buku silvia sukirman perencanaan tebal struktur perkerasan jalan lentur.pdf
1.
2. TENTANG PENULIS
Silvia Sukirman, lahir di Payakumbuh, pada tanggal 18 Februari
1949. Pendidikan sampai dengan SMP diselesaikannya di
tempat kelahirannya, SMA di Padang, lalu melanjutkan studi di
Bandung. Program Sarjana Teknik Sipil diperolehnya melalui
pendidikan di Universitas Katolik Parahyangan, dan pada tahun 1977 lulus
program Pasca Sarjana Jalan Raya PUTL-ITB.
Pengalaman kerja di bidang profesional dimulai sejak tahun 1974
dengan bekerja pada PT Sangkuriang, Bandung. Sejak 1975 sampai
dengan 1991 bekerja pada Indec & Ass Ltd, di Bandung, yang bergerak
di bidang jasa konstruksi terutama pekerjaan jalan dan jembatan.
Pengalaman kerja di bidang pendidikan dimulai sejak tahun 1973
dengan menjadi asisten dosen di Universitas Katolik Parahyangan, sejak
tahun 1979 menjadi dosen tidak tetap di Universitas Kristen Maranatha
dan sejak tahun 1984 sampai saat ini menjadi dosen di Institut Teknologi
Nasional, Bandung.
Di samping bekerja sesuai bidang ilmunya, bidang manajemen
pendidikan diperolehnya di Institut Teknologi Nasional, Bandung, dengan
pernah menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Sipil, Pem-
bantu Dekan Bidang Akademik dan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Pembantu Rektor Bidang Akademik, dan terakhir sebagai
Kepala Unit Pelaksana Teknis P3AI.
Selain itu, ia juga aktif di Himpunan Pengembang Jalan Indonesia
dan dipercaya sebagai anggota tim ahli Badan Sertifikasi Asosiasi Daerah
DPD HPJI Jawa Barat periode 2003 - 2006.
3. Buku Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur ini meru-
pakan edisi revisi dari Buku Perkerasan Lentur Jalan Raya yang
diterbitkan pertama kali pada Tahun 1991 dan telah mengalami cetak
ulang sebanyak tujuh kali. Buku ini membahas secara menyeluruh
tentang perencanaan tebal perkerasan lentur, oleh karena itu Bab yang
membahas tentang material perkerasan jalan pada buku terdahulu,
dalam buku ini ditiadakan.
Buku ini bertujuan membantu Anda untuk memahami prinsip-
prinsip tentang perencanaan tebal perkerasan lentur dan metode peren-
canaan berbasiskan pengamatan langsung dilapangan (metode empiris).
Tema pokok bahasan antara lain:
- bagaimana menentukan beban lalulintas untuk perencanaan
tebal perkerasan jalan
- bagaimana menentukan daya dukung tanah dasar
- uraian tentang jalan percobaan AASHTO
- metode perencanaan tebal perkerasan AASHTO 1972, dan 1993
- metode perencanaan tebal perkerasan Sesuai SNI 1732-1989-F,
dan Pt T-01-2002-B
- metode perencanaan tebal lapis tambah menggunakan metode
analisis komponen dan lendutan balik.
Penerbit Nova
5. v
KATA PENGANTAR
Perencanaan tebal struktur perkerasan jalan merupakan salah
satu bagian dari rekayasa jalan yang bertujuan memberikan pelayanan
terhadap arus lalulintas sehingga memberikan rasa aman dan nyaman
kepada pengguna jalan.
Kesesuaian dan ketepatan dalam menentukan parameter pendu-
kung dan metode perencanaan tebal perkerasan yang digunakan, sangat
mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penggunaan biaya konstruksi dan
pemeliharaan jalan.
Buku ini memberikan pengetahuan dasar bagi para mahasiswa
dan praktisi pemula untuk memahami konsep dasar perencanaan tebal
perkerasan lentur. Metode perencanaan yang diuraikan secara rinci
hanyalah metode AASHTO dan Bina Marga. Pemahaman kedua metode
ini diharapkan dapat menjadi dasar pengetahuan untuk mempelajari
metode lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Sdr. Deny Zuzan, Rina Rosdiana ST., dan Sofyan Triana ST., MT., yang
telah banyak membantu dalam proses penulisan dan penyelesaian buku
ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan
tentang perencanaan tebal struktur perkerasan jalan dan masukan serta
saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan buku ini sangat kami
harapkan.
Bandung, Februari 2010
Penulis
7. vii
Daftar Isi
halaman
Kata Pengantar .......................................................................... v
Daftar Isi .................................................................................. vii
1. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan 1
1.1 Sejarah Perkerasan Jalan ................................................. 1
1.1.1 Telford dan Macadam ............................................ 2
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air ........................... 4
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia ..................................... 5
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan .................................... 6
2. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan 9
2.1 Lapis Permukaan (Surface Course) ................................... 14
2.2 Lapis Pondasi (Base Course) ............................................ 22
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) ............................ 26
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed) ........................... 27
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan
Tebal Perkerasan 31
3.1. Beban Lalulintas .............................................................. 31
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan ................ 32
3.1.2 Beban Roda Kendaraan ......................................... 37
3.1.3 Beban sumbu ....................................................... 37
3.1.4 Volume Lalulintas ................................................. 46
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas ....................................... 47
3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana .................... 53
8. viii
3.2 Daya Dukung Tanah Dasar ............................................ 55
3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR) ................ 56
3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan .................. 61
3.2.3 CBR Segmen Jalan ............................................... 62
3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis (Dynamic Cone
Penetrometer (DCP) .......................................... 69
3.2.5 Modulus resilient (MR) ........................................... 74
3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan
Daya Dukung Tanah Dasar .................................... 78
3.3 Fungsi Jalan ................................................................... 80
3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum ................................. 80
3.3.2 Fungsi Jalan Umum .............................................. 81
3.3.3 Status Jalan Umum ............................................... 84
3.4 Kondisi Lingkungan ........................................................ 86
3.5 Mutu Struktur Perkerasan Jalan ...................................... 89
3.5.1 Kekasaran Muka Jalan (Roughness) ....................... 89
3.5.2 Indeks Permukaan (Serviceability Index) ................ 92
3.5.3 Tahanan Gelincir (Skid Resistance) ........................ 95
4. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO 97
4.1 Jalan Percobaan AASHTO ................................................ 98
4.1.1 Struktur Jalan Percobaan ....................................... 98
4.1.2 Penelitian di Jalan Percobaan ................................ 102
4.1.3 Perkembangan Metode AASHTO ............................ 103
4.2 Metode AASHTO 1972 ..................................................... 105
4.3 Metode AASHTO 1993 .................................................... 109
4.3.1 Beban Lalu Lintas Sesuai AASHTO 1993 ................. 109
4.3.2 Reliabilitas .......................................................... 125
9. ix
4.3.3 Drainase ............................................................... 130
4.3.4 Rumus Dasar Metode AASHTO 1993 ..................... 132
4.3.5 Tebal Minimum Setiap Lapisan ............................... 138
5. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode
Analisis Komponen SNI 1732-1989-F 141
5.1 Beban Lalu lintas Berdasarkan SNI 1732-1989-F ................ 141
5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Berdasarkan SNI 1732-1989-F . 146
5.3 Parameter Penunjuk Kondisi Lingkungan
Sesuai SNI 1732-1989-F ................................................... 148
5.4 Indeks Permukaan Sesuai SNI 1732-1989-F ...................... 148
5.5 Rumus Dasar Metode SNI 1732-1989-F.............................. 151
5.6 Tebal Minimum Lapis Perkerasan....................................... 162
5.7 Konstruksi Bertahap ......................................................... 162
5.8 Prosedur Perencanaan Tebal Perkerasan
Metode SNI 1732-1989-F ................................................. 168
6. Perencanaan Tebal Perkerasan Metode Pt T-01-2002-B 171
6.1 Langkah-langkah Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan
Metode Pt T-01-2002-B .................................................... 171
6.2 Konstruksi Bertahap Sesuai Metode Pt T-01-2002-B ............ 176
6.3 Tinjauan Metode Pt T-01-2002-B Terhadap Metode
AASHTO 1993 ................................................................ 177
7. Perencanaan Tebal Lapis Tambah 179
7.1 Survei Kondisi Perkerasan Jalan ....................................... 181
7.1.1 Kerusakan Jalan .................................................... 182
7.1.2 Kondisi Struktur Perkerasan Jalan Lama ................. 188
7.2 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan
Alat Benkelman Beam ..................................................... 190
10. x
7.2.1 Lendutan Balik .. .................................................. 193
7.2.2 Lendutan Balik Segmen ......................................... 198
7.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode SNI 1732-1989-F .................................................... 200
7.4 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pt T-01-2002-B ................................................... 201
7.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode No.01/MN/B/1983 .................................................. 206
7.6 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Road Design System (RDS) ..................................... 209
7.7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pd T-05-2005-B ...................................................... 212
Daftar Pustaka .......................................................................... 217
Lampiran 1 Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93 ......... 221
Lampiran 2 Tabel Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-
1989-F Dan Pd.T-05-2005-B .................................... 209
Lampiran 3 Daftar Rumus ......................................................... 212
Lampiran 4 Daftar Tabel ........................................................... 241
11. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
1
BAB 1
Sejarah dan Kinerja
Perkerasan Jalan
1.1 Sejarah Perkerasan Jalan
Sejarah perkerasan jalan dimulai bersamaan dengan sejarah umat
manusia itu sendiri dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup dan
berkomunikasi dengan sesama. Perkembangan sistem struktur perkeras-
an jalan saling terkait dengan peningkatan mutu kehidupan dan teknologi
yang ditemukan umat manusia. Pada awalnya jalan hanyalah berupa
jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup, termasuk sumber air.
Setelah manusia mulai hidup berkelompok, jejak-jejak itu berubah
menjadi jalan setapak. Dengan digunakannya hewan sebagai alat trans-
portasi, permukaan jalan dibuat rata dan diperkeras dengan batu.
Teknologi perkerasan jalan berkembang pesat sejak ditemukannya roda
sekitar 3500 tahun sebelum Masehi di Mesopotamia dan pada zaman
keemasan Romawi. Pada saat itu jalan dibangun dalam beberapa lapisan
perkerasan terutama dari pasangan batu, yang secara keseluruhan lebih
tebal dari struktur perkerasan jalan saat ini, walaupun belum mengguna-
kan aspal ataupun semen sebagai bahan pengikat.
12. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
2
1.1.1 Telford dan Macadam
Beberapa orang yang namanya diabadikan sebagai bapak perkerasan
jalan antara lain Thomas Telford dan John Lauden Macadam. Jalan-jalan
di Indonesia peninggalan tempo dulu banyak menggunakan perkerasan
Telford atau Makadam ini.
Thomas Telford (1757 – 1834) dari Skotlandia, seorang ahli tentang batu,
membangun jalan di atas lapisan tanah dasar dengan kemiringan tidak
lebih dari 1:30. Struktur perkerasan di atas tanah dasar terdiri dari 3 lapis
dengan tebal total antara 35 – 45 cm. Ciri khas Telford adalah lapisan
batu dibangun di atas tanah dasar dimana lapis pertama terdiri dari batu
besar dengan lebar 10 cm dan tinggi 7,5 -18 cm, lapis kedua dan ketiga
terdiri dari batu dengan ukuran maksimum 6,5 cm (tinggi lapis kedua dan
ketiga sekitar 15- 25 cm), dan paling atas diberi lapisan aus dari kerikil
dengan ukuran 4 cm. Lapisan perkerasan ini diperkirakan mampu
memikul beban 88 N/mm lebar[WSDOT]
.
Sumber:WSDOT
Gambar 1.1 Struktur perkerasan Telford
Batu berukuran lebar 10 cm,
dan tinggi antara 7,5 – 18 cm
Kerikil 4 cm
Batu pecah dan
kerikil 4 cm
2 lapis dengan ukuran
maksimum 6,5 cm
Lapisan tanah
dasar
tebal total
13. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
3
John L. Macadam (1756 – 1836) orang Skotlandia, mengamati bahwa
pada saat itu kebanyakan perkerasan jalan dibangun dengan menggu-
nakan batu bulat [WSDOT]
. Oleh karena itu dia memperkenalkan stuktur
perkerasan yang dibangun dari batu pecah. Di samping itu, Macadam
memperhatikan juga kebutuhan drainase dengan membuat struktur
perkerasan di atas lapisan tanah dasar yang memiliki kemiringan (lapisan
Telford dibangun di atas lapisan tanah dasar yang hampir rata). Keisti-
mewaan lain dari perkerasan Macadam adalah memperkenalkan peng-
gunaan batu pecah ukuran kecil (maksimum 2,5 cm) untuk membuat
permukaan perkerasan rata.
Batu pecah dengan ukuran maksimum 7,5 cm diletakkan di atas lapisan
tanah dasar dalam dua lapis. Tebal total kedua lapis adalah 20 cm.
Lapisan aus dibangun dengan ketebalan sekitar 5 cm terdiri dari agregat
berukuran maksimum 2,5 cm. Jadi tebal total struktur perkerasan
Macadam adalah 25 cm, lebih tipis dari perkerasan Telford. Lapisan
perkerasan Macadam diperkirakan mampu memikul beban 158 N/mm
lebar[WSDOT]
.
Sumber:WSDOT
Gambar 1.2 Struktur perkerasan Macadam
25 cm
Lapisan tanah dasar berlandai
2 lapis (masing-masing tebal 10 cm)
5 cm dan agregat berukuran
maksimum 2,5 cm
14. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
4
Struktur perkerasan Macadam yang dikenal sebagai lapisan Macadam,
digunakan di sebagian besar dunia termasuk Indonesia. Lapisan Maca-
dam di Indonesia telah mengalami beberapa kali modifikasi antara lain
jenis lapisan Macadam basah (waterbound Macadam) dan penetrasi
Macadam. Macadam basah menggunakan tanah berbutir halus sebagai
lapisan penutup pori lapisan paling atas, sedangkan lapisan penetrasi
Macadam menggunakan aspal yang dilabur sebagai bahan pengikat
lapisan paling atas dan diberi pasir kasar sebagai batu penutup. Gambar
1.3 menggambarkan lapisan penetrasi Macadam yang sampai saat ini
masih banyak digunakan di Indonesia.
Gambar 1.3 Lapisan penetrasi Macadam
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air
Struktur perkerasan jalan cepat menjadi rusak akibat beban lalulintas dan
air. Oleh karena itu ahli teknik jalan raya berusaha untuk menghasilkan
perkerasan yang kedap air agar tahan dalam menghadapi perubahan
cuaca dan hujan. Saat ini aspal dan semen banyak digunakan sebagai
bahan pembuat perkerasan kedap air.
Pasir kasar
Aspal
Batu pecah ≤ 2,5 cm
Batu pecah
≤ 7,5 cm
Pasir urug
10- 20 cm
Lapis aus
Batu pinggir
batu pecah
15. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
5
Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat
tercatat ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum
Masehi, tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang sampai ditemu-
kannya kendaraan bermotor bensin oleh Godlieb Daimler dan Karl Benz
pada tahun 1880. Di Amerika Serikat, Warren melalui berbagai hak
patennya, mulai mengembangkan beton aspal pada awal 1900.
Sejak Portland Bill menemukan semen artifisial yang dikenal sebagai
semen portland, penggunaan semen sebagai bahan pembentuk lapisan
perkerasan jalan berkembang dengan pesat.
Perkerasan beton semen telah ditemukan pada tahun 1828 di London.
Penggunaan semen sebelum abad 20 umumnya digunakan hanya sebagai
pembentuk lapisan pondasi, dan sejak awal abad 20 semen mulai
digunakan sebagai material pengikat lapisan aus perkerasan jalan.
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia
Catatan tentang sejarah jalan di Indonesia tak banyak ditemukan.
Pembangunan jalan yang tercatat dalam sejarah Bangsa Indonesia adalah
pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Pos Weg) yang dilakukan melalui
kerja paksa, pada pemerintahan HW Daendels. Jalan Raya Pos tersebut
dibangun mulai Mei 1808 sampai dengan Juni 1809, terbentang dari
Anyer di ujung Barat sampai dengan Panarukan di ujung Timur Pulau
Jawa, sepanjang lebih kurang 1000 km. Tujuan pembangunan jalan saat
itu diutamakan untuk kepentingan strategi pertahanan daripada transpor-
tasi masyarakat. Jalan-jalan cabang dari jalan pos dibangun di zaman
tanaman paksa sebagai prasarana mengangkut hasil tanaman.
16. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
6
Di luar pulau Jawa pembangunan jalan hampir tidak berarti, kecuali di
sekitar daerah tanaman paksa di Sumatera Tengah dan Utara pada saat
itu.
Jalan tol Jagorawi sepanjang 53 km menghubungkan Jakarta – Bogor –
Ciawi yang diresmikan pada tanggal 9 Maret 1978, merupakan awal
dimulainya era baru peningkatan pembangunan konstruksi jalan di
Indonesia. Peningkatan mutu konstruksi perkerasan jalan menggunakan
beton aspal dan beton semen meningkat pesat sejak saat itu.
Perkembangan teknologi konstruksi perkerasan jalan di dunia dan dam-
pak dari dibangunnya jalan di suatu daerah telah mengubah paradigma
dari jalan hanya sebagai prasarana transportasi menjadi jalan sebagai
prasarana transportasi dan juga struktur bangunan sipil yang membawa
dampak lingkungan dan perlu mendapat perhatian yang serius.
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan
Struktur perkerasan jalan sebagai komponen dari prasarana transportasi
berfungsi sebagai:
1. penerima beban lalulintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.
Oleh karena itu struktur perkerasan perlu memiliki stabilitas yang
tinggi, kokoh selama masa pelayanan jalan dan tahan terhadap
pengaruh lingkungan dan atau cuaca. Kelelahan (fatigue resistance),
kerusakan perkerasan akibat berkurangnya kekokohan jalan seperti
retak (craking), lendutan sepanjang lintasan kendaraan (rutting),
bergelombang, dan atau berlubang, tidak dikehendaki terjadi pada
perkerasan jalan.
2. pemberi rasa nyaman dan aman kepada pengguna jalan. Oleh karena
itu permukaan perkerasan perlu kesat sehingga mampu memberikan
17. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
7
gesekan yang baik antara muka jalan dan ban kendaraan, tidak
mudah selip ketika permukaan basah akibat hujan atau menikung
pada kecepatan tinggi. Di samping itu permukaan perkerasan harus
tidak mengkilap, sehingga pengemudi tidak merasa silau jika
permukaan jalan kena sinar matahari.
Agar struktur perkerasan jalan kokoh selama masa pelayanan, aman dan
nyaman bagi pengguna jalan, maka:
1. Pemilihan jenis perkerasan dan perencanaan tebal lapisan perke-
rasan perlu memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu-
lintas, keadaan lingkungan, masa pelayanan atau umur rencana,
ketersediaan dan karakteristik material pembentuk perkerasan jalan
di sekitar lokasi.
2. Analisis dan rancangan campuran dari bahan yang tersedia perlu
memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat sehingga sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan dari jenis lapisan perkerasan yang
dipilih.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur pengawasan
yang ada, dengan memperhatikan sistem penjaminan mutu pelaksa-
naan jalan sesuai spesifikasi pekerjaan. Pemilihan jenis lapisan
perkerasan dan perencanaan tebal perkerasan, analisis campuran
yang baik, belum menjamin dihasilkannya perkerasan yang meme-
nuhi apa yang diinginkan, jika pelaksanaan dan pengawasan tidak
dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur dan spesifikasi pekerjaan.
4. Pemeliharaan jalan selama masa pelayanan perlu dilakukan secara
periodik sehingga umur rencana dapat tercapai. Pemeliharaan meli-
puti tidak saja struktur perkerasan jalan, tetapi juga sistem drainase
di sekitar lokasi jalan tersebut.
19. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
9
BAB 2
Jenis dan Fungsi
Lapisan Perkerasan Jalan
Air yang menggenangi atau masuk ke dalam pori perkerasan jalan
merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya jalan. Oleh karena itu
bagian atas jalan diusahakan memiliki sifat kedap air di samping adanya
sistem drainase jalan yang memadai. Sifat kedap air diperoleh dengan
menggunakan bahan pengikat dan pengisi pori antar agregat seperti
aspal atau semen portland. Berdasarkan bahan pengikat yang digunakan
untuk membentuk lapisan atas, perkerasan jalan dibedakan menjadi
perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan yang menggu-
nakan aspal sebagai bahan pengikat, perkerasan kaku (rigid pavement)
yaitu perkerasan yang menggunakan semen portland, dan perkerasan
komposit (composite pavement) yaitu perkerasan kaku yang dikombi-
nasikan dengan perkerasan lentur, dapat perkerasan lentur di atas perke-
rasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur. Di samping
pengelompokkan di atas, saat ini ada pula yang mengelompokkan
menjadi perkerasan lentur (flexible pavement), perkerasan kaku (rigid
pavement), dan perkerasan semi kaku (semi -rigid pavement).
Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak
roda kendaraan dengan muka jalan terdiri atas berat kendaraan sebagai
20. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
10
gaya vertikal, gaya rem kendaraan sebagai gaya horizontal, dan gerakan
roda kendaraan sebagai getaran. Beban tersebut dilimpahkan melalui
bidang kontak antara roda dan permukaan jalan lalu didistribusikan ke
lapisan di bawahnya. Model pendistribusian beban dipengaruhi oleh sifat
kekakuan lapisan penerima beban. Pelat beton dengan nilai kekakuan
tinggi, mendistribusikan beban kendaraan pada bidang seluas pelat
beton, sehingga beban persatuan luas yang dilimpahkan ke lapisan di
bawah pelat beton menjadi kecil. Perkerasan lentur memiliki kekakuan
yang lebih rendah sehingga beban yang dilimpahkan ke lapisan dibawah-
nya didistribusikan pada luas yang lebih sempit. Gambar 2.1 mengilus-
trasikan perbedaan pendistribusian beban kendaraan pada perkerasan
kaku dan perkerasan lentur.
Gambar 2.1 Distribusi beban pada perkerasan kaku
dan perkerasan lentur
Pada Gambar 2.1a beban kendaraan didistribusikan oleh pelat beton pada
bidang yang luas sehingga beban merata yang dilimpahkan ke lapisan
dibawahnya, P0, menjadi kecil, sedangkan pada Gambar 2.1b beban
Beban roda
Distribusi beban
(a) Perkerasan kaku (b) Perkerasan lentur
P0
P1
P2
21. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
11
kendaraan didistribusikan pada luas yang lebih sempit daripada
perkerasan kaku, sehingga P1 lebih besar dari Po. P1 selanjutnya
didistribusikan ke lapisan dibawahnya lagi, demikian seterusnya. Karena
P2<P1, maka lapisan perkerasan lentur dibuat berlapis-lapis, dengan
lapisan paling atas memiliki sifat yang lebih baik dari lapisan di
bawahnya. Akibat tidak samanya kekakuan setiap lapis perkerasan, maka
distribusi beban lalulintas ke lapis dibawahnya seperti garis pada
Gambar 2.2, bukan seperti garis .
Gambar 2.2 Distribusi beban roda pada lapisan perkerasan lentur
Perkerasan lentur
Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang mela-
yani beban lalulintas ringan sampai dengan sedang, seperti jalan perkota-
an, jalan dengan sistem utilitas terletak di bawah perkerasan jalan,
perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap.
Keuntungan menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differen-
tial settlement) terbatas;
Beban roda
22. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
12
2. mudah diperbaiki;
3. tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja;
4. memiliki tahanan geser yang baik;
5. warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan;
6. dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pemba-
ngunan terbatas atau kurangnya data untuk perencanaan.
Kerugian menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. tebal total struktur perkerasan lebih tebal dari pada perkerasan kaku;
2. kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan;
3. frekwensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan perke-
rasan kaku;
4. tidak baik digunakan jika sering digenangi air;
5. membutuhkan agregat lebih banyak.
Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis yang makin ke
bawah memiliki daya dukung yang semakin jelek. Gambar 2.3 menun-
jukkan jenis lapis perkerasan dan letaknya, yaitu:
1. lapis permukaan (surface course);
2. lapis pondasi (base course);
3. lapis pondasi bawah (subbase course);
4. lapis tanah dasar (subgrade).
Perkerasan kaku
Perkerasan kaku cocok digunakan untuk jalan dengan volume lalulintas
tinggi yang didominasi oleh kendaraan berat, di sekitar pintu tol, jalan
yang melayani kendaraan berat yang melintas dengan kecepatan rendah,
23. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
13
atau di daerah jalan keluar atau jalan masuk ke jalan berkecepatan tinggi
yang didominasi oleh kendaraan berat.
Gambar 2.3 Struktur perkerasan lentur
Keuntungan menggunakan perkerasan kaku adalah:
1. umur pelayanan panjang dengan pemeliharaan yang sederhana;
2. durabilitas baik;
3. mampu bertahan pada banjir yang berulang, atau genangan air tanpa
terjadinya kerusakan yang berarti.
Kerugian menggunakan perkerasan kaku adalah:
1. kekesatan jalan kurang baik dan sifat kekasaran permukaan dipenga-
ruhi oleh proses pelaksanaan;
2. memberikan kesan silau bagi pemakai jalan;
3. membutuhkan lapisan tanah dasar yang memiliki penurunan (settle-
ment) yang homogen agar pelat beton tidak retak. Untuk mengatasi
hal ini seringkali di atas permukaan tanah dasar diberi lapis pondasi
bawah sebagai pembentuk lapisan homogen.
Lapis permukaan
Lapis pondasi
Lapis pondasi bawah
(optional)
Subgrade
(Tanah dasar)
24. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
14
Struktur perkerasan kaku terdiri dari pelat beton sebagai lapis
permukaan, lapis pondasi bawah sebagai lapis bantalan yang homogen,
dan lapis tanah dasar tempat struktur perkerasan diletakkan. Pelat beton
memiliki sambungan memanjang dan sambungan melintang seperti pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur perkerasan kaku
Struktur perkerasan lentur atau kaku, keduanya memiliki keuntungan dan
kerugian. Oleh karena itu desainer perlu mempertimbangkan berbagai
faktor dalam pemilihan struktur perkerasan yang sesuai untuk satu
proyek jalan. Uraian selanjutnya dalam buku ini hanya membahas ten-
tang perencanaan tebal perkerasan lentur saja.
2.1 Lapis Permukaan (Surface Course)
Lapis permukaan merupakan lapis paling atas dari struktur perkerasan
jalan, yang fungsi utamanya sebagai:
Lapis pondasi
Lapis pondasi bawah
(optional)
Subgrade
(Tanah Dasar)
Pelat beton
sambungan
melintang
sambungan
memanjang
25. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
15
1. lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan
harus memiliki stabilitas tinggi selama masa pelayanan;
2. lapis aus (wearing course) karena menerima gesekan dan getaran
roda dari kendaraan yang mengerem;
3. lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan
tidak meresap ke lapis di bawahnya yang berakibat rusaknya struktur
perkerasan jalan;
4. lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi.
Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal,
sehingga menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan
memiliki daya tahan selama masa pelayanan. Namun demikian, akibat
kontak langsung dengan roda kendaraan, hujan, dingin, dan panas, lapis
paling atas cepat menjadi aus dan rusak, sehingga disebut lapis aus.
Lapisan di bawah lapis aus yang menggunakan aspal sebagai bahan
pengikat, disebut lapis permukaan antara (binder course), berfungsi
memikul beban lalulintas dan mendistribusikannya ke lapis pondasi.
Dengan demikian lapis permukaan dapat dibedakan menjadi:
1. lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang kontak
dengan roda kendaraan dan perubahan cuaca.
2. lapis permukaan antara (binder course), merupakan lapis permukaan
yang terletak di bawah lapis aus dan di atas lapis pondasi.
Berbagai jenis lapis permukaan yang umum digunakan di Indonesia
adalah:
1. Laburan aspal, merupakan lapis penutup yang tidak memiliki nilai
struktural, terdiri dari:
a. Laburan Aspal Satu Lapis (burtu = surface dressing), terdiri dari la-
pis aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi sera-
26. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
16
gam dengan ukuran nominal maksimum 13 mm. Burtu memiliki
ketebalan maksimum 2 cm.
b. Laburan Aspal Dua Lapis (burda = surface dressing), terdiri dari
lapis aspal ditaburi agregat, dikerjakan dua kali secara berurutan,
dengan tebal padat maksimum 3,5 cm. Lapis pertama burda adalah
lapis burtu dan lapis keduanya menggunakan agregat penutup
dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
2. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir = Sand Sheet = SS), merupakan lapis
penutup permukaan jalan yang menggunakan agregat halus atau pasir
atau campuran keduanya, dicampur dengan aspal, dihampar dan
dipadatkan pada suhu tertentu. Ada dua jenis latasir yaitu latasir kelas
A dan latasir kelas B. Latasir kelas A dengan tebal nominal minimum
15 mm, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum No.4,
sedangkan latasir kelas B dengan tebal nominal minimum 20 mm,
menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
Latasir digunakan untuk lalulintas ringan yaitu kurang dari 0,5 juta
lintas sumbu standar (lss). Ketentuan sifat campuran latasir seperti
pada Tabel 2.1.
3. Lapis Tipis Beton Aspal (Lataston = Hot Rolled Sheet = HRS),
merupakan lapis permukaan yang menggunakan agregat bergradasi
senjang dengan ukuran agregat maksimum 19 mm (3/4 inci).
Ada dua jenis lataston yang digunakan yaitu:
a. Lataston Lapis Aus, atau Hot Rolled Sheet Wearing Course =
HRS-WC, tebal nominal minimum 30 mm dengan tebal toleransi ±
4 mm.
27. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
17
b. Lataston Lapis Permukaan Antara, atau Hot Rolled Sheet Base
Course = HRS-BC, tebal nominal minimum 35 mm dengan tebal
toleransi ± 4 mm.
Tabel 2.1 Ketentuan Sifat Campuran Latasir
Latasir
Indikator Sifat Campuran
Kelas A & B
Jumlah tumbukan per bidang 50
Min 3,0
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 20
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 75
Stabilitas Marshall (kg) Min 200
Min 2
Kelelehan (mm)
Mak 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 80
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C pada
VIM ±7%
Min 80
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
HRS-WC memiliki agregat halus dan bahan pengisi (filler) lebih banyak
dari HRS-BC.
Lataston sebaiknya digunakan untuk lalulintas kurang dari 1 juta lss
selama umur rencana. Ketentuan sifat campuran lataston seperti pada
Tabel 2.2.
28. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
18
4. Lapis Beton Aspal (Laston = Asphalt Concrete = AC), merupakan lapis
permukaan yang menggunakan agregat bergradasi baik. Laston sesuai
digunakan untuk lalulintas berat.
Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Campuran Lataston
Lataston
Sifat-sifat Campuran
WC BC
Jumlah tumbukan per bidang 75
Min 3,0
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 18 17
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 68
Stabilitas Marshall (kg) Min 800
Kelelehan (mm) Min 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C pada
VIM ±7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada
kepadatan membal (refusal)
Min 2
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Ada dua jenis Laston yang digunakan sebagai lapis permukaan, yaitu:
a. Laston Lapis Aus, atau Asphalt Concrete Wearing Course = AC-WC,
menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 19 mm (3/4 inci).
Lapis AC-WC bertebal nominal minimum 40 mm dengan tebal tole-
ransi ± 3 mm.
29. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
19
b. Laston Lapis Permukaan Antara, atau Asphalt Concrete Binder
Course = AC-BC, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum
25 mm (1 inci). Lapis AC-BC bertebal nominal minimum 50 mm de-
ngan tebal toleransi ± 4 mm.
Jika aspal yang digunakan untuk membuat AC menggunakan bahan aspal
polimer, aspal dimodifikasi dengan asbuton, aspal multigrade atau aspal
padat Pen 60 atau Pen 40 yang dicampur dengan asbuton butir maka
lapis tersebut dinamakan Laston Modifikasi.
Ketentuan sifat campuran laston seperti pada Tabel 2.3 dan untuk
campuran laston modifikasi seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.3 Ketentuan Sifat Campuran Laston
Laston
Sifat-sifat Campuran
WC BC Base
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 800 1500
Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Kelelehan (mm) Min 3 5
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250 300
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C
pada VIM 7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada
kepadatan membal (refusal)
Min 2,5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
30. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
20
Tabel 2.4 Ketentuan Sifat Campuran Laston Modifikasi
Laston
Sifat-sifat Campuran WC
Mod
BC
Mod
Base
Mod
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5
Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 1000 1800
Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Min 3 5
Kelelehan (mm)
Mak - -
Marshall Quotient (kg/mm) Min 300 350
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C
pada VIM ±7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada
kepadatan membal (refusal)
Min 2,5
Stabilitas Dinamis, lintasan / mm Min 2500
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
5. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) adalah lapis perkerasan yang terdiri
dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi seragam.
Setelah agregat pengunci dipadatkan disemprotkan aspal kemudian
diberi agregat penutup dan dipadatkan. Lapen sesuai digunakan
untuk lalulintas ringan sampai dengan sedang.
31. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
21
Ukuran maksimum agregat pokok membedakan ketebalan yang dapat
dipilih, yaitu:
a. tebal 7 – 10 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 75 mm (3 inci).
b. tebal 5 – 8 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 62,5 mm (2,5 inci).
c. tebal 4 – 5 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 50 mm (2 inci).
6. Lapis Asbuton Agregat (Lasbutag) adalah campuran antara agregat
asbuton dan peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan
secara dingin. Lapis Lasbutag bertebal nominal minimum 40 mm
dengan ukuran agregat maksimum adalah 19 mm (3/4 inci). Keten-
tuan sifat campuran lasbutag seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Ketentuan Sifat Campuran Lasbutag
Sifat Campuran Persyaratan
Derajat penguapan fraksi ringan:
- Campuran untuk pemeliharaan, %
- Campuran untuk pelapis, %
25
50
Jumlah tumbukan 2 x 75
Rongga dalam campuran (VIM), % 3,0 - 6,0
Rongga antara agregat (VMA), % Min. 16
Stabilitas pada temperatur ruang 25 o
C, kg Min. 500
Kelelehan, mm 2- 4
Stabilitas sisa, setelah 4 hari direndam dalam
air 25 o
C, %
Min. 75
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
32. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
22
Ketika menentukan tebal setiap lapisan, perencana perlu memper-
hatikan tebal nominal minimum dari jenis lapis permukaan yang dipilih.
Tabel 2.6 menunjukkan tebal nominal minimum dari berbagai jenis
lapis permukaan.
Tabel 2.6 Tebal Nominal Minimum Lapis Permukaan
Jenis Campuran Simbol
Tebal Nominal
Minimum
(mm)
Toleransi
Tebal (mm)
Latasir Kelas A SS-A 15
Latasir Kelas B SS-B 20
-
Lapis Aus HRS-WC 30
Lataston Lapis
Permukaan
Antara
HRS-BC 35
± 4
Lapis Aus AC-WC 40 ± 3
Lapis
Permukaan
Antara
AC-BC 50 ± 4
Laston
Lapis Pondasi AC-Base 60 ± 5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
2.2 Lapis Pondasi (Base Course)
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis
permukaan dinamakan lapis pondasi (base course). Jika tidak digunakan
lapis pondasi bawah, maka lapis pondasi diletakkan langsung di atas
permukaan tanah dasar.
33. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
23
Lapis pondasi berfungsi sebagai:
1. bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban
kendaraan dan disebarkan ke lapis dibawahnya;
2. lapis peresap untuk lapis pondasi bawah;
3. bantalan atau perletakkan lapis permukaan.
Material yang digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup
kuat dan awet sesuai syarat teknik dalam spesifikasi pekerjaan. Lapis
pondasi dapat dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis dengan
aspal sebagai pengikat.
Berbagai jenis lapis pondasi yang umum digunakan di Indonesia adalah:
1. Laston Lapis Pondasi (Asphalt Concrete Base = AC-Base), adalah
laston yang digunakan untuk lapis pondasi, tebal nominal minimum
60 mm dengan tebal toleransi ± 5 mm. Agregat yang digunakan
berukuran maksimum 37,5 mm (1,5 inci). Ketentuan sifat campuran
AC-Base seperti pada Tabel 2.3 dan untuk AC-Base modifikasi seperti
pada Tabel 2.4.
2. Lasbutag Lapis Pondasi adalah campuran antara agregat asbuton dan
peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan secara dingin.
Lapis Lasbutag Lapis Pondasi bertebal nominal minimum 50 mm
dengan ukuran agregat maksimum adalah 25 mm (1 inci). Ketentuan
sifat campuran Lasbutag seperti pada Tabel 2.5.
3. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) seperti yang diuraikan pada Bab 2.1
dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi, hanya saja tidak menggu-
nakan agregat penutup.
4. Lapis Pondasi Agregat adalah Lapis pondasi dari butir agregat. Berda-
sarkan gradasinya lapis pondasi agregat dibedakan atas agregat Kelas
A dan agregat Kelas B. Tebal minimum setiap lapis minimal 2 kali
34. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
24
ukuran agregat maksimum. Gradasi yang digunakan untuk lapis
pondasi Kelas A dan B dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan ketentuan sifat
lapis pondasi agregat dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.7 Gradasi Lapis Pondasi Agregat
Ukuran saringan Persen berat yang lolos, % lolos
ASTM (mm) Kelas A Kelas B
3” 75
2” 50 100
1½” 37,5 100 88 –100
1“ 25,0 77 –100 70 – 85
3/8” 9,50 44 – 60 40 – 65
No.4 4,75 27 – 44 25 – 52
No.10 2,0 17 – 30 15 – 40
No.40 0,425 7 – 17 8 – 20
No.200 0,075 2 – 8 2 – 8
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
5. Lapis Pondasi Tanah Semen adalah lapisan yang dibuat dengan
menggunakan tanah pilihan yang diperoleh dari daerah setempat,
yaitu tanah lempung dan tanah berbutir seperti pasir dan kerikil
kepasiran dengan plastisitas rendah. Bahan dicampur dengan perban-
dingan semen dan air tertentu di lokasi atau terpusat hingga merata
dan memiliki daya dukung yang cukup sebagai lapis pondasi.
Ketentuan sifat campuran setelah perawatan 7 hari di laboratorium
seperti pada Tabel 2.9.
35. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
25
Tabel 2.8 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat
Sifat Kelas A Kelas B
Abrasi dari agregat kasar
(SNI 03-2417-1990)
mak. 40% mak. 40%
Indek plastis
(SNI-03-1966-1990 dan SNI-03-1967-1990)
mak. 6 mak. 6
Hasil kali indek plastisitas dengan % lolos
saringan No.200
mak. 25 --
Batas cair
(SNI 03-1967-1990)
mak. 25 mak. 25
Gumpalan lempung dan butir-butir mudah
pecah dalam agregat
(SNI- 03-4141-1996)
0% mak. 1%
CBR
(SNI 03-1744-1989)
min. 90% min. 65%
Perbandingan persen lolos # 200 dan #40 mak. 2/3 mak. 2/3
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.9 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Tanah Semen
Pengujian
Batas-batas
sifat
(setelah
perawatan 7
hari)
Metode
pengujian
Kuat tekan bebas (UCS),
kg/cm2
min. 20 SNI 03-6887-2002
CBR Laboratorium, % min. 180 SNI 03-1744-1989
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
6. Lapis Pondasi Agregat Semen (LFAS) adalah agregat kelas A,
agregat kelas B, atau agregat kelas C yang diberi campuran semen
dan berfungsi sebagai lapis pondasi. Lapis ini harus diletakkan di atas
36. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
26
lapis pondasi bawah agregat Kelas C. Ketentuan sifat campuran
setelah perawatan 7 hari di laboratorium seperti pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Semen
Kuat Tekan Bebas
Umur 7 Hari (kg/cm2
)
Lapis Pondasi
Agregat
Semen
Silinder
(diameter 70 mm x tinggi
140 mm)
Silinder
(diameter 150 mm x tinggi
300 mm)
Kelas A 45 75
Kelas B 35 55
Kelas C 30 35
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi dan tanah dasar
dinamakan lapis pondasi bawah (subbase).
Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai :
1. bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan
beban kendaraan ke lapis tanah dasar. Lapis ini harus cukup stabil
dan mempunyai CBR sama atau lebih besar dari 20%, serta Indeks
Plastis (IP) sama atau lebih kecil dari 10%;
2. effisiensi penggunaan material yang relatif murah, agar lapis dia-
tasnya dapat dikurangi tebalnya;
3. lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi;
4. lapis pertama, agar pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancar,
sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera
37. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
27
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau lemahnya daya
dukung tanah dasar menahan roda alat berat;
5. lapis filter untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar
naik ke lapis pondasi. Untuk itu lapis pondasi bawah haruslah
memenuhi syarat:
5
tanahdasar
D
pondasi
D
15
15
≥ ............................................................... (2.1)
5
dasar
tanah
D
pondasi
D
85
15
< ............................................................... (2.2)
dengan:
D15 = diameter butir pada persen lolos = 15%.
D85 = diameter butir pada persen lolos = 85%.
Jenis lapis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah
lapis pondasi agregat Kelas C dengan gradasi seperti pada Tabel 2.11,
dan ketentuan sifat campuran seperti pada Tabel 2.12. Lapis pondasi
agregat kelas C ini dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi tanpa
penutup aspal.
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed)
Lapis tanah setebal 50 – 100 cm di atas mana diletakkan lapis pondasi
bawah dan atau lapis pondasi dinamakan lapis tanah dasar atau
subgrade. Mutu persiapan lapis tanah dasar sebagai perletakan struktur
perkerasan jalan sangat menentukan ketahanan struktur dalam meneri-
ma beban lalulintas selama masa pelayanan.
38. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
28
Tabel 2.11 Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas C
Ukuran saringan
Persen berat yang lolos, %
lolos
ASTM (mm) Kelas C
3” 75 100
2” 50 75 – 100
1½” 37,5 60 – 90
1“ 25,0 45 – 78
3/8” 9,50 25 – 55
No.4 4,75 13 - 45
No.10 2,0 8 - 36
No.40 0,425 7 - 23
No.200 0,075 5 - 15
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.12 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Kelas C
Sifat Kelas C
Abrasi dari agregat kasar (SNI 03-2417-1990) mak. 40%
Indek Plastis (SNI-03-1966-1990 dan
SNI-03-1967-1990).
4 – 9
Batas Cair (SNI 03-1967-1990) mak. 35
Gumpalan lempung dan butir - butir mudah pecah
dalam agregat (SNI- 03-4141-1996)
mak. 1%
CBR (SNI 03-1744-1989) min. 35%
Perbandingan persen lolos #200 dan #40 Mak. 2/3
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
39. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
29
Berdasarkan elevasi muka tanah dimana struktur perkerasan jalan dile-
takkan, lapis tanah dasar dibedakan seperti pada Gambar 2.5, yaitu:
1. Lapis tanah dasar tanah asli adalah tanah dasar yang merupakan
muka tanah asli di lokasi jalan tersebut. Pada umumnya lapis tanah
dasar ini disiapkan hanya dengan membersihkan, dan memadatkan
lapis atas setebal 30 – 50 cm dari muka tanah dimana struktur
perkerasan direncanakan akan diletakkan. Benda uji untuk menentu-
kan daya dukung tanah dasar diambil dari lokasi tersebut, setelah
akar tanaman atau kotoran lain disingkirkan.
2. Lapis tanah dasar tanah urug atau tanah timbunan adalah lapis
tanah dasar yang lokasinya terletak di atas muka tanah asli. Pada
pelaksana-an membuat lapis tanah dasar tanah urug perlu
diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan. Benda uji untuk
menentukan daya du-kung tanah dasar diambil dari lokasi tanah
untuk urugan.
Gambar 2.5 Jenis lapis tanah dasar dilihat dari elevasi muka tanah asli
3. Lapis tanah dasar tanah galian adalah lapis tanah dasar yang lokasinya
terletak di bawah muka tanah asli. Dalam kelompok ini termasuk pula
penggantian tanah asli setebal 50 – 100 cm akibat daya dukung tanah
asli yang kurang baik. Pada pelaksanaan membuat lapis tanah dasar
tanah galian perlu diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan.
Tanah Dasar
Tanah Galian
Tanah Dasar
Tanah
Urug/Timbunan
Tanah Dasar
Tanah Asli
40. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
30
Benda uji untuk menentukan daya dukung tanah dasar diambil dari
elevasi lapis tanah dasar.
Daya dukung dan ketahanan struktur perkerasan jalan sangat ditentukan
oleh daya dukung tanah dasar. Masalah-masalah yang sering ditemui
terkait dengan lapis tanah dasar adalah:
1. perubahan bentuk tetap dan rusaknya struktur perkerasan jalan
secara menyeluruh;
2. sifat mengembang dan menyusut pada jenis tanah yang memiliki
sifat plastisitas tinggi. Perubahan kadar air tanah dasar dapat
berakibat terjadinya retak dan atau perubahan bentuk. Faktor
drainase dan kadar air pada proses pemadatan tanah dasar sangat
menentukan kecepatan kerusakan yang mungkin terjadi.
3. perbedaan daya dukung tanah akibat perbedaan jenis tanah.
Penelitian yang seksama akan jenis dan sifat tanah dasar di sepan-
jang jalan dapat mengurangi dampak akibat tidak meratanya daya
dukung tanah dasar.
4. perbedaan penurunan (diffrential settlement) akibat terdapatnya
lapis tanah lunak di bawah lapisan tanah dasar. Penyelidikan jenis
dan karakteristik lapisan tanah yang terletak di bawah lapisan tanah
dasar sangat membantu mengatasi masalah ini.
5. kondisi geologi yang dapat berakibat terjadinya patahan, geseran
dari lempeng bumi perlu diteliti dengan seksama terutama pada
tahap penentuan trase jalan.
6. kondisi geologi di sekitar trase pada lapisan tanah dasar di atas
tanah galian perlu diteliti dengan seksama, termasuk kestabilan
lereng dan rembesan air yang mungkin terjadi akibat dilakukannya
galian.
41. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
31
BAB 3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perencanaan Tebal Perkerasan
Dalam proses perencanaan tebal perkerasan lentur terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dan ikut mempengaruhi hasil perencanaan,
yaitu:
1. Beban lalulintas
2. Sifat tanah dasar
3. Fungsi Jalan
4. Kondisi lingkungan
5. Kinerja struktur perkerasan (pavement performance)
6. Umur rencana atau masa pelayanan
7. Sifat dan jumlah bahan baku yang tersedia
8. Bentuk geometrik jalan
9. Kondisi perkerasan saat ini (khusus untuk peningkatan jalan lama)
3.1 Beban Lalulintas
Beban lalulintas adalah beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan
jalan melalui kontak antara ban dan muka jalan. Beban lalulintas
merupakan beban dinamis yang terjadi secara berulang selama masa
pelayanan jalan. Besarnya beban lalulintas dipengaruhi oleh berbagai
faktor kendaraan seperti:
42. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
32
1. konfigurasi sumbu dan roda kendaraan
2. beban sumbu dan roda kendaraan
3. tekanan ban
4. volume lalulintas
5. repetisi sumbu
6. distribusi arus lalulintas pada perkerasan jalan
7. kecepatan kendaraan
Pemahaman komprehensif tentang beban kendaraan yang merupakan
beban dinamis pada perkerasan jalan, sangat mempengaruhi hasil
perencanaan tebal perkerasan jalan dan kekokohan struktur perkerasan
jalan selama masa pelayanan.
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan
Setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan
disebut juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan
beban. Masing-masing ujung sumbu dilengkapi dengan satu atau dua
roda.
Saat ini terdapat berbagai jenis kendaraan berat yang memiliki jumlah
sumbu lebih dari dua. Berdasarkan konfigurasi sumbu dan jumlah roda
yang dimiliki di ujung-ujung sumbu, maka sumbu kendaraan dibedakan
atas:
1. sumbu tunggal roda tunggal
2. sumbu tunggal roda ganda
3. sumbu ganda atau sumbu tandem roda tunggal
4. sumbu ganda atau sumbu tandem roda ganda
5. sumbu tripel roda ganda
43. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
33
Gambar 3.1 menggambarkan kendaraan dengan konfigurasi sumbu
tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tripel. Sebagai usaha memper-
mudah membedakan berbagai jenis kendaraan maka dalam proses
perencanaan digunakan kode angka dan simbol.
Gambar 3.1 Berbagai konfigurasi sumbu kendaraan
Kode angka dengan pengertian sebagai berikut:
1 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda tunggal
2 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda ganda
11 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda tunggal
111 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda tunggal
22 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda ganda
222 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda ganda
Kode simbol dengan pengertian sebagai berikut:
• : menunjukkan pemisahan antara sumbu depan dan sumbu
belakang kendaraan
- : menunjukkan kendaraan dirangkai dengan sistem hidraulik
+ : menunjukkan kendaraan digandeng dengan kereta tambahan
Sumbu
tunggal
Sumbu
tandem
Sumbu tripel
44. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
34
Berbagai jenis kendaraan memiliki konfigurasi sumbu dan roda kendaraan
yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan terdapat berbagai kode
angka kendaraan, sebagai contoh:
Kendaraan memiliki sistem hidraulik (-) bersumbu tandem roda ganda
(22), dan digandeng (+) dengan kereta tambahan bersumbu depan dan
belakang sumbu tunggal roda ganda (2.2).
Berbagai kode kendaraan sesuai dengan konfigurasi sumbu dan rodanya
dapat dilihat pada Gambar 3.2, sedangkan Gambar 3.3 menunjukkan
berbagai jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu.
Kode konfigurasi sumbu 1.1, yaitu kendaraan
dengan sumbu depan dan sumbu belakang
berupa sumbu tunggal roda tunggal (1).
Kode konfigurasi sumbu 1.22, yaitu kendaraan
dengan sumbu depan sumbu tunggal roda
tunggal (1) dan sumbu belakang berupa sum-
bu tandem roda ganda (22).
Kode konfigurasi sumbu 1.22-22, yaitu
kendaraan dengan konfigurasi sumbu terdiri
dari sumbu depan sumbu tunggal roda
tunggal (1) dan sumbu belakang berupa
sumbu tandem roda ganda (22), memiliki
sistem hidraulik (-) tambahan bersumbu tan-
dem roda ganda (22).
Kode konfigurasi sumbu 1.22-22+2.2,
yaitu kendaraan dengan konfigurasi
sumbu terdiri dari sumbu depan sumbu
tunggal roda tunggal (1) dan sumbu be-
lakang berupa sumbu tandem roda roda
ganda (22).
46. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
36
Gambar 3.3 Klasifikasi jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu
Motorcycles
Passenger
Cars
Two
Axle,
4
Tire
Single
Units
Buses
Two
Axle,
6
Tire
Single
Units
Three
Axle
Single
Units
Four
or
More
Axle
Single
Units
Four
or
Less
Axle
Single
Trailers
Five
Axle
Single
Trailers
Six
or
More
Axle
Single
Trailers
Five
or
Less
Axle
Multi-Trailers
Six
Axle
Multi-
Trailers
Seven
or
More
Axle
Multi-
Trailers
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Sumber: AASHTO, 2004
47. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
37
3.1.2 Beban Roda Kendaraan
Beban kendaraan dilimpahkan keperkerasan jalan melalui bidang kontak
antara ban dan muka jalan. Untuk keperluan perencanaan tebal
perkerasan jalan, bidang kontak antara roda kendaraan dan perkerasan
jalan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan radius sama dengan lebar
ban. Radius bidang kontak ditentukan oleh ukuran dan tekanan ban.
P = π pa2
atau
pπ
P
a = .............................................. (3.1)
dengan:
a = radius bidang kontak
P = beban roda
p = tekanan ban
Dari Rumus 3.1 dapat dilihat bahwa ukuran ban dan tekanan ban
mempengaruhi besarnya beban roda yang akan dilimpahkan keperke-
rasan jalan.
3.1.3 Beban Sumbu
Beban kendaraan dilimpahkan melalui roda kendaraan yang terjadi
berulang kali selama masa pelayanan jalan akibat repetisi kendaraan
yang melintasi jalan tersebut. Titik A pada Gambar 3.4 menerima beban
kendaraan melalui bidang kontaknya sebanyak 2 kali, yaitu akibat
lintasan roda depan dan roda belakang. Titik A terletak pada lajur
lintasan kendaraan bersamaan dengan titik A’. Pada saat yang bersamaan
titik A dan A’ akan menerima beban yang sama. Beban tersebut berupa
48. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
38
beban roda yang besarnya setengah dari beban sumbu kendaraan.
Perkerasan jalan pada penampang I-I menerima beban berulang
sebanyak lintasan sumbu kendaraan. Jika kendaraan memiliki dua sumbu
maka repetisi beban pada penampang I-I adalah dua kali, dan jika
memiliki 3 sumbu maka repetisi beban adalah 3 kali. Dengan kata lain,
repetisi beban yang diakibatkan oleh satu kendaraan sama dengan
jumlah sumbunya. Oleh karena itu repetisi beban pada perencanaan tebal
perkerasan dinyatakan dengan repetisi lintasan sumbu, bukan lintasan
roda ataupun lintasan kendaraan.
Gambar 3.4 Pelimpahan beban kendaraan ke perkerasan jalan
Setiap kendaraan memiliki letak titik berat sesuai dengan desain
kendaraannya. Besarnya beban kendaraan yang didistribusikan ke
sumbu-sumbunya dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan tersebut.
Dengan demikian setiap jenis kendaraan mempunyai distribusi beban
Lajur lalulintas
I
I
A A
A’
A
A’
49. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
39
yang berbeda-beda. Berat total kendaraan G pada Gambar 3.5 didistri-
busikan ke sumbu depan seberat F1 dan sumbu belakang seberat F2.
Gambar 3.5 Distribusi beban kendaraan ke setiap sumbu
F1 = G l2/l ...................................................................... (3.2)
F2 = G l1/l ...................................................................... (3.3)
dengan:
G = berat kendaraan
F1 = beban sumbu depan
F2 = beban sumbu belakang
l = jarak antara kedua sumbu
l1 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu depan
l2 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu belakang
Jika l2/l = A% dan l1/l = B%, berarti berat kendaraan terdistribusi A% ke
sumbu depan dan B% ke sumbu belakang, maka:
F1 = 0,0A G dan F2 = 0,0B G ............................................(3.4)
dengan:
A = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu depan
B = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu belakang
50. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
40
Tabel 3.1 menunjukkan distribusi beban sumbu dari berbagai jenis
kendaraan sebagaimana yang diberikan oleh Bina Marga pada Buku
Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No.
01/MN/BM/83.
Tabel 3.1 Distribusi Beban Sumbu Untuk Berbagai Jenis Kendaraan
Konfigurasi
Sumbu
&
Tipe
Berat
Kosong
(ton)
Beban
Muatan
Maksimum
(ton)
Berat
Total
Maksimum
(ton)
1.1
Mobil
Penumpang
1,5 0,5 2,0
1.2
Bus
3 6 9
1.2L
Truk
2,3 6 8,3
1.2H
Truk
4,2 14 18,2
1.22
Truk
5 20 25
1.2 + 2.2
Trailer
6,4 25 31,4
1.2+ 2
Trailer
6,2 20 26,2
1.2+ 22
Trailer
10 32 42
Sumber : Bina Marga, No. 01/MN/BM/83
S D
34% 66%
S D
18% 28%
D
54%
D
27% 27%
S D
18% 41%
D
41%
S D
18% 28%
D
27%
D
27%
S D
25% 75%
D
37,5%
37,5%
S D
34% 66%
S D
34% 66%
50% 50%
S
D
Roda Tunggal Pada
Ujung Sumbu
Roda Ganda Pada
Ujung Sumbu
L = truk ringan
H = truk berat
51. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
41
Perkembangan pesat jenis kendaraan, konfigurasi sumbu, dan muatan
yang dapat diangkut kendaraan sejak 1983 sampai saat ini, mengakibat-
kan banyak jenis kendaraan yang tidak terdapat pada Tabel 3.1.
Distribusi beban sumbu untuk jenis kendaraan yang belum ada dalam
Tabel 3.1 dapat diperoleh melalui survei timbang, atau mempelajari
brosur dari jenis kendaraan tersebut.
Setiap jenis kendaraan yang sama dapat saja mempunyai beban sumbu
yang berbeda, karena kendaraan selalu mengangkut muatan dengan
berat yang tidak selalu sama. Sebagai contoh, truk ringan dengan berat
kosong 2,5 ton dapat dimuati sampai mencapai berat maksimum yang
diizinkan sebesar 8,0 ton. Setiap kali truk tersebut melintasi suatu ruas
jalan, berat truk dapat bervariasi dari 2,5 ton sampai dengan 8,0 ton,
yang tentu saja menghasilkan beban sumbu yang berbeda-beda.
Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan sepantasnyalah beban yang
diperhitungkan adalah beban yang mungkin terjadi selama umur rencana
atau masa pelayanan jalan. Beban lalulintas rencana tidak selalu sama
dengan beban maksimum. Perencanaan berdasarkan beban maksimum
akan menghasilkan tebal perkerasan yang tidak ekonomis, tetapi peren-
canaan berdasarkan beban yang lebih kecil dari beban rata-rata yang
digunakan akan menyebabkan struktur perkerasan mengalami kerusakan
sebelum masa pelayanan habis. Pertimbangan yang bijaksana berdasar-
kan data beban kendaraan di lokasi atau sekitar lokasi, dan pertimbangan
faktor pertumbuhan beban dan volume lalulintas yang mungkin terjadi,
sangat tepat untuk dilakukan. Oleh karena itu dalam rangka perencanaan
tebal perkerasan perlu dilakukan survei beban kendaraan, kajian lalu-
lintas, serta analisis dan prediksi pertumbuhan sosio ekonomi.
52. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
42
Survei beban kendaraan
Survei beban kendaraan adalah survei yang diperlukan sehubungan
dengan kebutuhan data tentang berat kendaraan dan distribusi beban
kesumbunya.
Hasil survei beban kendaraan berguna untuk mendapatkan data tentang:
1. berat setiap jenis kendaraan;
2. fluktuasi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
3. distribusi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
4. mengawasi beban sumbu maksimum.
Alat timbang yang digunakan pada survei beban kendaraan biasanya tipe
portable yang dapat dipindah-pindah sesuai lokasi yang diinginkan. Jenis
alat timbang ada dua, yaitu:
1. Static Weighing, penimbangan dilakukan dengan kendaraan berhenti
di atas alat timbang;
2. Weight-in-Motion (WIM), penimbangan dilakukan dengan kendaraan
melintasi alat timbang dengan kecepatan tertentu.
Sumber:Traffic Monitoring Guide
Gambar 3.6 Contoh alat timbang statis
53. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
43
Keuntungan alat statis yaitu penimbangan akurat, tetapi memiliki kerugi-
an karena perlu lokasi yang aman dan membutuhkan waktu serta sejum-
lah petugas yang bekerja intensif dalam waktu yang pendek.
Keuntungan WIM yaitu alat bekerja menggunakan sensor, sehingga lebih
banyak kendaraan yang dapat ditimbang dalam waktu survei yang sama
sehingga hasil pengujian tidak bias. Kerugian penggunaan WIM adalah
biaya instalasi mahal, dan biaya pemeliharaan alat lebih mahal daripada
alat statis.
Lokasi tempat penimbangan jika digunakan alat timbang statis ditentukan
berdasarkan volume kendaraan berat yang melewati jalan tersebut.
Gambar 3.7 sampai dengan Gambar 3.10 menunjukkan berbagai tipe
lokasi survei timbang. Berdasarkan volume kendaraan berat, ditentukan
tipe lokasi pos timbang dan jumlah sampel yang dibutuhkan seperti pada
Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Jenis Lokasi Pos Timbang Dan Jumlah Sampel
Volume maksimum
kendaraan berat/jam
Tipe lokasi pos timbang
Jumlah sampel
kendaraan berat
yang ditimbang
0 – 30 Pos timbang C atau D Semua
31 – 60 Pos timbang A atau B Semua
61 – 120 Pos timbang A atau B Alternatif
121 – 180 Pos timbang A atau B 1 dari 3
180 - 240 Pos timbang A atau B 1 dari 4
Sumber: TRRL
Penimbangan dilakukan sebaiknya 7 X 24 jam sehingga diperoleh fluktu-
asi rata-rata dari beban sumbu kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
54. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
44
Jika keadaan lokasi tak memungkinkan, survei dapat dikurangi berdasar-
kan pertimbangan setempat, tetapi sebaiknya tidak kurang dari 3 X 16
jam.
Sumber: TRRL
Gambar 3.7 Denah lokasi Pos Timbang A
Sumber: TRRL
Gambar 3.8 Denah lokasi Pos Timbang B
Jalur Utama
Kendaraan ringan
Kendaraan ringan
Kendaraan berat
Kendaraan berat
Bahu jalan
Pos Timbang
Pos Timbang
Pengawas
Lalulintas
Pengawas
Lalulintas
Pos Timbang
Jalur Utama
Pengawas
Lalulintas
Pos Timbang
Kendaraan ringan
Pengawas
Lalulintas
Kendaraan ringan
55. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
45
Sumber: TRRL
Gambar 3.9 Denah lokasi Pos Timbang C
Sumber: TRRL
Gambar 3.10 Denah lokasi Pos Timbang D
Hasil yang diperoleh dari survei beban kendaraan adalah berat roda pada
ujung sumbu yang ditimbang (Gambar 3.6). Dari berat roda diperoleh
beban sumbu. Jika nilai A dan B dari Rumus 3.4 diketahui untuk setiap
jenis kendaraan, maka penimbangan cukup dilakukan untuk satu beban
roda atau satu kelompok roda di ujung sumbu saja (½ F1 atau ½ F2).
Dari hasil penimbangan diperoleh beban atau berat dari setiap jenis
kendaraan (G). Jika tidak tersedia data dan ingin diperoleh nilai G, A, dan
Pos Timbang
Jalur Utama
Pengawas
Lalulintas
Kendaraan ringan
Pengawas
Lalulintas
Kendaraan ringan
Jalur Utama
Kendaraan ringan
Kendaraan ringan
Kendaraan berat
Kendaraan berat
Bahu jalan
Pos Timbang
Pengawas
Lalulintas
Pengawas
Lalulintas
56. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
46
B, maka penimbangan dilakukan untuk roda depan dan belakang kenda-
raan (½ F1 dan ½ F2).
Sebagai contoh:
Dari hasil survei beban kendaraan diperoleh beban roda belakang dari
sebuah kendaraan truk seberat 2100 kg. Truk tersebut merupakan truk 2
as dengan jenis sumbu tunggal (kode angka 1.1). Distribusi beban sumbu
depan dan belakang adalah 34% dan 66%.
Jadi:
Beban sumbu belakang = 2 x 2100 kg = 4200 kg.
Beban sumbu depan = 34/66 x 4200 kg = 2200 kg
Berat total truk adalah 6400 kg.
3.1.4 Volume Lalulintas
Volume lalulintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati
satu titik pengamatan selama satu satuan waktu (hari, jam, atau menit).
Lalulintas harian rata-rata adalah volume lalulintas rata-rata dalam satu
hari. Dari lama waktu pengamatan untuk mendapatkan nilai lalulintas
harian rata-rata, dikenal 2 jenis lalulintas harian rata-rata yaitu:
1. Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT), yaitu volume lalulintas
harian yang diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama
satu tahun penuh.
LHRT =
365
1tahun
dalam
kendaraan
Jumlah
................ (3.5)
LHRT dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah
tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan
median.
57. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
47
2. Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR), yaitu volume lalulintas harian yang
diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama beberapa hari
pengamatan.
LHR =
pengamatan
hari
jumlah
pengamatan
selama
kendaraan
Jumlah
...... (3.6)
LHR dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah
tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan
median.
Data LHR cukup akurat jika:
a. pengamatan dilakukan pada interval waktu yang dapat menggam-
barkan fluktuasi arus lalulintas selama 1 tahun;
b. hasil LHR yang dipergunakan dalam perencanaan adalah harga
rata-rata dari beberapa kali pengamatan atau telah melalui kajian
lalulintas.
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas
Beban lalulintas berupa berat kendaraan yang dilimpahkan melalui kontak
antara roda dan perkerasan jalan, merupakan beban berulang (repetisi
beban) yang terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan.
Konfigurasi dan beban sumbu kendaraan bermacam-macam, sedangkan
repetisi beban dinyatakan dalam lintasan sumbu kendaraan, oleh karena
itu perlu ditentukan cara untuk menyatakan repetisi beban sehingga data
yang diberikan tidak memberi peluang untuk salah menafsirkan besarnya
beban lalulintas.
Saat ini terdapat 2 cara penentuan besarnya beban lalulintas untuk
perencanaan, yaitu dinyatakan dalam:
58. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
48
1. repetisi lintasan sumbu standar;
2. spektra beban dimana beban lalulintas dinyatakan dalam repetisi
beban sumbu sesuai beban dan konfigurasi kelompok sumbunya.
Repetisi Lintasan Sumbu Standar
Kendaraan yang memiliki berbagai konfigurasi sumbu, roda, dan bervari-
asi dalam total beban yang diangkutnya, diseragamkan dengan meng-
gunakan satuan lintasan sumbu standar (lss), dikenal juga dengan
Equivalent Single Axle load (ESA). Sumbu standar adalah sumbu tunggal
beroda ganda dengan kriteria sebagai berikut:
- beban sumbu 18.000 pon (80 kN);
- lebar bidang kontak ban 4,51 inci (11 cm);
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda 13,57 inci (33 cm);
- Tekanan pada bidang kontak = 70 pon/inci2
.
Sumbu tunggal 18.000 pon yang digunakan sebagai sumbu standar
digambarkan pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Sumbu standar 18.000 pon
13,57
inci
4,51
inci
18.000
pon
Tekanan angin
= 70 pon/inci
2
59. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
49
Luas bidang kontak antara ban dan muka jalan sebenarnya berbentuk
elips, tetapi sebagai pendekatan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan
radius = 4,51 inci. Luas bidang kontak keempat roda dari sumbu tunggal
= 4 x π x 4,512
= 255,601 inci2
.
Jadi beban satu sumbu standar = 255,601 x 70 = 17.892 pon,
dibulatkan menjadi 18.000 pon.
Bina Marga menggunakan satuan metrik sehingga kriteria beban sumbu
standar adalah sebagai berikut:
- beban sumbu 8160 kg;
- tekanan roda 1 ban ± 5,5 kg/cm2 (0,55 Mpa);
- lebar bidang kontak 11cm;
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda = 33 cm.
Sumbu tunggal 8160 kg yang digunakan sebagai sumbu standar di Indo-
nesia seperti digambarkan pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12 Sumbu standar 8160 kg
33 cm
11 cm
8.160 kg
Tekanan angin
= 5,5 kg/cm2
60. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
50
Beban lalulintas berasal dari berbagai jenis kendaraan dengan beragam
konfigurasi sumbu dan berat kendaraan. Oleh karena itu dibutuhkan
angka ekivalen (E) yang berguna untuk mengekivalenkan berbagai
lintasan sumbu terhadap sumbu standar. Karena tujuan penyeragaman
satuan ini adalah untuk menyatakan akibat beban terhadap struktur
perkerasan jalan, maka angka ekivalen (E) adalah angka yang menun-
jukkan jumlah lintasan sumbu standar yang menyebabkan kerusakan
yang sama untuk satu lintasan sumbu atau kendaraan yang dimaksud.
Sebagai contoh:
- E sumbu tunggal roda tunggal seberat 2,2 ton = 0,005; ini berarti 1
kali lintasan sumbu tunggal roda tunggal dengan berat 2,2 ton
ekivalen dengan 0,005 kali lintasan sumbu standar, akan menye-
babkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan.
- E truk berat 18 ton = 2,5; ini berarti 1 kali lintasan truk dengan berat
18 ton ekivalen dengan 2,5 kali lintasan sumbu standar, akan menye-
babkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan.
Satu kendaraan terdiri dari minimal 2 lintasan sumbu, berarti angka
ekivalen (E) untuk setiap jenis kendaraan merupakan jumlah dari angka
ekivalen untuk lintasan semua sumbu yang dimiliki oleh kendaraan
tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya angka ekivalen adalah:
1. Kecepatan kendaraan
Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi menyebabkan kontak
antara ban dengan muka jalan lebih singkat dibandingkan dengan
yang berkecepatan lebih rendah. Dengan demikian E sumbu kendara-
61. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
51
an dengan kecepatan tinggi lebih kecil dari pada E sumbu kendaraan
pada kecepatan rendah.
2. Perbedaan mutu struktur perkerasan jalan menyebabkan kemampuan
perkerasan menerima beban tanpa terjadi kerusakan akan berbeda.
Perkerasan dengan mutu lebih baik memiliki kemampuan perkerasan
menerima beban tanpa terjadi kerusakan lebih besar dibandingkan
dengan perkerasan bermutu yang lebih buruk. Dengan demikian E
sumbu kendaraan lebih kecil jika mutu perkerasan semakin baik.
3. Luas bidang kontak antara ban dan muka jalan.
Hal ini dipengaruhi oleh konfigurasi sumbu, jumlah roda, jenis dan
tekanan ban. Sumbu tandem dan atau roda ganda mempunyai jumlah
luas bidang kontak yang lebih luas dari sumbu tunggal dan atau roda
tunggal. Berarti E lintasan sumbu kendaraan untuk sumbu tandem
dan atau roda ganda lebih kecil dari E lintasan sumbu kendaraan
untuk sumbu tunggal dan atau roda tunggal.
4. Kelandaian jalan.
Pada jalan menanjak kendaraan bergerak dengan kecepatan lebih
rendah daripada di jalan datar, sehingga kontak antara ban dan muka
jalan menjadi lebih lama. Dengan demikian E lintasan sumbu kenda-
raan pada daerah tanjakan lebih besar dari E lintasan sumbu
kendaraan pada daerah datar.
5. Beban sumbu kendaraan
Beban kendaraan didistribusikan ke sumbu-sumbunya sesuai dengan
berat total kendaraan. Beban sumbu menjadi lebih besar jika berat
total kendaraan lebih berat, walaupun dengan konfigurasi sumbu
yang sama. Dengan demikian E sumbu kendaraan yang lebih berat
62. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
52
akan lebih besar dari pada E sumbu kendaraan dengan beban lebih
ringan.
6. Fungsi jalan.
Kendaraan yang melintasi jalan penghubung 2 kota umumnya berke-
cepatan tinggi dan dengan jenis kendaraan pengangkut beban yang
lebih berat. Kecepatan kendaraan di dalam kota relatif lebih rendah
akibat banyaknya persimpangan. Dengan demikian E lintasan sumbu
kendaraan secara tak langsung dipengaruhi juga oleh fungsi jalan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa 4 faktor utama yang
mempengaruhi nilai angka ekivalen, yaitu konfigurasi sumbu kendaraan,
beban sumbu, mutu struktur perkerasan, dan kecepatan kendaraan.
Setiap kondisi yang dapat mempengaruhi keempat faktor tersebut, akan
mempengaruhi pula nilai angka ekivalen E. Penentuan besarnya nilai E
ditentukan berdasarkan metode yang digunakan (Baca juga Bab 4, Bab 5,
Bab 6 dan Bab 7).
Spektra Beban Sumbu
Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak
antara roda dan muka jalan bervariasi sesuai konfigurasi sumbu dan
jumlah roda di ujung masing-masing sumbu. Berbagai metode dilakukan
untuk menggambarkan variasi beban sumbu ini, antara lain dengan
mengekivalenkan ke dalam lintasan sumbu standar 18.000 pon seperti
diuraikan sebelum ini. Di samping metode mengekivalenkan ke sumbu
standar, variasi beban sumbu dapat digambarkan dalam bentuk spektra
beban. Beban lalulintas yang dinyatakan dengan spektra beban sumbu
digunakan pada perencanaan tebal perkerasan kaku dan mulai digunakan
untuk perencanaan tebal perkerasan lentur yang menggunakan metode
63. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
53
mekanistik-empirik. Beban sumbu pada metode spektra beban dikelom-
pokkan berdasarkan konfigurasi dan rentang beban sumbu.
Contoh spektra beban sumbu kendaraan seperti pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Contoh Spektra Beban Sumbu Kendaraan
Jumlah lintasan sumbu kendaraan/hari/2 arah
Beban sumbu
(ton) Tunggal Ganda Tripel
< 5 5000 400 100
5-10 3000 2000 500
10-15 200 5000 800
15-20 6 1500 900
3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana
Data volume lalulintas dalam satuan kendaraan/hari tidak mencerminkan
repetisi beban lalulintas yang diterima oleh struktur perkerasan jalan.
Sebagai contoh, struktur perkerasan jalan dengan volume 5000 kenda-
raan/hari/2 arah pada jalan 2 lajur 2 arah (Gambar 3.13a) menerima
repetisi beban yang lebih berat dibandingkan dengan volume yang sama
tetapi melintasi jalan 4 lajur 2 arah (Gambar 3.13b). Dengan demikian
data volume lalulintas dengan satuan kendaraan/hari/2 arah atau
kendaraan/hari/arah tidak akurat untuk menyatakan repetisi beban
lalulintas pada perencanaan tebal perkerasan jalan.
Salah satu lajur pada jalan 2 lajur 2 arah, atau lajur paling kiri dari salah
satu arah lalulintas pada jalan 4 lajur 2 arah menerima repetisi beban
yang lebih berat dibandingkan dengan lajur yang lain. Lajur tersebut
disebut sebagai lajur rencana. Lajur rencana adalah lajur lalulintas yang
64. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
54
menerima beban berulang (repetisi beban) lebih sering dan dengan
komposisi beban kendaraan yang lebih berat.
a. Jalan 2 lajur 2 arah b. jalan 4 lajur 2 arah
Gambar 3.13 Berbagai tipe jalan
Repetisi beban lalulintas pada lajur rencana ditentukan dengan
memperhatikan volume dan distribusi berbagai jenis kendaraan ke setiap
lajur. Rumus untuk menentukan repetisi beban ke lajur rencana dari
berbagai jenis kendaraan dan konfigurasi sumbu adalah sebagai berikut:
Q = ∑ LHRi x DA x DL ....................................................... (3.7)
atau
Q = ∑ LHRTi x DA x DL ..................................................... (3.8)
atau
Q = ∑ LHRTi x Ci ............................................................. (3.9)
atau
Q = ∑ LHRi x Ci ........................................................... (3.10)
dengan:
Q = repetisi beban lalulintas ke lajur rencana,
kendaraan/hari/lajur
65. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
55
DA = koefisien distribusi arah untuk jenis kendaraan i
DL = koefisien distribusi ke lajur rencana dari 1 arah
lalulintas untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi arus lalulintas 2 arah ke lajur
rencana untuk jenis kendaraan i
= DA x DL
LHRTi = Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan untuk jenis
kendaraan i, kendaraan/hari/2 arah
LHRi = Lalulintas Harian Rata-Rata untuk jenis kendaraan i,
kendaraan/hari/2 arah
3.2 Daya Dukung Tanah Dasar
Tanah dasar dapat terdiri dari tanah dasar tanah asli, tanah dasar tanah
galian, atau tanah dasar tanah urug yang disiapkan dengan cara dipa-
datkan. Di atas lapisan tanah dasar diletakkan lapisan struktur perkerasan
lainnya, oleh karena itu mutu daya dukung tanah dasar ikut mempe-
ngaruhi mutu jalan secara keseluruhan.
Berbagai parameter digunakan sebagai penunjuk mutu daya dukung
tanah dasar seperti California Bearing Ratio (CBR), modulus resilient
(MR); penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer), atau
modulus reaksi tanah dasar (k). Pemilihan parameter mana yang akan
digunakan, ditentukan oleh kondisi tanah dasar yang direncanakan dan
metode perencanaan tebal perkerasan yang akan dipilih.
66. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
56
3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR)
CBR yang dinyatakan dalam persen, adalah perbandingan antara beban
yang dibutuhkan untuk penetrasi sedalam 0,1 inci atau 0,2 inci antara
contoh tanah dengan batu pecah standar. Nilai CBR adalah nilai empiris
dari mutu tanah dasar dibandingkan dengan mutu batu pecah standar
yang memiliki nilai CBR 100%. Pengujian CBR di laboratorium mengikuti
SNI 03-1744 atau AASHTO T193. Alat pengujian terdiri dari piston
dengan luas 3 inci2
yang digerakkan dengan kecepatan 0,05 inci/menit,
vertikal ke bawah. Proving ring digunakan untuk mengukur beban yang
dibutuhkan pada penetrasi tertentu, sedangkan arloji pengukur untuk
mengukur dalamnya penetrasi. Alat uji CBR di laboratorium seperti pada
Gambar 3.14. Beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi batu
pecah standar seperti pada Tabel 3.4.
Gambar 3.14 Alat pengujian CBR di laboratorium
Proving ring
Rangka alat
67. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
57
Tabel 3.4 Beban Untuk Melakukan Penetrasi Batu Pecah Standar
Penetrasi, inci Beban Standar, pon
Beban standar,
pon/inci2
0,1 3000 1000
0,2 4500 1500
0,3 5700 1900
0,4 6900 2300
0,5 7800 6000
Sumber: AASHTO T 193
Jenis CBR
Berdasarkan kondisi benda uji, CBR dibedakan atas:
1. CBR rencana;
2. CBR lapangan;
3. CBR lapangan rendaman.
CBR rencana, disebut juga CBR laboratorium atau design CBR, adalah
pengujian CBR dimana benda uji disiapkan dan diuji mengikuti SNI 03-
1744 atau AASHTO T 193 di laboratorium.
CBR rencana digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar,
dimana pada saat perencanaan lokasi tanah dasar belum disiapkan
sebagai lapis tanah dasar struktur perkerasan. Perencanaan tebal
perkerasan jalan baru pada umumnya menggunakan jenis CBR ini
sebagai penunjuk daya dukung tanah dasar. Jenis CBR ini digunakan
untuk menentukan daya dukung tanah dasar pada kondisi tanah dasar
akan dipadatkan lagi sebelum struktur perkerasan dilaksanakan.
68. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
58
Sebagai contoh digambarkan kondisi sebagai berikut:
Lapis tanah dasar dari struktur perkerasan jalan baru direncanakan
merupakan tanah dasar tanah asli. Lokasi tanah dasar pada tahap
perencanaan merupakan tanah sawah. Ini berarti tahap pelaksanaan
konstruksi akan dimulai dengan pekerjaan tanah mempersiapkan lapis
tanah dasar yang diakhiri dengan pemadatan tanah. Oleh karena itu jenis
CBR yang sesuai untuk menyatakan daya dukung tanah dasar sebagai
parameter perencanaan tebal perkerasan adalah CBR rencana atau CBR
laboratorium.
CBR lapangan, dikenal juga dengan nama CBRinplace atau field CBR,
adalah pengujian CBR yang dilaksanakan langsung dilapangan, di lokasi
tanah dasar rencana. Prosedur pengujian mengikuti SNI 03-1738 atau
ASTM D 4429.
CBR lapangan digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar
dimana tanah dasar direncanakan tidak lagi mengalami proses pemadat-
an atau peningkatan daya dukung tanah sebelum lapis pondasi dihampar
dan pada saat pengujian tanah dasar dalam kondisi jenuh. Dengan kata
lain perencanaan tebal perkerasan dilakukan berdasarkan kondisi daya
dukung tanah dasar pada saat pengujian CBR lapangan itu.
Pengujian dilakukan dengan meletakkan piston pada elevasi dimana nilai
CBR hendak diukur, lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang
dilimpahkan melalui gandar truk ataupun alat lainnya dengan kecepatan
0,05 inci/menit. CBR ditentukan sebagai hasil perbandingan antara beban
yang dibutuhkan untuk penetrasi 0,1 atau 0,2 inci benda uji dengan
beban standar. Gambar 3.15 dan Gambar 3.16 menggambarkan alat dan
pengujian CBR lapangan.
69. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
59
cincin penguji
torak penetrasi
sweavel head
Dongkrak Mekanis
engkol
Sumber: SNI 03-1738-1989
Gambar 3.15 Alat CBR Lapangan
Gambar 3.16 UJi CBR Lapangan
70. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
60
CBR lapangan rendaman disebut juga undisturbed soaked CBR, adalah
pengujian CBR di laboratorium tetapi benda uji diambil dalam keadaan
”undisturbed” dari lokasi tanah dasar dilapangan. CBR lapangan ren-
daman diperlukan jika dibutuhkan nilai CBR pada kondisi kepadatan
dilapangan, tetapi dalam keadaan jenuh air, dan tanah mengalami
pengembangan (swell) yang maksimum, sedangkan pengujian dilakukan
pada saat kondisi tidak jenuh air, seperti pada musim kemarau.
Pengujian dilakukan dengan mengambil benda uji menggunakan mold
yang dilengkapi kaki pemotong. Untuk mendapatkan benda uji ”undis-
turbed” mold ditekan masuk kedalam tanah mencapai elevasi tanah dasar
rencana. Mold berisi benda uji dikeluarkan dari dalam tanah, dibawa ke
laboratorium untuk direndam dalam air selama lebih kurang 4 hari, sam-
bil diukur pengembangannya (swell). Pengujian dengan menggunakan
alat CBR dilaksanakan setelah pengembangan tak lagi terjadi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan asal tanah
untuk membuat benda uji dan jenis pengujian CBR
Benda uji yang disiapkan untuk pengujian CBR adalah benda uji yang
memodelkan kondisi lapisan tanah dasar dari struktur perkerasan jalan.
Oleh karena itu dalam mempersiapkan benda uji perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. jenis lapisan tanah dasar, apakah tanah berbutir halus dengan
plastisitas rendah, tanah berplastisitas tinggi, atau tanah berbutir
kasar. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan tanah dalam
menahan air dan effeknya terhadap pengembangan.
71. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
61
2. elevasi rencana dari lapis tanah dasar, apakah merupakan elevasi
tanah galian, tanah urug, atau sesuai dengan muka tanah asli. Benda
uji harus disiapkan dari tanah yang direncanakan sebagai lapis tanah
dasar (subgrade). Oleh karena itu contoh tanah harus berasal dari:
a. permukaan tanah jika elevasi lapis tanah dasar sama dengan
elevasi muka tanah.
b. material yang nantinya akan digunakan sebagai tanah urug, jika
elevasi lapisan tanah dasar rencana terletak di atas tanah urugan.
c. berasal dari lubang bor atau sumur uji (test pit) pada elevasi yang
direncanakan sebagai lapis tanah dasar. Hal ini ditemui jika elevasi
lapis tanah dasar direncanakan terletak pada tanah galian. Contoh
tanah diambil dari lubang bor jika elevasi lapis tanah dasar rencana
terletak jauh dari muka tanah saat ini, sedangkan sumur uji
digunakan jika elevasi lapis tanah dasar rencana tidak terlalu dalam
dan memungkinkan untuk membuat sumur uji. Penentuan nilai CBR
rencana untuk contoh tanah yang berasal dari lubang bor hanya
mungkin dilakukan dengan menggunakan korelasi dengan klasifi-
kasi tanah, sedangkan untuk contoh tanah dari sumur uji dilakukan
pengujian mengikuti SNI 03-1744 atau AASHTO T 193.
3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan
Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan nilai CBR yang
menunjukkan daya dukung tanah sedalam 100 cm. Kadangkala lapis
tanah dasar sedalam 100 cm itu memiliki nilai CBR yang berbeda-beda
seperti pada Gambar 3.17. Untuk itu perlu ditentukan nilai CBR yang
mewakili satu titik pengamatan dengan menggunakan Rumus 3.11[Japan
Road Ass]
.
72. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
62
Lapis pertama h1, CBR1
Lapis kedua h2, CBR2
Lapis ke n hn, CBRn
Gambar 3.17 Lapisan tanah di bawah satu titik pengamatan
CBRttk pengamatan = 3
3
n
n
3
1
1
)
h
CBR
.........h
CBR
h
(
+
....................... ( 3.11)
dengan:
h1 + h2 +...........+ hn = h cm
hn = tebal tiap lapisan tanah ke n
CBRn = nilai CBR pada lapisan ke n
3.2.3 CBR Segmen Jalan
Jalan dalam arah memanjang dapat melintasi berbagai jenis tanah dan
kondisi medan yang berbeda. Mutu daya dukung lapisan tanah dasar
dapat bervariasi dari jelek sampai dengan baik atau sebaliknya. Dengan
demikian tidak ekonomis jika perencanaan tebal lapisan perkerasan jalan
berdasarkan nilai yang terjelek dan tidak pula memenuhi syarat jika
berdasarkan hanya nilai terbesar saja. Oleh karena itu sebaiknya panjang
jalan dibagi atas beberapa segmen jalan. Setiap segmen jalan memiliki
mutu daya dukung tanah dasar yang hampir sama. Jadi, segmen jalan
100 cm
73. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
63
adalah bagian dari ruas jalan yang memiliki mutu daya dukung, sifat
tanah, dan keadaan lingkungan yang relatif sama.
Pengujian CBR sebaiknya dilakukan setiap jarak 250 meter dan ditambah
ketika ditemuinya perubahan jenis tanah atau kondisi lingkungan.
Gambar 3.18 menunjukkan ilustrasi banyaknya titik pengamatan CBR
pada satu ruas jalan. Untuk alasan efisiensi interval pengujian CBR dapat
diperbesar, tetapi perlu pengendalian mutu pada pelaksanaan. Jika dite-
mui kondisi berbeda dengan yang diasumsikan pada desain, maka re-
desain wajib dilaksanakan.
segmen jalan
x x x x x
x x x x
250m 250m
x = titik pengamatan, daya dukung diwakili oleh CBRtitik pengamatan
segmen= bagian dari ruas jalan dengan CBRtitik pengamatan yang relatif sama,
daya dukung diwakili oleh CBRsegmen
ruas = bagian jalan antara 2 simpang
Gambar 3.18 Ilustrasi tentang titik pengamatan CBR , segmen, dan ruas jalan
Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili mutu daya
dukung tanah dasar untuk digunakan pada perencanaan tebal lapisan
perkerasan segmen jalan tersebut.
ruas jalan
74. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
64
Nilai CBRsegmen ditentukan dengan mempergunakan metode analitis
ataupun dengan metode grafis.
Metode analitis
Beberapa metode analitis dapat digunakan untuk menentukan CBRsegmen,
antara lain:
1. Berdasarkan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata dari CBR yang
ada dalam satu segmen.
CBRsegmen = CBRrata-rata – K.S ............................................ (3.12)
dengan:
CBRsegmen = CBR yang mewakili nilai CBR satu segmen
CBRrata-rata = CBR rata-rata dalam satu segmen
S = nilai simpangan baku dari seluruh data yang ada
dalam satu segmen
K = konstanta yang ditentukan berdasarkan
tingkat kepercayaan yang digunakan, yaitu:
K = 2,50; jika tingkat kepercayaan = 98%
K = 1,96; jika tingkat kepercayaan = 95%
K = 1,64; jika tingkat kepercayaan = 90%
K = 1,00; jika tingkat kepercayaan = 68%
2. Metode Japan Road Ass[Japan Road Ass]
:
CBRsegmen = CBRrata-rata - (CBRmaks - CBRmin)/R ...................... (3.13)
dengan:
CBRsegmen = CBR yang mewakili nilai CBR satu segmen
CBRrata-rata = CBR rata-rata dalam satu segmen
CBRmaks = CBR maksimum dalam satu segmen
CBRmin = CBR minimum dalam satu segmen
75. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
65
R = konstanta seperti pada Tabel 3.5, berdasarkan jumlah
data CBR titik pengamatan dalam satu segmen.
Nilai CBRsegmen menggunakan Rumus 3.12 hampir sama dengan nilai yang
diperoleh dengan Rumus 3.13, untuk nilai K = 1.
Tabel 3.5 Nilai R Untuk Menghitung CBRsegmen
Jumlah titik pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
10 3,18
Sumber:Japan Road Ass
Metode grafis
Nilai CBRsegmen dengan menggunakan metode grafis merupakan nilai
persentil ke 90 dari data CBR yang ada dalam satu segmen.
CBRsegmen adalah nilai CBR dimana 90% dari data yang ada dalam segmen
memiliki nilai CBR lebih besar dari nilai CBRsegmen.
Langkah – langkah menentukan CBRsegmen menggunakan metode grafis
adalah sebagai berikut :
76. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
66
1. Tentukan nilai CBR terkecil.
2. Susunlah nilai CBR dari yang terkecil ke yang terbesar, dan tentukan
jumlah data dengan nilai CBR yang sama atau lebih besar dari setiap
nilai CBR. Pekerjaan ini disusun secara tabelaris.
3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan
persentase dari 100%.
4. Gambarkan hubungan antara nilai CBR dan persentase dari Butir 3
5. Nilai CBRsegmen adalah nilai pada angka 90% sama atau lebih besar dari
nilai CBR yang tertera.
Contoh perhitungan:
Dari hasil pengujian CBR di sepanjang ruas jalan antara Sta 0+000
sampai dengan STA 4+250 diperoleh nilai CBR titik pengamatan sebagai
berikut:
STA
CBR titik
pengamatan
(%)
STA
CBR titik
pengamatan
(%)
0+000 6 2+250 10
0+250 7 2+500 11
0+500 6 2+750 14
0+750 6 3+000 12
1+000 8 3+250 15
1+250 7 3+500 13
1+500 8 3+750 16
1+750 9 4+000 16
2+000 8 4+250 14
77. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
67
Berdasarkan data CBR tersebut, maka ruas jalan dibagi menjadi 2
segmen yaitu:
- segmen pertama antara STA 0+000 sampai dengan STA 2+000
- segmen kedua antara STA 2+250 sampai dengan 4+250
Contoh perhitungan hanya untuk segmen pertama saja.
1. Dengan menggunakan metode analitis:
a. Berdasarkan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata dari CBR yang
ada dalam satu segmen.
CBR rata-rata segmen pertama = 7,22%
Simpangan baku data = 1,09
Tingkat kepercayaan 68%, jadi K = 1
Dengan menggunakan Rumus 3.12 diperoleh:
CBRsegmen untuk segmen pertama = 7,22 – (1) (1,09) = 6,13%,
dibulatkan menjadi 6%.
b. Metode Japan Road Ass:
CBR maksimum = 9%
CBR minimum = 6%
CBR rata-rata = 7,22%
Jumlah data ada 9, dari Tabel 3.5 diperoleh R = 3,08
Dengan menggunakan Rumus 3.13 diperoleh:
CBRsegmen untuk segmen pertama = 7,22 - (9 - 6)/3,08 = 6,25 %,
dibulatkan menjadi 6%.
2. Metode grafis
Untuk metode grafis, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. nilai CBR terendah = 6%;
b. buat tabel seperti Tabel 3.6 yang menunjukkan jumlah data dengan
nilai yang sama atau lebih besar dari nilai CBR yang diamati;
78. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
68
c. gambarkan hubungan nilai CBR dengan persentase jumlah data
dengan nilai sama atau lebih besar dari CBR yang diamati (Gambar
3.19);
d. Nilai CBR dengan 90% data yang ada lebih besar atau sama adalah =
6,3%. Jadi, CBRsegmen untuk segmen pertama jika dibulatkan = 6%.
Dari contoh perhitungan diperoleh bahwa dengan menggunakan ketiga
metode diperoleh nilai CBR segmen yang sama yaitu 6%.
Tabel 3.6 Contoh Menentukan CBRsegmen Dengan Metode Grafis
CBR, %
Jumlah data dengan
nilai CBR yang sama
atau lebih besar
Persen data yang sama atau lebih
besar
6 9 100 %
7 6 6/9 x 100 % = 66,7 %
8 4 4/9 x 100 % = 44,4 %
9 1 1/9 x 100 % = 11,1 %
Gambar 3.19 Contoh menentukan CBRsegmen dengan metode grafis
0
25
50
75
100
90 CBRsegmen
CBR
= 6,3 %
≈ 6 %
6 7 8 9 10
%
yang
sama
atau
lebih
79. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
69
3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis/Dynamic Cone Penetrometer
Daya dukung lapisan tanah dasar yang telah dipadatkan dapat diukur
langsung dilapangan dengan melakukan pengujian CBR lapangan atau
korelasi dari nilai empiris hasil pengujian penetrometer konus dinamis
(Dynamic Cone Penetrometer), dikenal dengan DCP. Alat ini banyak
digunakan di Indonesia sejak tahun 1980.
Alat DCP digunakan untuk mendapatkan data daya dukung tanah dasar
sampai kedalaman 90 cm di bawah permukaan tanah dasar. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan alat seperti pada Gambar 3.20.
Pemberat atau penumbuk seberat 9,07 kg (20 pon) dijatuhkan dari
ketinggian 50,8 cm (20 inci) melalui sebuah batang atau stang baja
berdiameter 16 mm (5/8 inci). Ujung batang atau stang berbentuk konus
dengan luas 1,61 cm2
(½ inci2
) bersudut 30o
atau 60o
.
Analisis data lapangan dilakukan dengan menggunakan nilai kumulatif
tumbukan untuk mencapai kedalaman penetrasi tertentu seperti pada
Rumus 3.14.
DN =
N
D
............................................................. (3.14)
dengan:
D = kedalaman penetrasi, mm
N = jumlah pukulan untuk mencapai kedalaman D mm
Tabel 3.7 adalah contoh hasil uji alat DCP, sedangkan Gambar 3.21
menunjukkan korelasi antara jumlah tumbukan dan dalamnya penetrasi
yang dapat dicapai.
80. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
70
Gambar 3.20 Penetrometer Konus Dinamis (DCP)
Penumbuk
Jatuh bebas
D
1
meteran
D
(a) (b) (c)
81. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
71
Tabel 3.7 Contoh Hasil Pengujian Dengan Alat DCP
Banyak
tumbukan
Kumulatif
tumbukan
Kumulatif
penetrasi
(mm)
DN
(mm/tumbu
kan)
CBR (%)
0 0
5 5 65
5 10 80
5 15 130
5 20 200
5 25 210
8,4 41
5 30 270
5 35 330
5 40 380
5 45 475
5 50 575
5 55 585
5 60 610
12,1
22
5 65 670
5 70 700
5 75 720
5 80 890
5 85 810
5 90 840
7,3
58
Dari Gambar 3.21 diperoleh bahwa ada 3 lapis di bawah titik pengamatan
dengan kecepatan penetrasi yang sama yaitu:
82. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
72
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Kumulatif Jumlah Tumbukan
Kumulatif
Penetrasi
(mm)
Gambar 3.21 Hubungan antara jumlah pukulan dan kedalaman penetrasi
a. kedalaman 0 sampai dengan kedalaman 210 mm,
dengan DN1 =
)
0
25
(
)
0
210
(
−
−
= 8,4 mm/tumbukan;
b. kedalaman 210 mm sampai dengan kedalaman 610 mm,
dengan DN2 =
)
25
58
(
)
210
610
(
−
−
= 12,1 mm/tumbukan;
c. kedalaman 610 mm sampai dengan kedalaman 900 mm,
dengan DN3 =
)
58
98
(
)
610
900
(
−
−
= 7,3 mm/tumbukan.
83. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
73
Korelasi nilai DCP dengan CBR
Daya dukung tanah berbanding terbalik dengan kecepatan penetrasi yang
ditunjukkan dengan nilai mm/tumbukan.
Rumus 3.15 dan Rumus 3.16 digunakan untuk korelasi antara nilai CBR
dengan DN hasil uji dengan alat DCP.
DCP kerucut 600
:
Log10 (CBR) = 2,8135 – 1,313 Log10 DN .................................... (3.15)
DN dalam mm/tumbukan
DCP kerucut 300
:
Log10 (CBR) = 1,352 – 1,125 Log10 DN ...................................... (3.16)
DN dalam cm/tumbukan
Dengan menggunakan contoh pada Tabel 3.7, maka hasil uji dengan alat
DCP dari satu titik pengamatan diperoleh sebagai berikut:
1. Jika yang digunakan adalah alat DCP dengan konus 60o
, maka
dengan menggunakan Rumus 3.15 diperoleh:
a. lapis ketebalan 0 – 210 mm, CBR = 39,8%
b. lapis ketebalan 210 – 610 mm, CBR = 24,7%
c. lapis ketebalan 610 – 900 mm, CBR = 47,9%
CBRtitik pengamatan = 3
3
3
3
)
90
9
,
47
29
7
,
24
40
8
,
39
21
(
+
+
CBRtitik pengamatan = 34,7%
2. Jika yang digunakan adalah alat DCP dengan konus 30o
, maka
dengan menggunakan Rumus 3.16 diperoleh:
a. lapis ketebalan 0 – 210 mm, CBR = 27,4%
b. lapis ketebalan 210 – 610 mm, CBR = 18,2%
c. lapis ketebalan 610 – 900 mm, CBR = 32,1%
84. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
74
CBRtitik pengamatan = 3
3
3
3
)
90
1
,
32
29
2
,
18
40
4
,
27
21
(
+
+
CBRtitik pengamatan = 24,2%
CBR yang diperoleh dengan menggunakan alat DCP ini adalah CBR
lapangan, sehingga penggunaannya disesuaikan dengan yang telah
diuraikan pada Bab 3.2.1.
3.2.5 Modulus resilient (MR)
AASHTO sejak 1986 menggunakan modulus resilient sebagai parameter
penunjuk daya dukung lapis tanah dasar atau subgrade, menggantikan
CBR yang selama ini digunakannya. Cara uji MR di laboratorium dilakukan
dengan memodelkan beban kendaraan yang diperkirakan akan meng-
gunakan perkerasan selama umur rencana. Kerugian menggunakan cara
uji ini adalah lebih kompleks, membutuhkan biaya yang lebih tinggi, dan
waktu yang lebih lama.
Modulus resilient adalah perbandingan antara nilai deviator stress, yang
menggambarkan repetisi beban roda dan recoverable strain. Perbedaan
pengertian antara modulus elastisitas (E) dan modulus resilient (MR)
ditunjukkan seperti pada Gambar 3.22.
Modulus elastisitas menunjukkan perbandingan antara σd dan deformasi
tetap (permanent deformation), sedangkan modulus resilient adalah
perbandingan antara σd dan deformasi yang dapat kembali lagi (recover-
able deformation).
85. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
75
Sumber:Tutumluer
Gambar 3.22 Perbedaan antara modulus elastisitas (E)
dan modulus resilient (MR)
Dari Gambar 3.22 diperoleh:
MR =
r
d
ε
σ
..................................................... (3.17)
dengan:
MR = modulus resilient
σd = σ1 - σ3
εr = recoverable strain/ recoverable deformation
Gambar 3.23 menunjukkan pemahaman tentang recoverable deformation
dan permanent deformation akibat repetisi beban lalulintas dan waktu.
C
L
σ3 σ3
σ3
σd
σd
Deviator Stress
σd = σ1-σ3
E MR
MR = σd / εr
0
Axial
Strain ε1
εpermanent εrecoverable
86. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
76
Sumber:Tutumluer
Gambar 3.23 Recoverable deformation dan permanent deformation
Nilai MR dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar air, derajat
kejenuhan, kepadatan, temperatur, jumlah butir halus, dan gradasi.
Pengujian di laboratorium dapat menggunakan alat triaxial dengan beban
berulang (cyclic triaxial test), Universal Material Testing Apparatus
(UMATTA), atau analisis hasil pengujian non-destructive test dengan
menggunakan alat falling weight deflectometer (FWD).
MR untuk tanah dasar dapat pula diperoleh melalui korelasi dengan nilai
CBR seperti pada Rumus 3.18[Heukelom & Klomp seperti AASHTO 1993]
dan Rumus
3.19[Olidis]
. Rumus 3.18 yang diadopsi oleh AASHTO’93, dan Bina Marga,
berlaku untuk tanah berbutir halus, nonexpansive, dengan nilai CBR
rendaman kurang atau sama dengan 10. Rumus 3.19 menghasilkan nilai
MR yang lebih rendah.
Permanent Deformation
Deformation
Recoverable
Deformation
Waktu
C
L
σ3 σ3
σ3
σd
87. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
77
MR = 1500 (CBR), MR dalam psi ...................................... (3.18)
MR = 2555 (CBR)0,64
, MR dalam psi .................................. (3.19)
Nilai MR untuk tanah dasar tanah galian diperoleh berdasarkan korelasi
dengan hasil klasifikasi tanah. Benda uji untuk menentukan klasifikasi
tanah diperoleh melalui lubang bor pada elevasi tanah dasar rencana.
Tabel 3.8 dan Tabel 3.9. menunjukkan nilai korelasi MR dengan klasifikasi
AASHTO dan USCS.
Tabel 3.8 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi AASHTO dan CBR
Klasifikasi
Rentang CBR
(%)
Rentang MR (ksi)
MR rencana
(ksi)
A-7-6 1 - 5 2,5 – 7 4
A-7-5 2 - 8 4 - 9,5 6
A-6 5 - 15 7 – 14 9
A-5 8 - 16 9 – 15 11
A-4 10 - 20 12 – 18 14
A-3 15 - 35 14 – 25 18
A-2-7 10 - 20 12 – 17 14
A-2-6 10 - 25 12 – 20 15
A-2-5 15 - 30 14 - 22 17
A-2-4 20 - 40 17 - 28 21
A-1-b 35 - 60 25 - 35 29
A-1-a 60 - 80 30 - 42 38
Sumber: Witczak, 2001
88. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
78
Tabel 3.9 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi USCS dan CBR
Klasifikasi
Rentang CBR
(%)
Rentang MR (ksi)
MR rencana
(ksi)
CH 1 – 5 2,5 – 7 4
MH 2 – 8 4 – 9,5 6
CL 5 – 15 7 – 14 9
ML 8 – 16 9 – 15 11
SW 20 – 40 12 – 28 21
SP 15 – 30 14 – 22 17
SW – SC 10 – 25 12 – 20 15
SW – SM 15 – 30 14 – 22 17
SP – SC 10 – 25 12 – 20 15
SP – SM 15 – 30 14 – 22 17
SC 10 – 20 12 – 17 14
SM 20 – 40 17 – 28 21
GW 60 – 80 35 – 42 38
GP 35 – 60 25 – 35 29
GW - GC 20 – 60 17 – 35 24
GW - GM 35 – 70 25 – 38 30
GP - GC 20 – 50 17 – 32 23
GP - GM 25 – 60 20 – 35 26
GC 15 – 40 14 – 28 20
GM 30 – 80 22 – 42 30
Sumber: Witczak, 2001
3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan Daya
Dukung Tanah Dasar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penetapan daya dukung
tanah dasar adalah:
1. Nilai CBR rencana atau MR rencana untuk tanah dasar tanah galian
jalan baru, diperoleh berdasarkan klasifikasi dari contoh tanah yang
89. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
79
diambil dengan menggunakan alat bor. Jika terjadi perbedaan yang
cukup berarti antara CBR pada saat pelaksanaan dengan CBR rencana,
maka perlu dilakukan redesain tebal perkerasan jalan.
2. Nilai CBR rencana atau MR rencana untuk tanah dasar tanah urug,
diperoleh berdasarkan benda uji dari calon tanah urug (borrow
material). Jika terjadi perbedaan yang cukup berarti antara CBR pada
saat pelaksanaan dengan dengan nilai CBR rencana, maka perlu
dilakukan redesain tebal perkerasan jalan.
3. Pada lokasi rencana jalan yang mempunyai intensitas hujan yang
tinggi, perhatian terhadap drainase harus ditingkatkan sehingga mutu
daya dukung tanah dasar dapat maksimal.
4. Keakuratan dan ketelitian data daya dukung tanah dasar mem-
pengaruhi hasil perencanaan tebal perkerasan. Hasil perencanaan
dapat kurang tebal dibandingkan dengan yang dibutuhkan sehingga
umur rencana tidak tercapai, dan berdampak biaya rehabilitasi dan
pemeliharaan meningkat. Sebaliknya, jika tebal perkerasan terlalu
tebal berakibat biaya pertama (initial cost) tidak efisien.
5. Pada segmen dimana terdapat daerah dengan daya dukung buruk
yaitu nilai CBR lebih kecil dari nilai CBR segmen, sebaiknya terlebih
dahulu dievaluasi penyebab kondisi tersebut. Dari hasil analisis
ditentukan apakah perlu perbaikan tanah atau perlu sistem drainase di
lokasi tersebut.
6. Tanah dasar yang direncanakan sebagai hasil stabilisasi dari tanah asli,
seperti stabilisasi dengan semen, kapur, atau penguatan tanah meng-
gunakan geotextile, tensar, atau sejenisnya, maka nilai CBR atau MR
rencana yang dipergunakan untuk desain adalah nilai CBR atau MR
rencana setelah tanah dasar di stabilisasi atau diperkuat. Perlu
90. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
80
pertimbangan yang seksama dalam memodelkan keadaan ini di
laboratorium.
3.3. Fungsi Jalan
Fungsi jalan dapat menggambarkan jenis kendaraan pengguna jalan dan
beban lalu lintas yang akan dipikul oleh struktur perkerasan jalan.
Sebagai contoh, lalu lintas angkutan barang yang menggunakan truk
berat, trailer tunggal, atau trailer ganda pada umumnya melintasi jalan-
jalan arteri suatu wilayah.
Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan membedakan jalan
berdasarkan peruntukkannya menjadi jalan umum dan jalan khusus.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum,
sedangkan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, atau
badan usaha, dan bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam
rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan.
3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum
Sistem jaringan jalan umum yang dikenal dengan sistem jaringan jalan,
adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan
mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam
pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.
Sistem jaringan jalan dibedakan atas:
1. sistem jaringan jalan primer;
2. sistem jaringan jalan sekunder.
Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua
wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa