SlideShare a Scribd company logo
1 of 204
Download to read offline
RENCANA
PENGEMBANGAN
SENI
PERTUNJUK
AN
NA
SIONAL
2015-2019
i
:
RENCANA PENGEMBANGAN SENI
PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019
iv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Helly Minarti
Yudi Ahmad Tajudin
Dian Ika Gesuri
PT. REPUBLIK SOLUSI
v
RENCANA PENGEMBANGAN SENI
PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019
Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif:
Penasihat
Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI
Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI
Pengarah
Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kemenparekraf
Ahman Sya, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya
Cokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan
Penanggung Jawab
Mumus Muslim, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya
Juju Masunah, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik
Tim Studi
Helly Minarti
Yudi Ahmad Tajudin
Dian Ika Gesuri
ISBN
978-602-72387-3-2
Tim Desain Buku
RURU Corps (www.rurucorps.com)
Sari Kusmaranti Subagiyo
Penerbit
PT. Republik Solusi
Cetakan Pertama, Maret 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
vi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Abduh Azis
Aisha Pletscher
Amna S. Kusumo
Bambang Subekti
Bre Redana
Budi Setiyono
Budi Utomo Prabowo
Butet Kertaredjasa
Dewi Noviami
Edy Utama
Een Herdiani
Ery Mefri
Farah Wardani
Gianti Giadi
Idaman Andarmosoko
Iswadi
Joned Suryatmoko
Kunci Cultural Studies
Kurniawan
Linda Hoemar Abidin
Lono Simatupang
Madia Patra Ismar
Maria Tri Sulistyani
Mesdin Kornelis Simarmata
Naomi Srikandi
Nirwan Dewanto
Rama haharani
Ratna Riantiarno
Sal Murgiyanto
Siti Tri Joelyartini
Susi Ivvaty
Susiyanti
Toto Arto
Ubiet Raseuki
Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion (FGD)
vii
Kata Pengantar
Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun
tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang
sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia,
karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan
dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus
saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi
dan berpentas di panggung-pangung internasional.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka
dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukan
musikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi
besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap
sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Tetapi, benarkah?
Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah
satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif
sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signiikan ini pun lalu diadopsi ke dalam
rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
pada Desember 2011.
Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang
besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya
menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen
Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkan
perolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural,
perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari he Broadway League,
pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke
dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui
kota lain di Amerika.
Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia?
Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni
pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk
tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja
pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta
indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai
suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan
selama penelitian.
viii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang
seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi,
transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi
dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang
bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang
tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkan
ineisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting
adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang
masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan
masyarakat penontonnya sendiri.
Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini
berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang
diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar
yang kokoh dan terukur capaiannya. Tentu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan
dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian penting
yang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini.
Terakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak
mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari
banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para
narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjang
bulan Mei-Juni. Tanpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak
mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni
Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini.
Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses
pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia.
Jakarta, September 2014.
Salam Kreatif,
Mari Elka Pangestu
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
ix
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................... vii
Daftar Isi.............................................................................................................................. ix
Daftar Gambar.....................................................................................................................xii
Daftar Tabel.........................................................................................................................xiii
Ringkasan Eksekutif...........................................................................................................xiv
BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3
1.1 Deinisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4
1.1.1 Deinisi Seni Pertunjukan........................................................................................4
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan....................................................7
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan...................................................................24
1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................24
1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27
BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN
INDONESIA...........................................................................................................................35
2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................................36
2.1.1 Deinisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36
2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................36
2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan.........................................................72
2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan.................................................................................72
2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan...............................................................76
2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan...............................................................78
BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA...........................................85
3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86
3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88
3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan.........................................................................................89
3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90
3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga.......................................................................... 91
3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor...............................................................................................92
x Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan.....................................................................94
3.2.1 Retribusi Daerah......................................................................................................94
3.2.2 Pajak Daerah........................................................................................................... 96
3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa......................................................................................97
3.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian........................................................98
3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni........................................................................100
3.2.6 Kepabeanan.............................................................................................................101
3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan.......................................................................................103
3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan...........................................................................................105
3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan.............................................107
BAB 4 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...................................115
4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019......................................... 116
4.2 Visi, Misi, Dan Tujuan Pengembangan Seni Pertunjukan.................................................117
4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan......................................................................119
4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan.....................................................................119
4.2.3 Tujuan Pengembangan Seni pertunjukan.................................................................120
4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan.................... 121
4.4 Indikator dan Target Pengembangan Ekonomi Kreatif......................................................124
4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang
Berdaya (Empowered)............................................................................................. 124
4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya
Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan............................................... 124
4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas............. 125
4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan
Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses 126
4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas Dan
Berkelanjutan......................................................................................................... 126
4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat
Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan......................................................... 126
4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk
Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127
4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................127
4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan
Karya Seni Pertunjukan...........................................................................................127
xi
4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni
Pertunjukan............................................................................................................ 128
4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni
Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik.........................................................129
4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal .......129
4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan
Berkualitas ..............................................................................................................130
4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan ............................................................ 130
4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni
Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses ............................. 131
4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri ................................131
4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional
Dan Tempat Latihan .............................................................................................. 132
4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif Bagi
Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 132
4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni
Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan ................................................ 133
4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan
Seni Pertunjukan ....................................................................................................133
4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia
Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan ...............................................134
4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan............134
BAB 5 PENUTUP...................................................................................................................137
5.1 Kesimpulan......................................................................................................................138
5.2 Saran................................................................................................................................140
LAMPIRAN............................................................................................................................143
xii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Daftar Gambar
Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23
Gambar 1-2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia.....................................................32
Gambar 2-1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.........................................................................38
Gambar 2-2 Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar
yang Umum Digunakan......................................................................................46
Gambar 2-3 Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73
Gambar 3-1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88
Gambar 3-2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89
Gambar 3-3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90
Gambar 3-4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan........................ 91
Gambar 3-5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92
Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93
Gambar 3-7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE..................... 94
Gambar 3-8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan..............................................................105
Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118
xiii
Daftar Tabel
Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013..................................................86
Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan.............................................................107
xiv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Ringkasan Eksekutif
Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentiikasi oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang potensial dikembangkan.
Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku
kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas isu-
isu penting seputar seni pertunjukan.
Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka
pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf
namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan
(Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan.
Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur
potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini
dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia
dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung
menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah
kategorikal seperti ‘tradisi’, ‘modern’ dan ‘kontemporer’ terlebih dahulu dibedah secara kritis agar
dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman
berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif Barat—Eropa-Amerika—yang
mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap ‘modern’ oleh Barat belum tentu sama dengan
pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dari
perspektif kesejarahan yang berbeda.
Agar memperjelas uraian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh
pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti
bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya
telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif
dalam lokalitasnya yang khas.
Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identiikasi permasalahan, terutama dari sudut
kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukan—meski
berpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia –masih jauh dari
ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai ‘produk’ yang siap dipasarkan secara
kompetitif). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih
minim—bahkan bisa dibilang tidak ada—sehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang
menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini
tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses
gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang
terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan
karyanya di tempat atau kota lain (touring).
xv
Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme ‘pasar’ dalam seni pertunjukan Indonesia dalam
pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris
sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi
penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung
jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda.
Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga
subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yang
sekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi
dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia
bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang
menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni),
maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur seni
pertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan
prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik
seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagi
sektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial.
Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini
tercapai, sambil jeli mempromosikan ‘produk-produk’ kesenian yang dianggap potensial untuk
bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau
lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang
penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar
(market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yang
sarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang.
Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan
Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi
seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi
dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut.
1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer
Indonesia.
2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan
seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi
yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya
akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup
seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta
profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya
dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (inansial).
3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup
masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu
menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.
xvi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
“
“If you fail to plan, you are planning to fail.
Benjamin Franklin
2 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
BAB 1
Perkembangan
Seni Pertunjukan
di Indonesia
4 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia
Untuk mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia, perlu dipahami posisi seni pertunjukan
Indonesia jika dilihat dari perspektif ekonomi kreatif sebagai salah satu subsektor yang potensial.
Pemahaman terhadap seni pertunjukan dalam konteks ekonomi kreatif dapat ditelusuri dari
sejarah dan parameter-parameter global sebagai sebuah subsektor ekonomi kreatif. Sebagai
sebuah paradigma yang relatif baru dalam melihat serta mengukur perkembangan kesenian di
Indonesia, perbedaan serta kompleksitas yang ditimbulkan dari parameter-parameter global ini
pun akan dipaparkan, beserta upaya mengadaptasi ukuran-ukuran tersebut ke dalam situasi serta
kebutuhan Indonesia.
Pada dasarnya, deinisi dan ruang lingkup subsektor seni pertunjukan harus mempertimbangkan
konteks serta situasi kultural yang khas Indonesia pada tingkat tertentu, sebelum mereleksikannya
pada parameter-parameter global tadi. Tentu saja deinisi serta ukuran-ukuran global dalam seni
pertunjukan tetap bisa digunakan untuk melihat dan memetakan praktik seni pertunjukan yang
berlangsung di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kenyataan-kenyataan lain (watak kultural,
situasi-situasi pascakolonial, dan lain-lain) yang ikut menentukan situasi serta bentuk-bentuk
seni pertunjukan di Indonesia mesti juga dilihat dan ditimbang. Sehingga, ukuran, gagasan
serta rencana fasilitasi serta pengembangan seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih membumi
dan relevan.
Pemetaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual ini penting sebagai
upaya pertama membentuk ekosistem yang ideal bagi seni pertunjukan Indonesia agar mampu
beroperasi di dalam ukuran-ukuran ekonomi kreatif yang sesuai dan relevan dengan situasi
Indonesia. Karena, bahkan gagasan dan kerangka ‘ekonomi kreatif’ serta ‘industri kreatif’ itu
sendiri (yang melatari pemetaan dan penyusunan rencana aksi jangka menengah ini), kita tahu,
tidak tumbuh dari bumi seni pertunjukan kita.
Hal ini tak lantas berarti kerangka dan gagasan ekonomi serta industri kreatif tak bisa kita
gunakan dan aplikasikan di Indonesia karena dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia sendiri,
(sebagaimana yang terlihat pada sejarah Komedi Stamboel, Ketoprak Tobong, atau Srimulat), pada
tingkat tertentu, dengan ukuran-ukuran yang sedikit berbeda, praktik ekonomi serta industri
kreatif itu telah dan sedang berlangsung. Apa yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk bisa
melihatnya secara dialektis, sehingga niat untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia
bisa berjalan dengan produktif karena berdasarkan bentuk serta situasi yang ada.
1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan
Dilihat dari sejarah perkembangan etimologisnya, istilah seni pertunjukan sendiri merupakan
serapan dari istilah bahasa Inggris “performing arts” yang berkembang di Eropa pada 1300-an. Kata
“perform” diserap dari bahasa Prancis, “parfornir (“par” dalam bahasa Inggris berarti “completely”
+ “fornir” dalam bahasa Inggris berarti “to provide”) yang berarti melakukan, menyelenggarakan,
menyelesaikan, ataupun mencapai. Seiring dengan berkembangnya aktivitas teatrikal atau musikal
pada 1600-an, kata “perform” kemudian sering dipahami melalui sudut pandang tata bahasa
Inggris yang artinya mencakup:1
(1) Online Etymology Dictionary: http://www.etymonline.com
5
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
1. to make (membuat), construct (membangun); produce (memproduksi), bring about
(menimbulkan), atau come true (mencapai).
2. ‘present’ (kata kerja transitif - memerlukan objek dalam kalimatnya) yaitu mempersembahkan,
menyajikan (kepada penonton).
Ketika istilah tersebut diserap dan diterjemahkan ke dalam pengalaman serta sejarah kebudayaan
di Indonesia, maknanya harus beradaptasi dan dilihat dalam konteks-konteks lokal yang spesiik
secara kultural. Hal ini terkait dengan kenyataan kultural di negeri kepulauan di Indonesia sebagai
salah satu yang paling beragam di dunia, apalagi ragam tradisi pertunjukan telah menjadi bagian
dari dinamika perkembangan masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Selain itu,
sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan (Portugis,
Belanda, Inggris, dan Jepang), sebagaimana banyak negara di Asia dan Afrika, menyusun sejarah
kebudayaan dengan kompleksitas yang berbeda dengan sejarah dan pengalaman kebudayaan di
Barat, dari mana asal istilah ini berakar.
Seni pertunjukan di Indonesia, dengan latar belakang di atas, tersusun oleh pertemuan dan
persilangan kebudayaan yang relatif lebih rumit ketimbang pengalaman paralel historis di Eropa
Barat yang relatif lebih linear dan ditandai oleh patahan-patahan (rupture) yang tegas yang menandai
peralihan dari satu masa ke masa lainnya. Untuk mempermudah pengamatan, pembatasan
dasar kerap disusun mengikuti konigurasi kesejarahan: pembagian serta pengelompokan seni
pertunjukan di antara yang ‘modern’ dan pramodern (atau tradisional). Pemilahan dasar ini
secara kronologis bisa diterima, karena bentuk-bentuk teater (juga seni pertunjukan) modern
di sebagian besar negara Asia bisa dibilang baru muncul, sementara teater pramodern memiliki
asal-usul yang sangat tua dan banyak yang masih berlangsung dalam keberlanjutan yang utuh.2
Wayang kulit di Jawa Tengah maupun Indang di Minangkabau adalah dua dari sekian banyak
contoh pertunjukan pramodern. Kedua pertunjukan ini baru dimulai larut malam (sekitar pukul
21:00 atau bahkan sesudahnya) dan berlangsung hingga lima-enam jam berikutnya hingga dini
hari. Kadang mereka bersanding atau bahkan menghadapi tegangan ketika berhadapan dengan
seni pertunjukan komersial, seperti campur sari di Jawa Tengah maupun dangdut organ tunggal
di Sumatera Barat (yang terakhir ini menjadi lebih populer di beberapa wilayah Sumatera Barat
dan menggantikan ruang yang tadinya diisi oleh kesenian tradisional seperti indang).
Oleh karena itu, adalah penting mengadaptasi pendekatan etimologis ini ke dalam konteks serta
situasi kultural Indonesia. Komposer terkenal Rahayu Supanggah yang juga seorang pakar seni
pertunjukan pernah berujar, “Bisa jadi istilah ‘seni tontonan’ atau ‘seni menonton’ lebih tepat
digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman khas Indonesia, mengingat praktik-praktik unik
yang masih berlangsung, seperti contoh menonton pertunjukan wayang kulit atau pun Indang
yang bisa memakan waktu berjam-jam, dan tidak mengenal relasi spasial (hubungan ruang) yang
seketat pertunjukan Barat.” Dalam menonton wayang kulit yang berdurasi panjang, misalnya,
penonton bisa duduk dengan leluasa dan mengikuti jalannya pertunjukan yang lebih mengalir
dan alamiah ketimbang penonton di ruang teater modern yang berbentuk prosenium.
(2) “ Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5 (New York: Routledge, 1998), hlm.21.
6 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Dalam mendeinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaan-
termasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat
sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana
seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern
di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai:
Kegiatan bernilai seni yang melibatkan para penampil
(performers) yang menginterpretasikan suatu materi
kepada penonton (audiences); baik melalui tutur kata,
musik, gerakan, tarian dan bahkan akrobat. Unsur
terpenting dari seni pertunjukan adalah terjadinya
interaksi secara langsung (live) antara penampil dan
penonton, walaupun elemen pendukung seperti film
atau materi rekaman termasuk di dalamnya.
A Guide to the UK Performing Arts (2006)
Sejarah pascakolonial dalam seni pertunjukan di Indonesia mencerminkan suatu kompleksitas
kenyataan yang pada tingkat tertentu berbeda dengan kenyataan seni pertunjukan di Barat, sehingga
perbandingan seni pertunjukan di Indonesia dengan di Barat pun harus dilakukan dengan kritis.
Hingga kini, di banyak desa di Indonesia, misalnya, masih banyak ditemukan pertunjukan yang
terjadi di ruang ritual (religius maupun spiritual), sosial maupun komersial. Kategori-kategori ini
(ritual religius atau spiritual, sosial maupun komersial) terjadi dalam geograi kultural yang sama,
yaitu Indonesia, sehingga tidak jarang yang ritual (religius) disusul oleh yang sosial, bahkan juga
berimpitan atau bertautan dengan yang bersifat komersial.
Disesuaikan dengan konteks perkembangan seni pertunjukan yang terjadi di Indonesia dan
berdasarkan kerangka pemetaan potensi ekonomi, maka seni pertunjukan dideinisikan sebagai:
Cabang kesenian yang melibatkan perancang,
pekerja teknis dan penampil (performers), yang
mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu
gagasan kepada penonton (audiences); baik dalam
bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan
tubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live)
di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini
(hic et nunc).
Sumber: Focus Group Discussion Subsektor Seni Pertunjukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Mei-Juni 2014)
7
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Dalam deinisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan deinisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu:
1. Gagasan adalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan
tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan
suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan;
2. Perancang adalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangka
penciptaan seni pertunjukan;
3. Penampil adalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentuk-
bentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan
karya seni pertunjukan;
4. Pekerja teknis adalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang
bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan;
5. Penonton adalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya
seni pertunjukan;
6. Langsung (live) adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsung
di dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini
dan kini (hic et nunc).
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan
Berdasarkan perkembangan serta ‘kategori’ yang mengikuti garis modernitas dan modernisme
global, maka seni pertunjukan dapat dibagi menjadi seni pertunjukan tradisional, modern dan
kontemporer. Kategori atau terminologi ini bukannya tanpa perdebatan, karena, lagi-lagi, istilah-
istilah tersebut berasal dari rahim pemikiran serta perkembangan sejarah seni Barat yang tidak
selalu bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam konteks historis Indonesia, terlebih jika hanya
semata-mata dicangkok seperti yang umumnya menjadi kecenderungan.
Namun, dalam khazanah wacana global-baik dalam dunia akademisi (kajian) maupun praktik
(produksi pementasan dan kuratorial)-sedang terjadi fenomena menarik berupa adanya kesadaran
untuk bersikap kritis terhadap konstelasi pemikiran tradisional-modern-kontemporer yang selama
abad ke-20 menjadi hegemoni Barat, dengan munculnya penelitian, kajian serta pendekatan serta
arah kuratorial yang berlawanan.
Adalah penting untuk ikut mengambil posisi kritis ini bagi seni pertunjukan Indonesia, terutama
dalam mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Seni
pertunjukan tradisional—dalam konteks Indonesia—seringkali menjadi basis inspirasi bagi
perkembangan seni modern serta kontemporer. Sebagai bagian dari budaya yang integral, seni
tradisi atau tradisional hadir dan mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia
yang beragam. Ia mewujud dalam berbagai ritual: baik yang bersifat sosial, adat maupun religius
(upacara-upacara keagamaan).
Selain hidup dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hari—yang ditandai oleh transmisi
(penyampaian) dari satu generasi ke generasi berikutnya—apa yang disebut ‘seni tradisi’ atau
‘tradisional’ juga mengalami kodiikasi (pembakuan) melalui media (televisi, misalnya) atau
pun proses belajar-mengajar di institut-institut seni (seperti Institut Seni Indonesia). Seringkali
tranformasi yang terakhir ini mengubah gaya ungkap seni tradisi yang cenderung diadopsi ke
dalam konteks-konteks lainnya seperti konteks komersial. Hal ini terjadi misalnya pada seni
8 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
tari, sebagai salah satu contoh, Tari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks
aslinya ketika ia dipertontonkan di TVRI pada tahun 1970—1980-an. Tarian-tarian ini banyak
yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk
konsumsi acara-acara pariwisata.
Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan
(teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul
mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para
teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia
merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3
Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun
Ibsen) maupun anasir-anasir teater lokal (ketoprak, Komedie Stamboel) dalam
teater modern Indonesia pun dianalisis dan dibedah oleh beberapa pengkajinya.4
Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan
masihdalamprosesawalpewacanaansepertitercermindariminimnyatulisan-tulisanseputartopikini.5
Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori,
yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk
yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan
sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer).
Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi
sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater
dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,
komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam
istilah atau genre ‘modern’ dan ‘kontemporer’). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas
dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yang
sebetulnya tidak mengenal pemisahan klasiikasi demikian. Teater tradisional dari Minangkabau
(Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada
pencaksilat), meski dalam deinisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk ‘teater’.
Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas
disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus,
opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.
(3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992)
dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia (Athens: Ohio
University Press, 2010).
(4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in
Colonial Indonesia 1891–1903 (Ohio: Ohio University Press, 2006).
(5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The
Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia, an M.A research project, University of
Colorado, 1976; dan Helly Minarti, Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskrip
disertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.
9
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910
Sumber: Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891–1903 Ohio: Ohio University
Press, 2006
Komedi Stamboel
Komedie Stamboel adalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleks
menggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu
genre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu
kelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunan
Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering
dideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan
besar pada perkembangan teater kontemporer—seperti keroncong, ketoprak (yang pernah
disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perilman, sekaligus politik identitas
dan representasi.
Julukan stamboel diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya,
cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan
mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama mereka
merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa. Suasana
dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik
pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plot—mirip dengan
dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah penting
adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkeliling
di Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abad
ke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulai
dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra hingga folklor
populer Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima,
hingga Perang Lombok 1899–1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.
Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Saluran
transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litograi, percetakan, dan
sebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.
“Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di
tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha
memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki,
dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.”
10 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
TARI
Salah satu deinisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh
imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis
dan menjadi ungkapan si pencipta. Deinisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari
di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia
diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebut
sebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun
1990 sampai 2000-an, ketika karya koreograi tidak selalu terlihat atau berbentuk ‘tarian’ dalam
pengertian konvensional (‘menari’).
Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu:
1. Tari tradisi atau tradisional merujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian
dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti Tari Bedhaya
Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan
umumnya membawa identitas suku bangsa (Tari Jathilan dari Jawa Tengah, Tari Piringdi
dari Sumatra Barat atau Tari Zapin dari dari khazanah Melayu).
2. Tari kreasi baru atau garapan baru dideinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono
sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah
digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak
ataupun kostum. Tarian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti Tari Yapong
bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan Tari Kukupu gubahan Tjetje
Soemantri yang digarap pada 1950-an.
3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk
pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tari
masuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda
utama. Tokoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (1877–1927), Ruth St. Denis
(1879–1968), Mary Wigman (1886–1973), dan Martha Graham (1894–1991). St.
Denis pernah tur ke Asia Timur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan
1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi
Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat
berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (Euro-American centric) ini lantas
dikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern
nonEropa-Amerika, antara lain Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang
melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari Tiongkok.6
Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti Samgita
Pancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu tari
dan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia.
Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1968–1971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari
modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (1939–2014), Hoerijah Adam
(1936–1977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau
penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern
(6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance (St. James Press, 1998).
11
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya
menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang
diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shinta atau Sangkuriang.
Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis,
di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah
modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi)
atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan).
4. Tari kontemporer adalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari
modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang
motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik.
Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa
bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik
(Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari
kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya seperti
teater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luar
panggung prosenium atau pun gedung teater lainnya.
Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang
memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan
anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda
berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan,
Agus “Mbendol” Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti
Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah
lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun Institut
Kesenian Jakarta.
Bintang Hening, karya Fitri Setyaningsih, 2011
Foto: Afrizal Malna
12 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Di luar keempat kategori ini, sendratari adalah kategori khas Indonesia yang muncul setelah
produksi Ballet Ramayana (1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana
(1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional
yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, Telekomunikasi
dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata.
TEATER
Istilah teater diserap dari bahasa Inggris “theatre”, yang berakar pada bahasa latin “theatron”
(tempat untuk melihat) atau “theaomai”(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati).
Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya,
atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema,
pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari
ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat (folk theatre), dan jalanan (street theatre),
sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim
dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan
istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesiik mengacu pada bentuk seni pertunjukan
yang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat,
drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa
Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari
bahasa Sansekerta.
Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan
banyak disiplin seni seperti seni visual untuk set atau dekorasi, properti, serta kostum; seni musik
pada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya,
terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik
pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimental
atau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolah
medium-medium lain (ilm dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah
teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel Teater Rendra pada akhir 1960-
an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai
pentas drama atau sandiwara.
Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi
kreatif dalam buku ini, teater diklasiikasikan menjadi:
1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisi
yang sudah berlangsung lama—puluhan atau ratusan tahun—dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan,
tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau
syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya
improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku
bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai
serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7
5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara
(bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari
(7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
13
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan
cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau),
Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa Tengah).
2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasiikasi-klasiikasi
yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis.
Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah
dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasiikasi itu berasal.
Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada
sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan
(Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reason atau Renaissance) yang mengakhiri
zaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropa
merupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi
industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi
intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah
kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yang
terbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya
teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif
di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula).
Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang
dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian,
sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk
teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal
abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri
sekolah seni semacam Akademi Teater Nasional Indonesia-ATNI (Jakarta) dan Akademi
Seni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern
bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham
serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan
teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia).
Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti
garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasiikasikan
dalam kategori ‘teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru’, yang akan
dibahas kemudian.
Batas-batas teater ‘modern’ dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon
(baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang
terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan
menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting
realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh
teater modern dalam batas klasiikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh Teater
Populer dengan sutradara Teguh Karya (1937-2001), Studiklub Teater Bandung (STB)
dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), Teater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta),
Teater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung)
dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), Teater Satu-Lampung dengan sutradara Iswadi
Pratama (1971-), Teater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).
14 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
3. Teater Transisi. Teater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun
sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk
panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya.
Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok
Sandiwara Sunda Miss Tjitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata (Jakarta), Pusat Latihan
Opera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa Tengah), Ludruk (Jawa Timur), Lenong (Jakarta)
dan Drama Gong (Bali).
4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan (avant-garde). Sesungguhnya, dalam konteks
sejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan
bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas ‘yang lama’
(yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk
menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika
yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-garde yang dipopulerkan
pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878.
Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari
modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam
klasiikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung
pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya
teater realis, atau realistik.8
Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi
karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya
atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasiikasi ini dimungkinkan
sejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya
untuk mencari bahasa-bahasa ‘baru’ dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang
kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan
menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka.
Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia,
misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel Teater arahan Rendra, karya-
karya pertunjukan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian
pada 1980 dan 1990-an: Teater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan Teater
Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); Teater Payung Hitam dengan
sutradara Rahman Sabur, Teater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung);
dan Teater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa
nomor pertunjukan Teater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad Tajuddin dan Gunawan
Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tari Je.ja.l.an, Repertoar
Hujan dan Tubuh Ketiga juga dapat dimasukkan dalam klasiikasi ini. Begitu pun nomor
pertunjukan Teater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota, Ayahku Stroke tapi Nggak
Mati oleh Teater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater garda
depan pada era 2000-an.
(8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes, Avant Garde Theatre
1892–1992 (London: Routledge, 1993).
15
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat.
Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta
menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan
antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie
Taymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai
pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasme
penonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar
sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antar-
budaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan
di he Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk
menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare.
Je.ja.l.an (The Streets). Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta,
Shizuoka dan Osaka (2008-2010).
Foto: Mohamad Amin
Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disney’s The Lion King .
Foto: Joan Marcus
16 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat
dibagi menjadi:
1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar
hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan
acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan
temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teater
mereka tak dijalani dengan disiplin yang serius—lebih bersifat hobi dan ekspresi diri.
Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir
(tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok
teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini.
2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketiga atau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit
lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan
atau releksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan
problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atau
ilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik
berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah
yang ada di masyarakat.
Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural.
Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di
masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untuk
pemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatan popular theatre
Augusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori
ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh
pemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik
dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater
profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9
Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karya-
karyanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori
ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori
Teater Ketiga ini adalah Bengkel Teater (W.S.Rendra), Teater Kecil (Ariin C. Noer), juga
teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti Teater Satu (Lampung), Laboratorium
Teater Sahid (Jakarta), Teater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta),
Teater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet heatre (Yogyakarta), Mainteater
Bandung, Teater Sakata (Padang Panjang), dan Teater Kala (Makassar).
3. Teater Komersial adalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan
serta niatan komersial (proit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuran
relatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika
Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil
para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia
hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya.
(9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret (London: Routledge, 1995).
17
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Pementasan “Jakarta Love Riot”, Juli 2010 (E.K.I Dance Company)
EKI DANCE COMPANY
EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) mewakili model seni pertunjukan yang menarik
karena berawal dari komunitas religius yang kebetulan dipimpin oleh seorang pandita modern
yang peduli pada kesenian, khususnya seni tari. Menjadi pemimpin sebuah komunitas religius,
pasangan Rusdi Rukmarata (koreografer) dan Aiko Senosoenoto kerap didatangi para remaja
bermasalah yang kemudian mereka tampung dalam sebuah asrama; bahkan mereka pun
menanggung kebutuhan makan serta pengeluaran sehari-hari dari para remaja itu. Mereka
lantas diberi beragam pelatihan teknik tari serta pengetahuan tentang seni budaya oleh para
pakar yang sengaja diundang untuk mengajar. EKI mulai dari produksi-produksi kecil, awalnya
berusaha mendalami tari kontemporer sebelum akhirnya mulai menjelajah ke drama musikal.
EKI juga sempat membentuk semacam biro manajemen seni yang berperan sebagai manajer
beberapa seniman seperti almarhum dalang Slamet Gundono dan penari atau koreografer
Mugiyono pada akhir 1990-an.
18 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming dengan
mobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangi
yang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan Toto Arto atau Onrop yang
disutradarai Joko Anwar dengan produser Ai Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang
merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan
kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauh
dalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel
di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10
Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada Teater Dardanella, yang bahkan
pernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 1930–1940-an; juga pada teater hiburan
keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak Tobong di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu
dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang
masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak
pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate).
Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam
ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer serta
pertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial.
(10) Op. cit. Cohen, 2006.
Musikal “Laskar Pelangi”, 2010-2011
Sumber: Musikal Laskar Pelangi
19
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai
bagian dari budaya bangsa Indonesia,
SRIMULAT
Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo
pada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih.
Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompok
yang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni,
Timbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, Tarzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon.
Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 1970–1989. Pada masa puncaknya, kelompok
humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman
Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membuka franchise panggung yang
juga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur.
Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik.
Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini
terjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yang
umumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulat
bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan
cerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan Teguh sebagai pendiri.
20 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalam
Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan
masalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat pada
satu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnya
hegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat
pada 1989.
Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang,
kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkan
reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak
penonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perak
pada 1995–2003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembali
mendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode.
Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan
dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untuk
menjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu company yang mempunyai visi dan
kemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelola
sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional.
Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber
MUSIK
Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajian
musik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapat
dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik
yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah
genre termasuk musik pop, rock, jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukan
musik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas
pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan.
Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan
musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer,
yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkat
eksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan
senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh
masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan
dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan
dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan
musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti
halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.
21
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan “Eclectic Jazz Session” untuk
memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater
Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan
merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme,
metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi.
Foto: Komunitas Salihara.
2. Pertunjukan musik yang berakar pada kebudayaan lokal:
• Pertunjukan musik tradisional - musik yang diwariskan secara turun-temurun
dan berkelanjutan pada masyarakat suatu daerah, dan mempunyai ciri khas masing-
masing baik dari alat, gaya dan bahasa yang digunakan. Contoh: Gondang (Batak),
Gambus dan Orkes Melayu (Riau), Gambang Kromong (Betawi), Angklung (Sunda),
Gamelan (Jawa dan Bali).
• Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada
sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik
yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genre
musik lainnya.
3. Pertunjukan musik klasik Barat, yang dapat dibagi menjadi:
• Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama,
seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi.
Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam
orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi.
Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya
memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta
Concert Orchestra, Twilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.
22 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
• Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok
musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala
kecil.
• Paduan suara
• Seriosa
Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang
‘kontemporer’ berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi
yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian
kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan
anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang
kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik ‘baru’ yang dibuat dengan kaidah
dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi
bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi
gagasan penciptanya—yang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja.
Gubahanbentukmusikkontemporerdapatdilakukandisemuagenre.Komponiskontemporer
Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (Trisutji Kamal dan Marusya
Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu
materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai
prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan
ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra,
Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer
yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku
jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkan
dalam sebuah ensemble bersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, Ben
Pasaribu, Tony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan
mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. Tony Prabowo misalnya, dikenal
akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa
pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan,
yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum
harmoni warna musik. Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul Tetabuhan
Sungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakan
teknik garapan gending.
2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer
atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah
dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi
diluar dari apa yang lazimnya dilakukan.
Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan
baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukan
tersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial
dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung
(direct economic beneit) maupun tidak langsung (indirect economic beneit) adalah salah satu faktor
utama yang harus dipertimbangkan.
23
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang
lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan:
• tari—tradisional, kreasi baru, modern, kontemporer;
• teater—tradisional, modern, transisi, kontemporer-eksperimental (avant-garde), komersial,
nonkomersial;
• musik—populer-kontemporer (eksperimentasi); tradisional, world music, klasik Barat
(kontemporer dan nonkontemporer);
• lintas disiplin—contoh: wayang, sendratari, sastra lisan, musikalisasi puisi.
Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai
produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai
jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara
nonseni budaya, pengisi acara TV, wedding singer, maupun home band. Tidak termasuk dalam
ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jenis seni pertunjukan yang dilakukan
sebagai bagian dari proses ritual sosial, adat, maupun religius.
Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan
Avant Garde
KATEGORI BESAR
Tari
BERDASARKAN
PENGELOLAAN
KELOMPOK
Teater
BERDASARKAN
PERKEMBANGAN
/GENRE
BERDASARKAN
BENTUK PENYAJIAN
DAN KONSUMSI
BERDASARKAN
GUBAHAN BENTUK
Produk Seni
Jasa Seni
Bagian dari ritual
sosial, adat, dan
religius
Kontemporer
Tradisional
Kreasi Baru
Modern
Tradisional
Modern
Lintas Disiplin
Transisi
World Music
Klasik Barat
Populer
Tradisional
Pertunjukan
Musik
SENI
PERTUNJUKAN
Amatir
Non-Komersial
Komersial
Kontemporer
/Eksperimen
Non-Kontemporer
/Non-Eksperimen
Fokus pengembangan Seni Pertunjukan
24 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan
1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia
Perkembangan teater di Inggris pada abad ke-16 bisa dijadikan salah satu titik awal berkembangnya
seni pertunjukan menjadi sebuah industri. Sebelum memasuki masa penyair dan penulis drama
legendaris William Shakespeare, naskah drama hanya ditulis oleh beberapa orang (kolektif) dan
anonim. Seiring berkembangnya teater menjadi seni populer dan semakin menarik lebih banyak
penonton, permintaan dan kebutuhan akan naskah-naskah baru pun meningkat.
Selama beberapa abad, seni pertunjukan hadir semata-mata sebagai hiburan orang kebanyakan.
Memasuki abad ke-19, forum kolonial seperti ‘colonial exhibition’ di Paris, menjadikan seni
pertunjukan sebagai ajang pementasan beragam kesenian negeri jajahan.
Sementara di Amerika Serikat, Civil War atau Perang Saudara (1860-1865) membawa perubahan
besar pada dunia seni pertunjukan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya peran
manajerial sejalan dengan perkembangan tur, yang juga dipacu oleh pesatnya pembangunan jalur
kereta api pada saat itu.
Sejarah perkembangan seni pertunjukan dan manajemennya terkait erat dengan sejarah
perkembangan teater. Sejalan dengan kebutuhan fungsi yang semakin banyak—seperti fungsi
manajer, administrator, dan penampil utama—para seniman terpaksa merangkap beberapa fungsi
sekaligus. Perubahan kebutuhan fungsi inilah yang mengawali perkembangan peran pemilik
dan manajer gedung seni pertunjukan sebagai pihak yang tepat untuk melakukan fungsi-fungsi
manajemen seni pertunjukan tersebut—yang seharusnya tidak dibebankan kepada seniman.
Kemudian pada awal abad ke-20, Eropa Barat menjadi pemicu gerakan modernisme seni, termasuk
dalam seni pertunjukan. Salah satu tokoh pada masa ini adalah Isadora Duncan, yang mendirikan
sekolah tari modern pertama di Berlin pada tahun 1905, diikuti oleh Martha Graham pada tahun
1926 dengan penampilan 18 orang penari bertelanjang kaki (barefoot) dan kostum mencolok di
New York—menjadikannya pioner revolusi tari modern di Amerika.
Sementara itu, para seniman dan artisan Rusia Putih (atau orang-orang Rusia yang menolak
Revolusi Bolshevik di tahun 1917) melarikan diri ke Paris, dan di bawah pimpinan impresariat
Serge Diaghilev, mereka mendirikan Ballets Russes (1909-1929), sebuah dance company yang
legendaris.
Memasuki abad ke-21, negara-negara Eropa Barat yang menerapkan kebijakan kebudayaan
ala negara-negara kemakmuran (welfare state) saling terhubung melalui jejaring teater publik
mereka. Kedekatan geograis negara-negara Eropa Barat, juga sistem kuratorial (wacana dan arah
artistik) yang mirip, serta referensi pendidikan seni yang relatif serupa, membuat mereka saling
mengundang seniman (touring) serta mementaskan karya masing-masing seniman. Pada akhirnya,
jejaring ini diperluas dengan skema koproduksi. Artinya, selain dapat menawarkan karyanya
untuk dipentaskan di teater-teater publik negara-negara yang berbeda itu, seorang seniman juga
dapat mencari dukungan produksi (berupa dana, tempat berlatih, dan lainnya). Tentu hal ini
bisa terjadi karena kesamaan arah kuratorial teater-teater tersebut, misalnya, gedung teater yang
mengkhususkan pada pertunjukan balet klasik seperti Royal Opera House (ROH) di London,
Inggris, kemungkinan besar akan menjalin kerjasama dengan gedung pertunjukan balet klasik
25
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
lainnya di Prancis ataupun Spanyol. Pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, jejaring di
Eropa ini juga meluas ke negara-negara bekas blok timur seperti Polandia dan Estonia.
Secara artistik, seni pertunjukan kontemporer di Eropa Barat cenderung mempertahankan
eksperimentasi yang konseptual, yang telah dimulai sejak pertengahan 1990-an. Dalam bidang
tari kontemporer misalnya, Brussels menjadi pusat baru yang menandingi—jika bukan akhirnya
menyamai—Berlin, terutama setelah kemunculan koreografer Anne Teresa de Keersmaeker. Di
sini, tari tidak lagi dipentaskan dengan cara yang konvensional (sebagai gerak gemulai yang indah
yang semata-mata bersandar pada virtuositas kepenarian serta komposisi ruang), namun lebih
sebagai obyek yang dipertanyakan kembali atau diinvestigasi. Sementara itu, baik di negara-negara
Eropa Barat serta Amerika Utara (Amerika Serikat), muncul tren yang merupakan perluasan dari
performance art yang secara historis sesungguhnya berakar pada seni rupa. Di Inggris, jenis ini
dinamai live arts. Seringkali, kesenian jenis ini mencampur-baurkan sisi teatrikal, performatif,
dan seni visual yang landasannya lagi-lagi adalah gagasan sebagai konsep itu sendiri. Unsur-
unsur dramatik dan representasional yang amat mewarnai seni pertunjukan periode sebelumnya
(modern) lantas dipertanyakan kesahihannya dalam kaitan muatan gagasan dengan kenyataan
tubuh keseharian.
Di Indonesia—dan kebanyakan Asia—kecenderungan ini masih pelan-pelan terjadi, sehingga
terjadi kesenjangan pemahaman bahkan di antara para praktisi. Itulah salah satu alasan mengapa
seni pertunjukan karya seniman Indonesia dapat dibilang jarang terwakili dalam forum-forum
(festival) seni kontemporer yang dianggap paling progresif di Eropa Barat. Seringkali, pengalaman
modernisme di pentas seni pertunjukan Indonesia masih disalah-tafsirkan sebagai ‘ketertinggalan’
secara artistik, sehingga forum-forum festival yang tertarik dengan seni pertunjukan Indonesia
masihlah forum-forum khusus yang dibingkai oleh identitas ‘ke-Asia-an’, misalnya seperti pusat
kesenian Asia Society di New York atau House of the World Arts di Berlin.
Perkembangan seni pertunjukan di Asia Tenggara sendiri mengalami pergerakan yang berbeda
dengan negara-negara Eropa. Perkembangan seni pertunjukan di negara-negara Asia Tenggara
menunjukkan kesamaan historis, karena mendapatkan pengaruh dari kolonialisme negara-negara
Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugal dan Spanyol, juga sebagai persinggahan pedagang-pedagang
dari negara-negara sekitar seperti Tiongkok dan India. Masa kolonialisme yang berlangsung
selama berabad-abad ini membuat friksi antar budaya menjadi tidak terelakkan, terutama antara
seni ‘modern’ yang berkembang di negara-negara Barat dengan seni tradisional Asia Tenggara.
Di negara yang menerapkan sistem demokrasi sosialis atau negara kemakmuran (welfare state),
pemerintah mengambil peran aktif dalam mendukung seniman. Mereka membentuk dewan-dewan
kesenian (arts council) antara lain sebagai badan pendanaan (funding body) yang memberikan
dukungan inansial dan lainnya bagi seniman berdasarkan prestasi (merit). Di Indonesia, kebijakan
kultural semacam ini tidak pernah dilakukan.
26 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
Pertunjukan Nang Yai Wat Khanorn di Provinsi Ratchaburi
Sumber: flickriver.com
Perkembangan Seni Pertunjukan di Thailand
Seni pertunjukan di hailand berevolusi selama berabad-abad dan telah berkembang
dengan ciri khasnya sendiri. Praktik-praktik seni pertunjukan kontemporer hailand telah
jauh melampaui praktik-praktik yang berasal dari negara-negara Barat dan Asia Tenggara
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi dapat mendorong terciptanya tradisi baru.
Sebagai contoh, Nang Yai (wayang kulit berukuran besar), tidak dapat ditemukan dalam
teater Melayu atau Jawa, di mana wayang kulit dominan di kedua daerah ini. Meskipun
teknik pedalangan Jawa dan Melayu masih digunakan, dalang Nang Yai tampil di depan
layar—sebuah gaya yang tidak ditemukan di Jawa maupun Melayu.
Selain pengaruh dari negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara, seni pertunjukan
Barat juga turut mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan kontemporer hai. Sebagai
contohnya adalah pertunjukan teater pada masa pemerintahan Raja Rama VI. Meskipun
di tengah tekanan pengaruh imperialisme, teater pada masa itu tetap mengadopsi teori
dan praktik teater Eropa namun mengadaptasi dan menggubahnya ke dalam konteks hai,
menyesuaikan penonton hailand.
Selanjutnya pada 1970-an, terjemahan naskah-naskah drama Barat sangat berpengaruh pada
munculnya lakon phutsamai mhai (drama lisan modern). Selain itu, fakultas tari, musik, dan
teater di universitas-universitas hailand pun mempekerjakan pengajar-pengajar dari Eropa
dan Amerika untuk mengembangkan kurikulum dan mendidik seniman-seniman baru.
Seniman-seniman ini lalu melanjutkan pendidikan pascasarjana, memperoleh pelatihan
tingkat lanjut, dan bekerja di luar negeri. Sekembalinya ke hailand, mereka direkrut oleh
universitas di mana mereka mengenyam pendidikan sarjananya dahulu atau oleh professional
companies, di mana mereka menerapkan ilmu Barat yang mereka miliki lalu menciptakan
karya yang merupakan gabungan antara teori dan praktik Barat dan tradisi yang merespons
isu-isu global pada masanya, juga menciptakan genre seni pertunjukan baru seperti lakon
khanob niyom mhai (teater tradisi baru, atau amalgam dari teater tradisi dan modern).
27
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Sikap yang diambil oleh hailand dalam mengembangkan seni pertunjukannya tercermin
dari pernyataan Raja Rama VII dalam wawancaranya dengan New York Times pada saat
kunjungannya ke Amerika Serikat tahun 1931: “Our slogan is to adapt, not to adopt. he
Siamese people are an adaptable people.”
Sumber: “Asian Arts Theatre: Research on the Actual Condition of Performing Arts in Asia.” disunting oleh Kemente-
rian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea. Seoul: Yu, In Chon
1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia
Ragam tradisi lokal mewarnai kekayaan khasanah seni pertunjukan Indonesia, yang juga kental
mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan Indonesia pada umumnya. Terminologi tradisi
atau tradisional; modern dan kontemporer—yang lagi-lagi diadaptasi dari wacana pengetahuan
Barat—cenderung diterapkan sebagai kategori atau genre yang tidak selalu jelas batas-batasnya
dalam seni pertunjukan di Indonesia.
Selain tema serta bentuk pertunjukan, salah satu penanda kunci perbedaan kategorial ini adalah
proses transmisi sebuah bentuk kesenian. Misalnya, dalam konteks tradisional atau kesenian
tradisi, transmisi terjadi antar generasi atau diturunkan di dalam lingkup komunitas kultural
yang homogen dan terikat oleh nilai-nilai yang sama. Sementara dalam konteks modern, transmisi
seringkali terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi modern, atau dimotivasi oleh
pengalaman-pengalaman bertemu dengan yang liyan (the other) yang diserap melalui perjalanan-
perjalanan sang seniman yang membuat mereka keluar dari konteks budayanya (ke luar negeri,
misalnya). Meski demikian, dalam praktiknya tidak selalu ada perbedaan yang jelas antara
keduanya, karena ada proses transisi bagaimana sebuah generasi seniman Indonesia—misalnya
mereka yang lahir antara 1930—1940-an—yang menyerap inspirasi serta mengasah kemampuan
artistiknya baik melalui lingkup tradisi maupun modern.
Berbeda dengan kesenian yang mediumnya memang berakar pada modernitas (seperti fotograi
dan ilm), seni pertunjukan adalah bentuk ekspresi kesenian yang dilansir telah ada di bumi
Nusantara sejak zaman purba. Maka, pertaliannya dengan seni pertunjukan global tidak semulus
cabang seni berbasis media seperti fotograi dan ilm yang memang berakar pada modernitas tadi.
Kontekstualisasi adalah kata kunci dalam mengaitkan pertalian lokal-global ini.
Pada awalnya, praktisi kesenian Indonesia—pemain musik, penari, aktor, sutradara serta
pendukung-pendukung artistik lainnya—memang berasal dari lingkungan tradisi lokal yang
beragam tersebut, yang umumnya terkait erat dengan identitas kesukuan serta ikatan-ikatan
primordial lainnya. Modernitas serta proses modernisasi yang menyertai, mengubah bentuk serta
konteks seni pertunjukan Indonesia dari waktu ke waktu—baik melalui proses yang organik
yang tak terelakkan terjadi di dalam berbagai komunitas kesenian, maupun melalui intervensi
atau strategi kebudayaan nasional seperti tercermin dalam kebijakan kebudayaan serta proses
perlembagaan (institusionalisasi) pendidikan seni pertunjukan yang dilakukan negara dari satu
pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.
Seni pertunjukan modern, sebagaimana puisi modern, novel modern, ilmu pengetahuan sosial
modern, mula-mula masuk di tengah-tengah masa kolonial pada sekitar abad ke-17, sebagai
28 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
sesuatu yang datang dari Eropa. Kehadirannya merupakan bagian dari sikap kebudayaan yang
terbuka: menerima serta mengadaptasi secara bertahap kebudayaan-kebudayaan asing yang
datang, sembari mencari padanannya dalam konteks lokal. Mula-mula ia bekerja dengan orientasi
‘publik’ Eropa: kerani-kerani perusahaan dagang Inggris, lalu perusahaan dagang dan kerajaan
Belanda di Hindia dan bangsawan dan intelektual tanah jajahan yang mempelajari alam pikir
(dan gaya hidup) tuannya. Guliran selanjutnya, seni pertunjukan (teater, tari, musik) modern
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat kelas menengah perkotaan, yang mulai
memasuki kultur baru (modernisme).11
Keterkaitan dan pertalian Indonesia dengan yang global mulai marak di penghujung abad ke-19,
ketika kelompok-kelompok seni dari Hindia Belanda—umumnya gamelan Jawa dan Bali—
berpentas di kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.12
Pementasan dalam konteks kolonial
ini —di panggung beragam ajang world fair atau pameran keberhasilan industrialisasi oleh para
negara penjajah—menciptakan imajinasi-imajinasi awal tentang seni pertunjukan Indonesia
selanjutnya yang diproyeksikan melalui lensa Orientalisme seperti yang dapat ditemukan di dalam
pembacaan-pembacaan para seniman Eropa waktu itu, misalnya Antonin Artaud tentang Bali
(1938) ataupun karya-karya seni mereka seperti perintis tari modern Amerika Ruth St. Denis
yang melakukan tur ke Asia Timur Jauh pada 1925-1926, termasuk ke Batavia dan beberapa
kota di Jawa.
Setelah Proklamasi Republik Indonesia pada 1945, sifat keterhubungan dengan dunia seni
pertunjukan global pun berubah, bergeser dari Orientalisme menuju masuknya pengaruh agenda-
agenda politik pasca Perang Dunia II. Para seniman Indonesia pun mulai menjelajahi dunia: dari
Peking hingga Paris, dari Moskow hingga New York. Pada penghujung akhir 1960-an, misalnya,
banyak seniman atau praktisi seni pertunjukan Indonesia (teater, tari, dan musik) belajar ke
luar negeri, terutama ke Amerika Serikat sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan Amerika
Serikat, selain juga ke negara-negara lain seperti Uni Soviet (untuk ilm dan tari) bahkan India.13
Beberapa di antara para seniman itu mengambil gelar pascasarjana di jurusan seni di universitas-
universitas di Amerika Serikat, yang waktu itu, masih menggolongkan seni-seni non-Barat
ke dalam rubrik Seni Etnik. Setelah lulus, mereka kembali ke Indonesia dan mengajar di
akademi seni nasional sehingga mereka pun ikut menentukan arah kurikulum pendidikan
tinggi kesenian, misalnya, R.M. Soedarsono di bidang tari dan I Made Bandem di bidang
musik—keduanya menuntut ilmu di Amerika Serikat pada 1960-an dan awal 1970-an.14
Setelah Indonesia merdeka, seni pertunjukan pun mengalami transformasi, baik dengan menjadi
menasional atau menjadi bagian dari identitas kebudayaan nasional, antara lain melalui proses
pelembagaan di dalam sistem pendidikan modern yang mengadaptasi pendidikan seni di dunia
(11) Op. cit., Umar Kayam, 1981.
(12) Op. cit., Cohen, 2010.Lihat: Marieke Bloembergen, Colonial Spectacles: The Netherlands and the Dutch East Indies
at the World Exhibitions, 1880-1931, diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Beverly Jackson (Singapore: Singapore
University Press, 2006).
(13) Lihat: Jennifer Lindsay dan Maya Liem, “Heirs to World Culture 1950–1965: An Introduction,” dalam Jennifer Lindsay dan
Maya Liem (ed.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012). Versi elektroniknya dapat
diunduh di: www.kitlv.nl/book/show/1307. Terakhir diakses pada 9 Januari 2012; R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan: Dari
Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003); dan op. cit., Helly Minarti, 2014.
(14) Ibid., R.M Soedarsono, 2003.
29
BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
Barat (konservatori). Awalnya, konservatori nasional ini bertujuan untuk melahirkan seniman-
seniman Indonesia di bidangnya, dengan perkembangan sebagai berikut:
• Konservatori Karawitan atau dikenal sebagai KOKAR (1950) di Yogyakarta dapat dibilang
sebagai cikal-bakal lembaga pendidikan semacam ini. KOKAR berevolusi menjadi beragam
akademi seni seperti ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), ASRI (Akademi Seni
Rupa Indonesia), ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) pada 1960-an,
dan pada 1980-an kembali berevolusi menjadi Sekolah Tinggi Seni (STSI) sebelum
akhirnya menjadi Institusi Seni Indonesia (ISI) pada 1990–2000-an yang tersebar di empat
kota (Surakarta, Yogyakarta—keduanya di Jawa, Denpasar di Bali, Padang Panjang di
Sumatra Barat). Saat ini, beberapa kampus ISI ditugaskan untuk merintis pembentukan
ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang akan dibuka di Banda Aceh, Tenggarong,
Makassar, dan Jayapura.
• Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang dibentuk belakangan pada 1970
memiliki sejarah yang agak berbeda dari keempat ISI di atas sebelum akhirnya menjadi
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jika keempat ISI berada langsung di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemdiknas), maka IKJ adalah bagian dari latar
historis empat lembaga terkait yang bernaung di bawah Pemerintah Kota DKI Jakarta.
Keempat lembaga tersebut adalah PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail
Marzuki), Akademi Jakarta (AJ), serta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai
dan dibentuk oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966–1977. IKJ berstatus
sebagai akademi swasta yang dananya tergantung dari perolehan hibah Pemda DKI Jakarta
serta dari pemasukan-pemasukan lainnya.
Model konservatori yang tujuannya melahirkan seniman perlahan dilengkapi dengan bidang kajian
yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya). Oleh karena
itu, dapat dibilang bahwa kajian di bidang seni pertunjukan terbilang baru dalam konteks dan
praktik Indonesia. Padahal, kajian adalah syarat dan penanda utama bagi perkembangan seni
pertunjukan sebagai sebuah sistem pengetahuan—atau sebuah sektor yang memiliki parameter-
parameter tertentu—terlebih jika Indonesia ingin terlibat secara aktif, berkontribusi hingga tingkat
wacana di dalam konteks global.
Secara bertahap mulai dari 1980-an dan seterusnya, pertunjukan-pertunjukan mengalir antara
Indonesia dan dunia, dan bentuk-bentuknya mulai terbuka dan beragam. Kebangkitan Jepang
dan Singapura sebagai pusat pertunjukan antarbudaya, dengan fokus kolaborasi antar-Asia,
telah memberikan kesempatan yang besar bagi seniman-seniman Indonesia untuk menampilkan
karya-karyanya. Singapura, khususnya Singapore Arts Festival, telah menjadi tempat pertunjukan
bagi banyak produksi karya seni pertunjukan Indonesia. Sedangkan Jepang telah menjadi tujuan
utama bagi kelompok-kelompok teater untuk melakukan touring, sekaligus produksi kolaborasi
dengan seniman-seniman Jepang.
Memasuki abad ke-21, proses akademisasi kesenian pertunjukan Indonesia pun melengkapi
siklusnya dengan dibukanya program pascasarjana S2 (master) dan S3 (doktoral) di beberapa
ISI, yang terbagi ke dalam bidang kajian dan penciptaaan. Proyek nasionalisasi inipun berlanjut
dengan dirintisnya ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) sejak paruh kedua dekade abad ke-21
di kota-kota seperti Banda Aceh (Nanggroe Aceh), Tenggarong (Kalimantan Timur), Makassar
(Sulawesi Selatan), dan Jayapura (Papua).
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN
RENSTRA SENI PERTUNJUKAN

More Related Content

Similar to RENSTRA SENI PERTUNJUKAN

Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)
Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)
Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)Dias Satria
 
Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)
Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)
Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)Dadang Solihin
 
Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019
Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019
Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019Andrie Trisaksono
 
Budaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptx
Budaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptxBudaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptx
Budaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptxSatrioSitumorang
 
Srini mutia r.
Srini mutia r.Srini mutia r.
Srini mutia r.rinoarpa
 
MENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptx
MENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptxMENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptx
MENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptxheri santosa
 
Konsep dan strategi implementasi kwu 2019
Konsep dan strategi implementasi kwu 2019Konsep dan strategi implementasi kwu 2019
Konsep dan strategi implementasi kwu 2019Hindraswari Enggar
 
Materi Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdf
Materi Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdfMateri Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdf
Materi Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdfAGMaulana1
 
Peningkatan PAD Kalimantan Tengah
Peningkatan PAD Kalimantan Tengah Peningkatan PAD Kalimantan Tengah
Peningkatan PAD Kalimantan Tengah gifariwk
 
Proposal mawar kasih
Proposal mawar kasihProposal mawar kasih
Proposal mawar kasihsiitatamba
 
Sem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptx
Sem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptxSem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptx
Sem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptxTatiEliawati2
 
Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013
Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013
Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013Guss No
 
Pekan Produk Kreatif Indonesia 2010
Pekan Produk Kreatif Indonesia  2010Pekan Produk Kreatif Indonesia  2010
Pekan Produk Kreatif Indonesia 2010Indonesia Kreatif
 
Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.AbuTasmin
 
Perkembangan ekonomi kreatif show
Perkembangan ekonomi kreatif showPerkembangan ekonomi kreatif show
Perkembangan ekonomi kreatif showIrfan Tualang
 
Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...
Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...
Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...guztymawan
 
Pesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin Suaeb
Pesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin SuaebPesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin Suaeb
Pesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin SuaebDadang Solihin
 

Similar to RENSTRA SENI PERTUNJUKAN (20)

Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)
Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)
Creative economy: exploring the concept (Ekonomi Kreatif)
 
Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)
Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)
Seminar Nasional Himpunan Artis Pengusaha Seluruh Indonesia (HAPSI)
 
Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019
Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019
Rencana Aksi Jangka Menengah Ekonomi Ereatif 2015-2019
 
Budaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptx
Budaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptxBudaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptx
Budaya Nasional dan Pariwisata Indonesia.pptx
 
Srini mutia r.
Srini mutia r.Srini mutia r.
Srini mutia r.
 
Sekilas PPKI 2011
Sekilas PPKI 2011Sekilas PPKI 2011
Sekilas PPKI 2011
 
MENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptx
MENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptxMENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptx
MENGEMBANGKAN-EKONOMI-KREATIF-BERDASARKAN-POTENSI-WILAYAH.pptx
 
Konsep dan strategi implementasi kwu 2019
Konsep dan strategi implementasi kwu 2019Konsep dan strategi implementasi kwu 2019
Konsep dan strategi implementasi kwu 2019
 
Materi Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdf
Materi Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdfMateri Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdf
Materi Pengantar - BAPPEDA PROV - 26Apr.pdf
 
Peningkatan PAD Kalimantan Tengah
Peningkatan PAD Kalimantan Tengah Peningkatan PAD Kalimantan Tengah
Peningkatan PAD Kalimantan Tengah
 
Proposal mawar kasih
Proposal mawar kasihProposal mawar kasih
Proposal mawar kasih
 
Sem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptx
Sem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptxSem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptx
Sem_2.2.2 Pengembangan Ekonomi Kreatif.pptx
 
Kelompk proposal
Kelompk proposalKelompk proposal
Kelompk proposal
 
Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013
Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013
Buku Harmoni di Mata Kaum Muda 2013
 
BUKU PUTIH KOTA KREATIF
BUKU PUTIH KOTA KREATIFBUKU PUTIH KOTA KREATIF
BUKU PUTIH KOTA KREATIF
 
Pekan Produk Kreatif Indonesia 2010
Pekan Produk Kreatif Indonesia  2010Pekan Produk Kreatif Indonesia  2010
Pekan Produk Kreatif Indonesia 2010
 
Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.
 
Perkembangan ekonomi kreatif show
Perkembangan ekonomi kreatif showPerkembangan ekonomi kreatif show
Perkembangan ekonomi kreatif show
 
Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...
Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...
Laporan akhir MetodologiPenelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi K...
 
Pesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin Suaeb
Pesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin SuaebPesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin Suaeb
Pesona Seni Budaya Betawi untuk Indonesia Prakarsa Yayasan Benyamin Suaeb
 

Recently uploaded

PCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptx
PCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptxPCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptx
PCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptxmuhammadfajri44049
 
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2PutriMuaini
 
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...HaseebBashir5
 
Tugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptx
Tugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptxTugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptx
Tugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptxHeripurwanto62
 
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar JudiCimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar JudiHaseebBashir5
 
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptxRISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptxerlyndakasim2
 
"Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak"
"Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak""Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak"
"Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak"HaseebBashir5
 
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank TerpercayaUnikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercayaunikbetslotbankmaybank
 
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik PerhatianTentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik PerhatianHaseebBashir5
 
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barangContoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barangRadhialKautsar
 
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptxerlyndakasim2
 
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs TogelTogel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs TogelHaseebBashir5
 
Investment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 MaterialInvestment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 MaterialValenciaAnggie
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptxFORTRESS
 
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...gamal imron khoirudin
 
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di IndonesiaJudul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di IndonesiaHaseebBashir5
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehFORTRESS
 
10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx
10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx
10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptxerlyndakasim2
 
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptxPROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptxMelandaNiuwa
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxFORTRESS
 

Recently uploaded (20)

PCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptx
PCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptxPCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptx
PCM STRUKTUR JALAN JONGKANGOK JONGKANG.pptx
 
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
Time Value of Money Mata Kuliah Ekonomi 2
 
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
Judul: Mengenal Lebih Jauh Tentang Jamintoto: Platform Perjudian Online yang ...
 
Tugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptx
Tugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptxTugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptx
Tugas unjuk keterampilan_HERI PURWANTO1.pptx
 
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar JudiCimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
Cimahitoto: Situs Togel Online Terpercaya untuk Penggemar Judi
 
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptxRISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
RISK BASED INTERNAL AUDIT - AUDITING .pptx
 
"Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak"
"Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak""Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak"
"Melompati Ramtoto: Keterampilan dan Kebahagiaan Anak-anak"
 
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank TerpercayaUnikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
Unikbet: Situs Slot Pragmatic Bank Seabank Terpercaya
 
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik PerhatianTentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
Tentang Gerhanatoto: Situs Judi Online yang Menarik Perhatian
 
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barangContoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
Contoh contoh soal dan jawaban persediaan barang
 
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx10. (D)  LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
10. (D) LEASING (PSAK-73-Sewa-20012020) .pptx
 
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs TogelTogel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
Togel Online: Panduan Lengkap tentang Dkitoto, Dkitogel, dan Situs Togel
 
Investment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 MaterialInvestment Analysis Chapter 5 and 6 Material
Investment Analysis Chapter 5 and 6 Material
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aneka Pintu Aluminium di Banda Aceh.pptx
 
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
WA/TELP : 0822-3006-6162, Toko Box Delivery Sayur, Toko Box Delivery Donat, T...
 
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di IndonesiaJudul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
Judul: Memahami Jabrix4D: Situs Togel dan Slot Online Terpercaya di Indonesia
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda AcehTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Aesthetic Pintu Aluminium di Banda Aceh
 
10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx
10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx
10. (C) MERGER DAN AKUISISI Presentation.pptx
 
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptxPROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
PROMOTIF KESEHATAN JIWA TERBARUHGFF.pptx
 
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptxTERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
TERBAIK!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Pintu Rumah 2 Pintu di Banda Aceh.pptx
 

RENSTRA SENI PERTUNJUKAN

  • 3.
  • 4.
  • 5. iv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Helly Minarti Yudi Ahmad Tajudin Dian Ika Gesuri PT. REPUBLIK SOLUSI
  • 6. v RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019 Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif: Penasihat Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Pengarah Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kemenparekraf Ahman Sya, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya Cokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan Penanggung Jawab Mumus Muslim, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya Juju Masunah, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik Tim Studi Helly Minarti Yudi Ahmad Tajudin Dian Ika Gesuri ISBN 978-602-72387-3-2 Tim Desain Buku RURU Corps (www.rurucorps.com) Sari Kusmaranti Subagiyo Penerbit PT. Republik Solusi Cetakan Pertama, Maret 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
  • 7. vi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Abduh Azis Aisha Pletscher Amna S. Kusumo Bambang Subekti Bre Redana Budi Setiyono Budi Utomo Prabowo Butet Kertaredjasa Dewi Noviami Edy Utama Een Herdiani Ery Mefri Farah Wardani Gianti Giadi Idaman Andarmosoko Iswadi Joned Suryatmoko Kunci Cultural Studies Kurniawan Linda Hoemar Abidin Lono Simatupang Madia Patra Ismar Maria Tri Sulistyani Mesdin Kornelis Simarmata Naomi Srikandi Nirwan Dewanto Rama haharani Ratna Riantiarno Sal Murgiyanto Siti Tri Joelyartini Susi Ivvaty Susiyanti Toto Arto Ubiet Raseuki Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion (FGD)
  • 8. vii Kata Pengantar Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia, karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi dan berpentas di panggung-pangung internasional. Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukan musikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Tetapi, benarkah? Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signiikan ini pun lalu diadopsi ke dalam rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Desember 2011. Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkan perolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural, perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari he Broadway League, pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui kota lain di Amerika. Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia? Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan selama penelitian.
  • 9. viii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi, transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkan ineisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan masyarakat penontonnya sendiri. Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar yang kokoh dan terukur capaiannya. Tentu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian penting yang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini. Terakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjang bulan Mei-Juni. Tanpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini. Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Jakarta, September 2014. Salam Kreatif, Mari Elka Pangestu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
  • 10. ix Daftar Isi Kata Pengantar................................................................................................................... vii Daftar Isi.............................................................................................................................. ix Daftar Gambar.....................................................................................................................xii Daftar Tabel.........................................................................................................................xiii Ringkasan Eksekutif...........................................................................................................xiv BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3 1.1 Deinisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4 1.1.1 Deinisi Seni Pertunjukan........................................................................................4 1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan....................................................7 1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan...................................................................24 1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................24 1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27 BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...........................................................................................................................35 2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................................36 2.1.1 Deinisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36 2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................36 2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan.........................................................72 2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan.................................................................................72 2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan...............................................................76 2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan...............................................................78 BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA...........................................85 3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86 3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88 3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan.........................................................................................89 3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90 3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga.......................................................................... 91 3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor...............................................................................................92
  • 11. x Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan.....................................................................94 3.2.1 Retribusi Daerah......................................................................................................94 3.2.2 Pajak Daerah........................................................................................................... 96 3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa......................................................................................97 3.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian........................................................98 3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni........................................................................100 3.2.6 Kepabeanan.............................................................................................................101 3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan.......................................................................................103 3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan...........................................................................................105 3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan.............................................107 BAB 4 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...................................115 4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019......................................... 116 4.2 Visi, Misi, Dan Tujuan Pengembangan Seni Pertunjukan.................................................117 4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan......................................................................119 4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan.....................................................................119 4.2.3 Tujuan Pengembangan Seni pertunjukan.................................................................120 4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan.................... 121 4.4 Indikator dan Target Pengembangan Ekonomi Kreatif......................................................124 4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang Berdaya (Empowered)............................................................................................. 124 4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan............................................... 124 4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas............. 125 4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses 126 4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas Dan Berkelanjutan......................................................................................................... 126 4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan......................................................... 126 4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127 4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................127 4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan Karya Seni Pertunjukan...........................................................................................127
  • 12. xi 4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan............................................................................................................ 128 4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik.........................................................129 4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal .......129 4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan Berkualitas ..............................................................................................................130 4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan ............................................................ 130 4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses ............................. 131 4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri ................................131 4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan .............................................................................................. 132 4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif Bagi Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 132 4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan ................................................ 133 4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan Seni Pertunjukan ....................................................................................................133 4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan ...............................................134 4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan............134 BAB 5 PENUTUP...................................................................................................................137 5.1 Kesimpulan......................................................................................................................138 5.2 Saran................................................................................................................................140 LAMPIRAN............................................................................................................................143
  • 13. xii Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Daftar Gambar Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23 Gambar 1-2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia.....................................................32 Gambar 2-1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.........................................................................38 Gambar 2-2 Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar yang Umum Digunakan......................................................................................46 Gambar 2-3 Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73 Gambar 3-1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88 Gambar 3-2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89 Gambar 3-3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90 Gambar 3-4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan........................ 91 Gambar 3-5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92 Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93 Gambar 3-7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE..................... 94 Gambar 3-8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan..............................................................105 Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118
  • 14. xiii Daftar Tabel Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013..................................................86 Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan.............................................................107
  • 15. xiv Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Ringkasan Eksekutif Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentiikasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang potensial dikembangkan. Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas isu- isu penting seputar seni pertunjukan. Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan. Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah kategorikal seperti ‘tradisi’, ‘modern’ dan ‘kontemporer’ terlebih dahulu dibedah secara kritis agar dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif Barat—Eropa-Amerika—yang mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap ‘modern’ oleh Barat belum tentu sama dengan pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dari perspektif kesejarahan yang berbeda. Agar memperjelas uraian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif dalam lokalitasnya yang khas. Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identiikasi permasalahan, terutama dari sudut kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukan—meski berpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia –masih jauh dari ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai ‘produk’ yang siap dipasarkan secara kompetitif). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih minim—bahkan bisa dibilang tidak ada—sehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan karyanya di tempat atau kota lain (touring).
  • 16. xv Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme ‘pasar’ dalam seni pertunjukan Indonesia dalam pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda. Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yang sekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni), maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur seni pertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagi sektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial. Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini tercapai, sambil jeli mempromosikan ‘produk-produk’ kesenian yang dianggap potensial untuk bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar (market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yang sarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang. Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut. 1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer Indonesia. 2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (inansial). 3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
  • 17. xvi Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 “ “If you fail to plan, you are planning to fail. Benjamin Franklin
  • 18.
  • 19. 2 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019
  • 20. 3 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia BAB 1 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia
  • 21. 4 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia Untuk mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia, perlu dipahami posisi seni pertunjukan Indonesia jika dilihat dari perspektif ekonomi kreatif sebagai salah satu subsektor yang potensial. Pemahaman terhadap seni pertunjukan dalam konteks ekonomi kreatif dapat ditelusuri dari sejarah dan parameter-parameter global sebagai sebuah subsektor ekonomi kreatif. Sebagai sebuah paradigma yang relatif baru dalam melihat serta mengukur perkembangan kesenian di Indonesia, perbedaan serta kompleksitas yang ditimbulkan dari parameter-parameter global ini pun akan dipaparkan, beserta upaya mengadaptasi ukuran-ukuran tersebut ke dalam situasi serta kebutuhan Indonesia. Pada dasarnya, deinisi dan ruang lingkup subsektor seni pertunjukan harus mempertimbangkan konteks serta situasi kultural yang khas Indonesia pada tingkat tertentu, sebelum mereleksikannya pada parameter-parameter global tadi. Tentu saja deinisi serta ukuran-ukuran global dalam seni pertunjukan tetap bisa digunakan untuk melihat dan memetakan praktik seni pertunjukan yang berlangsung di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kenyataan-kenyataan lain (watak kultural, situasi-situasi pascakolonial, dan lain-lain) yang ikut menentukan situasi serta bentuk-bentuk seni pertunjukan di Indonesia mesti juga dilihat dan ditimbang. Sehingga, ukuran, gagasan serta rencana fasilitasi serta pengembangan seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih membumi dan relevan. Pemetaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual ini penting sebagai upaya pertama membentuk ekosistem yang ideal bagi seni pertunjukan Indonesia agar mampu beroperasi di dalam ukuran-ukuran ekonomi kreatif yang sesuai dan relevan dengan situasi Indonesia. Karena, bahkan gagasan dan kerangka ‘ekonomi kreatif’ serta ‘industri kreatif’ itu sendiri (yang melatari pemetaan dan penyusunan rencana aksi jangka menengah ini), kita tahu, tidak tumbuh dari bumi seni pertunjukan kita. Hal ini tak lantas berarti kerangka dan gagasan ekonomi serta industri kreatif tak bisa kita gunakan dan aplikasikan di Indonesia karena dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia sendiri, (sebagaimana yang terlihat pada sejarah Komedi Stamboel, Ketoprak Tobong, atau Srimulat), pada tingkat tertentu, dengan ukuran-ukuran yang sedikit berbeda, praktik ekonomi serta industri kreatif itu telah dan sedang berlangsung. Apa yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk bisa melihatnya secara dialektis, sehingga niat untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia bisa berjalan dengan produktif karena berdasarkan bentuk serta situasi yang ada. 1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan Dilihat dari sejarah perkembangan etimologisnya, istilah seni pertunjukan sendiri merupakan serapan dari istilah bahasa Inggris “performing arts” yang berkembang di Eropa pada 1300-an. Kata “perform” diserap dari bahasa Prancis, “parfornir (“par” dalam bahasa Inggris berarti “completely” + “fornir” dalam bahasa Inggris berarti “to provide”) yang berarti melakukan, menyelenggarakan, menyelesaikan, ataupun mencapai. Seiring dengan berkembangnya aktivitas teatrikal atau musikal pada 1600-an, kata “perform” kemudian sering dipahami melalui sudut pandang tata bahasa Inggris yang artinya mencakup:1 (1) Online Etymology Dictionary: http://www.etymonline.com
  • 22. 5 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia 1. to make (membuat), construct (membangun); produce (memproduksi), bring about (menimbulkan), atau come true (mencapai). 2. ‘present’ (kata kerja transitif - memerlukan objek dalam kalimatnya) yaitu mempersembahkan, menyajikan (kepada penonton). Ketika istilah tersebut diserap dan diterjemahkan ke dalam pengalaman serta sejarah kebudayaan di Indonesia, maknanya harus beradaptasi dan dilihat dalam konteks-konteks lokal yang spesiik secara kultural. Hal ini terkait dengan kenyataan kultural di negeri kepulauan di Indonesia sebagai salah satu yang paling beragam di dunia, apalagi ragam tradisi pertunjukan telah menjadi bagian dari dinamika perkembangan masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Selain itu, sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan (Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang), sebagaimana banyak negara di Asia dan Afrika, menyusun sejarah kebudayaan dengan kompleksitas yang berbeda dengan sejarah dan pengalaman kebudayaan di Barat, dari mana asal istilah ini berakar. Seni pertunjukan di Indonesia, dengan latar belakang di atas, tersusun oleh pertemuan dan persilangan kebudayaan yang relatif lebih rumit ketimbang pengalaman paralel historis di Eropa Barat yang relatif lebih linear dan ditandai oleh patahan-patahan (rupture) yang tegas yang menandai peralihan dari satu masa ke masa lainnya. Untuk mempermudah pengamatan, pembatasan dasar kerap disusun mengikuti konigurasi kesejarahan: pembagian serta pengelompokan seni pertunjukan di antara yang ‘modern’ dan pramodern (atau tradisional). Pemilahan dasar ini secara kronologis bisa diterima, karena bentuk-bentuk teater (juga seni pertunjukan) modern di sebagian besar negara Asia bisa dibilang baru muncul, sementara teater pramodern memiliki asal-usul yang sangat tua dan banyak yang masih berlangsung dalam keberlanjutan yang utuh.2 Wayang kulit di Jawa Tengah maupun Indang di Minangkabau adalah dua dari sekian banyak contoh pertunjukan pramodern. Kedua pertunjukan ini baru dimulai larut malam (sekitar pukul 21:00 atau bahkan sesudahnya) dan berlangsung hingga lima-enam jam berikutnya hingga dini hari. Kadang mereka bersanding atau bahkan menghadapi tegangan ketika berhadapan dengan seni pertunjukan komersial, seperti campur sari di Jawa Tengah maupun dangdut organ tunggal di Sumatera Barat (yang terakhir ini menjadi lebih populer di beberapa wilayah Sumatera Barat dan menggantikan ruang yang tadinya diisi oleh kesenian tradisional seperti indang). Oleh karena itu, adalah penting mengadaptasi pendekatan etimologis ini ke dalam konteks serta situasi kultural Indonesia. Komposer terkenal Rahayu Supanggah yang juga seorang pakar seni pertunjukan pernah berujar, “Bisa jadi istilah ‘seni tontonan’ atau ‘seni menonton’ lebih tepat digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman khas Indonesia, mengingat praktik-praktik unik yang masih berlangsung, seperti contoh menonton pertunjukan wayang kulit atau pun Indang yang bisa memakan waktu berjam-jam, dan tidak mengenal relasi spasial (hubungan ruang) yang seketat pertunjukan Barat.” Dalam menonton wayang kulit yang berdurasi panjang, misalnya, penonton bisa duduk dengan leluasa dan mengikuti jalannya pertunjukan yang lebih mengalir dan alamiah ketimbang penonton di ruang teater modern yang berbentuk prosenium. (2) “ Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5 (New York: Routledge, 1998), hlm.21.
  • 23. 6 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Dalam mendeinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaan- termasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai: Kegiatan bernilai seni yang melibatkan para penampil (performers) yang menginterpretasikan suatu materi kepada penonton (audiences); baik melalui tutur kata, musik, gerakan, tarian dan bahkan akrobat. Unsur terpenting dari seni pertunjukan adalah terjadinya interaksi secara langsung (live) antara penampil dan penonton, walaupun elemen pendukung seperti film atau materi rekaman termasuk di dalamnya. A Guide to the UK Performing Arts (2006) Sejarah pascakolonial dalam seni pertunjukan di Indonesia mencerminkan suatu kompleksitas kenyataan yang pada tingkat tertentu berbeda dengan kenyataan seni pertunjukan di Barat, sehingga perbandingan seni pertunjukan di Indonesia dengan di Barat pun harus dilakukan dengan kritis. Hingga kini, di banyak desa di Indonesia, misalnya, masih banyak ditemukan pertunjukan yang terjadi di ruang ritual (religius maupun spiritual), sosial maupun komersial. Kategori-kategori ini (ritual religius atau spiritual, sosial maupun komersial) terjadi dalam geograi kultural yang sama, yaitu Indonesia, sehingga tidak jarang yang ritual (religius) disusul oleh yang sosial, bahkan juga berimpitan atau bertautan dengan yang bersifat komersial. Disesuaikan dengan konteks perkembangan seni pertunjukan yang terjadi di Indonesia dan berdasarkan kerangka pemetaan potensi ekonomi, maka seni pertunjukan dideinisikan sebagai: Cabang kesenian yang melibatkan perancang, pekerja teknis dan penampil (performers), yang mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu gagasan kepada penonton (audiences); baik dalam bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan tubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live) di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini (hic et nunc). Sumber: Focus Group Discussion Subsektor Seni Pertunjukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Mei-Juni 2014)
  • 24. 7 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Dalam deinisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan deinisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu: 1. Gagasan adalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan; 2. Perancang adalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangka penciptaan seni pertunjukan; 3. Penampil adalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentuk- bentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan karya seni pertunjukan; 4. Pekerja teknis adalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan; 5. Penonton adalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya seni pertunjukan; 6. Langsung (live) adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsung di dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini dan kini (hic et nunc). 1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan Berdasarkan perkembangan serta ‘kategori’ yang mengikuti garis modernitas dan modernisme global, maka seni pertunjukan dapat dibagi menjadi seni pertunjukan tradisional, modern dan kontemporer. Kategori atau terminologi ini bukannya tanpa perdebatan, karena, lagi-lagi, istilah- istilah tersebut berasal dari rahim pemikiran serta perkembangan sejarah seni Barat yang tidak selalu bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam konteks historis Indonesia, terlebih jika hanya semata-mata dicangkok seperti yang umumnya menjadi kecenderungan. Namun, dalam khazanah wacana global-baik dalam dunia akademisi (kajian) maupun praktik (produksi pementasan dan kuratorial)-sedang terjadi fenomena menarik berupa adanya kesadaran untuk bersikap kritis terhadap konstelasi pemikiran tradisional-modern-kontemporer yang selama abad ke-20 menjadi hegemoni Barat, dengan munculnya penelitian, kajian serta pendekatan serta arah kuratorial yang berlawanan. Adalah penting untuk ikut mengambil posisi kritis ini bagi seni pertunjukan Indonesia, terutama dalam mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Seni pertunjukan tradisional—dalam konteks Indonesia—seringkali menjadi basis inspirasi bagi perkembangan seni modern serta kontemporer. Sebagai bagian dari budaya yang integral, seni tradisi atau tradisional hadir dan mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang beragam. Ia mewujud dalam berbagai ritual: baik yang bersifat sosial, adat maupun religius (upacara-upacara keagamaan). Selain hidup dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hari—yang ditandai oleh transmisi (penyampaian) dari satu generasi ke generasi berikutnya—apa yang disebut ‘seni tradisi’ atau ‘tradisional’ juga mengalami kodiikasi (pembakuan) melalui media (televisi, misalnya) atau pun proses belajar-mengajar di institut-institut seni (seperti Institut Seni Indonesia). Seringkali tranformasi yang terakhir ini mengubah gaya ungkap seni tradisi yang cenderung diadopsi ke dalam konteks-konteks lainnya seperti konteks komersial. Hal ini terjadi misalnya pada seni
  • 25. 8 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 tari, sebagai salah satu contoh, Tari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks aslinya ketika ia dipertontonkan di TVRI pada tahun 1970—1980-an. Tarian-tarian ini banyak yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk konsumsi acara-acara pariwisata. Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan (teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3 Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun Ibsen) maupun anasir-anasir teater lokal (ketoprak, Komedie Stamboel) dalam teater modern Indonesia pun dianalisis dan dibedah oleh beberapa pengkajinya.4 Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan masihdalamprosesawalpewacanaansepertitercermindariminimnyatulisan-tulisanseputartopikini.5 Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori, yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer). Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional, komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam istilah atau genre ‘modern’ dan ‘kontemporer’). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yang sebetulnya tidak mengenal pemisahan klasiikasi demikian. Teater tradisional dari Minangkabau (Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada pencaksilat), meski dalam deinisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk ‘teater’. Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus, opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi. (3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992) dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia (Athens: Ohio University Press, 2010). (4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891–1903 (Ohio: Ohio University Press, 2006). (5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia, an M.A research project, University of Colorado, 1976; dan Helly Minarti, Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskrip disertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.
  • 26. 9 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910 Sumber: Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891–1903 Ohio: Ohio University Press, 2006 Komedi Stamboel Komedie Stamboel adalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleks menggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu genre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu kelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunan Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering dideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan besar pada perkembangan teater kontemporer—seperti keroncong, ketoprak (yang pernah disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perilman, sekaligus politik identitas dan representasi. Julukan stamboel diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa. Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah penting adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkeliling di Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abad ke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulai dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra hingga folklor populer Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima, hingga Perang Lombok 1899–1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare. Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Saluran transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litograi, percetakan, dan sebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok. “Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki, dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.”
  • 27. 10 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 TARI Salah satu deinisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan menjadi ungkapan si pencipta. Deinisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebut sebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun 1990 sampai 2000-an, ketika karya koreograi tidak selalu terlihat atau berbentuk ‘tarian’ dalam pengertian konvensional (‘menari’). Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu: 1. Tari tradisi atau tradisional merujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti Tari Bedhaya Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan umumnya membawa identitas suku bangsa (Tari Jathilan dari Jawa Tengah, Tari Piringdi dari Sumatra Barat atau Tari Zapin dari dari khazanah Melayu). 2. Tari kreasi baru atau garapan baru dideinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak ataupun kostum. Tarian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti Tari Yapong bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan Tari Kukupu gubahan Tjetje Soemantri yang digarap pada 1950-an. 3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tari masuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda utama. Tokoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (1877–1927), Ruth St. Denis (1879–1968), Mary Wigman (1886–1973), dan Martha Graham (1894–1991). St. Denis pernah tur ke Asia Timur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan 1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (Euro-American centric) ini lantas dikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern nonEropa-Amerika, antara lain Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari Tiongkok.6 Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti Samgita Pancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu tari dan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia. Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1968–1971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (1939–2014), Hoerijah Adam (1936–1977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern (6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance (St. James Press, 1998).
  • 28. 11 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shinta atau Sangkuriang. Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis, di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi) atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan). 4. Tari kontemporer adalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik. Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik (Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya seperti teater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luar panggung prosenium atau pun gedung teater lainnya. Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan, Agus “Mbendol” Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun Institut Kesenian Jakarta. Bintang Hening, karya Fitri Setyaningsih, 2011 Foto: Afrizal Malna
  • 29. 12 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Di luar keempat kategori ini, sendratari adalah kategori khas Indonesia yang muncul setelah produksi Ballet Ramayana (1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana (1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata. TEATER Istilah teater diserap dari bahasa Inggris “theatre”, yang berakar pada bahasa latin “theatron” (tempat untuk melihat) atau “theaomai”(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati). Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya, atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema, pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat (folk theatre), dan jalanan (street theatre), sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesiik mengacu pada bentuk seni pertunjukan yang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat, drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari bahasa Sansekerta. Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan banyak disiplin seni seperti seni visual untuk set atau dekorasi, properti, serta kostum; seni musik pada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya, terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimental atau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolah medium-medium lain (ilm dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel Teater Rendra pada akhir 1960- an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai pentas drama atau sandiwara. Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi kreatif dalam buku ini, teater diklasiikasikan menjadi: 1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisi yang sudah berlangsung lama—puluhan atau ratusan tahun—dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan, tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7 5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara (bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari (7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
  • 30. 13 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau), Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa Tengah). 2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasiikasi-klasiikasi yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis. Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasiikasi itu berasal. Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan (Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reason atau Renaissance) yang mengakhiri zaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropa merupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yang terbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula). Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian, sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri sekolah seni semacam Akademi Teater Nasional Indonesia-ATNI (Jakarta) dan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia). Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasiikasikan dalam kategori ‘teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru’, yang akan dibahas kemudian. Batas-batas teater ‘modern’ dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon (baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh teater modern dalam batas klasiikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya (1937-2001), Studiklub Teater Bandung (STB) dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), Teater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta), Teater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung) dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), Teater Satu-Lampung dengan sutradara Iswadi Pratama (1971-), Teater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).
  • 31. 14 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 3. Teater Transisi. Teater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya. Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata (Jakarta), Pusat Latihan Opera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa Tengah), Ludruk (Jawa Timur), Lenong (Jakarta) dan Drama Gong (Bali). 4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan (avant-garde). Sesungguhnya, dalam konteks sejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas ‘yang lama’ (yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-garde yang dipopulerkan pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878. Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam klasiikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya teater realis, atau realistik.8 Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasiikasi ini dimungkinkan sejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya untuk mencari bahasa-bahasa ‘baru’ dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka. Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia, misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel Teater arahan Rendra, karya- karya pertunjukan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian pada 1980 dan 1990-an: Teater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan Teater Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); Teater Payung Hitam dengan sutradara Rahman Sabur, Teater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung); dan Teater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa nomor pertunjukan Teater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad Tajuddin dan Gunawan Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tari Je.ja.l.an, Repertoar Hujan dan Tubuh Ketiga juga dapat dimasukkan dalam klasiikasi ini. Begitu pun nomor pertunjukan Teater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota, Ayahku Stroke tapi Nggak Mati oleh Teater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater garda depan pada era 2000-an. (8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes, Avant Garde Theatre 1892–1992 (London: Routledge, 1993).
  • 32. 15 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat. Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie Taymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasme penonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antar- budaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan di he Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare. Je.ja.l.an (The Streets). Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta, Shizuoka dan Osaka (2008-2010). Foto: Mohamad Amin Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disney’s The Lion King . Foto: Joan Marcus
  • 33. 16 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat dibagi menjadi: 1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teater mereka tak dijalani dengan disiplin yang serius—lebih bersifat hobi dan ekspresi diri. Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir (tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini. 2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketiga atau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan atau releksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atau ilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah yang ada di masyarakat. Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural. Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untuk pemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatan popular theatre Augusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh pemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9 Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karya- karyanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori Teater Ketiga ini adalah Bengkel Teater (W.S.Rendra), Teater Kecil (Ariin C. Noer), juga teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti Teater Satu (Lampung), Laboratorium Teater Sahid (Jakarta), Teater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta), Teater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet heatre (Yogyakarta), Mainteater Bandung, Teater Sakata (Padang Panjang), dan Teater Kala (Makassar). 3. Teater Komersial adalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan serta niatan komersial (proit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuran relatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya. (9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret (London: Routledge, 1995).
  • 34. 17 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Pementasan “Jakarta Love Riot”, Juli 2010 (E.K.I Dance Company) EKI DANCE COMPANY EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) mewakili model seni pertunjukan yang menarik karena berawal dari komunitas religius yang kebetulan dipimpin oleh seorang pandita modern yang peduli pada kesenian, khususnya seni tari. Menjadi pemimpin sebuah komunitas religius, pasangan Rusdi Rukmarata (koreografer) dan Aiko Senosoenoto kerap didatangi para remaja bermasalah yang kemudian mereka tampung dalam sebuah asrama; bahkan mereka pun menanggung kebutuhan makan serta pengeluaran sehari-hari dari para remaja itu. Mereka lantas diberi beragam pelatihan teknik tari serta pengetahuan tentang seni budaya oleh para pakar yang sengaja diundang untuk mengajar. EKI mulai dari produksi-produksi kecil, awalnya berusaha mendalami tari kontemporer sebelum akhirnya mulai menjelajah ke drama musikal. EKI juga sempat membentuk semacam biro manajemen seni yang berperan sebagai manajer beberapa seniman seperti almarhum dalang Slamet Gundono dan penari atau koreografer Mugiyono pada akhir 1990-an.
  • 35. 18 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming dengan mobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangi yang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan Toto Arto atau Onrop yang disutradarai Joko Anwar dengan produser Ai Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauh dalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10 Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada Teater Dardanella, yang bahkan pernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 1930–1940-an; juga pada teater hiburan keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak Tobong di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer serta pertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial. (10) Op. cit. Cohen, 2006. Musikal “Laskar Pelangi”, 2010-2011 Sumber: Musikal Laskar Pelangi
  • 36. 19 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia, SRIMULAT Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo pada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih. Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompok yang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni, Timbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, Tarzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon. Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 1970–1989. Pada masa puncaknya, kelompok humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membuka franchise panggung yang juga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur. Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik. Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini terjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yang umumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulat bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan cerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan Teguh sebagai pendiri.
  • 37. 20 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalam Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan masalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat pada satu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnya hegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat pada 1989. Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang, kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkan reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak penonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perak pada 1995–2003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembali mendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode. Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untuk menjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu company yang mempunyai visi dan kemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelola sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional. Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber MUSIK Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajian musik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah genre termasuk musik pop, rock, jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukan musik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan. Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer, yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkat eksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.
  • 38. 21 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan “Eclectic Jazz Session” untuk memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme, metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi. Foto: Komunitas Salihara. 2. Pertunjukan musik yang berakar pada kebudayaan lokal: • Pertunjukan musik tradisional - musik yang diwariskan secara turun-temurun dan berkelanjutan pada masyarakat suatu daerah, dan mempunyai ciri khas masing- masing baik dari alat, gaya dan bahasa yang digunakan. Contoh: Gondang (Batak), Gambus dan Orkes Melayu (Riau), Gambang Kromong (Betawi), Angklung (Sunda), Gamelan (Jawa dan Bali). • Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genre musik lainnya. 3. Pertunjukan musik klasik Barat, yang dapat dibagi menjadi: • Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama, seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi. Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi. Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta Concert Orchestra, Twilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.
  • 39. 22 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 • Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala kecil. • Paduan suara • Seriosa Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang ‘kontemporer’ berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik ‘baru’ yang dibuat dengan kaidah dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi gagasan penciptanya—yang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja. Gubahanbentukmusikkontemporerdapatdilakukandisemuagenre.Komponiskontemporer Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (Trisutji Kamal dan Marusya Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra, Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkan dalam sebuah ensemble bersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, Ben Pasaribu, Tony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. Tony Prabowo misalnya, dikenal akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan, yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum harmoni warna musik. Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul Tetabuhan Sungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakan teknik garapan gending. 2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi diluar dari apa yang lazimnya dilakukan. Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukan tersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung (direct economic beneit) maupun tidak langsung (indirect economic beneit) adalah salah satu faktor utama yang harus dipertimbangkan.
  • 40. 23 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan: • tari—tradisional, kreasi baru, modern, kontemporer; • teater—tradisional, modern, transisi, kontemporer-eksperimental (avant-garde), komersial, nonkomersial; • musik—populer-kontemporer (eksperimentasi); tradisional, world music, klasik Barat (kontemporer dan nonkontemporer); • lintas disiplin—contoh: wayang, sendratari, sastra lisan, musikalisasi puisi. Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara nonseni budaya, pengisi acara TV, wedding singer, maupun home band. Tidak termasuk dalam ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jenis seni pertunjukan yang dilakukan sebagai bagian dari proses ritual sosial, adat, maupun religius. Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan Avant Garde KATEGORI BESAR Tari BERDASARKAN PENGELOLAAN KELOMPOK Teater BERDASARKAN PERKEMBANGAN /GENRE BERDASARKAN BENTUK PENYAJIAN DAN KONSUMSI BERDASARKAN GUBAHAN BENTUK Produk Seni Jasa Seni Bagian dari ritual sosial, adat, dan religius Kontemporer Tradisional Kreasi Baru Modern Tradisional Modern Lintas Disiplin Transisi World Music Klasik Barat Populer Tradisional Pertunjukan Musik SENI PERTUNJUKAN Amatir Non-Komersial Komersial Kontemporer /Eksperimen Non-Kontemporer /Non-Eksperimen Fokus pengembangan Seni Pertunjukan
  • 41. 24 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan 1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia Perkembangan teater di Inggris pada abad ke-16 bisa dijadikan salah satu titik awal berkembangnya seni pertunjukan menjadi sebuah industri. Sebelum memasuki masa penyair dan penulis drama legendaris William Shakespeare, naskah drama hanya ditulis oleh beberapa orang (kolektif) dan anonim. Seiring berkembangnya teater menjadi seni populer dan semakin menarik lebih banyak penonton, permintaan dan kebutuhan akan naskah-naskah baru pun meningkat. Selama beberapa abad, seni pertunjukan hadir semata-mata sebagai hiburan orang kebanyakan. Memasuki abad ke-19, forum kolonial seperti ‘colonial exhibition’ di Paris, menjadikan seni pertunjukan sebagai ajang pementasan beragam kesenian negeri jajahan. Sementara di Amerika Serikat, Civil War atau Perang Saudara (1860-1865) membawa perubahan besar pada dunia seni pertunjukan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya peran manajerial sejalan dengan perkembangan tur, yang juga dipacu oleh pesatnya pembangunan jalur kereta api pada saat itu. Sejarah perkembangan seni pertunjukan dan manajemennya terkait erat dengan sejarah perkembangan teater. Sejalan dengan kebutuhan fungsi yang semakin banyak—seperti fungsi manajer, administrator, dan penampil utama—para seniman terpaksa merangkap beberapa fungsi sekaligus. Perubahan kebutuhan fungsi inilah yang mengawali perkembangan peran pemilik dan manajer gedung seni pertunjukan sebagai pihak yang tepat untuk melakukan fungsi-fungsi manajemen seni pertunjukan tersebut—yang seharusnya tidak dibebankan kepada seniman. Kemudian pada awal abad ke-20, Eropa Barat menjadi pemicu gerakan modernisme seni, termasuk dalam seni pertunjukan. Salah satu tokoh pada masa ini adalah Isadora Duncan, yang mendirikan sekolah tari modern pertama di Berlin pada tahun 1905, diikuti oleh Martha Graham pada tahun 1926 dengan penampilan 18 orang penari bertelanjang kaki (barefoot) dan kostum mencolok di New York—menjadikannya pioner revolusi tari modern di Amerika. Sementara itu, para seniman dan artisan Rusia Putih (atau orang-orang Rusia yang menolak Revolusi Bolshevik di tahun 1917) melarikan diri ke Paris, dan di bawah pimpinan impresariat Serge Diaghilev, mereka mendirikan Ballets Russes (1909-1929), sebuah dance company yang legendaris. Memasuki abad ke-21, negara-negara Eropa Barat yang menerapkan kebijakan kebudayaan ala negara-negara kemakmuran (welfare state) saling terhubung melalui jejaring teater publik mereka. Kedekatan geograis negara-negara Eropa Barat, juga sistem kuratorial (wacana dan arah artistik) yang mirip, serta referensi pendidikan seni yang relatif serupa, membuat mereka saling mengundang seniman (touring) serta mementaskan karya masing-masing seniman. Pada akhirnya, jejaring ini diperluas dengan skema koproduksi. Artinya, selain dapat menawarkan karyanya untuk dipentaskan di teater-teater publik negara-negara yang berbeda itu, seorang seniman juga dapat mencari dukungan produksi (berupa dana, tempat berlatih, dan lainnya). Tentu hal ini bisa terjadi karena kesamaan arah kuratorial teater-teater tersebut, misalnya, gedung teater yang mengkhususkan pada pertunjukan balet klasik seperti Royal Opera House (ROH) di London, Inggris, kemungkinan besar akan menjalin kerjasama dengan gedung pertunjukan balet klasik
  • 42. 25 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia lainnya di Prancis ataupun Spanyol. Pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, jejaring di Eropa ini juga meluas ke negara-negara bekas blok timur seperti Polandia dan Estonia. Secara artistik, seni pertunjukan kontemporer di Eropa Barat cenderung mempertahankan eksperimentasi yang konseptual, yang telah dimulai sejak pertengahan 1990-an. Dalam bidang tari kontemporer misalnya, Brussels menjadi pusat baru yang menandingi—jika bukan akhirnya menyamai—Berlin, terutama setelah kemunculan koreografer Anne Teresa de Keersmaeker. Di sini, tari tidak lagi dipentaskan dengan cara yang konvensional (sebagai gerak gemulai yang indah yang semata-mata bersandar pada virtuositas kepenarian serta komposisi ruang), namun lebih sebagai obyek yang dipertanyakan kembali atau diinvestigasi. Sementara itu, baik di negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara (Amerika Serikat), muncul tren yang merupakan perluasan dari performance art yang secara historis sesungguhnya berakar pada seni rupa. Di Inggris, jenis ini dinamai live arts. Seringkali, kesenian jenis ini mencampur-baurkan sisi teatrikal, performatif, dan seni visual yang landasannya lagi-lagi adalah gagasan sebagai konsep itu sendiri. Unsur- unsur dramatik dan representasional yang amat mewarnai seni pertunjukan periode sebelumnya (modern) lantas dipertanyakan kesahihannya dalam kaitan muatan gagasan dengan kenyataan tubuh keseharian. Di Indonesia—dan kebanyakan Asia—kecenderungan ini masih pelan-pelan terjadi, sehingga terjadi kesenjangan pemahaman bahkan di antara para praktisi. Itulah salah satu alasan mengapa seni pertunjukan karya seniman Indonesia dapat dibilang jarang terwakili dalam forum-forum (festival) seni kontemporer yang dianggap paling progresif di Eropa Barat. Seringkali, pengalaman modernisme di pentas seni pertunjukan Indonesia masih disalah-tafsirkan sebagai ‘ketertinggalan’ secara artistik, sehingga forum-forum festival yang tertarik dengan seni pertunjukan Indonesia masihlah forum-forum khusus yang dibingkai oleh identitas ‘ke-Asia-an’, misalnya seperti pusat kesenian Asia Society di New York atau House of the World Arts di Berlin. Perkembangan seni pertunjukan di Asia Tenggara sendiri mengalami pergerakan yang berbeda dengan negara-negara Eropa. Perkembangan seni pertunjukan di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan kesamaan historis, karena mendapatkan pengaruh dari kolonialisme negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugal dan Spanyol, juga sebagai persinggahan pedagang-pedagang dari negara-negara sekitar seperti Tiongkok dan India. Masa kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad ini membuat friksi antar budaya menjadi tidak terelakkan, terutama antara seni ‘modern’ yang berkembang di negara-negara Barat dengan seni tradisional Asia Tenggara. Di negara yang menerapkan sistem demokrasi sosialis atau negara kemakmuran (welfare state), pemerintah mengambil peran aktif dalam mendukung seniman. Mereka membentuk dewan-dewan kesenian (arts council) antara lain sebagai badan pendanaan (funding body) yang memberikan dukungan inansial dan lainnya bagi seniman berdasarkan prestasi (merit). Di Indonesia, kebijakan kultural semacam ini tidak pernah dilakukan.
  • 43. 26 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Pertunjukan Nang Yai Wat Khanorn di Provinsi Ratchaburi Sumber: flickriver.com Perkembangan Seni Pertunjukan di Thailand Seni pertunjukan di hailand berevolusi selama berabad-abad dan telah berkembang dengan ciri khasnya sendiri. Praktik-praktik seni pertunjukan kontemporer hailand telah jauh melampaui praktik-praktik yang berasal dari negara-negara Barat dan Asia Tenggara lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi dapat mendorong terciptanya tradisi baru. Sebagai contoh, Nang Yai (wayang kulit berukuran besar), tidak dapat ditemukan dalam teater Melayu atau Jawa, di mana wayang kulit dominan di kedua daerah ini. Meskipun teknik pedalangan Jawa dan Melayu masih digunakan, dalang Nang Yai tampil di depan layar—sebuah gaya yang tidak ditemukan di Jawa maupun Melayu. Selain pengaruh dari negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara, seni pertunjukan Barat juga turut mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan kontemporer hai. Sebagai contohnya adalah pertunjukan teater pada masa pemerintahan Raja Rama VI. Meskipun di tengah tekanan pengaruh imperialisme, teater pada masa itu tetap mengadopsi teori dan praktik teater Eropa namun mengadaptasi dan menggubahnya ke dalam konteks hai, menyesuaikan penonton hailand. Selanjutnya pada 1970-an, terjemahan naskah-naskah drama Barat sangat berpengaruh pada munculnya lakon phutsamai mhai (drama lisan modern). Selain itu, fakultas tari, musik, dan teater di universitas-universitas hailand pun mempekerjakan pengajar-pengajar dari Eropa dan Amerika untuk mengembangkan kurikulum dan mendidik seniman-seniman baru. Seniman-seniman ini lalu melanjutkan pendidikan pascasarjana, memperoleh pelatihan tingkat lanjut, dan bekerja di luar negeri. Sekembalinya ke hailand, mereka direkrut oleh universitas di mana mereka mengenyam pendidikan sarjananya dahulu atau oleh professional companies, di mana mereka menerapkan ilmu Barat yang mereka miliki lalu menciptakan karya yang merupakan gabungan antara teori dan praktik Barat dan tradisi yang merespons isu-isu global pada masanya, juga menciptakan genre seni pertunjukan baru seperti lakon khanob niyom mhai (teater tradisi baru, atau amalgam dari teater tradisi dan modern).
  • 44. 27 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Sikap yang diambil oleh hailand dalam mengembangkan seni pertunjukannya tercermin dari pernyataan Raja Rama VII dalam wawancaranya dengan New York Times pada saat kunjungannya ke Amerika Serikat tahun 1931: “Our slogan is to adapt, not to adopt. he Siamese people are an adaptable people.” Sumber: “Asian Arts Theatre: Research on the Actual Condition of Performing Arts in Asia.” disunting oleh Kemente- rian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea. Seoul: Yu, In Chon 1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia Ragam tradisi lokal mewarnai kekayaan khasanah seni pertunjukan Indonesia, yang juga kental mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan Indonesia pada umumnya. Terminologi tradisi atau tradisional; modern dan kontemporer—yang lagi-lagi diadaptasi dari wacana pengetahuan Barat—cenderung diterapkan sebagai kategori atau genre yang tidak selalu jelas batas-batasnya dalam seni pertunjukan di Indonesia. Selain tema serta bentuk pertunjukan, salah satu penanda kunci perbedaan kategorial ini adalah proses transmisi sebuah bentuk kesenian. Misalnya, dalam konteks tradisional atau kesenian tradisi, transmisi terjadi antar generasi atau diturunkan di dalam lingkup komunitas kultural yang homogen dan terikat oleh nilai-nilai yang sama. Sementara dalam konteks modern, transmisi seringkali terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi modern, atau dimotivasi oleh pengalaman-pengalaman bertemu dengan yang liyan (the other) yang diserap melalui perjalanan- perjalanan sang seniman yang membuat mereka keluar dari konteks budayanya (ke luar negeri, misalnya). Meski demikian, dalam praktiknya tidak selalu ada perbedaan yang jelas antara keduanya, karena ada proses transisi bagaimana sebuah generasi seniman Indonesia—misalnya mereka yang lahir antara 1930—1940-an—yang menyerap inspirasi serta mengasah kemampuan artistiknya baik melalui lingkup tradisi maupun modern. Berbeda dengan kesenian yang mediumnya memang berakar pada modernitas (seperti fotograi dan ilm), seni pertunjukan adalah bentuk ekspresi kesenian yang dilansir telah ada di bumi Nusantara sejak zaman purba. Maka, pertaliannya dengan seni pertunjukan global tidak semulus cabang seni berbasis media seperti fotograi dan ilm yang memang berakar pada modernitas tadi. Kontekstualisasi adalah kata kunci dalam mengaitkan pertalian lokal-global ini. Pada awalnya, praktisi kesenian Indonesia—pemain musik, penari, aktor, sutradara serta pendukung-pendukung artistik lainnya—memang berasal dari lingkungan tradisi lokal yang beragam tersebut, yang umumnya terkait erat dengan identitas kesukuan serta ikatan-ikatan primordial lainnya. Modernitas serta proses modernisasi yang menyertai, mengubah bentuk serta konteks seni pertunjukan Indonesia dari waktu ke waktu—baik melalui proses yang organik yang tak terelakkan terjadi di dalam berbagai komunitas kesenian, maupun melalui intervensi atau strategi kebudayaan nasional seperti tercermin dalam kebijakan kebudayaan serta proses perlembagaan (institusionalisasi) pendidikan seni pertunjukan yang dilakukan negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Seni pertunjukan modern, sebagaimana puisi modern, novel modern, ilmu pengetahuan sosial modern, mula-mula masuk di tengah-tengah masa kolonial pada sekitar abad ke-17, sebagai
  • 45. 28 Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 sesuatu yang datang dari Eropa. Kehadirannya merupakan bagian dari sikap kebudayaan yang terbuka: menerima serta mengadaptasi secara bertahap kebudayaan-kebudayaan asing yang datang, sembari mencari padanannya dalam konteks lokal. Mula-mula ia bekerja dengan orientasi ‘publik’ Eropa: kerani-kerani perusahaan dagang Inggris, lalu perusahaan dagang dan kerajaan Belanda di Hindia dan bangsawan dan intelektual tanah jajahan yang mempelajari alam pikir (dan gaya hidup) tuannya. Guliran selanjutnya, seni pertunjukan (teater, tari, musik) modern berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat kelas menengah perkotaan, yang mulai memasuki kultur baru (modernisme).11 Keterkaitan dan pertalian Indonesia dengan yang global mulai marak di penghujung abad ke-19, ketika kelompok-kelompok seni dari Hindia Belanda—umumnya gamelan Jawa dan Bali— berpentas di kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.12 Pementasan dalam konteks kolonial ini —di panggung beragam ajang world fair atau pameran keberhasilan industrialisasi oleh para negara penjajah—menciptakan imajinasi-imajinasi awal tentang seni pertunjukan Indonesia selanjutnya yang diproyeksikan melalui lensa Orientalisme seperti yang dapat ditemukan di dalam pembacaan-pembacaan para seniman Eropa waktu itu, misalnya Antonin Artaud tentang Bali (1938) ataupun karya-karya seni mereka seperti perintis tari modern Amerika Ruth St. Denis yang melakukan tur ke Asia Timur Jauh pada 1925-1926, termasuk ke Batavia dan beberapa kota di Jawa. Setelah Proklamasi Republik Indonesia pada 1945, sifat keterhubungan dengan dunia seni pertunjukan global pun berubah, bergeser dari Orientalisme menuju masuknya pengaruh agenda- agenda politik pasca Perang Dunia II. Para seniman Indonesia pun mulai menjelajahi dunia: dari Peking hingga Paris, dari Moskow hingga New York. Pada penghujung akhir 1960-an, misalnya, banyak seniman atau praktisi seni pertunjukan Indonesia (teater, tari, dan musik) belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan Amerika Serikat, selain juga ke negara-negara lain seperti Uni Soviet (untuk ilm dan tari) bahkan India.13 Beberapa di antara para seniman itu mengambil gelar pascasarjana di jurusan seni di universitas- universitas di Amerika Serikat, yang waktu itu, masih menggolongkan seni-seni non-Barat ke dalam rubrik Seni Etnik. Setelah lulus, mereka kembali ke Indonesia dan mengajar di akademi seni nasional sehingga mereka pun ikut menentukan arah kurikulum pendidikan tinggi kesenian, misalnya, R.M. Soedarsono di bidang tari dan I Made Bandem di bidang musik—keduanya menuntut ilmu di Amerika Serikat pada 1960-an dan awal 1970-an.14 Setelah Indonesia merdeka, seni pertunjukan pun mengalami transformasi, baik dengan menjadi menasional atau menjadi bagian dari identitas kebudayaan nasional, antara lain melalui proses pelembagaan di dalam sistem pendidikan modern yang mengadaptasi pendidikan seni di dunia (11) Op. cit., Umar Kayam, 1981. (12) Op. cit., Cohen, 2010.Lihat: Marieke Bloembergen, Colonial Spectacles: The Netherlands and the Dutch East Indies at the World Exhibitions, 1880-1931, diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Beverly Jackson (Singapore: Singapore University Press, 2006). (13) Lihat: Jennifer Lindsay dan Maya Liem, “Heirs to World Culture 1950–1965: An Introduction,” dalam Jennifer Lindsay dan Maya Liem (ed.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012). Versi elektroniknya dapat diunduh di: www.kitlv.nl/book/show/1307. Terakhir diakses pada 9 Januari 2012; R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan: Dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003); dan op. cit., Helly Minarti, 2014. (14) Ibid., R.M Soedarsono, 2003.
  • 46. 29 BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia Barat (konservatori). Awalnya, konservatori nasional ini bertujuan untuk melahirkan seniman- seniman Indonesia di bidangnya, dengan perkembangan sebagai berikut: • Konservatori Karawitan atau dikenal sebagai KOKAR (1950) di Yogyakarta dapat dibilang sebagai cikal-bakal lembaga pendidikan semacam ini. KOKAR berevolusi menjadi beragam akademi seni seperti ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) pada 1960-an, dan pada 1980-an kembali berevolusi menjadi Sekolah Tinggi Seni (STSI) sebelum akhirnya menjadi Institusi Seni Indonesia (ISI) pada 1990–2000-an yang tersebar di empat kota (Surakarta, Yogyakarta—keduanya di Jawa, Denpasar di Bali, Padang Panjang di Sumatra Barat). Saat ini, beberapa kampus ISI ditugaskan untuk merintis pembentukan ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang akan dibuka di Banda Aceh, Tenggarong, Makassar, dan Jayapura. • Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang dibentuk belakangan pada 1970 memiliki sejarah yang agak berbeda dari keempat ISI di atas sebelum akhirnya menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jika keempat ISI berada langsung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemdiknas), maka IKJ adalah bagian dari latar historis empat lembaga terkait yang bernaung di bawah Pemerintah Kota DKI Jakarta. Keempat lembaga tersebut adalah PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki), Akademi Jakarta (AJ), serta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai dan dibentuk oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966–1977. IKJ berstatus sebagai akademi swasta yang dananya tergantung dari perolehan hibah Pemda DKI Jakarta serta dari pemasukan-pemasukan lainnya. Model konservatori yang tujuannya melahirkan seniman perlahan dilengkapi dengan bidang kajian yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, dapat dibilang bahwa kajian di bidang seni pertunjukan terbilang baru dalam konteks dan praktik Indonesia. Padahal, kajian adalah syarat dan penanda utama bagi perkembangan seni pertunjukan sebagai sebuah sistem pengetahuan—atau sebuah sektor yang memiliki parameter- parameter tertentu—terlebih jika Indonesia ingin terlibat secara aktif, berkontribusi hingga tingkat wacana di dalam konteks global. Secara bertahap mulai dari 1980-an dan seterusnya, pertunjukan-pertunjukan mengalir antara Indonesia dan dunia, dan bentuk-bentuknya mulai terbuka dan beragam. Kebangkitan Jepang dan Singapura sebagai pusat pertunjukan antarbudaya, dengan fokus kolaborasi antar-Asia, telah memberikan kesempatan yang besar bagi seniman-seniman Indonesia untuk menampilkan karya-karyanya. Singapura, khususnya Singapore Arts Festival, telah menjadi tempat pertunjukan bagi banyak produksi karya seni pertunjukan Indonesia. Sedangkan Jepang telah menjadi tujuan utama bagi kelompok-kelompok teater untuk melakukan touring, sekaligus produksi kolaborasi dengan seniman-seniman Jepang. Memasuki abad ke-21, proses akademisasi kesenian pertunjukan Indonesia pun melengkapi siklusnya dengan dibukanya program pascasarjana S2 (master) dan S3 (doktoral) di beberapa ISI, yang terbagi ke dalam bidang kajian dan penciptaaan. Proyek nasionalisasi inipun berlanjut dengan dirintisnya ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) sejak paruh kedua dekade abad ke-21 di kota-kota seperti Banda Aceh (Nanggroe Aceh), Tenggarong (Kalimantan Timur), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Jayapura (Papua).