Dokumen tersebut membahas tentang dasar hukum dan peraturan yang berkaitan dengan emisi gas buang kapal di Indonesia, serta struktur organisasi International Maritime Organization (IMO) yang mengatur standar emisi internasional. Dokumen tersebut juga menjelaskan latar belakang dan tujuan dilakukannya survey kepustakaan untuk menyusun rekomendasi penanganan emisi gas buang kapal domestik sesuai standar IMO.
Lecture 02 - Kondisi Geologi dan Eksplorasi Batubara untuk Tambang Terbuka - ...
L4 = data sekunder
1. Dasar Hukum
1. Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran
2. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Kualitas
Udara
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya Beracun
5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan
atau Kegiatan yang tidak memiliki Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup
6. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan.
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia.
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perhubungan
10. Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Tahun KP 901
Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional
11. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Perhubungan.
2. SURVEY KEPUSTAKAAN
Latar Belakang
Survey kepustakaan ini dilakukan dalam rangka menggali informasi untuk
penyusunan rekomendasi penanganan emisi gas buang dari kapal niaga domestic
sehingga dapat memenuhi standar internasional. Pada bagian ini dipaparkan
pengenalan dari sejarah diberlakukannya standar internasional tentang emisi yang
dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO) dalam kesepakatan
MARPOL ANNEX VI. Selain itu akan disampaikan juga tentang apa yang disebut
dengan MARPOL ANNEX VI. Peraturan dan perundang – undangan yang ada di
Indonesia yang berkaitan dengan komitmen pengurangan emisi juga akan
disampaikan. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya implementasi
MARPOL ANNEX VI di Indonesia juga akan disampaikan, selain itu akan
disampaikan upaya yang telah dilakukan oleh negara – negara anggota IMO dalam
penerapan implementasi MARPOL ANNEX VI juga akan dipaparkan. Ulasan
tentang teknologi yang dapat digunakan dalam penurunan emisi juga akan
disampaikan dalam survey kepustakaan ini.
Pengenalan
a. Sejarah Berdirinya IMO
International Maritime Organization (IMO) dibentuk pada tahun 1982
bermarkas di London, Britania Raya. Sebelum IMO dibentuk, pada tahun 1948
diadakan konferensi internasional di Jenewa yang menyepakati pembentukan
3. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 2
suatu badan konsultasi maritim antar pemerintahan yang disebut Inter-
Governmental Maritime Consultative Organization, IMCO. Konvensi IMCO
(sekarang IMO) diberlakukan pada tahun 1958 dan Organisasi ini bertemu
untuk pertama kalinya pada tahun 1959. Badan-badan PBB lainnya juga
dibentuk termasuk Badan Pangan dan Pertanian (FAO) berkantor pusat di
Roma, Kantor Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), keduanya bermarkas di Jenewa. Kemudian pada tahun 1982 IMCO
dirubah namanya menjadi IMO.
IMO selain memiliki tujuan khusus untuk meningkatkan keselamatan di laut
dan pencegahan pencemaran lingkungan di laut, juga bertanggungjawab untuk
mengembangkan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur bagi semua
industri pelayaran, atau merevisi peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur
yang sudah ada sebelumnya. Sampai saat ini IMO beranggotakan 170 negara,
semua Negara anggota tersebut biasanya disebut sebagai Syahbandar / Flag
State, dan tiga Anggota Asosiasi.
Tujuan IMO sebenarnya sebagaimana yang tercantum di dalam suatu Konvensi
dalam artikel 1(a) adalah; "untuk memberikan penggerak kerjasama antar
Negara (States) dalam bidang peraturan pemerintah dan pelaksanaannya
yang berhubungan dengan masalah-masalah teknis dari segala bentuk yang
berkaitan dengan pelayaran yang menggunakan perdagangan internasional:
untuk menganjurkan dan memfasilitasi/memudahkan suatu adopsi umum
terhadap standard-standard praktis tertinggi dalam permasalahan-
permasalahan yang berhubungan dengan keselamatan di laut, efisiensi ketika
melakukan navigasi serta pencegahan dan pengendalian pencemaran di laut
dari kapal". Organisasi ini juga diberdayakan untuk melakukan kegiatan
dengan masalah-masalah administrasi dan masalah-masalah resmi yang
berhubungan dengan tujuan ini.
Hampir semua kegiatan IMO dilakukan oleh sejumlah Komite dan Sub-
komite. Yang paling berpengaruh (tinggi kedudukannya) dari semua itu adalah
4. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 3
Komite Keselamatan di Laut (Marine Safety Committee - MSC). Komite ini
bertanggungjawab terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan
Konvensi Internasional Keselamatan Pelayaran di Laut, 1974 atau SOLAS,
1974 (the International Convention for Safety of Life at Sea, 1974) dan untuk
Konvensi Internasional tentang Standard Pelatihan, Sertifikasi dan
Pengawasan, 95 bagi Awak Badan Kapal atau STCW '95 (The International
Convention for Standards of Training, Certification and Watchkeeping, 1995).
Kemudian Komite berikutnya adalah Komite Perlindungan Lingkungan di
Laut (The Marine Environment Protection Committee - MEPC) didirikan pada
tahun 1973 lalu diangkat menjadi konstitusional berstatus penuh pada tahun
1985 dan bertanggungjawab untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan IMO
didalam pencegahan dan pengawasan atau pengendalian polusi lingkungan
bahari dari kapal-kapal.
Komite-komite itu bekerja khusus tentang suatu pekerjaan teknis untuk meng-
update peraturan-peraturan yang sudah ada atau mengembangkan dan
mengadopsi peraturan-peraturan baru, dengan pertemuan-pertemuan yang
dihadiri oleh para ahli di bidang bahari dari para anggota Pemerintah, bersama
dengan mereka dari organisasi-organisasi antar pemerintah dan non-
pemerintah.
Hasilnya dari suatu badan komprehensif itu adalah konvensi-konvensi
internasional, yang didukung oleh sejumlah rekomendasi-rekomendasi yang
mengatur setiap segi pelayaran. Ada langkah-langkah, terutama
ditujukan untuk pencegahan kecelakaan, termasuk standard rancangan kapal,
konstruksi, peralatan dan perlengkapan, operasi dan para pekerjanya.
Perjanjian-perjanjian pokok termasuk konvensi SOLAS untuk mengatur
keselamatan pelayaran di laut, konvensi MARPOL untuk pencegahan polusi
oleh kapal-kapal dan konvensi STCW untuk standard-standard pelatihan bagi
awak badan kapal.
5. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 4
Kemudian ada perjanjian-perjanjian yang dapat mengenali atau menentukan
lokasi dan posisi suatu kecelakaan yang terjadi, termasuk peraturan-peraturan
mengenai komunikasi-komunikasi pertolongan dan keselamatannya, konvensi
internasional tentang SAR (Search and Rescue) dan konvensi internasional
tentang kesiagaan, tindakan dan kooperasi dari polusi minyak.
Yang lain lagi, konvensi-konvensi yang memberikan kompensasi dan
kewajiban para rezim, termasuk Konvensi Internasional tentang tanggung
jawab secara perdata untuk kerusakan karena polusi minyak, suatu konvensi
pembentukan dana internasional untuk kerusakan karena polusi minyak dan
suatu konvensi Athena yang meliputi pertanggungjawaban dan kompensasi
untuk para penumpang di laut.
IMO memiliki peran kunci didalam memastikan bahwa kehidupan di laut tidak
berada dalam keadaan bahaya, dan bahwa lingkungan laut tidak dicemari oleh
pelayaran - sebagaimana terangkum di dalam pernyataan misi IMO: Pelayaran
yang efisien, selamat dan aman dengan kondisi laut tetap bersih.
b. Struktur Organisasi IMO
Seperti yang telah disebutkan dalam Pendahuluan di atas, bahwa IMO
merupakan Agen Khusus dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Sejak awal
dibentuk, tujuan yang paling utama dari IMO adalah
memperbaiki/meningkatkan keselamatan di laut dan mencegah polusi di laut.
Yaitu bertanggungjawab untuk mengembangkan peraturan-peraturan dan
prosedur-prosedur baru bagi industri pelayaran, atau merevisi peraturan dan
prosedur yang sudah ada. Sampai saat ini IMO memiliki anggota lebih dari 170
Negara, sering disebut sebagai Syahbandar/Flag State, dan tiga anggota
asosiasi.
Badan Organisasi IMO terdiri dari satu Majelis, satu Konsul dan lima Komite
Utama. Majelis bertemu setiap dua tahun sekali. Diantara sidang-sidangnya
6. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 5
dijalankan oleh Konsul yang mana terdiri dari 40 Negara Anggota yang dipilih
oleh anggota Majelis. Ada juga Sekretariat yang terdiri dari 300 orang, bekerja
dalam enam Divisi Teknis. Organisasi IMO dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal.
Adapun kelima komite-komitenya terdiri dari:
1) Komite Keselamatan di Laut (The Maritime Safety Committee / MSC);
2) Komite Perlindungan Lingkungan di Laut (The Marine Environment
Protection Committee / MEPC);
3) Komite Legal (The Legal Committee);
4) Komite Kerjasama Teknikal (The Technical Co-Operation Committee);
dan
5) Komite Fasilitasi (The Facilitation Committee) dan sejumlah Sub-komite
yang menunjang pekerjaan Komite Teknis Utama.
c. Majelis
Majelis adalah Badan Tertinggi dalam Organisasi IMO. Majelis terdiri dari
semua Negara Anggota dan Majelis ini selalu bertemu sekali dalam dua tahun
dalam sesi-sesi secara regular, akan tetapi mungkin juga bertemu dalam suatu
sesi luar biasa apabila diperlukan. Majelis bertanggungjawab dalam
mengesahkan program kerja, persetujuan dengan pemungutan suara tentang
anggaran dan menentukan rencana keuangan Organisasi. Majelis juga memilih
Dewan Organisasi.
d. Dewan
Anggota Dewan dipilih oleh Majelis untuk periode dua tahun dimulai setelah
setiap sidang reguler Majelis. Dewan merupakan Organ Eksekutif IMO dan
pertanggungjawaban, dibawah Majelis, untuk melakukan supervisi pekerjaan
Organisasi. Diantara sidang-sidang Majelis, Dewan melaksanakan semua
fungsi dari Majelis, kecuali fungsi pembuatan rekomendasi terhadap Negara-
negara tentang keselamatan di laut dan pencegahan pencemaran di laut yang
mana diperuntukan untuk Majelis sesuai Artikel 15(j) pada Konvensi.
7. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 6
Fungsi lainnya Dewan adalah untuk:
1) mengkoordinasi aktivitas-aktivitas dari organ-organ Organisasi;
2) mempertimbangkan rancangan program kerja dan perkiraan anggaran dari
Organisasi dan menyampaikannya kepada Majelis;
3) menerima laporan-laporan dan proposal-proposal dari Komite-komite dan
organ-organ lainnya dan menyampaikannya kepada Majelis dan Negara-
negara Anggota, dengan memberikan catatan-catatan dan rekomendasi-
rekomendasi yang diperlukan;
4) mengangkat Sekretaris Jenderal, yang tergantung pada pengesahan
Majelis;
5) melakukan perjanjian-perjanjian atau pengaturan-pengaturan sehubungan
dengan hubungan Organisasi dengan organisasi-organisasi lain, yang
tergantung dari pengesahan Majelis.
Anggota-anggota Dewan untuk tahun 2018-2019, dengan masa keanggotaan
dua tahunan.
Kategori (a):
10 Negara dengan kepentingan terbesar dalam memberikan pelayanan-
pelayaran internasional: China, Yunani, Italia, Jepang, Norwegia, Panama,
Korea Selatan, Federasi Rusia, Britania Raya, Amerika Serikat.
Kategori (b):
10 Negara lain dengan kepentingan terbesar dalam perdagangan melalui laut:
Australia, Brasil, Kanada, Perancis, Jerman, India, Belanda, Spanyol, Swedia,
Uni Emirat Arab.
Kategori (c):
20 Negara tidak terpilih dibawah Kategori (a) atau (b) di atas yang mana
memiliki kepentingan khusus dalam transportasi atau navigasi laut, dan yang
mana terpilihnya untuk Dewan akan memastikan keterwakilan dari semua
daerah-daerah geografis dunia: Bahama, Belgia, Chili, Siprus, Denmark,
8. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 7
Mesir, Indonesia, Jamaika, Kenya, Liberia, Malaysia, Malta, Meksiko,
Maroko, Peru, Philipina, Singapura, Afrika Selatan, Thailand, Turki.
e. Maritime Safety Committee (MSC)
MSC adalah suatu komite keselamatan di laut dan merupakan badan teknikal
tertinggi dalam Organisasi, MSC terdiri dari Negara-negara Anggota. Fungsi
dari komite ini adalah untuk mempertimbangkan setiap masalah dalam lingkup
yang berhubungan dengan Organisasi untuk pertolongan di bidang navigasi,
konstruksi dan peralatan-peralatan kapal, tenaga kerja dari kacamata
keselamatan, peraturan-peraturan untuk pencegahan tubrukan di laut,
penanganan muatan-muatan berbahaya, prosedur-prosedur keselamatan di laut
dan persyaratan-persyaratannya, informasi tentang hidrografi, catatan-catatan
log-books dan navigasi, investigasi-investigasi korban kecelakaan di laut,
pertolongan dan penyelamatan serta masalah-masalah lain yang secara
langsung mengakibatkan keselamatan di laut. Komite ini juga diperlukan untuk
menjadi penggerak guna melaksanakan setiap tugas yang dibebankan
terhadapnya oleh Konvensi IMO atau setiap tugas yang mencakup
pekerjaannya yang mungkin diberikan kepadanya oleh atau di bawah
instrumen-instrumen internasional dan disahkan atau diterima oleh Organisasi.
Komite ini juga memiliki tanggungjawab untuk mempertimbangkan dan
menyampaikan rekomendasi-rekomendasi dan petunjuk-petunjuk tentang
keselamatan untuk memungkinkan diadopsi oleh Majelis. MSC diperluas
untuk mengadopsi amandemen-amandemen konvensi-konvensi seperti
SOLAS dan termasuk semua Negara Anggota dan juga negara-negara yang
merupakan bagian dari konvensi-konvensi seperti SOLAS walaupun mereka
bukan Negara-negara Anggota IMO.
f. The Marine Environment Protection Committee (MEPC)
MEPC adalah suatu komite IMO yang bertugas di bidang pencegahan dan
pengawasan pencemaran dari kapal-kapal. MEPC yang terdiri dari semua
Anggota Pemerintah-pemerintah, diberi mandat untuk mempertimbangkan
setiap masalah dalam cakupan Organisasi berkenaan dengan pencegahan dan
9. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 8
pengawasan pencemaran dari kapal-kapal. Terutama yang berkenaan dengan
adopsi dan amandemen dari konvensi-konvensi dan peraturan-peraturan
lainnya dan langkah-langkah untuk memastikan pelaksanaannya. MEPC
didirikan untuk pertama kalinya sebagai suatu badan pendukung dari Majelis
dan ditetapkan menjadi badan hukum berstatus penuh pada tahun 1985.
g. Sub Komite
MSC dan MEPC dalam melaksanakan tugas mereka dibantu oleh satu anggota
dari Sub-komite-sub-komite yang mana terbuka juga bagi Anggota
Pemerintah-pemerintah:
Sub-komite untuk Unsur Manusia, Pelatihan dan Pengawasan (Human
Element, Training and Watchkeeping - HTW);
Sub-komite untuk pelaksanaan dari instrumen-instrumen IMO
(Implementation of IMO Instruments);
Sub-komite untuk Navigasi, Komunikasi dan SAR (Navigation,
Communications and Search and Rescue - NCSR);
Sub-komite untuk Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran
(Prevention Pollution and Respond - PPR);
Sub-komite untuk Rancangan dan Konstruksi Kapal (Ship Design and
Construction - SDC);
Sub-komite untuk Sistem-sistem dan Peralatan Kapal (Ship Systems and
Equipment - SSE); dan
Sub-komite untuk Pengangkutan Kargo-kargo dan Kontainer-kontainer
(Carriage of Cargoes and Containers - CCC).
(Sampai dengan tahun 2013 terdapat sembilan Sub-Komite sebagai berikut:
Cairan-cairan Curah dan Gas-gas (Bulk Liquids and Gases - BLG)
Barang-barang Berbahaya, Kargo-kargo Padat dan Kontainer-kontainer
(Dangerous Goods, Solid Cargoes and Containers - DSC)
Perlindungan terhadap Kebakaran (Fire Protection - FP)
Radio-komunikasi dan SAR (Radio-communications and Search and
Rescue - COMSAR)
10. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 9
Keselamatan Navigasi (Safety of Navigation - NAV)
Rancangan dan Peralatan Kapal (Ship design and Equipment - DE)
Stabilitas dan Garis Muat dan Keselamatan Kapal-kapal Penangkap Ikan
(Stability and Load Lines and Fishing Vessels Safety - SLF)
Standard Pelatihan dan Pengawasan (Standards of Training and
Watchkeeping - STW)
Pelaksanaan Syahbandar (Flag State Implementation - FSI)
h. Komite Legal (Legal Committee)
Komite legal atau Komite Hukum diperuntukkan untuk menangani setiap
masalah-masalah hukum yang tercakup di dalam Organisasi. Komitenya terdiri
dari Negara-Negara Anggota IMO. Komite ini didirikan pada tahun 1967
sebagai satu badan pendukung dalam menangani pertanyaan-pertanyaan resmi
yang ada setelah bencana Torrey Canyon. Komite Hukum juga diperuntukkan
untuk melaksanakan setiap tugas-tugas yang termasuk dalam cakupannya yang
mungkin dibebankan oleh atau di bawah setiap instrumen internasional lainnya
dan diterima oleh Organisasi.
i. Komite Kerjasama Teknikal
Komite Kerjasama Teknikal diperlukan dalam mempertimbangkan setiap
masalah yang tercakup dalam Organisasi berkenaan dengan implementasi
proyek-proyek kerjasama teknikal dimana Organisasi bertindak sebagai
pelaksananya atau agen kerjasama dan setiap masalah-masalah lainnya yang
berhubungan dengan aktivitas-aktivitas Organisasi dalam bidang kerjasama
teknikal.
Komite Kerjasama Teknikal terdiri dari seluruh Negara Anggota dari IMO,
dibentuk pada tahun 1969 sebagai badan penunjang dari Dewan, dan
dilembagakan dengan satu amandemen pada suatu Konvensi IMO yang mana
telah diberlakukan pada tahun 1984.
11. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 10
j. Komite Fasilitasi
Suatu Komite Fasilitasi dibentuk sebagai badan pendukung dari Dewan pada
tahun 1972, dan dilembagakan secara penuh pada Desember 2008 sebagai
suatu hasil dari satu amandemen suatu Konvensi IMO. Ini terdiri dari seluruh
Negara Anggota dari Organisasi dan berhubungan dengan pekerjaan IMO
didalam membatasi formalitas yang tidak diperlukan dan "pelat merah" dalam
pelayaran internasional dengan pengimplementasian seluruh aspek-aspek dari
suatu Konvensi untuk Fasilitasi Lalulintas Laut Internasional (Facilitation of
International Maritime Traffic) 1995 dan setiap masalah di dalam cakupan
Organisasi berhubungan dengan fasilitasi lalulintas laut internasional.
Terutama pekerjaan Komite tahun-tahun belakangan ini, sesuai dengan
keinginan dari Majelis, untuk memastikan bahwa keseimbangan yang sesuai
dikenakan antara keamanan di laut dan suatu fasilitasi perdagangan di laut
internasional.
k. Sekretariat
Sekretariat IMO terdiri dari Sekretaris Jenderal dan beberapa orang
internasional sebanyak 300 berkedudukan di kantor pusat di London.
Sekretaris Jenderal Organisasi adalah Mr. Kitack Lim (Republic of Korea)
diangkat pada posisi ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2016. Pemegang
jabatan sebelumnya adalah sebagai berikut:
Nama Pejabat Masa Jabatan
Ove Nielsen(Denmark) 1959 – 1961
William Graham (United Kingdom,
Pengganti)
1961 – 1963
Jean Roullier (Perancis) 1964 – 1967
Colin Goad (United Kingdom) 1968 – 1973
Chandrika Prasad Srivastava (India) 1974 – 1989
William A. O’Neil (Kanada) 1990 – 2003
Efthimios E. Mitropoulos (Yunani) 2004 – 2011
Koji Sekimizu (Jepang) 2012 – 2015
Mr. Kitack Lim (Republic of Korea) 2016 - saat ini
12. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 11
l. Perwakilan Regional
IMO sampai saat ini sudah memiliki lima koordinator regional atu advisor
untuk kegiatan-kegiatan kerjasama teknikal, di Pantai Gading, Ghana, Kenya,
Philipina dan Trinidad Dan Tobago.
Gambaran Tentang MARPOL
MARPOL (Marine Pollution) adalah sebuah peraturan internasional yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran di laut.
a. Sejarah Konvensi MARPOL
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada
tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama
kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak
mulai muncul. Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang
dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pollution Convention,
yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan
pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “International Conference on
Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973
yang menghasilkan “International Convention for the Prevention of Oil
Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan
TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan
konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku
sampai sekarang. Definisi mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah
sebagai berikut:
“Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine
environment and includes hydrofoil boats, air cushion vehicles, submersibles,
ficating craft and fixed or floating platform”.
13. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 12
Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis
bangunan yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau
tertanam tetap di dasar laut.
b. Isi Peraturan MARPOL
Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran
lingkungan maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai
diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang
memuat peraturan:
1) International Convention for the Prevention of Pollution from Ships
1973
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang
sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan
buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari
kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara
anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi
tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
2) Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention
(TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan
melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut
yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan
modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin
peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978
harus dibaca dan diinterpretasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai:
14. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 13
a) Protocol I – Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang
melibatkan barang beracun dan berbahaya
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan
kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah
Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan,
yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat
dalam Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan
tersebut harus memuat keterangan:
Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.
Waktu, tempat dan jenis kejadian
Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan
Nakhoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang
terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan
barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena
kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai
petunjuk dalam Protocol dimaksud.
b) Protocol II mengenai Arbitrasi
Berdasarkan Article 10 ”settlement of dispute”. Dalam Protocol II
diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih
Negara anggota mengenai interpretasi atau pelaksanaan isi konvensi.
Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil
menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan
masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk
dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran
laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas dalam Annex I s/d
15. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 14
V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai
berikut:
1) Annex I: Prevention of pollution by oil ( 2 October 1983 )
Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang
diizinkan untuk dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi
1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak
boleh melebihi 60 liter setiap mil perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal
berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat. Register Kapal harus memuat
daftar jenis sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah minyak yang
ada. Register Kapal harus dilaporkan ke pejabat pelabuhan.
2) Annex II: Control of pollution by noxious liquid substances (6 April
1987)
Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut,
hanya dapat disimpan dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan.
Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil laut dari tepi pantai
terdekat.
3) Annex III: Prevention of pollution by harmful substances in packaged
form (1 July 1992)
Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negara yaitu aturan standar
pengemasan, pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah
berbahaya yang dihasilkan kapal ketika sedang berlayar.
4) Annex IV: Prevention of pollution by sewage from ships (27 September
2003)
Aturan ini khusus untuk faecal waters dan aturan kontaminasi yang dapat
diterima pada tingkatan (batasan) tertentu. Cairan pembunuh kuman
(disinfektan) dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih dari 4 mil laut dari pantai
terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat dibuang ke laut dengan jarak
lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal berlayar dengan
kecepatan 4 knot.
16. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 15
5. Annex V: Prevention of pollution by garbage from ships (31 December
1988)
Aturan yang melarang pembuangan sampah plastik ke laut.
5) Annex IV: Prevention of air pollution by ships (19 May 2005)
Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang
meratifikasi (menandatangani persetujuan).
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Negara Anggota MARPOL 73/78
1) Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah suatu negara;
2) Memberlakukan Annexes I dan II – Administrasi hukum / maritim;
3) Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan – Administrasi
hukum / maritim;
4) Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim;
5) Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim;
6) Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim;
7) Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim;
8) Memberitahu IMO – Administration maritim;
9) Memeriksa kapal – Administrasi maritim;
10) Memonitor pelaksanaan – Administrasi maritim;
11) Menghindari penahanan kapal – Administrasi kapal;
12) Laporan kecelakaan – Administrasi maritim / hukum;
13) Menyediakan laporan dokumen ke IMO (Article 11) – Administrasi
maritim;
14) Memeriksa kerusakan kapal yang menyebabkan pencemaran dan
melaporkannya – Administrasi maritim;
15) Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi
maritim.
17. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 16
d. Yurisdiksi Pemberlakuan MARPOL 73/78
MARPOL 73/78 memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan
bagi setiap Negara anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan peraturan
sebagai negara bendera kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai.
Negara bendera kapal adalah Negara dimana suatu kapal didaftarkan
Negara pelabuhan adalah Negara dimana suatu kapal berada di pelabuhan
Negara itu.
Negara pantai adalah Negara dimana suatu kapal berada di dalam zona
maritim Negara pantai tersebut.
MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara bendera kapal, Negara Pantai dan
Negara pelabuhan yang menjadi anggota mengetahui bahwa:
“Pelanggaran terhadap peraturan konvensi yang terjadi di dalam daerah
yurisdiksi Negara anggota dilarang dan sanksi atau hukuman bagi yang
melanggar dilakukan berdasarkan Undang-Undang Negara anggota itu”.
1) Jurisdiksi legislatif negara bendera kapal
Berdasarkan hukum Internasional, Negara bendera kapal diharuskan untuk
memberlakukan peraturan dan mengontrol kegiatan berbendera Negara
tersebut dalam hal administrasi, teknis dan sarana sosial termasuk mencegah
terjadi pencemaran perairan.
Negara bendera kapal mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi
standar Internasional (antara lain MARPOL 73/78). Tugas utama dari negara
bendera kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka memenuhi standar
teknik di dalam MARPOL 73/78 yakni:
memeriksa kapal-kapal secara periodik;
menerbitkan sertifikat yang diperlukan.
2) Jurisdiksi legislatif negara pantai
Konvensi MARPOL 73/78 meminta Negara pantai memberlakukan peraturan
konvensi pada semua kapal yang memasuki teritorialnya dan, tindakan ini
18. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 17
dibenarkan oleh peraturan UNCLOS 1982, asalkan memenuhi peraturan
konvensi yang berlaku untuk lintas damai (innocent passage) dan ada bukti
yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran.
3) Jurisdiksi legislatif Negara pelabuhan
Negara anggota MARPOL 73/78 wajib memberlakukan peraturan mereka bagi
semua kapal yang berkunjung ke pelabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan
khusus bagi kapal-kapal yang bukan anggota. Ini berarti ketaatan pada
peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh memasuki
pelabuhan semua negara anggota. Adalah wewenang dari Negara pelabuhan
untuk memberlakukan peraturan lebih ketat tentang pencegahan pencemaran
sesuai peraturan mereka. Namun demikian sesuai UNCLOS 1982 peraturan
seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk
disebarluaskan.
e. Cara-Cara Untuk Memenuhi Kewajiban Dalam MARPOL 73/78
Persetujuan suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78
diikuti dengan tindak lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor:
1) Pemerintah;
2) Administrasi bidang hukum;
3) Administrasi bidang maritim;
4) Pemilik kapal;
5) Syahbandar (port authorities).
1) Pemerintah
Kemauan politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78
merupakan hal yang fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada
pertimbangan karena:
a) Kepentingan lingkungan maritim di bawah yurisdiksi Negara itu;
b) Keuntungan untuk pemilik kapal Negara tersebut (Kapal-kapalnya dapat
diterima oleh dunia Internasional);
19. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 18
c) Keuntungan untuk ketertiban di pelabuhan Negara itu (dapat mengontrol
pencemaran); atau
d) Negara ikut berpartisipasi menjaga keselamatan lingkungan internasional.
Pertimbangan dan masukan pada Pemerintah untuk meratifikasi konvensi
diharapkan datang dari badan administrasi maritim atau badan administrasi
lingkungan dan dari industri maritim.
Dalam konteks ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78
menerima tanggung jawab tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun
demikian di lain pihak mendapatkan hak istimewa, perairannya tidak boleh
dicemari oleh Kapal Negara anggota lain. Kalau terjadi pencemaran di dalam
teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan meminta ganti rugi. Negara
yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab untuk melaksanakan
peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal mereka tidak dapat
dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila berada di dalam daerah
teritorial Negara anggota).
Namun demikian harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi
anggota berarti kalau pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh
jaminan sesuai MARPOL 73.78 untuk menuntut kapal yang mencemarinya.
2) Administrasi hukum
Tugas utama dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab
memberlakukan peraturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan
peraturan MARPOL 73/78. Untuk memudahkan pekerjaan Administrasi
hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan Administrasi maritim
yang diberikan kewenangan meratifikasi, membuat peraturan dan
melaksanakannya.
Agar peraturan dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk
dilaksanakan, maka peraturan tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim
20. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 19
perundang-undangan Nasional. Cara pelaksanaannya sesuai yang digambarkan
dalam diagram berikut.
3) Administrasi Maritim
Administrasi maritim yang dibentuk pemerintah bertanggung jawab
melaksanakan tugas administrasi pemberlakuan peraturan MARPOL 73/78
dan konvensi-konvensi maritim lainnya yang sudah diratifikasi. Badan ini akan
memberikan masukan pada Administrasi hukum dan Pemerintah di satu pihak
dan membina industri perkapalan dari Syahbandar di pihak lain Tugas dari
Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama
dengan beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk meneliti tugas-
tugas tersebut guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan
memutuskan bagaimana memberlakukannya.
4) Pemilik Kapal
Pemilik kapal berkewajiban membangun dan melengkapi kapal-kapalnya dan
mendidik pelautnya, perwira laut untuk memenuhi peraturan MARPOL 73/78.
Kompetensi dan ketrampilan pelaut harus memenuhi standar minimum yang
dimuat dalam STCW-95 Convention.
5) Syahbandar (Port Authorities)
Tugas utama dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan
buangan yang memadai sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai.
Syahbandar juga bertugas untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan
pencemar yang asalnya dari kapal berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV dan
V MARPOL.
f. Implementasi Peraturan MARPOL 73 / 78
Administrasi Maritim dalam melaksanakan tugasnya adalah bertindak sebagai:
1) Sebagai pelaksanaan IMO;
2) Legislation dan Regulations serta Implementation of Regulations;
3) Instruction to Surveyor;
21. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 20
4) Delegations of surveyor and issue of certificates;
5) Records of Certifications, Design Approval, dan Survey Report;
6) Equipment Approval, Issue of certificates dan Violations reports;
7) Prosecution of offenders, Monitoring receptions facilities dan Informing
IMO as required.
Pemeriksaan dan Inspeksi yang dilakukan oleh Surveyor dan Inspektor
Garis besar tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan dalam
diagram di atas adalah sebagai berikut:
1) Memeriksa kapal untuk persetujuan rancang bangun. Tugas ini
hendaknya dilakukan oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas
sesuai yang ditentukan oleh kantor pusat Administrasi maritim.
2) Inspeksi yang dilakukan oleh Syahbandar adalah bertujuan untuk
mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan peraturan.
3) Investigasi dan penuntunan. Surveyor dan Inspector pelabuhan harus
mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan
konstruksi, peralatan dan pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan petunjuk
dari pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut
pihak-pihak yang melanggar.
g. Dampak Pencemaran di Laut
Dampak pencemaran barang beracun dan berbahaya terutama minyak
berpengaruh terhadap:
1) Dampak ekologi;
2) Tempat rekreasi;
3) Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga;
4) Instalasi Industri;
5) Perikanan;
6) Binatang Laut;
7) Burung Laut;
8) Terumbu Karang dan Ekosistem;
22. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 21
9) Tumbuhan di pantai dan Ekosistem;
10) Daerah yang dilindungi dan taman laut.
h. Definisi-Definisi Bahan Pencemar
Bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal terdiri dari muatan yang dimuat
oleh kapal, bahan bakar yang digunakan untuk alat propulsi dan alat lain di atas
kapal dan hasil atau akibat kegiatan lain di atas kapal seperti sampah dan segera
bentuk kotoran.
Definisi bahan-bahan pencemar dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78
adalah sebagai berikut:
1) “Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak mentah (crude
oil) bahan bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak hasil
penyulingan (refined product)
2) “Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang beracun dan
berbahaya hasil produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker khusus
(chemical tanker)
Bahan kimia dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A, B, C, dan D) berdasarkan
derajat toxic dan kadar bahayanya.
Kategori A : Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan
termasuk bekas pencuci tanki muatan dan air balas dari tanki
muatan tidak boleh dibuang ke laut.
Kategori B : Cukup berbahaya. Kalau sampai tumpah ke laut memerlukan
penanganan khusus (special anti-pollution measures).
Kategori C : Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan
yang agak khusus.
Kategori D : Tidak membahayakan, membutuhkan sedikit perhatian
dalam menanganinya.
1) “Harm full substances” Adalah barang-barang yang dikemas dalam dan
membahayakan lingkungan kalau sampai jatuh ke laut.
23. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 22
2) Sewage”. Adalah kotoran-kotoran dari toilet, WC, urinals, ruangan
perawatan, kotoran hewan serta campuran dari buangan tersebut.
3) “Garbage” Adalah tempat sampah-sampah dalam bentuk sisa barang atau
material hasil dari kegiatan di atas kapal atau kegiatan normal lainnya di
atas kapal.
Peraturan pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit
dilaksanakan secara serentak, karena itu MARPOL Convention diberlakukan
secara bertahap yaitu:
1) Annex I (Oil) diberlakukan pada tanggal 2 Oktober 1983;
2) Annex II (Noxious Liquid Substances in Bulk) diberlakukan pada
tanggal 6 April 1987;
3) Annex V (Sewage) diberlakukan pada tanggal 31 Desember 1988; dan
4) Annex III (Harm full Substances in Package) diberlakukan pada tanggal
1 Juli 1982.
Sisa Annex IV (Garbage) yang belum berlaku Internasional sampai saat ini.
Annex I MARPOL 73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah
pencemaran oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri
dari 23 Regulation. Peraturan dalam Annex I menjelaskan mengenai
konstruksi dan kelengkapan kapal untuk mencegah pencemaran oleh minyak
yang bersumber dari kapal, dan kalau terjadi juga tumpahan minyak bagaimana
cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana usaha terbaik untuk
menanggulanginya.
Untuk menjamin agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk
mengisi Buku Laporan Minyak (Oil Record Book) yang sudah disediakan
menjelaskan bagaimana cara awak kapal menangani muatan minyak, bahan
bakar minyak, kotoran minyak dan campuran sisa-sisa minyak dengan cairan
lain seperti air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang berwajib
melakukan kontrol pencegahan pencemaran laut.
24. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 23
Kewajiban untuk mengisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20.:
1) Appendix I, Daftar dari jenis minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud
dalam MARPOL 73/78 yang akan mencemari apabila tumpahan ke laut;
2) Appendix II, Bentuk sertifikat pencegahan pencemaran oleh minyak atau
“IOPP Certificate” dan suplemen mengenai data konstruksi dan
kelengkapan kapal tanker dan kapal selain tanker. Sertifikat ini
membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi peraturan dalam
reg. 4. “Survey and inspection” dimana struktur dan konstruksi kapal,
kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam
Annex I MARPOL 73/78;
3) Appendix III, Bentuk “Oil Record Book” untuk bagian mesin dan bagian
dek yang wajib diisi oleh awak kapal sebagai kelengkapan laporan dan
bahan pemeriksaan oleh yang berwajib di Pelabuhan.
i. Usaha Mencegah Dan Menanggulangi Pencemaran Laut
Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO
dalam membuat peraturan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
laut pada dasarnya sama dengan yang dilakukan sekarang, yakni melakukan
kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai terjadi
tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan
pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah
seminimum mungkin minyak yang mencemari laut.
Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan perubahan penekanan dengan
menitikberatkan pencegahan pencemaran pada kegiatan operasi kapal seperti
yang dimuat didalam Annex I terutama keharusan kapal untuk dilengkapi
dengan “Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring
Systems”.
Karena itu MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga)
kategori dengan garis besarnya sebagai berikut:
25. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 24
1) Peraturan untuk mencegah terjadinya Pencemaran
Kapal dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan
peraturan yang diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan
yang diangkut, bahan bakar yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi
lainnya di atas kapal seperti sampah-sampah dan segala bentuk kotoran.
2) Peraturan untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi
Kalau sampai terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan
maka diperlukan peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak
pencemaran, mulai dari penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal
guna mencegah dan membatasi tumpahan sampai kepada prosedur dari
petunjuk yang harus dilaksanakan oleh semua pihak dalam menanggulangi
pencemaran yang telah terjadi.
3) Peraturan untuk melaksanakan peraturan tersebut di atas
Peraturan prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi
peraturan Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua
pihak yang terlibat dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan
kapal. Pelanggaran terhadap peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus
mendapat hukuman atau denda sesuai peraturan yang berlaku.
Khusus bahan pencemaran minyak bumi, pencegahan dan penanggulangannya
secara garis besar dibahas sebagai berikut:
Peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh minyak
Untuk mencegah pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal
terutama tanker dalam Annex I dimuat peraturan pencegahan dengan
penekanan sebagai berikut:
26. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 25
1) Regulation 13, Segregated Ballast Tanks, Dedicated Clean Tanks
Ballast and Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW)
Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin
pembuangan minyak karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang
paling tidak salah satu dari ketiga sistem pencegahan:
Segregated Ballast Tanks (SBT)
Tanki khusus air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak
maupun tanki bahan bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa
air balas tidak boleh melewati tanki muatan minyak.
Dedicated Clean Ballast Tanks (CBT)
Tanki bekas muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas
dari tanki tersebut, bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak
di atas permukaan air dan apabila dibuang melalui alat pengontrol minyak
(Oil Discharge Monitoring), minyak dalam air tidak boleh lebih dari 13
ppm.
Crude Oil Washing (COW)
Muatan minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai
media pencuci tanki yang sedang dibongkar muatannya untuk mengurangi
endapan minyak tersisa dalam tanki.
2) Pembatasan Pembuangan Minyak
MARPOL 73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954
mengenai Oil Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam
semua bentuk termasuk minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau
campuran minyak dengan kotoran lain dan fuel oil, tetapi tidak termasuk
produk petrokimia (Annex II).
Ketentuan Annex I Reg.9. “Control Discharge of Oil” menyebutkan bahwa
pembuangan minyak atau campuran minyak hanya dibolehkan apabila:
Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut Mediterranean, Laut Baltic,
Laut Hitam, Laut Merah dan daerah Teluk;
Lokasi pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan;
27. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 26
Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar;
Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter / nautical mile;
Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari jumlah muatan.
3) Monitoring dan Kontrol Pembuangan Minyak
Kapal tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan
“slop tank” dan kapal tanker ukuran 70.000 Tons Dead Weight (DWT) atau
paling kurang dilengkapi “slop tank” tempat menampung campuran dan sisa-
sisa minyak di atas kapal.
Untuk mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi
dengan alat kontrol “Oil Discharge Monitoring and Control System” yang
disetujui oleh pemerintah, berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO.
Sistem tersebut dilengkapi dengan alat untuk mencatat berapa banyak minyak
yang ikut terbuang ke laut. Catatan data tersebut harus disertai dengan tanggal
dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak harus dengan otomatis
menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak yang ikut
terbuang sudah melebihi ambang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a) “Control
of Discharge of Oil”.
4) Pengumpulan sisa-sisa minyak
Reg. 17 mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk
kapal ukuran 400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki
penampungan dimana ukurannya disesuaikan dengan tipe mesin yang
digunakan dan jarak pelayaran yang ditempuh kapal untuk menampung sisa
minyak yang tidak boleh dibuang ke laut seperti hasil pemurnian bunker,
minyak pelumas dan bocoran minyak mesin.
Tanki-tanki penampungan dimaksud disediakan di tempat-tempat seperti:
Pelabuhan dan terminal dimana minyak mentah dimuat;
Semua pelabuhan dan terminal dimana minyak selain minyak mentah
dimuat lebih dari 100 ton per hari;
28. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 27
Semua daerah pelabuhan yang memiliki fasilitas galangan kapal dan
pembersih tanki;
Semua pelabuhan yang bertugas menerima dan memproses sisa minyak
dari kapal.
MARPOL ANNEX VI
MARPOL ANNEX VI mengkhususkan pada pencegahan polusi udara yang
ditimbulkan oleh kapal laut. Annex VI adalah tambahan terbaru dalam MARPOL
dan mulai berlaku sejak 19 Mei 2005. MARPOL ANNEX VI terdiri dari 5 bab dan
25 aturan1
, dimana secara keseluruhan akan diuraikan sebagai berikut:
Bab 1. Umum
Aturan 1, Aplikasi dari MARPOL ANNEX VI
Aturan 2, Definisi daftar istilah yang ada didalam MARPOL ANNEX VI
Aturan 3, Pengecualian umum dari penggunaan MARPOL ANNEX VI
Aturan 4, Kesetaraan MARPOL ANNEX VI
Bab 2. Survei, Sertifikasi dan Kontrol
Aturan 5, Survey dan Inspeksi
Aturan 6, Penerbitan Sertifikat Internasional tentang Pencegahan Polusi Udara
Aturan 7, Penerbitan Sertifikat oleh pemerintah lain
Aturan 8, Bentuk dari sertifikat
Aturan 9, Masa berlaku dan Keabsahan dari Sertifikat
Aturan 10, Kontrol Status Pelabuhan pada persyaratan operasional
Aturan 11, Deteksi pelanggaran dan penegakan hukum
Bab 3. Persyaratan untuk Kontrol Emisi dari Kapal
Aturan 12, Zat perusak Ozon
1
Reff: (International Maritime Organization & Institute of Marine Engineering, Science and
Technology, 2018. Ship Emissions Toolkit Guide No.2: Incorporation of MARPOL Annex VI into
national law, GloMEEP Project Coordination Unit International Maritime Organization &
Institute of Marine Engineering, Science and Technology (IMarEST), Lewes, East Sussex, United
Kingdom
29. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 28
Aturan 13, Nitrogen Oksida (NOx)
Aturan 14, Sulfur Oksida (Sox)
Aturan 15, Senyawa organik yang mudah menguap
Aturan 16, Insinerasi kapal
Aturan 17, Fasilitas penerimaan
Aturan 18, Kualitas bahan bakar
Bab 4. Peraturan tentang Efisiensi Energi untuk Kapal
Aturan 19, Aplikasi
Aturan 20, Pencapaian EEDI
Aturan 21, Dibutuhkan EEDI
Aturan 22, SEEMP
Aturan 22A, Pengumpulan dan pelaporan data konsumsi bahan bakar minyak kapal
Aturan 23, Promosi kerja sama teknis dan transfer teknologi yang berkaitan dengan
peningkatan energiefisiensi kapal
Bab 5. Verifikasi Kepatuhan dengan Ketentuan ANNEX VI
Aturan 24, Aplikasi
Aturan 25, Verifikasi Kepatuhan
Secara garis besar MARPOL ANNEX VI mengatur beberapa hal berikut:
1) Setiap kapal dengan tonase kotor GT 400 (empat ratus Gross Tonnage) atau
lebih dan semua kapal yang memiliki mesin diesel 130 kW (28ystem2828 tiga
puluh 28ystem2828) atau lebih yang berlayar di perairan internasional wajib
memenuhi persyaratan pencegahan pencemaran udara sesuai ketentuan dalam
Annex VI MARPOL 73/78.
2) Mengatur Pembatasan:
a) Pembatasan penggunaan bahan perusak lapisan ozon (Ozon Depleting
Substances/ODS) yang terdapat di dalam system pendingin dan pemadam
kebakaran (jenis halon dan freon);
b) Pembatasan kandungan sulfur;
c) Kualitas minyak bahan bakar;
30. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 29
d) Emisi bahan 29ystem29 yang mudah menguap (Volatile Organic
Compound / VOC) untuk kapal 29ystem yang mengangkut minyak mentah;
e) Penggunaan incinerator di kapal;
f) Mesin diesel kapal yang dipasang di kapal dengan tonase kotor GT 400
(empat ratus Gross Tonnage) atau lebih harus tersedia buku catatan mesin
(engine record book);
g) Pembatasan emisi kadar Nitrogen Oxides (Nox);
h) Tersedianya pola penanganan efisiensi energi pada kapal (ship energy
efficiency management plan) yang disetujui oleh Pemerintah; dan
i) Indeks perencanaan efisiensi energi/Energy Efficiency Design Index
(EEDI).
3) Bahan perusak lapisan ozon (Ozon Depleting Substances/ODS) yang terdapat
di dalam system pendingin dan pemadam kebakaran (jenis halon dan freon).
4) Nitrogen Oksida
a) Mesin diesel beroperasi > 130kW dilarang meskipun mesin bersertifikat
untuk memenuhi emisi standar
b) Mesin baru:
golongan I – 17 g/kW dari 1 Januari 2000
golongan II – 14,4 g/kW dari 1 Januari 2011
golongan III – 3,4 g/kW dari 1 Januari 2016 (dalam Emission Control
Areas (ECA)
c) Mesin yang telah ada (dipasang di kapal atau diantara 1 Januari 1990 sampai
1 Januari 2000)
17 g/kW untuk mesin diesel dengan tenaga keluaran >5.000kW and
kubikasi per silinder => 90 liter
metode disahkan oleh pemerintah
5) Sulfur Oksida
a) kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak tidak melebihi 4,5%
b) dari 1 Januari 2012, kandungan sulfur bahan bakar minyak tidak lebih dari
3,5%
c) dari 1 Januari 2020 kandungan sulfur bahan bakar minyak tidak lebih dari
0,5%
31. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 30
d) Di dalam ECA batas maksimum sulfur dalam bahan bakar (menurut
regulasi 14.4):
1,00% pada dan setelah 1 Juli 2010
0,10% pada dan setelah 1 Januari 2015
Alternatif dari aturan diatas adalah untuk memakai 30ystem pembersih gas
buang atau metode teknologi lainnya diatas kapal untuk mengurangi total
emisi sulfur dari mesin penggerak cadangan dan utama untuk kurang atau
sebanding: 6.0g Sox/kwh
6) Pembakaran
a) Pembakaran yang dipasang setelah 1 Januari 2000 harus jenis yang sah dan
bersertifikat yang memenuhi standar emisi;
b) Tidak digunakan di dalam batas pelabuhan.
Landasan Hukum
Pada bagian ini akan disampaikan beberapa peraturan yang sejalan dengan
diterapkannya MARPOL ANNEX VI di Indonesia yaitu:
1. Undang-undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan
Maritim, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang, Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca;
5. Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional;
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang,
Pengesahan ANNEX III, ANNEX IV, ANNEX V, dan ANNEX VI Of the
International Convention For the Preventing Revention Of Pollution From Ship
1973 as Modified by the Protocol of 1978 Relating Thereto (Lampiran III,
Lampiran IV, Lampiran V, dan Lampiran VI dari Konvensi Internasional tahun
1973 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal Sebagaimana diubah Dengan
Protokop tahun 1978 yang terkait daripadanya);
32. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 31
7. Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi
Nasional;
8. Peraturan Presiden (Perpres) No 66 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas
Perpres No 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana
Perkebunan Kelapa Sawit;
9. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor 29 tahun 2014
tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim;
10. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor
41 tahun 2018 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis
Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kepala Sawit.
Kondisi Perkapalan Niaga Domestik
Kondisi Kapal Niaga
Kapal menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga
angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan
yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Kapal Niaga menurut Pasal 1 butir d, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1957,
tentang izin pelayaran dimana Kapal Niaga didefinisikan sebagai setiap kapal laut
yang digerakkan secara mekanis dan yang digunakan untuk mengangkut barang
dan/atau penumpang untuk umum dengan pemungutan biaya. Pada
penyelenggaraannya menurut pasal 3 "Undang-undang Pelayaran Indonesia 1936"
("Indische Scheepvaartwet ", Staatsblad 1936 No. 700) kapal niaga baru boleh
beroperasi setelah diberikan izin oleh atau atas nama Menteri Pelayaran. Izin
tersebut hanya dapat diberikan kepada perusahaan pelayaran Indonesia yang
berbentuk badan hukum.
33. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 32
Wilayah operasional Kapal Niaga Domestik menurut Peraturan Menteri
Perhubungan Tahun Nomor 39 Tahun 2019, Tentang Garis Muat Kapal dan
Pemuatan, adalah di Perairan Indonesia yang berada di laut teritorial Indonesia
beserta perairan kepulauan dan perairan pendalamannya. Detail dari Pelayaran
Kawasan Indonesia adalah daerah pelayaran yang meliputi daerah yang dibatasi
oleh garis-garis yang ditarik dari titik Lintang 10°00'00" Utara di Pantai Barat
Malaysia, sepanjang Pantai Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja dan Vietnam
Selatan di Tanjung Tiwan dan garis-garis yang ditarik antara Tanjung Tiwan
dengan Tanjung Baturampon di Philipina, sepanjang Pantai Selatan Philipina
sampai Tanjung San Augustin ke titik Lintang 00°00'00"dan Bujur 140°00'00"
Timur, titik Lintang 02°35'00" Selatan dan Bujur 141° 00' 00" Timur ditarik ke
Selatan hingga ke titik 09°10'00" Selatan dan Bujur 141°00'00" Timur, ke titik
Lintang 10°00'00" Selatan dan Bujur 140°00'00" Timur ke titik Lintang 10°11'00"
Selatan dan Bujur 121°00' 00" Timur, ke titik Lintang 09°30'00" Selatan dan Bujur
105°00'00" Timur ke titik Lintang 02°00'00" Utara dan Bujur 094°00'00" Timur ke
titik Lintang 06°30'00" Utara dan Bujur 094°00'00" sampai dengan titik Lintang
10°00'00" Utara di Pantai Barat Malaysia atau Near Coastal Voyage.
Kapal Niaga disebut juga atau Kapal dagang adalah perahu atau kapal yang
mengangkut kargo atau juga membawa penumpang untuk disewa. Kapal ini ada
dalam berbagai ukuran dan bentuk. Tentu saja, kapal pesiar yang tidak membawa
penumpang untuk disewa tidak tergolong Kapal niaga; begitu pula kapal perang,
tidak termasuk kapal dagang2
.
Sementara itu di dalam KBBI, Kapal Niaga adalah kapal yang khusus mengangkut
barang dagangan atau disebut juga kapal dagang3
. Kapal Niaga/dagang adalah
kapal yang terutama digunakan untuk mengangkut barang atau penumpang. Pada
dasarnya, kapal-kapal yang bergerak dalam transportasi komersial4
.
2
Wikipedia,Kapal Niaga, https://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_niaga
3
KBBI Online,Kapal Niaga, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kapal%20niaga
4
MaritimeConnector, Merchant Vessels, http://maritime-connector.com/wiki/merchant-
vessels/
34. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 33
Jenis-jenis Kapal Niaga
Kapal dagang dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sesuai dengan ukuran dan
tujuannya, sebagai berikut:
1) Kapal Kargo Kering
Kapal kargo kering adalah istilah yang umumnya digunakan untuk kapal curah
dan kapal kontainer. Sementara kapal curah digunakan dalam pengangkutan
kargo curah seperti biji-bijian, batu bara, bijih dan semen, kapal kontainer
biasanya digunakan untuk membawa barang-barang lain-lain.
1. Bulk Carries (Kapal Curah): Seperti namanya, pengangkut massal
terutama digunakan dalam membawa barang kargo curah yang tidak
dikemas termasuk biji-bijian, bijih, semen dan kargo sejenis lainnya.
Mereka terdiri dari 40% armada pedagang di dunia. Mereka dapat
dikategorikan dalam enam kategori utama sesuai dengan ukurannya.
Kategori termasuk Kecil, Handisize,
Handymax, Panamax, Capesize dan
Sangat Besar. Ukurannya bisa berkisar
dari bulker mini kecil hingga kapal
raksasa dengan kapasitas 400.000 dead
weight tonnage (DWT).
2. Kapal kontainer adalah kapal laut yang membawa barang dalam wadah
besar, teknik yang disebut containerisasi Muatan peti kemas disamping di
dalam palkah juga diletakkan di atas geladak dengan pengikatan yang
kuat, sehingga peti kemas tersebut tidak bergeser dari tempatnya semula
pada saat berlayar. Dengan adanya muatan di atas geladak maka harus
diperhatikan mengenai stabilitas kapal. Yang perlu diperhatikan ialah
periode keolengan jangan sampai terlalu lincah, sebab membahayakan
container yang ada di atas dek, lebih –lebih apabila sistim pengikatannya
kurang sempurna. Konstruksi peti kemas dibuat sedemikian rupa sehingga
barang-barang yang ada didalamnya terjamin keamanan dari kerusakkan
dan lain-lain. Kapal pengangkut peti kemas (container ship) harus
35. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 34
mempunyai fasilitas pelabuhan khusus peti kemas, baik alat bongkar
muatan maupun peralatan lainnya. Disamping itu kapal jenis ini juga
direncanakan sedemikian rupa sehingga mempunyai ruangan dengan
parallel middle body yang lebih panjang dibandingkan demgan kapal-
kapal jenis yang lainnya. Dengan parallel middle body yang lebih panjang
maka akan berpengaruh terhadap tata
letak dan kapasitas dari muatan peti
kemas yang mempunyai ukuran yang
sudah standar secara internasional. Dan
kapal ini mempunyai teknik yang
disebut dengan containerization.
Dengan membentuk sarana umum angkutan komersial sistem intermodal
containerization transport. Maka dengan cara ini
pemuatan/pembongkaran barang lebih cepat kira-kira membutuhkan
waktu 3-6 jam saja dan kapal tersebut siap untuk berlayar kembali.
3. Kapal Tanker. Kapal Tanker adalah kapal yang sudah dirancang khusus
untuk mengangkut cairan atau minyak dalam jumlah begitu besar. Adapun
jenis kapal tanker yang sering kita dengar antara lain kapal tanker minyak,
Pembawa gas alam cair. Kapal Tanker ini mempunyai desain khusus
tersendiri sesuai apa yang akan diangkut nantinya, sehingga kapal Tanker
ini mempunyai sistem keselamatan yang canggih demi keselamatan para
awak yang berada dikapal tersebut. Mengingat sifat zat cair yang selalu
mengambil posisi yang sejajar dengan garis air, pada waktu kapal
mengalami keolengan dan hal ini terjadi pada tangki-tangki yang tak diisi
penuh. Oleh karena itu kapal tanker pada umumnya dilengkapi dengan
sekat melintang dan sekat memanjang. Kapal tersebut dilengkapi dengan
pompa dan instalasi pipa untuk bongkar dan muat minyak dari kapal dan
ke kapal. Lambung timbul umumnya lebih kecil dibandingkan dengan
kapal barang biasa untuk ukuran kapal yang relatif sama. Letak kamar
mesin selalu di belakang dimaksud untuk menghindari bahaya kebakaran.
36. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 35
Jenis-jenis Tanker
Tanker dapat diklasifikasi berdasarkan kapasitas muatannya serta jenis
produk yang diangkut. Atas dasar tujuan mereka, mereka dapat
diklasifikasikan sebagai tanker minyak, tanker kimia, pengangkut LNG,
tanker lumpur, tanker Hidrogen, tanker anggur, Tanker jus, dan Tug
Barges Terpadu (ITB). Saat ini, super tanker seperti pembawa minyak
mentah sangat besar (VLCC) dan pembawa minyak mentah ultra besar
(ULCC - tonase bobot mati hingga 550.000) sedang dibangun untuk
mengangkut sejumlah besar bahan bakar minyak mentah dan hasil
pengolahan minyak di seluruh benua. Setelah pipa, super tanker adalah
metode terbaik kedua untuk mengangkut minyak dalam jumlah besar di
dunia.
Klasifikasi tanker berdasarkan ukuran
Aframax: Aframax adalah kapal tangki minyak mentah berukuran sedang
dengan tonase bobot mati (DWT) berkisar antara 80.000 dan 120.000.
Kapal tanker itu memiliki kapasitas pengangkutan minyak mentah antara
70.000 dan 100.000 metrik ton minyak mentah. Rata-rata daya dukung
bahan bakar kapal Aframax adalah sekitar 750.000 barel. Karena
ukurannya, tanker Aframax dapat melayani sebagian besar pelabuhan di
dunia.
Panamax: Panamax adalah kapal tanker berukuran sedang yang mampu
melewati ruang kunci Terusan Panama. Mereka memiliki tonase bobot
mati antara 50.000 hingga 80.000. Tanker ini terutama digunakan untuk
membawa minyak mentah dan produk minyak bumi.
Suezmax: Suezmax adalah kapal tanker berukuran sedang hingga besar
dengan bobot mati (DWT) berkisar antara 120.000 hingga 200.000.
Mereka adalah kapal laut terbesar yang memenuhi batasan Suez, dan
mampu transit kanal dalam kondisi sarat. Sebuah kapal tanker Suezmax
tipikal adalah 275 m (900 kaki) panjang, 48 m (157 kaki) lebar, dan 16,2
m (53 kaki) dalam konsep yang sesuai dengan sekitar 150.000 DWT.
37. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 36
Very Large Crude Carriers (VLCC): VLCC adalah kapal tanker ukuran
besar dengan bobot mati berkisar antara 180.000 hingga 320.000. Kapal
tanker ini mampu melewati Terusan Suez di Mesir, dan sebagai hasilnya
digunakan secara luas di sekitar Laut Utara, Mediterania, dan Afrika Barat.
VLCC dapat mengukur panjang hingga 1.540 kaki (470 m), lebar hingga
200 kaki (60 m), dan memiliki draf hingga 66 kaki (20 m).
Ultra Large Crude Carriers: ULCC atau Ultra Large Crude Carriers
adalah kapal tanker terbesar di dunia dengan ukuran berkisar antara
320.000 hingga 550.000 DWT. Karena ukurannya yang besar, mereka
membutuhkan terminal yang dibuat khusus. Hasilnya, mereka mampu
melayani sejumlah pelabuhan di dunia. Mereka terutama digunakan untuk
transportasi minyak mentah jarak sangat
jauh, terutama dari Teluk Persia ke
Eropa, Asia dan Amerika Utara. Saat ini,
ULCC adalah salah satu kapal
pengiriman terbesar dengan dimensi
standar panjang 415 meter, lebar 63
meter, dan draft 35 meter. Knock Nevis adalah supertanker ULCC
terpanjang yang pernah dibangun di dunia dengan dimensi panjang 458,4
meter dan lebar 68 meter.
4. Kapal Penumpang. Kapal penumpang adalah kapal untuk transportasi
untuk mengangkut penumpang serta kendaraanya melewati jalur air.
Kategori ini mencakup feri, kapal pesiar, kapal laut, dan kapal pesiar.
Kategori ini juga dapat mencakup kapal barang dengan fasilitas yang
memadai untuk mengangkut sejumlah besar penumpang. Kapal
penumpang sudah termasuk kapal cepat saat ini dan akan selalu singgah
di pulau-pulau lainnya untuk mengambil penumpang selayaknya mobil
taksi jika berada didarat. Kapal penumpang kecil kebanyakan digunakan
untuk pesiar antar pulau yang tak begitu jauh menyusuri pantai/sungai
yang menghubungkan antar kota sebagai komunikasi transport. Kapal
38. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 37
penumpang besar biasanya dipakai untuk pelayaran antar pulau yang jauh
atau antar benua untuk tourist dan lain-lain. Kapal ini biasanya dilengkapi
dengan akomodasi penumpang yang lebih baik dan fasilitas rekreasi
misalnya kolam renang, bioskop dan tempat-tempat relaks lainnya. Selain
itu kapal penumpang dilengkapi
dengan alat keselamatan pelayaran
yang lebih lengkap, dibandingkan
dengan kapal-kapal lainnya misalnya
sekoci penolong, baju penolong dan
perlengkapan keselamatan lainnya. Semua kapal penumpang kecuali kapal
penumpang cepat biasanya selalu membawa sedikit muatan barang.
5. Kapal Pengangkut Kayu (Timber Carrier). Yaitu kapal yang fungsinya
mengangkut kayu dengan segala
bentuknya. Umumnya sebagai muatan
kayu yang diangkut diletakkan di atas
geladak dan jumlah muatan digeladak
kurang lebih 30% dari seluruh muatan
yang diangkut. Oleh karena itu
konstruksi dari dek/geladaknya harus dipasang perlengkapan untuk
keperluan itu. Kayu yang diangkut di atas geladak dan diikat kuat dapat
menambah daya apung cadangan, sehingga lambung timbul kapal
pengangkut kayu relatip lebih kecil dibandingkan kapal barang. Oleh
karena itu dikatakan bahwa kapal pengangkut kayu dianggap mempunyai
free board khusus. Dalam menentukan stabilitas harus dianggap muatan
geladak yang diikat dengan kuat merupakan satu bagian dari badan kapal.
6. Kapal Pengangkut Ternak. Karena muatannya adalah ternak, maka
kapal jenis ini harus menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk ternak
tersebut misalnya tempat makan, tempat kotoran yang dengan mudah
dapat dibersihkan.
39. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 38
7. Kapal Pendingin (Refrigated Cargo Vessels). Kapal jenis ini khusus
digunakan untuk pengangkutan muatan yang perlu didinginkan gunanya
untuk mencegah pembusukan dan
kerusakan muatan. Ruang muat
dilengkapi dengan sistim isolasi dan
sisitim pendinginan. Umumnya muatan
dingin hanya diangkut pada satu jurusan
saja. Adapun jenis muatannya adalah buah-buahan, sayur-sayuran, daging
beku, ikan, udang dan lain-lainnya. Meskipun ruang muat sudah
dilengkapi dengan instalasi pendingin untuk mengawetkan muatan, tetapi
kecepatan kapal masih relatif lebih cepat dibandingkan dengan kapal-
kapal pada umumnya. misalnya kapal pengangkut buah-buahan kecepatan
dinas antara 18 -21 Knots.
8. Kapal khusus
Kapal-kapal khusus5
dirancang untuk mengangkut barang-barang tertentu
seperti kendaraan dan mesin. kapal specialised adalah kapal-kapal yang
memiliki mesin dan peralatan onboard untuk melakukan berbagai tugas
yang berkaitan dengan industri kelautan. Kapal laut khusus termasuk
Kapal Penanganan Penarik Jangkar, Kapal Pengeboran, Kapal Pencegah
Sumur, Kapal Pemecah Es, Kapal Pemasangan Kabel, Kapal Layanan
Pengujian Baik, Kapal Penunjang Lapangan, Kapal Seismik, dan Kapal
Pemadam Kebakaran. Jangkar Kapal Penarik Penanganan Jangkar.
Kapal Anchor Handling Tug
Supply (AHTS) dirancang dan
dilengkapi untuk penanganan
jangkar dan operasi penarik.
Mereka juga digunakan untuk
tujuan penyelamatan dalam kasus darurat.
5
MaritimeConnector, Merchant Vessels, http://maritime-connector.com/wiki/merchant-
vessels/
40. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 39
Kabel Pemasangan Kapal, Kapal peletakan kabel digunakan untuk
meletakkan kabel di dasar laut untuk telekomunikasi, transmisi daya
dan keperluan lainnya. Kapal-kapal ini adalah kapal laut dalam.
Kapal Pengeboran, Kapal pengeboran atau bor adalah kapal laut
yang digunakan untuk tujuan pengeboran lepas pantai. Mereka
dilengkapi dengan peralatan pengeboran dan terutama digunakan
untuk pengeboran lepas pantai
eksplorasi. Itu juga dapat digunakan
sebagai platform untuk melakukan
tugas-tugas yang terkait dengan
pemeliharaan sumur minyak atau
pekerjaan penyelesaian seperti
pemasangan casing dan tubing, atau instalasi pohon bawah laut.
Kapal Pemecah Es, Seperti namanya, Kapal Pemecah Es dirancang
khusus untuk bergerak dan bernavigasi melalui air yang tertutup es
dan digunakan untuk
memberi jalan bagi kapal
laut lainnya. Mereka
memiliki bagian busur
berbentuk sendok untuk
memecahkan es di jalan.
Kapal pemipaan pipa, Kapal
pipelay atau pipelayer adalah
kapal yang digunakan dalam
pembangunan infrastruktur
bawah laut. Hal ini digunakan
41. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 40
untuk meletakkan pipa di dasar laut untuk menghubungkan platform
produksi minyak (atau gas) dengan kilang di pantai.
Kapal penarik, Tugboat (tug) adalah kapal yang menggerakkan
kapal dengan menarik atau mendorongnya. Kapal tunda
menggerakkan kapal yang tidak boleh bergerak sendiri, seperti kapal
di pelabuhan atau di kanal sempit,
atau kapal yang tidak bisa bergerak
sendiri, seperti kapal yang cacat,
tongkang atau anjungan minyak.
Kapal tunda adalah kapal-kapal
kecil yang dibangun dengan kuat dengan mesin yang sangat kuat, dan
beberapa di antaranya bergerak ke laut.
9. Kapal Lepas Pantai
Kapal Lepas Pantai adalah kapal yang dirancang khusus untuk
mengangkut barang dan personel ke anjungan minyak lepas pantai yang
beroperasi jauh di lautan. Ukuran kapal-kapal ini berkisar antara 20 meter
dan 100 meter. Mereka pandai menyelesaikan berbagai tugas dalam rantai
pasokan. Kategori ini dapat mencakup Platform Supply Vessels (PSV),
tongkang lepas pantai, dan semua jenis kapal khusus termasuk Anchor
Handling Vessels, Drilling Vessels, Vessels Well Intervensi, Beast Ice
Breaking, Cable Laying Vessels, Seismic Vessels, dan Fire Fighting
Vessels seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Jenis kapal yang termasuk kapal lepas pantai diantaranya:
Kapal Pendukung Konstruksi
(CSV), Kapal pendukung
konstruksi atau CSV digunakan
untuk mendukung konstruksi lepas
pantai yang kompleks, instalasi, pemeliharaan, dan operasi canggih
lainnya. CSV secara signifikan lebih besar dan lebih terspesialisasi
daripada kapal lepas pantai lainnya.
42. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 41
Kapal Derek. Kapal derek,
derek apung atau kapal derek
adalah kapal yang dilengkapi
dengan derek besar yang khusus
mengangkat beban berat. Kapal
crane terbesar digunakan untuk
konstruksi lepas pantai. Karena peningkatan stabilitas, katamaran atau
tipe semi-submersible sering digunakan, tetapi juga, mono hull
konvensional juga digunakan.
Diving Support Vessel (DSV), Kapal pendukung penyelaman adalah
kapal yang digunakan
sebagai pangkalan
terapung untuk
proyek penyelaman
profesional yang
sering dilakukan di sekitar anjungan minyak dan instalasi terkait di
perairan terbuka.
Tongkang Lepas Pantai. Tongkang lepas pantai digunakan untuk
berbagai tugas laut. Mereka dapat
dilengkapi dengan crane mengangkat
berat, sistem pemadam kebakaran,
atau dapat digunakan untuk peletakan
pipa (Derrick Barge), atau bahkan dapat berfungsi sebagai akomodasi
lepas pantai bagi personel.
Kapal Pasokan Platform, Seperti namanya, Platform Supply Vessels
(PSV) digunakan untuk mengangkut kru
dan pasokan ke platform minyak jauh di
dalam lautan, dan membawa kargo dan
personel kembali ke pantai. Ukurannya
bervariasi dari kapal kecil sepanjang 20
meter hingga kapal besar 100 meter.
Kapal-kapal ini dirancang untuk mengangkut berbagai macam kargo
43. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 42
seperti cairan pengeboran, semen, lumpur, dan bahan bakar dalam
tangki di bawah geladak. Dek terbuka pada PSV biasanya digunakan
untuk membawa bahan-bahan lain seperti selubung, pipa bor, pipa
dan aneka muatan geladak ke dan dari anjungan lepas pantai. Kapal
Pasokan Platform sering dilengkapi dengan peralatan pemadam
kebakaran untuk menghadapi situasi darurat.
Berdasarkan data statistik dari Kementerian Perhubungan (Kementerian
Perhubungan h.2-1, 2017)6
yang terdapat di tahun 2017 populasi kapal menurut
kepemilikannya terdapat 23.823 unit kapal yang dimiliki oleh Nasional, 243 unit
charter asing dan 9.122 unit kapal yang dimiliki oleh keagenan asing, sehingga
jumlah seluruh kapal menurut kepemilikan yang berada di wilayah Republik
Indonesia adalah sebanyak 33.188 Unit.
Kondisi Pelabuhan
a. Definisi dan Istilah
Hal – hal yang terkait dengan definisi pelabuhan dan istilah yang berkaitan dengan
pelabuhan dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran.
BAB I, Ketentuan Umum Pasal 1 butir:
14. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan
fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus
lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan
berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong
perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang
wilayah.
6
Kementrian Perhubungan, 2017. Statistik Perhubungan 2017 Buku 1, Sub Sektor Perhubungan
Laut, Sekretariat Jendral PUSTIKOM HUB Kementerian Perhubungan, 2018, ISBN: 978 602
51839 3 5, Jakarta Pusat, Jakarta, Indonesia
44. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 43
15. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu system kepelabuhanan yang
memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan
Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta
keterpaduan dengan sektor lainnya.
16. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan
pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat
berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra-dan antarmoda transportasi.
17. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam
negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan
penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan
pelayanan antarprovinsi.
18. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri
dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau
barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan
antarprovinsi.
19. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani
kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri
dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan
pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau
barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam
provinsi.
b. Peran, Fungsi dan Klasifikasi Pelabuhan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan Pasal
4 Pelabuhan memiliki peran sebagai :
1) Simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hirarkinya;
45. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 44
2) Pintu gerbang kegiatan perekonomian;
3) Tempat kegiatan alih moda transportasi;
4) Penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
5) Tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
6) Mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.
Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan:
1) Pemerintahan; dan
2) Pengusahaan.
Pada peraturan pemerintah yang sama pada pasal 6 ayat 1, jenis pelabuhan terbagi
menjadi 2 bagian yaitu Pelabuhan Laut dan Pelabuhan Sungai dan Danau.
Selanjutnya pada pasal 6 ayat 3, Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) secara hierarki terdiri atas: a. pelabuhan utama; b. pelabuhan pengumpul; dan c.
pelabuhan pengumpan.
c. Fasilitas di dalam Pelabuhan
Mengenai fasilitas didalam pelabuhan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan dimana fasilitas ada yang
diperuntukkan untuk fasilitas pelabuhan laut di wilayah darat seperti tercantum
dalam Pasal 22, ayat 2 dan 3.
Ayat (2) Fasilitas pokok meliputi:
1) Dermaga;
2) Gudang lini 1;
3) Lapangan penumpukan lini 1;
4) Terminal penumpang;
5) Terminal peti kemas;
6) Terminal ro-ro;
7) Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah;
8) Fasilitas bunker;
9) Fasilitas pemadam kebakaran;
46. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 45
10) Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan
11) Beracun (B3); dan
12) Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan dan
13) Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP).
Ayat (3) Fasilitas penunjang meliputi:
1) Kawasan perkantoran;
2) Fasilitas pos dan telekomunikasi;
3) Fasilitas pariwisata dan perhotelan;
4) Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
5) Jaringan jalan dan rel kereta api;
6) Jaringan air limbah, drainase, dan sampah;
7) Areal pengembangan pelabuhan;
8) Tempat tunggu kendaraan bermotor;
9) Kawasan perdagangan;
10) Kawasan industri; dan
11) Fasilitas umum lainnya.
Sedangkan untuk fasilitas pelabuhan laut di wilayah perairan diatur dalam peraturan
yang sama Pasal 23 ayat 2 dan 3. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain:
Ayat (2) Fasilitas pokok meliputi:
1) Alur-pelayaran;
2) Perairan tempat labuh;
3) Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal;
4) Perairan tempat alih muat kapal;
5) Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan
Beracun (B3);
6) Perairan untuk kegiatan karantina;
7) Perairan alur penghubung intra-pelabuhan;
8) Perairan pandu; dan
9) Perairan untuk kapal pemerintah.
47. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 46
Ayat (3) Fasilitas penunjang meliputi:
1) Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
2) Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
3) Perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
4) Perairan tempat kapal mati;
5) Perairan untuk keperluan darurat; dan
6) Perairan untuk kegiatan kepariwisataan dan perhotelan.
Selain fasilitas yang telah disebutkan diatas berdasarkan peruntukannya didalam
peraturan yang sama diatur juga fasilitas untuk pelabuhan sungai dan danau untuk
wilayah darat dan perairannya yang diatur dalam pasal 24 dan 25. Pada pasal 26
dan 27 juga diatur fasilitas yang harus disediakan khusus untuk kriteria pelabuhan
laut, sungai dan danau untuk penyeberangan baik fasilitas di wilayah darat dan
wilayah perairan.
d. Penyelenggara Pelabuhan
Penyelenggara pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009
Tentang Kepelabuhanan pada Pasal 38 ayat 2 dimana : Penyelenggara pelabuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
1) Otoritas Pelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial; dan
2) Unit Penyelenggara Pelabuhan pada pelabuhan yang belum diusahakan
secara komersial.
Adapun tugas otoritas pelabuhan diatur dalam peraturan yang sama pada Pasal 42
ayat 2 dan 3, diantaranya:
Ayat (2) Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:
1) Menyediakan lahan di daratan dan di perairan pelabuhan;
2) Menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-
pelayaran, dan jaringan jalan;
48. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 47
3) Menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
4) Menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
5) Menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
6) Menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan
Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
7) Mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas penggunaan perairan
dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah
serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
8) Menjamin kelancaran arus barang.
Ayat (3) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh
Badan Usaha Pelabuhan.
Adapun tugas Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur pada Pasal 44 ayat 3 dan
4, diantaranya:
Ayat (3) Unit Penyelenggara Pelabuhan dalam melaksanakan fungsi pengaturan
dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan,
mempunyai tugas dan tanggung jawab:
1) Menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan
alur-pelayaran;
2) Menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
3) Menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
4) Menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
5) Menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan
Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
6) Menjamin kelancaran arus barang; dan
7) Menyediakan fasilitas pelabuhan.
49. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 48
Ayat (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharaan penahan gelombang, kolam
pelabuhan, dan alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat
dilaksanakan oleh pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan
dalam perjanjian konsesi.
e. Pengelola Pelabuhan yang Diusahakan
Pelabuhan-pelabuhan yang diusahakan adalah pelabuhan yang dikelola secara
komersial oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia, untuk memberikan fasilitas
pelayanan yang diperlukan bagi kapal yang memasuki pelabuhan untuk melakukan
kegiatan bongkar muat barang dan lain-lain. Dimana pengelolaannya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Pengelolaan Pelabuhan dilaksanakan oleh
Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
Hingga saat ini, selain Pelindo (I-IV), ada puluhan perusahaan lainnya yang sudah
memiliki status sebagai BUP. Status BUP ini dikeluarkan oleh Direktorat
Kepelabuhan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 dan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2011 tentang Terminal Khusus dan
Terminal Untuk Kepentingan Sendiri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 2016, telah dilakukan penilaian dan
evaluasi dari aspek kegiatan usaha, aspek transportasi hasil produksi, aspek
kepelabuhanan, dan aspek keselamatan pelayanan yang pada prinsipnya kepada
yang bersangkutan dapat diberikan persetujuan penetapan lokasi, Persyaratan Surat
Izin Pembangunan dan Pengoperasian Terminal Khusus antara lain sebagai
berikut:
1) Surat Permohonan;
2) Akta Pendirian Perusahaan;
3) Izin Usaha Pokok dari Instansi Terkait;
4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
5) Bukti Penguasaan tanah;
6) Bukti Kemampuan Finansial (Ketersediaan Anggaran Pembangunan)
50. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 49
7) Proposal Rencana Tahapan Kegiatan Pembangunan jangka Pendek, Jangka
Menengah dan Jangka Panjang;
8) Rekomendasi dari Syahbandar pada Kantor UPP/KSOP Terdekat Mengenai
Perencanaan Alur Pelayaran dan SBNP;
9) Copy Persetujuan Penetapan Lokasi Tersus dari Menhub;
10) Teknis gambar Hidrografi dan Topografi;
11) Ringkasan Laporan hasil Survey Pasang Surut dan Arus;
12) Tata Letak Dermaga;
13) Perhitungan dan gambar Konstruksi Bangunan Pokok (Denah, Tampak, dan
Potongan);
14) Hasil Survei Kondisi Tanah;
Hasil Kajian Keselamatan Pelayaran (Rencana Penempatan SBNP, Alur dan
Kolam Pelabuhan);
15) Batas-Batas Rencana Wilayah Daratan dan Perairan dilengkapi titik
Koordinat Geografis;
16) Rencana Induk Terminal Khusus;
a) Studi Lingkungan Hidup Kepelabuhan yang telah disahkan oleh Pejabat
yang Berwenang; Memiliki Sistem dan Prosedur Pelayanan;
b) SDM di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat;
c) Studi Kelayakan (FS);
d) Laporan Keuangan yang diaudit;
e) Surat Dukungan Bank;
Saat ini sebagian besar pelabuhan komersil dikelola oleh PT. Pelabuhan Indonesia
I sampai dengan IV dan perusahaan anggota dari ABUPI (Asosiasi Badan Usaha
Pelabuhan Indonesia). Menurut data statistik jumlah pelabuhan yang dikelola oleh
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I s/d IV adalah sebagai berikut:
51. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 50
1) PT. Pelabuhan Indonesia I dengan wilayah kerja, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), Sumatera Utata (Sumut), Riau dan Kepulauan Riau
(Kepri) dengan 16 pelabuhan. (Kementerian Perhubungan h.2-7, 2017)7
2) PT. Pelabuhan Indonesia II dengan wilayah kerja Sumatera Barat, Lampung,
Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten,
Jawa Barat, Kalimantan Barat dengan 12 pelabuhan. (Kementerian
Perhubungan h.2-7, 2017)8
3) PT. Pelabuhan Indonesia III dengan wilayah kerja Jawa Timur, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur dengan 43 Pelabuhan9
.
4) PT. Pelabuhan Indonesia IV dengan wilayah kerja Kalimantan Timur,
Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi
Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua dengan 24 Pelabuhan
Sehingga total pelabuhan yang dikelola oleh PT. Pelabuhan Indonesia
(Persero) I s/d IV adalah sebanyak 95 pelabuhan10
.
f. Pengelola Pelabuhan Yang Belum Diusahakan
Pelabuhan yang belum diusahakan adalah pelabuhan laut yang dikelola oleh Unit
Pelaksana Teknis/Satuan Kerja pelabuhan di lingkungan Kantor Wilayah
Departemen Perhubungan yang pembinaan teknis operasional dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Sedangkan tugas dan fungsinya sama
dengan pelabuhan yang diusahakan, tetapi fasilitas yang dimiliki belum selengkap
pelabuhan yang diusahakan. Menurut data statistik sampai dengan tahun 2017 ada
899 pelabuhan yang dikelola oleh unit penyelenggara pelabuhan dan 570 pelabuhan
yang belum diusahakan (Kementerian Perhubungan h.2-8,10, 2017)11
.
7
Kementerian Perhubungan, 2017. Statistik Perhubungan 2017 Buku 1, Sub Sektor
Perhubungan Laut, SekretariatJendral PUSTIKOM HUB Kementerian Perhubungan, 2018,
ISBN: 978 602 51839 3 5, Jakarta Pusat,Jakarta, Indonesia
8
Ibid.
9
Wikipedia,Pelabuhan Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Indonesia_III
10
Inaport.co.id,Pelabuhan, https://inaport4.co.id/pelabuhan
11
Kementerian Perhubungan, loc.cith.2-8,10, 2017
52. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 51
Bahan Cemaran Udara
Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau
biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia,
hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak sifat
fisika dan kimia dari udara. Bahan Cemaran udara adalah hadirnya bahan -bahan
yang merusak sifat fisika dan kimia dari udara, berikut disampaikan bahan cemaran
udara yang dominan menjadi penyebab pencemaran udara:
1. Karbon monoksida (CO), merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak
berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak
seperti senyawa lain, CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya
karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu
haemoglobin.
2. Oksida nitrogen (NOx), NO2 bersifat racun terutama terhadap paru. Kadar
NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang
percobaan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari). Kadar NO2 sebesar 800 ppm akan
mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam
waktu 29 menit atau kurang. Percobaan dengan pemakaian NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam
bernafas.
3. Oksida sulfur (Sox), Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh
dua komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida
(SO2) dan Sulfur trioksida (SO3), yang keduanya disebut sulfur oksida (SOx)
Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem
pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan
terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih, bahkan pada beberapa
individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap
pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan
penderita yang mengalami penyakit khronis pada sistem pernafasan
kadiovaskular
53. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 52
4. CFC atau Chloro Fluoro Carbon. Adalah suatu senyawa organik yang
hanya mengandung karbon, klorin dan fluorin, yang diproduksi sebagai
derivate atau turunan volatile dari metana, etana dan propana. Mereka juga
dikenal dengan nama DuPont Freon.
5. Hidrokarbon (HC), Hidrokarbon di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan
lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic
hidrocarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalu
lintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker
6. Senyawa organik volatil (VOC)
7. Partikulat (Carbon Black) pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5
mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung masuk ke dalam paru-
paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa ukuran
partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat
yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan
menyebabkan iritasi
8. Radikal bebas
Dengan diberlakukannya MARPOL ANNEX VI tentang pencegahan polusi udara
yang bersumber dari kapal laut pemerintah Republik Indonesia segera menindak
lanjuti kebijakan ini dengan dikeluarkannya beberapa peraturan terkait diantaranya:
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang,
Pengesahan ANNEX III, ANNEX IV, ANNEX V, dan ANNEX VI Of the
International Convention For the Preventing Revention Of Pollution From Ship
1973 as Modified by the Protocol of 1978 Relating Thereto (Lampiran III,
Lampiran IV, Lampiran V, dan Lampiran VI dari Konvensi Internasional tahun
1973 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal Sebagaimana diubah Dengan
Protokop tahun 1978 yang terkait daripadanya)
2. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor 29 tahun 2014
tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim
54. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 53
Didalam peraturan tersebut secara jelas disebutkan adanya pembatasan terhadap
bahan – bahan yang dapat menyebabkan pencemaran udara seperti dicantumkan
didalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor 29 tahun 2014
tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim Pasal 30 ayat (1) dimana :
Setiap kapal dengan tonase kotor GT 400 (empat ratus Gross Tonnage) atau lebih
dan semua kapal yang memiliki mesin diesel 130 kW (seratus tiga puluh kiloWatt)
atau lebih yang berlayar di perairan internasional wajib memenuhi persyaratan
pencegahan pencemaran udara sesuai ketentuan dalam Annex VI MARPOL 73/78.
Kemudian dicantumkan juga dalam Pasal 30 ayat 4, Kapal yang telah memenuhi
persyaratan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diterbitkan sertifikat pencegahan pencemaran udara dari kapal oleh Direktur
Jenderal.
Pada Pasal 31 ayat 1 juga dicantumkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) mengatur mengenai:
a. Pembatasan penggunaan bahan perusak lapisan ozon (Ozon Depleting
Substances/ODS) yang terdapat di dalam system pendingin dan pemadam
kebakaran (jenis halon dan freon);
b. Pembatasan kandungan sulfur;
c. Kualitas minyak bahan bakar;
d. Emisi bahan organik yang mudah menguap (Volatile Organic
Compound/VOC) untuk kapal tangki yang mengangkut minyak mentah;
e. Penggunaan incinerator di kapal;
f. Mesin diesel kapal yang dipasang di kapal dengan tonase kotor GT 400 (empat
ratus Gross Tonnage) atau lebih harus tersedia buku catatan mesin (engine
record book);
g. Pembatasan emisi kadar Nitrogen Oxides (NOx);
h. Tersedianya pola penanganan efisiensi energi pada kapal (ship energy
efficiency management plan) yang disetujui oleh Pemerintah; dan
i. Indeks perencanaan efisiensi energi / Energy Efficiency Design Index (EEDI).
a. Sumber Cemaran Udara
55. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 54
Sumber cemaran yang terkait dengan aktivitas di pelabuhan harus didefinisikan
dengan jelas, sehingga akan diketahui sumber cemaran mana yang dapat
dikendalikan dan sumber mana yang tidak dapat dikendalikan. Berdasarkan sumber
cemaran udara yang ada di sekitar pelabuhan berikut akan disampaikan pada tabel
dibawah ini:
Tipe Sumber Kategori Sumber Cemaran Tipe Energi
Cemaran
Sumber Cemaran
Bergerak
Kapal Laut Internasional Fuel Oil (FO), Diesel Oil (DO),
Natural Gas (NG)
Kapal Laut Domestik FO & DO
Peralatan Penanganan Kargo DO & Listrik
Kendaraan Berat DO & Listrik
Lokomotif DO & Listrik
Kendaraan Ringan DO, Gasoline & Listrik
Sumber Cemaran
Bergerak
Jaringan Listrik Coal, NG & DO
Pembangkit Listrik Coal, NG & DO
Fasilitas Industri Listrik, NG & DO
Fasilitas Perakitan Listrik, NG & DO
Kantor Administrasi Listrik & DO
Dari tabel diatas diketahui bahwa sumber utama dari cemaran udara untuk sumber
yang bergerak adalah hasil pembakaran internal bahan bakar yang digunakan oleh
setiap kategori sumber cemaran. Polutan udara utama dari sumber bergerak dimana
berasal dari bahan bakar fosil adalah NOx, PM, SOx, CO dan VOC. Polutan
dominan dari sumber bergerak bertenaga bahan bakar fosil, CO2, secara langsung
berkaitan dengan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi, jadi konsumsi bahan bakar
adalah informasi utama yang diperlukan untuk memperkirakan emisi CO2 dari
sumber-sumber ini.
Untuk memperkirakan polutan udara (non-GRK) dari sumber-sumber ini di
sebagian besar inventori emisi berbasis aktivitas, output energi digunakan (dalam
hal kilowatt-jam, atau kWh). Konsumsi bahan bakar dan output energi dihubungkan
dengan konsumsi bahan bakar spesifik (BSFC), yang merupakan ukuran konsumsi
bahan bakar per unit output energi, dalam satuan seperti gram bahan bakar per kWh
(g / kWh). Nilai rata-rata BSFC bervariasi untuk berbagai jenis mesin dan bahkan
untuk beban operasi yang berbeda untuk mesin yang diberikan. Dalam praktiknya,
nilai rata-rata diberikan berbeda pada setiap jenis mesin.
56. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 55
Konsumsi bahan bakar dapat diperkirakan dari output energi dengan mengalikan
output energi dengan nilai yang relevan untuk BSFC, berhati-hatilah untuk
menggunakan unit yang sesuai. Sebaliknya, output energi bisa diperkirakan dari
konsumsi bahan bakar dengan membagi estimasi konsumsi bahan bakar dengan
nilai BSFC. Nilai dari konversi ini memungkinkan dilakukannya standarisasi unit
jika data dikumpulkan dari keduanya konsumsi energi dan bahan bakar.
b. Emisi Gas Buang
Emisi gas buang adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin
pembakaran dalam, mesin pembakaran luar, mesin jet yang dikeluarkan melalui
sistem pembuangan mesin. Atau juga merupakan sisa hasil pembakaran mesin
kendaraan baik itu kendaraan beroda, perahu/kapal dan pesawat terbang. Biasanya
emisi gas buang ini terjadi karena pembakaran yang tidak sempurna dari sistem
pembuangan dan pembakaran mesin serta lepasnya partikel-partikel karena kurang
tercukupinya oksigen dalam proses pembakaran tersebut.
Secara umum, emisi diperkirakan sebagai fungsi dari permintaan daya kapal atau
energi yang diekspresikan dalam kWh dikalikan dengan faktor emisi, di mana
faktor emisi dinyatakan dalam gram per kilowatt-jam (g / kWh). Penyesuaian faktor
emisi (untuk beban engine propulsi rendah, penggunaan bahan bakar berbeda,
ataukontrol emisi) kemudian diterapkan pada berbagai aktivitas dan data
operasional. Persamaan 1 dan 2 yang ditunjukkan di bawah ini adalah persamaan
dasar yang digunakan untuk memperkirakan emisi berdasarkan mode operasi
danmesin. Seperti dibahas sebelumnya, ada tiga mode pengoperasian kapal: transit,
manuver, dan hotelling.
Untuk sebagian besar kapal kontainer ada tiga sumber emisi: utama, tambahan dan
ketel. Jadi, untuk kedatangan kapal Anda perlu melakukan perhitungan ini sembilan
kali (tiga sumber kali tiga mode). Perhitungan emisi gas buang kapal dapat
dilakukan berdasarkan 2 model:
1) Perhitungan emisi gas buang berdasarkan model aktivitas kapal
2) Perhitungan emisi gas buang berdasarkan konsumsi bahan bakar
57. Laporan Pendahuluan
Studi Pengukuran Emisi Gas Buang dari Pengoperasian Kapal Laut Niaga Domestik
Bab II - 56
1) Perhitungan emisi gas buang berdasarkan model aktivitas kapal
Besarnya emisi yang dihasilkan oleh aktivitas kapal dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut:
Ei = Energyi x EF x FCF x CF (1)
Dimana:
Ei : Emisi berdasarkan mode operasi i
Energii : Permintaan energi berdasarkan mode i, dihitung menggunakan
Persamaan 2 di bawah ini. Sebagai output energi dari mesin atau
boiler selama periode waktu tertentu, kWh
EF : Faktor emisi, dinyatakan dalam g / kWh, tergantung pada jenis
mesin, standar IMO Nox dan bahan bakar yang digunakan
FCF : Faktor koreksi bahan bakar, tanpa unit
CF : Faktor kontrol untuk teknologi pengurangan emisi, tanpa unit
Istilah 'Energi' dari persamaan diatas adalah tempat sebagian besar informasi
spesifik lokasi digunakan. Energi adalah fungsi kekuatan maksimum pengenal
kontinu (MCR) engine yang dinyatakan dalam kW, dikalikan dengan load
factor (LF), yang adalah unitless dan yang mewakili persentase beban engine
maksimum pada mesin propulsi selama masing-masingmode operasi,
dikalikan dengan waktu operasi untuk setiap mode yang diperkirakan
menghasilkan emisi. Energi oleh mode dan mesin dihitung menggunakan
Persamaan 2.
Ei = Loadi x Activityi (2)
Dimana:
Energi (Ei) : permintaan energi berdasarkan mode i, kWh
Loadi : nilai daya kontinu maksimum (MCR) kali faktor beban (LF)
untuk engine propulsi kekuatan, kW; melaporkan beban
operasional mesin bantu, berdasarkan mode i, kW; atau
beban operasional boiler tambahan, berdasarkan mode i, kW
Activitii : aktivitas untuk mode i, jam
Faktor beban mesin propulsi
Faktor beban propulsi digunakan untuk memperkirakan berapa banyak mesin
propulsi MCR yang digunakan. Faktor muatan mesin propulsi diperkirakan