PPHJ adalah organisasi petani hutan yang berjuang untuk keadilan pengelolaan hutan agar masyarakat makmur. PPHJ berupaya meningkatkan kesejahteraan petani hutan dengan meminta hak kelola 100% hutan oleh masyarakat. PPHJ telah membentuk struktur organisasi di seluruh Jawa untuk mewujudkan visi hutan yang subur dan rakyat makmur.
2. A. PENDAHULUAN
Hutan adalah sumber penghidupan
(Bambang Suharsono, Presiden Serikat Tani Hutan Banyumas-Pekalongan)
Berdasarkan fungsi hutan, Perhutani diberikan hak pengelolaan Hutan Produksi dan
Hutan Lindung yang terbagi atas Unit Pengelolaan I sebanyak 20 KPH (Jateng), Unit
Pengelolaan II sebanyak 23 KPH (Jatim) dan Unit Pengelolaan III sebanyak 14 KPH (Jabar).
Luasan masing-masing unit dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
HP HL Luas Total
Unit Kerja Propinsi (Ha) (Ha) (Ha)
Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720
Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479
Unit III a. Jawa Barat 349.649 230.708 580.357
b. Banten 61.406 17.244 78.650
Total Unit III : 411.055 247.952 659.007
Jumlah 1.767.304 658.902 2.426.206
Perhutani, 2006
Konflik Tenurial Kehutanan Jawa
Di kawasan pengelolaan Perum Perhutani terdapat 6.161 desa dan +/- 21 juta
penduduk miskin berada disekitar hutan yang memerlukan akses terhadap sumber daya hutan
sebagai sumber ekonomi mereka, baik dari SDH maupun kegiatan pengelolaan sumber daya
hutan.1
Dari sinilah dimulai titik persinggungan konflik tenurial antara rakyat dengan Perum
Perhutani.
Sandra Moniaga, Hedar Leudjeng dan Rikardo Simarmata menulis bahwa secara
gramatikal, kata „tenure‟ berasal dari bahasa Latin, yakni „tenere‟ yang artinya: memelihara,
memegang dan memiliki. Aspek terpenting dari istilah tersebut adalah status hukumnya.
Itu sebabnya, membicarakan istilah tenure pasti berarti membicarakan soal status hukum dari
suatu penguasaan atas sumber daya alam tertentu pada sebuah masyarakat. Selain itu dikenal
juga istilah „sistem tenurial‟ (tenurial system). Sistem tenurial didefenisikan sebagai
sekumpulan atau serangkaian hak-hak (bundle of rights) untuk memanfaatkan sumber-sumber
agraria atau sumber daya alam dalam suatu organisasi masyarakat (Joep Spiertz dan
Melanie G. Wiber: 1997)2.
Setiap sistem tenurial selalu mengandung tiga komponen, yakni: subyek hak, obyek hak
1
Kalimat ini diungkapkan dalam makalah yang dibuat oleh Perhutani pada saat Diskusi Mencari jawaban tentang
Forest Governance di P Jawa. Institute Karsa. Di YTKI JAKARTA 15 JUNI 2006. Dan nampaknya Perhutani tidak
menyadarinya sebagai “bom waktu” perlawanan kaum tani/pedesaan hutan.
2
Hedar Laudjeng, Sandra Moniaga & Rikardo Simarmata, Antara Sistem Penguasaan Berbasis
Masyarakat dan Sistem Penguasaan Berbasis Negara di “Kawasan Hutan” di Indonesia: Studi Kasus dari
Delapan Lokasi, Presentasi HuMa, Lokakarya Tenure, Nop 2001.
3. dan jenis hak. Subyek hak bisa berupa individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas,
kelembagaan sosial-ekonomi dan lembaga politik setingkat negara. Sedangkan obyeknya
bisa berupa persil tanah, barang/benda yang tumbuh di atas tanah, barang-barang
tambang/mineral, dll. Jenis haknya sendiri merentang dari mulai hak milik, hak sewa dan hak
pakai. Istilah tenure sendiri menekankan lebih pentingnya aspek kepenguasaan (hak untuk
mengatur pengelolaan dan peruntukan) ketimbang aspek kepemilikan (hak untuk
memiliki). Tenure lebih mementingkan siapa yang dalam kenyataannya menggunakan
sumber daya alam tertentu ketimbang memikirkan siapa yang memang memiliki hak tersebut.
Istilah „land tenure‟ sendiri diterjemahkan sebagai penguasaan tanah atau “lahan”.
Tindakan penguasaan tersebut menjelma dalam berbagai hak yakni hak milik, hak
gadai, hak sewa, dll. Salah satu cara untuk mengenali konsep land tenure pada masyarakat
tertentu ialah dengan memastikan siapa yang dalam kenyataannya memanfaatkan tanah dan
atau sumber daya alam tersebut. Bersamaan dengan ditemukannya sistem tenurial berbasis
masyarakat mengemuka pula istilah customary tenure system/regime dan atau indigenous
tenurial system dan atau sistem penguasaan tanah berbasiskan adat.
Penyebab utama adanya konflik tenurial di Jawa adalah ketimpangan struktur agraria
yang kemudian melahirkan istilah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang menguasai
tanah kurang dari 0,5 Ha. Di Jawa Timur, jumlah rumah tangga petani gurem mencapai 3,4
juta rumah tangga, atau sekitar 25,14 persen dari total rumah tangga petani gurem
di Indonesia. Daerah lain yang mempunyai banyak rumah tangga petani gurem adalah Jawa
Tengah (22,98 persen), Jawa Barat (18,84 persen), Sumatera Utara (4,01 persen) dan
Banten (3,15 persen). Didaerah lain, banyaknya rumah tangga petani gurem relatif kecil,
kurang dari 3 persen. Jumlah rumah tangga petani gurem tidak hanya meningkat secara absolut
tetapi juga dari persentasenya terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan. Dalam
periode 1993-2003, persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian
pengguna lahan meningkat dari 52,1 persen menjadi 56,2 persen, mengindikasikan semakin
sempitnya rata-rata lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian3..
Data lain menunjukkan selama 10 tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani
gurem meningkat 2,6 persen/ tahun. Menurut data BPS, persentase petani gurem di Jawa adalah
69,8 persen pada 1993, namun angka ini melaju cepat menjadi 74,9 persen atau
bertambah sebanyak 1.922.000 rumah tangga. Di luar Jawa, ST93 persentasenya sebesar 30,6
persen, sedangkan ST03 mencatat 33,9 persen ekuivalen dengan 937.000 rumah tangga. Hal
ini menunjukkan laju pertumbuhan rumah tangga petani gurem di Jawa lebih cepat dari pada di
luar Jawa. Sebenarnya komposisi banyak rumah tangga pertanian di Jawa dan luar Jawa tidak
berubah dalam sepuluh tahun ini. Apabila ST93 mencatat 56,1 persen sementara menurut
ST03 komposisinya 54,9 persen di Jawa dan 45,1 persen di luar Jawa. Artinya, dalam 10
tahun ini yang terjadi adalah proses pemiskinan kehidupan petani. Petani semakin terpuruk
bukan semakin baik4.
3
Sebaran rumah tangga pertanian dan rumah tangga Petani gurem menurut propinsi di indonesia (Angka
Sementara Hasil Sensus Pertanian 2003). Berita Resmi Statistik, No. 14/VII/16 Februari 2004
4
Naomi Siagian, SH, Proses Pemiskinan Pada Sektor Pertanian, Jumlah Petani Gurem Semakin
Membengkak, Sinar Harapan, 2003
4. Selain problem tenurial, ada banyak hal lagi kondisi obyektif yang dialami oleh petani
hutan. Berdasarkan assessment yang dilakukan didapatkan ragam masalah yang dihadapi petani,
diantaranya:
- Petani hutan tidak mempunyai akses untuk meningkatkan pendapat
- Sistem pengelolaan hutan yang hanya menempatkan petani hutan sebagai alat, misalnya:
petani diberi kesempatan melakukan tumpang sari hanya selama 2 tahun (selama itu pula
saat petani memberi pupuk berati daerah tegakan terkena pupuk juga dan menjadi subur)
untuk selanjutnya petani tidak boleh lagi menanam tanaman di bawah tegakan.
- Petani tidak mendapatkan hasil apapun dari tanaman utama. Jika pun mendapatkan 25%
saat PHBM berlangsung (yang masih dibagi lagi dengan pihak lain, seperti: LMDH,
Desa, dan lain-lain), tetapi beban yang diterima lebih besar (misalnya: jika ada tanaman
yang hilang petani yang disalahkan, pengamanan sepenuhnya ditanggung petani). Jika
dilakukan perhitungan, angka 25% dirasa petani sangat tidak layak bahkan untuk sekedar
hidup (amat jauh dari standar pendapatan)
- Petani selalu membeli sendiri saprodi yang diperlukan dalam tumpang sari (bibit, pupuk,
dan lain-lain). Padahal seharusnya ada aturan yang mengatakan bahwa biaya keseluruhan
ditanggung oleh Perhutani.
- Pemasaran yang tidak menguntungkan petani hutan.
- Biaya kerja (pembukaan lahan, penanaman, pengaciran, penebangan, transportasi) yang
diperuntukkan bagi petani tidak pernah dibayarkan.
- Sering terjadi jual beli kontrak lahan
- Sering muncul ancaman untuk tidak boleh menggarap lahan berdasarkan alasan subyektif
petugas perhutani
- Terjadi pemiskinan di 6000-an lebih desa pinggiran hutan
- Petani hutan tidak mempunyai akses terhadap kemanfaatan hutan, seperti: seringnya
petani hutan mengalami kekurangan air.
- Imbas dari rusaknya hutan akibat penebangan oleh pengusaha (yang berkolusi dengan
pegawai Perhutani) justru dialami oleh petani pinggiran hutan (misalnya, tanah longsor,
angin ribut, banjir bandang, dan lain-lain)
- Penegakan hukum yang tidak adil. Selama ini petani hutan selalu dikenai hukuman jika
melakukan pencurian tetapi bila pihak Perhutani yang melakukan tidak pernah
dipermasalahkan.
- Petani hutan tidak mempunyai surat hak garap tetap sehingga sering terjadi konflik antar
sesama petani maupun antara petani dengan Perhutani.
- Petani hutan tidak pernah menjadi subyek dalam pembahasan kebijakan perhutani
(perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi) padahal petani hutan lebih tahu
seluk beluk soal hutan.
- Petani tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan tanaman yang akan ditanam
padahal petani hutanlah yang tahu banyak soal tanaman yang cocok untuk ditanam.
B. PPHJ: Derap Langkah Organisasi dan Lingkup Kerja
Melihat berbagai persoalan di atas, petani hutan, khususnya yang tergabung dalam
Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ) tidak berdiam diri. Organisasi tani yang untuk pertama
kalinya dibentuk di Baturaden, Banyumas, Jateng pada tanggal 21-23 Februari 2012 yang
kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Playen, Gunung Kidul pada tanggal 5-6 April 2012
5. digagas oleh Serikat Tani Hutan Banyumas-Pekalongan (Stan Balong), Serikat Petani Pasundan
(SPP), Paguyuban Petani Hutan Bumi Lestari (PPHBL), PPHM Mojokerto, LKDPH Malang,
LMDH Ngawi Barat dan Timur, LMDH Tunas Harapan Sambirejo, petani HKM Gunung Kidul
dan Kulonprogo, petani dari Jember, petani dari Sambeng, Boyolali, petani dari Banten, petani
dari Bogoran Wonosobo ini merasa perlu mengupayakan hutan yang memberikan kemakmuran
sebesar-besarnya bagi rakyat.
Dalam perjalanannya, PPHJ kemudian mengadakan kongres II yang diselenggarakan
pada tanggal 6-7 Januari 2012 yang menghasilkan kepengurusan baru dan gagasan untuk
memantapkan realisasi Hak Kelola 100% untuk Masyarakat.
C. Visi dan Misi
PPHJ mempunyai visi mendorong terwujudnya keadilan dalam pengelolaan hutan agar
tercipta kesejahteraan dan kemandirian masyarakat (hutan subur, rakyat makmur).
Sedangkan misi PPHJ adalah:
1. Meningkatkan kepedulian terhadap sumber daya hutan dan lingkungan hidup yang
berkeadilan
2. Meningkatkan harkat dan martabat petani di tepi hutan
3. Memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan,
utamanya di bidang kehutanan
4. Menuju organisasi tani yang kuat dan mandiri melalui pembangunan usaha produktif
organisasi
5. Mengurangi angka kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan pengangguran
6. Menjalin hubungan erat dengan semua pihak yang mendukung perjuangan organisasi
D. Capaian (Program Maksimum dan Minimum)
Organisasi ini mempunyai program maksimum menjadikan hutan menjadi milik rakyat
dan program minimun berupa hutan yang dikelola 100% oleh rakyat.
E.
6. Struktur Organisasi
Kongres PPHJ
Dewan Penasehat
Sekjen
Deputi Sekjen
Bendahara Kesekretariatan
Korwil Jateng Korwil Jatim Korwil DIJ Korwil Jabar
F. Personel Pengurus
Koordinator: Hadji Sahdi Sutisna
Dewan Penasehat: Bambang Suharsono
Deputi Jaringan: Barid Hardiyanto
Deputi Penguatan Organisasi: Surahmat
Deputi Media Sosial: Sungging Septivianto
Koordinator Jabar: -
Koordinator Jatim: Susilo
Koordinator DIJ: Pardiastuti
Koordinator Jateng: Ahmad Zaenurokhim
G. Perencanaan Kerja 2012-2014
PPHJ sebagai organisasi tani yang merupakan wadah perjuangan petani hutan yang
berbasis pada kekuatan anggotanya yang mempunyai sebaran konstituen yang cukup luas
merentang di Jawa.
Semenjak tahun 2008, PPHJ telah bergerak. Sayangnya pergerakan yang ada baru sebatas
di atas kertas dan belum dijalankan secara maksimal. Untuk itulah di tahun 2012-2015 kerangka
besar kerja PPHJ masih berdasarkan mandate di tahun 2008 ditambah dengan pembacaan
terhadap situasi terkini.
Untuk situasi terkini berdasarkan hasil KEKEPAN/ SWOT diperoleh hal sebagai berikut:
7. Kekuatan Kelemahan Peluang Tantangan
Masih terdapat Semangat yang Kebangkitan Situasi politik
keyakinan bahwa ada pada petani kembali para yang liberal
hutan dapat tidak dibarengi pendukung memungkinkan
dikelola 100% dengan proses program dua sisi mata uang
oleh masyarakat pengorganisasian kehutanan yang yang memerlukan
sehingga yang tertata memungkinkan strategi yang tepat
semangat para Banyak kader adanya support untuk melakukan
petani masih kuat yang sudah tak financial bagi perubahan
Di beberapa titik lagi terurus oleh gerakan
penguasaan lahan organisasi Terus
masih dilakukan PPHJ masih dalam melemahnya
dan dimungkinkan tahap kondisi kesehatan
adanya inisiasi perkembangan Perhutani
alternative awal
pengelolaan hutan
yang lebih baik
Personal
pengurusnya
mumpuni
Ke depan, tujuan dari rencana strategis yang disusun tetap pada upaya untuk menciptakan
reforma agraria kehutanan melalui dorongan organisasi petani hutan dengan melihat hasil SWOT
di atas.
Lebih khusus lagi tujuan program yang di susun dalam renstra adalah:
1. Menyampaikan kepentingan dan pembelaan terhadap petani kepada pemerintah dan
advokasi kebijakan
2. Membangun kelembagaan yang kuat
3. Membangun pusat informasi petani
4. Melakukan penguatan ekonomi
H. Strategi dan Metode Pelaksanaan Kerja
Dalam pelaksanaannya, kerja ini akan menggunakan strategi menggerakkan gerakan atas,
tengah dan bawah. Sedangkan secara metodologis alur proses dilakukan dengan cara: (1)
assesment; (2) capacity building; (3) penataan dan pengembangan organisasi; (4) aksi; (5)
monitoring dan evaluasi; (6) konseptualisasi.
8. I. Mekanisme Kerja Program
Secara garis besar alur program kali ini sebagaimana yang tertera di bawah ini:
Tata Kuasa
ATAS
Tata Guna
Pengelolaan
Sumber Daya REFORMA
TENGAH
Hutan Melalui
AGRARIA
Dorongan
Organsiasi Petani
KEHUTANAN
Tata Produksi Hutan
BAWAH
Tata Konsumsi
J. Kegiatan dan Output yang diharapkan
Rangkaian Program dan pelaksanaan kegiatan yang dirancang untuk dapat menghasilkan
output guna mencapai tujuan-tujuan spesifik di atas adalah sebagai berikut:
Program 1: Menyampaikan kepentingan dan pembelaan terhadap petani
kepada pemerintah dan advokasi kebijakan
Output Aktifitas yang direncanakan
1.1 : Membangun kesepahaman 1.1.1 Roadshow/ Kunjungan lapangan
bersama solusi dari persoalan mengenai hak kelola 100% dan
reforma agraria kehutanan hak milik di Jatim, Jateng, DIJ,
khususnya dalam hal hak kelola Jabar dan Banten
100% (program minimum) dan 1.1.2 Temu Tani “Menggapai Hak
hak milik rakyat (program Kelola 100%”
maksimum)
1.2. Tersampaikannya gagasan 1.2.1. Seminar dan Lokakarya
organisasi tani kepada para pihak multipihak tentang Reforma Agraria
9. Kehutanan: Menggapai Hak Kelola
100%
Program 2: Membangun kelembagaan yang kuat
Output Aktifitas yang direncanakan
2.1. Meningkatnya kapasitas petani 2.1.1. Belajar Antar Petani Politik
hutan 2.1.2. Belajar Antar Petani Ekonomi
2.2. Terkonsolidasikannya petani hutan 2.2.1 Pembiayaan Sekretariat
2.2.2. Pertemuan rutin bulanan
2.2.3. Pengadaan bendera, baliho,
sticker, kalender
2.2.4. Pembuatan Film Profil PPHJ dan
Hak Kelola 100%
Program 3: Pusat Informasi Petani
Output Aktifitas yang direncanakan
3.1. Tersedia data base organisasi tani 3.1.1. Penyelidikan desa hutan
3.1.2. Kompilasi data base
3.2. Pembuatan website organisasi 3.2.1. Pembuatan website
3.2.2. Hotline service/ SMS Centre
Program 4: Penguatan ekonomi petani
Output Aktifitas yang direncanakan
4.1. Adanya peta potensi, peluang pasar 4.1.1. Pemetaan/studi tentang Peta
dan persoalan pengembangan potensi, peluang dan persoalan
usaha kecil oleh masyarakat. pengembangan usaha kecil oleh
masyarakat.
4.2. Munculnya mekanisme dan 4.2.1. Lokakarya terbatas tentang
operasionalisasi koperasi primer mekanisme dan operasionalisasi
koperasi primer
4.2.2. Deklarasi dan Audiensi dengan
Pemerintah tentang pendirian Koperasi
Petani Hutan
K. Penutup
Terciptanya reforma agraria kehutanan melalui dorongan organisasi rakyat (PPHJ)
pastilah membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami sangat berharap para
pihak yang berkepentingan dapat memberikan kebijakannya untuk mendukung proses
perjuangan ini.