Tulisan ini membahas delapan jenis bias kognitif yang dapat mempengaruhi keputusan seorang Project Manager (PM), yaitu: confirmation bias, information bias, self-serving bias, overoptimism, status-quo bias, bandwagon effect, the Abilene paradox, dan survivorship bias. Agar dapat mengambil keputusan yang tepat, PM perlu mengenali bias-bias tersebut dan berusaha menghindarinya.
8 Bias Kognitif yang Project Manager Wajib Waspadai
1. 1
By: Awaludin Zakaria
awal@ecampuz.com
https://blog.ecampuz.com
https://ecampuz.com
8 Bias Kognitif yang PM Wajib Waspadai
Salah 1 dari tugas Project Manager (PM) kaitannya dengan Project Risk Management
adalah mengelola ekspektasi dan respons stakeholders sepanjang project berlangsung.
Dan untuk dapat melakukan itu, PM harus mengidentifikasi selera risiko dan bias
kognitif dari mereka-mereka/beliau-beliau ini.
Nah kita bahas spesifik tentang bias kognitif pada tulisan ini. Apakah bias kognitif itu dan
bagaimana mereka dapat mempengaruhi cara PM membuat keputusan..
Pertama-tama, kehadiran pengaruh dan tekanan udah kayak menu keseharian di daily
life PM yes, yang dalam pada itu PM mengembangkan asumsi-asumsi, atau membuat
keputusan tertentu yang populis. Terlepas tepat atau tidaknya hal-hal itu, PM perlu
mengembangkan kemampuan memisahkan antara fakta dan rasa (feeling).
Ketidakmampuan PM membedakan 2 hal ini, dapat membuat project berjalan menuju
titik yang tidak diinginkan - sebuah hasil yang barangkali tidak akan dapat diperbaiki.
Inilah bias kognitif dan dampaknya bila PM tidak dapat mengatasinya.
Now, sebagai PM, aktivitas “memutuskan sesuatu” adalah salah satu porsi besar pada
ketugasan yes. Question: bagaimana PM tahu bahwa dia telah membuat keputusan
terbaik dari data yang dia miliki ? Faktanya:tidak semuanya tahu. Dan bisa jadi bias
kognitif adalah salah satu faktor yang mengkontribusi kesalahan berpikir dan
membangun argumentasi itu.
Ada 8 jenis bias kognitif dari study psikologi, dan semoga dengan tahu ini, PM bisa
selangkah lebih baik untuk mengatasinya.
*remark: diriku pake istilah Inggris ya. ndak isa cari padanan yg manis ^_^
1. Confirmation Bias
Confirmation Bias terjadi ketika PM HANYA melihat pada bukti positif terkait
sesuatu, dan mengabaikan bukti-bukti negatif. Pada beberapa situasi, PM bahkan
tidak mau tahu mengenai bukti-bukti negatif itu.
2. 2
Contoh.
Sebagai PM, mas Awal (bukan nama sebenarnya) percaya bahwa metodologi Agile
adalah pilihan yang paling pas untuk organisasinya. Lalu mas Awal hanya fokus
pada laporan/reportase/testimoni positif tentang metodologi Agile, dan tidak
mengindahkan testimoni-testimoni negatif. Pun ada orang lain menyajikan fakta
pedih tentang implementasi Agile, mas Awal simply tidak mau baca.
Ini bukan berarti Agile itu tidak tepat untuk organisasi – sama sekali tidak. Contoh
di kejadian ini hanya menunjukkan bahwa mas Awal tidak tahu persis, apakah
memang Agile-lah yang paling tepat untuk organisasinya. Misal-pun mas Awal
nekat dan keukeuh menggunakan Agile dan pada akhirnya pilihan itu tepat, tetap
saja alasannya tidak bisa diterima alias logically false.
Confirmation Bias happens. PM bisa jadi hanya mencari informasi-informasi
positif yang mengatakan kepadanya bahwa dia dan tim-nya akan dapat
menyelesaikan semua Datelines/Deadlines, dan pada waktu yang sama
mengabaikan semua informasi negatif yang mengindikasikan bahwa project
mereka akan terlambat.
Otak kita menyukai status quo: Kita tidak ingin berada dalam posisi harus
membuat perubahan atau mengubah Pola pembuatan keputusan, sehingga Otak
kita mencari cara termudah: mengembangkan informasi yang kontradiktif dari
realitas. Dan ketika kita jatuh pada bias ini, definitely project outcomes akan beda
banget dari rencana/harapan semula.
Untuk mengatasi ini, PM harus memberanikan diri selalu mempertanyakan
keyakinannya, dan PM harus mau open minded untuk perubahan. Jika ada
informasi yang PM asumsikan benar, dia perlu memeriksa keyakinan itu dengan
mencari informasi yang mengkontradiksinya – tidak peduli betapa yakinnya sang
PM atas asumsi tersebut.
2. Information Bias
Information Bias muncul dari kepercayaan yang mengatakan bahwa “makin
banyak informasi, maka SELALU/PASTI lebih bernilai – dan bahwasannya setiap
sudut harus diperiksa, termasuk setiap noktah bahkan – which is nyaris tidak
mungkin dilakukan inspeksi atasnya”.
Information Bias kerap terjadi di bidang kesehatan, seperti tenaga medis yang
kadang merasa harus memeriksa setiap sudut dari hasil diagnosa, meskipun
3. 3
mereka sebenarnya sudah yakin tentang diagnosa mereka sendiri. Secara natural,
hal seperti ini meningkatkan tagihan rumah sakit sekaligus rasa frustasi (dan lelah)
sang pasien.
Setiap perubahan memang pastinya membutuhkan dukungan data, tapi hal
yang perlu didahulukan adalah menentukan konteks-nya. Hal-hal apa saja yang
relevan. Contoh. Mas Awal ingin membeli lisensi PM Information System (PMIS).
Maka mas Awal harus menentukan dulu: Fitur apa yang diinginkan dari PMIS, harus
bisa comply dengan lingkungan seperti apa, dan harganya pada kisaran berapa.
Nah, sudah, pencarian PMIS didasarkan pada 3 aspek itu saja. Mengeksplorasi
informasi diluar dari konteks akan membuang-buang waktu dan energi.
3. Self-Serving Bias
“Saya akan selalu berkinerja baik dan orang lain akan selalu gagal.” Kurleb
seperti itu, bias yang satu ini. Mudah untuk para PM melihat bahwa tim-nya telah
bekerja keras dan telah mencoba semua yang terbaik. Konsekuensinya, lalu
menjadi mudah juga untuk PM berasumsi bahwa ketika projectnya sukses, maka
itu adalah atas berkat kerja keras tim-nya. Tapi ketika projectnya mengarah ke
kegagalan, maka itu adalah karena kesalahan orang lain. Orang lain-lah yang harus
bertanggung jawab.
Actually, memang sudah menjadi ritual bagi PM untuk selalu menganalisis
kegagalan/kekurangan dan menentukan hal-hal apa saja kelak yang dapat
diperbuat lebih baik. Tidak ada tim yang sempurna, dan jika isu di dalam tim tidak
di-addressed dengan baik maka ya kegagalan itu akan berulang saja.
Perbaikan diri membutuhkan analisis yang baik atas diri; PM tidak dapat
bersikap defensif ketika dia berpikir mengenai apa hal-hal yang tidak berjalan
semestinya di dalam sebuah project. PM harus melihatnya sebagai ruang / peluang
untuk meningkatkan kualitas.
Self-serving bias juga sering didapati pada hubungan antar pribadi. PM bisa
jadi selalu berasumsi bahwa anggota timnya tidak kompeten (“tim ku tidak
melakukan tugasnya karena mereka malas”), sementara anggota timnya juga
berasumsi bahwa PM mereka yang tidak kompeten (“PM-ku mengubah-ubah
dateline hanya biar mereka tampak baik/gagah di depan client”). Secara umum,
hubungan kerja & personal akan berjalan baik dan beriringan jika setiap orang
memperlakukan orang lain dengan interpretasi terbaik dari kontribusi/aksi yang
dilakukannya. Perlu pengembangan kultur yang lebih friendly, lebih personal sih,
di internal tim project.
4. 4
4. Overoptimism
Mengapa estimasi itu nyaris tidak akurat? Bisa jadi karena di project
management itu, mudah untuk bersikap terlalu optimis. PM cenderung lebih suka
melaporkan skenario/hasil terbaik ketika berdiskusi tentang strategi dan progress,
dan hal ini dapat mengarah pada hasil yang tidak sesuai semestinya/dijanjikan. PM
perlu mengelola (menekannya bahkan) antusiasme mereka dan lebih mengingat
bahwa ada banyak isu yang mungkin terjadi dan kalau itu terjadi - dapat
berdampak pada penundaan milestones, atau bahkan merugikan project.
Overoptimism definitely BUKAN upaya untuk menyesatkan pelanggan agar
berpikir bahwa giat Produksi akan lebih cepat, atau untuk menyenangkan
manajemen. Definitely not. Overoptimism adalah hal yang natural, since kita selalu
berasumsi bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja – se-simpel itu. Andai
asumsi tersebut selalu terjadi benar. Tapi bagaimana data-data historis project
Anda? Tidak selalu demikian (selalu baik-baik saja) kan ya? Nah perlu
menggunakan data kinerja masa lampau itu sebagai pembelajaran.
5. Status-quo Bias
Pernahkah Anda merasa ragu-ragu untuk membuat perubahan besar pada
organisasi atau tim dan tidak dapat menjelaskan mengapa itu terjadi ? Bisa jadi
Anda sudah jatuh pada status-quo bias. Pada jenis bias kognitif yang satu ini, Anda
bereaksi negatif pada setiap masukan perubahan yang diberikan, simply karena ya
Perubahan selalu membawa Risiko bersamanya.
Kebanyakan orang menginginkan untuk tetap seperti begini-begini saja. Stay
the same. Dan itu ya masuk akal: Perubahan dapat membawa pada masalah-
masalah baru kan? Pun demikian, terlebih pada era seperti hari ini, bisnis selalu
bergerak dan berubah, dan PM juga harus menyesuaikan diri. Strategi baru, tools
baru terus menerus muncul, dan perusahaan yang tidak dapat memanfaatkan ini
dan merubah dirinya, akan tertinggal jauh di belakang.
6. Bandwagon Effect
Dalam studi psikologi, ditemukan bahwa orang-orang akan seringkali sepakat
pada sebuah solusi yang sebenarnya Tidak Tepat/Salah simply karena kebanyakan
orang lain telah memilihnya. Inilah Bandwagon Effect.
Dan Bandwagon Effect bukanlah tanda-tanda dari lemahnya berpikir, atau
kelemahan pembuatan keputusan; ini fenomena sosial – bahwa seseorang
memang terpengaruhi oleh lingkungannya. Ketika berhadapan dengan opini orang
5. 5
lain, tidak sedikit dari mereka yang lalu meredup / back-off – tak peduli caranya
apakah dengan mengembangkan asumsi bahwa pendapat mereka salah (dengan
alasan masih butuh banyak data tambahan), atau simply mereka ingin berdamai
saja gak ingin ribut. Tidak semua suka berkonfrontasi. Tapi ketika ini terjadi di
lingkungan bisnis, bias ini dapat mendorong seseorang pada mengeksekusi strategi
yang salah.
PM perlu tahu bahwa ada macam bias seperti yang satu ini, dan dalam
kesadaran penuh ketika melakukan pembuatan keputusan agar gak dirasuki oleh
bias ini.
7. The Abilene Paradox
Abilene Paradox adalah bentuk yang lebih parah dari Bandwagon Effect.
Dalam bias model ini, seseorang melakukan konfirmasi (atas sesuatu) yang
berujung pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun sebenarnya yang
menginginkan itu sedari pertama. Nama Abilene diambil dari nama sebuah kota di
negara bagian Texas, AS.
Contoh. Sebuah keluarga sedang berdiskusi akan kemana ketika liburan esok. Sang
Ayah bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu ingin pergi ke Abilene?” sambil sang
Ayah berharap di dalam hatinya bahwa istrinya menjawab Tidak. Sang Istri, karena
berusaha mendukung suaminya, lantas menjawab, “Tentu saja, mari kita pergi ke
Abilene!” Dan beberapa saat kemudian, kedua anaknya juga sepakat untuk pergi
ke Abilene. Sang anak hanya ingin mendukung kedua orang tuanya –
menyenangkan mereka.
Ketika sudah tiba di Abilene, mereka benar-benar tidak menikmati waktunya, dan
lalu setiap anggota keluarga, satu persatu menyampaikan, “Aku sebenarnya tidak
ingin pergi ke Abilene! Kan kamu kemarin yang ngajak-in kan!”. Ribut. Well,
actually, tidak satupun yang sebenarnya ingin pergi ke Abilene. Hehe.
Bayangkan kalau itu terjadi di tim Anda, di project Anda. Pening.
8. The Survivorship Bias
Pernah mendengar ungkapan ini: “Semua enterpreneur yang terbaik, mereka
berhenti sekolah” ? – yang lalu disalahartikan: “berarti Berhenti Sekolah adalah
faktor paling penting untuk menjadi seorang enterpreneur hebat”. Inilah
survivorship bias.
Cukup mudah untuk melihat orang / project yang sukses dan lalu berasumsi
bahwa karakteristik yang mereka milikilah yang membuat kesuksesan itu terjadi.
6. 6
Well faktanya, melihat faktor kesuksesan seseorang tidaklah penting-penting amat
terkecuali kalau Anda juga melihat kegagalan-kegagalan mereka.
Banyak enterpreneur menjadi hebat dengan berani bertaruh besar pada
perusahaan start-up yang mereka dirikan, tapi kan ya tidak sedikit juga yang
melakukan pertaruhan yang sama dan Gagal, tho? Dengan membandingkan
kesuksesan project Anda dengan koleksian project Anda yang gagal, Anda akan
mendapatkan insight yang jauh lebih baik – hal-hal apa yang membedakan
keduanya. Strategi apa yang berbeda dari keduanya. Sering banget kita
mendapatkan pelajaran justru dari project-project yang gagal, alih-alih dari project
yang sukses.
Setiap orang tidak imun terhadap bias, dan PM tidak selalu dapat berpikir jernih setiap
saat. Diperlukan kehadiran penuh, kesadaran penuh tentang cara PM mengambil
keputusan. Sebagai PM, tanyakan pada diri Anda apakah Anda membuat keputusan
berdasarkan fakta atau perasaan. Berpikirlah seutuh mungkin ketika membuat keputusan
dan ciptakan sistem Check & Balances, sehingga setiap anggota tim merasa nyaman
mendiskusikan strategi-strategi alternatif, dan barangkali dapat mengkoreksi kesalahan
pada logika berpikir kawannya.
PM adalah sosok yang unik, yang diharapkan mampu membawa dirinya dan luwes dalam
memimpin eksekusi strategi operasi tim-nya, dan sekaligus memastikan bahwa setiap
anggota tim nya mengenali 8 jenis bias kognitif ini dan secara aktif bekerja sama guna
mencegahnya terjadi.