan KPPU. Agar putusan KPPU tersebut bisa diekesekusi, maka
KPPU harus meminta penetepan eksekusi kepada Pengadilan Negeri13.


2.4         Tata Cara Penanganan Perkara yang Diatur Dalam Peraturan Komisi
            Pengawas persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 tahun
            2010 (Perkom No. 1 /2010) tentang Tata Cara Penanganan Perkara

            Terbitnya Perkom No. 1/2010 merupakan amanat dari UU No. 5/1999
yang tertuang pada pasal 38 ayat 4 sebagai berikut ;

       “Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
       ayat (2) diatur lebih lanjut oleh komisi.

            Perkom No. 1/2010 ini meliputi penanganan perkara di KPPU yang
didasarkan dari 3 (tiga) sumber perkara yaitu ;

            1. Laporan Pelapor;
                Penanganan perkara berdasarkan Laporan pelapor terdiri atas tahap
                sebagai berikut ;
                a. Laporan
                b. Klarifikasi
                     Klarifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
                     menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara
                     laporan.14
                c. Penyelidikan
                     Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
                     Investigator untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai
                     kelengkapan dan kejelasan laporan Klarifikasi, laporan hasil
                     kajian, hasil penelitian, dan hasil pengawasan.15
                d. Pemberkasan
                     Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
                     unit kerja yang menangani pemberkasan dan penanganan perkara
                     untuk      meneliti   kembali   Laporan   Hasil   Penyelidikan   guna



13
     Pasal 44 UU No. 5/1999
14
     Pasal 1 point 4 Perkom No. 1/2010
15
     Pasal 1 point 6 Perkom No. 1/2010
10



                     menyusun rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk
                     dilakukan gelar Laporan.16
                e. Sidang majelis Komisi
                     Sidang Majelis Komisi adalah                 serangkaian kegiatan yang
                     dilakukan oleh Majelis Komisi dalam siding yang terbuka untuk
                     umum        yang     terdiri    atas   pemeriksaan      pendahuluan    dan
                     Pemeriksaan Lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti
                     pelanggaran          serta      penjatuhan    sanksi    berupa     tindakan
                     administrative sebagaimana diatur dalam Undang-undang.17
                f.   Putusan Komisi
                     Putusan Komisi adalah penilaian Majelis Komisi yang dibacakan
                     dalam siding yang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau
                     tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa
                     tindakan administrative sebagaimana diatur dalam undang-
                     undang.18
            2. Laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi; dan
                Penanganan           Perkara        berdasarkan    Laporan    pelapor   dengan
                Permohonan ganti rugi terdiri atas tahap sebagai berikut ;
                a. Laporan;
                b. Klarifikasi;
                c. Sidang majelis Komisi; dan
                d. Putusan majelis Komisi
            3. Inisiatif komisi
                Penanganan Perkara berdasarkan inisiatif Komisi terdiri atas tahap
                sebagai berikut ;
                a. Kajian
                     Kajian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
                     menangani kajian untuk menganilasa sektor-sektor industri
                     tertentu yang terkait dengan kepentingan umum dan efisiensi
                     nasional dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
                     19




16
     Pasal 1 point 7 Perkom No. 1/2010
17
     Pasal 1 point 21 Perkom No. 1/2010
18
     Pasal 1 point 10 Perkom No. 1/2010
19
     Pasal 1 point 18 Perkom No. 1/2010
11



                b. Penelitian
                     Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
                     menangani monitoring pelaku usaha untuk mendapatkan bukti
                     awal dalam perkara inisiatif.20
                c. Pengawasan Pelaku Usaha
                     Pengawasan Pelaku Usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh
                     unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha untuk
                     memperoleh data, informasi dan alat-alat bukti tentang ada
                     tidaknya dugaan persaingan usaha tidak sehat atau praktek
                     monopoli dari Pelaku Usaha atau sebagai upaya mencegah
                     terjadinya pelanggaran.21
                d. Penyelidikan
                e. Pemberkasan;
                f.   Sidang Majelis Komisi; dan
                g. Putusan Komisi.


2.5         Tata Cara Penanganan Perkara yang Diatur Dalam Perma No. 3/2005


            Ada 4 tata cara penanganan perkara terhadap putusan KPPU yang diatur
di dalam Perma No. 5/2005, yaitu:

            1. Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan
               KPPU;
               a. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat betas) hari
                     terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan
                     KPPU dan atau diumumkan melalui website KPPU;
               b. Keberatan diajukan melalui kepaniteraan PN yang bersangkutan
                     sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan
                     memberikan salinan keberatan kepada KPPU;
               c. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha
                     untuk putusan KPPU yang sama, dan memiliki kedudukan hukum
                     yang sama, perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang
                     sama;


20
     Pasal 1 point 3 Perkom No. 1/2010
21
     Pasal 1 point 5 Perkom No. 1/2010
12



               d. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha
                    untuk putusan KPPU yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan
                    hukumnya, KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada
                    Mahkamah Agung (MA) untuk menunjuk salah satu PN disertai
                    usulan pengadilan mana yang akan memeriksa keberatan tersebut;
               e. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), oleh KPPU
                    ditembuskan    kepada     seluruh   Ketua    PN    yang   menerima
                    permohonan keberatan;
               f.   Pengadilan Negeri yang menerima tembusan permohonan tersebut
                    harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan MA;
               g. Setelah permohonan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
                    (4), MA dalam waktu 14 (empat belas) hari menunjuk PN yang
                    memeriksa keberatan tersebut;
               h. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan dari
                    MA, PN yang tidak ditunjuk harus mengirimkan berkas perkara
                    disertai (sisa) biaya perkara ke PN yang ditunjuk22.
            2. Tata cara pemeriksaan keberatan;
               a.    Segera setelah menerima keberatan, Ketua PN menunjuk Majelis
                     Hakim yang sedapat mungkin terdiri dari hakim-hakim yang
                     mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang hukum persaingan
                     usaha;
               b.    Dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib
                     menyerahkan putusan dan berkas perkaranya kepada PN yang
                     memeriksa perkara keberatan pada hari persidangan pertama;
               c.    Pemeriksaan dilakukan tanpa melalui proses mediasi;
               d.    Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan
                     KPPU dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
               e.    Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga
                     puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut;
               f.    Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4),
                     jangka waktu pemeriksaan dihitung kembali sejak Majelis Hakim
                     menerima berkas perkara yang dikirim oleh PN lain yang tidak
                     ditunjuk oleh MA23.


22
     Pasal 4 Perma No. 3/2005
23
     Pasal 5 Perma No. 3/2005.
13



            3. Pemeriksaan tambahan;
               a. Dalam          hal   Majelis   Hakim berpendapat   perlu pemeriksaan
                    tambahan, maka melalui putusan sela memerintahkan kepada
                    KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan;
               b. Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat hal-hal
                    yang harus diperiksa dengan alasan-alasan yang jelas dan jangka
                    waktu pemeriksaan tambahan yang diperlukan;
               c. Dalam hal perkara dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam
                    ayat (1), sisa waktu pemeriksaan keberatan ditangguhkan;
               d. Dengan memperhitungkan sisa waktu sebagaimana dimaksud
                    dalam ayat (3), sidang lanjutan pemeriksaan keberatan harus
                    sudah dimulai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah KPPU
                    menyerahkan berkas pemeriksaan tambahan24.
           4. Pelaksanaan putusan.
               a. Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah
                    diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada PN
                    yang memutus perkara keberatan bersangkutan;
               b. Permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak diajukan
                    keberatan, diajukan kepada PN tempat kedudukan hukum pelaku
                    usaha25.


2.6         Pengerian Putusan

            Ada 3 macam produk yang dihasilkan oleh hakim dalam melakukan
pemeriksaan perkara di pengadilan, yaitu putusan, penetapan, dan akta
perdamaian.

            Putusan dan penetapan merupakan sama-sama pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian dibacakan dalam sidang terbuka
untuk umum atau sidang tertutup (khusus perkara asusila). Perbedaan untuk
keduanya adalah putusan itu merupakan hasil dari pemeriksaan perkara
gugatan, sedangkan penetapan merupakan hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan. Produk hukum lain yang merupakan hasil dari hakim dalam
melakukan pemeriksaan perkara di pengadilan adalah akta perdamaian. Akta ini

24
     Pasal 6 Perma No. 3/2005.
25
     Pasal 7 Perma No. 3/2005.
14



merupakan akta yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa
untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.26

2.7        Jenis-Jenis Putusan

           Putusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan terdiri dari 4 (empat) jenis,
      27
yaitu :

           1. Putusan yang dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara;
             Jenis putusan ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:

             a. Putusan Akhir;

                          Putusan        akhir     adalah        putusan   yang   mengakhiri
                pemeriksaan di persidangan, baik itu perkara yang telah melalui
                semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh
                semua tahapan pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum
                tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri
                pemeriksaan ada 4 (empat) macam, yaitu:

                    putusan gugur;

                    putusan verstek yang tidak diajukan verzet;

                    putusan tidak menerima; dan

                    putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang
                     memeriksa.

             b. Putusan Sela;

                          Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan ketika proses
                pemeriksaan perkara masih berjalan. Tujuan dibuatnya putusan
                sela adalah untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.

           2. Putusan yang dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat
             putusan dijatuhkan;
              a. Putusan gugur;

26
 Andianto, Ahmad. Makalah : Putusan Hakim Dan Eksekusi. Hlm. 1
27
 Ibid, hlm 2-8.
15



          Putusan gugur merupakan putusan yang menyatakan
   bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon
   tidak pernah hadir. Putusan ini dijatuhkan pada sidang pertama
   atau      sesudahnya       sebelum        tahapan     pembacaan
   gugatan/permohonan. Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi
   untuk menjatuhkan putusan gugur, yaitu:
    penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk
      hadir dalam sidang hari itu;
    penggugat/pemohon       ternyata tidak    hadir   dalam sidang
      tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir,
      serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah;
    tergugat/termohon hadir dalam sidang, dan
    tergugat/termohon mohon keputusan.

          Putusan gugur dapat dimintakan banding atau diajukan
   perkara baru lagi.

b. Putusan verstek;
          Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena
   tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil
   secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan.
   Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau
   sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum
   tahapan jawaban tergugat, dan sepanjang tergugat/para tergugat
   semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil
   dengan resmi dan patut. Syarat-syarat menjatuhkan putusan
   verstek adalah sebagai berikut:
    Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam
      sidang hari itu;
    Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak
      pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak
      hadirannya itu karena suatu halangan yang sah;
    Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai
      kewenangan;
    Penggugat hadir dalam sidang, dan
    Penggugat mohon keputusan.
16



                Tergugat bisa melakukan perlawanan atas putusan verstek-
       disebut dengan verzet. Apabila tergugat mengajukan verzet, maka
       putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan
       pada tahap selanjutnya. Putusan verstek yang tidak diajukan
       verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya
       menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum
       tetap.

   c. Putusan kontradiktoir;
                Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat
       dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau
       para pihak. Dalam pemeriksaan putusan kontradiktoir disyaratkan
       bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam
       sidang. Putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.
3. Putusan yang dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara;

  a. Putusan tidak menerima;

                Putusan tidak menerima adalah putusan yang menyatakan
      bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan
      pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan
      pemohon       tidak   diterima   karena   gugatan/permohonan   tidak
      memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil.
      Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban,
      kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak
      beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan
      sebelum tahap jawaban. Putusan ini belum menilai pokok perkara
      (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja.
      Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil
      gugat) tidak dapat diperiksa. Meskipun begitu, putusan ini berlaku
      sebagai putusan akhir.

  b. Putusan menolak gugatan penggugat;

                Putusan menolak gugatan penggugat adalah putusan akhir
      yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan
      dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti. Dalam memeriksa
17



       pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu
       memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok
       gugatan dapat diperiksa dan diadili.

  c.   Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan
       menolak/tidak menerima selebihnya;

             Dalam kasus ini, dalil gugatan ada yang terbukti dan ada
       pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga:

        Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan;

        Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak;

        Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan
          tidak diterima.

  d.   Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;

             Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah
       terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum
       ternyata terbukti. Agar suatu petitum dikabulkan, petitum itu harus
       didukung dengan dalil-dalil gugatan. Misalnya, satu petitum
       mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara
       dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat
       dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin
       dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti.

4. Putusan yang dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang
  ditimbulkan.

  a.   Putusan Diklatoir;

             Putusan diklatoir adalah putusan yang hanya menyatakan
       suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut
       hukum. Semua perkara voluntair (permohonan) diselesaikan
       dengan     putusan     diklatoir   dalam      bentuk   penetapan   atau
       beschikking. Putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan
18



     suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian
     hukum semata terhadap keadaan yang telah ada

b.   Putusan Konstitutif;

     Putusan      konstitutif   adalah    suatu     putusan      yang
     menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan
     keadaan hukum sebelumnya. Keadaan hukum baru tersebut
     dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

          Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum
     seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain. Biasanya
     putusan ini berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain
     bersifat aktif dan bertalian langsung dengan pokok perkara,
     misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya.

c.   Putusan Komdemnatoir;

          Putusan    komdemnatoir adalah putusan       yang bersifat
     menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu,
     atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi
     prestasi. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi
     putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat,
     putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang
     memutusnya. Putusan ini dapat dieksekusi setelah memperoleh
     kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad,
     yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada
     upaya hukum (putusan serta merta).

          Putusan kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk:

           menyerahkan suatu barang;

           membayar sejumlah uang;

           melakukan suatu perbuatan tertentu;

           menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
19



                              mengosongkan tanah/rumah.

2.8          Kekuatan Hukum Putusan

             Ada 3 (tiga) macam kekuatan hukum putusan yang dibuat oleh hakim
dalam menyelesaikan perkara yang ditanganinya, yaitu28:

             1. Putusan yang kekuatannya hukumnya dapat dipaksakan dengan
                bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang tidak menaatinya
                secara sukarela. Kekuatan ini dinamakan eksekutorial;
             2. Putusan hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik
                menurut pengertian Undang-Undang, sehingga ia tidak hanya
                mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang
                berperkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”, artinya terhadap pihak
                ketiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara
                pihak pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara
                sebagaimana diuraikan pula disitu dan dijatuhkannya putusan
                sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut;
             3. Kekuatan ketiga yang melekat pada suatu putusan hakim yang telah
                memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah kekuatan untuk
                “menangkis” suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu
                berdasarkan asas neb is in idem yang berarti bahwa tidak boleh
                dijatuhkan putusan lagi dalam peerkara yang sama. Agar supaya
                “tangkisan” atau “eksepsi” tersebut berhasil dan diterima oleh Hakim
                adalah perlu bahwa perkara yang baru itu akan berjalan antara pihak-
                pihak yang sama dan mengenai hal yang sama pula dengan yang
                dahulu sudak diperiksa dan diputus oleh Hakim dengan putusan yang
                telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu.


2.9          Metode Penelitian

             1. Jenis Penelitian
                     Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atau
             doktrinal yang merupakan penelitian tentang norma-norma hukum dan
             pengertian hukum atau dogmatis hukum, dengan studi kepustakaan29.


28
     Ibid.
29
     Soerjoono Soekantoo dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, In Hilco, Jakarta, hlm. 14.
20



                  Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang terkandung
         dalam rumusan masalah penelitian ini, maka digunakan pendekatan
         sebagai berikut:
                  a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang
                      terkait dengan substansi dari aturan hukum; dan
                  b. Pendekatan          konseptual       (conceptual        approach)        dengan
                      beranjak dari doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
                      hukum.
         2. Jenis dan Sumber Data
             Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
         yang dibedakan dalam30:
             a.    Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
                   dan terdiri dari UUD 1945, UU No. 5/1999, dan Perma No.
                   3/2005.
             b.    Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
                   penjelasan bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai
                   pendapat, doktrin, atau dogma hukum yang tertuang dalam
                   berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak,
                   dan media elektronik.
         3. Teknik Pengumpulan Data
                       Penulis menggunakan pengumpulan data dengan metode
              penelitian kepustakaan (library research). Metode library research
              mempelajari dan menelaah data-data sekunder berupa bahan hukum
              primer, dan bahan hukum sekunder.
         4. Teknik Analisis Data
                       Data sekunder yang diperoleh dan dikumpulkan dalam
              penelitian ini adalah data kualitatif. Sehubungan dengan hal tersebut,
              maka teknik analisis data yang penulis gunakan adalah teknik
              deskriptif kualitatif. Teknik ini merupakan teknik menginterpretasikan
              dan mengdeskripsikan data dalam bentuk narasi yang disusun secara
              deduktif. Sehingga dari proses analisis itu akan ditarik kesimpulan
              yang sesuai dengan hasil analisis tersebut.




30
   Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 113-
114.
BAB III

                     PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN




3.1   Kendala KPPU dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha

      3.1.1   KPPU tidak memiliki hukum acara persaingan usaha yang jelas
              Sejak berdirinya, KPPU dalam menjalankan tugasnya dalam
      menegakkan hukum persaingan belum memiliki dasar hukum acara yang
      kuat. KPPU dalam beracara hanya berdasar pada Peraturan Komisi dan
      Peraturan Mahkamah Agung. Padahal diketahui bahwa dalam hierarki
      perundang-undangan, posisi Peraturan Komisi dan Peraturan Mahkamah
      Agung tidak disebutkan sebagai salah satu dasar hukum sehingga
      posisinya sangat rendah.
              Kondisi di atas mengakibatkan tidak jarang putusan KPPU
      diajukan upaya keberatan oleh pelaku usaha atas dasar tata acara
      pemeriksaan KPPU yang tidak sesuai. Bahkan putusan KPPU pernah
      dibatalkan oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) pada kasus
      tender saham obligasi indomobil, dimana terlapornya adalah PT.
      Trimegah Sekuritas dan PT CSDP. Padahal KPPU bukan badan Tata
      Usaha Negara (TUN).


      3.1.2   KPPU    tidak   memiliki        kewenangan   dalam   mengeksekusi
              Putusannya

              Kendala yang kedua adalah pelaksanaan putusan KPPU. Di
      dalam Pasal 46 UU No. 5/1999 dan Pasal 7 Perma No. 3 Tahun 2005
      memang secara prinsip telah mengatur mengenai KPPU berhak
      mengajukan penetapan eksekusi ke PN terhadap putusan yang tidak
      diajukan keberatan oleh pelaku usaha yang bersengketa (putusan KPPU
      yang telah berkekuatan hukum tetap). Tapi hal tersebut ternyata belum
      cukup “menguatkan” KPPU untuk melakukan eksekusi terhadap putusan
      yang telah berkekuatan hukum tetap yang dibuatnya. Karena, jika PN
      tidak menanggapi atau menolak permohonan eksekusi yang diajukan



                                         21
22



         oleh KPPU, maka putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap
         tersebut tidak mempunyai akibat hukum bagi pelaku usaha yang
         bersengketa. Hal ini berarti, bahwa putusan KPPU adalah putusan yang
         tidak berkekuatan hukum eksekutorial jika PN tidak menanggapi atau
         menerima permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU.

         3.1.3    KPPU begitu lamban dalam penyelesaian perkara

                  KPPU begitu lamban dalam melakukan penyelesaian perkara
         yang mereka tangani. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah perkara yang
         telah ditangani oleh KPPU. Selama kurung waktu 2000 sampai dengan
         2012 hanya sekitar 265 perkara yang telah ditangani. Padahal jumlah
         laporan resmi yang diterima KPPU dalam kurung waktu tersebut
         sebanyak 172631. Jumlah tersebut sudah termasuk dengan 13 (tiga belas)
         kasus besar yang pernah ditangani oleh KPPU. Ketiga belas kasus besar
         tersebut adalah:

         a.   Kasus Indomaret (2001);
         b.   Kasus Tender Divestasi Indomobil (2002);
         c.   Kasus Cineplex 21 (2002);
         d.   Kasus Price Waterhouse Coopers (2003);
         e.   Kasus VLCC Pertamina (2004);
         f.   Kasus Tinta KPU (2004);
         g.   Kasus Carrefour (2005);
         h.   Kasus Semen Gresik (2005);
         i.   Kasus Logo Pertamina (2006);
         j.   Kasus Temasek (2007);
         k.   Kasus Kartel SMS (2007);
         l.   Kasus Astro (2008); dan
         m. Kasus Carrefour (2009)


         3.1.4    Lemahnya Status kelembagaan KPPU




31
  Junaidi. “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Persaingan Usaha yang Sehat”. disampaikan pada
SEMINAR PERSAINGAN USAHA. Merauke, 26 April 2012
23



        Awal berdirinya, KPPU merupakan lembaga yang sangat disegani
oleh pelaku usaha karena kinerjanya dalam upaya menegakkan hukum
persaingan usaha. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, KPPU
mulai memperlihatkan penurunan kualitas kinerja. Gaungnya kini jarang
terdengar lagi. Padahal pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 yang
berskala besar banyak sekali di negeri ini.

        Lemahnya kelembagaan KPPU adalah salah satu problematika
yang sering dibahas diinternal KPPU. Bahkan pegawai KPPU pun pernah
melakukan aksi terkait status kelembagaan KPPU tersebut.

        Ketidak jelasan status KPPU sangat mempengaruhi status
pegawai KPPU yang melaksanakan upaya penegakan hukum. Misalnya,
untuk menjalankan tugas penyelidikan sebagaimana diatur di dalam
KUHAP adalah Polisi dan PNS yang diperbantukan. Sedangkan status
pegawai KPPU bukanlah PNS, sehingga pada prinsipnya proses
penyelidikan di KPPU patut dipertanyakan seabsahannya.

3.1.5   Adanya pembiaran terhadap Kekurangan di KPPU

        Sejak awal berdirinya KPPU sejak itu pula disadari bahwa UU
No.5/1999 memiliki kelemahan. Bahkan Pande Radja Silalahi pernah
mengatakan bahwa UU No. 5 /1999 itu harus diganti karena banyak
membawa cacat bawaan dari lahir. Salah satunya adanya masalah
kewenangan dari KPPU.

        Pengamat hukum persaingan lainnya, Erman Radja Guguk
menjelaskan, UU anti monopoli sekarang nafasnya sudah tidak sesuai
dengan situasi dunia usaha masa kini. “Dulu kala membuat UU ini ada
banyak tekanan, salah satunya terkait Letter Of Intent dengan IMF untuk
perdagangan     bebas.   Baiknya   direvisi   denganm mengusulkan ke
pemerintah dan DPR,” jelasnya.

        Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan
Wanandi mengakui, UU anti monopoli tidak kondusif bagi dunia usaha.
“Semangatnya justru menekan agar harga di pasar turun. Belum lagi
24



         masalah posisi dari KPPU yang tidak pernah ditegaskan oleh pemerintah
         berada dimana,” katanya.

                   Sementara itu Anggota DPR RI Gayus Lumbun menyarankan, jika
         pemangku kepentingan tidak merasa nyaman dengan UU anti monopoli
         terbuka saja untuk direvisi. “DPR dan pemerintah adalah pengawas
         KPPU. Bagi saya, KPPU sudah bekerja optimal dan perlu lebih
         diperkuat,” katanya.

                   Wakil Ketua KPPU Anna Maria Tri Anggraini bahkan mengaku,
         memang ada kekurangan dalam UU Anti monopoli terutama masalah
         kelembagaan dan kewenangan.

                   “Banyak hasil putusan KPPU tidak bisa dieksekusi karena tidak
         punya wewenang untuk itu. Akhirnya kami harus bekerjasama dengan
         kepolisian untuk menindaklanjuti,” katanya.32

                   Dari beberapa pendapat di atas ditambah dengan beberapa
         pendapat lainnya, baik itu berupa artikel di media cetak, elektronik, media
         online yang mengungkapkan banyaknya problematika yang dihadapi
         KPPU dalam menegakkan hukum persaingan usaha. Namun, sampai
         sekarang setelah ± 12 tahun berdirinya, belum ada upaya konkrit yang
         dilakukan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu.

                   Akibatnya, banyak putusan KPPU yang sampai sekarang tidak
         bisa dieksekusi dengan berbagai macam alasan. Selain itu, banyak
         investigator KPPU yang keluar dan memilih untuk mencari pekerjaan
         yang lebih baik.




3.2      Upaya       menjadikan         putusan        KPPU       bisa     berkekuatan          hukum

         eksekutorial

         3.2.1     Pembentukan           Undang-undang             baru      tentang       Pengadilan
                   Persaingan Usaha


32
   http://doniismanto.com/2010/12/09/091210-uu-no-599-sebaiknya-direvisi/?blogsub=confirming#subscribe-
blog diakses pada tanggal 1 November 2012 pukul 16;21
25



                   Membuat produk perundang-undangan terkait pembentukan
         pengadilan persaingan usaha yang baru merupakan salah satu solusi
         terhadap kendala kurang jelasnya tata cara beracara di KPPU.
         Pentingnya ada regulasi setingkat Undang-undang terhadap tata cara
         beracara di KPPU adalah untuk menjamin kepastian hukum acara
         persaingan usaha yang tidak bertentangan dengan regulasi lainnya. Hal
         ini dikarenakan, KPPU selama ini beracara hanya dengan Peraturan
         Komisi33 dan peraturan mahkamah agung34, di mana ke 2 (kedua) aturan
         ini memiliki tingkatan di bawah UU. Sehingga apabila ada pasal dari
         aturan tersebut yang bertentangan dengan UU, maka aturan tersebut
         akan dikesampingkan.35 Misalnya, Apabila terlapor keberatan atas
         putusan KPPU, maka akan diproses harus menggunakan aturan HIR.36
         Sesuai aturan dalalm pasal 393 (1) HIR ditentukan bahwa “ Waktu
         mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat
         diperhatikan acara yang lebih atau lain dari pada yang ditentukan dalam
         reglemen ini”. Oleh karena Perma kedudukannya lebih rendah dari HIR
         maka hukum acara yang diatur HIR yang harus dipatuhi, bukan perma.
                   Alasan lain kenapa             UU pembentukan pengadilan                    khusus
         persaingan usaha adalah karena terdapat kesalahan fundamental di
         dalam UU No. 5/1999. Bagaimana mungkin keadilan dapat ditegakkan
         apabila pihak yang menyelidiki, memeriksa, dan memutus adalah pihak
         yang sama dalam hal ini KPPU. Karena tidak bisa diasumsikan bahwa
         semua manusia Indonesia itu baik hati dan adil. Oleh karena itu,
         seharusnya pengadilan persaingan usaha harus terpisah dari KPPU.
                   Namun, untuk membuat suatu produk hukum bernama undang-
         undang, penulis akui bahwa ini adalah pekerjaan yang sangat sulit karena
         butuh waktu yang lama untuk membuat naskah akademiknya, draf
         undang-undangnya, proses administrasinya serta pertimbangan anggota

33
   Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 yang diperbaharui dengan Peraturan KPPU No. 1 tahun 2010 Tentang
Tata Cara Penanganan perkara di KPPU
34
   Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Perkara
Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.
35
   Asas Hukum, “Lex superiori derogate lege priori (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan
yang lebih rendah)”, lihat pasal 7 UU No. 10 tahun 2004.
36
   HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement, merupakan salah satu sumber hukum acara perdata bagi
daerah Pulau Jawa dan Madura peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku dinegara kita hingga
kini. HIR sebenarnya berasal dari Inlansch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera. IR pertama kali
diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb). 1848 Nomor 16) merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers,
President hooggerechtshof (Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia.
26



    legislative yang dimana kita ketahui penuh dengan kepentingan politik
    disetiap undang-undang yang hendak dibuat.


    3.2.2   Melakukan perbaikan atau revisi UU No. 5/1999

            Pelaksanaan dari opsi pertama bisa dilakukan oleh KPPU dengan
   merevisi    Pasal   46   UU   No.   5/1999.    Adapun    revisi    yang    bisa
   direkomendasikan oleh KPPU adalah menambah 1 (satu) pada Pasal 46
   yaitu Pasal 46A. Pada Pasal 46A ini sebaiknya diatur mengenai kewajiban
   PN untuk menetapkan permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU,
   batas waktu yang diberikan kepada PN dalam menjawab permohonan
   eksekusi KPPU, dan terakhir dalam pelaksanaan eksekusi terhadap
   putusan KPPU yang dilakukan oleh PN. Berikut usulan redaksional yang
   sebaiknya diatur di dalam Pasal 46A:

   1) Pengadilan negeri wajib menetapkan permohonan eksekusi yang
      diajukan oleh KPPU;
   2) Penetapan permohonan eksekusi yang diberikan oleh pengadilan
      negeri kepada KPPU sebagaimana diatur pada ayat (1) dilakukan
      selambat-lambatnya 14 (empat hari) setelah permohonan penetapan
      eksekusi diajukan oleh KPPU;
   3) Pelaksanaan      penetapan   eksekusi      yang   diajukan     oleh    KPPU
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 7
      (tujuh) hari setelah penetapan permohonan eksekusi yang diberikan
      oleh pengadilan negeri kepada KPPU;
   4) Pelaksanaan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (3) dilakukan oleh pengadilan negeri;
   5) Pemberitahuan terhadap hasil pelaksanaan penetapan eksekusi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan selambat-lambatnya 7
      (tujuh) hari oleh pengadilan negeri kepada KPPU.


3.2.3 Mengajukan Pembentukan Peraturan Pemerintah (PP)

      Apabila revisi UU No. 5/1999 dianggap sangat sulit karena keinginan
anggota DPR di negeri ini berbeda-beda walaupun sama-sama dalam komisi.
Di mana keinginannya lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi
27



dan kelompoknya. Maka jika menginginkan perubahan dari UU No. 5/1999
dalam jangka waktu yang relative pendek adalah meminta pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pasal-pasal yang dianggap
tidak sesuai lagi dengan kondisi dunia usaha sekarang ini. Misalnya
mengajukan kepada pemerintah supaya dibuatkan PP terkait tata cara
eksekusi putusan KPPU.

        PP dinilai salah satu solusi terhadap banyaknya pasal-pasal di dalam
UU No. 5/1999 yang tidak relevan dengan perkembangan dunia bisnis
sekarang ini. PP juga dinilai efektif setelah pemerintah mengeluarkan PP
terkait merger dan akuisisi. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah juga
mengeluarkan PP terkait kendala KPPU yang sampai sekarang ini sulit
melaksanakan putusannya.

3.2.4 Membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pihak PN,
        terkait dengan permohonan eksekusi terhadap putusan KPPU yang
        berkekuatan hukum tetap yang diajukan KPPU ke PN.
        Apabila opsi di atas tidak bisa dilaksanakan dikarenakan kurangnya
perhatian pembuat undang-undang dalam melakukan perbaikan lembaga
KPPU terutama untuk perbaikan atas pelaksanaan eksekusi terhadap putusan
KPPU, maka KPPU sebaiknya melakukan ini. Pelaksanaan opsi ini terbilang
lebih mudah dari opsi pertama, dikarenakan KPPU hanya membutuhkan
koordinasi yang intensif dengan pihak PN. Adapun materi yang sebaiknya
diatur di dalam MoU antara KPPU dengan pihak PN adalah materi yang
hampir sama dengan yang diatur di dalam rekomendasi Pasal 46A. Selain itu,
di dalam MoU sebaiknya juga ditambahkan dengan materi yang terkait
dengan mekanisme koordinasi yang harus dilakukan oleh KPPU dan PN
dalam melakukan penetapan eksekusi yang diajukan oleh KPPU kepada
pihak PN. Tujuan penambahan materi adalah menghindari terjadinya
kesalahpaman koordinasi antara KPPU dan PN dalam melakukan eksekusi
putusan KPPU.
3.2.5   Perjuangan Lewat Media

        Kecenderungan keputusan para pengambil kebijakan di Indonesia
akhir-akhir ini adalah berdasarkan pada vonis public akan sesuatu. Banyak
kebijakan yang disahkan oleh pemerintah yang disesuaikan dengan riak-riak
28



rakyat karena gencarnya pemberitaan lewat media. Bahkan, sesuatu yang
salah pun apabila dipoles dengan baik melalui media, maka masyarakat akan
mendukugnya. Apalagi perubahan terhadap UU No. 5/1999 adalah sesuatu
yang positif, maka apabila ada keseriusan dari pimpinan KPPU untuk
melakukan perubahan maka hal itu bukan sesuatu yang mustahil.

      Ada beberapa hal positif yang bisa dihasilkan dari media yaitu ;

      a. Eksistensi KPPU akan semakin diketahui banyak pihak
      b. Pemerintah akan senantiasa peduli (merespon) terhadap masalah-
          masalah yang dihadapi KPPU untuk perbaikan
      c. Pelaku usaha yang divonis bersalah akan merasa malu dan
          akhirnya memiliki itikad untuk menjalankan putusan KPPU dengan
          pertimbangan, investor akan tetap mempercayainya karena telah
          memiliki itikad baik untuk merubah perilakunya.
BAB IV

                                 PENUTUP




4.1   Kesimpulan

      1. Kendala    KPPU    dalam    melakukan    upaya    penegakan    hukum
         persaingan usaha sebagai berikut ;
         a. KPPU tidak memiliki hukum acara persaingan usaha yang jelas
         b. KPPU tidak memiliki kewenangan eksekusi putusan
         c. KPPU lamban dalam penyelesaian perkara
         d. Lemahnya status kelembagaan KPPU
         e. Adanya pembiaran terhadap kekurangan pada KPPU

                Dari kendala yang disebutkan di atas, kendala paling terakhir
         adalah kendala yang paling susah diatasi apabila tidak ada itikad baik
         dari masing-masing pihak yang terkait. Sebab walaupun ke 4 (empat)
         kendala lainnya itu diketahui dan dipahami adanya, jika tidak ada
         keinginan untuk memperbaikinya, maka tidak akan ada perubahan
         yang lebih baik sampai kapan pun di KPPU. Sebagaimana telah
         diketahui, telah banyak artikel berkaitan dengan kendala dan
         kekurangan KPPU dalam eksekusi putusannya yang ditulis oleh pakar
         persaingan usaha, politisi, akademisi dan pihak lainnya namun
         sampai sekarang untuk revisi UU No.5/1999 saja belum pernah
         dilakukan. Padahal draf UU tersebut sudah lama diusulkan ke DPR.



         2. Upaya    supaya    putusan     KPPU   bisa    berkekuatan   hukum
            eksekutorial
            a. Pembentukan UU baru tentang Pengadilan Persaingan Usaha
            b. Melakukan perbaikan atau revisi UU No. 5/1999
            c. Mengajukan Pembentukan PP terkait tata cara eksekusi
                Putusan
            d. Membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pihak
                PN, terkait dengan permohonan eksekusi terhadap putusan



                                      29
30



                KPPU yang berkekuatan hukum tetap yang diajukan KPPU ke
                PN
            e. Perjuangan lewat media
                     Perjuangan lewat media secara langsung tidak berkaitan
            dengan    upaya   untuk     menjadikan    putusan   KPPU   bersifat
            eksekutorial. Akan tetapi, melalui media diharapkan munculnya
            kepedulian terhadap pentingnya ada perbaikan terhadap aturan-
            aturan terkait penegakan hukum di KPPU.


4.2   Rekomendasi

      1. Agar KPPU menjadi lembaga yang bisa menciptakan proses
         persaingan usaha yang sehat, maka KPPU sebaiknya segera
         mengusulkan kepada pembuat undang-undang untuk merevisi UU
         No. 5/1999, khususnya Pasal 46;
      2. Pimpinan KPPU seharusnya lebih serius lagi memperhatikan dan
         memperjuangkan usulan revisi UU yang telah diajukan ke DPR;
      3. Presiden seharusnya tidak sekedar mengeluarkan janji-janji saja
         terkait upaya perbaikan kelembagaan KPPU akan tetapi juga harus
         diaplikasikan terutama terkait tata cara eksekusi putusan KPPU.
      4. Pembuat undang-undang sebaiknya merespon dengan cepat usulan
         revisi UU No. 5/1999 yang diajukan oleh KPPU;
      5. KPPU dan PN harus mempunyai komitmen yang besar dan
         bersungguh-sungguh     untuk     melakukan    kerjasama   dalam   hal
         penetapan dan pelaksanaan ekskusi terhadap putusan KPPU yang
         telah berkekuatan hukum tetap.
31




                           DAFTAR PUSTAKA



Referensi Buku
Nadapdap, Binoto, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, (Jakarta ; Jala Permata
          Aksara, 2009) h.5
Soerjoono Soekantoo dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif.
          Jakarta: In Hilco.
Sunggono, Bambang.. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
          Persada, 2006)
Margono, Suyud, “Hukum Anti Monopoli”, ( Jakarta ; Sinar Grafika, 2009)
Soeparmono, R, “Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi” (Bandung ; Mandar
          Maju, 2005)

Peraturan - Peraturan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara

Internet
 http://www.kppu.go.id/id/workshop-hakim-kppu-ma-hukum-persaingan-usaha-
    sebagai-persentuhan-ilmu-hukum-dan-ekonomi/, diakses pada tanggal 1
    November 2012 Pukul 16;09 WITA
 http://hmibecak.wordpress.com/2010/05/26/tinjauan-yuridis-terhadap-
    kewenangan-luar-biasa-komisi-pengawas-persaingan-usaha-kppu-dalam-
    memberikan-putusan/ diakses pada tanggal 1 November 2012 Pukul 16;13
    Wita
 http://doniismanto.com/2010/12/09/091210-uu-no-599-sebaiknya-
    direvisi/?blogsub=confirming#subscribe-blog diakses pada tanggal 1
    November 2012 pukul 16;21
 http://lawfile.blogspot.com/2011/06/uraian-singkat-hir-rbg-dan-brv.html
    diakses pada tanggal 2 November 2012 Pukul 16;27 WITA
 http://id.scribd.com/doc/22899470/asas-asas-hukum-di-Indonesia

Artikel lainnya
Andianto, Ahmad. Makalah:Putusan Hakim Dan Eksekusi. Hlm. 1
Junaidi. 2012. “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Persaingan
Usaha yang Sehat”. disampaikan pada Seminar Persaingan Usaha. Merauke, 26
April 2012.
Sigit Handoyo Subagiono, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Luar Biasa
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Memberikan
Putusan”.Tesis.

More Related Content

Similar to Bagian inti

HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...
HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...
HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...sucimeidianapratiwi
 
061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...
061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...
061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...EY
 
10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...
10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...
10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...SINDINALURITA1
 
Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...
Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...
Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...chivesradin1
 
1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...
1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...
1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...Chives Radin
 
Hukum bisnis : hukum persaingan usaha
Hukum bisnis : hukum persaingan usahaHukum bisnis : hukum persaingan usaha
Hukum bisnis : hukum persaingan usahaYudha Kusuma
 
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...Hayyu Safitri
 
01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...
01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...
01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...angelaregife
 
10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...
10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...
10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...claramonalisa09
 
HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persa...
HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persa...HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persa...
HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persa...Muhammad Ramadhan
 
Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persaigan bisn...
Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persaigan bisn...Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persaigan bisn...
Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persaigan bisn...AgungAgungPangestu
 
Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...
Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...
Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...Hefti Juliza
 
AntiMonopoli dan persaingan tidak sehat
AntiMonopoli dan persaingan tidak sehatAntiMonopoli dan persaingan tidak sehat
AntiMonopoli dan persaingan tidak sehatPrimajatti Pratiwi
 
HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...
HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...
HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...Dhaifina Fathihah
 
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...megiirianti083
 
Hukum acara persaingan usaha
Hukum acara persaingan usahaHukum acara persaingan usaha
Hukum acara persaingan usahaJon Nizar
 

Similar to Bagian inti (20)

HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...
HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...
HBL 10, SUCI MEIDIANA PRATIWI, HAPZI ALI, ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN BISNIS...
 
061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...
061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...
061 jamaludin 5205220016 pertanggungjawaban pidana terhadap emiten terkait ad...
 
10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...
10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...
10, hbl, sindi nalurita, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak...
 
Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...
Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...
Hbl,chives radin,hapzi ali anti monopoli dan persainagn bisnis tidak sehat ,u...
 
1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...
1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...
1. Hbl,chives radin,prof.hapzi ali,anti monopoli dan persaingan bisnis tidak ...
 
Hukum bisnis : hukum persaingan usaha
Hukum bisnis : hukum persaingan usahaHukum bisnis : hukum persaingan usaha
Hukum bisnis : hukum persaingan usaha
 
Perbankan
PerbankanPerbankan
Perbankan
 
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...
Hbl, hayyu safitri, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak seha...
 
01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...
01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...
01 hbll, angela regife laksmy situmorang, prof. dr. hapzi ali, cma, anti mono...
 
10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...
10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...
10. hbl,clara monalisa,hapzi ali, anti monopoli dan persaingan bisnis tidak s...
 
HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persa...
HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persa...HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persa...
HBL10. Muhammad Rizal Ramadhan, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persa...
 
Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persaigan bisn...
Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persaigan bisn...Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli  persaigan bisn...
Hbl10, agung pangestu, hapzi ali, modul 10 hbl, anti monopoli persaigan bisn...
 
Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...
Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...
Hbl minggu 10, hefti juliza, hapzi ali, anti monopoli dan persaingan usaha, u...
 
AntiMonopoli dan persaingan tidak sehat
AntiMonopoli dan persaingan tidak sehatAntiMonopoli dan persaingan tidak sehat
AntiMonopoli dan persaingan tidak sehat
 
HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...
HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...
HBL, Dhaifina Fathihah, Hapzi Ali, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, ...
 
Uu 19 2003 Pjls
Uu 19 2003 PjlsUu 19 2003 Pjls
Uu 19 2003 Pjls
 
Uu 04 1971
Uu 04 1971Uu 04 1971
Uu 04 1971
 
Tugas & wewenang kppu
Tugas & wewenang kppuTugas & wewenang kppu
Tugas & wewenang kppu
 
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...
Hbl, megi irianti pariakan, hapzi ali, anti moopoli dan persaingan bisnis tid...
 
Hukum acara persaingan usaha
Hukum acara persaingan usahaHukum acara persaingan usaha
Hukum acara persaingan usaha
 

Bagian inti

  • 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an, gejala monopoli dalam bentuk oligopoly sudah hampir menguasai sektor industri. Di samping itu disebutkan bahwa tidak kurang dari 67% usaha di sektor industri dikuasai oleh pengusaha besar yang melakukan praktek monopoli. Hal ini disebabkan karena adanya ijin bagi satu pengusaha untuk mendirikan berbagai macam industri satu-satunya, yang sekaligus diberikan hak impor bahan baku industri satu-satunya pula. Berbagai usaha untuk memiliki berbagai jenis industri besar, hanya akan merugikan industri-industri yang sudah ada sebelumnya, bahkan tidak jarang dapat berakibat adanya penutupan usaha yang umumnya golongan ekonomi lemah. Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya.1 Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di 1 Binoto Nadapdap, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, (Jakarta ; Jala Permata Aksara, 2009) h.5 1
  • 2. 2 sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu pada amanat Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik.2 Ketika pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto berhasil “diturunkan”, ketika itu pula lah Indonesia memasuki “babak baru” dalam melakukan perubahan (reformasi). Salah satu bidang yang menjadi fokus utama pemerintah untuk direformasi kala itu adalah ekonomi. Hal tersebut diwujudkan oleh pemerintah dengan membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Ada 2 (dua) poin penting yang melatarbelakangi pemerintah merasa perlu membuat UU No. 5/1999 kala itu, yaitu: 1. Pemerintah ingin melakukan demokrasi dalam bidang ekonomi dengan cara memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;3 2. Pemerintah menginginkan agar setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional;4 Untuk mewujudkan pelaksanaan UU No. 5/1999 berjalan sesuai dengan latar belakang pembentukannya tersebut, pemerintah kemudian membentuk lembaga pengawas pelaksanaan dari UU No. 5/1999 itu sendiri. Keberadaan lembaga pengawas yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha 2 Ibid 3 Huruf (a) Konsideran UU No. 5/1999. 4 Huruf (b) Konsideran UU No. 5/1999.
  • 3. 3 (KPPU) ini diatur di dalam Bab VI UU No. 5/1999. Pembentukan KPPU diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha dengan lebih cepat, efisien dan efektif sesuai dengan asas dan tujuannya. Sebagai lembaga pengawas pelaksanaan UU No. 5/1999, KPPU diberikan 2 (tugas) utama yaitu: 1. Memberikan saran dan pertimbangan terkait dengan persaingan usaha di Indonesia; dan 2. Melakukan penegakkan hukum persaingan usaha. Pelaksanaan proses penegakkan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU dimulai dari pemeriksaan pendahuluan atas laporan secara tertulis yang disampaikan oleh pelapor. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan pendahuluan dan menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Setelah proses pemeriksaan lanjutan selesai dilaksanakan, KPPU wajib membuat putusan terkait soal telah atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap UU No. 5/19995. Pelaku usaha yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU di Pengadilan Negeri (PN)6. Jika pelaku usaha tersebut tidak mengajukan keberatan atas putusan KPPU, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum yang tetap7 dan harus diterima oleh pelaku usaha tersebut. Agar putusan KPPU tersebut bisa dieksekusi, maka KPPU harus meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN)8. Sehubungan dengan hal tersebut, tampak jelas terlihat bahwa proses penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU tidak berjalan maksimal. Dikarenakan putusan yang diputus oleh KPPU tidak menimbulkan akibat hukum apapun ketika putusan tersebut tidak dieksekusi oleh pihak PN. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya pelaku usaha yang menjalankan putusan KPPU walau sudah terbukti telah melakukan pelanggaran UU No 5/1999 dan telah diputus oleh komisi. Padahal salah satu alasan sosiologis dibentuknya KPPU adalah menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta beban perkara pengadilan yang sudah numpuk, ditambah dunia usaha 5 Pasal 43 UU No. 5/1999 6 Pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999 7 Pasal 46 ayat (1) UU No. 5/1999 8 Pasal 46 ayat (2) UU No. 5/1999
  • 4. 4 membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Sehingga KPPU diharapkan bisa mengambil peranan pengadilan khususnya dalam menangani kasus persaingan usaha tidak sehat secara lebih efektif. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji soal “menjadikan putusan KPPU berkekuatan hukum eksekutorial”. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka muncul pertanyaan terkait dengan pelaksanaan eksekusi putusan yang sudah ditetapkan oleh KPPU. 1. Bagaimana kendala-kendala KPPU dalam melakukan upaya penegakan hukum persaingan usaha ? 2. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan supaya putusan KPPU bisa berkekuatan hukum eksekutorial ? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari tulisan ini adalah; 1. Untuk mengetahui kendala-kendala KPPU dalam melakukan eksekusi putusannya. 2. Untuk memberikan solusi terhadap kendala putusan KPPU yang selama ini tidak bisa dieksekusi karena tidak berkekuatan hukum eksekutorial. 1.4 Sistematika Penulisan Tulisan terkait upaya menjadikan putusan KPPU memiliki kekuatan hukum eksekutorial akan dibagi menjadi 4 (empat) Bab yaitu ; 1. Bab I Pendahuluan Pada bab I pendahuluan ini terdiri dari 4 subbab yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematikan penulisan itu sendiri. Di bagian latar belakang dibahas mengenai sejarah singkat lahirnya KPPU dan proses pelaksanaan penegakkan hukum yang dilakukan oleh KPPU. 2. Bab II Tinjauan Literatur/kerangka teori dan Metode Penelitian Di bab II akan dibahas tentang tujuan pembentukan UU No.5/1999, tugas dan wewenang yang dilakukan oleh KPPU, tata cara
  • 5. 5 penanganan perkara yang diatur dalam UU No. 5/1999, tata cara penangan perkara yang diatur dalam Peraturan Mahakmah Agung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (Perma No.3/2005). Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas mengenai pengertian, jenis-jenis, dan kekuatan hukum putusan. 3. Bab III Pembahasan Hasil Penelitian Kemudian pada bab III akan dideskripsikan secara lengkap dan mendalam kendala-kendala KPPU dalam melakukan eksekusi putusannya dan upaya KPPU untuk menjadikan putusannya berkekuatan hukum eksekutorial. 4. Bab IV Kesimpulan dan saran Terakhir, bab IV berisi kesimpulan dan rekomendasi atau saran yang akan ditawarkan sebagai perbaikan lembaga KPPU khususnya mengenai putusan KPPU itu sendiri.
  • 6. BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Tujuan Pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tujuan pembentukan undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut 9; 1. Menjaga Kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; 2. Kepentingan mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; 3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan 4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. 2.2 Tugas dan Wewenang KPPU Tugas KPPU diatur di dalam Pasal 35 UU No. 5/1999. Ada 7 (tujuh) tugas KPPU yang diatur di dalam Pasal 35 tersebut. Ketujuh tugas itu adalah: 1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; 2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; 3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; 9 Lihat pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 6
  • 7. 7 4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; 5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini; 7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan pada Pasal 36 UU No. 5/1999 KPPU diatur mengenai wewenang KPPU, yaitu: 1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2. melakukan penelitian; 3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan; 4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan; 5. memanggil pelaku usaha; 6. menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999; 7. meminta keterangan dari instansi pemerintah; 8. mendapat, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain; 9. memutuskan atau menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak masyarakat atau pelaku usaha lain; 10. menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran undang-undang ini. 2.3 Tata Cara Pengananan Perkara yang Diatur Dalam UU No. 5/1999 Tata cara penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU diatur di dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 UU No. 5/1999. Di dalam Pasal 38 UU No. 5 1999 disebutkan bahwa proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU dimulai dari pemeriksaan pendahuluan atas laporan secara tertulis yang disampaikan oleh pelapor yang menyertakan identitasnya. Proses pemeriksaan
  • 8. 8 pendahuluan tersebut dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah KPPU menerima laporan.10 Berdasarkan atas laporan tersebut, KPPU wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan dan menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Dalam pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Informasi yang diperoleh oleh KKPU dari pelaku usaha yang diperiksa wajib dirahasikan oleh KPPU dikarenakan hal tersebut dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. Selama proses pemeriksaan lanjutan berlangsung, KPPU dapat memanggil dan mendengar mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain jika hal tersebut dianggap perlu.11 Waktu yang diperlukan oleh KPPU untuk menyelesaikan pemeriksaan lanjutan adalah selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jika dalam waktu 60 (enam puluh) hari tersebut KPPU ternyata belum bisa menyelesaikan proses pemeriksaan lanjutan, maka waktu pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Setelah proses pemeriksaan lanjutan selesai dilaksanakan, maka KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. Putusan hasil pemeriksaan atas penangan perkara yang dilakukan oleh KPPU harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan hasilnya harus segera diberitahukan kepada pelaku usaha.12 Putusan KPPU wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan. Selain itu, pelaku usaha juga wajib menyampaikan laporan pelaksanaan putusan kepada KPPU. Apabila pelaku usaha ingin mengajukan keberatan atas putusan KPPU, maka pelaku usaha tersebut dapat mengajukannya kepada Pengadilan Negeri (PN) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Akan tetapi, jika pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dalam jangka watu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut, maka putusan KPPU telah mempunya kekuatan hukum yang tetap dan pelaku usaha tersebut 10 Pasal 38 UU No. 5/ 1999 11 Pasal 38 UU No. 5/1999 12 Pasal 43 UU No. 5/1999
  • 9. 9 menerima putusan KPPU. Agar putusan KPPU tersebut bisa diekesekusi, maka KPPU harus meminta penetepan eksekusi kepada Pengadilan Negeri13. 2.4 Tata Cara Penanganan Perkara yang Diatur Dalam Peraturan Komisi Pengawas persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2010 (Perkom No. 1 /2010) tentang Tata Cara Penanganan Perkara Terbitnya Perkom No. 1/2010 merupakan amanat dari UU No. 5/1999 yang tertuang pada pasal 38 ayat 4 sebagai berikut ; “Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh komisi. Perkom No. 1/2010 ini meliputi penanganan perkara di KPPU yang didasarkan dari 3 (tiga) sumber perkara yaitu ; 1. Laporan Pelapor; Penanganan perkara berdasarkan Laporan pelapor terdiri atas tahap sebagai berikut ; a. Laporan b. Klarifikasi Klarifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara laporan.14 c. Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan Klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian, dan hasil pengawasan.15 d. Pemberkasan Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani pemberkasan dan penanganan perkara untuk meneliti kembali Laporan Hasil Penyelidikan guna 13 Pasal 44 UU No. 5/1999 14 Pasal 1 point 4 Perkom No. 1/2010 15 Pasal 1 point 6 Perkom No. 1/2010
  • 10. 10 menyusun rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk dilakukan gelar Laporan.16 e. Sidang majelis Komisi Sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi dalam siding yang terbuka untuk umum yang terdiri atas pemeriksaan pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administrative sebagaimana diatur dalam Undang-undang.17 f. Putusan Komisi Putusan Komisi adalah penilaian Majelis Komisi yang dibacakan dalam siding yang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administrative sebagaimana diatur dalam undang- undang.18 2. Laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi; dan Penanganan Perkara berdasarkan Laporan pelapor dengan Permohonan ganti rugi terdiri atas tahap sebagai berikut ; a. Laporan; b. Klarifikasi; c. Sidang majelis Komisi; dan d. Putusan majelis Komisi 3. Inisiatif komisi Penanganan Perkara berdasarkan inisiatif Komisi terdiri atas tahap sebagai berikut ; a. Kajian Kajian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani kajian untuk menganilasa sektor-sektor industri tertentu yang terkait dengan kepentingan umum dan efisiensi nasional dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 19 16 Pasal 1 point 7 Perkom No. 1/2010 17 Pasal 1 point 21 Perkom No. 1/2010 18 Pasal 1 point 10 Perkom No. 1/2010 19 Pasal 1 point 18 Perkom No. 1/2010
  • 11. 11 b. Penelitian Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring pelaku usaha untuk mendapatkan bukti awal dalam perkara inisiatif.20 c. Pengawasan Pelaku Usaha Pengawasan Pelaku Usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha untuk memperoleh data, informasi dan alat-alat bukti tentang ada tidaknya dugaan persaingan usaha tidak sehat atau praktek monopoli dari Pelaku Usaha atau sebagai upaya mencegah terjadinya pelanggaran.21 d. Penyelidikan e. Pemberkasan; f. Sidang Majelis Komisi; dan g. Putusan Komisi. 2.5 Tata Cara Penanganan Perkara yang Diatur Dalam Perma No. 3/2005 Ada 4 tata cara penanganan perkara terhadap putusan KPPU yang diatur di dalam Perma No. 5/2005, yaitu: 1. Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU; a. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat betas) hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU dan atau diumumkan melalui website KPPU; b. Keberatan diajukan melalui kepaniteraan PN yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan memberikan salinan keberatan kepada KPPU; c. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha untuk putusan KPPU yang sama, dan memiliki kedudukan hukum yang sama, perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama; 20 Pasal 1 point 3 Perkom No. 1/2010 21 Pasal 1 point 5 Perkom No. 1/2010
  • 12. 12 d. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha untuk putusan KPPU yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya, KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menunjuk salah satu PN disertai usulan pengadilan mana yang akan memeriksa keberatan tersebut; e. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), oleh KPPU ditembuskan kepada seluruh Ketua PN yang menerima permohonan keberatan; f. Pengadilan Negeri yang menerima tembusan permohonan tersebut harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan MA; g. Setelah permohonan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), MA dalam waktu 14 (empat belas) hari menunjuk PN yang memeriksa keberatan tersebut; h. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan dari MA, PN yang tidak ditunjuk harus mengirimkan berkas perkara disertai (sisa) biaya perkara ke PN yang ditunjuk22. 2. Tata cara pemeriksaan keberatan; a. Segera setelah menerima keberatan, Ketua PN menunjuk Majelis Hakim yang sedapat mungkin terdiri dari hakim-hakim yang mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang hukum persaingan usaha; b. Dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan dan berkas perkaranya kepada PN yang memeriksa perkara keberatan pada hari persidangan pertama; c. Pemeriksaan dilakukan tanpa melalui proses mediasi; d. Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); e. Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut; f. Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), jangka waktu pemeriksaan dihitung kembali sejak Majelis Hakim menerima berkas perkara yang dikirim oleh PN lain yang tidak ditunjuk oleh MA23. 22 Pasal 4 Perma No. 3/2005 23 Pasal 5 Perma No. 3/2005.
  • 13. 13 3. Pemeriksaan tambahan; a. Dalam hal Majelis Hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela memerintahkan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan; b. Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat hal-hal yang harus diperiksa dengan alasan-alasan yang jelas dan jangka waktu pemeriksaan tambahan yang diperlukan; c. Dalam hal perkara dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa waktu pemeriksaan keberatan ditangguhkan; d. Dengan memperhitungkan sisa waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), sidang lanjutan pemeriksaan keberatan harus sudah dimulai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah KPPU menyerahkan berkas pemeriksaan tambahan24. 4. Pelaksanaan putusan. a. Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada PN yang memutus perkara keberatan bersangkutan; b. Permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak diajukan keberatan, diajukan kepada PN tempat kedudukan hukum pelaku usaha25. 2.6 Pengerian Putusan Ada 3 macam produk yang dihasilkan oleh hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara di pengadilan, yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan dan penetapan merupakan sama-sama pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum atau sidang tertutup (khusus perkara asusila). Perbedaan untuk keduanya adalah putusan itu merupakan hasil dari pemeriksaan perkara gugatan, sedangkan penetapan merupakan hasil dari pemeriksaan perkara permohonan. Produk hukum lain yang merupakan hasil dari hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara di pengadilan adalah akta perdamaian. Akta ini 24 Pasal 6 Perma No. 3/2005. 25 Pasal 7 Perma No. 3/2005.
  • 14. 14 merupakan akta yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.26 2.7 Jenis-Jenis Putusan Putusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan terdiri dari 4 (empat) jenis, 27 yaitu : 1. Putusan yang dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara; Jenis putusan ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu: a. Putusan Akhir; Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik itu perkara yang telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan ada 4 (empat) macam, yaitu:  putusan gugur;  putusan verstek yang tidak diajukan verzet;  putusan tidak menerima; dan  putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa. b. Putusan Sela; Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan ketika proses pemeriksaan perkara masih berjalan. Tujuan dibuatnya putusan sela adalah untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. 2. Putusan yang dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan; a. Putusan gugur; 26 Andianto, Ahmad. Makalah : Putusan Hakim Dan Eksekusi. Hlm. 1 27 Ibid, hlm 2-8.
  • 15. 15 Putusan gugur merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir. Putusan ini dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan. Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan putusan gugur, yaitu:  penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu;  penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah;  tergugat/termohon hadir dalam sidang, dan  tergugat/termohon mohon keputusan. Putusan gugur dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi. b. Putusan verstek; Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan. Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, dan sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut. Syarat-syarat menjatuhkan putusan verstek adalah sebagai berikut:  Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu;  Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah;  Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan;  Penggugat hadir dalam sidang, dan  Penggugat mohon keputusan.
  • 16. 16 Tergugat bisa melakukan perlawanan atas putusan verstek- disebut dengan verzet. Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Putusan kontradiktoir; Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak. Dalam pemeriksaan putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding. 3. Putusan yang dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara; a. Putusan tidak menerima; Putusan tidak menerima adalah putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil. Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban. Putusan ini belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa. Meskipun begitu, putusan ini berlaku sebagai putusan akhir. b. Putusan menolak gugatan penggugat; Putusan menolak gugatan penggugat adalah putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti. Dalam memeriksa
  • 17. 17 pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili. c. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya; Dalam kasus ini, dalil gugatan ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga:  Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan;  Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak;  Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima. d. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti. Agar suatu petitum dikabulkan, petitum itu harus didukung dengan dalil-dalil gugatan. Misalnya, satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti. 4. Putusan yang dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan. a. Putusan Diklatoir; Putusan diklatoir adalah putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum. Semua perkara voluntair (permohonan) diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau beschikking. Putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan
  • 18. 18 suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada b. Putusan Konstitutif; Putusan konstitutif adalah suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain. Biasanya putusan ini berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsung dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya. c. Putusan Komdemnatoir; Putusan komdemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya. Putusan ini dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta). Putusan kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk:  menyerahkan suatu barang;  membayar sejumlah uang;  melakukan suatu perbuatan tertentu;  menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
  • 19. 19  mengosongkan tanah/rumah. 2.8 Kekuatan Hukum Putusan Ada 3 (tiga) macam kekuatan hukum putusan yang dibuat oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang ditanganinya, yaitu28: 1. Putusan yang kekuatannya hukumnya dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang tidak menaatinya secara sukarela. Kekuatan ini dinamakan eksekutorial; 2. Putusan hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang, sehingga ia tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang berperkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”, artinya terhadap pihak ketiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan pula disitu dan dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut; 3. Kekuatan ketiga yang melekat pada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah kekuatan untuk “menangkis” suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu berdasarkan asas neb is in idem yang berarti bahwa tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam peerkara yang sama. Agar supaya “tangkisan” atau “eksepsi” tersebut berhasil dan diterima oleh Hakim adalah perlu bahwa perkara yang baru itu akan berjalan antara pihak- pihak yang sama dan mengenai hal yang sama pula dengan yang dahulu sudak diperiksa dan diputus oleh Hakim dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu. 2.9 Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atau doktrinal yang merupakan penelitian tentang norma-norma hukum dan pengertian hukum atau dogmatis hukum, dengan studi kepustakaan29. 28 Ibid. 29 Soerjoono Soekantoo dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, In Hilco, Jakarta, hlm. 14.
  • 20. 20 Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang terkandung dalam rumusan masalah penelitian ini, maka digunakan pendekatan sebagai berikut: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang terkait dengan substansi dari aturan hukum; dan b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan beranjak dari doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dibedakan dalam30: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari UUD 1945, UU No. 5/1999, dan Perma No. 3/2005. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai pendapat, doktrin, atau dogma hukum yang tertuang dalam berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak, dan media elektronik. 3. Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan pengumpulan data dengan metode penelitian kepustakaan (library research). Metode library research mempelajari dan menelaah data-data sekunder berupa bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. 4. Teknik Analisis Data Data sekunder yang diperoleh dan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teknik analisis data yang penulis gunakan adalah teknik deskriptif kualitatif. Teknik ini merupakan teknik menginterpretasikan dan mengdeskripsikan data dalam bentuk narasi yang disusun secara deduktif. Sehingga dari proses analisis itu akan ditarik kesimpulan yang sesuai dengan hasil analisis tersebut. 30 Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 113- 114.
  • 21. BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 3.1 Kendala KPPU dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha 3.1.1 KPPU tidak memiliki hukum acara persaingan usaha yang jelas Sejak berdirinya, KPPU dalam menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum persaingan belum memiliki dasar hukum acara yang kuat. KPPU dalam beracara hanya berdasar pada Peraturan Komisi dan Peraturan Mahkamah Agung. Padahal diketahui bahwa dalam hierarki perundang-undangan, posisi Peraturan Komisi dan Peraturan Mahkamah Agung tidak disebutkan sebagai salah satu dasar hukum sehingga posisinya sangat rendah. Kondisi di atas mengakibatkan tidak jarang putusan KPPU diajukan upaya keberatan oleh pelaku usaha atas dasar tata acara pemeriksaan KPPU yang tidak sesuai. Bahkan putusan KPPU pernah dibatalkan oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) pada kasus tender saham obligasi indomobil, dimana terlapornya adalah PT. Trimegah Sekuritas dan PT CSDP. Padahal KPPU bukan badan Tata Usaha Negara (TUN). 3.1.2 KPPU tidak memiliki kewenangan dalam mengeksekusi Putusannya Kendala yang kedua adalah pelaksanaan putusan KPPU. Di dalam Pasal 46 UU No. 5/1999 dan Pasal 7 Perma No. 3 Tahun 2005 memang secara prinsip telah mengatur mengenai KPPU berhak mengajukan penetapan eksekusi ke PN terhadap putusan yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha yang bersengketa (putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap). Tapi hal tersebut ternyata belum cukup “menguatkan” KPPU untuk melakukan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dibuatnya. Karena, jika PN tidak menanggapi atau menolak permohonan eksekusi yang diajukan 21
  • 22. 22 oleh KPPU, maka putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mempunyai akibat hukum bagi pelaku usaha yang bersengketa. Hal ini berarti, bahwa putusan KPPU adalah putusan yang tidak berkekuatan hukum eksekutorial jika PN tidak menanggapi atau menerima permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU. 3.1.3 KPPU begitu lamban dalam penyelesaian perkara KPPU begitu lamban dalam melakukan penyelesaian perkara yang mereka tangani. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah perkara yang telah ditangani oleh KPPU. Selama kurung waktu 2000 sampai dengan 2012 hanya sekitar 265 perkara yang telah ditangani. Padahal jumlah laporan resmi yang diterima KPPU dalam kurung waktu tersebut sebanyak 172631. Jumlah tersebut sudah termasuk dengan 13 (tiga belas) kasus besar yang pernah ditangani oleh KPPU. Ketiga belas kasus besar tersebut adalah: a. Kasus Indomaret (2001); b. Kasus Tender Divestasi Indomobil (2002); c. Kasus Cineplex 21 (2002); d. Kasus Price Waterhouse Coopers (2003); e. Kasus VLCC Pertamina (2004); f. Kasus Tinta KPU (2004); g. Kasus Carrefour (2005); h. Kasus Semen Gresik (2005); i. Kasus Logo Pertamina (2006); j. Kasus Temasek (2007); k. Kasus Kartel SMS (2007); l. Kasus Astro (2008); dan m. Kasus Carrefour (2009) 3.1.4 Lemahnya Status kelembagaan KPPU 31 Junaidi. “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Persaingan Usaha yang Sehat”. disampaikan pada SEMINAR PERSAINGAN USAHA. Merauke, 26 April 2012
  • 23. 23 Awal berdirinya, KPPU merupakan lembaga yang sangat disegani oleh pelaku usaha karena kinerjanya dalam upaya menegakkan hukum persaingan usaha. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, KPPU mulai memperlihatkan penurunan kualitas kinerja. Gaungnya kini jarang terdengar lagi. Padahal pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 yang berskala besar banyak sekali di negeri ini. Lemahnya kelembagaan KPPU adalah salah satu problematika yang sering dibahas diinternal KPPU. Bahkan pegawai KPPU pun pernah melakukan aksi terkait status kelembagaan KPPU tersebut. Ketidak jelasan status KPPU sangat mempengaruhi status pegawai KPPU yang melaksanakan upaya penegakan hukum. Misalnya, untuk menjalankan tugas penyelidikan sebagaimana diatur di dalam KUHAP adalah Polisi dan PNS yang diperbantukan. Sedangkan status pegawai KPPU bukanlah PNS, sehingga pada prinsipnya proses penyelidikan di KPPU patut dipertanyakan seabsahannya. 3.1.5 Adanya pembiaran terhadap Kekurangan di KPPU Sejak awal berdirinya KPPU sejak itu pula disadari bahwa UU No.5/1999 memiliki kelemahan. Bahkan Pande Radja Silalahi pernah mengatakan bahwa UU No. 5 /1999 itu harus diganti karena banyak membawa cacat bawaan dari lahir. Salah satunya adanya masalah kewenangan dari KPPU. Pengamat hukum persaingan lainnya, Erman Radja Guguk menjelaskan, UU anti monopoli sekarang nafasnya sudah tidak sesuai dengan situasi dunia usaha masa kini. “Dulu kala membuat UU ini ada banyak tekanan, salah satunya terkait Letter Of Intent dengan IMF untuk perdagangan bebas. Baiknya direvisi denganm mengusulkan ke pemerintah dan DPR,” jelasnya. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengakui, UU anti monopoli tidak kondusif bagi dunia usaha. “Semangatnya justru menekan agar harga di pasar turun. Belum lagi
  • 24. 24 masalah posisi dari KPPU yang tidak pernah ditegaskan oleh pemerintah berada dimana,” katanya. Sementara itu Anggota DPR RI Gayus Lumbun menyarankan, jika pemangku kepentingan tidak merasa nyaman dengan UU anti monopoli terbuka saja untuk direvisi. “DPR dan pemerintah adalah pengawas KPPU. Bagi saya, KPPU sudah bekerja optimal dan perlu lebih diperkuat,” katanya. Wakil Ketua KPPU Anna Maria Tri Anggraini bahkan mengaku, memang ada kekurangan dalam UU Anti monopoli terutama masalah kelembagaan dan kewenangan. “Banyak hasil putusan KPPU tidak bisa dieksekusi karena tidak punya wewenang untuk itu. Akhirnya kami harus bekerjasama dengan kepolisian untuk menindaklanjuti,” katanya.32 Dari beberapa pendapat di atas ditambah dengan beberapa pendapat lainnya, baik itu berupa artikel di media cetak, elektronik, media online yang mengungkapkan banyaknya problematika yang dihadapi KPPU dalam menegakkan hukum persaingan usaha. Namun, sampai sekarang setelah ± 12 tahun berdirinya, belum ada upaya konkrit yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu. Akibatnya, banyak putusan KPPU yang sampai sekarang tidak bisa dieksekusi dengan berbagai macam alasan. Selain itu, banyak investigator KPPU yang keluar dan memilih untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. 3.2 Upaya menjadikan putusan KPPU bisa berkekuatan hukum eksekutorial 3.2.1 Pembentukan Undang-undang baru tentang Pengadilan Persaingan Usaha 32 http://doniismanto.com/2010/12/09/091210-uu-no-599-sebaiknya-direvisi/?blogsub=confirming#subscribe- blog diakses pada tanggal 1 November 2012 pukul 16;21
  • 25. 25 Membuat produk perundang-undangan terkait pembentukan pengadilan persaingan usaha yang baru merupakan salah satu solusi terhadap kendala kurang jelasnya tata cara beracara di KPPU. Pentingnya ada regulasi setingkat Undang-undang terhadap tata cara beracara di KPPU adalah untuk menjamin kepastian hukum acara persaingan usaha yang tidak bertentangan dengan regulasi lainnya. Hal ini dikarenakan, KPPU selama ini beracara hanya dengan Peraturan Komisi33 dan peraturan mahkamah agung34, di mana ke 2 (kedua) aturan ini memiliki tingkatan di bawah UU. Sehingga apabila ada pasal dari aturan tersebut yang bertentangan dengan UU, maka aturan tersebut akan dikesampingkan.35 Misalnya, Apabila terlapor keberatan atas putusan KPPU, maka akan diproses harus menggunakan aturan HIR.36 Sesuai aturan dalalm pasal 393 (1) HIR ditentukan bahwa “ Waktu mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat diperhatikan acara yang lebih atau lain dari pada yang ditentukan dalam reglemen ini”. Oleh karena Perma kedudukannya lebih rendah dari HIR maka hukum acara yang diatur HIR yang harus dipatuhi, bukan perma. Alasan lain kenapa UU pembentukan pengadilan khusus persaingan usaha adalah karena terdapat kesalahan fundamental di dalam UU No. 5/1999. Bagaimana mungkin keadilan dapat ditegakkan apabila pihak yang menyelidiki, memeriksa, dan memutus adalah pihak yang sama dalam hal ini KPPU. Karena tidak bisa diasumsikan bahwa semua manusia Indonesia itu baik hati dan adil. Oleh karena itu, seharusnya pengadilan persaingan usaha harus terpisah dari KPPU. Namun, untuk membuat suatu produk hukum bernama undang- undang, penulis akui bahwa ini adalah pekerjaan yang sangat sulit karena butuh waktu yang lama untuk membuat naskah akademiknya, draf undang-undangnya, proses administrasinya serta pertimbangan anggota 33 Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 yang diperbaharui dengan Peraturan KPPU No. 1 tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan perkara di KPPU 34 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Perkara Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU. 35 Asas Hukum, “Lex superiori derogate lege priori (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah)”, lihat pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. 36 HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement, merupakan salah satu sumber hukum acara perdata bagi daerah Pulau Jawa dan Madura peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku dinegara kita hingga kini. HIR sebenarnya berasal dari Inlansch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera. IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb). 1848 Nomor 16) merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President hooggerechtshof (Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia.
  • 26. 26 legislative yang dimana kita ketahui penuh dengan kepentingan politik disetiap undang-undang yang hendak dibuat. 3.2.2 Melakukan perbaikan atau revisi UU No. 5/1999 Pelaksanaan dari opsi pertama bisa dilakukan oleh KPPU dengan merevisi Pasal 46 UU No. 5/1999. Adapun revisi yang bisa direkomendasikan oleh KPPU adalah menambah 1 (satu) pada Pasal 46 yaitu Pasal 46A. Pada Pasal 46A ini sebaiknya diatur mengenai kewajiban PN untuk menetapkan permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU, batas waktu yang diberikan kepada PN dalam menjawab permohonan eksekusi KPPU, dan terakhir dalam pelaksanaan eksekusi terhadap putusan KPPU yang dilakukan oleh PN. Berikut usulan redaksional yang sebaiknya diatur di dalam Pasal 46A: 1) Pengadilan negeri wajib menetapkan permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU; 2) Penetapan permohonan eksekusi yang diberikan oleh pengadilan negeri kepada KPPU sebagaimana diatur pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat hari) setelah permohonan penetapan eksekusi diajukan oleh KPPU; 3) Pelaksanaan penetapan eksekusi yang diajukan oleh KPPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan permohonan eksekusi yang diberikan oleh pengadilan negeri kepada KPPU; 4) Pelaksanaan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh pengadilan negeri; 5) Pemberitahuan terhadap hasil pelaksanaan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari oleh pengadilan negeri kepada KPPU. 3.2.3 Mengajukan Pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) Apabila revisi UU No. 5/1999 dianggap sangat sulit karena keinginan anggota DPR di negeri ini berbeda-beda walaupun sama-sama dalam komisi. Di mana keinginannya lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi
  • 27. 27 dan kelompoknya. Maka jika menginginkan perubahan dari UU No. 5/1999 dalam jangka waktu yang relative pendek adalah meminta pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi dunia usaha sekarang ini. Misalnya mengajukan kepada pemerintah supaya dibuatkan PP terkait tata cara eksekusi putusan KPPU. PP dinilai salah satu solusi terhadap banyaknya pasal-pasal di dalam UU No. 5/1999 yang tidak relevan dengan perkembangan dunia bisnis sekarang ini. PP juga dinilai efektif setelah pemerintah mengeluarkan PP terkait merger dan akuisisi. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah juga mengeluarkan PP terkait kendala KPPU yang sampai sekarang ini sulit melaksanakan putusannya. 3.2.4 Membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pihak PN, terkait dengan permohonan eksekusi terhadap putusan KPPU yang berkekuatan hukum tetap yang diajukan KPPU ke PN. Apabila opsi di atas tidak bisa dilaksanakan dikarenakan kurangnya perhatian pembuat undang-undang dalam melakukan perbaikan lembaga KPPU terutama untuk perbaikan atas pelaksanaan eksekusi terhadap putusan KPPU, maka KPPU sebaiknya melakukan ini. Pelaksanaan opsi ini terbilang lebih mudah dari opsi pertama, dikarenakan KPPU hanya membutuhkan koordinasi yang intensif dengan pihak PN. Adapun materi yang sebaiknya diatur di dalam MoU antara KPPU dengan pihak PN adalah materi yang hampir sama dengan yang diatur di dalam rekomendasi Pasal 46A. Selain itu, di dalam MoU sebaiknya juga ditambahkan dengan materi yang terkait dengan mekanisme koordinasi yang harus dilakukan oleh KPPU dan PN dalam melakukan penetapan eksekusi yang diajukan oleh KPPU kepada pihak PN. Tujuan penambahan materi adalah menghindari terjadinya kesalahpaman koordinasi antara KPPU dan PN dalam melakukan eksekusi putusan KPPU. 3.2.5 Perjuangan Lewat Media Kecenderungan keputusan para pengambil kebijakan di Indonesia akhir-akhir ini adalah berdasarkan pada vonis public akan sesuatu. Banyak kebijakan yang disahkan oleh pemerintah yang disesuaikan dengan riak-riak
  • 28. 28 rakyat karena gencarnya pemberitaan lewat media. Bahkan, sesuatu yang salah pun apabila dipoles dengan baik melalui media, maka masyarakat akan mendukugnya. Apalagi perubahan terhadap UU No. 5/1999 adalah sesuatu yang positif, maka apabila ada keseriusan dari pimpinan KPPU untuk melakukan perubahan maka hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Ada beberapa hal positif yang bisa dihasilkan dari media yaitu ; a. Eksistensi KPPU akan semakin diketahui banyak pihak b. Pemerintah akan senantiasa peduli (merespon) terhadap masalah- masalah yang dihadapi KPPU untuk perbaikan c. Pelaku usaha yang divonis bersalah akan merasa malu dan akhirnya memiliki itikad untuk menjalankan putusan KPPU dengan pertimbangan, investor akan tetap mempercayainya karena telah memiliki itikad baik untuk merubah perilakunya.
  • 29. BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Kendala KPPU dalam melakukan upaya penegakan hukum persaingan usaha sebagai berikut ; a. KPPU tidak memiliki hukum acara persaingan usaha yang jelas b. KPPU tidak memiliki kewenangan eksekusi putusan c. KPPU lamban dalam penyelesaian perkara d. Lemahnya status kelembagaan KPPU e. Adanya pembiaran terhadap kekurangan pada KPPU Dari kendala yang disebutkan di atas, kendala paling terakhir adalah kendala yang paling susah diatasi apabila tidak ada itikad baik dari masing-masing pihak yang terkait. Sebab walaupun ke 4 (empat) kendala lainnya itu diketahui dan dipahami adanya, jika tidak ada keinginan untuk memperbaikinya, maka tidak akan ada perubahan yang lebih baik sampai kapan pun di KPPU. Sebagaimana telah diketahui, telah banyak artikel berkaitan dengan kendala dan kekurangan KPPU dalam eksekusi putusannya yang ditulis oleh pakar persaingan usaha, politisi, akademisi dan pihak lainnya namun sampai sekarang untuk revisi UU No.5/1999 saja belum pernah dilakukan. Padahal draf UU tersebut sudah lama diusulkan ke DPR. 2. Upaya supaya putusan KPPU bisa berkekuatan hukum eksekutorial a. Pembentukan UU baru tentang Pengadilan Persaingan Usaha b. Melakukan perbaikan atau revisi UU No. 5/1999 c. Mengajukan Pembentukan PP terkait tata cara eksekusi Putusan d. Membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pihak PN, terkait dengan permohonan eksekusi terhadap putusan 29
  • 30. 30 KPPU yang berkekuatan hukum tetap yang diajukan KPPU ke PN e. Perjuangan lewat media Perjuangan lewat media secara langsung tidak berkaitan dengan upaya untuk menjadikan putusan KPPU bersifat eksekutorial. Akan tetapi, melalui media diharapkan munculnya kepedulian terhadap pentingnya ada perbaikan terhadap aturan- aturan terkait penegakan hukum di KPPU. 4.2 Rekomendasi 1. Agar KPPU menjadi lembaga yang bisa menciptakan proses persaingan usaha yang sehat, maka KPPU sebaiknya segera mengusulkan kepada pembuat undang-undang untuk merevisi UU No. 5/1999, khususnya Pasal 46; 2. Pimpinan KPPU seharusnya lebih serius lagi memperhatikan dan memperjuangkan usulan revisi UU yang telah diajukan ke DPR; 3. Presiden seharusnya tidak sekedar mengeluarkan janji-janji saja terkait upaya perbaikan kelembagaan KPPU akan tetapi juga harus diaplikasikan terutama terkait tata cara eksekusi putusan KPPU. 4. Pembuat undang-undang sebaiknya merespon dengan cepat usulan revisi UU No. 5/1999 yang diajukan oleh KPPU; 5. KPPU dan PN harus mempunyai komitmen yang besar dan bersungguh-sungguh untuk melakukan kerjasama dalam hal penetapan dan pelaksanaan ekskusi terhadap putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap.
  • 31. 31 DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku Nadapdap, Binoto, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, (Jakarta ; Jala Permata Aksara, 2009) h.5 Soerjoono Soekantoo dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: In Hilco. Sunggono, Bambang.. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006) Margono, Suyud, “Hukum Anti Monopoli”, ( Jakarta ; Sinar Grafika, 2009) Soeparmono, R, “Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi” (Bandung ; Mandar Maju, 2005) Peraturan - Peraturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Internet  http://www.kppu.go.id/id/workshop-hakim-kppu-ma-hukum-persaingan-usaha- sebagai-persentuhan-ilmu-hukum-dan-ekonomi/, diakses pada tanggal 1 November 2012 Pukul 16;09 WITA  http://hmibecak.wordpress.com/2010/05/26/tinjauan-yuridis-terhadap- kewenangan-luar-biasa-komisi-pengawas-persaingan-usaha-kppu-dalam- memberikan-putusan/ diakses pada tanggal 1 November 2012 Pukul 16;13 Wita  http://doniismanto.com/2010/12/09/091210-uu-no-599-sebaiknya- direvisi/?blogsub=confirming#subscribe-blog diakses pada tanggal 1 November 2012 pukul 16;21  http://lawfile.blogspot.com/2011/06/uraian-singkat-hir-rbg-dan-brv.html diakses pada tanggal 2 November 2012 Pukul 16;27 WITA  http://id.scribd.com/doc/22899470/asas-asas-hukum-di-Indonesia Artikel lainnya Andianto, Ahmad. Makalah:Putusan Hakim Dan Eksekusi. Hlm. 1 Junaidi. 2012. “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Persaingan Usaha yang Sehat”. disampaikan pada Seminar Persaingan Usaha. Merauke, 26 April 2012. Sigit Handoyo Subagiono, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Luar Biasa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Memberikan Putusan”.Tesis.