SlideShare a Scribd company logo
1 of 61
SKETSA FILSAFAT
MUKADIMAH
Definisi Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang wujud dilihat dari sisi wujudnya.
Subyek Filsafat
Subyek filsafat adalah wujud sebagaimana ia wujud.
Tujuan
Tujuan Mempelajari filsafat adalah mengetahui wujud dan membedakannya dari yang tidak wujud
dari yang sebenarnya. Begitu pula untuk mengetahui sebabsebab keberadaan, khususnya
sebabnya para sebab, dan mengenal asma-asmaNya yang husna (indah) serta sifat-sifatNya yang
tinggi. Yaitu Allah.
BAHASAN PERTAMA
Dalam bahasan pertama ini akan membahas wujud secara umum. Di dalamnya
terdiri dari dua belas pasal:
Pasal: 1
Mudahnya Mengenal Wujud.
Memahami wujud tergolong ilmu mudah. Yakni tidak memerlukan daya pikir. Oleh
karenanya dapat dipahami secara langsung tanpa perantaraan apapun dan tidak bisa didefinisi.
Pasal: 2
Satunya Makna Wujud.
Wujud memiliki satu makna. Yakni pemahaman •,wujud yang dipakai dalam segala
esensi atau wujud murni ( Tuhan ) adalah sama. Seperti, Tuhan itu ada; Manusia itu ada; gunung
itu ada; langititu ada; dan lain-lain.
Pasal: 3
Wujud Bukari Esensi dan Mensifatinya.
Pahaman wujud berbeda dengan pahaman esensi. Dan karenanya akal dapat
memisahkan wujud dari esensi, maka sebenarnya,wujudlah yang telah mensifati esensi di dalam
akal sehingga dapat dikatakan maujud/ada.
Pasal: 4
Keasalan Wujud dan Keta'biran Esensi,
Wujud adalah asal segala sesuatu. Sedang esensi adalah penta'biran atau penje!
asannya. "Manusia itu ada" dan "Kuda itu ada" adalah dua proposisi yang sama-sama
menerangkan keberadaan sesuatu. Dalam contoh ini keduanya memiliki kesamaan, yaitu ada, dan
memiliki perbedaan, yaitu manusia dan kuda. Karena kesamaan bukan perbedaan maka - dalam
hal ini - wujud bukan esensi dan esensi bukan wujud. Dan karena esensi bisa diterangkan sebagai
sesuatu yang ada/wujud atau tidak wujud/ada sedang tidak demikian halnya dengan wujud/ada -
karena tidak bisa wujud diterangkan sebagai tidak-wujud - maka bagi setiap sesuatu wujud adalah
keasalannya ( ashlun ). Oleh karena itu "ada" karena ada/wujud itu sendiri. Sedang esensi itu
"ada" karena wujud / ada.
Catatan !
1. Setiap penetapan ada/wujud pada suatu esensi, seperti pada perkataan "Manusia itu
ada", maka sebenarnya penetapan itu secara langsung untuk ada / wujud itu sendiri.
Sehingga proposisi itu pada hakikatnya berbunyi " Manusia yang ada itu adalah ada".
2. Wujud sebenarnya tidak bisa disifati dengan sifat-sifat esensi. Seperti sifatsifat Universal,
genus/jenis, Golongan, Pembeda, Substansi, Aksiden, Jumlah, .Kwalitas, dan lain-
laiu. Karena semua itu adalah sifat-sifat yang mensifati esensi dari sisi pembenarannya
karena setiap esensi - seperti pembenaran pemahaman manusia pada Joko atau
Muhammad - atau dicakupnya sesuatu dibawah naungan golongan - seperti Muhammad
di bawah manusia - atau golongan di bawah jenis - seperti manusia di bawah binatang -
atau jenis di bawah jenis yang lebih luas – seperti binatang di bawah benda
berkembang.
3. Wujud tidak bisa menjadi bagian dari yang lainnya. Sebab selain wujud adalah kebatilan /
ketiadaan atau kcberadaan yang tidak asal yang pada hakekat - dirinya adalah kebatilan
( esensi ).
4. Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau beritaberita maka
semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena diluar zat-wujud adalah ketiadaan.
5. Yang wujud itu dibagi menjadi dua. Yang wujud karena dirinya - yakni ada - yang wujud
karena yang lainnya - yakni esensi.
6. Di dalam akal wujud mensifati esensi. Oleh karenanya kita dapat memberikan atau
menarik wujud dari esensi. Sedang di luar akal maka esensilah yang mensifati wujud. Oleh
karenanya kita dapat mengabaikan esensi dan hanya memperhatikan ke-wujudan
sesuatu.
7. Wujud identik dengan sesuatu. Sebab yang tak-ada tak mungkin dikatakan sesuatu.
8. Wujud tidak memiliki sebab untuk ada / wujud kecuali dari wujud itu sendiri. Sebab di luar
wujud adalah ketiadaan / kebatilan. Oleh karenanya wujudlemah hanya memerlukan
kepada wujud-kuat.
Pasal: 5
Wujud Adatah Satu yang Bertingkat.
Wujud adalah satu hakikat namun bertingkat. Yakni apapun yang membedakan antara
satu wujud dengan wujud lain, maka hal itu tidak mungkin disebabkan oleh selain wujud itu sendiri.
Sebab di luar wujud adalah kebatilan / ketiadaan.
Pasal: 6
Kehususan wujud
Wujud memiliki tiga kekhususan:
1. Keberadaan wujud karena dirinya sendiri.
2. Wujud memiliki tingkatan yang ia tidak keluar dari tingkatan tersebut.
3. Wujud mensifati esensi yang berbeda-beda, namun secara tidak Iangsung. Akan tetapi
pensifatan ini berbeda dengan pensifatan-pensifatan yang lain. Sebab yang lainnya akan
tersifati kalau ia telah memiliki keberadaan. Di sini, esensi tidak bisa ada/wujud terlebih
dahulu untuk kemudian disifati dengan wujud. Tapi justru dengan wujud itulah ia ( esensi )
menjadi eksis atau wujud.
Pasal: 7
Hukum-hukum Negatip Wujud
1. Tidak ada keberadaan selain wujud. Karena selain ada/wujud adalah ketiadaan.
2. Tidak ada dualisme ( yang lain ) dalam wujud. Sebab dualisme timbul dari keberlainan.
Dan keberlainan timbul dari dua eksistensi. Sedang selain wujud adalah ketiadaan-mutlak.
3. Wujud bukari substansi dan aksiden. Sebab keduanya itu adalah esensi. Sedang wujud
bukanlah esensi. Tapi bahkan yang mewujudkan esensi.
4. Wujud bukan bagian dari yang lain. Sebab selain wujud adalah ketiadaan.
Pasal: 8
Makna Kenyataan yang Sebenarnya.
Kenyataan yaiig sebeaarnya adalah kebenaran suatu predikat terhadap subyeknya.
Baik kebenaran itu sesuai dengan ukuran keberadaan dalam akal atau luar akal. Seperti
"Pahaman manusia itu adalah universal" atau "Tuhan itu ada ".
Pasal: 9
Sesuatu itu Sama denganWujud
Sesuatu itu sama dengan wujud. Oleh karenanya yang tak wujud bukan dan/atau tidak
dapat dikatakan sebagai sesuatu.
Pasal: 10
Tiada itu tidak Memiliki Perbedaan dan Sebab.
Tiada tidak memiliki perbedaan. Karena perbedaan itu timbul dari keberadaan. Sedang
tiada adalah tiada. Bukan ada.
Pasal: 11
Tiada itu Tidak Memiliki Predikat/berita.
Tiada-mutlak tidak bisa dipredikati dengan predikat apapun. Sebab predikat itu timbul dari
sesuatu yang akan dipredikati tersebut. Oleh karena itu yang bukan sesuatu, tidak akan dapat
dipredikati atau dikabari dengan suatu apapun.
Pasal: 12
Yang Telah Tiada Tidak Bisa Diulang.
Sesuatu yang telah tiada tidak bisa diadakan lagi persis seratus persen seperti semula. Sebab:
1. Kalau sesuatu yang telah tiada itu diadakan lagi secara persis, maka satu keberadaan berada
dalam dua jaman.
2. Kalau pengulangan secara persis itu dibolehkan, maka maad itu sama dengan permulaan.
Dan ini adalah mustahil.
3. Kalau pengulangan itu dibolehkan, maka dari awal bisa diwujudkan wujud lain yang persis. Hal
ini adalah mustahil. Sebab dua wujud persis seratus persen itu adalah mustahil.
BAHASAN KE DUA
Bahasan ke dua ini menyajikan pembagian wujud yang terbagi menjadi wujud luar dan wujud-
dalam_ Ia hanya memiliki satu pasal saja.
Pasal: 1
Telah umum di kalangan filosof bahwa esensi terbagi menjadi dua bagian:
1. Luar-akal. Yaitu esensi yang memiliki efek sebagaimana mestirzya.Seperti manusia
dimana ia memiliki beban materi, ukuran, sifat-sifat, aksi-interaksi dan lain-lain.
2. Dalam-akal. Yaitu esensi yang tidak memiliki efek sebagaimana mestinya. Seperti
pahaman manusia dimana ia tidak memiliki efek apapun dari efek-efek Luar. Ia memang
memiliki efek, namun efek itu berhubungan dengan efek dalam akal saja. Seperti menolak
ketidak tahuan. Tidak seperti esensi luar yang menolak ketiadaan nyata.
Sebagian Pandangan :
1. Pengetahuan kita ( wujud-dalam ) adalah bayangan esensi dari bukan esensi itu sendiri.
Yakni ia hanya sebagai aksiden-kwalitas yang berdiri di atas jiwa yang hanya menjelaskan
obyek pengetahuan Luar dengan bayangannya yang mirip seperti gambar pada kertas.
Pendapat ini jelas akan berakhir pada sophistics. Yakni pengacauan dan penipuan. Dimana
hal tersebut melazimi ditutupnya pintu ilmu pengetahuan. Karena jelas apa yang kita tahu akan
menjadi apa-apa yang tidak kita ketahui. Akhirnya, semua ilmu kita adalah kebodohan dan
ketidak tahuan, bukan ilmu.
2. Keberadaan dalam akal itu, tidak ada. Sedang ilmu itu adalah hubungan yang dihasilkan dari
penghubungan jiwa dan obyek ilmunya di luar akal. Pandangan ini juga mustahil diterima.
Sebab kita juga mengetahui dan memahami ketiadaan. Kalau ilmu itu hasil dari penghubungan
jiwa dan obyek, maka manakah obyek ketiadaan itu?
Dalil Umum Keberadaan Dalam akal
Untuk membuktikan adanya keberadaan dalam akal pada umumnya para filosof berdalil dengan
beberapa dalil di bawah ini:
1. Kita dapat menghukumi atau mempridikati hal-hal yang tiada, dengan hukumhukum positif
Seperti pernyataan dua kontradiksi tidak bisa bertemu; Gunung emas itu adalah gunung yang
terdiri dari tanah dan batu emas; Tiada itu adalah tiada dan lain-lain. Sedang hukum positip
adalah menetapkan sesuatu keatas sesuatu yang lain, dan menetapkan sesuatu ke atas yang
lain adalah cabang dari tetapnya ( adanya ) yang lain tersebut. Yakni yang tak ada, tak
mungkin dipredikati, kecuali predikat negatip. Jadi adanya predikat positip membuktikan
adanya sebuah obyek . Dan kalau obyek tersebut tidak ada di Luar-akal maka sudah pasti,
adanya di dalam akal.
2. Beberapa pahaman tidak memiliki wujud-luar karena memang tidak menceritakan keberadaan
Luar. Seperti uriversal atau partikulir. Kalau pahaman-pahaman tersebut tidak memiliki wujud
luar maka jelas keberadaannya ada di dalam akal.
3. Kita dapat membayangkan keberadaan-murni, seperti manusia gunung, air dan lain-lain tanpa
embel-embel. Keberadaan murni ini jelas tidak mungkin ada di luar-akal. Sebab yang ada di
luar akal pasti mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak akan mungkin dimiliki oleh wujud lain
sekalipun sama dalarn esensinya. Kalau keberadaan murni tersebut tidak ada diluar akal maka
pasti keberadaannya di dalam akal (Pahaman ).
Pertanyaan dan Isykalan
Ada beberapa isykalan terhadap adanya esensi dalam akal ( Wujud-dalam ), Seperti:
1. Adanya esensi seutuhnya dalam akal melazimkan sesuatu menjadi substansi dan aksiden
sekaligus. Sebab substansi yang terpahami dalam akal adalah substansi karena sesuatu
adalah dirinya sendiri - sementara pemahaman itu sendiri adalah aksiden yang berdiri dan
bersubyek kepada jiwa. Dan ketika substansi itu dikatakan aksiden sekaligus, maka jelas hal
ini adalah kemustahilan yang nyata.
2. 1lmu dan/atau esensi dalarn akal, tergolong ke dalarn katagori kwalitas, yakni kwalitas dari
jiwa/ruh. Sementara kalau kita membayangkan substansi atau aksiden lain selain kwalitas,
maka mereka akan menjadi dua esensi sekaligus, yakni esensi kwalitas dan esens) masing-
masing mereka. Maka substansi akan menjadi substansi dan kwalitas; aksi akan menjadi aksi
dan kwalitas; interaksi akan menjadi interaksi dan kwalitas; dll.. Dengan demikian maka setiap
esensi terkatagorikan dalam dalam dua katagori ( esensi ) sekaligus. Dan karena setiap esensi
itu adalah dirinya sendiri dan bukan yang lainnya secara zati, maka hal tersebut telah
menyebabkan bertemunya dua kontradiksi. Sebab ketika substansi dikatakan kwalitas, maka
sama dengan mengatakan bahwa substansi bukanlah substansi. Hal mana yang demikian itu,
yakni bertemunya dua kontradiksi, adalah mustahil adanya.
3. Mempercayai wujud-dalam dan kesesuainnya dengan Wujud-luar, melazimkan seseorang
atau jiwa menjadi panas-dingin, panjang-pendek, bulat-lonjong, pahit-manis, hitam-putih, dll.,
sekaligus. Yakni manakala membayangkan semua itu dalam waktu yang sama.
4. Banyak kemustahilan zati yang tidak bisa terwujud, menjadi terwujud manakala dibayangkan
dalam akal. Hal itu dikarenakan kesamaan antara esensi-dalam dengan esensi-luar tersebut.
Jadi hal-hal yang mustahil ada secara zati, seperti sekutu Tuhan, bertemunya atau
diangkatnya dua kontradiksi, penafian sesuatu atas dirinya, d1l., menjadi wujud/ada manakala
dibayangkan dalam akal. Sementara kita tohu bahwa semua itu tidak mungkin ada.
5. Jiwa dapat membawa benda - benda besar seperti bumi, gunung, langit, dll.. Kalau esensi
mereka dalain akal sama dengan yang di luar akal, maka berarti benda-benda besar itu telah
masuk ke dalam yang jauh lebih kecil.
6. Adanya wujud-dalam melazimkan sesuatu yang universal, menjadi partikulir sekaligus. Hal
seperti ini jelas mustahil.
Jawaban Isykalan
Jawaban terhadap isykalan di atas, dapat disimak di bawah ini:
1. Ada beberapa jawaban untuk isykalan pertama dan ke dua. Tapi semua itu memiliki
kekurangan, kecuali jawaban yang diberikan oleh Mulla Shadra ra.. Inti jawabannya adalah,
kemestian tercakupnya predikat/definisi oleh dirinya sendiri berbeda antara predikasi-pertama
dengan predikasi-kebanyakan. Yakni definisi dengan batasan penuh yang, kesamaan definisi
dengan definednya adalah dalam pahaman, dan definisi dengan batasan-kurang, gambaran
penuh dan kurang, dll., yang memiliki kesamaan dalarii ekstensinya. Artinya, ketika kesamaan
antara definisi dengan definednya ada daiam pahaman saja, maka definisi tersebut tidak mesti
dicakupi oleh dirinya sendiri. Misalnya ketika mendefinisikan manusia sebagai substansi
bertiga dimensi, berkernbang, bergerak dengan kehendak dan rasional, maka definisi ini tidak
mesti dinaungi oleh dirinya sendiri, yakni bahwasannya ia dalam kenyataannya adalah
substansi juga, sementara jelas ia adalah wujud dalam jiwa alias kwalitas jiwa. Sebab
kesamaannya dengan defined hanyalah dalam pahaman. Maka dari itu efek keduanya tidak
berbeda, bahwasannya keduanya hanya meniadakan ketidaktahuan alias keberadaan-dalam,
bukan keberadaan luar. Tapi kalau ukuran kesamaan antara definisi dengan definednya di luar
akal, yakni definisi-kebanyakan, maka sudah semestinya definisi tersebut dicakupi oleh dirinya
sendiri secara tidak langsung. Misalnya mendefinisikan manusia sebagai substansi. Di sini
secara pahaman, keduanya berbeda jauh. Tapi di lihat dari keberadaan luarnya dimana ianya
dijadikan ukuran kesamaan antara keduanya, maka keduanya memiliki kesamaan. Yakni
manusia luar adalah substansi, dan. substansi luar adalah manusia ( sekalipun pada sebagian
estensinya saja ). Oleh karena ukuran definisi ini adalah keberadaan ekstensinya, maka jelas
definisi tersebut juga merupakan substansi, lantaran kesubstansian manusia-luar, yakni
keberadaannya tidak ditopang oleh yang lainnya.
2. Dengan jawaban pertama, isykalan ke dua ini juga bisa dijawab. Yakni apabila ukuran
kesamaan antara definisi dengan definednya di luar-akal eksistensi luar ), maka keduanya
mesti dinaungi oleh definisnya. Artinya kalau definisinya substansi, seperti manusia adalah
substansi, maka defined dan definisinya juga substansi secara aktual dan nyata. Begitu pula
kalau aksiden. Tapi kalau ukuran kesamaannya adalah pahaman, berarti yang dimaui dari
definisi dan definednya adalah pahaman. Di sini, keduanya tidak dituntut memberi efek yang
semestinya, yaitu kesubstansian substansi, keaksian aksi, keinteraksian interaksi dll.. Bahkan
sebaliknya, semuanya adalah aksiden kwalitas, karena mereka semuanya adalah ilru dan ilmu
adalah kwalitas jiwa.
3. Efek dari esensi disebabkan wujudnya, bukan ke-esensiannya. Sedang serlua pahaman, sama
dengan yang dipahami dalam esensinya. Dengan demikian, maka kesamaan ilmu atau esensi-
dalam dengan esensi-luar, tidak melazimkan efek 'senyatanya seperti sebagaimana yang
ditimbulkarn oleh wujud esensi tersebut.
4. Sebagaimana maklum, yang ada dalam akal itu adalah pahamannya saja, yakni predikasi-
pertamanya. Jadi, sekutu Tuhan adalah sekutu Tuhan dan ada dalam pahaman. Begitu pula
dengan tiada dan pertemuan dua kontradiksi. Sedang dilihat dari predikasi-kebanyakannya,
mereka itu adalah ada dan merupakan kwalitas dari jiwa/ruh.
5. ilmu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih jauh, adalah non materibarzakhi, mitsali atau
ide. Dan pemilik ilmu adalah ruh yang juga non materi. Jadi, ilmu itu juga memiliki semua efek
materi kecuali efek yang ditimbulkan oleh bebannya. Maka dari itu yang besar bisa masuk ke
dalam yang kecil. Sebab, pencegahnya, yaitu bebannya, tidak ikut didalamnya dan oleh
karenanya tidak meberikan efek yang berupa kemustahilan itu.
6. Universal dikatakan universal manakala dilihat dari sisi perbandingannya dengan wujud- luar,
yaitu ketika ia memiliki wujud-luar atau ekstensi lebih dari satu. Sedang dikatakan partikulir
manakala ia dilihat dari sisi kwalitas jiwa. Yaitu sifat atau aksiden yang bertopang kepada
substansi jiwa. Di sini, karena ia salah satu diantara sekian aksiden jiwa, maka ia adalah
partikulir. Sebenarnya, ia juga tidak bisa dikatakan pertikulir. Sebab partikulir adalah pahaman
yang memiliki satu ekstensi. Jadi partikulir hanya memiliki hakikat dalam-akal, bukan luar-akal.
Jadi, hakikatnya dia adalah individu. Nah, dengan demikian, maka universal adalah universal
manakala dilihat sebagai wujud-dalam dan dihubungkan dengan ekstensi-ekstensinya, dan
dikatakan individu manakala dilihat sebagai wujud-luar alias sebagai salah satu aksiden jiwa,
yakni kwalitas jiwa
BAHASAN KE TIGA
Pembagian Wujud Menjadi Wujud-Diri dan Wujud-Lain, dan Wujud-Diri Menjadi
Wujud Untuk-Dirinya dan Wujud-Untuk-Selainnya.
Pasal: 1
Sebagian keberadaan, ada yang memiliki jati diri yang jelas, seperti Pintar, Joko, Tinggi, dll.,
tapi ada pula yang tidak memilikinya, seperti Hubungan yang ada pada `Joko itu Pintar'. Kalau
`Joko' dan `Pintar' itu dipisah atau tidak dihubungkan, maka keduanya tidak terkait menjadi satu
rnakna. Tapi ketika dihubungkan, maka jelas sebaliknya. Oengan demikian dapa. dimengerti
bahwa antara keduanya ada yang namanya 'Hubunga' dimana keberadaannya tidak mandiri dan
bahkan bersembunyi dibalik kesubyekkan subyek dan kepredikatan predikat. Oleh karena ituiah
maka yang memiliki jati diri jelas disebut Wujud-Diri, dan yang tidak jelas disebut Wujud-Lain,
yakni kejatian dirinya bersemayam di daazm wujud lain dan bergantung padanya ( subyek-
predikat ). Wujud-Diri itu juga disebut Wujud-Mandiri dan Wujud-Predikasi, sedang wujud-Lain
disebut dengan Wujud-Penghubung atau Hubungan.
Dengan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan lain sebagai berikut:
1. Wujud-Penghubung tidak memiliki esensi. Karena esensi adalah jawaban dari pertanyaan
`Apa dia?' Oleh karenanya jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diambil hanya dari hal-hal
yang memiliki kemandirian dalam pahamannya alias wujud-Predikasi, bukan Wujud-
Penghubung yang bisa dipahami kecuali dengan membayangkan hal-hal yang
dihubugkannya seperti subyek dan predikat.
2. Keberadaan Wujud-Penghubung dalam subyek dan predikat, melazimkan sejenis penyatuan
dengan keduanya karena ketidakbisaannya memisahkan diri.
3. Wujud-Penghubung ini hanya ada dalam jawaban atas pertanyaan `Apa Ganda?', bukan
`Apa Sederhanya'. Yakni yang menanyakan `Apakal: sesuatu tersifati atau terpredikati
dengan sesuatu yang lain?', bukan menanyakan `Apakah ia ada?'. Karena tidaklah
bermakna pernyataan yang menyatakan bahwa Penghubung itu ada diantara `Manusia itu
ada'. Sebab adanya sesuatu dengan dirinya adalah satu. Oleh karenanya Penghubung tidak
diPerlukan.
Pasal: 2
Ada perbedaan pendapat mengenai Wujud-Penghubung, apakah ia berbeda secara
esensi dengan Wujud-Mandirt"? Yakni apakah Wujud-Penghubung hanya memiliki makna yang
tergantung kepada Wujud-Mandiri dimana tidak bisa dipahami secara mandiri, dan menjadi
sesuatu yang dapat dipahami tanpa ketergantungan kepada yang lalnnya? Jawaban yang benar
adalah tidak demikian. Sebab sebagaimana yang akan diterangkan di pembahasan sebab-akibat,
bahwa akibat adalah Wujud-Penghubung bagi sebabnva. Tapi dilain pihak akibat-akibat itu
memiliki keberadaan secara mandiri. Sebab mereka ada yang Substansi dan. ada pula. yang
Aksiden. Sementara Substansi dan Aksiden adalah wujud-wujud Predikasi dan Mandiri, sekalipun
mereka juga dikatakan Sebagai wujud-wuiud Penghubung manakala dilihat dari ketergantungan
mereka kepada sebab-sebab mereka.
Pasal:3
Pembagian Wujud-Diri menjadi Wujud-Untuk-Dirinya dan Wujud-Untuk-Selainnya
Maksud dari Wujud-Untuk-Selainnya adalah bahwa wujud yang tadinya adalah Wujud Diri,
yakni yang artinya adalah dengan esensinya menolak ketiadaannya, dalam pada itu ia juga
menolak ketiadaan lain. Seperti esensi ilmu dan kuasa. Esensi keduanya menolak ketiadaan diri
mereka. Tapi di lain pihak mereka juga menolak kebodohan dan kelemahan ( baca: tak kuasa )
pada substansi-substansi yang memiliki mereka.
Dalil bagi keberadaan wujud-wujud untuk selainnya itu adalah adanya wujud-wujud aksiden
sendiri. Sebab wujud-wujud aksiden, disamping meniadakan ketiadaan dirinya ia juga meniadakan
suatu ketiadaan pada substansi yang memilikinya. Bahkan keberadaan substansi juga
merupakan dalil dari hal ini. Sebab ke-speciesan substansi juga meniadakan kekurang
sempurnaan pada materinya ( bendawiahnya ) Beda halnya dengan Golongan atau Esensi dari
wujud-wujud substansi. Sebab mereka hanya menolak ketiadaan diri mereka sendiri ( tidak
termasuk ketiadaan selainnya ). Seperti manusia, kuda, singa, pohon, dll.. Wujud-wujud ini disebut
dengan Wujud-Untuk-Dirinya.
BAHASAN KE EMPAT
Pembahasan Tiga Mutu: Wajib, Mungkin dan Terlarang
Pasal: 1
Definisi ke-Tiga Mutu
Setiap pahaman kalau dihubungkan dengan Ada/wujud, maka bisa dihasilkan beberapa hal:
Mesti / wajib adanya; Terlarang adanya; atau tidak kedua-duanya. Yang pertama itulah yang
disebut dengan Wajib/mesti. Sedang yang ke dua disebut dengan Terlarang/mustahil, dan yang
ke tiga dengan Mungkin. Dengan bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa kalau keberadaan
sesuatu itu merupakan kedaruratan (tidak bisa tidak ), maka inilah yang disebut Wajib/mesti. Tapi
kalau ketiadaannya yang darurat, maka ialah disebut dengan Mustahil / Terlarang. Sedang
ketidak daruratan kedua-duanya, yakni ia tidak terlarang untuk ada sekalipun tidak pula mesti,
maka ialah yang disebut dengan Mungkin.
Ke-Tiga Mutu di atas tergolong ilmu mudah dan tidak perlu ( bahkan tidak bisa ) didefinisi.
Definisi di atas hanyalah penjelasan kata sebagaimana maklum.
Pasal: 2
Bagian-bagian Tiga Mutu
Secara global, masing-masing dari ke-Tiga Mutu itu memiliki bagian-bagian KarenaDirinya,
Karena-Selainnya, dan Karena Dihubungkan (baca: dihubungkan dengan selainnya ). Maksud
dari Karena-Dirinya adalah Diri-Sesuatu atau Zat-Sesuatu itu cukup untuk dijadikan penetap
( alasan ditetapkannya ) bagi Mutu-mutu di atas tanpa harus memperhatikan selainnya. Maksud
KarenaSelainnya adalah bahwa keter-Mutuan sesuatu dengan Mutu-mutu di atas dikarenakan
wujud lain selain dirinya. Sedang maksud dari Karena Dihubungkan adalah bahwa keter-
Mutuannya dikarenakan penghubungannya dengan wujud lain.
Wajib-Karena-Dirinya yang dikenal juga dengan Wajib-Zati, adalah yang kewajiban adanya
dikarenakan dirinya sendiri seperti Sang Wajib-Wujud ( Tuhan ). Karena keWajiban atau ke-
Mestian AdaNya tidak memerlukan kepada wujud lain. Dan WajibKarena-Selainnya adalah
keberadaan wujud-wujud Mungkin dimana keadaannya menjadi mesti/wajib karena sebabnya.
Yakni manakala ada sebabnya, maka Wujud-Mungkin itu menjadi Wajib-adanya. Sedang Wajib-
Dihubungkan, adalah yang keberadaannya menjadi mesti manakala dihubungkan dengan
selainnya, seperti wujudwujud Mutadhaifain. Misalnya, bawah, maka ia menjadi'mesti manakala
atas telah ada, begitu pula sebaliknya.
Mustahil-Karena-Dirinya, yang juga dikenal dengan Mustahil-Zati, adalah yang ketidak
mungkinan adanya karena dirinya sendiri. Artinya, dirinya sendirilah yang menuntut ketiadaannya
dan memustahilkan kebaradaannya. Seperti sekutu Tuhan, bertemunya dua kontradiksi, tiada,
tuhan yang dicipta, masuknya benda besar ke dalam vang lebih kecil, lebihnya akibat dari sebab,
dll.. Dan Mustahil-Karena Selainnya adalah yang ke-Mustahilannya itu disebabkan selain
dirinya. Seperti ke-Mustahilan adanya sesuatu yang tadinya Mungkin, dikarenakan tidak adanya
sebab keberadaannya. Atau ketiadaan sesuatu yang tadinya Mungkin yang dikarenakan adanya
sebab keberadaannya. Jadi, yang tidak ada sebabnya, maka ia Mustahil ada, begitu pula yang
sudah ada sebabnya, maka ia Mustahil tiada. Inilah yang dikatakan Mustahil atau Terlarang-
Karena-Selainnya. Sedang Mustahil-Karena Dihubungkan adalah yang keMustahilannya itu
karena penghubungan dengan selainnya, seperti Mustahilnya adanya salah satu Mutadhaifain
manakala yang lainnya belum ada, begitu pula Mustahilnya tiadanya salah satu mereka manakala
salah satunya sudah ada.
Mungkin-Karena-Dirinya yang dikenal juga dengan Mungkin Zati, adalah yang ke-
Mungkinannya itu karena zat dan esensi dirinya sendiri, seperti esensi-esensi yang
keberadaannya bersifat mungkin. Sebab esensi-esensi itu, secara dirinya atau zati, tidak memiliki
kedua kedaruratan ada dan tiada. Dan Mungkin Karena-Selainnya tidak mungkin ada. Sebab
kalau kita mungkinkaLi adanya sesuatu yang Mungkin-Karena Selainnya, maka dirinya sendiri
adalah Wajib, Mustahil, atau Mungkin itu sendiri, karena Mutu tidak lebih dari tiga hal itu. Kalau
kedua pertama, maka jelas tidak mungkin. Sebab melazimkan perubahan esensi atau zat sesuatu.
Dan kalau yang ke tiga, maka jadi tak berguna dan sia-sia.Artinya penambahan dan penamaan
tersebut tidak memberikan hasil apapun.
Sedang Mungkin-Karena-Dihubungkan adalah yang ke-Mungkinannya disebabkan
penghubungan dengan yang lain. Seperti dua Tuhan atau dua Wajib-Wujud yang diumpamakan.
Ketika dikatakan sebagai Tuhan atau Wajib-Wujud, maka keduanya mestilah berdiri sendiri. Dan
keberdirian sendiri ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau diri nya tidak terbatas. Sebab ketika
sesuatu itu tidak terbatas, maka ia tidak akan memiliki awal dan akhir; dan yang tidak ada awalnya,
maka ia tidak pernah ada permulaannya, yakni tak pernah tiada sehingga bermula di titik awal itu.
Jadi dari sisi keTuhanan atau ke-Wajiban-Wujud, keduanya mestilah -
tidak terbatas. Tapi kalau
dilihat dari sisi bahwa keduanya akan saling membatasi ' manakala dikatakan ada, maka keduanya
jadi terbatas dimana pada akhimya akan menjadi berawal. Sementara ketika sesuatu itu berawal,
maka ia tidak lagi Wajib-Ada atau Tuhan. Karena berarti ia pernah tiada. Dan sesuatu yang ada
yang didahului oleh tiadanya, maka zatnya adalah Mungkin, bukan Wajib atau Tuhan. Inilah yang
disebut dengan Mungkin Karena-Dibubungkan.
Pasal: 3
Esensi Wajib-Ada adalah AdaNya
Esensi, sebagaimana maklum, adalah batasan sesuatu. Oleh karennya yang tidak terbatas,
tidak akan memiliki esensi. Sedang Wajib-ada, memiliki arti suatu hakikat yang selalu bersama
ada dan tidak pernah tiada. Kalau demikian, maka Ia tdak memiliki batasan awal ataupun akhir.
Dengan ini maka jelaslah bahwa Wajib-Ada tidak memiliki esensi. Artinya Dia adalah wujud-murni
yang tidak memiliki batasan apapun. Sehingga dengan ini para filosof mengatakan bahwa
EsensiNya adalah AdaNya.
Petunjuk lain dari ketiadaan esensi Wajib-Ada adalah, kalau Wajib-Ada memiliki esensi,
berarti AdaNya mensifati atau mengaksideni esensiNya. Dan setiap "aksiden/sifat,
keberadaannya tersebabi. Artinya tak mungkin aksiden ada tanpa adanya sebab yang telah
mewujudkan dan telah menjadikannya sebuah aksiden. Dan bahkan sebabnya itulah yang telah
menjadikan aksiden itu sebuah aksiden. Hal ini dapat diketahui karena aksiden didahului oleh
substansinya, dan yang didahului berarti berawal, serta yang berawal pasti bersebab.
Kalau AdaNya pada esensiNya tersebabi, maka penyebabnya tidak keluar dari dua
kemungkinan; esensiNya, atau selainNya. Kalau esensiNya, maka ia ( esesnsi ) sudah mesti
mendahului AdaNya sebagai akibat, karena setiap sebab mesti mendahuli akibatnya. Dan kalau
esensiNya mendahului AdaNya dalam ada, maka ia mendahuluinya dengan ada yang
bagaimana? Apakah dengan ada yang sekarang ini atau dengan ada yang lain? Kalau dengan
yang ada sekarang ini, berarti ia telah mendahului diriNya sendiri. ini jelas mustahil. Dan kalau
mendahului dengan ada yang lain, maka kita bisa menanyakan ada yang ke dua tersebut dengan
pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang diajukan pada ada yang pertama. Dan jawaban
untuk semua itu adalah, kalau tidak berakhir pada kesebaban esensiNya ( dimana hal ini adalah
mustahil ), maka pertanyaan itu tidak bisa dihentikan sampai tidak terbatas, dimana hal ini juga
mustahil.
Kalau penyebab AdaNya adalah selain esensiNya, maka hal ini bertentangan dengan
dirinya yang Wajib-Ada itu. Sebab kalau disebabi berarti pernah terpisah dari ada, dan ini berarti
bahwa Ia tidak Wajib-Ada.
Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa Wajib-Ada tidak memiliki esensi, atau
esensiNya adalah AdaNya. Dan dapat diketahui pula bahwa Wajib-AdaNya itu diketahui dan
dipahami dari jati diriNya sendiri, dan bahwasannya Ia adalah Wujud-Murni yang paling sempurna
dimana tidak memiliki sisi ketiadaan sedikitpun. Karena kalau masih memiliki sisi tiada, maka la
masih memiliki kekurangan dimana hal itu berarti batasan buat ZatNya yang Maha Sempurna itu.
Dan kalau masti memiliki batasan, berarti la masih memiliki awal-akhir. Sedang yang memiliki
awal-akhir, berarti ia pemah tiada, yakni sebelum awalnya itu. Dan yang demikian berarti ia
disebabi, sementara yang disebabi adalah Mungkin-ada, bukan Wajib-Ada.
Pasal: 4
Wajib-Ada Secara Zati Adalah Wajib-Ada dari Semua Sisi
Wajib-Ada tidak boleh memiliki sisi apapun yang bdrbau ketiadaan dan kemungkinan dari
apa-apa yang bersifat Mungkin-Umum atau Kemungkinan-Umum. Sebab, kalau inasih memiliki
ketiadaan dan kemungkinan, berarti masih memiliki keterbatasan dan keterikatan. Dan
keterbatasan adalah awal-akhir, sedang awal-akhir adalah ketiadaan sebelum awal; sementara
ketiadaan yang menjadi ada adalah diadakan; dan yang diadakan adalah wujud-mungkin, bukan
Wajib-Ada.
Pasal 5
Yang Tak Wajib Tak Mungkin Ada
Tiada keraguan bahwa sesuatu yang Mungkin-ada, dimana jaraknya kepada ada dan tiada
adalah sama, memerlukan kepada sebab manakala ingin mencapai salah satu dari keduanva.
Sebab ada, untuk menjadi ada; dan sebab tiada untuk menjadi tiada. Yakni untuk menjadi ada
perlu kepada sebab yang juga ada, tapi untuk menjadi tiada, cukup dengan tiadanya sebab. Jadi
tiada sebab adalah sebab bagi tiadanya Mungkin-ada.
Sekarang, ketika Mungkin-ada akan menjadi ada, maka ia harus dihantar oleh sebabnya
sampai ke titik ada. Dan kalau sudah sampai ke titik ada itu, maka ia pasti menjadi ada. Artinya
keberadaannya menjadi pasti dan tidak bisa tidak. Inilah yang disebut dengan Wajib-ada-karena
selainnya atau Wajib-Karena Selainnya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa
sesuatu yang tak wajib, tak mungkin ada. Atau sesuatu yang belum mencapai titik ada ( baca:
mesti/wajib ada ), maka ia tidak akan ada; dan sebabnya, belum bisa dikatakan sebagai sebab
baginya atau sebab bagi adanya.
Penutup
Apa-apa yang telah dijabarkan di atas mengenai Wajib Karena-Selainnya adalah ke-
Wajiban atau ke-Mestian-ada yang datang bagi wujud-mungkin dari arah sebabnya. Tapi ia juga
memiliki ke-wajiban atau ke-mestian yang lain yang biasa disebut dengan Kemestian-Dengan-
syarat-Predikasi. Yakni suatu kemestian terpredikasinya suatu subyek manakala sedang
dipredikasi-i oleh predikat' tersebut. Misalnya `Manusia itu berjalan secara pasti manakala ia
sedang berjalan'.
Di sini, di pembahasan Wajib-Karena-Selainnya ini, suatu wujud yang menjadi mesti/ wajib
untuk ada, ketika dia ada, maka sudah pasti tersifati juga dengan Wajib-DenganSyarat-Predikasi
ini. Karena ketika ia ada, maka pasti ia ada. Artinya, sesuatu yang ada itu Wajib-adanya.
Pasal: 6
Makna Makna Mungkin
Mungkin yang telah dibahas di atas adalah Mungkin yang memiliki makna ketidak daruratan
dua kemestian, yakni kemestian ada dan tiada, Mungkin yang seperti ini di sebut dengan
Mungkin-Khusus.
Ada lagi :Mungkin yang memiliki makna lain, yaitu menegasikan satu darurat yang
merupakan lawannya, apakah darurat ada atau tiada. Misalnva dikatakan "Sesuatu itu mungkin
saja ada", ".Sesuatu itu Mungkin saja terjadi ", "Hal itu bisa saja mustahil ".
Kedua contoh pertama adalah penergasian kedaruratan tiada atau mustahil. sedang contoh
terakhir adalah penegasian darurat ada atau wajib-ada. Mungkin seperti ini yang sering dipakai
masyarakat secara unum. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai Mungkin – Umum
Ada Mungkin yang lebih spcsilik lagi dari Mungkin-Umum di atas. yaitu Mungkinlebih
khusus. Artinya ia menafikan Darurat-Zat ( Pasti-Mutlak ). Darurat -Sifat (Bersyarat-Umum )
dan Darurat-Waktu ( Berwaktu-Mutlak ). Seperti perkataan Manusia bisa menjadi penulis",
"Manusia adalah penulis secara kemungkinan", Manusia mungkin menjadi penulis". Maksud
dari pernyataan ini adalah bahwa kepenulisan dinafikan dari zat manusia. Begitu pula dinafikan
dari kedaruratan sifat dan Waktu lantaran tidak disyaratinya dengan sifat dan waktu tertentu. Lain
halnya kalau dikatakan "Manusia adalah penulis kalau ia menulis", "manusia adalah penulis dikala
ia menulis". Sebab dalam dua contoh ini, kepenulisan merupakan kedaruratan atau hal yang tidak
bisa tidak bagi manusia sekalipun dalam kondisi atau Waktu tertentu.
Penegasian tiga darurat di atas kalau ditambah dengan penegasian Darurat-Bersyarat-
Predikat. yakni kedaruratannya dicapai manakala sebuah predikat secara aktif tertetapkan pada
sebuah subyek, maka akaii menjadi model lain pula bagi sebuah ke-Mungkinan. Yang terakhir ini
disebut dengan Mungkin-Masa-Datang. Misalnya "Joko besok adalah penulis secara
kemungkinan". Proposisi ini menafikan kedaruratan kepenulisan dari joko, besok hari. Sebab
kalau kepenulisan itu terjadi pada Joko, maka jelas bahwa kepenulisan itu merupakan kedaruratan
dan tidak bisa tidak. Tapi karena kepenulisan itu baru akan terlihat besok, maka sekarang ia tidak
darurat dan mesti. Oleh karenanya masih berupa kemungkinan. Jadi proposisi di atas adalah
penegasian terhadap kedaruratanbersyarat predikat.
Salah satu makna Mungkin yang lain adalah penegasian terhadap darurat tiada atau
kermrstahilan pada sisinya ( baca: bukan sisi !awannya ). Yakni yang pengumpanraan adanva
atau terjadinya, tidak nrelazintkan kemustahilan atau larangan yang mesti/wajib. baik Mustaltil-
Karena-Dirinya ( Zati ) atau Mustahil karena-Selainnya. Mungkin yang seperti ini disebut dengan
Mungkin-Terjadinya. Seperti pernyataan, "Hal itu tidak mustahil terjadi", "Hal itu bisa saja
terjadi".
Ke-Mungkinan model terakhir adalah Mungkin-Potensial. Ketika sesuatu siap untuk
menjadi sesuatu yang lain, maka ia memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain tersebut dan
.juga memiliki hubungan dengan kesiapannya atau ke-potensiannra itu sendiri. Misalnya mani. ia
siap untuk menjadi manusia. Di sini dikatakan bahwa "Mani ini punya potensi untuk menjadi
manusia". Ini dilihat dari hubungannya dengan manusia yang potensi-i. Sedang dilihat dari
hubungannya dengan ke-potensiannya, dapat dikatakan bahwa "Manusia itu ada di mani secara
kemungkinan ". atau "Manusia secara kemungkinan ada di dalam mani".
Beda antara Mungkin-Potensial dengan Mungkin-Zati adalah, kalau Mungkin-Zati, melihat
esensi dari sisi akal ( internal ) dan diambil dari sisi esensi sebagaimana ia atau sebagaimana zat
dirinya secara murnii. Sedang Mungkin-Potensial adalah suatu sifat secara eksternal ( wujud luar
akal atau keberadaan nyata ) bagi sebuah esensi yang eksternal pula. Dengan demikian
Mungkin-Zati Manusia dikatakan pada esensi manusia sebagaimana ia esensi, sedang
Mungkin-Potensial-Manusia dikatakan pada esensi Mani yang sudah menjadi ada dimana ia di
dalam perjalanan menuju manusia.
Dengan uraian di atas dapat dimengerti bahwa Mungkin-Potensial dapat disifati dengan
Kuat dan Lemah. Misalnya MungkinPotensial yang ada pada gumpalam darah dalam perut
seorang ibu, lebih Kuat ketimbang yang ada pada Mani. Begitu pula dipahami bahwa Mungkin-
Potensial ini bisa hilang, yakni manakala ia sudah mencapai yang dipotensialkan itu, atau batal di
tengah jalan, seperti Mani yang jatuh ke tanah dan kering. Sedang Mungkin-Zati akan tetap
Mungkin-Zati sekalipun ia sudah memiliki wujud eksternal.
Sedang beda antara Mungkin-Potensial dan Mungkin-Terjadinya adalah, kalau yang
pertama hanya ada pada keberadaan materi, tapi yang ke dua bisa ada pada keberadaan materi
dan non materi.
Pasal: 7
Mungkin Adalah Kelaziman Esensi dan Pentakbiran Akal
Bukti ketakbiran akal terhadap Mungkin, adalah karena ia mensifati esensi dari sisi dirinya
sendiri secara murni dan akli. yakni tanpa dilihat apakah esensi tersebut ada atau tidak di alam
eksternal ( luar-akal ). Dan sifat bagi hal-hal yang akli, sudah tentu juga merupakan keberadaan
akal.
Tapi, ke-akalan sesuatu dari satu sisi, tidak bertentangan dengan ada-tidaknya, manakala
dilihat dari sisi yang lain. yaitu dari sisi eksternalnya. Sebab ke-akalan bagi esensi itu, disebabkan
tidak mungkinnya memasukkan makna ada atau tiada ke dalamnya secara zati, murni atau asal.
Karena akan membuatnya Wajib-Ada atau Musahil-Ada. Dengan demikian, pandangan akal
kepadanya adalah pandangan secara murni dan zati serta pelepasan dari sisi kaitannya dengan
ada dan tidaknya di keberadaan eksternalnya. Oleh karenanya pandangan _yang seperti ini
terhadap esensi. tidak bertentangan dengan pandangan lain, yaitu manakala akal
memperhatikannya apakah ia memiliki keberadaan atau tidak di alam eksternal. Karena itulah
maka esensi ( sebagaimana esensi ), sunyi dari kemestian dua keberadaan dan ketiadaan
( internal dan eksternal ).
Sedang bukti bahwasannya Mungkin itu merupakan kelaziman esensi adalah tatkala kita
melihat esensi itu dari sisi dirinya dan tanpa memperhatikan selainnv,.. kita dapat melihat bahwa ia
terlepas dari dua kepastian ( ada dan tiada ). Dan tiadalah inakna lain dari Mungkin kecuali
terlepasnya sesuatu dari dua kepastian tersebut. Denjan demikian maka Mungkin adalah
kelaziman esensi secara zati.
Pasal: 8
Perlunya Mungkin Pada Sebab dan Sebab Keperluannya
Mengerti perlunya Mungkin kepada sebab, atau mengerti pernyataan 'Mungkin perlu
kepada sebab untuk Mencapai ada dan tiada', adalah tergolong ilmu-mudah yang pcrtama_
dimana cukup dengan hanya membayangkan Subyek, Predikat dan Hubungan keduanya, dapat
meyakini kebenarannya. Yakni yang membayangkan makna Mungkin bahwasannya ia adalah
berjarak sama antara ada dan tiada, dan membayangkan bahwa ia tidak berdaya mencapai salah
satunya karena yang tak punya tak mungkin memberi, maka dapat dipastikan bahwa orang
tersebut akan meyakini dengan mudah perlunya Mungkin kepada sebab.
Sekarang, apa yang menjadi penyebab perlunya Mungkin kepada Sebab itu? Ada yang
mengatakan Kemungkinannya ( imkan) dan ada yang mengatakan Kejadiannya (huduts ). Tapi
yang benar adalah yang pertama. Dengan dalil sebagai berikut:
1. Esertsi, dilihat dari adanya adalah Wajib-ada ( pasti-ada, darurat-ada ), dan dilihat dari
tiadanva adalah Mustahil-ada. Hal ini dapat diistilahkan sebagai Kemestian-Dengan-Syarat-
Predikasi, yakni ke-Pastian ditetapkannva predikat atas subyek manakala predikatnya
tertetapkan padanya. Sementara Kejadian esensi tidak lain adalah terjadinya salah satu
kepastian itu_ yakni kepastran adanya setelah sebelumnva tidak ada. Dan semua tahu bahwa
ke-Pastian, ke-Daruratan, dan ke-Wajiban-ada. adalah ketidak perluan kepada sebab.
Maksudnya SebabKejadian, hukan Sebab-Kelanggengan. Dengan demikian maka Kejadian
tidak bisa dijadikan sebab bagi perlunya Mungkin kepada sebab. dan tidak ada jalan lain
kecuali mengatakan bahwa Kemungkinan Mungkinlah yang menjadi sebab bagi perlunva
kepada sebab.
2. Esensi., tidak mungkin ada kecuali diadakan oleh sebabnya: dan pengadaan sebab tidak
mungkin terjadi kecuali kalau esensi itu sudah sampai ke tingkat Wajib/mesti: sementara ke-
mestiannya ini tergantung kepada pe-Wajiban sebabnva ( yang tak wajib tidak mungkin ada ):
sedang pe-Wajiban sebab kepadanya tergantung pada kebutuhannya kepada hal tersebut:
dan kebutuhan esensi timbul karena ke-Mungkinannya itu, sebab yang tak mungkin untuk ada
dan tiada, tidak akan pernah perlu kepada sebab. Dengan demikian, maka sebab bagi
perlunya esensi kepada Sebab adalah ke-Mungkinannya itu, bukan Kejadiannya. Karena kalau
Kejadiannya yang menjadi sebab perlunya esensi kepada Sebabnya, maka ia telah
mendahului dirinya sendiri. Yang demikian, ini karena ketika esensi perlu kepada Sebab
untuk ada, berarti ia belum ada, sementara kalau dikatakan bahwa alasan perlunya kepada
,Sebab adalah Kejadiannya, maka berarti ia telah ada. Jadi, ia mendaluului dirinya sendiri.
Dan mendahului diri sendiri adalah mustahil adanya sebagaimana maklum
Pasal: 9
Mungkin Memerlukan Sebab Untuk Ada dan Langgeng
ada bcberapa dalil yang mcnunjukkan bahwa Mungkin memerlukan sebab bukan hanya
pada waktu mcnjadi ada. tapi juga ketika ia ingin tctap ada alau langgeng. Dalildalil yang dimaksud
adalah:
1. Sebab perlunya Mungkin kepada sebab, sebagaimana maklum. adalah ke.Mungkinannya,
dimana ia menjadi kelaziman dari pada esensi. Sementara esensi dilihat dari dirinya sendiri
adalah bukan ada dan bukan pula tiada. Dengan demikian ketika esensi ini ada sekalipun, ia
tetap melaziini Mungkin yang, merupakan sebab bagi perlunya kepada suatu sebab. Dengan
demikian maka Mungkin memerlukan sebab dikala mau ada dan dikala tetap ingin ada.
2. Sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam bab sebab-akibat, dan yang telah diisyaratkan di
Pasal: 2, Bahasan ke Tiga. bahwa keberadaan akibat adalah keberadaan-Penghubung yang
secara zati bergantung kepada sebabnya dan tidak akan pernah bisa mandiri darinya. Dengan
demikian. maka keadaannya tidak berbeda antara sebelum dan setelah ada, bahwa ia selalu
memerlukan sehabnya.
Sebahagian orang mengira bahwa Tukang Batu adalah sebab bagi berdirinya sebuah
bangunan. Oleh karena mereka mengira bahwa akibat tidak perlu lagi kcpada sebabnya manakala
bangunan sudah berdiri.
Jawaban atas isykalan ini adalah dengan menggaris bawahi (tukang Batu bahmasannva ia
bukanlah sebab-hakiki bagi berdirinva bangunan tersebut, ia tidak lain hanyalah sebab pendekat
yang mendekatkan bagian-bagian bangunan dimana bagian-bagian itulah vang sebenarnya
merupakan sebab baginya.
Penutup
Dapat dipahami dari pembahasan terdahulu bahwa Tiga Mutu itu adalah kwalitas/mutu juga
bagi Proposisi. Begitu pula dipahami bahwasannya Wajib dan Mungkin adalah dua hal yang
bersifat ada ( baca: suatu keberadaan ), karena benarnya atau sesuainya proposisi yang
bermutukan keduanya dengan kenyataan eksternalnya. Oleh karenanya mereka berdua itu ada,
tapi dengan keberadaan subyeknya, bukan keberadaan mandiri. Jadi Wajib dan Mungkin,
sebenarnya.. sama dengan Satu, Banyak, Qodim, Baru/huduts, Potensi, De fakto dll., dalam
hal bahwa mereka adalah sifat dari wujud/ada secara mutlak, yakni bahwa mereka mensifati wujud
di eksternal tapi keaksidenan mereka di akal atau internal. Inilah yang disebut dengan Pahaman
ke Dua Filsafat.
Dengan penjelasan lain dapat dikatakan bahwa mereka adalah pahaman yang tidak diambil
dari keberadaan eksternal seperti gunung, warna. bentuk dll.. sebagaimana Pahaman Pertama
Logika. Karena mereka tidak memiliki wujud yang bisa diindra. Tapi dari sisi lain mereka bisa
disifatkan pada keberadaan eksternal secara benar. Tidak seperti Pahaman ke Dua Logika, yang
keberadaan dan pensifatannva di dalam akal atau internal saja. Dengan demikian mereka adalah
keberadaan dalam akal/internal, tapi dapat disifatkan kepada keberadaan eksternal.
Lebih jelasnya, hubungan subyek dengan mereka disebut perrsifatan, sementara hubungan
mereka kepada subyeknya disebut dengan aksiden. jadi, mereka mengaksideni subyek mereka di
dalam akal / internal, tapi subyek mereka tersifati dengan mereka di alam eksternal.
Sebagai contoh, Mungkin itu mengaksideni Manusia di dalarn akal hingga dikatakan bahwa
dalam pernyataan `Manusia adalah Mungkin ada', Mungkin, yang bukan merupakan keberadaan
indrawi ini, telah mengaksideni manusia di dalam akal secara tidak bisa tidak. Yakni sekalipun
Mungkin tersebut bukan keberadaan indrawi. tapi keAksidenannya bagi Manusia adalah pasti dan
tidak bisa diragukan. Sebab, makna Mungkin adalah penegasian dua kepastian dimana hal ini
adalah Keharusan bagi Manusia. karena ia bukan Wajib-ada dan bukan pula Mustahil-ada. Inilah
yang disebut dongan keaksidenan Mungkin di dalam akal.
Sementara di lain pihak, yakni manusia di luar akal, kalau dihubungkan dengan Mungkin itu,
jelas ia tidak bisa melepaskan diri. Padahal yang namanya Mungkin itu bukanlah suatu
keberadaan indrawi yang nyata. Tapi bagaimana pun ia, yang namanya manusia tidak bisa lepas
dari padanya. Hingga dengan ini kalau manusia dihubungkan dengannya, mesti dikatakan bahwa
`Manusia yang ada di luar akal itu adalah Mungkin ada'. lnilah yang disebut bahwa manusia di
eksternal tersifati dengan Mungkin.
Kalau ingin ekstrim, katakanlah bahwa keberadaan mereka di dalam akal, tapi pensifatan
mereka di luar akal.
lni semua dilihat dari sisi bahwasannya yang dijadikan subyek bagi ketiga Mutu itu adalah
esensi sebagai keberadaan dalani akal. Tapi kalau yang kita jadikan subyek adalah keberadaan
nyata, maka makna Wajib adalah Keberadani yang mencapai tingkat tertinggi kekuatan dimana ia
berdiri'sendiri dan tidak terikat dengari apapun secara zati dan mutlak. Sementara Mungkin artinya
adalah Keberadaan yang secara zati bergantung kepada yang lain.
_BAHASAN KE LIMA -
Bahasan tentang Esensi dan Hukum-hukumnya
Pasal: 1
Defiiusi Esenst
Esensi adalah Apa-apa yang dijawabkan atas pertanyaan Apa-dia. Dalam banyak
peristilahan Esensi ini juga disebut dengan Limit Batasan, Hakikat, dll.. Ia disamping
menerangkan hakikat sesuatu -manakala global seperti manusia- atau merincinya - manakala
rinci seperti binatang rasional- juga memberikan batasan pada sesuatu tersebut sehingga
terbedakan dari yang lainnya.
Sementara itu, keaka esensi dapat disifati dengan sifat-sifat yang saiirg bertentangan,
seperti satu dan banyak, ada dan tiada, universal dan partikulir dll., maka berarti ia sendiri
secara zati dan murni, sepi dari semua sifat-sifat tersebut. Dengan demikian, esensi dari sisi
dirinya sendiri, bukan ada dan bukan pula tiada, bukan banyak dan bukan pula satu dll.. Oleh
karenanya sebagian berkata bahwa `Kontradiksi,terangkat dari esensi'. Maksudnya adalah bahwa
kontradiksi-kontradiksi itu tidak ambil bagian dalam esensi, sekalipun dalam alam nyata ia tidak
bisa lepas dari salah satu keduanya. Misalnya, esensi manusia. Secara defaktonya di alam nyata,
ia tidak bisa lepas dari ada atau tiada. Tapi dalam, dirinya sendiri yang namanya ada atau tiada itu
tidak bisa ambil bagian. Sebab kalau ada yang dimasukkan, berarti manusia menjadi Wajib-ada,
dan kalau tiada yang dimasukkan, maka ia menjadi Mustahil-ada. Padahal manusia adalah
Mungkin-ada.
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa esensi akan berbeda makna pada setiap
pemakaiannya. Katakanlah bahwa esensi itu adalah esensi secara murni manakala dipredikati
dengan Predikasi Pertama, dan sebaliknya manakala dengan PredikasiKebanyakan. Dan sudah
jelas bahwa pada masing-masingnya itu memiliki perbedaan makna dan maksud. Berbeda sekali
maksud dari `Manusia adalah bianatang rasional', dengan `Manusia adalah berpendidikan,
memiliki tanggung jawab, merugi, dlL
Pasal: 2
Sisi sist Parufang Terhadap Esensi
Kalau esensi dihubungkan dengan selainnya dapat dikatakan bahwa ia memiliki tiga kondisi:
Dengan-,Syarat-Sesuatu, Dengan-Syarat-Tidak, dan Tanpa-Syarat.
1. Dengan-Syarat-Sesuatu adalah keharusan adanya sesuatu yang lain pada esensi.
Misalnya ketika mengatakan bahwa `Manusia itu merugi'. Di sini jelas bahwa yang
dimaksudkan manusia bukan esensinya secara murni. Tapi esensi yang telah dibubuhi
dengan sesuatu yang lain, misalnya kejadian eksternalnya yang telah banyak melakukan
pemborosan waktu, umur, sehat, akal, tenaga, harta dll., dan bahkan telah
menggunakannya pada selain ketaatan pada Allah. Esensi semacan ini disebut juga
dengan-Esensi Bercampur..
2. Dengan-Syarat-Tidak adalah keharusan dinegasikannya segala sesuatu selain dirinya
sendiri dari sebuah esensi. Ini yang selalu diistilihakan dengan Esensi-Murni, esensi
dari.sisi dirinya sendiri. esensi dengar, pedikasi-pertama, dll., dimana.tidak lain kecuali-
dirinya sendiri. –
3. Tanpa-Syarat adalah dinegasikannya syarat apapun dari esensi. Di sini esensi dipandang
secara mutlak. Oleh karenanya bisa dibubuhi dengan sesuatu dan bisa juga tidak. Yang
penting bahwa ia tidak dimestikan dengan ada dan tiadanya sesuatu. Dalam hal ini ia
disebuat dengan Esensi-Mutlak.
Sementara esensi yang dibagi menjadi tiga bagian itu adalah esensi yang dikenal dengan
Universal-Natural, yakni esensi yang dapat disifati dengan Universal karena bisa diterapkan pada
banyak ( lebih dari satu ) ekstensi atau Wrrjud-Luar/eksternal. Namun jelas, bahwa yang akan
menjadi ekstensinya adalah ekstensi-ekstensi dari dua bagian dari ketiga bagiannya tersebut,
Esensi-Bercampur dan Esensi-Muthak. Sebab Esensi Murni mensyarati uirinya t.
ntuk tidak
dicampuri apapun selain dirinya sendiri; dan dirinya sendiri tidak lain adalah dirinya, alias sepi dari
ada dan tiada. Dengan demikian maka esensi-Murni ini tidak akan memiiiki ekstensi atau wujud-
eksternal
Pasal: 3
Zat dan Aksidental (sifat)
Makna-makna yang menjadi bagian tak terhindarkan dari sebuah esensi, maka ia adalah
Zat, dan yang sebaliknya disebut dengan Sifat atau Aksidental. Aksidental di sini bermakna yang
bukan bagian darurat sebuah esensi, yakni cenderung ke dalam artian Sifat dimana dibahas dalam
bahasan Lima Universal, bukan Aksiden yang berhadapan dengan Substansi.
Aksidental ini memiliki dua macam bentuk -selain bentuk-bentuk lain yang telah dibahas di
Logika atau yang akan dibahas di sini setelah ini: Predikasi DenganPenambahan, yaitu 'yang
keaksidentalarurya itu memerlukan adanya penambahan sesuatu kepada subyek yang
disifatinya, seperti `Yang putih' yang dinisbahkan kepada benda sebagai subyeknya yang
kemudian menjadi `Benda ini putih ( baca: yang putih )', dimaaa dalam hal ini jelas perlu
penambahan ( baca: adanya ) putih pada benda tersebut; Predikasi DenganLuar Predikat,
yaitu yang tidak perlu adanya penambahan tersebut, seperti atas dan bawah yang dinisbahkan
kepada lantai.
Ada beberapa hal yang membedakan Zat dari Sifat.
1. Tetapnya Zat terhadap esensi tidak memerlukan perantaraan. Berbeda dengan
Aksidental. Sebab Zat itu diambil dari diri esensi itu sendiri. Dengan demikian
maka tetapnya Zat terhadap esensinya tidak memerlukan perantara.
2. Tetapnya Zat terhadap esensi tidak memerlukan sebab dengan alasan yang sama
dengan di atas. Jadi, sebab bagi esensi, tidak menjadikannya esensi lalu
memberinya Zat-zat yang dikaadunginya. Tapi dengan -mewujudkannya,
berarti sebabnya telah pula mewujudkan bagian bagian Zat yang dikandunginya
secara darurat dan otomatis. Oleh karena itu sebab bagi adanya Zat, bukan
sebab bagi esensi itu, tapi esensi itu sendirilah sebab bagi mereka.
3. Zat-zat esensi mendahului esensi. secara tertib akal. Karena bagian. mendahului
keseluruhannya secara pasti. Sebab kalau tidak, maka bagian adalah
keseluruhan. Ini jelas tidak mungkin, karena kontradiksi
Pasal 4
Genus, Golongan, Deffrentia dan Kaitannya
Esensi-Sempurna yang memiliki efek khusus secara hakiki dan nyata dilihat dari
kesempurnaannya, disebut dengan Golongan atau Species, seperti manusia, kuda, singa dll
Kemudian, kalau makna-zati-Golongan itu bergabung dengan Golongan lain dalam
makna yang lebih luas, maka yang terakhir ini disebut dengan Jenis atau Genus, seperti
binatang, benda berkembang, dll.
Ketika Golongan golongan itu bergabung dengan lainnya dalam satu Genus, maka
mereka perlu dibedakan secara zati pula. Sesuatu yang dijadikan pembeda yang mengkhususkan
satu Golongan dari yang lainnya secara zati, disebut dengan Pembeda atau Deffrentia.
Masing-masing dari ketiga hal di atas memiliki bagian-bagian. Genus dibagi menjadi Dekat
dan Jauh, menjadi Teratas, Tengah dan Terendah. Golongan dibagi menjadi Teratas,
Tengah dan Terendah. Dan Pembeda menjadi Dekat dan Jauh. Semua bagianbagian ini telah
dirinci dan dijelaskan di ilmu Logika.
Kalau kita mendefinisikan esensi Binatang dimana ia adalah Jenis dan di dala-nnya
terdapat banyak Golongan, sebagai.`Benda berkembang, perasa dan bergerak dengan
kehendak', maka kita bisa juga memandangnya dalam akal sebagai sesuatu yang satu, utuh dan
sempurna, dimana hal-hal lain sebagai sesuatu yana berada di luarnya dan bukan merupakan
bagiannya. Misalnya manusia/rasional dan kuda, mereka bisa dijadikan pendamping bagi
Binatang kalau ia tidak dipandang sebagai suatu yang satu sepenuhnya. Misalnya kalau
Binatang tersebut dipandang dengan pandangan mutlak (Esensi-Mutlak ) atau Dengan-Tampa-
S`yarat, sehingga menjadi `Binatang yang manusia' atau `Binatang yang rasional', atau
`Binatang rasional'. Tapi karena di sini disyarati Dengan-Syarat-Tidak, maka pendamping-
pendamping tersebut menjadi sesuatu yang berada di luar esensi Binatang dalam contoh kita ini.
Di sini, ia -binatang- merupakan esensi yang menjelaskan keseluruhan -binatang rasional-
tapi tidak bisa dijadikan predikat terhadap keseluruhannya itu, misalnya dengan mengatakan
bahwa `Manusia adalah binatang' atau `Binatang rasional. itu adalah binatang'. Begitu pula
ia -binatang- tidak bisa dijadikan predikat untuk bagian lainnya yang dapat dijadikan
pendamping baginya itu, yaitu rasionaL Misalnya dengaa mengatakan. bahwa `Rasional adalah
binatang'. Dalam. keadaaa seperti ini, esensi disebut sebagai Matter atau Bahan, dan
berposisi sebagai Sebab-Bahan bagi keseluruhannya. Yakni, Binatang -dalam contoh di atas-
adalah sebab-Bahan bagi `Binatang rasional'.
Tapi, kita bisa memandang esensi Binatang itu sebagai pendamping bagi Golongan-
golongan yang dicakupinya. Misalnya memandangnya sebagai Binatang yang ada pada
manusia, kuda, harimau dll.. Di sini, esensi Binatang ini, dipandang sebagai esensi yang
belum utuh dan sempurna, kecuali kalau sudah didampingi dengan Pembeda. dari Golongan-
golongannya, misalnya `Binatang rasional' sebagai esensi Manusia. Esensi dalam
pandangan ke dua ini disebut dengan Jenis, dan yang membedakannya disebut dengan
Pembeda. ,
Kedua sisi pandang yang terjadi pada bagian persamaannya -seperti binatang-. di atas, terjadi
pula pada bagian pengkhususnya -seperti manusia/rasional, kuda, dll.. Oleh karena itu sesuai
dengan pandangarr pertama -utuh dan sempuma- pengkhususus ini disebut dengan Bentuk
atau Form. Di sini, ia _ merupakan bagian yang tidak bisa dijadikan predikat pada
keseluruhannya dan juga ' pada bagian lainnya. Misanya Raslonal, ia tidak bisa dijadikan
predikat untuk keseluruhannnya, yaitu Manusia atau `Binatang rasional', dan tidak pula untuk
bagian lainnya, yaitu Binatang dimana kini ia berfungsi sebagai keutuhan atau Matter, sesuai
dengan pandangan. pertama terhadapnya itu. Jadi, kita tidak bisa mengatakan bahwa `Binatang
adalah rasional' atau `Manusla adalah rasional' atau `Binatang rasional adalah rasional'
Tapi kalau kita lihat pengkhusus itu dengan pandangan ke dua, yakni sesuatu yang kurang
dan merupakan pelengkap bagi yang lain, katakanlah Dengan-Tanpa-Syarat, maka ia disebut
dengan Pembeda yang melengkapi dan merealitaskan Jenis.
Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa:
1. Jenis adalah Golongan yang belum jelas dan terealisasi, sedang Pembeda adalah
Golongan yang sudah jelas dan terealisasi.
2. Gabungan Jenis dan Pembeda mempredikati Gologan dengan Predikasi-Pertama. Dan
hubungan antara keduanya adalah bahwa Jenis sebagai Aksidental-umum bagi Pembeda,
dan Pembeda sebagai Aksidental-Khusus baginya. Keduanya saling mempredikati dengan
Predikasi-kebanyakan.
3. Tidak mungkin adanya dua Jenis dan dua Pembeda dalam satu tingkatan untuk satu
Golongan. Sebab kalau tidak, berarti satu Golongan adalah dua Golongan pada waktu, sisi
dan tempat yang sama. Dan yang demikian adalah mustahil karena melazimi kontradiksi.
4. Jenis dan Matter adalah sama persis secara kenyataan dan zat, tapi berbeda dari sisi
pandangnya. Kalau Jenis dipandang Dengan,S`yarat-Tidak, maka ia adalah Matter/bahan,
dan Matter kalau dilihat secara mutlak atau Dengan-Tanpa-Syarat, maka ia dikatakan
Jenis.. Begitu pula dengan Pengkhusus, kalau dilihat Dengan-Syarat-Tidak, maka ia adalah
Bentuk/form, dan kalau dilihat DenganTanpa-Syarat, maka ia dikatakan sebagai
Pembeda. .
5. Matter dan Form, ada dan nyata di eksternal, manakala hanya adalah substansi material
atau bendawiah. Oleh karena itu keduanya diambil dari keberadaan luar akal ( eksternal ).
Setelah itu ketika akal memandangi keduanya sebagai TanpaSyarat, maka mereka disebut
dengan Jenis dan Pembeda.
6. Aksidental eksternal adalah keberadaan yang sederhana dimana tidak memiliki
gabungan Bahnt/matter dan Bentuk/form. Karena itu, perbedaan mereka kembali
kepada persamaannya. Akan tetapi karena akal menemukan pada diri mereka persamaan
dan perbedaan, maka ia menjadikan penemuannya itu sebagai Jenis dan Pembeda. Lalu
setelah itu memandanginya sebagai Dengan-Syarat-Tidak, maka jadilah mereka itu
Matter dan Form secara dalam akal atau internal, bukan eksternal.
Pasal 5
Sebagian Hukum Pembeda
Salah satu pembagian Pembeda adalah dibaginya menjadi dua bagian: PembedaLogika dan
Pembeda Kepunyaan:
1. Pembeda_Logika adalah paling khusus dan dikenalnya Aksidental-Lazim (Universal-Sifat
lazim ) yang diaksidentalikan/disifatkan kepada sebuah Golongan. Ia biasa diletakkan dan
diposisikan sebagai Pembeda hakiki dalam sebuah Golongan dikarenakan susahnya mencari
Pembeda, pada umumnya. Seperti Rasional untuk manusia dan Meringkik untuk kuda. Sebab,
Rasional bisa dikatagorikan sebagai Kwalitas-jiwa, sebgaimana sebagian berpendapat. Baik
diartikan dengan `Berfikir', atau `Kemampuan menyimpulkan- universal'. Dan kalau benar
ianya adalah aksiden, maka bagaimanapun, ia memerlukan kepada Subyek yang memilikinya
atau Obyek/partner yang ditumpanginya. Oleh karenanya ia bukanlah Zat penentu bagi
sebuah substansi. Begitu pula dengan meringkik. Maka dari itu kadangkala lebih dari satu
Pembeda dijadikan satu 4 Pembeda dalam satu Golongan,. seperti `Perasa' dan `Bergeruk
dengan kehendak' yang dijadikan Pembeda untuk Binatang, padahal sudah_dikatakan di atas
bahwa Pembeda itu tidak mungkin lebih dari satu dalam satu tingkkatan untuk sebuah
Golongan. Adanya dua Pembeda yang dijadikan satu itu menunjukkan bahwa mereka atau
salah satunya adalah Aksidental-Lazim, bukan Pembeda yang hakiki yang merupakan Zat
yang tidak bisa tidak harus dipunyai oleh sebuah Golongan atau Substansi.
2. Pembeda 1Kepunyaan adalah Pembeda yang diambil dari Pembeda-logika lalu dibubuhi
dengan kata Yang Punya. Misalnya, `Manusia adalah binatang Yang Punya rasional', `Kuda
adalah binatang Yang Punya ringkikan
Tambahan
1. Hakikat sebuah Golongan adalah Pembedanya. Hal itu dikarenakan bahwa Pembeda yang
paling akhir ( Manusia adalah benda berkembang, perasa, bergerak dengan kehendak dan
rasional ), tidak lain dan tidak bukan, adalah Penentu identitas dan Perealita bagi sebuah
Golongan yang memilikinya, sedang Jenis jenis dan Pembeda pembeda yang lainnya
hanyalah sebagai pemberi identitas globalnya. Oleh karena itu selain Pembeda akhir
tersebut dimiliki olehnya atau terkandung di dalarnnya secara global dan realita Jadi
Rasional, mengandungi kebendaan, keberkembangan, ke-pe-rasa-an dan . kebergerakan
dengan kehendak. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa keGolongannya
Golongan, sebenarnya, hanya disebabkan olehnya (Pembeda-akhir ), dan begitu pula
bertahannya sebuah Golongan: Maka dari itn tidak heran kalau sebuah Golongan itu tetap
bertahan manakala Pembedanya tetap ada, sekalipun sebagian Jenisnya, atau sekalipun
Bentuknya, yakni Pembeda Dengan-Syarat-Tidak, sudah berpisah dari Bahannya, yakni
Jenis Dengan-Syarat- tidak. Seperti manusia yang sudah mati dimana sudah
meninggalkan badannya, dimana berarti sudah tidak lagi bisa dikatakan sebagai benda,
berkembang, perasa dan bergerak, dengan kehendak. Namun demikian, karena
kerasionalannya tetap ada, maka ia tetap sebagai manusia.
2. Pembeda - tidak dibawah naungan Jenisnya. Artmya Jenis iiu tidak bisa diambil - untuk
dijadikan •bagian Zat dari Pembedanya. Sebab kalau tidak, berarti ia perlu lagi kepada
Pembeda, dimana-Pembeda ini juga perlu kepada Pembeda yang lain, dan begitu
seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil. Misalnya rasional. Kalau rasional ini
dibawahi oleh Binatang berarti ia -rasional- perlu kepada Pembeda supaya bisa dibedakan
dari yang lainnya. Kemudian Pembeda ke dua ini -Pembeda bagi rasional- perlu kepada
Pembeda lagi karena ia dibawahi oleh Binatang sebagaimana sebelumnya. Begitu seterusnya
sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil, karena akan berakhir pada ketidak terbatasannya
yang terbatas. Sebab ketika kita melihat Pembeda pertama, maka ia adalah ujungnya. Dan
sesuatu yang berujung, pasti terbatas, karena tidak mungkin tidak ada pangkalnya. Sementara
kalau silsilah Pembeda itu dikatakan tidak terbatas, berarti ia tidak berujung dan berbatas.
Pasal: 6
Golongan dan Sebagian Hukumnya
Bagian-bagian dari Esensi Golongan terealisasi di alam eksternal dengan Satu keberadaan
atau wujud. Hal itu karena pemeredikatan antar mereka dan ke atas Golongannya 1ebih utama
sementara Golongan ada di alam eksternal dengan satu keberadaan. Akan tetapi di dalam akal,
mereka saling berbeda. Ada yang identitas global, ada pula yang identitas-penentu.. Oleh karena
itu satu sama lain •saling meng-Aksidental-i; sebagaimana maklum.
Dan itulah sangat dikenal pernyataan yang menyatakan bahwa dalam keberadaan yang
memiliki GabunganHakiki, yakni Golongan golongan material atau benda yang terdiri dari
Bahan/Matter dan Bentuk/Form, gabungan-gabungan itu, satu sama lain, harus memiliki
kebutuhan dan ketergantungan hingga menyatu dan menjadi satu secara hakiki.
Gabungan Hakiki dapat dibedakan dari yang bukan hakiki dari hasil penggabungannya.
Kalau Hakiki, akan melahirkan esensi-natural yang satu • secara hakiki ( bukan gabungan )
dimana bagian-bagian itu lebur dan menjadi keberadaan yang lain, serta memiliki efek yang lain
pula. Gabungan H2 O, dimana melahirkan keberadaan dan esensi serta efek lain dari masing-
masing unsurnya itu, yakni air, akan berbeda dengan gabungan unsur-unsur rumah yang menjadi
rumah. Dari sinilah dapat diketahui bahwa gabungan Bahan dan Bentuk adalah gabungan pen-
satuan, bukan penggabungan atan penambahan.
Kemudian, salah satu dari ciri Esensi Golongan ini, adalah sebagiannya memiliki Banyak
ekstensi dan . sebagian lainnya Satu ekstensi saja. Yang pertama adalah Golongan-golongan
yang memiliki hubungan dengan Materi., seperti manusia, pohon, harimau, dll., dan yang ke dua
keberadaan Non-materi, seperti Akah-satu sampai AkalTerakhir ( tidak berbeban dan tidak
bersifat dengan sifat materi ), dan makhluk makhluk Barzakh (tidak berbeban tapi memiliki
sifat-sifat materi ).
HaI itu karena sebab bagi banyaknya ekstensi-ekstensi itu tidak keluar dari dua hal:
Pertama, hal-hal yang berhubungan dengan Zat, apakah sebagiannya -seperti Binatang bagi
manusia- atau keseluruhannya -seperti Binatang rasional- atau setidaknya yang berhubungan
dengan ke-Lazimannya _( Aksidental-Lazim, seperti ganjil bagi tiga ). Ke dua, hal-hal yang
berhubungan dengan Aksidental--Tidak I,azim.
Kalau yang Pertama, berarti tidak akan pernah terjadi Satu: Sebab setiap ditemukan
Golongun tersebut, maka ia Banyak. Hal tersebut karena,Banyak merupakan Zat atau Kelaziman
darinya. Sementara kaiau tidak terjadi Satu, maka tidak mungkin terjadi Banyak. Karena Banyak
terjadi dan terdiri dari Satu satu.
Kalau yang Ke Dua, maka Golangan yang mau disifati dengan Banyak itu harus memiliki
kemungkinan adanya Penambahan dan/atau ke Aksidentalan kepadanya. Dan kemungkinan
tersebut hanya ada -pada materi. Sebab, Non-materi adalah wujud de fakto secara keseluruhan,
sehingga apa-apa yang dimilikinya merupakan Zat baginya. Oleh karena itu Banyak hanya ada di
keberadaan atau Golongan materi, tidak pada non materi.
Pasal: 7
Universal, Partikulir dan Keberadaan Ke-duanya
Mungkin sebagian orang mengira bahwa Univeral-Partikulir itu terjadi di dalam pengetahuan
saja. Yakni, Partikulir terjadi pada Pengetahuan-indra dan Universal pada Pengetahuan-akal. Hal
itu karena terangnya pengetahuan-indra membuat yang diketahuinya itil berbeda satu dengan
yang lainnya, inilah Pariikulir. Sedang pengetahuan-akal tidak seterang pengetahuan-indra. Oleh
karenanya ia samar dan kabur, dan karena itulah bisa diterapkan pada lebih dari satu ekstensi,
inilah yang disebut Universal.
Kalau ke-Universalan sesuatu itu karena kesamarannya, maka dia secara hakiki bukan
Universal. Padahal kita memiliki pahaman Universal itu secara nyata dan hakiki, seperti pahaman
Manusia. Begitu pula proposisi yang bersifat Universal, seperti `Semua enrpat itu genap', `Setiap
yang terbatas itu bersebab', `Semua manusia itu rasional', dll., tidak memiliki kebenaran
kecuali pada satu ekstensinya saja. Ini jelas mustahil
Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa Universal-Pariikulir adalah suatu keberadaan
yang menyertai Esensi di dalam akal.
Pasal: 8
Perbedaan Esensi dan Individuasinya
Perbedaan Esensi dari esensi yang lain di dapat dari bagian pengkhusus atau pembeda
dari dirinya sendiri, seperti Rasional pada esensi Manusia. Sementara Individuasinya didapat dari
keindividuanny yang tidak dapat diterapkan pada individu yang lain. Yakni manakala esensi tidak
lagi bisa diterapkan pada ekstensi yang lainnya, seperti Jeko.
Dengan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Perbedaan adalah sifat tambahan bagi esensi, tidak pada Individuasi yang merupakan
hakikat dirinya.
2. Perbedaan tidak menolak Universal. Sebab penambahan Universal ke atas Universal
yang lain, tidak menyebabkan Indivtduasi. Itu kalau dalam Perbedaan yang disertai
penambahan. Misalnya penambahan Rasionai keatas Binatang, atau penambahan
Tinggi-rendah ke atas Manusia. Semua ini tidak melahirkan keIndividuan bagi esensi. Ada
lagi. perbedaan esensi yang tidak memerlukan penambahan, seperti Jenis-Tinggi. Di sana
juga tidak menolak ke-Universalan, karena dia berada di puncak klasemen pahaman.
Berbeda dengan Individuasi yang sudah pasti menolak ke-Universalan. Karena ia
adalah satu eksternal yang tidak bisa diterapkan kepada keberadaan lain sekalipun dalam
satu esensi.
3. Indivuasi dalam keberadaan Non-materi adalah merupakan kelaziman Golongannya.
Karena Golongan yang ada pada keberadaan Non-materi hanya memiliki satu individu
saja dan tidak mungkinnya terdapat Banyak di sana, sebagaimana maklum. Sedang
Individuasi pada keberadaan Materi, • maka sebagian orang mengatakan bahwa hanya
terjadi karena penambahan Aksidental kepadanya. Seperti Tempat, waktu, Posisi dll. yang
ditambahkan kepada Manusia, misalanya, hingga menjadi Manusia di Tempat fulan,
Waktu fulan, Posisi fulan. Akan tetapi hal ini sebenarnya, bukanlah individuasi. Sebab
penambahan Universal, seperti waktu tertentu, tempat tertentu, tinggi tertentu, d1l.,
kepada Manusia yang juga Universal, tidak akan pernah menghasilkan Individu. Yang
benar adalah bahwa Peug-Individuan Golongan materi adalah dengan keberadaan
eksternalnya.
BAHASAN KE ENAM
Bahasan tentang Sepuluh Kategori ( Genus-Tertinggi,tumpuan akhir semua Golongan )
Pasal: 1
Definisi Substansi dan Aksiden
Esensi dibagi dengan pembagian pertama menjadi Substansi dan Aksiden. Karena Esensi
terkadang dijumpai dalam Subyek, dan terkadang sebaliknya. Dengan demikian Esensi-
Substansi adalah suatu esensi yang kalau dijumpai dalam eksternal tidak dalam subyek
tertentu yang memerlukannya. Baik subyek tersebut sama sekali tidak ada, seperti pada
keberadaan esensi Non-materi yang tidak memerlukan subyek, atau ada tapi subyek tersebut
juga memerlukannya, seperti Bentuk/Form dari keberadaan Natural - materi- yang harus berada
dalam Bahan/Matter yang juga memerlukannya karena tanpa form ia tidak akan terealisasi,
sebgaimana maklum.
Sedang Esensi Aksiden adalah suatu esensi yang kalau dijumpai di eksternal dijumpai
dalam subyek yang tidak memerlukannya. Seperti esensi Jauh dan Dekat yang ada
pada/antara benda-benda; Berdiri dan Duduk, Membelakangi dan Menghadap yang ada pada
manusia, dll..
Esensi-Aksiden ini terdiri dari semblian macam. Mereka adalah Kategori dan Jenis-
tertinggi. Pahaman Aksiden bagi mereka adalah Aksidental-Umum, karena tidak ada Iagi Jenis
yang lebih tinggi dari mereka. Begitu pula pahaman Esensi bagi SepuluhKategori. Ia adalah
Aksidental-Umum dan bukan Jenis.
Sembilan Kategori Aksiden itu adalah Kwantitns, Kwalitas, Di Mana, Kapan, Posisi,
Milik, Hubungan, Aksi dan Interaksi. Sebagian menganggap bahwa Aksiden itu hanya Tiga
macam, karena tujuh Aksiden terakhir itu dijadikan satu Aksiden saja, yaitu Aksiden-
Hubungan, karena semua itu hasil dari penghubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain,
misalnya penghubungan benda dengan waktu disebut dengan Kapan, dengan tempat jadi Di
Mana, dst.. Dan Syekh Isyrooq menambahkan Gerak, sehingga Kategori menjadi Lima:
Substansi, Kwalitas, Kwantitas, Hubungan dan Gerak. Pembahasan rinci terhadap perbedaan
pandangan itu ditunda pada pembahasan filsafat yang lebih rinci.
Pasal:2
Pembagian Substansi
Substansi dibagi dengan pembagian awal menjadi Lifna: Bahan/mutter, Bentuklform,
Benda, Jiwa/ruh, dan Akal. Akal adalah `Substansi yang non materi secara Zat dan
Aktifitas'. Jiwa adalah `Substansi y arg non materi secara Zat, tapi tidak dalam aktifitanya'.
Bahan adalah `Substansi vang mengemban potensi'. Bentuk adalah `Substansi yang men-
de faktokan Bahan. Dan Benda adalah `Substansi yang memiliki tiga dimensi ( panjang,
lebar dan tebal, alias volume )'.
Masuknya Bentuk pada pembagian di atas adalah secara aksidentai atau berikutan.
Karena Bentuk adalah Pembeda yang dipandang Dengan-Syarat-Tidak, sementara
Pembeda bagi Substansi tidak dinaungi oleh Substansi itu, sebagaimana maklum. Yakni,
Pembeda bagi Jenis, tidak di Jenisi oleh Jenis tersebut, karena akan memerlukan kcpada
Pembeda yang lain hingga tidak terhingga, hal mana yang demikian ini adalah mustahil. Begitu
pula dengan Jiwa, dengan alasan yang,sama. Yaitu bahwa Jiwa/ruh, adalah Bentuk bagi
Substansi Golongan yang memilikinya Dan Bentuk, sebagaimana maklum, adalah pe,
mbeda
yang dipandang Dengan-Syarat-Tidak.
Pasal: 3
Benda
Tidak diragukan, bahwa di sekitar kita terdapat banyak Benda yang beraneka ragam, apa
memiliki kesamaan dari sisi ke Benda-annya yang merupakan bentangan panjang, lebar dan tebal.
O1eh karena itu dapat dikatakan bahwa Benda adalah Sustansi yang memiliki tiga dimensi
atau volume.
Benda. secara indrawi adalah sesuatu yang kelihatan utuh dan satu. Lalu, apakah pada
Hakikatnya Benda itu demikian, atau tidak? Kalau yang pertama, apakah bagian-bagiannya yang
masih potensial itu, bisa dibagi hingga tidak terbatas, atau tidak? Dan kalau yang ke dua, apakah
bagian-bagiannya yang defakto itu, yaitu bagian yang tidak ierbagi, tidak bisa dibagi secara
eksternal dan hanya internal saja, atau tidak? Dalam hal ini ada lima pandangan:
1. Benda itu adalah satu keutuhan secara hakiki sebagaimana terlihat oleh indra, dan ia memiliki
bagian-bagian secara potensial dan bagian-bagian itu memiliki akhir. Pendapat ini dinisbahkan
kepada Syahristani.
2. Benda itu adalah satu keutuhan sebagaimana terlihat mata, ia bisa dibagi secara tidak
terbatas atau tidak terhenti secara eksternal. Dan kalau sudah sampai pada bagian terkecil
yang tidak bisa dibagi karena tidak adanya alat, maka ia bisa dibagi secara bayangan/khayal.
Kalau bagian bayangan ini sudah sampai ke batas kemampuan bayangan atau khayalan
hingga tidak lagi bisa dibayangkan, maka akal bisa membaginya terus dengan kaidah akalnya,
yaitu bahwa setiap yang memiliki volume, bisa dibagi hingga tidak terhingga, karena bagian
volume tetap merupakan volume, sekalipun kecil dan tidak tidak terlihat dengan mata dan
khayal. Pandangan ini dinisbahkan pada Filosof.
3. Benda adalah kumpulan dari bagian-bagian terkecil yang tidak bisa dibagi secara eksternal,
bukan internal -khayal dan akal. Pandangan ini milik Democrites.
4. Benda adalah gabungan dari bagian-bagian kecil tak terbagi, baik secara eksternal, khayal
dan akal. Bagian-bagian terkecil itu hanya bisa diisyarahi secara indra dan antara satu sama
lainnya memiliki jarak/jedah yang bisa dilewati alat pemotong. Pandangan ini milik mayoritas
Ulama Kalam ( teolog ).
5. Benda itu gabungan dari bagian-bagian yang tidak bisa dibagi, tapi pembagiarnya itu bisa
sanipai tidak terbatas.
Membatalkan pandangan Empat dan Lima bisa dengan mengatakan bahwa apakah
bagian-bagian yang tidak bisa dibagi itu memiliki volume atau tidak? Kalau tidak memiliki, maka
penggabungannya tidak mungkin melahirkan volume, secara pasti. Kalau sebaliknya, maka sudah
pasti bisa dibagi secara khayal dan akal, sekalipun di eksternal tidak bisa dibagi karena kecilnya
dan tidak ada alat untuk memotongnya. Lagi pula, kalau bisa dibagi secara tidak berhenti atau
tidak terhingga, maka benda tersebut akan menjadi bcsar secara tidak terhingga pula. Karena
kumpulan tidak terhingga adalah tidak terhingga pula. Dan ini jelas mustahil, sebab volume
mestilah terhingga.
Untuk membatalkan pandangan ke Dua, kita dapat dengan mudah mengambil kenyataan
fisika yang tidak bisa ditolak bahwasannya benda itu merupakan gabungan dari atom-atom yang
terdiri dari Proton dan Neutron yang satu sama lain memiliki jarak. Jarak ini dapat dijadikan bukti
bahwa benda itu bukanlah satu keutuhan sebagaimana terlihat mata.
Dan untuk membantah pandangan Pertama, kita dapat membantahnya dengan bantahan
untuk pandangan ke Dua, Empat dan Lima. Karena ia merupakan pandangan yang bisa
dikatakan bahwa ia merupakan gabungan dari pandangan-pandangan itu.
Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Benda yang didefinisikan dengan
Substansi yang memllfki tiga dimensi dan utuh adalah benar dan ada. Tapi ekstensinya Adalah
benda terkecil yang merupakan bagian-bagian pemula bagi Benda-Golongan, bukan Benda-
Golongan itu sendiri. Ini adalah pandangan Democrites
Pasal: 4
Pembuktiun Bahan-Pertama dan Bentuk-Benda
Benda sebagaimana Benda, yakni Yang memiliki Tiga dimensi, adalah kenyataan defakto
yang tidak bisa diingkari. Tapi di lain pihak ia selalu siap untuk menerima BentukGolongan dan
berikutan-berikutannya, segerti Golongan-natural atau species, aksiden, dll.. Dari sisi ke dua ini
ia dikatakan Potensi. Sementara kita tahu bahwa de fakto berbeda dengan potensi. Karena de
fakto adalah keberadaan dan potensi adalah ketiadaan. Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa Benda memiliki Potensi uniuk Benda-Pertama dimana ia tidak memiliki ke de
faktoan apapun kecuali ke de faktoan Potensinya. Sementara yang membuatnya -Benda-
Pertama- de fakto dan menjadi realita adalah Bentuk-Bendanya.
Ketika Benda-Pertama memiliki dua dimensi, de fakto dan Potensi, dan kita tahu bahwa
Potensi adalah suatu sifat atau aksidental, maka ia harus berada dalam zat yang memilikinya. Zat
dan substansi itulah yang disebut dengan BahanPertama. Dengan demikian, maka terbutilah
bahwa Bahan Pertama Benda itu memang ada. Dan dengan ini pula telah menjadi terbukti
bahwa Bentuk--Benda juga ada, karena ialah yang telah mejadikan Bentuk-Pertama itu eksis
dan ada.
Kesimpulannya adalah:
1. Bahan atau Matter yang ada di dalam Benda, katakanlah Benda terkecil, disebut dengan
Bahan atau Matter-Pertama.
2. Bahan Perlama ini bersama dengan Bentuk-Benda, selalu siap untuk menjadi Bahan
bagi Bentuk Golongan yang akan mendatanginya dimana ruereka dengan itu dikenal
dengan Bahan Ke dua.
Sangkatan
Sebagian filosof mengingkari keberadaan BahanPertama itu,Dan kami mengikuti mereka
mengingat bahwa argumen mereka lebih kuat dari yang menerima keberadaannya. Misalnya,
ketika Benda-Pertama harus memiliki Potensi pada tahapan sebelumnya yang disebut dengan
Bahan Pertama, maka Bahan-Pertama ini juga harus memiliki Potensi itu seperti keberadaan
Benda Pertama. Jadi Bahan-Pertama harus memiIiki Potensi pada tahapan sebelumnya. Dan
sudah tentu bahwa Potensi ini juga harus, memiliki Potensi sebelumnya sebagaimana yang
pertama. Begitu seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil, lantaran Potensi pertama itu
adalah ujung dari arah de faktonya, sementara yang berujung tidak mungkin tidak berpangkal.
Jadi secara pasti. tidak mungkin silsilah Potensi itu berentet sampai tidak terbatas.
Dalil penolakan lainnya adalah, kalau Potensl untuk menjadi Benda Pertama itu ada, berarli
ia telah ada tanpa ke-de-jaktoan apapun. Para penerima keberadaan BahanPertama inipun
mengatakan bahwa ke-de-faktoan Bahan Pertama sebagai Potensi untuk menjadi Benda
Pertama, adalah bahwasaannya ia adalah Potensi. Yakni bahwa ke-de faktoan Potensi, adalah
Potensinya itu. Ini jelas, sulit diterima, karena Potensi dan De Fakto adalah dua hal yang
kontradiksl. Yang ke dua, bahwa perkataan ke-defaktoan Notensi adalah ke-Potensian
Potensinya, adalah perkataan yang menyalahi makna dari Potensi itu sendiri. Sebab, ketika
dikatakan Potensi, berarti ia belum ada dan belum de fakto. lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa
ia adalah de fakto?
Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa Bahan Pertama atau Potensi untuk menjadi
Benda-Pertama itu, tidak ada. Dan yang ada hanyalah Benda-Pertama, dimana ke-de
faktoannya adalah dengan tiga dimensinya, yang kemudian dikenal dengan Bahan- Ke dua itu.
Kemudian, karena ia adalah Bahan-Ke dua, maka dari sisi inilah ia tersebut dengan Potensl, yaitu
bagi Bentuk-bentuk yang akan datang. Jadi, penyebab bagi keberadaan Benda Pertama telah
mewujudkannya dengan tanpa adanya Potensi terlebih dahulu. Karena sebelum itu, tidak ada
keberadaan apapun hingga dapat mengembannya.
Pasal: 5
Pembuktian Bentuk-Golongan
Kita dapat melihat di alam eksternal adanya Benda-benda yang berniacam-macam dilihat
dari sisi Aksi dan Interaksi. Dan sudah pasti bahwa perbedaan-perbedaan itu memiliki sumber
atau sebab substansial. Karena kalaupun sebabnya adalah hal-hal yang bersifat Aksidental,
maka ia memerlukan Partner atau Obyek yang ditumpanginya dimana harus merupakan
substansi juga.
Ketika sebabnya adalah substansi, di sini ada dua pilihan: Bahan-Pertama ( bagi yang
mengakui keberadaannya ), Benda-Pertama ( bagi yang tidak mengakui keberadaan Bahan
Pertama ), atau Bentuk-Golongan. Kalau yang kita pilih adalah Bahan Pertama, maka ia tidak
lain kecuali ke-Potensian. Dan Potensi adalah bukan keberadaan hingga dapat memberikan
Aksi dan Interaksi pada suatu Benda. Begitu pula kalau yang kita pilih adalah Benda Pertama,
maka dari sisi Ke Bahan Pertamaannya ini, semua Benda adaiah sama persis. Karena
definisinya adalah `Sesuatu yang memiliki tiga dtmensi'. Dilihat dari sisi ini, maka semua
Benda adalah sama, sementara yang kita mau cari adalah sebab dari perbedaan Aksi dan
Interaksl semua Benda.
Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa sebab yang membedakan Aksi dan Interaksi
semua Benda itu adalah Bentuk-Golongannya.
Tambahan
1. Pertama sekali yang terjadi dari/setelah Benda-Pertama dimana ia merupakan titik kesamaan
antara semua Benda, adalah Benda dengan Bentuk-Golongannya yang berupa Unsur-
unsur natural. Di dalam ilmu ftsika-tradisional, Unsur-unsur itu ada empat macam saja:
Tanah, Air, Udara dar. Api. Tapi sekarang sudah ditemukan jauh lebih banyak dari itu, yakni
lebih dari seratus Unsur dasar. Lalu, Benda yang telah berbentuk dengan Bentuk-Unsur itu
menjadi Potensi dan Bahan, bagi Bentuk bentuk lain yang akan mendatanginya, seperti
Manusia, Kuda, Ular, dll..
2. Dengan uraian terdahulu dapat dikatakan bahwa setiap Benda, apapun Bentuknya, ia selalu
memiliki dua hal: Ke-De faktoan dan Ke-Potensian. Yakni Ke De faktoan dirinya yang
sekarang, apakah ia adalah Benda-Pertama, GolonganUnsur, atau Golongan golongan
berikutnya; dan Ke-Polensian bagi Bendtkbentuk lain yang akan mendatanginya, apakah
Golongan-Unsur bagi BendaPertama, Golongan-Manusia bagi Golongan-Unsur, dan
seterusnya.
Pasal: 6
Bahan/Matter yang ada pada Benda-Pertama, yakni Substansi yang mengemban
Potensi untuk menjadi Benda atau Golongan lain, saling terkait dengan Bentuk-Benda-
pertamanya tersebut. HaI itu karena Bahan adalah Potensi, dan Potensi adalah ketiadaan alias
belum berupa kenyataan bagi apa-apa yang di-Potensikan itu. Oleh karena itu, keberadaannya
mestilah diemban oleh ke-de faktoan substansi lain yang inenyatu dengannya dan yang telah
memberikan rupa dan Bentuk kepadanya. Karena setiap apapun, tidak akan eksis dan nyata
tanpa ke-de faktoan. Dengan ini menjadi nyata hahwa Bentuk-Benda itu merupakan ke-yaknian
yang tidak bisa tidak.
Di lain pihak, kita melihat bahwa Benda yang telah di-de faktokan oleh Substansi-
Berrtuk Benda itu memiliki kekuatan atau kemampuan untuk berubah menjadi substansi lain,
yakni dengan menerima Bentuk - Bentuk berikutnya, seperti Unsur dan Golongan. .jadi,
disamping ke-de faktoan, ia memiliki Potensi. Dengan demikian maka jelas sekali bahwa
Bentuk-Benda tidak mungkin ada tanpa ditemani oleh Potensinya. Dan Potensi ini adalah suatu
sifat yang harus diemban oleh sebuah Substansi. Substansi pengemban Potensi itulah yang
disebut dengan Bahan. Jadi, Bentuk yang merupakan ke-De faktoan dan ke-Kinian bagi sebuah
Substansi, akan selalu bersama dengan Bahan yang mengemban ke-Po!ensiannya untuk
menerima Bentuk lain di masa datang.
Pasal: 7
Bahan dan Bentuk Saling Memerlukan
Penjelasan globalnya dari saling perlunya Bahan dan Bentuk adalah bahwa gabungan
antara keduanya adalah gabungan hakiki dan naturali dimana melahirkan satu esensi secara
hakiki dan naturali juga. Tidak seperti kesatuan pruduksi yang sebaliknya, misalnya kesatuan
rumah, mobil, dll..
Kerinciannya adalah bahwa Bentuk ( baca: selain Bentuk Pertama ), akan selalu ada
mankala didahului oleh Potensi yang diemban oleh keberadaan sebelumnya. Seperti Bentuk
Mani yang didahului oleh Daging, misalnya, sebagai pengemban Potensinya. jadi daging, yang
merupakan gabungan dari Bahan dan Bentuk-Daging, merupakan bahan bagi Bentuk Mani yang
akan mendatanginya. Dengan demikian maka setiap bentuk selalu memerlukan kepada Bahan
yang mengemban Potensinya sebelum ia terjadil
Perlunya Bentuk kepada Bahan juga bisa dilihat dari sisi ke-individuannya, alias ke-
ekstensiannya secara khusus. Sebab ketika Bentuk itu ingin eksis di alam eksternal, ia melazlmi
Aksiden-aksiden khusus yang membedakannya dari yang lain dilihat dari aksiden-aksiden itu.
Misalnya, Di mana, Posisi, Kapan, dll.. Dan Aksiden-aksiden khusus semacam ini tidak mungkin
bisa eksis tanpa adanya Bahart/Matter/Material.
Sementara itu, Bahan sangat tergantung kepada Bentuk yang telah mengaktualkannya.
Dan bahkan ia Bahan- memerlukan Bentuknya itu bukan hanya dikala mau eksis saja, tapi disaat
ingin tetap eksis, juga tetap memerlukannya. Sebab, Bentuk adalah ke-De faktoannya. Namun
demikian, bukanlah Bentuk itu merupakan Sebab-Lengkap atau Sebab Pemberl baginya, karena
ia juga memerlukan Bahan dalam ke-Golongannya dan ke-Individuannya. Ia hanya merupakan
Sebab-Bagian, dan Syarat bagi ke-De faktoan dari keberadaan Bahan. Dan Sebab Pemberinya
adalah Wujud non rrrateri dimana ia yang telah mewujudkannya dilengkapi dan dijaga dengan
Bentuk-bentuk yang saling berganti.
Debatan/sanggahan:
1. Ketika anda mengatakan bahwa Sebab-Pemberi telah mewujudkan Bahan yang dijagakan
kepada Bentuk Bentuk, berarti Bahan di sini adalah Satu secara matematis dan pasti alias
tertentukan, dan Bentuk-Bentuk itu adalah SatuGlobal. Di sisi lain, anda mengatakan bahwa
Bentuk Bentuk itu adalah SebabBagian dari keberadaan Bahan. Padahal yang namanya
Sebab, sudah pasti lebih kuat dari Akibatnya. Sementara kita semua tahu bahwa Satu-
matematis lebih kuat dari Satu-global. Lalu bagaimana mungkin Bentuk Bentuk itu menjadi
SebabBagian bagi keberadaan Bahan?
2. Kalaulah hal di atas itu kita abaikan, tapi jelas telah terjadi banyak perubahan Bentuk pada
Bahan. Dan perubahan itu berarti hilangnya satu Bentuk dan datangnya Bentuk lain. kalau
Bentuk itu bagian dari Sebab-Lengkap, maka hilangnya Bentuk berarti hilangnya Sebab
Lengkap, karena hilangnya Bagian adalah hilangnya Keseluruhan. Dengan demikian, maka
mengambil Bentuk sebagai Sebab-Bagian bagi Bahan, sama dengan menolak keberadaan
Bahan itu sendiri.
Jawaban:
Akan dibuktikan nanti di pembahasan Potensi dan De fakto, bahwa perubahan Bentuk yang
terjadi pada Bahan, bukan merupakan pergantian Bentuk dengan Bentuk lain, atau hancurnya
satu Bentuk kemudian munculnya Bentuk lain yang menggantikannya. Tapi semua itu terjadi
dalam Satu gerakanfperubahan yang berkeselaluan, atau terjadi dalam Satu aliran pe, ubahan,
dimana Substansi-Materi bergerak seirama dengan aliran itu, hingga tercipta di dalamnya
bafasan-batasan atau stasiun stasiun Bentuk. Jadi, Bentuk-Bentuk itu ada dalam Satu
keberadaan hakiki `dan matematis, tapi memanjang. Oleh karenanya dalam Satunya yang
jelas dan matematis itu, terdapat Banyak dan keglobalan / samar, sesuai dengan ke Bahanan
Bahan dimana artinya adalah kesiapan menerima ke-De faktoan atau Bentuk. Dengan demikian,
maka perkataan kita yang mengatakan Bentuk-Bentuk itu adalah satu-global dan merupakan
Sebab-Bagian bagi Bahan dilihat dari sisi hinggapnya satu Bentuk secara global ( Bentuk yang
.liunrlramakan ) pada Satu-memanjang dengan pembagian. Yakni membagi Satu memanjang itu
ke dalam stasiun stasiun Bentuk yang akan dilewati.
Pasal: 8
Pembuktian Jiwa/Ruh dan Akal
Telah didefinisikan di atas bahwa Jiwa/ruh adalah `Substansi non materi secara Zat, rapi
tidak dalam aktifitasnya'. Bukti keberadaan unsur non materi pada manusia adalah ilmunya.
Sebab ilmu adalah keberadaan non materi sebagaimana akan dibuktikan nanti di Bahasan
Subyek dan Obyek Ilmu.
Sebagai isyarah dapat dikatakan bahwa ilmu adalah informasi manusia tentang apa saja
yang menyangkut keberadaan atau ketiadaan ( seperti tahu makna tiada ). Sementara
keberadaan memiliki dua macam, materi dan non materi. Ketika salah satu ilmu adalah non
materi, berarti tidak mungkin ilmu mengenainya adalah materi. Dengan terbuktinya ke-non
materian ilmu -walaupun sebagian saja- dapat dipastikan bahwa manusia memiliki unsur non
materi dibalik materi atau badannya ini. Unsur non materl manusia itulah yang kita katakan
sebagai Jiwa atau Ruh.
Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa semua ilmu itu non materi. Misalnya dengan
bukti bahwa ilmu tentang materipun tidak mungkin dikatakan materi lantaran tidak memilikinya
efek materi yang diketahui. Ilmu tentang Api yang ada di dalam manusia, tidak berefek panas
sebagaimana Api di keberadaan materinya. Jadi, Api eksternal adalah materi, sedang Api internal
adalah non materi.
Atau dengan bukti bahwa dalam data atau ilmu manusia tentang keberadaan materi ini,
terdapat data-data yang ukurannya jauh melebihi volume manusia. Misalnya ilmu/data manusia
tentang Gunung, Langit, Bumi, Pohon, dll.. Kita tidak bisa mengatakan bahwa data-data itu
terkumpul dalam materi otak setelah mata menerima gambar mereka yang telah diskala duiu
olehnya dalam bentuk yang sangat kecil, lalu setelah itu dikirim ke otak melalui syaraf-syaraf.
Sebab kalau mata melihat semua yang lebih besar itu dalam bentuk skala, dan gambar yang
sudah diskala ini yang dikirim ke otak, berarti manusia -dengan mata dan otaknya- tidak pernah
tahu dan mengerti ukuran sebenarnya mereka. Kalau begitu dari mana ia tahu ukuran sebenariya
itu? Dengan terbuktinya sesuatu yang lebih besar telah masuk ke dalam manusia, maka sudah
tentu manusia memiliki unsur non materi, karena hukum materi mengatakan bahwa `Yang besar
tidak masuk ke dalam yang kecil'. Hal itu karena materi dibatasi dengan ruang, semenatara non
materi tidak demikian.
Dengan isyarah di atas dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki unsur non materi
disamping materi badaninya ini. Dan unsur non materinya itulah yang dikatakan Jiwa atau Ruh
Di depan juga sudah didefinisikan bahwa Akal adalah `Substansi non materi secara Zat
dan Aktifitas'. Bukti keberadaannya adalah juga pengetahuan dan ilmu manusia. Sebab ketika
manusia belum mengetahui, dimana pada tingkatan ini disebut AkalPotensi atau Akal-Bahan, ia
belum mengetahui apa-apa yang diketahuinya sekarang. Artinya pada waktu itu ia masih tidak
memiliki, karenanya dikatakan Potensi. Sementara ada kaidah yang mengatakan `Yang tak
punya tak mungkin memberi'. Dengan kaidah kehendak bisa dikatakan bahwa manusia memberi
dirinya sendiri pengetahuan itu.
Lalu dari rnana pengetahuan manusia itu datang? Kalau dikatakan dari materi, jelas tidak
mungkin juga. Sebab, materi adalah hakikat ketercerai beraian, sementara ilmu adalah
kehadiran, yakni kehadiran yang ditahu pada yang tahu. Kalau materi tidak mengerti dirinya
karena ketercerai beraiannya itu, bagaimana ia bisa mengetahui selain tanya dan inemberitahu
yang lainnya? Lagi pula, kedudukan materi lebih rendah ketimbang non materi. Sedang Ruh dan
Ilmu adalah keberadaan non materi yang tak mungkin diefeki materi. Oleh karena itu Mulla
Shadra ra. telah mengurai keefekan ,materi
pada Ruh yang non materi -seperti panas, manis, harum,
dll., dari ilmu-llmu Panca Indra- dengan uraian dimana berakhir pada apa yang diistilahkan
dengan Khuduri' ( cinptaan ruh ).
Kalau ilmu-ilmu Ruh/Jiwa itu tidak datang dari dirinya sendiri atau materi, lalu dari mana
lagi kalau bukan dari substansi yang lebih kuat dari dirinya sendiri, yakni substansi rrotr materi
yang tidak memiliki sisi ke Potensian sedikitpun. Dan karena Potensi itu milik materi
sebagaimana maklum, make substansi yang memberikan ilmu kepada manusia ini adalah non
materi yang tidak berhubungan dengan materi, baik secara Zat atu AktifItas. Inilah yang
dinamakan dengan Akal.
Lagi pula sudah dikatakan di depan bahwa Sebah-Pemberi bagi Benda adalah substansi
non materi yang telah memberi keberadaan Bahan dengan Bentuknya dan menjaganya dengan
Bentuk-Bentuk itu.
Tambahan
Salah satu ciri Substansi adalah tidak adanya Kontra atau Dhiddaan di dalamnya. Karena
Kontra atau Dhiddaan adalah dua sifat yang saling bertentangan. Oleh karenanya mereka
memerlukan obyek/subyeklpartner untuk dijadikan tempat ajangnya ( dikatakan obyek karena
ialah yang disifati; dikatakan subyek, karena ialah yang memiliki sifatsifatnya itu; dan dikatakan
partner, karena ia adalah partner bagi mereka ). Sementara Substansi adalah suatu keberadaan
yang tidak memerlukan kepada Partner atau Subyek/obyek/partner.
Pasal: 9
Kwantitas, Kekhussusan dan. Bagian bagiannya
Kwantitas adalah `Aksiden yang bisa nterierima pembagiart secara zati di dalam akal /
khayal'. Ia memiliki dua hagian:
1. Menyambung, yakni `Kwantitas yang dimungkinkan uniuk terbagi pada bagian-bagian
yang diantara mereka memiliki kesamaan batas, dirnana kalau batas itu dijadikan mik
mula bagi yang satu, ta juga menjadi litik mula bagi yang lainnya, dan kalau dijadikan
titik akhir, maka ia juga titik akhir bagi yang lainnya'. Seperti Titik ( akhir garis yang hanya
bisa diisyarati/ditunjuki saja, karena ia bukan bagian garis, sebab bagian terkecil garis itu
tetap merupakan garis antara dua bagian Garis; Garis antara dua bagian Bidang; atau
Bidang antara bagian Benda; begitu pula Aan/moment/saadjenaklinstant of time, yang
berada antara dua bagian Waktu. Ia memiliki dua bagian:
a. Diam, yaitu `Kwantitas Menyamtiung yang bagian bagian yang diumpamakannya berada
dalam satu keberadaan dan wujud'. Seperti Garis, Bidang, atau Benda. Ia memiliki tiga
bagian:
• Benda, alias sesuatu yang berakhir pada Bidang atau memiliki tiga dimenasi.
• Bidang, alias sesuatu yang berakhir pada Garis, atau akhir dari Benda yang bisa dibagi
dari dua sisi: Panjang dan lebar.
• Garis, alias sesuatu yang berakhir pada titik, atau akhir dari pada Bidang yang bisa dibagi
hanya dari satu sisi -panjang.
b. Bergerak, yaitu `Kwantitas-Menyambung yang setiap saat baglan-bagian yang
dimilikinya meninggalkan yang lainnya'. Ia adalah Jaman/Waktu.
2. Terpisah, yakni 'Kwantitas yang tidak mungkin memiliki titik batas yang bisa dipakai oleh
bagian-bagiannya secara bersamaan'. Seperti angka Lima. Kepada berapapun ia dibagi,
maka tidak akan bisa ditemui batasan yang bisa dijadikan titik mula atau titik akhir bagi
bagian-bagiannya secara bersamaan. KwantitasTerpisah ini terwujud karena pengulangan
Satu, sekalipun Satu bukanlah Kwantitas karena tidak sesuainya dengan definisi. Dan setiap
Kwantitas yang bertamhah karena Satu, dianggap sebagai Golongan tersendiri, karena
memiliki efek yang berbeda satu sama lain.
Tambahan
Orang yang mengatakan bahwa Kosong itu ada, yaitu adanya tempat yang tidak ditempati
oleh siapa dan apapun, sama dengan mengatakan bahwa ada volume tanpa Benda yang
memilikinya. Ini jelas mustahil, sebab Tempat itu adalah volume Benda.
Pelengkap
Kwantitas ini memiliki bcberapa hukum yang khusus:
1. Dia tidak memiliki Kontraltadhaad di dalam Golongan golongannya. Sebab mereka tidak
mungkin ada dalam satu Subyek/Obyek/Partner. Sementara keberadaan di dalamnya adalah
syarat bagi Kontra/Dhlddaan.
2. Dapat menerima pembagian secara de fakto dalam akal / pahaman.
3. `Sama' dan Tidak Sama' adalah sifat khusus bagi Kwantitas, dan disifatkan kepada selainnya
rnelaluinya. Yakni setelah selainnya itu disifati dengan Kwantitas, baru setelah itu bisa disifati
dengan keduanya, misalnya Tongkat ini sama dengan Tongkat itu, atau lebih panjang
darinya.
4. `Berakhir' dan `Tidak Berakhirnya' sesuatupun milik Kwantitas secara khusus, dan disifatkan
kepada selainnya dengan berkatnya -sama dengan penjelasan di atas.
Pasal: 10
Kwalitas
Kwalitas adalah `Aksiden yang secara Zati tidak bisa dibagi dan dihubungkan kepada
selainnya'. la dibagi menjadi empatt bagian:
1. Kwalitas; Jiwa, seperti Cinta-bencl, Berani-takut, Pandai-bodoh, Harap-putus asa, dli..
2. Kwalitas Kwantitas, yakni yang khusus mensifati Kwantitas,seperti Lurusbengkok, Bulat-
segi tiga, dll., dari Kwantitas-Menyambung; dan seperti Genapganjil dalam angka yang
merupakan kekhususan Kwantitos-Terpisah.
3. Kwalitas-Potensial yang juga dikenal dengan istilah Potensi-Non Potensi. Misalnya
Potensi-Besar ( kuat ) untuk ter-Interaksi -misalnya air- atau PotensiBesar untuk tidak ter-
interaksi -misalnya batu. Potensi potensi lain yang tidak besarpun adalah bagian dari
Kwalitas Potensial ini. Begitu pula PotensiSubstansial yang dikenal dengan Bahan, atau
Potensi yang ada pada BendatiaturaJ untuk dijadikan Bendn Pendidikan ( yang tertentukan
panjang, lebar dan tebalnya ).
4. Kwalitas-Indrawi, yakni 'Kwalitas-kwalitas yang bisa diindra dengan Panca lndra'. Kalau
cepat hilangnya, seperti Merahnya wajalr orang malu atau marah, disebut dengan Interaksi-
Sementara, dan kalau abadi, seperti Kuningnya emas, disebut dengan Interaksi-Tetap.
Pasal: 11
Kategori-Hubungan
Kategori-Hubungan adalah `Esensi-esensi Aksiden yang timbul karena penghubungan
sesuatu dengan sesuatu yang lain'. Mereka ada tujuh macam, yaitu Di mana, Kapan, Posisi,
Milik, Hubungan, Aksi dan Interaksi:
1. Di Mana adalah `Aksiden yang timbul dari penghubungan sesuatu dengan tempat, hal
mana ia bisa ditempati atau ditinggalkan, bisa dikatakan di sini dan di sana, bisa
memiliki posisi dengan diri dan lingkungannya ( seperti tegakterbalik, lurus-bengkok, atas-
bawah, depan-belakang, kanan-kiri, d11. ), berukuran dan bisa dlbagi, dan bisa menolak
benda lain manakala suatu benda telah menempatlnya'. Para filosof berbeda pendapat
mengenai hakikat Di Mana ini. Mereka sampai memiliki enam macam pandangan. Hemat
kami, Dt Mana adalah `Hubungan yang terjadi antara Volume Benda dengan Ruang yarrg
ditempatinya', atau `Hubungan yang terjndi antara tempat Benda dengan ruang yang
didudukinya'. Di Mana ini dalam istilah Ingrisnya disebut dengan Place. Jadi mesti
diperhatikan kapan Place itu diartikan Tempat dan kapan diartikan Di Mana.
2. Kapan adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan sesuatu dengan waktu'.
Substansi yang ada di dalam Kapan, lebih luas cakupannya dari pada berada di dalam
WRktu itu sendiri. Sebab Kapan adalah hubungan sesuatu dengan Waktu. Jadi bisa di
dalamnya, seperti Gerak-Substansi atau Gerak Aksiden, tapi bisa pula di Ujung-Waktu
(Aanun, Jenak, Saat, Ivioment, Insiant of time, adalah akhir setiap potongan jaman yang
diinginkan, yarrg hanya bisa diisyarati saja, oleh karenanya ia bukan jaman, karena kalau
bagian akhir jaman,maka ia adalah jaman itu sendiri ), seperti Perpisahan dan Pertemuun
dua be„da. 13egitu pula, Kapan, bisa diterapkan kepada Gerak Irisan ( melihat Gerak dengan
membagi-baginya kepada bagian-bagian ) atau Gerak Antara ( melihat Gerak antara titik
mula dan akhir secara sederhana tanpa pembagiar. ).
3. Posisi adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan bagian sesuatu dengan
bagian yang lain, dan seluruhnya dengan lingkungannya'. Seperti Berdiri yang timbul
karena penghubungan katakanlah, kepala di atas dan kaki di bawah.
4. Milik adalah `Aksiden yang timbul karena peliputan sesuatu atus sesuatu yang lain,
hingga yang meliputi berpindah menakala yang diliputi berpindah'. Seperti peliputan kulit
pada manusia ( hal ini disebut Peliputanr Sempurna dan Peliputan-Natural ) dan peliputan
baju, cincin, sepatu pada manusia ( hal ini disebut dengan Peliputan-Kurang dan
Peliputan-Bukan-Natural ). Hubungan adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan
imbal-balik antara sesuatu dengan yang lainnya'. Seperti penghubungan Ayah Anak, Kakak-
Adik, Saudara Saudara atau Persaudaraan, dll.. Karena ke Ayalsan ayah disebabkan juga
oleh ke Anukan anak. Seorang Ayah tidak bisa dikatakan Ayah kecuali kalau si Anak juga
dihubungkan ke dirinya dan dikatakan Anak-nya. Tapi kalau hubungan Rumah dan
pemiliknya, adalah hubungan satu arah dan bukan imbal-balik. Oleh karenanya ke Rumahan
rumah bukan karena dimiliki oleh pemiliknya, begitu pula sebaliknya. Contoh pertama dan ke
dua di atas disebut dengan Hubungan-Tidak Sederajat, dan contoh ke tiganya disebut dengan
Hubungan-Sederajat.
5. Aksi adalah `Aksiden yang timbul karena peng-efekan pengefek kepada yang berefek
-penerima efek- secara proses/perlahanfwaktu dan selama pengefekan berjalan'. Seperti
pemendidihan api terhadap air, penrenruaian api terhadap besi, dll., selama hal itu
berlangsung. Dikatakan `secara proses' dalam uraian di atas, supaya tidak melibatkan wujud-
wujud non materi dimana pemberi efeknya adalah secara `Kun fa yakuni' alias di luar
prose dan waktu.
6. Interaksi adalah `Aksiden yang timbul karena keberefekan yang berefek dari pengefek
secara perlahan dan selama hal tersebut berlangsung'. Seperti keberefekan air atau
besi dari api. Dikatakan `secara perlahan' yakni dalam janran, karena supaya tidak
melibatkan wujud-wujud non materi yang keberefekan mereka secara `sekali jadi', alias di luar
waktu.
BAHASAN KE TUJUH
Bahasan tentang Sebab dan Akibat
Pasal : l
Pembuktian Sebab-Akibut dan Bahwasannva keduanya dalum Ada/wujud
Telah dikatakan dipelajaran terdahulu bahwa Esensi tidak memiliki Ada dan Tiada; dan
bahwasannya untuk memiiiki salah satu dari keduanya memerlukan kepada yang lainnva, serta
keperluannva kepada yang lain dalam Tiadanya adaiah sesuatu yang tidak rnemiliki makna yang
sesungguhnya, karena untuk, menjadi Tiada cukup dengan. Tiadanya wujud lain itu. ('
Sebenarnya, Esensi aknl memerluk-
an yang lain manakala ia ingin rnenjadi .Ada/wujud- bukan
Tlada.
Dengan Ini dapat dipastikan bahwa Esensi hanya tergantuntung kepada sesuatu yang` .ada.
Karena ke-Tiadaan.. adalah Tiada. Dan Tiada tidak bisa ditergantungi. wujud lain yang dijadikan
ketergantungan inilah yang dikenai dengan Sebab, sementara Esensi yang tergantung itu dlkenal
dengan nama Akibat.
Kemudian, Penjadiant atau Efek yang diberikan oleh .Sebab kepada Akibat itu, bisa
dipredisikan dengan tiga keadaan: Pada Esensinya; pada Perubahannya untuk menjadi Ada. atau
pada Adanya. Kalau yang pertama. tidak mungkin. karena .Esensi adalah sesuatu yang tidak .Asal
dan hanya merupakan Pentabiran/penjelasan Ada. Lagi pula. yang dibincangkan di sini adalah
ketergantungan Esensi dalam Adanya, sementara Esensi Sepi dari Ada dan Tiada, sebagaimana
maklum.
Kalau yang kita pilih adalah Perubahannya lnl juga tidak mungkin. karena Pe'rubahan itu
adalah :antara. yakni antara ,ula dan titik tuju. Senneriiiara keberadaan adalah kenyataan yang
tidak bisa berdiri antara dua titik keta’biran dan / atau pahaman.
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat
Sketsa filsafat

More Related Content

Similar to Sketsa filsafat

Hakikat manusia dalam konsep kehidupan
Hakikat manusia dalam konsep kehidupanHakikat manusia dalam konsep kehidupan
Hakikat manusia dalam konsep kehidupanpkbm maritim
 
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu PengetahuanOntologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu PengetahuanHasrianiUmar
 
Pengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptx
Pengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptxPengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptx
Pengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptxIslamic Studies
 
Hakikat manusia
Hakikat manusiaHakikat manusia
Hakikat manusiahudapo
 
Makalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafatMakalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafatnewskiem
 
Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...
Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...
Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...pjj_kemenkes
 
Materi1 dasar dasar pendidikan
Materi1 dasar dasar pendidikanMateri1 dasar dasar pendidikan
Materi1 dasar dasar pendidikanDermawan12
 
Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)NatasyaNila
 
Manusia dalam pandangan psikologi
Manusia dalam pandangan psikologiManusia dalam pandangan psikologi
Manusia dalam pandangan psikologiyuliusnyiara
 
Implikasi aliran realisme Abdul Ra'uf
Implikasi aliran realisme Abdul Ra'ufImplikasi aliran realisme Abdul Ra'uf
Implikasi aliran realisme Abdul Ra'ufCartoon Dyqta
 
Ontology non reg matraman
Ontology  non reg matramanOntology  non reg matraman
Ontology non reg matramangadisghumi
 
Hakekat manusia dalam pandangan filsafat
Hakekat manusia dalam pandangan filsafatHakekat manusia dalam pandangan filsafat
Hakekat manusia dalam pandangan filsafatIrma Puji Lestari
 
Manusia Makhluk Multidimensi
Manusia Makhluk MultidimensiManusia Makhluk Multidimensi
Manusia Makhluk MultidimensiAndrew Yapvito
 
2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx
2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx
2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptxFika753292
 
Hakikat Manusia Menurut Islam
Hakikat Manusia Menurut IslamHakikat Manusia Menurut Islam
Hakikat Manusia Menurut IslamSiti Hardiyanti
 
Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.
Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.
Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.Haafizha Kiromi
 

Similar to Sketsa filsafat (20)

Hakikat manusia dalam konsep kehidupan
Hakikat manusia dalam konsep kehidupanHakikat manusia dalam konsep kehidupan
Hakikat manusia dalam konsep kehidupan
 
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu PengetahuanOntologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
 
Pengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptx
Pengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptxPengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptx
Pengantar Filsafat Ontologi/Matafisik.pptx
 
Hakikat manusia
Hakikat manusiaHakikat manusia
Hakikat manusia
 
Makalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafatMakalah pengantar filsafat
Makalah pengantar filsafat
 
Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...
Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...
Pandangan Para Filosuf Mengenai Konsep Ketuhanan dan Perbedaan Antara Aliran ...
 
Makalah ontologi filsafat ilmu
Makalah ontologi filsafat ilmuMakalah ontologi filsafat ilmu
Makalah ontologi filsafat ilmu
 
Materi1 dasar dasar pendidikan
Materi1 dasar dasar pendidikanMateri1 dasar dasar pendidikan
Materi1 dasar dasar pendidikan
 
Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)
 
Bahasa dan Fisafat
Bahasa dan Fisafat Bahasa dan Fisafat
Bahasa dan Fisafat
 
Manusia dalam pandangan psikologi
Manusia dalam pandangan psikologiManusia dalam pandangan psikologi
Manusia dalam pandangan psikologi
 
Mantiq
MantiqMantiq
Mantiq
 
Implikasi aliran realisme Abdul Ra'uf
Implikasi aliran realisme Abdul Ra'ufImplikasi aliran realisme Abdul Ra'uf
Implikasi aliran realisme Abdul Ra'uf
 
Ontology non reg matraman
Ontology  non reg matramanOntology  non reg matraman
Ontology non reg matraman
 
Hakekat manusia dalam pandangan filsafat
Hakekat manusia dalam pandangan filsafatHakekat manusia dalam pandangan filsafat
Hakekat manusia dalam pandangan filsafat
 
Manusia Makhluk Multidimensi
Manusia Makhluk MultidimensiManusia Makhluk Multidimensi
Manusia Makhluk Multidimensi
 
2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx
2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx
2. DASPEND HAKIKAT MANUSIA.pptx
 
Hakikat Manusia Menurut Islam
Hakikat Manusia Menurut IslamHakikat Manusia Menurut Islam
Hakikat Manusia Menurut Islam
 
Agama tauhid
Agama tauhidAgama tauhid
Agama tauhid
 
Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.
Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.
Persoalan dalam ilmu kalam mengenai sifat-sifat Allah swt.
 

Sketsa filsafat

  • 1. SKETSA FILSAFAT MUKADIMAH Definisi Filsafat Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang wujud dilihat dari sisi wujudnya. Subyek Filsafat Subyek filsafat adalah wujud sebagaimana ia wujud. Tujuan Tujuan Mempelajari filsafat adalah mengetahui wujud dan membedakannya dari yang tidak wujud dari yang sebenarnya. Begitu pula untuk mengetahui sebabsebab keberadaan, khususnya sebabnya para sebab, dan mengenal asma-asmaNya yang husna (indah) serta sifat-sifatNya yang tinggi. Yaitu Allah. BAHASAN PERTAMA Dalam bahasan pertama ini akan membahas wujud secara umum. Di dalamnya terdiri dari dua belas pasal: Pasal: 1 Mudahnya Mengenal Wujud. Memahami wujud tergolong ilmu mudah. Yakni tidak memerlukan daya pikir. Oleh karenanya dapat dipahami secara langsung tanpa perantaraan apapun dan tidak bisa didefinisi. Pasal: 2 Satunya Makna Wujud. Wujud memiliki satu makna. Yakni pemahaman •,wujud yang dipakai dalam segala esensi atau wujud murni ( Tuhan ) adalah sama. Seperti, Tuhan itu ada; Manusia itu ada; gunung itu ada; langititu ada; dan lain-lain. Pasal: 3
  • 2. Wujud Bukari Esensi dan Mensifatinya. Pahaman wujud berbeda dengan pahaman esensi. Dan karenanya akal dapat memisahkan wujud dari esensi, maka sebenarnya,wujudlah yang telah mensifati esensi di dalam akal sehingga dapat dikatakan maujud/ada. Pasal: 4 Keasalan Wujud dan Keta'biran Esensi, Wujud adalah asal segala sesuatu. Sedang esensi adalah penta'biran atau penje! asannya. "Manusia itu ada" dan "Kuda itu ada" adalah dua proposisi yang sama-sama menerangkan keberadaan sesuatu. Dalam contoh ini keduanya memiliki kesamaan, yaitu ada, dan memiliki perbedaan, yaitu manusia dan kuda. Karena kesamaan bukan perbedaan maka - dalam hal ini - wujud bukan esensi dan esensi bukan wujud. Dan karena esensi bisa diterangkan sebagai sesuatu yang ada/wujud atau tidak wujud/ada sedang tidak demikian halnya dengan wujud/ada - karena tidak bisa wujud diterangkan sebagai tidak-wujud - maka bagi setiap sesuatu wujud adalah keasalannya ( ashlun ). Oleh karena itu "ada" karena ada/wujud itu sendiri. Sedang esensi itu "ada" karena wujud / ada. Catatan ! 1. Setiap penetapan ada/wujud pada suatu esensi, seperti pada perkataan "Manusia itu ada", maka sebenarnya penetapan itu secara langsung untuk ada / wujud itu sendiri. Sehingga proposisi itu pada hakikatnya berbunyi " Manusia yang ada itu adalah ada". 2. Wujud sebenarnya tidak bisa disifati dengan sifat-sifat esensi. Seperti sifatsifat Universal, genus/jenis, Golongan, Pembeda, Substansi, Aksiden, Jumlah, .Kwalitas, dan lain- laiu. Karena semua itu adalah sifat-sifat yang mensifati esensi dari sisi pembenarannya karena setiap esensi - seperti pembenaran pemahaman manusia pada Joko atau Muhammad - atau dicakupnya sesuatu dibawah naungan golongan - seperti Muhammad di bawah manusia - atau golongan di bawah jenis - seperti manusia di bawah binatang - atau jenis di bawah jenis yang lebih luas – seperti binatang di bawah benda berkembang. 3. Wujud tidak bisa menjadi bagian dari yang lainnya. Sebab selain wujud adalah kebatilan /
  • 3. ketiadaan atau kcberadaan yang tidak asal yang pada hakekat - dirinya adalah kebatilan ( esensi ). 4. Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau beritaberita maka semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena diluar zat-wujud adalah ketiadaan. 5. Yang wujud itu dibagi menjadi dua. Yang wujud karena dirinya - yakni ada - yang wujud karena yang lainnya - yakni esensi. 6. Di dalam akal wujud mensifati esensi. Oleh karenanya kita dapat memberikan atau menarik wujud dari esensi. Sedang di luar akal maka esensilah yang mensifati wujud. Oleh karenanya kita dapat mengabaikan esensi dan hanya memperhatikan ke-wujudan sesuatu. 7. Wujud identik dengan sesuatu. Sebab yang tak-ada tak mungkin dikatakan sesuatu. 8. Wujud tidak memiliki sebab untuk ada / wujud kecuali dari wujud itu sendiri. Sebab di luar wujud adalah ketiadaan / kebatilan. Oleh karenanya wujudlemah hanya memerlukan kepada wujud-kuat. Pasal: 5 Wujud Adatah Satu yang Bertingkat. Wujud adalah satu hakikat namun bertingkat. Yakni apapun yang membedakan antara satu wujud dengan wujud lain, maka hal itu tidak mungkin disebabkan oleh selain wujud itu sendiri. Sebab di luar wujud adalah kebatilan / ketiadaan. Pasal: 6 Kehususan wujud Wujud memiliki tiga kekhususan: 1. Keberadaan wujud karena dirinya sendiri. 2. Wujud memiliki tingkatan yang ia tidak keluar dari tingkatan tersebut. 3. Wujud mensifati esensi yang berbeda-beda, namun secara tidak Iangsung. Akan tetapi pensifatan ini berbeda dengan pensifatan-pensifatan yang lain. Sebab yang lainnya akan tersifati kalau ia telah memiliki keberadaan. Di sini, esensi tidak bisa ada/wujud terlebih dahulu untuk kemudian disifati dengan wujud. Tapi justru dengan wujud itulah ia ( esensi ) menjadi eksis atau wujud.
  • 4. Pasal: 7 Hukum-hukum Negatip Wujud 1. Tidak ada keberadaan selain wujud. Karena selain ada/wujud adalah ketiadaan. 2. Tidak ada dualisme ( yang lain ) dalam wujud. Sebab dualisme timbul dari keberlainan. Dan keberlainan timbul dari dua eksistensi. Sedang selain wujud adalah ketiadaan-mutlak. 3. Wujud bukari substansi dan aksiden. Sebab keduanya itu adalah esensi. Sedang wujud bukanlah esensi. Tapi bahkan yang mewujudkan esensi. 4. Wujud bukan bagian dari yang lain. Sebab selain wujud adalah ketiadaan. Pasal: 8 Makna Kenyataan yang Sebenarnya. Kenyataan yaiig sebeaarnya adalah kebenaran suatu predikat terhadap subyeknya. Baik kebenaran itu sesuai dengan ukuran keberadaan dalam akal atau luar akal. Seperti "Pahaman manusia itu adalah universal" atau "Tuhan itu ada ". Pasal: 9 Sesuatu itu Sama denganWujud Sesuatu itu sama dengan wujud. Oleh karenanya yang tak wujud bukan dan/atau tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu. Pasal: 10 Tiada itu tidak Memiliki Perbedaan dan Sebab. Tiada tidak memiliki perbedaan. Karena perbedaan itu timbul dari keberadaan. Sedang tiada adalah tiada. Bukan ada. Pasal: 11 Tiada itu Tidak Memiliki Predikat/berita. Tiada-mutlak tidak bisa dipredikati dengan predikat apapun. Sebab predikat itu timbul dari sesuatu yang akan dipredikati tersebut. Oleh karena itu yang bukan sesuatu, tidak akan dapat dipredikati atau dikabari dengan suatu apapun.
  • 5. Pasal: 12 Yang Telah Tiada Tidak Bisa Diulang. Sesuatu yang telah tiada tidak bisa diadakan lagi persis seratus persen seperti semula. Sebab: 1. Kalau sesuatu yang telah tiada itu diadakan lagi secara persis, maka satu keberadaan berada dalam dua jaman. 2. Kalau pengulangan secara persis itu dibolehkan, maka maad itu sama dengan permulaan. Dan ini adalah mustahil. 3. Kalau pengulangan itu dibolehkan, maka dari awal bisa diwujudkan wujud lain yang persis. Hal ini adalah mustahil. Sebab dua wujud persis seratus persen itu adalah mustahil. BAHASAN KE DUA Bahasan ke dua ini menyajikan pembagian wujud yang terbagi menjadi wujud luar dan wujud- dalam_ Ia hanya memiliki satu pasal saja. Pasal: 1 Telah umum di kalangan filosof bahwa esensi terbagi menjadi dua bagian: 1. Luar-akal. Yaitu esensi yang memiliki efek sebagaimana mestirzya.Seperti manusia dimana ia memiliki beban materi, ukuran, sifat-sifat, aksi-interaksi dan lain-lain. 2. Dalam-akal. Yaitu esensi yang tidak memiliki efek sebagaimana mestinya. Seperti pahaman manusia dimana ia tidak memiliki efek apapun dari efek-efek Luar. Ia memang memiliki efek, namun efek itu berhubungan dengan efek dalam akal saja. Seperti menolak ketidak tahuan. Tidak seperti esensi luar yang menolak ketiadaan nyata. Sebagian Pandangan : 1. Pengetahuan kita ( wujud-dalam ) adalah bayangan esensi dari bukan esensi itu sendiri. Yakni ia hanya sebagai aksiden-kwalitas yang berdiri di atas jiwa yang hanya menjelaskan obyek pengetahuan Luar dengan bayangannya yang mirip seperti gambar pada kertas. Pendapat ini jelas akan berakhir pada sophistics. Yakni pengacauan dan penipuan. Dimana hal tersebut melazimi ditutupnya pintu ilmu pengetahuan. Karena jelas apa yang kita tahu akan menjadi apa-apa yang tidak kita ketahui. Akhirnya, semua ilmu kita adalah kebodohan dan ketidak tahuan, bukan ilmu.
  • 6. 2. Keberadaan dalam akal itu, tidak ada. Sedang ilmu itu adalah hubungan yang dihasilkan dari penghubungan jiwa dan obyek ilmunya di luar akal. Pandangan ini juga mustahil diterima. Sebab kita juga mengetahui dan memahami ketiadaan. Kalau ilmu itu hasil dari penghubungan jiwa dan obyek, maka manakah obyek ketiadaan itu? Dalil Umum Keberadaan Dalam akal Untuk membuktikan adanya keberadaan dalam akal pada umumnya para filosof berdalil dengan beberapa dalil di bawah ini: 1. Kita dapat menghukumi atau mempridikati hal-hal yang tiada, dengan hukumhukum positif Seperti pernyataan dua kontradiksi tidak bisa bertemu; Gunung emas itu adalah gunung yang terdiri dari tanah dan batu emas; Tiada itu adalah tiada dan lain-lain. Sedang hukum positip adalah menetapkan sesuatu keatas sesuatu yang lain, dan menetapkan sesuatu ke atas yang lain adalah cabang dari tetapnya ( adanya ) yang lain tersebut. Yakni yang tak ada, tak mungkin dipredikati, kecuali predikat negatip. Jadi adanya predikat positip membuktikan adanya sebuah obyek . Dan kalau obyek tersebut tidak ada di Luar-akal maka sudah pasti, adanya di dalam akal. 2. Beberapa pahaman tidak memiliki wujud-luar karena memang tidak menceritakan keberadaan Luar. Seperti uriversal atau partikulir. Kalau pahaman-pahaman tersebut tidak memiliki wujud luar maka jelas keberadaannya ada di dalam akal. 3. Kita dapat membayangkan keberadaan-murni, seperti manusia gunung, air dan lain-lain tanpa embel-embel. Keberadaan murni ini jelas tidak mungkin ada di luar-akal. Sebab yang ada di luar akal pasti mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak akan mungkin dimiliki oleh wujud lain sekalipun sama dalarn esensinya. Kalau keberadaan murni tersebut tidak ada diluar akal maka pasti keberadaannya di dalam akal (Pahaman ). Pertanyaan dan Isykalan Ada beberapa isykalan terhadap adanya esensi dalam akal ( Wujud-dalam ), Seperti: 1. Adanya esensi seutuhnya dalam akal melazimkan sesuatu menjadi substansi dan aksiden sekaligus. Sebab substansi yang terpahami dalam akal adalah substansi karena sesuatu adalah dirinya sendiri - sementara pemahaman itu sendiri adalah aksiden yang berdiri dan bersubyek kepada jiwa. Dan ketika substansi itu dikatakan aksiden sekaligus, maka jelas hal
  • 7. ini adalah kemustahilan yang nyata. 2. 1lmu dan/atau esensi dalarn akal, tergolong ke dalarn katagori kwalitas, yakni kwalitas dari jiwa/ruh. Sementara kalau kita membayangkan substansi atau aksiden lain selain kwalitas, maka mereka akan menjadi dua esensi sekaligus, yakni esensi kwalitas dan esens) masing- masing mereka. Maka substansi akan menjadi substansi dan kwalitas; aksi akan menjadi aksi dan kwalitas; interaksi akan menjadi interaksi dan kwalitas; dll.. Dengan demikian maka setiap esensi terkatagorikan dalam dalam dua katagori ( esensi ) sekaligus. Dan karena setiap esensi itu adalah dirinya sendiri dan bukan yang lainnya secara zati, maka hal tersebut telah menyebabkan bertemunya dua kontradiksi. Sebab ketika substansi dikatakan kwalitas, maka sama dengan mengatakan bahwa substansi bukanlah substansi. Hal mana yang demikian itu, yakni bertemunya dua kontradiksi, adalah mustahil adanya. 3. Mempercayai wujud-dalam dan kesesuainnya dengan Wujud-luar, melazimkan seseorang atau jiwa menjadi panas-dingin, panjang-pendek, bulat-lonjong, pahit-manis, hitam-putih, dll., sekaligus. Yakni manakala membayangkan semua itu dalam waktu yang sama. 4. Banyak kemustahilan zati yang tidak bisa terwujud, menjadi terwujud manakala dibayangkan dalam akal. Hal itu dikarenakan kesamaan antara esensi-dalam dengan esensi-luar tersebut. Jadi hal-hal yang mustahil ada secara zati, seperti sekutu Tuhan, bertemunya atau diangkatnya dua kontradiksi, penafian sesuatu atas dirinya, d1l., menjadi wujud/ada manakala dibayangkan dalam akal. Sementara kita tohu bahwa semua itu tidak mungkin ada. 5. Jiwa dapat membawa benda - benda besar seperti bumi, gunung, langit, dll.. Kalau esensi mereka dalain akal sama dengan yang di luar akal, maka berarti benda-benda besar itu telah masuk ke dalam yang jauh lebih kecil. 6. Adanya wujud-dalam melazimkan sesuatu yang universal, menjadi partikulir sekaligus. Hal seperti ini jelas mustahil. Jawaban Isykalan Jawaban terhadap isykalan di atas, dapat disimak di bawah ini: 1. Ada beberapa jawaban untuk isykalan pertama dan ke dua. Tapi semua itu memiliki kekurangan, kecuali jawaban yang diberikan oleh Mulla Shadra ra.. Inti jawabannya adalah, kemestian tercakupnya predikat/definisi oleh dirinya sendiri berbeda antara predikasi-pertama dengan predikasi-kebanyakan. Yakni definisi dengan batasan penuh yang, kesamaan definisi
  • 8. dengan definednya adalah dalam pahaman, dan definisi dengan batasan-kurang, gambaran penuh dan kurang, dll., yang memiliki kesamaan dalarii ekstensinya. Artinya, ketika kesamaan antara definisi dengan definednya ada daiam pahaman saja, maka definisi tersebut tidak mesti dicakupi oleh dirinya sendiri. Misalnya ketika mendefinisikan manusia sebagai substansi bertiga dimensi, berkernbang, bergerak dengan kehendak dan rasional, maka definisi ini tidak mesti dinaungi oleh dirinya sendiri, yakni bahwasannya ia dalam kenyataannya adalah substansi juga, sementara jelas ia adalah wujud dalam jiwa alias kwalitas jiwa. Sebab kesamaannya dengan defined hanyalah dalam pahaman. Maka dari itu efek keduanya tidak berbeda, bahwasannya keduanya hanya meniadakan ketidaktahuan alias keberadaan-dalam, bukan keberadaan luar. Tapi kalau ukuran kesamaan antara definisi dengan definednya di luar akal, yakni definisi-kebanyakan, maka sudah semestinya definisi tersebut dicakupi oleh dirinya sendiri secara tidak langsung. Misalnya mendefinisikan manusia sebagai substansi. Di sini secara pahaman, keduanya berbeda jauh. Tapi di lihat dari keberadaan luarnya dimana ianya dijadikan ukuran kesamaan antara keduanya, maka keduanya memiliki kesamaan. Yakni manusia luar adalah substansi, dan. substansi luar adalah manusia ( sekalipun pada sebagian estensinya saja ). Oleh karena ukuran definisi ini adalah keberadaan ekstensinya, maka jelas definisi tersebut juga merupakan substansi, lantaran kesubstansian manusia-luar, yakni keberadaannya tidak ditopang oleh yang lainnya. 2. Dengan jawaban pertama, isykalan ke dua ini juga bisa dijawab. Yakni apabila ukuran kesamaan antara definisi dengan definednya di luar-akal eksistensi luar ), maka keduanya mesti dinaungi oleh definisnya. Artinya kalau definisinya substansi, seperti manusia adalah substansi, maka defined dan definisinya juga substansi secara aktual dan nyata. Begitu pula kalau aksiden. Tapi kalau ukuran kesamaannya adalah pahaman, berarti yang dimaui dari definisi dan definednya adalah pahaman. Di sini, keduanya tidak dituntut memberi efek yang semestinya, yaitu kesubstansian substansi, keaksian aksi, keinteraksian interaksi dll.. Bahkan sebaliknya, semuanya adalah aksiden kwalitas, karena mereka semuanya adalah ilru dan ilmu adalah kwalitas jiwa. 3. Efek dari esensi disebabkan wujudnya, bukan ke-esensiannya. Sedang serlua pahaman, sama dengan yang dipahami dalam esensinya. Dengan demikian, maka kesamaan ilmu atau esensi- dalam dengan esensi-luar, tidak melazimkan efek 'senyatanya seperti sebagaimana yang ditimbulkarn oleh wujud esensi tersebut.
  • 9. 4. Sebagaimana maklum, yang ada dalam akal itu adalah pahamannya saja, yakni predikasi- pertamanya. Jadi, sekutu Tuhan adalah sekutu Tuhan dan ada dalam pahaman. Begitu pula dengan tiada dan pertemuan dua kontradiksi. Sedang dilihat dari predikasi-kebanyakannya, mereka itu adalah ada dan merupakan kwalitas dari jiwa/ruh. 5. ilmu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih jauh, adalah non materibarzakhi, mitsali atau ide. Dan pemilik ilmu adalah ruh yang juga non materi. Jadi, ilmu itu juga memiliki semua efek materi kecuali efek yang ditimbulkan oleh bebannya. Maka dari itu yang besar bisa masuk ke dalam yang kecil. Sebab, pencegahnya, yaitu bebannya, tidak ikut didalamnya dan oleh karenanya tidak meberikan efek yang berupa kemustahilan itu. 6. Universal dikatakan universal manakala dilihat dari sisi perbandingannya dengan wujud- luar, yaitu ketika ia memiliki wujud-luar atau ekstensi lebih dari satu. Sedang dikatakan partikulir manakala ia dilihat dari sisi kwalitas jiwa. Yaitu sifat atau aksiden yang bertopang kepada substansi jiwa. Di sini, karena ia salah satu diantara sekian aksiden jiwa, maka ia adalah partikulir. Sebenarnya, ia juga tidak bisa dikatakan pertikulir. Sebab partikulir adalah pahaman yang memiliki satu ekstensi. Jadi partikulir hanya memiliki hakikat dalam-akal, bukan luar-akal. Jadi, hakikatnya dia adalah individu. Nah, dengan demikian, maka universal adalah universal manakala dilihat sebagai wujud-dalam dan dihubungkan dengan ekstensi-ekstensinya, dan dikatakan individu manakala dilihat sebagai wujud-luar alias sebagai salah satu aksiden jiwa, yakni kwalitas jiwa BAHASAN KE TIGA Pembagian Wujud Menjadi Wujud-Diri dan Wujud-Lain, dan Wujud-Diri Menjadi Wujud Untuk-Dirinya dan Wujud-Untuk-Selainnya. Pasal: 1 Sebagian keberadaan, ada yang memiliki jati diri yang jelas, seperti Pintar, Joko, Tinggi, dll., tapi ada pula yang tidak memilikinya, seperti Hubungan yang ada pada `Joko itu Pintar'. Kalau `Joko' dan `Pintar' itu dipisah atau tidak dihubungkan, maka keduanya tidak terkait menjadi satu rnakna. Tapi ketika dihubungkan, maka jelas sebaliknya. Oengan demikian dapa. dimengerti
  • 10. bahwa antara keduanya ada yang namanya 'Hubunga' dimana keberadaannya tidak mandiri dan bahkan bersembunyi dibalik kesubyekkan subyek dan kepredikatan predikat. Oleh karena ituiah maka yang memiliki jati diri jelas disebut Wujud-Diri, dan yang tidak jelas disebut Wujud-Lain, yakni kejatian dirinya bersemayam di daazm wujud lain dan bergantung padanya ( subyek- predikat ). Wujud-Diri itu juga disebut Wujud-Mandiri dan Wujud-Predikasi, sedang wujud-Lain disebut dengan Wujud-Penghubung atau Hubungan. Dengan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan lain sebagai berikut: 1. Wujud-Penghubung tidak memiliki esensi. Karena esensi adalah jawaban dari pertanyaan `Apa dia?' Oleh karenanya jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diambil hanya dari hal-hal yang memiliki kemandirian dalam pahamannya alias wujud-Predikasi, bukan Wujud- Penghubung yang bisa dipahami kecuali dengan membayangkan hal-hal yang dihubugkannya seperti subyek dan predikat. 2. Keberadaan Wujud-Penghubung dalam subyek dan predikat, melazimkan sejenis penyatuan dengan keduanya karena ketidakbisaannya memisahkan diri. 3. Wujud-Penghubung ini hanya ada dalam jawaban atas pertanyaan `Apa Ganda?', bukan `Apa Sederhanya'. Yakni yang menanyakan `Apakal: sesuatu tersifati atau terpredikati dengan sesuatu yang lain?', bukan menanyakan `Apakah ia ada?'. Karena tidaklah bermakna pernyataan yang menyatakan bahwa Penghubung itu ada diantara `Manusia itu ada'. Sebab adanya sesuatu dengan dirinya adalah satu. Oleh karenanya Penghubung tidak diPerlukan. Pasal: 2 Ada perbedaan pendapat mengenai Wujud-Penghubung, apakah ia berbeda secara esensi dengan Wujud-Mandirt"? Yakni apakah Wujud-Penghubung hanya memiliki makna yang tergantung kepada Wujud-Mandiri dimana tidak bisa dipahami secara mandiri, dan menjadi sesuatu yang dapat dipahami tanpa ketergantungan kepada yang lalnnya? Jawaban yang benar adalah tidak demikian. Sebab sebagaimana yang akan diterangkan di pembahasan sebab-akibat, bahwa akibat adalah Wujud-Penghubung bagi sebabnva. Tapi dilain pihak akibat-akibat itu memiliki keberadaan secara mandiri. Sebab mereka ada yang Substansi dan. ada pula. yang Aksiden. Sementara Substansi dan Aksiden adalah wujud-wujud Predikasi dan Mandiri, sekalipun
  • 11. mereka juga dikatakan Sebagai wujud-wuiud Penghubung manakala dilihat dari ketergantungan mereka kepada sebab-sebab mereka. Pasal:3 Pembagian Wujud-Diri menjadi Wujud-Untuk-Dirinya dan Wujud-Untuk-Selainnya Maksud dari Wujud-Untuk-Selainnya adalah bahwa wujud yang tadinya adalah Wujud Diri, yakni yang artinya adalah dengan esensinya menolak ketiadaannya, dalam pada itu ia juga menolak ketiadaan lain. Seperti esensi ilmu dan kuasa. Esensi keduanya menolak ketiadaan diri mereka. Tapi di lain pihak mereka juga menolak kebodohan dan kelemahan ( baca: tak kuasa ) pada substansi-substansi yang memiliki mereka. Dalil bagi keberadaan wujud-wujud untuk selainnya itu adalah adanya wujud-wujud aksiden sendiri. Sebab wujud-wujud aksiden, disamping meniadakan ketiadaan dirinya ia juga meniadakan suatu ketiadaan pada substansi yang memilikinya. Bahkan keberadaan substansi juga merupakan dalil dari hal ini. Sebab ke-speciesan substansi juga meniadakan kekurang sempurnaan pada materinya ( bendawiahnya ) Beda halnya dengan Golongan atau Esensi dari wujud-wujud substansi. Sebab mereka hanya menolak ketiadaan diri mereka sendiri ( tidak termasuk ketiadaan selainnya ). Seperti manusia, kuda, singa, pohon, dll.. Wujud-wujud ini disebut dengan Wujud-Untuk-Dirinya. BAHASAN KE EMPAT Pembahasan Tiga Mutu: Wajib, Mungkin dan Terlarang Pasal: 1 Definisi ke-Tiga Mutu Setiap pahaman kalau dihubungkan dengan Ada/wujud, maka bisa dihasilkan beberapa hal: Mesti / wajib adanya; Terlarang adanya; atau tidak kedua-duanya. Yang pertama itulah yang disebut dengan Wajib/mesti. Sedang yang ke dua disebut dengan Terlarang/mustahil, dan yang ke tiga dengan Mungkin. Dengan bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa kalau keberadaan sesuatu itu merupakan kedaruratan (tidak bisa tidak ), maka inilah yang disebut Wajib/mesti. Tapi kalau ketiadaannya yang darurat, maka ialah disebut dengan Mustahil / Terlarang. Sedang
  • 12. ketidak daruratan kedua-duanya, yakni ia tidak terlarang untuk ada sekalipun tidak pula mesti, maka ialah yang disebut dengan Mungkin. Ke-Tiga Mutu di atas tergolong ilmu mudah dan tidak perlu ( bahkan tidak bisa ) didefinisi. Definisi di atas hanyalah penjelasan kata sebagaimana maklum. Pasal: 2 Bagian-bagian Tiga Mutu Secara global, masing-masing dari ke-Tiga Mutu itu memiliki bagian-bagian KarenaDirinya, Karena-Selainnya, dan Karena Dihubungkan (baca: dihubungkan dengan selainnya ). Maksud dari Karena-Dirinya adalah Diri-Sesuatu atau Zat-Sesuatu itu cukup untuk dijadikan penetap ( alasan ditetapkannya ) bagi Mutu-mutu di atas tanpa harus memperhatikan selainnya. Maksud KarenaSelainnya adalah bahwa keter-Mutuan sesuatu dengan Mutu-mutu di atas dikarenakan wujud lain selain dirinya. Sedang maksud dari Karena Dihubungkan adalah bahwa keter- Mutuannya dikarenakan penghubungannya dengan wujud lain. Wajib-Karena-Dirinya yang dikenal juga dengan Wajib-Zati, adalah yang kewajiban adanya dikarenakan dirinya sendiri seperti Sang Wajib-Wujud ( Tuhan ). Karena keWajiban atau ke- Mestian AdaNya tidak memerlukan kepada wujud lain. Dan WajibKarena-Selainnya adalah keberadaan wujud-wujud Mungkin dimana keadaannya menjadi mesti/wajib karena sebabnya. Yakni manakala ada sebabnya, maka Wujud-Mungkin itu menjadi Wajib-adanya. Sedang Wajib- Dihubungkan, adalah yang keberadaannya menjadi mesti manakala dihubungkan dengan selainnya, seperti wujudwujud Mutadhaifain. Misalnya, bawah, maka ia menjadi'mesti manakala atas telah ada, begitu pula sebaliknya. Mustahil-Karena-Dirinya, yang juga dikenal dengan Mustahil-Zati, adalah yang ketidak mungkinan adanya karena dirinya sendiri. Artinya, dirinya sendirilah yang menuntut ketiadaannya dan memustahilkan kebaradaannya. Seperti sekutu Tuhan, bertemunya dua kontradiksi, tiada, tuhan yang dicipta, masuknya benda besar ke dalam vang lebih kecil, lebihnya akibat dari sebab, dll.. Dan Mustahil-Karena Selainnya adalah yang ke-Mustahilannya itu disebabkan selain dirinya. Seperti ke-Mustahilan adanya sesuatu yang tadinya Mungkin, dikarenakan tidak adanya sebab keberadaannya. Atau ketiadaan sesuatu yang tadinya Mungkin yang dikarenakan adanya sebab keberadaannya. Jadi, yang tidak ada sebabnya, maka ia Mustahil ada, begitu pula yang sudah ada sebabnya, maka ia Mustahil tiada. Inilah yang dikatakan Mustahil atau Terlarang-
  • 13. Karena-Selainnya. Sedang Mustahil-Karena Dihubungkan adalah yang keMustahilannya itu karena penghubungan dengan selainnya, seperti Mustahilnya adanya salah satu Mutadhaifain manakala yang lainnya belum ada, begitu pula Mustahilnya tiadanya salah satu mereka manakala salah satunya sudah ada. Mungkin-Karena-Dirinya yang dikenal juga dengan Mungkin Zati, adalah yang ke- Mungkinannya itu karena zat dan esensi dirinya sendiri, seperti esensi-esensi yang keberadaannya bersifat mungkin. Sebab esensi-esensi itu, secara dirinya atau zati, tidak memiliki kedua kedaruratan ada dan tiada. Dan Mungkin Karena-Selainnya tidak mungkin ada. Sebab kalau kita mungkinkaLi adanya sesuatu yang Mungkin-Karena Selainnya, maka dirinya sendiri adalah Wajib, Mustahil, atau Mungkin itu sendiri, karena Mutu tidak lebih dari tiga hal itu. Kalau kedua pertama, maka jelas tidak mungkin. Sebab melazimkan perubahan esensi atau zat sesuatu. Dan kalau yang ke tiga, maka jadi tak berguna dan sia-sia.Artinya penambahan dan penamaan tersebut tidak memberikan hasil apapun. Sedang Mungkin-Karena-Dihubungkan adalah yang ke-Mungkinannya disebabkan penghubungan dengan yang lain. Seperti dua Tuhan atau dua Wajib-Wujud yang diumpamakan. Ketika dikatakan sebagai Tuhan atau Wajib-Wujud, maka keduanya mestilah berdiri sendiri. Dan keberdirian sendiri ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau diri nya tidak terbatas. Sebab ketika sesuatu itu tidak terbatas, maka ia tidak akan memiliki awal dan akhir; dan yang tidak ada awalnya, maka ia tidak pernah ada permulaannya, yakni tak pernah tiada sehingga bermula di titik awal itu. Jadi dari sisi keTuhanan atau ke-Wajiban-Wujud, keduanya mestilah - tidak terbatas. Tapi kalau dilihat dari sisi bahwa keduanya akan saling membatasi ' manakala dikatakan ada, maka keduanya jadi terbatas dimana pada akhimya akan menjadi berawal. Sementara ketika sesuatu itu berawal, maka ia tidak lagi Wajib-Ada atau Tuhan. Karena berarti ia pernah tiada. Dan sesuatu yang ada yang didahului oleh tiadanya, maka zatnya adalah Mungkin, bukan Wajib atau Tuhan. Inilah yang disebut dengan Mungkin Karena-Dibubungkan. Pasal: 3 Esensi Wajib-Ada adalah AdaNya Esensi, sebagaimana maklum, adalah batasan sesuatu. Oleh karennya yang tidak terbatas, tidak akan memiliki esensi. Sedang Wajib-ada, memiliki arti suatu hakikat yang selalu bersama ada dan tidak pernah tiada. Kalau demikian, maka Ia tdak memiliki batasan awal ataupun akhir. Dengan ini maka jelaslah bahwa Wajib-Ada tidak memiliki esensi. Artinya Dia adalah wujud-murni
  • 14. yang tidak memiliki batasan apapun. Sehingga dengan ini para filosof mengatakan bahwa EsensiNya adalah AdaNya. Petunjuk lain dari ketiadaan esensi Wajib-Ada adalah, kalau Wajib-Ada memiliki esensi, berarti AdaNya mensifati atau mengaksideni esensiNya. Dan setiap "aksiden/sifat, keberadaannya tersebabi. Artinya tak mungkin aksiden ada tanpa adanya sebab yang telah mewujudkan dan telah menjadikannya sebuah aksiden. Dan bahkan sebabnya itulah yang telah menjadikan aksiden itu sebuah aksiden. Hal ini dapat diketahui karena aksiden didahului oleh substansinya, dan yang didahului berarti berawal, serta yang berawal pasti bersebab. Kalau AdaNya pada esensiNya tersebabi, maka penyebabnya tidak keluar dari dua kemungkinan; esensiNya, atau selainNya. Kalau esensiNya, maka ia ( esesnsi ) sudah mesti mendahului AdaNya sebagai akibat, karena setiap sebab mesti mendahuli akibatnya. Dan kalau esensiNya mendahului AdaNya dalam ada, maka ia mendahuluinya dengan ada yang bagaimana? Apakah dengan ada yang sekarang ini atau dengan ada yang lain? Kalau dengan yang ada sekarang ini, berarti ia telah mendahului diriNya sendiri. ini jelas mustahil. Dan kalau mendahului dengan ada yang lain, maka kita bisa menanyakan ada yang ke dua tersebut dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang diajukan pada ada yang pertama. Dan jawaban untuk semua itu adalah, kalau tidak berakhir pada kesebaban esensiNya ( dimana hal ini adalah mustahil ), maka pertanyaan itu tidak bisa dihentikan sampai tidak terbatas, dimana hal ini juga mustahil. Kalau penyebab AdaNya adalah selain esensiNya, maka hal ini bertentangan dengan dirinya yang Wajib-Ada itu. Sebab kalau disebabi berarti pernah terpisah dari ada, dan ini berarti bahwa Ia tidak Wajib-Ada. Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa Wajib-Ada tidak memiliki esensi, atau esensiNya adalah AdaNya. Dan dapat diketahui pula bahwa Wajib-AdaNya itu diketahui dan dipahami dari jati diriNya sendiri, dan bahwasannya Ia adalah Wujud-Murni yang paling sempurna dimana tidak memiliki sisi ketiadaan sedikitpun. Karena kalau masih memiliki sisi tiada, maka la masih memiliki kekurangan dimana hal itu berarti batasan buat ZatNya yang Maha Sempurna itu. Dan kalau masti memiliki batasan, berarti la masih memiliki awal-akhir. Sedang yang memiliki awal-akhir, berarti ia pemah tiada, yakni sebelum awalnya itu. Dan yang demikian berarti ia disebabi, sementara yang disebabi adalah Mungkin-ada, bukan Wajib-Ada.
  • 15. Pasal: 4 Wajib-Ada Secara Zati Adalah Wajib-Ada dari Semua Sisi Wajib-Ada tidak boleh memiliki sisi apapun yang bdrbau ketiadaan dan kemungkinan dari apa-apa yang bersifat Mungkin-Umum atau Kemungkinan-Umum. Sebab, kalau inasih memiliki ketiadaan dan kemungkinan, berarti masih memiliki keterbatasan dan keterikatan. Dan keterbatasan adalah awal-akhir, sedang awal-akhir adalah ketiadaan sebelum awal; sementara ketiadaan yang menjadi ada adalah diadakan; dan yang diadakan adalah wujud-mungkin, bukan Wajib-Ada. Pasal 5 Yang Tak Wajib Tak Mungkin Ada Tiada keraguan bahwa sesuatu yang Mungkin-ada, dimana jaraknya kepada ada dan tiada adalah sama, memerlukan kepada sebab manakala ingin mencapai salah satu dari keduanva. Sebab ada, untuk menjadi ada; dan sebab tiada untuk menjadi tiada. Yakni untuk menjadi ada perlu kepada sebab yang juga ada, tapi untuk menjadi tiada, cukup dengan tiadanya sebab. Jadi tiada sebab adalah sebab bagi tiadanya Mungkin-ada. Sekarang, ketika Mungkin-ada akan menjadi ada, maka ia harus dihantar oleh sebabnya sampai ke titik ada. Dan kalau sudah sampai ke titik ada itu, maka ia pasti menjadi ada. Artinya keberadaannya menjadi pasti dan tidak bisa tidak. Inilah yang disebut dengan Wajib-ada-karena selainnya atau Wajib-Karena Selainnya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesuatu yang tak wajib, tak mungkin ada. Atau sesuatu yang belum mencapai titik ada ( baca: mesti/wajib ada ), maka ia tidak akan ada; dan sebabnya, belum bisa dikatakan sebagai sebab baginya atau sebab bagi adanya. Penutup Apa-apa yang telah dijabarkan di atas mengenai Wajib Karena-Selainnya adalah ke- Wajiban atau ke-Mestian-ada yang datang bagi wujud-mungkin dari arah sebabnya. Tapi ia juga memiliki ke-wajiban atau ke-mestian yang lain yang biasa disebut dengan Kemestian-Dengan- syarat-Predikasi. Yakni suatu kemestian terpredikasinya suatu subyek manakala sedang dipredikasi-i oleh predikat' tersebut. Misalnya `Manusia itu berjalan secara pasti manakala ia
  • 16. sedang berjalan'. Di sini, di pembahasan Wajib-Karena-Selainnya ini, suatu wujud yang menjadi mesti/ wajib untuk ada, ketika dia ada, maka sudah pasti tersifati juga dengan Wajib-DenganSyarat-Predikasi ini. Karena ketika ia ada, maka pasti ia ada. Artinya, sesuatu yang ada itu Wajib-adanya. Pasal: 6 Makna Makna Mungkin Mungkin yang telah dibahas di atas adalah Mungkin yang memiliki makna ketidak daruratan dua kemestian, yakni kemestian ada dan tiada, Mungkin yang seperti ini di sebut dengan Mungkin-Khusus. Ada lagi :Mungkin yang memiliki makna lain, yaitu menegasikan satu darurat yang merupakan lawannya, apakah darurat ada atau tiada. Misalnva dikatakan "Sesuatu itu mungkin saja ada", ".Sesuatu itu Mungkin saja terjadi ", "Hal itu bisa saja mustahil ". Kedua contoh pertama adalah penergasian kedaruratan tiada atau mustahil. sedang contoh terakhir adalah penegasian darurat ada atau wajib-ada. Mungkin seperti ini yang sering dipakai masyarakat secara unum. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai Mungkin – Umum Ada Mungkin yang lebih spcsilik lagi dari Mungkin-Umum di atas. yaitu Mungkinlebih khusus. Artinya ia menafikan Darurat-Zat ( Pasti-Mutlak ). Darurat -Sifat (Bersyarat-Umum ) dan Darurat-Waktu ( Berwaktu-Mutlak ). Seperti perkataan Manusia bisa menjadi penulis", "Manusia adalah penulis secara kemungkinan", Manusia mungkin menjadi penulis". Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa kepenulisan dinafikan dari zat manusia. Begitu pula dinafikan dari kedaruratan sifat dan Waktu lantaran tidak disyaratinya dengan sifat dan waktu tertentu. Lain halnya kalau dikatakan "Manusia adalah penulis kalau ia menulis", "manusia adalah penulis dikala ia menulis". Sebab dalam dua contoh ini, kepenulisan merupakan kedaruratan atau hal yang tidak bisa tidak bagi manusia sekalipun dalam kondisi atau Waktu tertentu. Penegasian tiga darurat di atas kalau ditambah dengan penegasian Darurat-Bersyarat- Predikat. yakni kedaruratannya dicapai manakala sebuah predikat secara aktif tertetapkan pada sebuah subyek, maka akaii menjadi model lain pula bagi sebuah ke-Mungkinan. Yang terakhir ini disebut dengan Mungkin-Masa-Datang. Misalnya "Joko besok adalah penulis secara kemungkinan". Proposisi ini menafikan kedaruratan kepenulisan dari joko, besok hari. Sebab
  • 17. kalau kepenulisan itu terjadi pada Joko, maka jelas bahwa kepenulisan itu merupakan kedaruratan dan tidak bisa tidak. Tapi karena kepenulisan itu baru akan terlihat besok, maka sekarang ia tidak darurat dan mesti. Oleh karenanya masih berupa kemungkinan. Jadi proposisi di atas adalah penegasian terhadap kedaruratanbersyarat predikat. Salah satu makna Mungkin yang lain adalah penegasian terhadap darurat tiada atau kermrstahilan pada sisinya ( baca: bukan sisi !awannya ). Yakni yang pengumpanraan adanva atau terjadinya, tidak nrelazintkan kemustahilan atau larangan yang mesti/wajib. baik Mustaltil- Karena-Dirinya ( Zati ) atau Mustahil karena-Selainnya. Mungkin yang seperti ini disebut dengan Mungkin-Terjadinya. Seperti pernyataan, "Hal itu tidak mustahil terjadi", "Hal itu bisa saja terjadi". Ke-Mungkinan model terakhir adalah Mungkin-Potensial. Ketika sesuatu siap untuk menjadi sesuatu yang lain, maka ia memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain tersebut dan .juga memiliki hubungan dengan kesiapannya atau ke-potensiannra itu sendiri. Misalnya mani. ia siap untuk menjadi manusia. Di sini dikatakan bahwa "Mani ini punya potensi untuk menjadi manusia". Ini dilihat dari hubungannya dengan manusia yang potensi-i. Sedang dilihat dari hubungannya dengan ke-potensiannya, dapat dikatakan bahwa "Manusia itu ada di mani secara kemungkinan ". atau "Manusia secara kemungkinan ada di dalam mani". Beda antara Mungkin-Potensial dengan Mungkin-Zati adalah, kalau Mungkin-Zati, melihat esensi dari sisi akal ( internal ) dan diambil dari sisi esensi sebagaimana ia atau sebagaimana zat dirinya secara murnii. Sedang Mungkin-Potensial adalah suatu sifat secara eksternal ( wujud luar akal atau keberadaan nyata ) bagi sebuah esensi yang eksternal pula. Dengan demikian Mungkin-Zati Manusia dikatakan pada esensi manusia sebagaimana ia esensi, sedang Mungkin-Potensial-Manusia dikatakan pada esensi Mani yang sudah menjadi ada dimana ia di dalam perjalanan menuju manusia. Dengan uraian di atas dapat dimengerti bahwa Mungkin-Potensial dapat disifati dengan Kuat dan Lemah. Misalnya MungkinPotensial yang ada pada gumpalam darah dalam perut seorang ibu, lebih Kuat ketimbang yang ada pada Mani. Begitu pula dipahami bahwa Mungkin- Potensial ini bisa hilang, yakni manakala ia sudah mencapai yang dipotensialkan itu, atau batal di tengah jalan, seperti Mani yang jatuh ke tanah dan kering. Sedang Mungkin-Zati akan tetap Mungkin-Zati sekalipun ia sudah memiliki wujud eksternal. Sedang beda antara Mungkin-Potensial dan Mungkin-Terjadinya adalah, kalau yang
  • 18. pertama hanya ada pada keberadaan materi, tapi yang ke dua bisa ada pada keberadaan materi dan non materi. Pasal: 7 Mungkin Adalah Kelaziman Esensi dan Pentakbiran Akal Bukti ketakbiran akal terhadap Mungkin, adalah karena ia mensifati esensi dari sisi dirinya sendiri secara murni dan akli. yakni tanpa dilihat apakah esensi tersebut ada atau tidak di alam eksternal ( luar-akal ). Dan sifat bagi hal-hal yang akli, sudah tentu juga merupakan keberadaan akal. Tapi, ke-akalan sesuatu dari satu sisi, tidak bertentangan dengan ada-tidaknya, manakala dilihat dari sisi yang lain. yaitu dari sisi eksternalnya. Sebab ke-akalan bagi esensi itu, disebabkan tidak mungkinnya memasukkan makna ada atau tiada ke dalamnya secara zati, murni atau asal. Karena akan membuatnya Wajib-Ada atau Musahil-Ada. Dengan demikian, pandangan akal kepadanya adalah pandangan secara murni dan zati serta pelepasan dari sisi kaitannya dengan ada dan tidaknya di keberadaan eksternalnya. Oleh karenanya pandangan _yang seperti ini terhadap esensi. tidak bertentangan dengan pandangan lain, yaitu manakala akal memperhatikannya apakah ia memiliki keberadaan atau tidak di alam eksternal. Karena itulah maka esensi ( sebagaimana esensi ), sunyi dari kemestian dua keberadaan dan ketiadaan ( internal dan eksternal ). Sedang bukti bahwasannya Mungkin itu merupakan kelaziman esensi adalah tatkala kita melihat esensi itu dari sisi dirinya dan tanpa memperhatikan selainnv,.. kita dapat melihat bahwa ia terlepas dari dua kepastian ( ada dan tiada ). Dan tiadalah inakna lain dari Mungkin kecuali terlepasnya sesuatu dari dua kepastian tersebut. Denjan demikian maka Mungkin adalah kelaziman esensi secara zati. Pasal: 8 Perlunya Mungkin Pada Sebab dan Sebab Keperluannya Mengerti perlunya Mungkin kepada sebab, atau mengerti pernyataan 'Mungkin perlu kepada sebab untuk Mencapai ada dan tiada', adalah tergolong ilmu-mudah yang pcrtama_
  • 19. dimana cukup dengan hanya membayangkan Subyek, Predikat dan Hubungan keduanya, dapat meyakini kebenarannya. Yakni yang membayangkan makna Mungkin bahwasannya ia adalah berjarak sama antara ada dan tiada, dan membayangkan bahwa ia tidak berdaya mencapai salah satunya karena yang tak punya tak mungkin memberi, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut akan meyakini dengan mudah perlunya Mungkin kepada sebab. Sekarang, apa yang menjadi penyebab perlunya Mungkin kepada Sebab itu? Ada yang mengatakan Kemungkinannya ( imkan) dan ada yang mengatakan Kejadiannya (huduts ). Tapi yang benar adalah yang pertama. Dengan dalil sebagai berikut: 1. Esertsi, dilihat dari adanya adalah Wajib-ada ( pasti-ada, darurat-ada ), dan dilihat dari tiadanva adalah Mustahil-ada. Hal ini dapat diistilahkan sebagai Kemestian-Dengan-Syarat- Predikasi, yakni ke-Pastian ditetapkannva predikat atas subyek manakala predikatnya tertetapkan padanya. Sementara Kejadian esensi tidak lain adalah terjadinya salah satu kepastian itu_ yakni kepastran adanya setelah sebelumnva tidak ada. Dan semua tahu bahwa ke-Pastian, ke-Daruratan, dan ke-Wajiban-ada. adalah ketidak perluan kepada sebab. Maksudnya SebabKejadian, hukan Sebab-Kelanggengan. Dengan demikian maka Kejadian tidak bisa dijadikan sebab bagi perlunya Mungkin kepada sebab. dan tidak ada jalan lain kecuali mengatakan bahwa Kemungkinan Mungkinlah yang menjadi sebab bagi perlunva kepada sebab. 2. Esensi., tidak mungkin ada kecuali diadakan oleh sebabnya: dan pengadaan sebab tidak mungkin terjadi kecuali kalau esensi itu sudah sampai ke tingkat Wajib/mesti: sementara ke- mestiannya ini tergantung kepada pe-Wajiban sebabnva ( yang tak wajib tidak mungkin ada ): sedang pe-Wajiban sebab kepadanya tergantung pada kebutuhannya kepada hal tersebut: dan kebutuhan esensi timbul karena ke-Mungkinannya itu, sebab yang tak mungkin untuk ada dan tiada, tidak akan pernah perlu kepada sebab. Dengan demikian, maka sebab bagi perlunya esensi kepada Sebab adalah ke-Mungkinannya itu, bukan Kejadiannya. Karena kalau Kejadiannya yang menjadi sebab perlunya esensi kepada Sebabnya, maka ia telah mendahului dirinya sendiri. Yang demikian, ini karena ketika esensi perlu kepada Sebab untuk ada, berarti ia belum ada, sementara kalau dikatakan bahwa alasan perlunya kepada ,Sebab adalah Kejadiannya, maka berarti ia telah ada. Jadi, ia mendaluului dirinya sendiri. Dan mendahului diri sendiri adalah mustahil adanya sebagaimana maklum
  • 20. Pasal: 9 Mungkin Memerlukan Sebab Untuk Ada dan Langgeng ada bcberapa dalil yang mcnunjukkan bahwa Mungkin memerlukan sebab bukan hanya pada waktu mcnjadi ada. tapi juga ketika ia ingin tctap ada alau langgeng. Dalildalil yang dimaksud adalah: 1. Sebab perlunya Mungkin kepada sebab, sebagaimana maklum. adalah ke.Mungkinannya, dimana ia menjadi kelaziman dari pada esensi. Sementara esensi dilihat dari dirinya sendiri adalah bukan ada dan bukan pula tiada. Dengan demikian ketika esensi ini ada sekalipun, ia tetap melaziini Mungkin yang, merupakan sebab bagi perlunya kepada suatu sebab. Dengan demikian maka Mungkin memerlukan sebab dikala mau ada dan dikala tetap ingin ada. 2. Sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam bab sebab-akibat, dan yang telah diisyaratkan di Pasal: 2, Bahasan ke Tiga. bahwa keberadaan akibat adalah keberadaan-Penghubung yang secara zati bergantung kepada sebabnya dan tidak akan pernah bisa mandiri darinya. Dengan demikian. maka keadaannya tidak berbeda antara sebelum dan setelah ada, bahwa ia selalu memerlukan sehabnya. Sebahagian orang mengira bahwa Tukang Batu adalah sebab bagi berdirinya sebuah bangunan. Oleh karena mereka mengira bahwa akibat tidak perlu lagi kcpada sebabnya manakala bangunan sudah berdiri. Jawaban atas isykalan ini adalah dengan menggaris bawahi (tukang Batu bahmasannva ia bukanlah sebab-hakiki bagi berdirinva bangunan tersebut, ia tidak lain hanyalah sebab pendekat yang mendekatkan bagian-bagian bangunan dimana bagian-bagian itulah vang sebenarnya merupakan sebab baginya. Penutup Dapat dipahami dari pembahasan terdahulu bahwa Tiga Mutu itu adalah kwalitas/mutu juga bagi Proposisi. Begitu pula dipahami bahwasannya Wajib dan Mungkin adalah dua hal yang bersifat ada ( baca: suatu keberadaan ), karena benarnya atau sesuainya proposisi yang bermutukan keduanya dengan kenyataan eksternalnya. Oleh karenanya mereka berdua itu ada, tapi dengan keberadaan subyeknya, bukan keberadaan mandiri. Jadi Wajib dan Mungkin,
  • 21. sebenarnya.. sama dengan Satu, Banyak, Qodim, Baru/huduts, Potensi, De fakto dll., dalam hal bahwa mereka adalah sifat dari wujud/ada secara mutlak, yakni bahwa mereka mensifati wujud di eksternal tapi keaksidenan mereka di akal atau internal. Inilah yang disebut dengan Pahaman ke Dua Filsafat. Dengan penjelasan lain dapat dikatakan bahwa mereka adalah pahaman yang tidak diambil dari keberadaan eksternal seperti gunung, warna. bentuk dll.. sebagaimana Pahaman Pertama Logika. Karena mereka tidak memiliki wujud yang bisa diindra. Tapi dari sisi lain mereka bisa disifatkan pada keberadaan eksternal secara benar. Tidak seperti Pahaman ke Dua Logika, yang keberadaan dan pensifatannva di dalam akal atau internal saja. Dengan demikian mereka adalah keberadaan dalam akal/internal, tapi dapat disifatkan kepada keberadaan eksternal. Lebih jelasnya, hubungan subyek dengan mereka disebut perrsifatan, sementara hubungan mereka kepada subyeknya disebut dengan aksiden. jadi, mereka mengaksideni subyek mereka di dalam akal / internal, tapi subyek mereka tersifati dengan mereka di alam eksternal. Sebagai contoh, Mungkin itu mengaksideni Manusia di dalarn akal hingga dikatakan bahwa dalam pernyataan `Manusia adalah Mungkin ada', Mungkin, yang bukan merupakan keberadaan indrawi ini, telah mengaksideni manusia di dalam akal secara tidak bisa tidak. Yakni sekalipun Mungkin tersebut bukan keberadaan indrawi. tapi keAksidenannya bagi Manusia adalah pasti dan tidak bisa diragukan. Sebab, makna Mungkin adalah penegasian dua kepastian dimana hal ini adalah Keharusan bagi Manusia. karena ia bukan Wajib-ada dan bukan pula Mustahil-ada. Inilah yang disebut dongan keaksidenan Mungkin di dalam akal. Sementara di lain pihak, yakni manusia di luar akal, kalau dihubungkan dengan Mungkin itu, jelas ia tidak bisa melepaskan diri. Padahal yang namanya Mungkin itu bukanlah suatu keberadaan indrawi yang nyata. Tapi bagaimana pun ia, yang namanya manusia tidak bisa lepas dari padanya. Hingga dengan ini kalau manusia dihubungkan dengannya, mesti dikatakan bahwa `Manusia yang ada di luar akal itu adalah Mungkin ada'. lnilah yang disebut bahwa manusia di eksternal tersifati dengan Mungkin. Kalau ingin ekstrim, katakanlah bahwa keberadaan mereka di dalam akal, tapi pensifatan mereka di luar akal. lni semua dilihat dari sisi bahwasannya yang dijadikan subyek bagi ketiga Mutu itu adalah esensi sebagai keberadaan dalani akal. Tapi kalau yang kita jadikan subyek adalah keberadaan nyata, maka makna Wajib adalah Keberadani yang mencapai tingkat tertinggi kekuatan dimana ia
  • 22. berdiri'sendiri dan tidak terikat dengari apapun secara zati dan mutlak. Sementara Mungkin artinya adalah Keberadaan yang secara zati bergantung kepada yang lain. _BAHASAN KE LIMA - Bahasan tentang Esensi dan Hukum-hukumnya Pasal: 1 Defiiusi Esenst Esensi adalah Apa-apa yang dijawabkan atas pertanyaan Apa-dia. Dalam banyak peristilahan Esensi ini juga disebut dengan Limit Batasan, Hakikat, dll.. Ia disamping menerangkan hakikat sesuatu -manakala global seperti manusia- atau merincinya - manakala rinci seperti binatang rasional- juga memberikan batasan pada sesuatu tersebut sehingga terbedakan dari yang lainnya. Sementara itu, keaka esensi dapat disifati dengan sifat-sifat yang saiirg bertentangan, seperti satu dan banyak, ada dan tiada, universal dan partikulir dll., maka berarti ia sendiri secara zati dan murni, sepi dari semua sifat-sifat tersebut. Dengan demikian, esensi dari sisi dirinya sendiri, bukan ada dan bukan pula tiada, bukan banyak dan bukan pula satu dll.. Oleh karenanya sebagian berkata bahwa `Kontradiksi,terangkat dari esensi'. Maksudnya adalah bahwa kontradiksi-kontradiksi itu tidak ambil bagian dalam esensi, sekalipun dalam alam nyata ia tidak bisa lepas dari salah satu keduanya. Misalnya, esensi manusia. Secara defaktonya di alam nyata, ia tidak bisa lepas dari ada atau tiada. Tapi dalam, dirinya sendiri yang namanya ada atau tiada itu tidak bisa ambil bagian. Sebab kalau ada yang dimasukkan, berarti manusia menjadi Wajib-ada, dan kalau tiada yang dimasukkan, maka ia menjadi Mustahil-ada. Padahal manusia adalah Mungkin-ada. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa esensi akan berbeda makna pada setiap pemakaiannya. Katakanlah bahwa esensi itu adalah esensi secara murni manakala dipredikati dengan Predikasi Pertama, dan sebaliknya manakala dengan PredikasiKebanyakan. Dan sudah jelas bahwa pada masing-masingnya itu memiliki perbedaan makna dan maksud. Berbeda sekali maksud dari `Manusia adalah bianatang rasional', dengan `Manusia adalah berpendidikan, memiliki tanggung jawab, merugi, dlL
  • 23. Pasal: 2 Sisi sist Parufang Terhadap Esensi Kalau esensi dihubungkan dengan selainnya dapat dikatakan bahwa ia memiliki tiga kondisi: Dengan-,Syarat-Sesuatu, Dengan-Syarat-Tidak, dan Tanpa-Syarat. 1. Dengan-Syarat-Sesuatu adalah keharusan adanya sesuatu yang lain pada esensi. Misalnya ketika mengatakan bahwa `Manusia itu merugi'. Di sini jelas bahwa yang dimaksudkan manusia bukan esensinya secara murni. Tapi esensi yang telah dibubuhi dengan sesuatu yang lain, misalnya kejadian eksternalnya yang telah banyak melakukan pemborosan waktu, umur, sehat, akal, tenaga, harta dll., dan bahkan telah menggunakannya pada selain ketaatan pada Allah. Esensi semacan ini disebut juga dengan-Esensi Bercampur.. 2. Dengan-Syarat-Tidak adalah keharusan dinegasikannya segala sesuatu selain dirinya sendiri dari sebuah esensi. Ini yang selalu diistilihakan dengan Esensi-Murni, esensi dari.sisi dirinya sendiri. esensi dengar, pedikasi-pertama, dll., dimana.tidak lain kecuali- dirinya sendiri. – 3. Tanpa-Syarat adalah dinegasikannya syarat apapun dari esensi. Di sini esensi dipandang secara mutlak. Oleh karenanya bisa dibubuhi dengan sesuatu dan bisa juga tidak. Yang penting bahwa ia tidak dimestikan dengan ada dan tiadanya sesuatu. Dalam hal ini ia disebuat dengan Esensi-Mutlak. Sementara esensi yang dibagi menjadi tiga bagian itu adalah esensi yang dikenal dengan Universal-Natural, yakni esensi yang dapat disifati dengan Universal karena bisa diterapkan pada banyak ( lebih dari satu ) ekstensi atau Wrrjud-Luar/eksternal. Namun jelas, bahwa yang akan menjadi ekstensinya adalah ekstensi-ekstensi dari dua bagian dari ketiga bagiannya tersebut, Esensi-Bercampur dan Esensi-Muthak. Sebab Esensi Murni mensyarati uirinya t. ntuk tidak dicampuri apapun selain dirinya sendiri; dan dirinya sendiri tidak lain adalah dirinya, alias sepi dari ada dan tiada. Dengan demikian maka esensi-Murni ini tidak akan memiiiki ekstensi atau wujud- eksternal Pasal: 3 Zat dan Aksidental (sifat)
  • 24. Makna-makna yang menjadi bagian tak terhindarkan dari sebuah esensi, maka ia adalah Zat, dan yang sebaliknya disebut dengan Sifat atau Aksidental. Aksidental di sini bermakna yang bukan bagian darurat sebuah esensi, yakni cenderung ke dalam artian Sifat dimana dibahas dalam bahasan Lima Universal, bukan Aksiden yang berhadapan dengan Substansi. Aksidental ini memiliki dua macam bentuk -selain bentuk-bentuk lain yang telah dibahas di Logika atau yang akan dibahas di sini setelah ini: Predikasi DenganPenambahan, yaitu 'yang keaksidentalarurya itu memerlukan adanya penambahan sesuatu kepada subyek yang disifatinya, seperti `Yang putih' yang dinisbahkan kepada benda sebagai subyeknya yang kemudian menjadi `Benda ini putih ( baca: yang putih )', dimaaa dalam hal ini jelas perlu penambahan ( baca: adanya ) putih pada benda tersebut; Predikasi DenganLuar Predikat, yaitu yang tidak perlu adanya penambahan tersebut, seperti atas dan bawah yang dinisbahkan kepada lantai. Ada beberapa hal yang membedakan Zat dari Sifat. 1. Tetapnya Zat terhadap esensi tidak memerlukan perantaraan. Berbeda dengan Aksidental. Sebab Zat itu diambil dari diri esensi itu sendiri. Dengan demikian maka tetapnya Zat terhadap esensinya tidak memerlukan perantara. 2. Tetapnya Zat terhadap esensi tidak memerlukan sebab dengan alasan yang sama dengan di atas. Jadi, sebab bagi esensi, tidak menjadikannya esensi lalu memberinya Zat-zat yang dikaadunginya. Tapi dengan -mewujudkannya, berarti sebabnya telah pula mewujudkan bagian bagian Zat yang dikandunginya secara darurat dan otomatis. Oleh karena itu sebab bagi adanya Zat, bukan sebab bagi esensi itu, tapi esensi itu sendirilah sebab bagi mereka. 3. Zat-zat esensi mendahului esensi. secara tertib akal. Karena bagian. mendahului keseluruhannya secara pasti. Sebab kalau tidak, maka bagian adalah keseluruhan. Ini jelas tidak mungkin, karena kontradiksi Pasal 4 Genus, Golongan, Deffrentia dan Kaitannya Esensi-Sempurna yang memiliki efek khusus secara hakiki dan nyata dilihat dari kesempurnaannya, disebut dengan Golongan atau Species, seperti manusia, kuda, singa dll Kemudian, kalau makna-zati-Golongan itu bergabung dengan Golongan lain dalam
  • 25. makna yang lebih luas, maka yang terakhir ini disebut dengan Jenis atau Genus, seperti binatang, benda berkembang, dll. Ketika Golongan golongan itu bergabung dengan lainnya dalam satu Genus, maka mereka perlu dibedakan secara zati pula. Sesuatu yang dijadikan pembeda yang mengkhususkan satu Golongan dari yang lainnya secara zati, disebut dengan Pembeda atau Deffrentia. Masing-masing dari ketiga hal di atas memiliki bagian-bagian. Genus dibagi menjadi Dekat dan Jauh, menjadi Teratas, Tengah dan Terendah. Golongan dibagi menjadi Teratas, Tengah dan Terendah. Dan Pembeda menjadi Dekat dan Jauh. Semua bagianbagian ini telah dirinci dan dijelaskan di ilmu Logika. Kalau kita mendefinisikan esensi Binatang dimana ia adalah Jenis dan di dala-nnya terdapat banyak Golongan, sebagai.`Benda berkembang, perasa dan bergerak dengan kehendak', maka kita bisa juga memandangnya dalam akal sebagai sesuatu yang satu, utuh dan sempurna, dimana hal-hal lain sebagai sesuatu yana berada di luarnya dan bukan merupakan bagiannya. Misalnya manusia/rasional dan kuda, mereka bisa dijadikan pendamping bagi Binatang kalau ia tidak dipandang sebagai suatu yang satu sepenuhnya. Misalnya kalau Binatang tersebut dipandang dengan pandangan mutlak (Esensi-Mutlak ) atau Dengan-Tampa- S`yarat, sehingga menjadi `Binatang yang manusia' atau `Binatang yang rasional', atau `Binatang rasional'. Tapi karena di sini disyarati Dengan-Syarat-Tidak, maka pendamping- pendamping tersebut menjadi sesuatu yang berada di luar esensi Binatang dalam contoh kita ini. Di sini, ia -binatang- merupakan esensi yang menjelaskan keseluruhan -binatang rasional- tapi tidak bisa dijadikan predikat terhadap keseluruhannya itu, misalnya dengan mengatakan bahwa `Manusia adalah binatang' atau `Binatang rasional. itu adalah binatang'. Begitu pula ia -binatang- tidak bisa dijadikan predikat untuk bagian lainnya yang dapat dijadikan pendamping baginya itu, yaitu rasionaL Misalnya dengaa mengatakan. bahwa `Rasional adalah binatang'. Dalam. keadaaa seperti ini, esensi disebut sebagai Matter atau Bahan, dan berposisi sebagai Sebab-Bahan bagi keseluruhannya. Yakni, Binatang -dalam contoh di atas- adalah sebab-Bahan bagi `Binatang rasional'. Tapi, kita bisa memandang esensi Binatang itu sebagai pendamping bagi Golongan- golongan yang dicakupinya. Misalnya memandangnya sebagai Binatang yang ada pada manusia, kuda, harimau dll.. Di sini, esensi Binatang ini, dipandang sebagai esensi yang belum utuh dan sempurna, kecuali kalau sudah didampingi dengan Pembeda. dari Golongan-
  • 26. golongannya, misalnya `Binatang rasional' sebagai esensi Manusia. Esensi dalam pandangan ke dua ini disebut dengan Jenis, dan yang membedakannya disebut dengan Pembeda. , Kedua sisi pandang yang terjadi pada bagian persamaannya -seperti binatang-. di atas, terjadi pula pada bagian pengkhususnya -seperti manusia/rasional, kuda, dll.. Oleh karena itu sesuai dengan pandangarr pertama -utuh dan sempuma- pengkhususus ini disebut dengan Bentuk atau Form. Di sini, ia _ merupakan bagian yang tidak bisa dijadikan predikat pada keseluruhannya dan juga ' pada bagian lainnya. Misanya Raslonal, ia tidak bisa dijadikan predikat untuk keseluruhannnya, yaitu Manusia atau `Binatang rasional', dan tidak pula untuk bagian lainnya, yaitu Binatang dimana kini ia berfungsi sebagai keutuhan atau Matter, sesuai dengan pandangan. pertama terhadapnya itu. Jadi, kita tidak bisa mengatakan bahwa `Binatang adalah rasional' atau `Manusla adalah rasional' atau `Binatang rasional adalah rasional' Tapi kalau kita lihat pengkhusus itu dengan pandangan ke dua, yakni sesuatu yang kurang dan merupakan pelengkap bagi yang lain, katakanlah Dengan-Tanpa-Syarat, maka ia disebut dengan Pembeda yang melengkapi dan merealitaskan Jenis. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa: 1. Jenis adalah Golongan yang belum jelas dan terealisasi, sedang Pembeda adalah Golongan yang sudah jelas dan terealisasi. 2. Gabungan Jenis dan Pembeda mempredikati Gologan dengan Predikasi-Pertama. Dan hubungan antara keduanya adalah bahwa Jenis sebagai Aksidental-umum bagi Pembeda, dan Pembeda sebagai Aksidental-Khusus baginya. Keduanya saling mempredikati dengan Predikasi-kebanyakan. 3. Tidak mungkin adanya dua Jenis dan dua Pembeda dalam satu tingkatan untuk satu Golongan. Sebab kalau tidak, berarti satu Golongan adalah dua Golongan pada waktu, sisi dan tempat yang sama. Dan yang demikian adalah mustahil karena melazimi kontradiksi. 4. Jenis dan Matter adalah sama persis secara kenyataan dan zat, tapi berbeda dari sisi pandangnya. Kalau Jenis dipandang Dengan,S`yarat-Tidak, maka ia adalah Matter/bahan, dan Matter kalau dilihat secara mutlak atau Dengan-Tanpa-Syarat, maka ia dikatakan Jenis.. Begitu pula dengan Pengkhusus, kalau dilihat Dengan-Syarat-Tidak, maka ia adalah Bentuk/form, dan kalau dilihat DenganTanpa-Syarat, maka ia dikatakan sebagai Pembeda. .
  • 27. 5. Matter dan Form, ada dan nyata di eksternal, manakala hanya adalah substansi material atau bendawiah. Oleh karena itu keduanya diambil dari keberadaan luar akal ( eksternal ). Setelah itu ketika akal memandangi keduanya sebagai TanpaSyarat, maka mereka disebut dengan Jenis dan Pembeda. 6. Aksidental eksternal adalah keberadaan yang sederhana dimana tidak memiliki gabungan Bahnt/matter dan Bentuk/form. Karena itu, perbedaan mereka kembali kepada persamaannya. Akan tetapi karena akal menemukan pada diri mereka persamaan dan perbedaan, maka ia menjadikan penemuannya itu sebagai Jenis dan Pembeda. Lalu setelah itu memandanginya sebagai Dengan-Syarat-Tidak, maka jadilah mereka itu Matter dan Form secara dalam akal atau internal, bukan eksternal. Pasal 5 Sebagian Hukum Pembeda Salah satu pembagian Pembeda adalah dibaginya menjadi dua bagian: PembedaLogika dan Pembeda Kepunyaan: 1. Pembeda_Logika adalah paling khusus dan dikenalnya Aksidental-Lazim (Universal-Sifat lazim ) yang diaksidentalikan/disifatkan kepada sebuah Golongan. Ia biasa diletakkan dan diposisikan sebagai Pembeda hakiki dalam sebuah Golongan dikarenakan susahnya mencari Pembeda, pada umumnya. Seperti Rasional untuk manusia dan Meringkik untuk kuda. Sebab, Rasional bisa dikatagorikan sebagai Kwalitas-jiwa, sebgaimana sebagian berpendapat. Baik diartikan dengan `Berfikir', atau `Kemampuan menyimpulkan- universal'. Dan kalau benar ianya adalah aksiden, maka bagaimanapun, ia memerlukan kepada Subyek yang memilikinya atau Obyek/partner yang ditumpanginya. Oleh karenanya ia bukanlah Zat penentu bagi sebuah substansi. Begitu pula dengan meringkik. Maka dari itu kadangkala lebih dari satu Pembeda dijadikan satu 4 Pembeda dalam satu Golongan,. seperti `Perasa' dan `Bergeruk dengan kehendak' yang dijadikan Pembeda untuk Binatang, padahal sudah_dikatakan di atas bahwa Pembeda itu tidak mungkin lebih dari satu dalam satu tingkkatan untuk sebuah Golongan. Adanya dua Pembeda yang dijadikan satu itu menunjukkan bahwa mereka atau salah satunya adalah Aksidental-Lazim, bukan Pembeda yang hakiki yang merupakan Zat yang tidak bisa tidak harus dipunyai oleh sebuah Golongan atau Substansi. 2. Pembeda 1Kepunyaan adalah Pembeda yang diambil dari Pembeda-logika lalu dibubuhi
  • 28. dengan kata Yang Punya. Misalnya, `Manusia adalah binatang Yang Punya rasional', `Kuda adalah binatang Yang Punya ringkikan Tambahan 1. Hakikat sebuah Golongan adalah Pembedanya. Hal itu dikarenakan bahwa Pembeda yang paling akhir ( Manusia adalah benda berkembang, perasa, bergerak dengan kehendak dan rasional ), tidak lain dan tidak bukan, adalah Penentu identitas dan Perealita bagi sebuah Golongan yang memilikinya, sedang Jenis jenis dan Pembeda pembeda yang lainnya hanyalah sebagai pemberi identitas globalnya. Oleh karena itu selain Pembeda akhir tersebut dimiliki olehnya atau terkandung di dalarnnya secara global dan realita Jadi Rasional, mengandungi kebendaan, keberkembangan, ke-pe-rasa-an dan . kebergerakan dengan kehendak. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa keGolongannya Golongan, sebenarnya, hanya disebabkan olehnya (Pembeda-akhir ), dan begitu pula bertahannya sebuah Golongan: Maka dari itn tidak heran kalau sebuah Golongan itu tetap bertahan manakala Pembedanya tetap ada, sekalipun sebagian Jenisnya, atau sekalipun Bentuknya, yakni Pembeda Dengan-Syarat-Tidak, sudah berpisah dari Bahannya, yakni Jenis Dengan-Syarat- tidak. Seperti manusia yang sudah mati dimana sudah meninggalkan badannya, dimana berarti sudah tidak lagi bisa dikatakan sebagai benda, berkembang, perasa dan bergerak, dengan kehendak. Namun demikian, karena kerasionalannya tetap ada, maka ia tetap sebagai manusia. 2. Pembeda - tidak dibawah naungan Jenisnya. Artmya Jenis iiu tidak bisa diambil - untuk dijadikan •bagian Zat dari Pembedanya. Sebab kalau tidak, berarti ia perlu lagi kepada Pembeda, dimana-Pembeda ini juga perlu kepada Pembeda yang lain, dan begitu seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil. Misalnya rasional. Kalau rasional ini dibawahi oleh Binatang berarti ia -rasional- perlu kepada Pembeda supaya bisa dibedakan dari yang lainnya. Kemudian Pembeda ke dua ini -Pembeda bagi rasional- perlu kepada Pembeda lagi karena ia dibawahi oleh Binatang sebagaimana sebelumnya. Begitu seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil, karena akan berakhir pada ketidak terbatasannya yang terbatas. Sebab ketika kita melihat Pembeda pertama, maka ia adalah ujungnya. Dan sesuatu yang berujung, pasti terbatas, karena tidak mungkin tidak ada pangkalnya. Sementara kalau silsilah Pembeda itu dikatakan tidak terbatas, berarti ia tidak berujung dan berbatas.
  • 29. Pasal: 6 Golongan dan Sebagian Hukumnya Bagian-bagian dari Esensi Golongan terealisasi di alam eksternal dengan Satu keberadaan atau wujud. Hal itu karena pemeredikatan antar mereka dan ke atas Golongannya 1ebih utama sementara Golongan ada di alam eksternal dengan satu keberadaan. Akan tetapi di dalam akal, mereka saling berbeda. Ada yang identitas global, ada pula yang identitas-penentu.. Oleh karena itu satu sama lain •saling meng-Aksidental-i; sebagaimana maklum. Dan itulah sangat dikenal pernyataan yang menyatakan bahwa dalam keberadaan yang memiliki GabunganHakiki, yakni Golongan golongan material atau benda yang terdiri dari Bahan/Matter dan Bentuk/Form, gabungan-gabungan itu, satu sama lain, harus memiliki kebutuhan dan ketergantungan hingga menyatu dan menjadi satu secara hakiki. Gabungan Hakiki dapat dibedakan dari yang bukan hakiki dari hasil penggabungannya. Kalau Hakiki, akan melahirkan esensi-natural yang satu • secara hakiki ( bukan gabungan ) dimana bagian-bagian itu lebur dan menjadi keberadaan yang lain, serta memiliki efek yang lain pula. Gabungan H2 O, dimana melahirkan keberadaan dan esensi serta efek lain dari masing- masing unsurnya itu, yakni air, akan berbeda dengan gabungan unsur-unsur rumah yang menjadi rumah. Dari sinilah dapat diketahui bahwa gabungan Bahan dan Bentuk adalah gabungan pen- satuan, bukan penggabungan atan penambahan. Kemudian, salah satu dari ciri Esensi Golongan ini, adalah sebagiannya memiliki Banyak ekstensi dan . sebagian lainnya Satu ekstensi saja. Yang pertama adalah Golongan-golongan yang memiliki hubungan dengan Materi., seperti manusia, pohon, harimau, dll., dan yang ke dua keberadaan Non-materi, seperti Akah-satu sampai AkalTerakhir ( tidak berbeban dan tidak bersifat dengan sifat materi ), dan makhluk makhluk Barzakh (tidak berbeban tapi memiliki sifat-sifat materi ). HaI itu karena sebab bagi banyaknya ekstensi-ekstensi itu tidak keluar dari dua hal: Pertama, hal-hal yang berhubungan dengan Zat, apakah sebagiannya -seperti Binatang bagi manusia- atau keseluruhannya -seperti Binatang rasional- atau setidaknya yang berhubungan dengan ke-Lazimannya _( Aksidental-Lazim, seperti ganjil bagi tiga ). Ke dua, hal-hal yang berhubungan dengan Aksidental--Tidak I,azim. Kalau yang Pertama, berarti tidak akan pernah terjadi Satu: Sebab setiap ditemukan Golongun tersebut, maka ia Banyak. Hal tersebut karena,Banyak merupakan Zat atau Kelaziman
  • 30. darinya. Sementara kaiau tidak terjadi Satu, maka tidak mungkin terjadi Banyak. Karena Banyak terjadi dan terdiri dari Satu satu. Kalau yang Ke Dua, maka Golangan yang mau disifati dengan Banyak itu harus memiliki kemungkinan adanya Penambahan dan/atau ke Aksidentalan kepadanya. Dan kemungkinan tersebut hanya ada -pada materi. Sebab, Non-materi adalah wujud de fakto secara keseluruhan, sehingga apa-apa yang dimilikinya merupakan Zat baginya. Oleh karena itu Banyak hanya ada di keberadaan atau Golongan materi, tidak pada non materi. Pasal: 7 Universal, Partikulir dan Keberadaan Ke-duanya Mungkin sebagian orang mengira bahwa Univeral-Partikulir itu terjadi di dalam pengetahuan saja. Yakni, Partikulir terjadi pada Pengetahuan-indra dan Universal pada Pengetahuan-akal. Hal itu karena terangnya pengetahuan-indra membuat yang diketahuinya itil berbeda satu dengan yang lainnya, inilah Pariikulir. Sedang pengetahuan-akal tidak seterang pengetahuan-indra. Oleh karenanya ia samar dan kabur, dan karena itulah bisa diterapkan pada lebih dari satu ekstensi, inilah yang disebut Universal. Kalau ke-Universalan sesuatu itu karena kesamarannya, maka dia secara hakiki bukan Universal. Padahal kita memiliki pahaman Universal itu secara nyata dan hakiki, seperti pahaman Manusia. Begitu pula proposisi yang bersifat Universal, seperti `Semua enrpat itu genap', `Setiap yang terbatas itu bersebab', `Semua manusia itu rasional', dll., tidak memiliki kebenaran kecuali pada satu ekstensinya saja. Ini jelas mustahil Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa Universal-Pariikulir adalah suatu keberadaan yang menyertai Esensi di dalam akal. Pasal: 8 Perbedaan Esensi dan Individuasinya Perbedaan Esensi dari esensi yang lain di dapat dari bagian pengkhusus atau pembeda dari dirinya sendiri, seperti Rasional pada esensi Manusia. Sementara Individuasinya didapat dari keindividuanny yang tidak dapat diterapkan pada individu yang lain. Yakni manakala esensi tidak lagi bisa diterapkan pada ekstensi yang lainnya, seperti Jeko.
  • 31. Dengan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Perbedaan adalah sifat tambahan bagi esensi, tidak pada Individuasi yang merupakan hakikat dirinya. 2. Perbedaan tidak menolak Universal. Sebab penambahan Universal ke atas Universal yang lain, tidak menyebabkan Indivtduasi. Itu kalau dalam Perbedaan yang disertai penambahan. Misalnya penambahan Rasionai keatas Binatang, atau penambahan Tinggi-rendah ke atas Manusia. Semua ini tidak melahirkan keIndividuan bagi esensi. Ada lagi. perbedaan esensi yang tidak memerlukan penambahan, seperti Jenis-Tinggi. Di sana juga tidak menolak ke-Universalan, karena dia berada di puncak klasemen pahaman. Berbeda dengan Individuasi yang sudah pasti menolak ke-Universalan. Karena ia adalah satu eksternal yang tidak bisa diterapkan kepada keberadaan lain sekalipun dalam satu esensi. 3. Indivuasi dalam keberadaan Non-materi adalah merupakan kelaziman Golongannya. Karena Golongan yang ada pada keberadaan Non-materi hanya memiliki satu individu saja dan tidak mungkinnya terdapat Banyak di sana, sebagaimana maklum. Sedang Individuasi pada keberadaan Materi, • maka sebagian orang mengatakan bahwa hanya terjadi karena penambahan Aksidental kepadanya. Seperti Tempat, waktu, Posisi dll. yang ditambahkan kepada Manusia, misalanya, hingga menjadi Manusia di Tempat fulan, Waktu fulan, Posisi fulan. Akan tetapi hal ini sebenarnya, bukanlah individuasi. Sebab penambahan Universal, seperti waktu tertentu, tempat tertentu, tinggi tertentu, d1l., kepada Manusia yang juga Universal, tidak akan pernah menghasilkan Individu. Yang benar adalah bahwa Peug-Individuan Golongan materi adalah dengan keberadaan eksternalnya. BAHASAN KE ENAM Bahasan tentang Sepuluh Kategori ( Genus-Tertinggi,tumpuan akhir semua Golongan ) Pasal: 1 Definisi Substansi dan Aksiden Esensi dibagi dengan pembagian pertama menjadi Substansi dan Aksiden. Karena Esensi
  • 32. terkadang dijumpai dalam Subyek, dan terkadang sebaliknya. Dengan demikian Esensi- Substansi adalah suatu esensi yang kalau dijumpai dalam eksternal tidak dalam subyek tertentu yang memerlukannya. Baik subyek tersebut sama sekali tidak ada, seperti pada keberadaan esensi Non-materi yang tidak memerlukan subyek, atau ada tapi subyek tersebut juga memerlukannya, seperti Bentuk/Form dari keberadaan Natural - materi- yang harus berada dalam Bahan/Matter yang juga memerlukannya karena tanpa form ia tidak akan terealisasi, sebgaimana maklum. Sedang Esensi Aksiden adalah suatu esensi yang kalau dijumpai di eksternal dijumpai dalam subyek yang tidak memerlukannya. Seperti esensi Jauh dan Dekat yang ada pada/antara benda-benda; Berdiri dan Duduk, Membelakangi dan Menghadap yang ada pada manusia, dll.. Esensi-Aksiden ini terdiri dari semblian macam. Mereka adalah Kategori dan Jenis- tertinggi. Pahaman Aksiden bagi mereka adalah Aksidental-Umum, karena tidak ada Iagi Jenis yang lebih tinggi dari mereka. Begitu pula pahaman Esensi bagi SepuluhKategori. Ia adalah Aksidental-Umum dan bukan Jenis. Sembilan Kategori Aksiden itu adalah Kwantitns, Kwalitas, Di Mana, Kapan, Posisi, Milik, Hubungan, Aksi dan Interaksi. Sebagian menganggap bahwa Aksiden itu hanya Tiga macam, karena tujuh Aksiden terakhir itu dijadikan satu Aksiden saja, yaitu Aksiden- Hubungan, karena semua itu hasil dari penghubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain, misalnya penghubungan benda dengan waktu disebut dengan Kapan, dengan tempat jadi Di Mana, dst.. Dan Syekh Isyrooq menambahkan Gerak, sehingga Kategori menjadi Lima: Substansi, Kwalitas, Kwantitas, Hubungan dan Gerak. Pembahasan rinci terhadap perbedaan pandangan itu ditunda pada pembahasan filsafat yang lebih rinci. Pasal:2 Pembagian Substansi Substansi dibagi dengan pembagian awal menjadi Lifna: Bahan/mutter, Bentuklform, Benda, Jiwa/ruh, dan Akal. Akal adalah `Substansi yang non materi secara Zat dan Aktifitas'. Jiwa adalah `Substansi y arg non materi secara Zat, tapi tidak dalam aktifitanya'. Bahan adalah `Substansi vang mengemban potensi'. Bentuk adalah `Substansi yang men- de faktokan Bahan. Dan Benda adalah `Substansi yang memiliki tiga dimensi ( panjang, lebar dan tebal, alias volume )'.
  • 33. Masuknya Bentuk pada pembagian di atas adalah secara aksidentai atau berikutan. Karena Bentuk adalah Pembeda yang dipandang Dengan-Syarat-Tidak, sementara Pembeda bagi Substansi tidak dinaungi oleh Substansi itu, sebagaimana maklum. Yakni, Pembeda bagi Jenis, tidak di Jenisi oleh Jenis tersebut, karena akan memerlukan kcpada Pembeda yang lain hingga tidak terhingga, hal mana yang demikian ini adalah mustahil. Begitu pula dengan Jiwa, dengan alasan yang,sama. Yaitu bahwa Jiwa/ruh, adalah Bentuk bagi Substansi Golongan yang memilikinya Dan Bentuk, sebagaimana maklum, adalah pe, mbeda yang dipandang Dengan-Syarat-Tidak. Pasal: 3 Benda Tidak diragukan, bahwa di sekitar kita terdapat banyak Benda yang beraneka ragam, apa memiliki kesamaan dari sisi ke Benda-annya yang merupakan bentangan panjang, lebar dan tebal. O1eh karena itu dapat dikatakan bahwa Benda adalah Sustansi yang memiliki tiga dimensi atau volume. Benda. secara indrawi adalah sesuatu yang kelihatan utuh dan satu. Lalu, apakah pada Hakikatnya Benda itu demikian, atau tidak? Kalau yang pertama, apakah bagian-bagiannya yang masih potensial itu, bisa dibagi hingga tidak terbatas, atau tidak? Dan kalau yang ke dua, apakah bagian-bagiannya yang defakto itu, yaitu bagian yang tidak ierbagi, tidak bisa dibagi secara eksternal dan hanya internal saja, atau tidak? Dalam hal ini ada lima pandangan: 1. Benda itu adalah satu keutuhan secara hakiki sebagaimana terlihat oleh indra, dan ia memiliki bagian-bagian secara potensial dan bagian-bagian itu memiliki akhir. Pendapat ini dinisbahkan kepada Syahristani. 2. Benda itu adalah satu keutuhan sebagaimana terlihat mata, ia bisa dibagi secara tidak terbatas atau tidak terhenti secara eksternal. Dan kalau sudah sampai pada bagian terkecil yang tidak bisa dibagi karena tidak adanya alat, maka ia bisa dibagi secara bayangan/khayal. Kalau bagian bayangan ini sudah sampai ke batas kemampuan bayangan atau khayalan hingga tidak lagi bisa dibayangkan, maka akal bisa membaginya terus dengan kaidah akalnya, yaitu bahwa setiap yang memiliki volume, bisa dibagi hingga tidak terhingga, karena bagian volume tetap merupakan volume, sekalipun kecil dan tidak tidak terlihat dengan mata dan khayal. Pandangan ini dinisbahkan pada Filosof.
  • 34. 3. Benda adalah kumpulan dari bagian-bagian terkecil yang tidak bisa dibagi secara eksternal, bukan internal -khayal dan akal. Pandangan ini milik Democrites. 4. Benda adalah gabungan dari bagian-bagian kecil tak terbagi, baik secara eksternal, khayal dan akal. Bagian-bagian terkecil itu hanya bisa diisyarahi secara indra dan antara satu sama lainnya memiliki jarak/jedah yang bisa dilewati alat pemotong. Pandangan ini milik mayoritas Ulama Kalam ( teolog ). 5. Benda itu gabungan dari bagian-bagian yang tidak bisa dibagi, tapi pembagiarnya itu bisa sanipai tidak terbatas. Membatalkan pandangan Empat dan Lima bisa dengan mengatakan bahwa apakah bagian-bagian yang tidak bisa dibagi itu memiliki volume atau tidak? Kalau tidak memiliki, maka penggabungannya tidak mungkin melahirkan volume, secara pasti. Kalau sebaliknya, maka sudah pasti bisa dibagi secara khayal dan akal, sekalipun di eksternal tidak bisa dibagi karena kecilnya dan tidak ada alat untuk memotongnya. Lagi pula, kalau bisa dibagi secara tidak berhenti atau tidak terhingga, maka benda tersebut akan menjadi bcsar secara tidak terhingga pula. Karena kumpulan tidak terhingga adalah tidak terhingga pula. Dan ini jelas mustahil, sebab volume mestilah terhingga. Untuk membatalkan pandangan ke Dua, kita dapat dengan mudah mengambil kenyataan fisika yang tidak bisa ditolak bahwasannya benda itu merupakan gabungan dari atom-atom yang terdiri dari Proton dan Neutron yang satu sama lain memiliki jarak. Jarak ini dapat dijadikan bukti bahwa benda itu bukanlah satu keutuhan sebagaimana terlihat mata. Dan untuk membantah pandangan Pertama, kita dapat membantahnya dengan bantahan untuk pandangan ke Dua, Empat dan Lima. Karena ia merupakan pandangan yang bisa dikatakan bahwa ia merupakan gabungan dari pandangan-pandangan itu. Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Benda yang didefinisikan dengan Substansi yang memllfki tiga dimensi dan utuh adalah benar dan ada. Tapi ekstensinya Adalah benda terkecil yang merupakan bagian-bagian pemula bagi Benda-Golongan, bukan Benda- Golongan itu sendiri. Ini adalah pandangan Democrites Pasal: 4 Pembuktiun Bahan-Pertama dan Bentuk-Benda
  • 35. Benda sebagaimana Benda, yakni Yang memiliki Tiga dimensi, adalah kenyataan defakto yang tidak bisa diingkari. Tapi di lain pihak ia selalu siap untuk menerima BentukGolongan dan berikutan-berikutannya, segerti Golongan-natural atau species, aksiden, dll.. Dari sisi ke dua ini ia dikatakan Potensi. Sementara kita tahu bahwa de fakto berbeda dengan potensi. Karena de fakto adalah keberadaan dan potensi adalah ketiadaan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Benda memiliki Potensi uniuk Benda-Pertama dimana ia tidak memiliki ke de faktoan apapun kecuali ke de faktoan Potensinya. Sementara yang membuatnya -Benda- Pertama- de fakto dan menjadi realita adalah Bentuk-Bendanya. Ketika Benda-Pertama memiliki dua dimensi, de fakto dan Potensi, dan kita tahu bahwa Potensi adalah suatu sifat atau aksidental, maka ia harus berada dalam zat yang memilikinya. Zat dan substansi itulah yang disebut dengan BahanPertama. Dengan demikian, maka terbutilah bahwa Bahan Pertama Benda itu memang ada. Dan dengan ini pula telah menjadi terbukti bahwa Bentuk--Benda juga ada, karena ialah yang telah mejadikan Bentuk-Pertama itu eksis dan ada. Kesimpulannya adalah: 1. Bahan atau Matter yang ada di dalam Benda, katakanlah Benda terkecil, disebut dengan Bahan atau Matter-Pertama. 2. Bahan Perlama ini bersama dengan Bentuk-Benda, selalu siap untuk menjadi Bahan bagi Bentuk Golongan yang akan mendatanginya dimana ruereka dengan itu dikenal dengan Bahan Ke dua. Sangkatan Sebagian filosof mengingkari keberadaan BahanPertama itu,Dan kami mengikuti mereka mengingat bahwa argumen mereka lebih kuat dari yang menerima keberadaannya. Misalnya, ketika Benda-Pertama harus memiliki Potensi pada tahapan sebelumnya yang disebut dengan Bahan Pertama, maka Bahan-Pertama ini juga harus memiliki Potensi itu seperti keberadaan Benda Pertama. Jadi Bahan-Pertama harus memiIiki Potensi pada tahapan sebelumnya. Dan sudah tentu bahwa Potensi ini juga harus, memiliki Potensi sebelumnya sebagaimana yang pertama. Begitu seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil, lantaran Potensi pertama itu adalah ujung dari arah de faktonya, sementara yang berujung tidak mungkin tidak berpangkal. Jadi secara pasti. tidak mungkin silsilah Potensi itu berentet sampai tidak terbatas.
  • 36. Dalil penolakan lainnya adalah, kalau Potensl untuk menjadi Benda Pertama itu ada, berarli ia telah ada tanpa ke-de-jaktoan apapun. Para penerima keberadaan BahanPertama inipun mengatakan bahwa ke-de-faktoan Bahan Pertama sebagai Potensi untuk menjadi Benda Pertama, adalah bahwasaannya ia adalah Potensi. Yakni bahwa ke-de faktoan Potensi, adalah Potensinya itu. Ini jelas, sulit diterima, karena Potensi dan De Fakto adalah dua hal yang kontradiksl. Yang ke dua, bahwa perkataan ke-defaktoan Notensi adalah ke-Potensian Potensinya, adalah perkataan yang menyalahi makna dari Potensi itu sendiri. Sebab, ketika dikatakan Potensi, berarti ia belum ada dan belum de fakto. lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ia adalah de fakto? Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa Bahan Pertama atau Potensi untuk menjadi Benda-Pertama itu, tidak ada. Dan yang ada hanyalah Benda-Pertama, dimana ke-de faktoannya adalah dengan tiga dimensinya, yang kemudian dikenal dengan Bahan- Ke dua itu. Kemudian, karena ia adalah Bahan-Ke dua, maka dari sisi inilah ia tersebut dengan Potensl, yaitu bagi Bentuk-bentuk yang akan datang. Jadi, penyebab bagi keberadaan Benda Pertama telah mewujudkannya dengan tanpa adanya Potensi terlebih dahulu. Karena sebelum itu, tidak ada keberadaan apapun hingga dapat mengembannya. Pasal: 5 Pembuktian Bentuk-Golongan Kita dapat melihat di alam eksternal adanya Benda-benda yang berniacam-macam dilihat dari sisi Aksi dan Interaksi. Dan sudah pasti bahwa perbedaan-perbedaan itu memiliki sumber atau sebab substansial. Karena kalaupun sebabnya adalah hal-hal yang bersifat Aksidental, maka ia memerlukan Partner atau Obyek yang ditumpanginya dimana harus merupakan substansi juga. Ketika sebabnya adalah substansi, di sini ada dua pilihan: Bahan-Pertama ( bagi yang mengakui keberadaannya ), Benda-Pertama ( bagi yang tidak mengakui keberadaan Bahan Pertama ), atau Bentuk-Golongan. Kalau yang kita pilih adalah Bahan Pertama, maka ia tidak lain kecuali ke-Potensian. Dan Potensi adalah bukan keberadaan hingga dapat memberikan Aksi dan Interaksi pada suatu Benda. Begitu pula kalau yang kita pilih adalah Benda Pertama, maka dari sisi Ke Bahan Pertamaannya ini, semua Benda adaiah sama persis. Karena
  • 37. definisinya adalah `Sesuatu yang memiliki tiga dtmensi'. Dilihat dari sisi ini, maka semua Benda adalah sama, sementara yang kita mau cari adalah sebab dari perbedaan Aksi dan Interaksl semua Benda. Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa sebab yang membedakan Aksi dan Interaksi semua Benda itu adalah Bentuk-Golongannya. Tambahan 1. Pertama sekali yang terjadi dari/setelah Benda-Pertama dimana ia merupakan titik kesamaan antara semua Benda, adalah Benda dengan Bentuk-Golongannya yang berupa Unsur- unsur natural. Di dalam ilmu ftsika-tradisional, Unsur-unsur itu ada empat macam saja: Tanah, Air, Udara dar. Api. Tapi sekarang sudah ditemukan jauh lebih banyak dari itu, yakni lebih dari seratus Unsur dasar. Lalu, Benda yang telah berbentuk dengan Bentuk-Unsur itu menjadi Potensi dan Bahan, bagi Bentuk bentuk lain yang akan mendatanginya, seperti Manusia, Kuda, Ular, dll.. 2. Dengan uraian terdahulu dapat dikatakan bahwa setiap Benda, apapun Bentuknya, ia selalu memiliki dua hal: Ke-De faktoan dan Ke-Potensian. Yakni Ke De faktoan dirinya yang sekarang, apakah ia adalah Benda-Pertama, GolonganUnsur, atau Golongan golongan berikutnya; dan Ke-Polensian bagi Bendtkbentuk lain yang akan mendatanginya, apakah Golongan-Unsur bagi BendaPertama, Golongan-Manusia bagi Golongan-Unsur, dan seterusnya. Pasal: 6 Bahan/Matter yang ada pada Benda-Pertama, yakni Substansi yang mengemban Potensi untuk menjadi Benda atau Golongan lain, saling terkait dengan Bentuk-Benda- pertamanya tersebut. HaI itu karena Bahan adalah Potensi, dan Potensi adalah ketiadaan alias belum berupa kenyataan bagi apa-apa yang di-Potensikan itu. Oleh karena itu, keberadaannya mestilah diemban oleh ke-de faktoan substansi lain yang inenyatu dengannya dan yang telah memberikan rupa dan Bentuk kepadanya. Karena setiap apapun, tidak akan eksis dan nyata tanpa ke-de faktoan. Dengan ini menjadi nyata hahwa Bentuk-Benda itu merupakan ke-yaknian yang tidak bisa tidak. Di lain pihak, kita melihat bahwa Benda yang telah di-de faktokan oleh Substansi-
  • 38. Berrtuk Benda itu memiliki kekuatan atau kemampuan untuk berubah menjadi substansi lain, yakni dengan menerima Bentuk - Bentuk berikutnya, seperti Unsur dan Golongan. .jadi, disamping ke-de faktoan, ia memiliki Potensi. Dengan demikian maka jelas sekali bahwa Bentuk-Benda tidak mungkin ada tanpa ditemani oleh Potensinya. Dan Potensi ini adalah suatu sifat yang harus diemban oleh sebuah Substansi. Substansi pengemban Potensi itulah yang disebut dengan Bahan. Jadi, Bentuk yang merupakan ke-De faktoan dan ke-Kinian bagi sebuah Substansi, akan selalu bersama dengan Bahan yang mengemban ke-Po!ensiannya untuk menerima Bentuk lain di masa datang. Pasal: 7 Bahan dan Bentuk Saling Memerlukan Penjelasan globalnya dari saling perlunya Bahan dan Bentuk adalah bahwa gabungan antara keduanya adalah gabungan hakiki dan naturali dimana melahirkan satu esensi secara hakiki dan naturali juga. Tidak seperti kesatuan pruduksi yang sebaliknya, misalnya kesatuan rumah, mobil, dll.. Kerinciannya adalah bahwa Bentuk ( baca: selain Bentuk Pertama ), akan selalu ada mankala didahului oleh Potensi yang diemban oleh keberadaan sebelumnya. Seperti Bentuk Mani yang didahului oleh Daging, misalnya, sebagai pengemban Potensinya. jadi daging, yang merupakan gabungan dari Bahan dan Bentuk-Daging, merupakan bahan bagi Bentuk Mani yang akan mendatanginya. Dengan demikian maka setiap bentuk selalu memerlukan kepada Bahan yang mengemban Potensinya sebelum ia terjadil Perlunya Bentuk kepada Bahan juga bisa dilihat dari sisi ke-individuannya, alias ke- ekstensiannya secara khusus. Sebab ketika Bentuk itu ingin eksis di alam eksternal, ia melazlmi Aksiden-aksiden khusus yang membedakannya dari yang lain dilihat dari aksiden-aksiden itu. Misalnya, Di mana, Posisi, Kapan, dll.. Dan Aksiden-aksiden khusus semacam ini tidak mungkin bisa eksis tanpa adanya Bahart/Matter/Material. Sementara itu, Bahan sangat tergantung kepada Bentuk yang telah mengaktualkannya. Dan bahkan ia Bahan- memerlukan Bentuknya itu bukan hanya dikala mau eksis saja, tapi disaat ingin tetap eksis, juga tetap memerlukannya. Sebab, Bentuk adalah ke-De faktoannya. Namun demikian, bukanlah Bentuk itu merupakan Sebab-Lengkap atau Sebab Pemberl baginya, karena
  • 39. ia juga memerlukan Bahan dalam ke-Golongannya dan ke-Individuannya. Ia hanya merupakan Sebab-Bagian, dan Syarat bagi ke-De faktoan dari keberadaan Bahan. Dan Sebab Pemberinya adalah Wujud non rrrateri dimana ia yang telah mewujudkannya dilengkapi dan dijaga dengan Bentuk-bentuk yang saling berganti. Debatan/sanggahan: 1. Ketika anda mengatakan bahwa Sebab-Pemberi telah mewujudkan Bahan yang dijagakan kepada Bentuk Bentuk, berarti Bahan di sini adalah Satu secara matematis dan pasti alias tertentukan, dan Bentuk-Bentuk itu adalah SatuGlobal. Di sisi lain, anda mengatakan bahwa Bentuk Bentuk itu adalah SebabBagian dari keberadaan Bahan. Padahal yang namanya Sebab, sudah pasti lebih kuat dari Akibatnya. Sementara kita semua tahu bahwa Satu- matematis lebih kuat dari Satu-global. Lalu bagaimana mungkin Bentuk Bentuk itu menjadi SebabBagian bagi keberadaan Bahan? 2. Kalaulah hal di atas itu kita abaikan, tapi jelas telah terjadi banyak perubahan Bentuk pada Bahan. Dan perubahan itu berarti hilangnya satu Bentuk dan datangnya Bentuk lain. kalau Bentuk itu bagian dari Sebab-Lengkap, maka hilangnya Bentuk berarti hilangnya Sebab Lengkap, karena hilangnya Bagian adalah hilangnya Keseluruhan. Dengan demikian, maka mengambil Bentuk sebagai Sebab-Bagian bagi Bahan, sama dengan menolak keberadaan Bahan itu sendiri. Jawaban: Akan dibuktikan nanti di pembahasan Potensi dan De fakto, bahwa perubahan Bentuk yang terjadi pada Bahan, bukan merupakan pergantian Bentuk dengan Bentuk lain, atau hancurnya satu Bentuk kemudian munculnya Bentuk lain yang menggantikannya. Tapi semua itu terjadi dalam Satu gerakanfperubahan yang berkeselaluan, atau terjadi dalam Satu aliran pe, ubahan, dimana Substansi-Materi bergerak seirama dengan aliran itu, hingga tercipta di dalamnya bafasan-batasan atau stasiun stasiun Bentuk. Jadi, Bentuk-Bentuk itu ada dalam Satu keberadaan hakiki `dan matematis, tapi memanjang. Oleh karenanya dalam Satunya yang jelas dan matematis itu, terdapat Banyak dan keglobalan / samar, sesuai dengan ke Bahanan Bahan dimana artinya adalah kesiapan menerima ke-De faktoan atau Bentuk. Dengan demikian, maka perkataan kita yang mengatakan Bentuk-Bentuk itu adalah satu-global dan merupakan Sebab-Bagian bagi Bahan dilihat dari sisi hinggapnya satu Bentuk secara global ( Bentuk yang
  • 40. .liunrlramakan ) pada Satu-memanjang dengan pembagian. Yakni membagi Satu memanjang itu ke dalam stasiun stasiun Bentuk yang akan dilewati. Pasal: 8 Pembuktian Jiwa/Ruh dan Akal Telah didefinisikan di atas bahwa Jiwa/ruh adalah `Substansi non materi secara Zat, rapi tidak dalam aktifitasnya'. Bukti keberadaan unsur non materi pada manusia adalah ilmunya. Sebab ilmu adalah keberadaan non materi sebagaimana akan dibuktikan nanti di Bahasan Subyek dan Obyek Ilmu. Sebagai isyarah dapat dikatakan bahwa ilmu adalah informasi manusia tentang apa saja yang menyangkut keberadaan atau ketiadaan ( seperti tahu makna tiada ). Sementara keberadaan memiliki dua macam, materi dan non materi. Ketika salah satu ilmu adalah non materi, berarti tidak mungkin ilmu mengenainya adalah materi. Dengan terbuktinya ke-non materian ilmu -walaupun sebagian saja- dapat dipastikan bahwa manusia memiliki unsur non materi dibalik materi atau badannya ini. Unsur non materl manusia itulah yang kita katakan sebagai Jiwa atau Ruh. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa semua ilmu itu non materi. Misalnya dengan bukti bahwa ilmu tentang materipun tidak mungkin dikatakan materi lantaran tidak memilikinya efek materi yang diketahui. Ilmu tentang Api yang ada di dalam manusia, tidak berefek panas sebagaimana Api di keberadaan materinya. Jadi, Api eksternal adalah materi, sedang Api internal adalah non materi. Atau dengan bukti bahwa dalam data atau ilmu manusia tentang keberadaan materi ini, terdapat data-data yang ukurannya jauh melebihi volume manusia. Misalnya ilmu/data manusia tentang Gunung, Langit, Bumi, Pohon, dll.. Kita tidak bisa mengatakan bahwa data-data itu terkumpul dalam materi otak setelah mata menerima gambar mereka yang telah diskala duiu olehnya dalam bentuk yang sangat kecil, lalu setelah itu dikirim ke otak melalui syaraf-syaraf. Sebab kalau mata melihat semua yang lebih besar itu dalam bentuk skala, dan gambar yang sudah diskala ini yang dikirim ke otak, berarti manusia -dengan mata dan otaknya- tidak pernah tahu dan mengerti ukuran sebenarnya mereka. Kalau begitu dari mana ia tahu ukuran sebenariya itu? Dengan terbuktinya sesuatu yang lebih besar telah masuk ke dalam manusia, maka sudah
  • 41. tentu manusia memiliki unsur non materi, karena hukum materi mengatakan bahwa `Yang besar tidak masuk ke dalam yang kecil'. Hal itu karena materi dibatasi dengan ruang, semenatara non materi tidak demikian. Dengan isyarah di atas dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki unsur non materi disamping materi badaninya ini. Dan unsur non materinya itulah yang dikatakan Jiwa atau Ruh Di depan juga sudah didefinisikan bahwa Akal adalah `Substansi non materi secara Zat dan Aktifitas'. Bukti keberadaannya adalah juga pengetahuan dan ilmu manusia. Sebab ketika manusia belum mengetahui, dimana pada tingkatan ini disebut AkalPotensi atau Akal-Bahan, ia belum mengetahui apa-apa yang diketahuinya sekarang. Artinya pada waktu itu ia masih tidak memiliki, karenanya dikatakan Potensi. Sementara ada kaidah yang mengatakan `Yang tak punya tak mungkin memberi'. Dengan kaidah kehendak bisa dikatakan bahwa manusia memberi dirinya sendiri pengetahuan itu. Lalu dari rnana pengetahuan manusia itu datang? Kalau dikatakan dari materi, jelas tidak mungkin juga. Sebab, materi adalah hakikat ketercerai beraian, sementara ilmu adalah kehadiran, yakni kehadiran yang ditahu pada yang tahu. Kalau materi tidak mengerti dirinya karena ketercerai beraiannya itu, bagaimana ia bisa mengetahui selain tanya dan inemberitahu yang lainnya? Lagi pula, kedudukan materi lebih rendah ketimbang non materi. Sedang Ruh dan Ilmu adalah keberadaan non materi yang tak mungkin diefeki materi. Oleh karena itu Mulla Shadra ra. telah mengurai keefekan ,materi pada Ruh yang non materi -seperti panas, manis, harum, dll., dari ilmu-llmu Panca Indra- dengan uraian dimana berakhir pada apa yang diistilahkan dengan Khuduri' ( cinptaan ruh ). Kalau ilmu-ilmu Ruh/Jiwa itu tidak datang dari dirinya sendiri atau materi, lalu dari mana lagi kalau bukan dari substansi yang lebih kuat dari dirinya sendiri, yakni substansi rrotr materi yang tidak memiliki sisi ke Potensian sedikitpun. Dan karena Potensi itu milik materi sebagaimana maklum, make substansi yang memberikan ilmu kepada manusia ini adalah non materi yang tidak berhubungan dengan materi, baik secara Zat atu AktifItas. Inilah yang dinamakan dengan Akal. Lagi pula sudah dikatakan di depan bahwa Sebah-Pemberi bagi Benda adalah substansi non materi yang telah memberi keberadaan Bahan dengan Bentuknya dan menjaganya dengan Bentuk-Bentuk itu.
  • 42. Tambahan Salah satu ciri Substansi adalah tidak adanya Kontra atau Dhiddaan di dalamnya. Karena Kontra atau Dhiddaan adalah dua sifat yang saling bertentangan. Oleh karenanya mereka memerlukan obyek/subyeklpartner untuk dijadikan tempat ajangnya ( dikatakan obyek karena ialah yang disifati; dikatakan subyek, karena ialah yang memiliki sifatsifatnya itu; dan dikatakan partner, karena ia adalah partner bagi mereka ). Sementara Substansi adalah suatu keberadaan yang tidak memerlukan kepada Partner atau Subyek/obyek/partner. Pasal: 9 Kwantitas, Kekhussusan dan. Bagian bagiannya Kwantitas adalah `Aksiden yang bisa nterierima pembagiart secara zati di dalam akal / khayal'. Ia memiliki dua hagian: 1. Menyambung, yakni `Kwantitas yang dimungkinkan uniuk terbagi pada bagian-bagian yang diantara mereka memiliki kesamaan batas, dirnana kalau batas itu dijadikan mik mula bagi yang satu, ta juga menjadi litik mula bagi yang lainnya, dan kalau dijadikan titik akhir, maka ia juga titik akhir bagi yang lainnya'. Seperti Titik ( akhir garis yang hanya bisa diisyarati/ditunjuki saja, karena ia bukan bagian garis, sebab bagian terkecil garis itu tetap merupakan garis antara dua bagian Garis; Garis antara dua bagian Bidang; atau Bidang antara bagian Benda; begitu pula Aan/moment/saadjenaklinstant of time, yang berada antara dua bagian Waktu. Ia memiliki dua bagian: a. Diam, yaitu `Kwantitas Menyamtiung yang bagian bagian yang diumpamakannya berada dalam satu keberadaan dan wujud'. Seperti Garis, Bidang, atau Benda. Ia memiliki tiga bagian: • Benda, alias sesuatu yang berakhir pada Bidang atau memiliki tiga dimenasi. • Bidang, alias sesuatu yang berakhir pada Garis, atau akhir dari Benda yang bisa dibagi dari dua sisi: Panjang dan lebar. • Garis, alias sesuatu yang berakhir pada titik, atau akhir dari pada Bidang yang bisa dibagi hanya dari satu sisi -panjang. b. Bergerak, yaitu `Kwantitas-Menyambung yang setiap saat baglan-bagian yang dimilikinya meninggalkan yang lainnya'. Ia adalah Jaman/Waktu.
  • 43. 2. Terpisah, yakni 'Kwantitas yang tidak mungkin memiliki titik batas yang bisa dipakai oleh bagian-bagiannya secara bersamaan'. Seperti angka Lima. Kepada berapapun ia dibagi, maka tidak akan bisa ditemui batasan yang bisa dijadikan titik mula atau titik akhir bagi bagian-bagiannya secara bersamaan. KwantitasTerpisah ini terwujud karena pengulangan Satu, sekalipun Satu bukanlah Kwantitas karena tidak sesuainya dengan definisi. Dan setiap Kwantitas yang bertamhah karena Satu, dianggap sebagai Golongan tersendiri, karena memiliki efek yang berbeda satu sama lain. Tambahan Orang yang mengatakan bahwa Kosong itu ada, yaitu adanya tempat yang tidak ditempati oleh siapa dan apapun, sama dengan mengatakan bahwa ada volume tanpa Benda yang memilikinya. Ini jelas mustahil, sebab Tempat itu adalah volume Benda. Pelengkap Kwantitas ini memiliki bcberapa hukum yang khusus: 1. Dia tidak memiliki Kontraltadhaad di dalam Golongan golongannya. Sebab mereka tidak mungkin ada dalam satu Subyek/Obyek/Partner. Sementara keberadaan di dalamnya adalah syarat bagi Kontra/Dhlddaan. 2. Dapat menerima pembagian secara de fakto dalam akal / pahaman. 3. `Sama' dan Tidak Sama' adalah sifat khusus bagi Kwantitas, dan disifatkan kepada selainnya rnelaluinya. Yakni setelah selainnya itu disifati dengan Kwantitas, baru setelah itu bisa disifati dengan keduanya, misalnya Tongkat ini sama dengan Tongkat itu, atau lebih panjang darinya. 4. `Berakhir' dan `Tidak Berakhirnya' sesuatupun milik Kwantitas secara khusus, dan disifatkan kepada selainnya dengan berkatnya -sama dengan penjelasan di atas. Pasal: 10 Kwalitas Kwalitas adalah `Aksiden yang secara Zati tidak bisa dibagi dan dihubungkan kepada selainnya'. la dibagi menjadi empatt bagian:
  • 44. 1. Kwalitas; Jiwa, seperti Cinta-bencl, Berani-takut, Pandai-bodoh, Harap-putus asa, dli.. 2. Kwalitas Kwantitas, yakni yang khusus mensifati Kwantitas,seperti Lurusbengkok, Bulat- segi tiga, dll., dari Kwantitas-Menyambung; dan seperti Genapganjil dalam angka yang merupakan kekhususan Kwantitos-Terpisah. 3. Kwalitas-Potensial yang juga dikenal dengan istilah Potensi-Non Potensi. Misalnya Potensi-Besar ( kuat ) untuk ter-Interaksi -misalnya air- atau PotensiBesar untuk tidak ter- interaksi -misalnya batu. Potensi potensi lain yang tidak besarpun adalah bagian dari Kwalitas Potensial ini. Begitu pula PotensiSubstansial yang dikenal dengan Bahan, atau Potensi yang ada pada BendatiaturaJ untuk dijadikan Bendn Pendidikan ( yang tertentukan panjang, lebar dan tebalnya ). 4. Kwalitas-Indrawi, yakni 'Kwalitas-kwalitas yang bisa diindra dengan Panca lndra'. Kalau cepat hilangnya, seperti Merahnya wajalr orang malu atau marah, disebut dengan Interaksi- Sementara, dan kalau abadi, seperti Kuningnya emas, disebut dengan Interaksi-Tetap. Pasal: 11 Kategori-Hubungan Kategori-Hubungan adalah `Esensi-esensi Aksiden yang timbul karena penghubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain'. Mereka ada tujuh macam, yaitu Di mana, Kapan, Posisi, Milik, Hubungan, Aksi dan Interaksi: 1. Di Mana adalah `Aksiden yang timbul dari penghubungan sesuatu dengan tempat, hal mana ia bisa ditempati atau ditinggalkan, bisa dikatakan di sini dan di sana, bisa memiliki posisi dengan diri dan lingkungannya ( seperti tegakterbalik, lurus-bengkok, atas- bawah, depan-belakang, kanan-kiri, d11. ), berukuran dan bisa dlbagi, dan bisa menolak benda lain manakala suatu benda telah menempatlnya'. Para filosof berbeda pendapat mengenai hakikat Di Mana ini. Mereka sampai memiliki enam macam pandangan. Hemat kami, Dt Mana adalah `Hubungan yang terjadi antara Volume Benda dengan Ruang yarrg ditempatinya', atau `Hubungan yang terjndi antara tempat Benda dengan ruang yang didudukinya'. Di Mana ini dalam istilah Ingrisnya disebut dengan Place. Jadi mesti diperhatikan kapan Place itu diartikan Tempat dan kapan diartikan Di Mana. 2. Kapan adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan sesuatu dengan waktu'.
  • 45. Substansi yang ada di dalam Kapan, lebih luas cakupannya dari pada berada di dalam WRktu itu sendiri. Sebab Kapan adalah hubungan sesuatu dengan Waktu. Jadi bisa di dalamnya, seperti Gerak-Substansi atau Gerak Aksiden, tapi bisa pula di Ujung-Waktu (Aanun, Jenak, Saat, Ivioment, Insiant of time, adalah akhir setiap potongan jaman yang diinginkan, yarrg hanya bisa diisyarati saja, oleh karenanya ia bukan jaman, karena kalau bagian akhir jaman,maka ia adalah jaman itu sendiri ), seperti Perpisahan dan Pertemuun dua be„da. 13egitu pula, Kapan, bisa diterapkan kepada Gerak Irisan ( melihat Gerak dengan membagi-baginya kepada bagian-bagian ) atau Gerak Antara ( melihat Gerak antara titik mula dan akhir secara sederhana tanpa pembagiar. ). 3. Posisi adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan bagian sesuatu dengan bagian yang lain, dan seluruhnya dengan lingkungannya'. Seperti Berdiri yang timbul karena penghubungan katakanlah, kepala di atas dan kaki di bawah. 4. Milik adalah `Aksiden yang timbul karena peliputan sesuatu atus sesuatu yang lain, hingga yang meliputi berpindah menakala yang diliputi berpindah'. Seperti peliputan kulit pada manusia ( hal ini disebut Peliputanr Sempurna dan Peliputan-Natural ) dan peliputan baju, cincin, sepatu pada manusia ( hal ini disebut dengan Peliputan-Kurang dan Peliputan-Bukan-Natural ). Hubungan adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan imbal-balik antara sesuatu dengan yang lainnya'. Seperti penghubungan Ayah Anak, Kakak- Adik, Saudara Saudara atau Persaudaraan, dll.. Karena ke Ayalsan ayah disebabkan juga oleh ke Anukan anak. Seorang Ayah tidak bisa dikatakan Ayah kecuali kalau si Anak juga dihubungkan ke dirinya dan dikatakan Anak-nya. Tapi kalau hubungan Rumah dan pemiliknya, adalah hubungan satu arah dan bukan imbal-balik. Oleh karenanya ke Rumahan rumah bukan karena dimiliki oleh pemiliknya, begitu pula sebaliknya. Contoh pertama dan ke dua di atas disebut dengan Hubungan-Tidak Sederajat, dan contoh ke tiganya disebut dengan Hubungan-Sederajat. 5. Aksi adalah `Aksiden yang timbul karena peng-efekan pengefek kepada yang berefek -penerima efek- secara proses/perlahanfwaktu dan selama pengefekan berjalan'. Seperti pemendidihan api terhadap air, penrenruaian api terhadap besi, dll., selama hal itu berlangsung. Dikatakan `secara proses' dalam uraian di atas, supaya tidak melibatkan wujud- wujud non materi dimana pemberi efeknya adalah secara `Kun fa yakuni' alias di luar prose dan waktu.
  • 46. 6. Interaksi adalah `Aksiden yang timbul karena keberefekan yang berefek dari pengefek secara perlahan dan selama hal tersebut berlangsung'. Seperti keberefekan air atau besi dari api. Dikatakan `secara perlahan' yakni dalam janran, karena supaya tidak melibatkan wujud-wujud non materi yang keberefekan mereka secara `sekali jadi', alias di luar waktu. BAHASAN KE TUJUH Bahasan tentang Sebab dan Akibat Pasal : l Pembuktian Sebab-Akibut dan Bahwasannva keduanya dalum Ada/wujud Telah dikatakan dipelajaran terdahulu bahwa Esensi tidak memiliki Ada dan Tiada; dan bahwasannya untuk memiiiki salah satu dari keduanya memerlukan kepada yang lainnva, serta keperluannva kepada yang lain dalam Tiadanya adaiah sesuatu yang tidak rnemiliki makna yang sesungguhnya, karena untuk, menjadi Tiada cukup dengan. Tiadanya wujud lain itu. (' Sebenarnya, Esensi aknl memerluk- an yang lain manakala ia ingin rnenjadi .Ada/wujud- bukan Tlada. Dengan Ini dapat dipastikan bahwa Esensi hanya tergantuntung kepada sesuatu yang` .ada. Karena ke-Tiadaan.. adalah Tiada. Dan Tiada tidak bisa ditergantungi. wujud lain yang dijadikan ketergantungan inilah yang dikenai dengan Sebab, sementara Esensi yang tergantung itu dlkenal dengan nama Akibat. Kemudian, Penjadiant atau Efek yang diberikan oleh .Sebab kepada Akibat itu, bisa dipredisikan dengan tiga keadaan: Pada Esensinya; pada Perubahannya untuk menjadi Ada. atau pada Adanya. Kalau yang pertama. tidak mungkin. karena .Esensi adalah sesuatu yang tidak .Asal dan hanya merupakan Pentabiran/penjelasan Ada. Lagi pula. yang dibincangkan di sini adalah ketergantungan Esensi dalam Adanya, sementara Esensi Sepi dari Ada dan Tiada, sebagaimana maklum. Kalau yang kita pilih adalah Perubahannya lnl juga tidak mungkin. karena Pe'rubahan itu adalah :antara. yakni antara ,ula dan titik tuju. Senneriiiara keberadaan adalah kenyataan yang tidak bisa berdiri antara dua titik keta’biran dan / atau pahaman.