Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) mulai diterapkan di Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2013. UKT menggantikan berbagai komponen biaya seperti uang pangkal, SPP, dan biaya wisuda dengan membayar satu biaya kuliah per semester yang sama selama delapan semester. Kebijakan ini dimungkinkan karena adanya dana bantuan pemerintah untuk mahasiswa, meskipun masih perlu penyempurnaan dan sosialisasi lebih lanj
Sekadar Info Mengenai UKT (Uang Kuliah Tunggal) Tahun 2013
1. SEKADAR INFO MENGENAI UKT (UANG KULIAH TUNGGAL) TAHUN 2013
Mulai tahun ajaran 2013-2014, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menerapkan Uang Kuliah Tunggal
(UKT). Begitu masuk UNY, mahasiswa baru (maba) tidak dibebani berbagai biaya. Cukup membayar sekali
per semester.
UKT adalah sistem pembayaran seluruh komponen biaya pendidikan yang dibagi secara merata ke tiap
semester, dengan asumsi waktu kuliah 8 semester. Dengan artian, UKT tidak mengenal sumbangan SPI,
SPMP, KKN/PPL, PRKP atau biaya wisuda. Seluruh biaya (sumbangan) akan dijumlahkan, kemudian
dibagi merata ke 8 semester.
Kebijakan UKT di PTN dimungkinkan, karena pemerintah telah mengalokasikan dana bantuan operasional
PTN (BOPTN) untuk tiap mahasiswa. Pemerintah mengalokasikan bantuan operasional pendidikan tinggi
(BOPTN) senilai Rp 4 triliun. Namun, penggunaan BOPTN yang dikucurkan ke setiap PTN hanya bisa
digunakan sesuai peruntukan yang sudah ditetapkan pemerintah, termasuk untuk menyubsidi biaya kuliah
mahasiswa.
Selama ini perguruan tinggi memberlakukan berbagai komponen biaya kuliah kepada mahasiswa. Untuk
mahasiswa baru, PTN menerapkan adanya uang pangkal. Jumlahnya, ada yang hingga puluhan juta rupiah.
Dengan adanya UKT, berbagai komponen biaya yang dipungut dari mahasiswa, harus diubah menjadi satu
komponen saja. Dengan demikian, mahasiswa membayar biaya kuliah atau UKT yang sama mulai dari
semester satu hingga selesai
Sistem UKT mulai diberlakukan dari mahasiswa baru angkatan 2012 sesuai dengan Surat Edaran Dirjen
Dikti nomor 488/E/T/2012 tanggal 21 Maret 2012. Namun pada kenyataannya masih ada beberapa hal yang
harus dikaji. Selain itu, dalam pelaksanaan sistem UKT terkesan terburu-buru tanpa adanya sosialisasi masif
terlebih dahulu.
Berdasarkan surat edaran Kemendiknas Dirjen Dikti no. 97/F/KU/2013, bahwasanya calon mahasiswa baru
tahun akademik 2013/2014 telah mulai melakukan pendaftaran, sehingga diperlukan perencanaan biaya bagi
yang bersangkutan. Menindaklanjuti surat edaran Dirjen Dikti No : 408/E/T/2012 tentang tarif kuliah, dirjen
dikti akan menghapus uang pangkal bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik
2013/2014 dan melaksanakan tarif uang kuliah tunggal bagi mahasiswa baru program S1 Reguler mulai
Tahun Akademik 2013/2014.
Disisi lain, Sistem ini terkait dengan anggapan awal bagaimana besarnya biaya perkuliahan di perguruan
tinggi. Biaya pendidikan yang saat ini dinilai sudah tinggi untuk ukuran Perguruan Tinggi Negeri menjadi
penyulut permasalahan sistem. UKT yang saat ini diwacanakan sebenarnya hanya identitas lain dari sistem
pembayaran uang kuliah itu sendiri. Sebagai contoh, kita asumsikan untuk biaya sumbangan pembangunan
dan infrastruktur adalah 14 juta rupiah dalam satu fakultas. Kemudian ditambah dengan biaya SPP tiap
semester sebesar Rp. 1.250.000,-/semester. Jika perhitungan kita samakan dengan persamaan di atas dengan
asumsi kuliah 8 semester, maka keseluruhan SPP adalah 10 juta rupiah. Total biaya kotor untuk fakultas dari
satu orang mahasiswa berarti 24 juta rupiah. Sampai kuliah selesai.
Jika sistem UKT diterapkan, biaya kuliah dianggap sebesar 3 juta rupiah /semester. Dengan persamaan
seperti yang ada di atas, berarti biaya kuliah selama 8 semester sebesar 24 juta rupiah. Sudah jelas bahwa
sekarang tuntutan yang dikeluarkan oleh para orang tua untuk membiayai anaknya tiap semesternya jauh
lebih tinggi.
Kebijakan tersebut juga dinilai sebagai implementasi dan upaya untuk kapitalisasi pendidikan. Di mana
seluruh aspek yang ada di kampus seolah seluruhnya menjadi tanggungan mahasiswa. Dengan begini,
kesenjangan sosial yang terjadi antara si kaya dan si miskin akan makin terlihat. Bagi orang yang berasal
dari keluarga yang latar belakang ekonominya kurang mapan, tentu akan terasa sangat berat jika tiap
semester harus membayar tinggi.
Selain itu, ada beberapa alasan yang akan memicu penolakan dari berbagai kalangan, yaitu :
1. Akan terjadi peningkatan biaya kuliah khususnya bagi mereka yang masuk lewat jalur SNMPTN karena
standarisasi biaya yang digunakan berada di atas biaya SNMPTN
2. Proses penyusunan anggaran diprediksi akan tertutup, dan berpotensi terjaid mark-up dan praktek korupsi.
3. Sosialisasi tentang sistem UKT masih sangat minim
4. Akan muncul kesenjangan sosial antara mahasiswa kaya dengan mahasiswa miskin serta muncul
ketimpangan ekonomi.
Ketika kesenjangan itu terjadi, maka jelas sudah hal tersebut tidak sesuai dengan misi pendidikan nasional
yang mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
seluruh rakyat Indonesia.
(Depsospol BEM FE 2013)