2. (i) meningkatkan daya beli RTM yang rentan terhadap
perubahan ekonomi serta meningkatkan ketahanan
pangan;
(ii) menjadi komplemen penting dalam mendukung program
perbaikan gizi, pendidikan dan kesehatan, serta
mendukung program pemberdayaan masyarakat miskin;
(iii) mendukung program jaminan HPP melalui pengadaan
gabah/beras DN, sehingga dapat terwujud pertumbuhan
produksi beras dan melestarikan swasembada.
(iv) Raskin merupakan salah satu Program Penanggulangan
Kemiskinan , termasuk dalam Kluster I Bantuan dan
Perlindungan Sosial bagi Kelompok Sasaran
3. Diawali dengan adanya program Operasi Pasar
Khusus (OPK) Beras pada pertengahan tahun 1998
terkait dengan munculnya krisis moneter dan
ekonomi tahun 1997 dan 1998 yang mengakibatkan
penurunan produksi pangan secara nyata.
Masyarakat miskin 40% pengeluaran rumah tangga
untukmembeli beras
Dengan beras 15-20 kg/KK, penerima manfaat bisa
mencukupi 40-60% kebutuhan pangan keluarganya
Harga beras Rp1.000,- sampai Rp1.600/kg
terjangkau oleh keluarga miskin.
5. MANFAAT PROGRAM PENGADAAN DAN RASKIN TERHADAP
PENGURANGAN KEMISKINAN
PENGADAAN RASKIN
1. Jaminan harga thd produk petani 1. Ketahanan pangan RTM semakin kuat
2. Terjadinya monetisasi ke pedesaan 2. Stabilisasi harga antar musim & tempat
yg mendorong pertumbuhan
ekonomi pedesaan
1. Transfer pendapatan
2. Transfer gizi makro (kenaikan
produktivitas)
1. Perbaikan kesejahteraan petani , 3. Sebagai komplemen dlm program
terutama petani gurem. pemberdayaan RTM
2. Penurunan kemiskinan di pedesaan 4. Berdampak thd stabilisasi ekonomi
DAMPAK GANDA DARI SISTEM INI
TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN
6. OPK/Raskin merupakan topik yang paling banyak dibahas dalam
konteks bantuan pangan, karena posisi bantuan tersebut yang
kontroversial dan jangka waktu pemberian bantuan yang cukup
lama dengen efektifitas yang rendah.
Beras bantuan ada yang dijual kembali ke pedagang beras, tidak
sampai pada sasaran.
Masyarakat juga merasa bahwa beras tidak diberikan kepada
mereka yang sepantasnya, yakni mereka yang sudah terdaftar
sebagai golonga pra sejahtera.
Seringkali masyarakat tidak dibagikan beras dengan alasan tidak
mampu membayar (walaupun hanya Rp1.000-1.600/kg), dan
karenanya dijual kembali ke pedagang beras.
Pembagian beras lebih banyak diprioritaskan untuk keluarga atau
kerabat Kepala Desa/kelurahan.
7. Jumlah RTS 18,497
juta => 60,4 juta
Sangat miskin 2,99
juta, => 15,9 juta
Miskin, 6,83 juta, =>
25,2 juta
Hampir miskin, 7,66
juta => 19,2 juta
RTS Tambahan, 1,01
juta
8. Sensus pertanian tahun 1993 dan tahun 2003
memperlihatkan:
peningkatan jumlah petani gurem (pengguna
lahan < 0,5 ha.) dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta
Rumah Tangga Petani (RTP).
Dalam sepuluh tahun terakhir, 1993-
2003, jumlah petani gurem dengan pemilikan
lahan kurang dari 0.5 hektar meningkat cukup
besar dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta rumah
tangga.
Sedangkan pada kurun waktu 1983-2003 luasan
kepemilikan rata-rata turun dari 0.27 hektar
menjadi 0.09 hektar.
9. Bantuan pangan dalam hanya bertujuan untuk mengurangi
kerentanan. Dalam kondisi emergency, bantuan pangan memang
dibutuhkan untuk mengurangi resiko kematian yang timbul akibat
runtuhnya sistem-sistem penunjang hidup.
Tetapi dalam kondisi krisis berkelanjutan akibat ancaman-
ancaman kronis, bantuan pangan tidak mencukupi. Bahkan di
suatu sisi, bantuan pangan bisa menurunkan kapasitas dalam
jangka panjang dan menciptakan ketergantungan.
Di sisi lain, bantuan pangan juga memiliki karakteristik dagang
dan politik. Susan George secara lebih radikal menyebut bantuan
pangan sebagai ‘sumber keuntungan’, ‘alat kontrol ekonomi dan
politik’, ‘cara efektif untuk menjaga dominasi atas dunia, terutama
atas mereka yang tertindas’. (George, Susan., “How the Other Half Dies: The Real
Reason for World Hunger”, Penguin Books, 1991)
OPK/Raskin menurunkan harga beras lokal, padahal biaya produksi
meningkat. Berbagai peningkatan biaya hidup, termasuk kesehatan dan
pendidikan menurut masyarakat harusnya diikuti dengan peningkatan
harga jual gabah, bukan dengan memberikan beras.
10. Ketahanan pangan selama ini direduksi sebagai
ketersediaan pangan di pasar,
Akibatnya mengesampingkan proses dan kedaulatan
Selain itu, negara selama ini menerjemahkan pangan
sama dengan beras. Jadi secara sepihak bisa disimpulkan
bahwa rawan pangan sama dengan rawan beras.
“...Kita tidak bisa menutup perdagangan beras seratus persen.
Kita akan butuh ongkos yang mahal dan tidak reasonable dalam
kondisi saat ini yang penuh dengan tekanan dari internasional
maupun dalam negeri. Kita perlu menciptakan kondisi yang dekat
dengan self sufficiency, dimana impor beras tidaklah tabu, tetapi
tetap dalam batas-batas yang dapat dipertanggungjawabkan
jumlah dan waktunya. Kita perlu meminimalkan biaya sosial dan
politik kalau harga beras terlalu tinggi... (Mustafa Abu Bakar, Dirut
Perum Bulog, 2008)
11. Kenyataannya, Raskin tidak mampu mendorong perbaikan lebih
dari 100 kabupaten/kota rawan pangan...cenderung menjadi
instrumen reproduksi kemiskinan dan kelaparan di masa
mendatang....
Amartya Sen menyebut kondisi seperti di atas sebagai
entitlements failure. Menurut Sen, kelaparan bukan kondisi dimana
tidak ada makanan, tetapi adalah kondisi dimana sekelompok
orang tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan. Ketiadaan
makanan bisa menjadi penyebab orang tidak memiliki cukup
makanan, tetapi bukan satu-satunya penyebab karena masih
banyak kemungkinan penyebab lainnya.
Karenanya, mengukur katahanan pangan yang berdaulat
dilakukan dengan perpekstif hak, availability
(ketersediaan), accesibility (keterjangkauan), acceptability
(keberterimaan), adaptability (daya adaptasi).