Bab I pendahuluan membahas latar belakang dibentuknya KPPU untuk mengatasi masalah monopoli dan persaingan tidak sehat. Bab II kerangka teori membahas tujuan pembentukan UU No. 5/1999 untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat serta tugas dan wewenang KPPU dalam mengawasi pelaksanaan hukum persaingan.
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak tahun 1980-an, gejala monopoli dalam bentuk oligopoly sudah
hampir menguasai sektor industri. Di samping itu disebutkan bahwa tidak kurang
dari 67% usaha di sektor industri dikuasai oleh pengusaha besar yang
melakukan praktek monopoli. Hal ini disebabkan karena adanya ijin bagi satu
pengusaha untuk mendirikan berbagai macam industri satu-satunya, yang
sekaligus diberikan hak impor bahan baku industri satu-satunya pula. Berbagai
usaha untuk memiliki berbagai jenis industri besar, hanya akan merugikan
industri-industri yang sudah ada sebelumnya, bahkan tidak jarang dapat
berakibat adanya penutupan usaha yang umumnya golongan ekonomi lemah.
Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama
telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya
kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai, didorong oleh
kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan
bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan
Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi
lainnya.1
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan
Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam
pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya
kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan
usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.
Peluang-peluang usaha usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang
lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan
usaha swasta selama periode tersebut di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk
kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di
1
Binoto Nadapdap, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, (Jakarta ; Jala Permata Aksara, 2009) h.5
1
2. 2
sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya
hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha,
baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk
keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu pada amanat
Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak
yang sangat monopolistik.2
Ketika pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto berhasil
“diturunkan”, ketika itu pula lah Indonesia memasuki “babak baru” dalam
melakukan perubahan (reformasi). Salah satu bidang yang menjadi fokus utama
pemerintah untuk direformasi kala itu adalah ekonomi. Hal tersebut diwujudkan
oleh pemerintah dengan membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.
5/1999).
Ada 2 (dua) poin penting yang melatarbelakangi pemerintah merasa perlu
membuat UU No. 5/1999 kala itu, yaitu:
1. Pemerintah ingin melakukan demokrasi dalam bidang ekonomi
dengan cara memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga
negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;3
2. Pemerintah menginginkan agar setiap orang yang berusaha di
Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan
wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan
ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari
kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia
terhadap perjanjian-perjanjian internasional;4
Untuk mewujudkan pelaksanaan UU No. 5/1999 berjalan sesuai dengan
latar belakang pembentukannya tersebut, pemerintah kemudian membentuk
lembaga pengawas pelaksanaan dari UU No. 5/1999 itu sendiri. Keberadaan
lembaga pengawas yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha
2
Ibid
3
Huruf (a) Konsideran UU No. 5/1999.
4
Huruf (b) Konsideran UU No. 5/1999.
3. 3
(KPPU) ini diatur di dalam Bab VI UU No. 5/1999. Pembentukan KPPU
diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha
dengan lebih cepat, efisien dan efektif sesuai dengan asas dan tujuannya.
Sebagai lembaga pengawas pelaksanaan UU No. 5/1999, KPPU
diberikan 2 (tugas) utama yaitu:
1. Memberikan saran dan pertimbangan terkait dengan persaingan usaha
di Indonesia; dan
2. Melakukan penegakkan hukum persaingan usaha.
Pelaksanaan proses penegakkan hukum persaingan usaha yang
dilakukan oleh KPPU dimulai dari pemeriksaan pendahuluan atas laporan secara
tertulis yang disampaikan oleh pelapor. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan
pemeriksaan pendahuluan dan menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan
pemeriksaan lanjutan.
Setelah proses pemeriksaan lanjutan selesai dilaksanakan, KPPU wajib
membuat putusan terkait soal telah atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap
UU No. 5/19995. Pelaku usaha yang terbukti telah melakukan pelanggaran
terhadap UU No. 5/1999 dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU di
Pengadilan Negeri (PN)6. Jika pelaku usaha tersebut tidak mengajukan
keberatan atas putusan KPPU, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum
yang tetap7 dan harus diterima oleh pelaku usaha tersebut. Agar putusan KPPU
tersebut bisa dieksekusi, maka KPPU harus meminta penetapan eksekusi
kepada Pengadilan Negeri (PN)8.
Sehubungan dengan hal tersebut, tampak jelas terlihat bahwa proses
penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU tidak berjalan
maksimal. Dikarenakan putusan yang diputus oleh KPPU tidak menimbulkan
akibat hukum apapun ketika putusan tersebut tidak dieksekusi oleh pihak PN. Hal
tersebut dapat dilihat dari minimnya pelaku usaha yang menjalankan putusan
KPPU walau sudah terbukti telah melakukan pelanggaran UU No 5/1999 dan
telah diputus oleh komisi.
Padahal salah satu alasan sosiologis dibentuknya KPPU adalah
menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
serta beban perkara pengadilan yang sudah numpuk, ditambah dunia usaha
5
Pasal 43 UU No. 5/1999
6
Pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999
7
Pasal 46 ayat (1) UU No. 5/1999
8
Pasal 46 ayat (2) UU No. 5/1999
4. 4
membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat
rahasia. Sehingga KPPU diharapkan bisa mengambil peranan pengadilan
khususnya dalam menangani kasus persaingan usaha tidak sehat secara lebih
efektif. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji soal “menjadikan
putusan KPPU berkekuatan hukum eksekutorial”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka
muncul pertanyaan terkait dengan pelaksanaan eksekusi putusan yang sudah
ditetapkan oleh KPPU.
1. Bagaimana kendala-kendala KPPU dalam melakukan upaya
penegakan hukum persaingan usaha ?
2. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan supaya putusan KPPU bisa
berkekuatan hukum eksekutorial ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah;
1. Untuk mengetahui kendala-kendala KPPU dalam melakukan eksekusi
putusannya.
2. Untuk memberikan solusi terhadap kendala putusan KPPU yang
selama ini tidak bisa dieksekusi karena tidak berkekuatan hukum
eksekutorial.
1.4 Sistematika Penulisan
Tulisan terkait upaya menjadikan putusan KPPU memiliki kekuatan
hukum eksekutorial akan dibagi menjadi 4 (empat) Bab yaitu ;
1. Bab I Pendahuluan
Pada bab I pendahuluan ini terdiri dari 4 subbab yaitu latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematikan penulisan itu
sendiri. Di bagian latar belakang dibahas mengenai sejarah singkat
lahirnya KPPU dan proses pelaksanaan penegakkan hukum yang
dilakukan oleh KPPU.
2. Bab II Tinjauan Literatur/kerangka teori dan Metode Penelitian
Di bab II akan dibahas tentang tujuan pembentukan UU No.5/1999,
tugas dan wewenang yang dilakukan oleh KPPU, tata cara
5. 5
penanganan perkara yang diatur dalam UU No. 5/1999, tata cara
penangan perkara yang diatur dalam Peraturan Mahakmah Agung
Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan Terhadap Putusan KPPU (Perma No.3/2005). Selain itu,
pada bab ini juga akan dibahas mengenai pengertian, jenis-jenis, dan
kekuatan hukum putusan.
3. Bab III Pembahasan Hasil Penelitian
Kemudian pada bab III akan dideskripsikan secara lengkap dan
mendalam kendala-kendala KPPU dalam melakukan eksekusi
putusannya dan upaya KPPU untuk menjadikan putusannya
berkekuatan hukum eksekutorial.
4. Bab IV Kesimpulan dan saran
Terakhir, bab IV berisi kesimpulan dan rekomendasi atau saran yang
akan ditawarkan sebagai perbaikan lembaga KPPU khususnya
mengenai putusan KPPU itu sendiri.
6. BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Tujuan Pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tujuan pembentukan undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut 9;
1. Menjaga Kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
2. Kepentingan mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin
adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
2.2 Tugas dan Wewenang KPPU
Tugas KPPU diatur di dalam Pasal 35 UU No. 5/1999. Ada 7 (tujuh)
tugas KPPU yang diatur di dalam Pasal 35 tersebut. Ketujuh tugas itu adalah:
1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
9
Lihat pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999
6
7. 7
4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 36;
5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
Undang-undang ini;
7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan pada Pasal 36 UU No. 5/1999 KPPU diatur mengenai
wewenang KPPU, yaitu:
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan;
4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan;
5. memanggil pelaku usaha;
6. menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999;
7. meminta keterangan dari instansi pemerintah;
8. mendapat, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain;
9. memutuskan atau menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak
masyarakat atau pelaku usaha lain;
10. menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran undang-undang ini.
2.3 Tata Cara Pengananan Perkara yang Diatur Dalam UU No. 5/1999
Tata cara penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU diatur di dalam
Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 UU No. 5/1999. Di dalam Pasal 38 UU No. 5
1999 disebutkan bahwa proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU
dimulai dari pemeriksaan pendahuluan atas laporan secara tertulis yang
disampaikan oleh pelapor yang menyertakan identitasnya. Proses pemeriksaan
8. 8
pendahuluan tersebut dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah KPPU menerima laporan.10
Berdasarkan atas laporan tersebut, KPPU wajib melakukan pemeriksaan
pendahuluan dan menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan
lanjutan. Dalam pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib melakukan pemeriksaan
terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. Informasi yang diperoleh oleh KKPU
dari pelaku usaha yang diperiksa wajib dirahasikan oleh KPPU dikarenakan hal
tersebut dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. Selama proses pemeriksaan
lanjutan berlangsung, KPPU dapat memanggil dan mendengar mendengar
keterangan saksi, saksi ahli, dan/atau pihak lain jika hal tersebut dianggap
perlu.11
Waktu yang diperlukan oleh KPPU untuk menyelesaikan pemeriksaan
lanjutan adalah selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan
pemeriksaan lanjutan. Jika dalam waktu 60 (enam puluh) hari tersebut KPPU
ternyata belum bisa menyelesaikan proses pemeriksaan lanjutan, maka waktu
pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Setelah proses pemeriksaan lanjutan selesai dilaksanakan, maka KPPU wajib
memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5/1999
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan
lanjutan. Putusan hasil pemeriksaan atas penangan perkara yang dilakukan oleh
KPPU harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk
umum dan hasilnya harus segera diberitahukan kepada pelaku usaha.12
Putusan KPPU wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam waktu 30
(tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan. Selain
itu, pelaku usaha juga wajib menyampaikan laporan pelaksanaan putusan
kepada KPPU. Apabila pelaku usaha ingin mengajukan keberatan atas putusan
KPPU, maka pelaku usaha tersebut dapat mengajukannya kepada Pengadilan
Negeri (PN) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Akan tetapi, jika pelaku usaha tidak
mengajukan keberatan dalam jangka watu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut, maka putusan KPPU
telah mempunya kekuatan hukum yang tetap dan pelaku usaha tersebut
10
Pasal 38 UU No. 5/ 1999
11
Pasal 38 UU No. 5/1999
12
Pasal 43 UU No. 5/1999
9. 9
menerima putusan KPPU. Agar putusan KPPU tersebut bisa diekesekusi, maka
KPPU harus meminta penetepan eksekusi kepada Pengadilan Negeri13.
2.4 Tata Cara Penanganan Perkara yang Diatur Dalam Peraturan Komisi
Pengawas persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 1 tahun
2010 (Perkom No. 1 /2010) tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Terbitnya Perkom No. 1/2010 merupakan amanat dari UU No. 5/1999
yang tertuang pada pasal 38 ayat 4 sebagai berikut ;
“Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh komisi.
Perkom No. 1/2010 ini meliputi penanganan perkara di KPPU yang
didasarkan dari 3 (tiga) sumber perkara yaitu ;
1. Laporan Pelapor;
Penanganan perkara berdasarkan Laporan pelapor terdiri atas tahap
sebagai berikut ;
a. Laporan
b. Klarifikasi
Klarifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara
laporan.14
c. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Investigator untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai
kelengkapan dan kejelasan laporan Klarifikasi, laporan hasil
kajian, hasil penelitian, dan hasil pengawasan.15
d. Pemberkasan
Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
unit kerja yang menangani pemberkasan dan penanganan perkara
untuk meneliti kembali Laporan Hasil Penyelidikan guna
13
Pasal 44 UU No. 5/1999
14
Pasal 1 point 4 Perkom No. 1/2010
15
Pasal 1 point 6 Perkom No. 1/2010
10. 10
menyusun rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk
dilakukan gelar Laporan.16
e. Sidang majelis Komisi
Sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Majelis Komisi dalam siding yang terbuka untuk
umum yang terdiri atas pemeriksaan pendahuluan dan
Pemeriksaan Lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti
pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan
administrative sebagaimana diatur dalam Undang-undang.17
f. Putusan Komisi
Putusan Komisi adalah penilaian Majelis Komisi yang dibacakan
dalam siding yang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau
tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa
tindakan administrative sebagaimana diatur dalam undang-
undang.18
2. Laporan pelapor dengan permohonan ganti rugi; dan
Penanganan Perkara berdasarkan Laporan pelapor dengan
Permohonan ganti rugi terdiri atas tahap sebagai berikut ;
a. Laporan;
b. Klarifikasi;
c. Sidang majelis Komisi; dan
d. Putusan majelis Komisi
3. Inisiatif komisi
Penanganan Perkara berdasarkan inisiatif Komisi terdiri atas tahap
sebagai berikut ;
a. Kajian
Kajian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
menangani kajian untuk menganilasa sektor-sektor industri
tertentu yang terkait dengan kepentingan umum dan efisiensi
nasional dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
19
16
Pasal 1 point 7 Perkom No. 1/2010
17
Pasal 1 point 21 Perkom No. 1/2010
18
Pasal 1 point 10 Perkom No. 1/2010
19
Pasal 1 point 18 Perkom No. 1/2010
11. 11
b. Penelitian
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
menangani monitoring pelaku usaha untuk mendapatkan bukti
awal dalam perkara inisiatif.20
c. Pengawasan Pelaku Usaha
Pengawasan Pelaku Usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh
unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha untuk
memperoleh data, informasi dan alat-alat bukti tentang ada
tidaknya dugaan persaingan usaha tidak sehat atau praktek
monopoli dari Pelaku Usaha atau sebagai upaya mencegah
terjadinya pelanggaran.21
d. Penyelidikan
e. Pemberkasan;
f. Sidang Majelis Komisi; dan
g. Putusan Komisi.
2.5 Tata Cara Penanganan Perkara yang Diatur Dalam Perma No. 3/2005
Ada 4 tata cara penanganan perkara terhadap putusan KPPU yang diatur
di dalam Perma No. 5/2005, yaitu:
1. Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan
KPPU;
a. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat betas) hari
terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan
KPPU dan atau diumumkan melalui website KPPU;
b. Keberatan diajukan melalui kepaniteraan PN yang bersangkutan
sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan
memberikan salinan keberatan kepada KPPU;
c. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha
untuk putusan KPPU yang sama, dan memiliki kedudukan hukum
yang sama, perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang
sama;
20
Pasal 1 point 3 Perkom No. 1/2010
21
Pasal 1 point 5 Perkom No. 1/2010
12. 12
d. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha
untuk putusan KPPU yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan
hukumnya, KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada
Mahkamah Agung (MA) untuk menunjuk salah satu PN disertai
usulan pengadilan mana yang akan memeriksa keberatan tersebut;
e. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), oleh KPPU
ditembuskan kepada seluruh Ketua PN yang menerima
permohonan keberatan;
f. Pengadilan Negeri yang menerima tembusan permohonan tersebut
harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukan MA;
g. Setelah permohonan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), MA dalam waktu 14 (empat belas) hari menunjuk PN yang
memeriksa keberatan tersebut;
h. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan dari
MA, PN yang tidak ditunjuk harus mengirimkan berkas perkara
disertai (sisa) biaya perkara ke PN yang ditunjuk22.
2. Tata cara pemeriksaan keberatan;
a. Segera setelah menerima keberatan, Ketua PN menunjuk Majelis
Hakim yang sedapat mungkin terdiri dari hakim-hakim yang
mempunyai pengetahuan yang cukup dibidang hukum persaingan
usaha;
b. Dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib
menyerahkan putusan dan berkas perkaranya kepada PN yang
memeriksa perkara keberatan pada hari persidangan pertama;
c. Pemeriksaan dilakukan tanpa melalui proses mediasi;
d. Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan
KPPU dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
e. Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut;
f. Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4),
jangka waktu pemeriksaan dihitung kembali sejak Majelis Hakim
menerima berkas perkara yang dikirim oleh PN lain yang tidak
ditunjuk oleh MA23.
22
Pasal 4 Perma No. 3/2005
23
Pasal 5 Perma No. 3/2005.
13. 13
3. Pemeriksaan tambahan;
a. Dalam hal Majelis Hakim berpendapat perlu pemeriksaan
tambahan, maka melalui putusan sela memerintahkan kepada
KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan;
b. Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat hal-hal
yang harus diperiksa dengan alasan-alasan yang jelas dan jangka
waktu pemeriksaan tambahan yang diperlukan;
c. Dalam hal perkara dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), sisa waktu pemeriksaan keberatan ditangguhkan;
d. Dengan memperhitungkan sisa waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), sidang lanjutan pemeriksaan keberatan harus
sudah dimulai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah KPPU
menyerahkan berkas pemeriksaan tambahan24.
4. Pelaksanaan putusan.
a. Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah
diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada PN
yang memutus perkara keberatan bersangkutan;
b. Permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak diajukan
keberatan, diajukan kepada PN tempat kedudukan hukum pelaku
usaha25.
2.6 Pengerian Putusan
Ada 3 macam produk yang dihasilkan oleh hakim dalam melakukan
pemeriksaan perkara di pengadilan, yaitu putusan, penetapan, dan akta
perdamaian.
Putusan dan penetapan merupakan sama-sama pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian dibacakan dalam sidang terbuka
untuk umum atau sidang tertutup (khusus perkara asusila). Perbedaan untuk
keduanya adalah putusan itu merupakan hasil dari pemeriksaan perkara
gugatan, sedangkan penetapan merupakan hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan. Produk hukum lain yang merupakan hasil dari hakim dalam
melakukan pemeriksaan perkara di pengadilan adalah akta perdamaian. Akta ini
24
Pasal 6 Perma No. 3/2005.
25
Pasal 7 Perma No. 3/2005.
14. 14
merupakan akta yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa
untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.26
2.7 Jenis-Jenis Putusan
Putusan yang dibuat oleh hakim di pengadilan terdiri dari 4 (empat) jenis,
27
yaitu :
1. Putusan yang dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara;
Jenis putusan ini terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:
a. Putusan Akhir;
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri
pemeriksaan di persidangan, baik itu perkara yang telah melalui
semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh
semua tahapan pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum
tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri
pemeriksaan ada 4 (empat) macam, yaitu:
putusan gugur;
putusan verstek yang tidak diajukan verzet;
putusan tidak menerima; dan
putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang
memeriksa.
b. Putusan Sela;
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan ketika proses
pemeriksaan perkara masih berjalan. Tujuan dibuatnya putusan
sela adalah untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.
2. Putusan yang dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat
putusan dijatuhkan;
a. Putusan gugur;
26
Andianto, Ahmad. Makalah : Putusan Hakim Dan Eksekusi. Hlm. 1
27
Ibid, hlm 2-8.
15. 15
Putusan gugur merupakan putusan yang menyatakan
bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon
tidak pernah hadir. Putusan ini dijatuhkan pada sidang pertama
atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan
gugatan/permohonan. Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi
untuk menjatuhkan putusan gugur, yaitu:
penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk
hadir dalam sidang hari itu;
penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang
tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir,
serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah;
tergugat/termohon hadir dalam sidang, dan
tergugat/termohon mohon keputusan.
Putusan gugur dapat dimintakan banding atau diajukan
perkara baru lagi.
b. Putusan verstek;
Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena
tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil
secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan.
Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau
sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum
tahapan jawaban tergugat, dan sepanjang tergugat/para tergugat
semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil
dengan resmi dan patut. Syarat-syarat menjatuhkan putusan
verstek adalah sebagai berikut:
Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam
sidang hari itu;
Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak
pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak
hadirannya itu karena suatu halangan yang sah;
Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai
kewenangan;
Penggugat hadir dalam sidang, dan
Penggugat mohon keputusan.
16. 16
Tergugat bisa melakukan perlawanan atas putusan verstek-
disebut dengan verzet. Apabila tergugat mengajukan verzet, maka
putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan
pada tahap selanjutnya. Putusan verstek yang tidak diajukan
verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya
menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
c. Putusan kontradiktoir;
Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat
dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau
para pihak. Dalam pemeriksaan putusan kontradiktoir disyaratkan
bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam
sidang. Putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.
3. Putusan yang dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara;
a. Putusan tidak menerima;
Putusan tidak menerima adalah putusan yang menyatakan
bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan
pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan
pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak
memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil.
Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban,
kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak
beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan
sebelum tahap jawaban. Putusan ini belum menilai pokok perkara
(dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja.
Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil
gugat) tidak dapat diperiksa. Meskipun begitu, putusan ini berlaku
sebagai putusan akhir.
b. Putusan menolak gugatan penggugat;
Putusan menolak gugatan penggugat adalah putusan akhir
yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan
dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti. Dalam memeriksa
17. 17
pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu
memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok
gugatan dapat diperiksa dan diadili.
c. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan
menolak/tidak menerima selebihnya;
Dalam kasus ini, dalil gugatan ada yang terbukti dan ada
pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga:
Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan;
Dalil gugat yang tidak terbukti makan tuntutannya ditolak;
Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan
tidak diterima.
d. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah
terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum
ternyata terbukti. Agar suatu petitum dikabulkan, petitum itu harus
didukung dengan dalil-dalil gugatan. Misalnya, satu petitum
mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara
dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat
dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin
dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti.
4. Putusan yang dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang
ditimbulkan.
a. Putusan Diklatoir;
Putusan diklatoir adalah putusan yang hanya menyatakan
suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut
hukum. Semua perkara voluntair (permohonan) diselesaikan
dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau
beschikking. Putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan
18. 18
suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian
hukum semata terhadap keadaan yang telah ada
b. Putusan Konstitutif;
Putusan konstitutif adalah suatu putusan yang
menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan
keadaan hukum sebelumnya. Keadaan hukum baru tersebut
dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum
seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain. Biasanya
putusan ini berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain
bersifat aktif dan bertalian langsung dengan pokok perkara,
misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya.
c. Putusan Komdemnatoir;
Putusan komdemnatoir adalah putusan yang bersifat
menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu,
atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi
prestasi. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi
putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat,
putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang
memutusnya. Putusan ini dapat dieksekusi setelah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad,
yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada
upaya hukum (putusan serta merta).
Putusan kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk:
menyerahkan suatu barang;
membayar sejumlah uang;
melakukan suatu perbuatan tertentu;
menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
19. 19
mengosongkan tanah/rumah.
2.8 Kekuatan Hukum Putusan
Ada 3 (tiga) macam kekuatan hukum putusan yang dibuat oleh hakim
dalam menyelesaikan perkara yang ditanganinya, yaitu28:
1. Putusan yang kekuatannya hukumnya dapat dipaksakan dengan
bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang tidak menaatinya
secara sukarela. Kekuatan ini dinamakan eksekutorial;
2. Putusan hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik
menurut pengertian Undang-Undang, sehingga ia tidak hanya
mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang
berperkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”, artinya terhadap pihak
ketiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara
pihak pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara
sebagaimana diuraikan pula disitu dan dijatuhkannya putusan
sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut;
3. Kekuatan ketiga yang melekat pada suatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah kekuatan untuk
“menangkis” suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu
berdasarkan asas neb is in idem yang berarti bahwa tidak boleh
dijatuhkan putusan lagi dalam peerkara yang sama. Agar supaya
“tangkisan” atau “eksepsi” tersebut berhasil dan diterima oleh Hakim
adalah perlu bahwa perkara yang baru itu akan berjalan antara pihak-
pihak yang sama dan mengenai hal yang sama pula dengan yang
dahulu sudak diperiksa dan diputus oleh Hakim dengan putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu.
2.9 Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif atau
doktrinal yang merupakan penelitian tentang norma-norma hukum dan
pengertian hukum atau dogmatis hukum, dengan studi kepustakaan29.
28
Ibid.
29
Soerjoono Soekantoo dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, In Hilco, Jakarta, hlm. 14.
20. 20
Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang terkandung
dalam rumusan masalah penelitian ini, maka digunakan pendekatan
sebagai berikut:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang
terkait dengan substansi dari aturan hukum; dan
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan
beranjak dari doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang dibedakan dalam30:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
dan terdiri dari UUD 1945, UU No. 5/1999, dan Perma No.
3/2005.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai
pendapat, doktrin, atau dogma hukum yang tertuang dalam
berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak,
dan media elektronik.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan pengumpulan data dengan metode
penelitian kepustakaan (library research). Metode library research
mempelajari dan menelaah data-data sekunder berupa bahan hukum
primer, dan bahan hukum sekunder.
4. Teknik Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh dan dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data kualitatif. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka teknik analisis data yang penulis gunakan adalah teknik
deskriptif kualitatif. Teknik ini merupakan teknik menginterpretasikan
dan mengdeskripsikan data dalam bentuk narasi yang disusun secara
deduktif. Sehingga dari proses analisis itu akan ditarik kesimpulan
yang sesuai dengan hasil analisis tersebut.
30
Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 113-
114.
21. BAB III
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
3.1 Kendala KPPU dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha
3.1.1 KPPU tidak memiliki hukum acara persaingan usaha yang jelas
Sejak berdirinya, KPPU dalam menjalankan tugasnya dalam
menegakkan hukum persaingan belum memiliki dasar hukum acara yang
kuat. KPPU dalam beracara hanya berdasar pada Peraturan Komisi dan
Peraturan Mahkamah Agung. Padahal diketahui bahwa dalam hierarki
perundang-undangan, posisi Peraturan Komisi dan Peraturan Mahkamah
Agung tidak disebutkan sebagai salah satu dasar hukum sehingga
posisinya sangat rendah.
Kondisi di atas mengakibatkan tidak jarang putusan KPPU
diajukan upaya keberatan oleh pelaku usaha atas dasar tata acara
pemeriksaan KPPU yang tidak sesuai. Bahkan putusan KPPU pernah
dibatalkan oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) pada kasus
tender saham obligasi indomobil, dimana terlapornya adalah PT.
Trimegah Sekuritas dan PT CSDP. Padahal KPPU bukan badan Tata
Usaha Negara (TUN).
3.1.2 KPPU tidak memiliki kewenangan dalam mengeksekusi
Putusannya
Kendala yang kedua adalah pelaksanaan putusan KPPU. Di
dalam Pasal 46 UU No. 5/1999 dan Pasal 7 Perma No. 3 Tahun 2005
memang secara prinsip telah mengatur mengenai KPPU berhak
mengajukan penetapan eksekusi ke PN terhadap putusan yang tidak
diajukan keberatan oleh pelaku usaha yang bersengketa (putusan KPPU
yang telah berkekuatan hukum tetap). Tapi hal tersebut ternyata belum
cukup “menguatkan” KPPU untuk melakukan eksekusi terhadap putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap yang dibuatnya. Karena, jika PN
tidak menanggapi atau menolak permohonan eksekusi yang diajukan
21
22. 22
oleh KPPU, maka putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap
tersebut tidak mempunyai akibat hukum bagi pelaku usaha yang
bersengketa. Hal ini berarti, bahwa putusan KPPU adalah putusan yang
tidak berkekuatan hukum eksekutorial jika PN tidak menanggapi atau
menerima permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU.
3.1.3 KPPU begitu lamban dalam penyelesaian perkara
KPPU begitu lamban dalam melakukan penyelesaian perkara
yang mereka tangani. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah perkara yang
telah ditangani oleh KPPU. Selama kurung waktu 2000 sampai dengan
2012 hanya sekitar 265 perkara yang telah ditangani. Padahal jumlah
laporan resmi yang diterima KPPU dalam kurung waktu tersebut
sebanyak 172631. Jumlah tersebut sudah termasuk dengan 13 (tiga belas)
kasus besar yang pernah ditangani oleh KPPU. Ketiga belas kasus besar
tersebut adalah:
a. Kasus Indomaret (2001);
b. Kasus Tender Divestasi Indomobil (2002);
c. Kasus Cineplex 21 (2002);
d. Kasus Price Waterhouse Coopers (2003);
e. Kasus VLCC Pertamina (2004);
f. Kasus Tinta KPU (2004);
g. Kasus Carrefour (2005);
h. Kasus Semen Gresik (2005);
i. Kasus Logo Pertamina (2006);
j. Kasus Temasek (2007);
k. Kasus Kartel SMS (2007);
l. Kasus Astro (2008); dan
m. Kasus Carrefour (2009)
3.1.4 Lemahnya Status kelembagaan KPPU
31
Junaidi. “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Persaingan Usaha yang Sehat”. disampaikan pada
SEMINAR PERSAINGAN USAHA. Merauke, 26 April 2012
23. 23
Awal berdirinya, KPPU merupakan lembaga yang sangat disegani
oleh pelaku usaha karena kinerjanya dalam upaya menegakkan hukum
persaingan usaha. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, KPPU
mulai memperlihatkan penurunan kualitas kinerja. Gaungnya kini jarang
terdengar lagi. Padahal pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 yang
berskala besar banyak sekali di negeri ini.
Lemahnya kelembagaan KPPU adalah salah satu problematika
yang sering dibahas diinternal KPPU. Bahkan pegawai KPPU pun pernah
melakukan aksi terkait status kelembagaan KPPU tersebut.
Ketidak jelasan status KPPU sangat mempengaruhi status
pegawai KPPU yang melaksanakan upaya penegakan hukum. Misalnya,
untuk menjalankan tugas penyelidikan sebagaimana diatur di dalam
KUHAP adalah Polisi dan PNS yang diperbantukan. Sedangkan status
pegawai KPPU bukanlah PNS, sehingga pada prinsipnya proses
penyelidikan di KPPU patut dipertanyakan seabsahannya.
3.1.5 Adanya pembiaran terhadap Kekurangan di KPPU
Sejak awal berdirinya KPPU sejak itu pula disadari bahwa UU
No.5/1999 memiliki kelemahan. Bahkan Pande Radja Silalahi pernah
mengatakan bahwa UU No. 5 /1999 itu harus diganti karena banyak
membawa cacat bawaan dari lahir. Salah satunya adanya masalah
kewenangan dari KPPU.
Pengamat hukum persaingan lainnya, Erman Radja Guguk
menjelaskan, UU anti monopoli sekarang nafasnya sudah tidak sesuai
dengan situasi dunia usaha masa kini. “Dulu kala membuat UU ini ada
banyak tekanan, salah satunya terkait Letter Of Intent dengan IMF untuk
perdagangan bebas. Baiknya direvisi denganm mengusulkan ke
pemerintah dan DPR,” jelasnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan
Wanandi mengakui, UU anti monopoli tidak kondusif bagi dunia usaha.
“Semangatnya justru menekan agar harga di pasar turun. Belum lagi
24. 24
masalah posisi dari KPPU yang tidak pernah ditegaskan oleh pemerintah
berada dimana,” katanya.
Sementara itu Anggota DPR RI Gayus Lumbun menyarankan, jika
pemangku kepentingan tidak merasa nyaman dengan UU anti monopoli
terbuka saja untuk direvisi. “DPR dan pemerintah adalah pengawas
KPPU. Bagi saya, KPPU sudah bekerja optimal dan perlu lebih
diperkuat,” katanya.
Wakil Ketua KPPU Anna Maria Tri Anggraini bahkan mengaku,
memang ada kekurangan dalam UU Anti monopoli terutama masalah
kelembagaan dan kewenangan.
“Banyak hasil putusan KPPU tidak bisa dieksekusi karena tidak
punya wewenang untuk itu. Akhirnya kami harus bekerjasama dengan
kepolisian untuk menindaklanjuti,” katanya.32
Dari beberapa pendapat di atas ditambah dengan beberapa
pendapat lainnya, baik itu berupa artikel di media cetak, elektronik, media
online yang mengungkapkan banyaknya problematika yang dihadapi
KPPU dalam menegakkan hukum persaingan usaha. Namun, sampai
sekarang setelah ± 12 tahun berdirinya, belum ada upaya konkrit yang
dilakukan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu.
Akibatnya, banyak putusan KPPU yang sampai sekarang tidak
bisa dieksekusi dengan berbagai macam alasan. Selain itu, banyak
investigator KPPU yang keluar dan memilih untuk mencari pekerjaan
yang lebih baik.
3.2 Upaya menjadikan putusan KPPU bisa berkekuatan hukum
eksekutorial
3.2.1 Pembentukan Undang-undang baru tentang Pengadilan
Persaingan Usaha
32
http://doniismanto.com/2010/12/09/091210-uu-no-599-sebaiknya-direvisi/?blogsub=confirming#subscribe-
blog diakses pada tanggal 1 November 2012 pukul 16;21
25. 25
Membuat produk perundang-undangan terkait pembentukan
pengadilan persaingan usaha yang baru merupakan salah satu solusi
terhadap kendala kurang jelasnya tata cara beracara di KPPU.
Pentingnya ada regulasi setingkat Undang-undang terhadap tata cara
beracara di KPPU adalah untuk menjamin kepastian hukum acara
persaingan usaha yang tidak bertentangan dengan regulasi lainnya. Hal
ini dikarenakan, KPPU selama ini beracara hanya dengan Peraturan
Komisi33 dan peraturan mahkamah agung34, di mana ke 2 (kedua) aturan
ini memiliki tingkatan di bawah UU. Sehingga apabila ada pasal dari
aturan tersebut yang bertentangan dengan UU, maka aturan tersebut
akan dikesampingkan.35 Misalnya, Apabila terlapor keberatan atas
putusan KPPU, maka akan diproses harus menggunakan aturan HIR.36
Sesuai aturan dalalm pasal 393 (1) HIR ditentukan bahwa “ Waktu
mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat
diperhatikan acara yang lebih atau lain dari pada yang ditentukan dalam
reglemen ini”. Oleh karena Perma kedudukannya lebih rendah dari HIR
maka hukum acara yang diatur HIR yang harus dipatuhi, bukan perma.
Alasan lain kenapa UU pembentukan pengadilan khusus
persaingan usaha adalah karena terdapat kesalahan fundamental di
dalam UU No. 5/1999. Bagaimana mungkin keadilan dapat ditegakkan
apabila pihak yang menyelidiki, memeriksa, dan memutus adalah pihak
yang sama dalam hal ini KPPU. Karena tidak bisa diasumsikan bahwa
semua manusia Indonesia itu baik hati dan adil. Oleh karena itu,
seharusnya pengadilan persaingan usaha harus terpisah dari KPPU.
Namun, untuk membuat suatu produk hukum bernama undang-
undang, penulis akui bahwa ini adalah pekerjaan yang sangat sulit karena
butuh waktu yang lama untuk membuat naskah akademiknya, draf
undang-undangnya, proses administrasinya serta pertimbangan anggota
33
Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 yang diperbaharui dengan Peraturan KPPU No. 1 tahun 2010 Tentang
Tata Cara Penanganan perkara di KPPU
34
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Perkara
Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.
35
Asas Hukum, “Lex superiori derogate lege priori (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan
yang lebih rendah)”, lihat pasal 7 UU No. 10 tahun 2004.
36
HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement, merupakan salah satu sumber hukum acara perdata bagi
daerah Pulau Jawa dan Madura peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku dinegara kita hingga
kini. HIR sebenarnya berasal dari Inlansch Reglement (IR) atau Reglement Bumiputera. IR pertama kali
diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb). 1848 Nomor 16) merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers,
President hooggerechtshof (Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia.
26. 26
legislative yang dimana kita ketahui penuh dengan kepentingan politik
disetiap undang-undang yang hendak dibuat.
3.2.2 Melakukan perbaikan atau revisi UU No. 5/1999
Pelaksanaan dari opsi pertama bisa dilakukan oleh KPPU dengan
merevisi Pasal 46 UU No. 5/1999. Adapun revisi yang bisa
direkomendasikan oleh KPPU adalah menambah 1 (satu) pada Pasal 46
yaitu Pasal 46A. Pada Pasal 46A ini sebaiknya diatur mengenai kewajiban
PN untuk menetapkan permohonan eksekusi yang diajukan oleh KPPU,
batas waktu yang diberikan kepada PN dalam menjawab permohonan
eksekusi KPPU, dan terakhir dalam pelaksanaan eksekusi terhadap
putusan KPPU yang dilakukan oleh PN. Berikut usulan redaksional yang
sebaiknya diatur di dalam Pasal 46A:
1) Pengadilan negeri wajib menetapkan permohonan eksekusi yang
diajukan oleh KPPU;
2) Penetapan permohonan eksekusi yang diberikan oleh pengadilan
negeri kepada KPPU sebagaimana diatur pada ayat (1) dilakukan
selambat-lambatnya 14 (empat hari) setelah permohonan penetapan
eksekusi diajukan oleh KPPU;
3) Pelaksanaan penetapan eksekusi yang diajukan oleh KPPU
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah penetapan permohonan eksekusi yang diberikan
oleh pengadilan negeri kepada KPPU;
4) Pelaksanaan penetapan eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan oleh pengadilan negeri;
5) Pemberitahuan terhadap hasil pelaksanaan penetapan eksekusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari oleh pengadilan negeri kepada KPPU.
3.2.3 Mengajukan Pembentukan Peraturan Pemerintah (PP)
Apabila revisi UU No. 5/1999 dianggap sangat sulit karena keinginan
anggota DPR di negeri ini berbeda-beda walaupun sama-sama dalam komisi.
Di mana keinginannya lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi
27. 27
dan kelompoknya. Maka jika menginginkan perubahan dari UU No. 5/1999
dalam jangka waktu yang relative pendek adalah meminta pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pasal-pasal yang dianggap
tidak sesuai lagi dengan kondisi dunia usaha sekarang ini. Misalnya
mengajukan kepada pemerintah supaya dibuatkan PP terkait tata cara
eksekusi putusan KPPU.
PP dinilai salah satu solusi terhadap banyaknya pasal-pasal di dalam
UU No. 5/1999 yang tidak relevan dengan perkembangan dunia bisnis
sekarang ini. PP juga dinilai efektif setelah pemerintah mengeluarkan PP
terkait merger dan akuisisi. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah juga
mengeluarkan PP terkait kendala KPPU yang sampai sekarang ini sulit
melaksanakan putusannya.
3.2.4 Membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pihak PN,
terkait dengan permohonan eksekusi terhadap putusan KPPU yang
berkekuatan hukum tetap yang diajukan KPPU ke PN.
Apabila opsi di atas tidak bisa dilaksanakan dikarenakan kurangnya
perhatian pembuat undang-undang dalam melakukan perbaikan lembaga
KPPU terutama untuk perbaikan atas pelaksanaan eksekusi terhadap putusan
KPPU, maka KPPU sebaiknya melakukan ini. Pelaksanaan opsi ini terbilang
lebih mudah dari opsi pertama, dikarenakan KPPU hanya membutuhkan
koordinasi yang intensif dengan pihak PN. Adapun materi yang sebaiknya
diatur di dalam MoU antara KPPU dengan pihak PN adalah materi yang
hampir sama dengan yang diatur di dalam rekomendasi Pasal 46A. Selain itu,
di dalam MoU sebaiknya juga ditambahkan dengan materi yang terkait
dengan mekanisme koordinasi yang harus dilakukan oleh KPPU dan PN
dalam melakukan penetapan eksekusi yang diajukan oleh KPPU kepada
pihak PN. Tujuan penambahan materi adalah menghindari terjadinya
kesalahpaman koordinasi antara KPPU dan PN dalam melakukan eksekusi
putusan KPPU.
3.2.5 Perjuangan Lewat Media
Kecenderungan keputusan para pengambil kebijakan di Indonesia
akhir-akhir ini adalah berdasarkan pada vonis public akan sesuatu. Banyak
kebijakan yang disahkan oleh pemerintah yang disesuaikan dengan riak-riak
28. 28
rakyat karena gencarnya pemberitaan lewat media. Bahkan, sesuatu yang
salah pun apabila dipoles dengan baik melalui media, maka masyarakat akan
mendukugnya. Apalagi perubahan terhadap UU No. 5/1999 adalah sesuatu
yang positif, maka apabila ada keseriusan dari pimpinan KPPU untuk
melakukan perubahan maka hal itu bukan sesuatu yang mustahil.
Ada beberapa hal positif yang bisa dihasilkan dari media yaitu ;
a. Eksistensi KPPU akan semakin diketahui banyak pihak
b. Pemerintah akan senantiasa peduli (merespon) terhadap masalah-
masalah yang dihadapi KPPU untuk perbaikan
c. Pelaku usaha yang divonis bersalah akan merasa malu dan
akhirnya memiliki itikad untuk menjalankan putusan KPPU dengan
pertimbangan, investor akan tetap mempercayainya karena telah
memiliki itikad baik untuk merubah perilakunya.
29. BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kendala KPPU dalam melakukan upaya penegakan hukum
persaingan usaha sebagai berikut ;
a. KPPU tidak memiliki hukum acara persaingan usaha yang jelas
b. KPPU tidak memiliki kewenangan eksekusi putusan
c. KPPU lamban dalam penyelesaian perkara
d. Lemahnya status kelembagaan KPPU
e. Adanya pembiaran terhadap kekurangan pada KPPU
Dari kendala yang disebutkan di atas, kendala paling terakhir
adalah kendala yang paling susah diatasi apabila tidak ada itikad baik
dari masing-masing pihak yang terkait. Sebab walaupun ke 4 (empat)
kendala lainnya itu diketahui dan dipahami adanya, jika tidak ada
keinginan untuk memperbaikinya, maka tidak akan ada perubahan
yang lebih baik sampai kapan pun di KPPU. Sebagaimana telah
diketahui, telah banyak artikel berkaitan dengan kendala dan
kekurangan KPPU dalam eksekusi putusannya yang ditulis oleh pakar
persaingan usaha, politisi, akademisi dan pihak lainnya namun
sampai sekarang untuk revisi UU No.5/1999 saja belum pernah
dilakukan. Padahal draf UU tersebut sudah lama diusulkan ke DPR.
2. Upaya supaya putusan KPPU bisa berkekuatan hukum
eksekutorial
a. Pembentukan UU baru tentang Pengadilan Persaingan Usaha
b. Melakukan perbaikan atau revisi UU No. 5/1999
c. Mengajukan Pembentukan PP terkait tata cara eksekusi
Putusan
d. Membuat memorandum of understanding (MoU) dengan pihak
PN, terkait dengan permohonan eksekusi terhadap putusan
29
30. 30
KPPU yang berkekuatan hukum tetap yang diajukan KPPU ke
PN
e. Perjuangan lewat media
Perjuangan lewat media secara langsung tidak berkaitan
dengan upaya untuk menjadikan putusan KPPU bersifat
eksekutorial. Akan tetapi, melalui media diharapkan munculnya
kepedulian terhadap pentingnya ada perbaikan terhadap aturan-
aturan terkait penegakan hukum di KPPU.
4.2 Rekomendasi
1. Agar KPPU menjadi lembaga yang bisa menciptakan proses
persaingan usaha yang sehat, maka KPPU sebaiknya segera
mengusulkan kepada pembuat undang-undang untuk merevisi UU
No. 5/1999, khususnya Pasal 46;
2. Pimpinan KPPU seharusnya lebih serius lagi memperhatikan dan
memperjuangkan usulan revisi UU yang telah diajukan ke DPR;
3. Presiden seharusnya tidak sekedar mengeluarkan janji-janji saja
terkait upaya perbaikan kelembagaan KPPU akan tetapi juga harus
diaplikasikan terutama terkait tata cara eksekusi putusan KPPU.
4. Pembuat undang-undang sebaiknya merespon dengan cepat usulan
revisi UU No. 5/1999 yang diajukan oleh KPPU;
5. KPPU dan PN harus mempunyai komitmen yang besar dan
bersungguh-sungguh untuk melakukan kerjasama dalam hal
penetapan dan pelaksanaan ekskusi terhadap putusan KPPU yang
telah berkekuatan hukum tetap.
31. 31
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Nadapdap, Binoto, “Hukum Acara Persaingan Usaha”, (Jakarta ; Jala Permata
Aksara, 2009) h.5
Soerjoono Soekantoo dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif.
Jakarta: In Hilco.
Sunggono, Bambang.. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2006)
Margono, Suyud, “Hukum Anti Monopoli”, ( Jakarta ; Sinar Grafika, 2009)
Soeparmono, R, “Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi” (Bandung ; Mandar
Maju, 2005)
Peraturan - Peraturan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara
Internet
http://www.kppu.go.id/id/workshop-hakim-kppu-ma-hukum-persaingan-usaha-
sebagai-persentuhan-ilmu-hukum-dan-ekonomi/, diakses pada tanggal 1
November 2012 Pukul 16;09 WITA
http://hmibecak.wordpress.com/2010/05/26/tinjauan-yuridis-terhadap-
kewenangan-luar-biasa-komisi-pengawas-persaingan-usaha-kppu-dalam-
memberikan-putusan/ diakses pada tanggal 1 November 2012 Pukul 16;13
Wita
http://doniismanto.com/2010/12/09/091210-uu-no-599-sebaiknya-
direvisi/?blogsub=confirming#subscribe-blog diakses pada tanggal 1
November 2012 pukul 16;21
http://lawfile.blogspot.com/2011/06/uraian-singkat-hir-rbg-dan-brv.html
diakses pada tanggal 2 November 2012 Pukul 16;27 WITA
http://id.scribd.com/doc/22899470/asas-asas-hukum-di-Indonesia
Artikel lainnya
Andianto, Ahmad. Makalah:Putusan Hakim Dan Eksekusi. Hlm. 1
Junaidi. 2012. “Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Persaingan
Usaha yang Sehat”. disampaikan pada Seminar Persaingan Usaha. Merauke, 26
April 2012.
Sigit Handoyo Subagiono, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Luar Biasa
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Memberikan
Putusan”.Tesis.