Teks ini membahas tentang penggunaan lembaga mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Saat ini, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap lambat, mahal dan tidak efisien. Oleh karena itu, diperlukan metode penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi yang lebih cepat dan murah. Teks ini menjelaskan berbagai metode penyelesaian sengketa alternatif yang sudah diterap
MANAJAMEN KONTRAK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL.pptx
Nur
1. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Suatu Analisis Normatif
Oleh : Nurwidiatmo, SH., MH., MM.
A B S T R A C T
This research is basically seeks to analyze the legal implications of the utilization of mediation
institution as a disputes solution alternative based on the normative approach under Indonesian legal
system. According to the writer, the disputes solution mechanism through the litigation track was
regarded as the most formalistic and inefficiency way due to three main causes such as too long
solution, high cost and too tired for both sides of the conflict involved.
Keywords : disputes solution, mediation institution, litigation.
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah.
Era globalisasi yang ditandai dengan
kemajuan tehnologi industri, komunikasi dan
informasi, telah menghasilkan suatu paradigma
baru di mana jarak antara Negara yang satu
dengan yang lain menjadi semakin dekat.
Batas-batas negara menjadi tidak relevan bagi
perekonomian dunia dan kehidupan umat
manusia menjadi tanpa batas (borderless
world) dalam suatu kegiatan ekonomi yang
saling terkait (interlinked economy), sehingga
dunia yang dihuni manusia telah berubah
menjadi “global village” atau perkampungan
global dengan satu sistem perekonomian
(single economy).1
Konsekwensi dunia bisnis sebagai
suatu perkampungan global dalam kesatuan
ekonomi dunia tanpa batas, dengan sendirinya
membawa bangsa Indonesia ke kancah bisnis
global (business in global village);
perdagangan bebas (free trade); dan
persaingan bebas (free competition), sehingga
corak dan konsep “pasar bebas” dan
“persaingan bebas”, dalam segala bentuknya,
harus diterima sebagai kenyataan. Dalam
kondisi ini, financial dan capital bergerak terus
1
Yahya, M. Harahap, Beberapa Tinjauan
mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal.
144
memasuki Indonesia sesuai dengan “global
basis”. Persaingan produksi tidak terelakkan
geraknya dari satu negara ke negara lain,
meskipun jaraknya jauh. 2
Dengan tujuan utama untuk
mewujudkan orde ekonomi yang mampu
mendukung dan memperlancar perkembangan
perdagangan dan persaingan internasional
yang bebas, bangsa-bangsa di dunia telah
melahirkan berbagai bentuk persetujuan
internasional. Perjanjian multilateral tersebut
ada yang berbentuk integrasi regional seperti :
NAFTA (North America Free Trade
Association); AFTA (Asean Free Trade Area);
EEC (European economic community) yang
sekarang telah menjadi Pasar tunggal Eropa
(European single market) yang lebih dikenal
dengan sebutan Kawasan Eropa; APEC (Asia
pasific economics coorporation), dan yang
bersifat nonregional. Kelompok-kelompok atau
organisasi regional yang bergerak dalam
bidang ekonomi ini, diakui keberadaannya
dalam organisasi yang berskala international
seperti GATT (General agreement on tariffs
and trade) dan WTO (World trade
organization).3
GATT yang telah diratifikasi Indonesia
melalui Undang-Undang nomor 7 tahun 1994
tentang ratifikasi perjanjian pembentukan
2
Ibid, Hal. 145
3
Huala, Adolf, Hukum Ekonomi
Internasional. Suatu Pengantar, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hal. 154
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 166
2. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
organisasi perdagangan dunia, kemudian
berubah menjadi WTO sejak putaran Uruguay
di Jenewa. Dalam perundingan Uruguay round
di bidang penyelesaian sengketa atau dispute
settlement, telah disepakati suatu sistem
penyelesaian sengketa dengan memasukkan
prinsip-prinsip yang akan mempercepat jangka
waktu penyelesaian; menyederhanakan
prosedur tata laksana sehingga tidak
menimbulkan kemacetan politis. 4
Dengan adanya persetujuan
multilateral dan kerjasama-kerjasama
internasional tersebut diatas seiring dengan
berkembangnya era globalisasi menjadikan
intensitas hubungan perdagangan dan
investasi di Indonesia, baik antara masyarakat
bisnis domestik maupun dengan pihak asing,
semakin meningkat. Setiap tahun diperkirakan
ratusan bahkan ribuan aktifitas transaksi bisnis
yang dilakukan, baik transaksi domestik
maupun transaksi-transaksi antara mitra asing.
Meningkatnya intensitas perdagangan dan
investasi tersebut tidak hanya menimbulkan
dinamika ekonomi yang semakin tinggi dan
semarak, tetapi juga akan meningkatkan
intensitas konflik-konflik di antara mereka.
Dalam penyelesaian konflik, biasanya
para pelaku bisnis antar negara segan untuk
membawa perkaranya ke pengadilan, karena
di samping para hakimnya sendiri tidak
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
liku-liku perusahaan dan perdagangan
internasional, juga penyelesaiannya sering
memakan waktu yang cukup lama, padahal
yang dicari dan dibutuhkan para pelaku bisnis
adalah penyelesaian sengketa yang cepat dan
tepat, sehingga diperlukan lembaga lain untuk
penyelesaiaan sengketa tersebut, seperti
lembaga konsiliasi dan perwasitan atau
arbitase, yang dapat diadakan secara ad hoc
(yaitu apabila terjadi sengketa maka diangkat
sejumlah arbiter oleh para pihak sendiri),
maupun secara institusional.5
Di Indonesia, didasarkan pada fakta-
fakta yang ada di lapangan, diperkirakan
sistem peradilan yang ada dan kondisi yang
ada seperti dewasa ini, tidak akan mampu
4
Kartadjoemena, Substansi Perjanjian
GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa. Sistem, Kelembagaan, Prosedur
Implementasi, dan Kepentingan Negara
Berkembang, Penerbit UI-Press, 2000, hal.8
5
Sunaryati, Hartono, HukumEkonomi
Pembangaunan Indonesia, Bina Cipta, Jakarta,
1982, hal 161-162
memenuhi kebutuhan masyarakat yang
semakin kompleks. Asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan hingga kini masih
bersifat sebagai aturan normatif semata,
bahkan dalam prakteknya terkesan hanya
sebagai slogan kosong belaka. Kenyataan
memperlihatkan peradilan kita masih bertele-
tele, lambat dan memerlukan biaya besar.
sehingga masyarakat Indonesia pada
umumnya takut berurusan dengan dunia
peradilan.6
Keadaan ini semakin jelas terlihat
sejak bergulirnya era reformasi tahun 1998, di
mana lembaga peradilan telah mendapat
sorotan tajam dari masyarakat dan berbagai
media massa, atas kinerja peradilan yang
dianggap tidak mampu menyelesaikan
sengketa yang terjadi di masyarakat.
Kenyataan menunjukkan masih banyak
perkara yang bertumpuk dan belum
terselesaikan di Mahkamah Agung, yang
jumlahnya cukup banyak setiap tahunnya
mencapai sekitar 11.500 perkara.7
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk menanggulangi
atau guna memperkecil angka tunggakan
perkara yang terjadi dari tahun ke tahun dan
merupakan penyakit akut dunia peradilan
tersebut, antara lain mulai dari penambahan
jumlah Hakim Agung dari kalangan akademisi
dan praktisi hukum lainnya selain hakim karir,
pembenahan secara intern organisasi (self
organisation regulation) dan pemberdayaan
fungsi pengawasan, hingga pemberlakuan satu
atap semua urusan finansil, organisatoris dan
administratip dibawah Mahkamah Agung
sendiri, namun belum memperlihatkan hasil
yang cukup signifikan.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan
kenyataan sulitnya pelaksanaan (eksekusi)
suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sekalipun, dengan alasan non
eksekutabel atau tidak dapat dilaksanakan. 8
6
Gayus, Lumbun, Menerobos Goa Hantu
Peradilan Indonesia, Business Informatika Servise
(BIS) bekerjasama dengan Harian Berita Buana,
Jakarta, 2004. hal. 1
7
Henry, P. Panggabean, Fungsi Mahkamah
Agung dalam Praktek sehari-hari. Upaya
penanggulangan tunggakan perkara dan
Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah
Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hal.
38
8
Lihat Yahya, Harahap, Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 167
3. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
Gambaran situasi ini, semakin memperkuat
pandangan penyelesaian sengketa bisnis
melalui pengadilan kurang efektif karena
memerlukan biaya yang besar dan waktu yang
cukup lama, sehingga kalangan pelaku bisnis
enggan bahkan takut membawa
permasalahannya ke pengadilan.
Penyelesaian sengketa yang lambat
dan bertele-tele akan membuat kegiatan
perekonomian tidak efisien, biaya produksi
meningkat, resiko usaha menjadi tinggi karena
tidak adanya kepastian hukum, kredibilitas
para pihak rusak, kehidupan para pekerja
terancam sebab kemungkinan perusahaan
mengalami kehancuran karena terus menerus
dilanda sengketa yang berkepanjangan dan
pada gilirannya akan mengakibatkan dunia
usaha mengalami kehancuran. Oleh karena itu
diperlukan cara dan sistem penyelesaian
sengketa yang cepat, efisien dan efektif, yang
dapat menyelesaikan sengketa secepat dan
sedini mungkin serta dapat menyesuaikan
dengan laju kecepatan ekonomi dan
perdagangan di era globalisasi ini.
Akhir-akhir ini dalam pergaulan hidup
masyarakat, khususnya dunia bisnis, telah
berkembang penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dikenal dengan sebutan
Alternatif Penyelesaian sengketa (APS) atau
Alternative Dispute Resolution (ADR). Istilah
penyelesaian sengketa di luar pengadilan di
sini hanya untuk menggambarkan cara-cara
penyelesaian selain dari litigasi. APS atau
ADR ini telah banyak dikenal di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Eropah,
Australia, Canada, Inggris, Jepang, Korea,
Hongkong.
Di Amerika Serikat, upaya
pengembangan dan penggunaan metode
penyelesaian sengketa melalui APS, seperti
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase,
disambut dengan baik oleh masyarakat, yang
sudah jemu dengan cara penyelesaian
sengketa (nasional maupun internasional)
melalui pengadilan yang biayanya mahal dan
bertele-tele dengan cara-cara yang sangat
merugikan.9
Bagi Negara Philippine secara
tradisional penggunaan APS telah dikenal
melalui penyelesaian sengketa secara
Gramedia, Jakarta, Cetakan ketiga, 1991. hal. 89
9
Rahmadi, Usman, Pilihan Penyelesaian
Sengketa Di Luar Pengadilan, Citra Adhitya Bakti,
Bandung, 2003, hal. 35
kekeluargaan dan kooperatif di tingkat
pedesaan (barangay atau barrio).10
Sedang bagi masyarakat negara-
negara seperti China, Korea Selatan, Jepang,
Singapura, adalah merupakan pantangan
untuk menyelesaikan suatu sengketa langsung
ke pengadilan. Mereka selalu lebih dahulu
mengusahakan penyelesaian sengketa secara
musyawarah atau damai. Di Australia
perkembangan dan penataan lembaga APS
sudah pada tahap konsolidasi, di mana APS
diorganisir dan dikelola dalam suatu wadah
yang dinamakan dengan Centre for Dispute
Resolution yang didirikan pada tahun 1988.11
Di Indonesia APS sebenarnya
bukanlah hal yang baru karena di Indonesia
sudah lama dikenal penyelesaian sengketa
melalui pola-pola penyelesaian APS seperti:
Pasal 615-651 RV (Reglement op de
Rechtsvordering) yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase; Pasal
1851 – 1864 KUH Perdata dan pasal 130
HIR/154 RBg, yang mengatur tentang
perdamaian (dading); penyelesaian sengketa
pajak melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP); penyelesaian sengketa
lingkungan melalui tiga pihak (tripartite);
penyelesaian sengketa melalui BP4 (Badan
Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan
Perceraian); dan penyelesaian sengketa
perburuhan melalui Panitia Penyelesian
Perselisihan Perburuhan tingkat Daerah dan
Pusat (P4D dan P4P) sebagaimana diatur
dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 dan
Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang
ketenagakerjaan, serta Undang-undang No. 23
tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup; Ombudsman; penyelesaian sengketa
dalam rangka terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat melaui
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
penyelesaian sengketa konsumen dengan
pelaku usaha melalui Badan penyelesaian
sengketa konsumen (BPSK).
Walau tergolong masih baru, secara
formal APS di Indonesia sudah mendapat
tempat, dengan telah diaturnya APS dalam
Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, serta dalam Undang-undang nomor
2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial yang secara
tegas dalam pasal 1- nya telah menyebutkan
10
Ibid, hal. 42
11
Ibid, hal. 47
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 168
4. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
mediasi sebagai cara penyelesaian
perselisihan yang terjadi dalam hubungan
industrial.12
Namun secara materiil,
sesungguhnya bagi bangsa Indonesia sudah
sejak lama menjalankan pola-pola
penyelesaian sengketa secara tradisional yang
dilakukan melalui peradilan adat atau
peradilan desa (dorpjustitie).13
Penyelesaian sengketa melalui
negosiasi dan mediasi sudah sangat dikenal
dalam masyarakat hukum adat kita karena
pada dasarnya setiap sengketa yang timbul
diselesaikan melalui jalan musyawarah.
Secara nasional azas musyawarah untuk
mufakat ini dikenal melalui sila keempat
Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Yang sering
menimbulkan pertanyaan dewasa ini, mengapa
pola-pola penyelesaian sengketa yang sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat kita yang
mengutamakan musyawarah, tidak dapat
berkembang atau tidak berkembang
sebagaimana di Amerika Serikat, Eropah dan
Australia yang notabene masyarakatnya
sangat individualistis dan litigious.
Melihat kebuntuan dunia peradilan
formal kita dengan menumpuknya perkara
yang belum terselesaikan serta memperhatikan
perkembangan perilaku pelaku bisnis
internasional dan di Indonesia khususnya,
yang lebih menginginkan efisiensi dan
efektivitas, maka perlu kiranya kita
mempertimbangkan untuk lebih
memberdayakan penggunaan penyelesaian
sengketa melalui APS di Indonesia,
sehubungan dengan semakin besarnya volume
transaksi bisnis, baik domestik maupun
regional dan internasional, dalam rangka
“pasar bebas” dan “persaingan bebas” dewasa
ini, yang diperkirakan juga akan menimbulkan
berbagai sengketa-sengketa bisnis baru. Ketua
Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, sangat
mendukung gagasan ini sebagaimana terlihat
dari sambutan tertulisnya yang mengemukakan
“Bagi dunia peradilan, kehadiran Arbitrase,
Mediasi, atau cara-cara lain menyelesaikan
sengketa di luar proses peradilan juga penting,
berkembangnya praktek Arbitrase, mediasi dan
12
Lihat Lalu, Husni, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial melalui
Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 60
13
Rahmadi, Usman, Op-cit, hal. 34
lain-lain cara menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan – tentu diluar “debt collectors” –
akan mengurangi jumlah perkara di
pengadilan. Dengan perkara yang lebih sedikit,
Majelis Hakim dapat mempertimbangkan
setiap perkara secara lebih mendalam,
sehingga akan didapati putusan hukum yang
lebih bermutu dan memuaskan pihak-pihak.14
Walau dari beberapa bentuk APS yang
ada, Arbitrase dipandang sebagai pranata
hukum penting sebagai cara menyelesaikan
sengketa di luar proses peradilan, namun
dalam praktek hukum di Indonesia kasus yang
diselesaikan melalui prosedur arbitrase
Indonesia (BANI) masih kurang. Hal ini
disebabkan suatu putusan arbitrase, yang
sudah bersifat final dan mengikat, masih
memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan
untuk pelaksanaannya, bahkan tak jarang
suatu putusan arbitrase internasional yang
bersifat terakhir dan mengikat (final and
binding) diabaikan oleh pihak yang kalah dan
diajukan ke pengadilan. Pelaksanaan putusan
arbitrase ini akan menjadi lebih sulit lagi
apabila menyangkut pelaksanaan putusan
badan arbitrase asing karena pengadilan
masih sering mengabaikan, bahkan
membatalkan putusan arbitrase asing.15
Bentuk APS lain yang sudah dikenal di
negara maju adalah Mediasi. Mekanisme
penyelesaian sengketa melalui mediasi ini
adalah menggunakan pihak ketiga untuk
membantu dua pihak yang bersengketa di
dalam menyelesaikan sengketanya. Mediasi,
walaupun belum sepopuler Arbitrase, tetapi
akhir-akhir ini, penyelesaian sengketa melalui
mediasi di Indonesia telah menjadi
pembicaraan umum terutama di kalangan ilmu
hukum dan praktisi hukum.
Di Indonesia, belakangan ini, semakin
banyak perselisihan atau sengketa yang
diselesaikan di luar proses pengadilan,
terutama pasca terjadinya gelombang
reformasi tahun 1998, yaitu dengan
14
Bagir, Manan, Kata Sambutan,
Sebagaimana dimuat dalam buku Priyatna,
Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Suatu Pengantar, Fikahati Aneska,
Jakarta, 2002, hal. iv
15
Juwana, Hikmahanto, Pembatalan
Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional, Majalah Jurnal Hukum Bisnis, Volume
21, Oktober-November 2002. Jayasan
Pengembangan Hukum Bisnis, 2002, hal. 68
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 169
5. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
dibentuknya Satuan Tugas Prakarsa Jakarta
(STPJ) atau The Jakarta Initiative Task Force
(JITF) dalam rangka membantu percepatan
usaha restrukturisasi hutang swasta Indonesia
kepada pihak luar negeri, yang hingga tanggal
24 Juli 2002 dari sejumlah 128 kasus yang
ditangani STPJ, telah tercatat berhasil
diselesaikan dengan mekanisme mediasi
sebanyak 72 kasus. Peran Satuan Tugas
Prakarsa Jakarta (STPJ atau JITF) ini antara
lain adalah sebagai mediator antara para
debitur dan para kreditur dalam negosiasi
restrukturisasi hutang swasta; sebagai
fasilitator dalam rangka pemberian kemudahan
di bidang tertentu (regulatory insentif) dalam
rangka restrukturisasi hutang perusahaan. 16
Demikian juga dalam upaya
Pemerintah RI untuk mengatasi krisis di sektor
perbankan, khususnya dengan factor-faktor
yang berkaitan dengan kewajiban pemegang
saham yaitu Penyalahgunaan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pelanggaran
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
khususnya kepada group afiliasi bank, biaya-
biaya lain yang harus ditanggung oleh bank
misalnya pesangon karyawan, serta dalam
pelaksanaan Perjanjian Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang
tertuang dalam Master Settlement and
Acquition Agreement (MSAA), Master
Refinancing and Note Issuance Agreement
(MRNIA), Akta Pengakuan Hutang (APU) Bank
Beku Usaha (BBKU), pilihan penyelesaian
masalah di luar pengadilan (out of court
settlement) dipilih sebagai opsi pemerintah
untuk memaksimalkan pengembalian uang
negara, dengan pertimbangan antara lain :
Pandangan Kejaksaan Agung melalui
Jamdatun bahwa pendekatan hukum (terutama
pidana) diperkirakan kurang efektif dari segi
komersial; Rekomendasi IMF dan World Bank
agar pemerintah mengutamakan negosiasi;
pengupayaan konsentrasi pemerintah untuk
terlebih dahulu mengamankan aset-aset dan
menciptakan iklim kooperatif, termasuk dalam
hal insentif yang berbentuk release and
discharge.17
16
Raymond, Lee, “Satuan Tugas Prakarsa
Jakarta”, Lokakarya tentang Restrukturisasi Utang,
Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan
Mahkamah Agung RI, Jakarta, Juli 2002, hal. 2
17
Robertus, Bilitea, “Pelaksanaan Perjanjian
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan
Potensi Permasalahan Hukumnya”, Lokakarya
tentang Restrukturisasi Utang, Pusat Pengkajian
Upaya yang sama juga terlihat dari
semakin intensnya Mahkamah Agung RI
melakukan berbagai seminar-seminar,
lokakarya, rapat-rapat kerja nasional para
hakim seluruh Indonesia dan pelatihan-
pelatihan tentang penerapan lembaga mediasi
di pengadilan, bahkan Mahkamah Agung RI
telah mengeluarkan beberapa aturan
pelaksanaan dan pemberdayaan lembaga
perdamaian sebagai alternatip penyelesaian
sengketa pada pengadilan di Indonesia antara
lain Surat edaran Mahkamah Agung nomor 1
tahun 2002 tentang pemberdayaan pengadilan
tingkat pertama menerapkan lembaga damai
dan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 2
tahun 2003 tentang prosedur mediasi di
pengadilan. Sementara dalam pengalaman
sehari-hari yang penulis temukan sudah ada
beberapa pengacara yang dengan bangga
mencantumkan dalam kartu namanya sebagai
mediator, di samping sebagai penasehat
hukum atau advokat.
Namun dalam praktek penggunaan
APS termasuk mediasi tidak diikuti dengan
pengaturan jelas perihal pelaksanaannya.
Seringkali penggunaan lembaga APS menjadi
sia-sia karena salah satu pihak tidak mau
melaksanakannya secara sukarela, sehingga
banyak pihak mempertanyakan perihal
kepastian hukum penggunaan lembaga
mediasi; masalah atau akibat hukum yang
mungkin timbul sebagai akibat dari
penggunaan lembaga APS termasuk mediasi
sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
B. Identifikasi Masalah.
Masalah penggunaan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sangat luas
cakupannya. Untuk menghindari terjadinya
bias penelitian dan pembahasan, maka
penelitian tesis ini lebih difokuskan pada
pembahasan mengenai akibat hukum
penggunaan lembaga mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia.
Oleh karena itu, pengkajian dalam
penulisan tesis ini akan didahului dengan
pembahasan singkat mengenai pengertian
sengketa dan bagaimana pola penyelesaian
sengketa pada umumnya, Sebelum membahas
secara normatif mengenai apa dan bagaimana
akibat hukum penggunaan mediasi, maka
terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai arti
dan latar belakang perkembangan mediasi
dalam penyelesaian sengketa pada umumnya
Hukum bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI,
Jakarta, Juli 2002, hal. 14
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 170
6. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
dan khususnya dalam sengketa di Indonesia.
serta penggunaan lembaga mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia,
antara lain pihak-pihak yang terlibat dalam
mediasi; bagaimana proses atau mekanisme
mediasi serta kelemahan-kelemahan dan jenis
klausul mediasi.
C. Rumusan Masalah.
Bertitik tolak dari latar belakang dan
identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah penggunaan lembaga
mediasi di luar dan/atau di pengadilan di
Indonesia serta akibat hukumnya ?
D. Kerangka Teoritis.
Terjadinya sengketa terbuka
kemungkinan dalam setiap hubungan hukum,
terutama disebabkan keadaan di mana pihak
yang satu dihadapkan pada kepentingan yang
berbeda dengan pihak lainnya. Prof Dr Komar
Kantaatmadja, SH, LL.M. (alm)
mengemukakan bahwa sengketa terjadi jika
salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak
lainnya menolak berlaku demikian.18
Lebih
tegas lagi, Prof Dr Yudha Bhakti, SH, MH.
mengemukakan bahwa sengketa adalah suatu
situasi dimana salah satu pihak memaksakan
kehendaknya kepada pihak lain untuk berbuat
dan/atau tidak berbuat sesuatu, akan tetapi
kehendak salah satu pihak tersebut tidak
mendapat tanggapan positip dari pihak
lainnya.19
Dengan demikian ada tiga unsur pokok
dalam suatu sengketa. Ketiga unsur pokok
tersebut adalah : adanya dua atau lebih pihak
yang terlibat; adanya perbedaan kehendak/
pendapat/kepentingan; dan adanya
ketidaksediaan dari salah satu pihak untuk
menanggapi secara positip atau melakukan
18
Komar, Kantaatmadja, Beberapa Hal
Tentang Arbitrase, Makalah pada Penataran Hukum
Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum UNPAD,
1989, sebagaimana dikutip dalam Prospek dan
Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, editor
Hendarmin, Djarab, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hal. 3
19
Yudha Bhakti, Wawancara Pribadi, Dekan
Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta,
Selasa , 3 Augustus 2004
kehendak (prestasi) yang diinginkan oleh pihak
lainnya (wanprestasi).
Sengketa adalah suatu proses yang
wajar dan alami dalam kehidupan manusia,
serta secara alami derajat eskalasi,
kompleksitas, dan bobot resiko suatu sengketa
berikut aspek yang terkait padanya sangat
bervariasi, sehingga sudah wajar apabila
penanganan dan penyelesaiannya menuntut
variasi pula.20
Membiarkan atau sebaliknya
memaksakan mekanisme penyelesaian yang
ada yaitu melalui pengadilan, untuk memenuhi
semua kebutuhan akan variasi tersebut, dapat
menimbulkan disharmoni atau keadaan chaos
di tengah masyarakat, sehingga dibutuhkan
adanya mekanisme penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, selain penyelesaian melalui
pengadilan. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa tumbuhnya kebutuhan akan
penggunaan mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan adalah salah satu
cerminan adanya respon akan pemenuhan
penyelesaian dan penanganan terhadap
perselisihan yang bervariasi tersebut.
Untuk menghindari penyelesaian
sengketa di pengadilan yang berlarut-larut dan
mahal, para pihak pada saat membuat
perjanjian dagang atau kontrak-kontrak bisnis
sering mencantumkan klausul penyelesaian
sengketa (dispute settlement) yang
memungkinkan para pihak dapat memilih
penyelesaian sengketa dalam forum yang
paling banyak memberikan keuntungan dan
mengurangi kerugian bagi mereka, yaitu
dengan terlebih dahulu menempuh cara-cara
damai (amicable way) di luar pengadilan
melalui negosiasi dan mediasi (konsiliasi),
sebelum menempuh jalur ajudikasi, baik
melalui arbitrase atau pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan pada umumnya mempunyai kadar
keterikatan kepada mekanisme dan aturan
main yang sangat bervariasi, dari yang paling
kaku dalam menjalankan mekanisme dan
aturan mainnya sampai kepada yang paling
rileks. Ada beberapa faktor penting yang
berkaitan dengan mekanisme kerja
penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
termasuk mediasi, yaitu sebagai berikut: 21
20
Emmy, Yuhassarie dan Shanti, Damayanti,
Proceeding. Arbitrase dan Mediasi, Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, 2003, hal. xii
21
Kanowitz, Leo, Alternative Dispute
Resolution, St. Paul, Minnesota, USA, West
Publising Co, 1985, hal. 14. Sebagaimana dikutip
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 171
7. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
1. Apakah para pihak dapat
diwakili oleh para pengacaranya atau para
pihak sendiri yang tampil.
2. Apakah partisipasi dalam
penyelesaian sengketa alternatif tertentu
wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya
bersifat sukarela.
3. Apakah putusan dibuat oleh
para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
4. Apakah mekanisme atau
prosedur yang digunakan bersifat formal
atau tidak.
5. Apakah dasar untuk
menjatuhkan putusan adalah aturan hukum
atau ada kriteria lain.
6. Apakah putusan dapat
dieksekusi secara hukum atau tidak.
Mekanisme penyelesaian sengketa
melalui mediasi pada hakekatnya adalah
didasarkan pada kesepakatan para pihak yang
bersengketa. Oleh karena itu, penyelesaian
sengketa melalui mediasi juga harus sesuai
dengan aturan umum tentang kesepakatan dan
kebebasan berkontrak sebagaimana diatur
dalam pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata. 22
.
Kesepakatan yang dicapai para pihak memiliki
kedudukan yang kuat, bahkan dapat
menyampingkan ketentuan-ketentuan yang
sebelumnya telah berjalan.
Sebagai konsekwensi dari
kesepakatan para pihak yang bersengketa,
penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah
bersifat sukarela dan tidak dapat dipaksakan
oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya.
Oleh karena itu, keterlibatan para baik dalam
tahap pencapaian kesepakatan maupun dalam
tahap pelaksanaan kesepakatan adalah sangat
menentukan sekali.
Dengan memilih upaya penyelesaian
sengketa melalui mediasi, maka pihak yang
bersengketa seharusnya mengacu kepada
kontraknya sendiri, yaitu kepada klausul
kontrak yang menunjuk kepada penggunaan
pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan
sengketa mereka dengan tatacara penanganan
sesuai dengan “rules of procedure” yang
disepakati, sehingga proses mediasi pada
hakikatnya adalah aktualisasi dari prinsip dasar
dalam Munir, Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Adithya Bakti,
Bandung, 2000, hal. 34
22
Lihat juga Victor, M. Situmorang,
Perdamaian dan Perwasitan, Dalam Hukum Acara
Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 47
hukum perdata yaitu kebebasan berkontrak.23
Namun kebebasan yang diberikan pasal 1338
KUH Perdata kepada para pihak untuk
mencapai kesepakatan dalam perjanjian, tidak
berarti tidak terbatas, akan tetapi di samping
dibatasi oleh pasal 1320 KUH Perdata tentang
syarat-syarat umum sahnya suatu perjanjian,
juga dibatasi oleh tanggung jawab para pihak
untuk tetap saling memelihara keseimbangan
dalam mencapai keuntungan, kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi para pihak.
Pembatasan demikian oleh Prof Dr
Mariam Darus Badrulzaman, SH, disebut
sebagai kebebasan berkontrak yang
bertanggungjawab.24
Penyalahgunaan
terhadap azas kebebasan berkontrak ini sering
muncul dalam pembuatan perjanjian baku atau
standart contract, seperti perjanjian
pembukaan rekening dan kredit di Bank,
perjanjian sewa-beli, perjanjian pengiriman
uang atau barang melalui titipan kilat, dan lain-
lain, di mana syarat-syarat dalam perjanjian
ditentukan secara sepihak, biasanya oleh pihak
kreditur, sedang pihak kedua lainnya, debitur,
hanya diberi kebebasan untuk memilih
menerima dengan menandatangani kontrak
atau meninggalkannya (“take it” or “leave it
contract”).25
Sengketa yang terjadi akibat
penyalahgunaan terhadap azas kebebasan
berkontrak ini, dalam praktek sering
diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
Sebagai suatu bentuk perjanjian,
kesepakatan yang telah dicapai oleh para
pihak untuk menyelesaiakan sengketa melalui
forum di luar pengadilan, seharusnya ditaati
oleh para pihak secara sukarela, namun
sampai seberapa jauh kesepakatan untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan ini
mengikat dan/atau dapat dipaksakan kepada
para pihak menurut sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, ternyata masih belum
diatur secara jelas dan belum dapat ditemukan
persamaan yang berlaku secara universal
23
Komar, Kantaatmadja, Beberapa Masalah
dalam Peneraan ADR di Indonesia, dimuat dalam
Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia,
Editor Hendarmin, Djarab, dkk, Citra Adithya
Bakti, Bandung, 2001, hal. 39
24
Lihat Mariam, Darus Badrulzaman,
Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal.
44-53
25
Ibid, hal. 46
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 172
8. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
untuk semua aturan hukum yang berlaku.26
Hal ini pula yang menyebabkan penyelesaian
sengketa melalui mediasi tidak selalu tepat
untuk diterapkan terhadap semua sengketa
atau tidak selalu digunakan untuk
menyelesaiakan semua persoalan dalam
sengketa tertentu.27
Dengan perkataan lain,
tidak selamanya pola penyelesaian sengketa
alternatif baik untuk para pihak yang
bersengketa.
Suatu penyelesaian sengketa alternatif
yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut;
- Haruslah efisien dari
segi waktu.
- Haruslah hemat
waktu.
- Harus dapat diakses
oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan
terlalu jauh.
- Harus melindungi
hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
- Harus dapat
menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
- Badan atau orang
yang menyelesaikan sengketa haruslah
terpercaya di mata masyarakat dan di mata
para pihak yang bersengketa.
- Putusannya
haruslah final dan mengikat.
- Putusannya
haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
- Putusannya
haruslah sesuai dengan perasaaan keadilan
dari komunitas di mana penyelesaian
sengketa tersebut terdapat. 28
Ada beberapa kebaikan mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan
termasuk melalui mediasi, bila dibandingkan
dengan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, yaitu :
1. Sifat kesukarelaan dalam proses.
2. Prosedur yang cepat.
3. keputusan non-judicial.
26
Gunawan, Wijaya, Seri Hukum Bisnis,
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hal. 2
27
Gary, Goodpaster, Tinjauan Terhadap
Penyelesaian Seneta, Seri Dasar-Dasar Hukum
Ekonomi 2. Arbitrase Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1995, hal. 17
28
Kanowitz, Leo, Op-cit, hal. 35
4. kontrol oleh manajer yang paling tahu
tentang kebutuhan organisasi.
5. Prosedur rahasia (confidential).
6. Fleksibilitas yang besar dalam
merancang syarat-syarat penyelesaian
masalah.
7. Hemat waktu.
8. Hemat biaya.
9. Perlindungan dan pemeliharaan
hubungan kerja.
10. Kemungkinan untuk melaksanakan
kesepakatan tinggi.
11. Tingkat yang lebih tinggi untuk
melaksanakan kontrol dan lebih mudah
memperkirakan hasil.
12. Kesepakatan-kesepakatan yang lebih
baik daripada sekedar kompromi atau hasil
yang diperoleh dari cara penyelesaian
kalah/menang.
13. Keputusan yang bertahan sepanjang
waktu. 29
Selain dari faktor-faktor di atas, Yahya
Harahap menyebutkan beberapa alasan lain
perlunya mekanisme penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, termasuk mediasi, yaitu: 30
1. Adanya tuntutan dunia bisnis.
2. Adanya berbagai kritik yang
dilontarkan kepada lembaga peradilan.
3. Peradilan pada umumnya tidak
responsif.
4. Keputusan pengadilan tidak
menyelesaikan masalah.
5. Kemampuan para Hakim bersifat
generalis.
6. Adanya berbagai ungkapan yang
mengurangi citra pengadilan.
7. Pencegahan untuk memperkecil
terjadinya sengketa.
8. Sulit mendesain sistem peradilan yang
efisien.
Untuk mengukur bagaimana dan
sejauh mana kemungkinan penerapan dan
pelembagaan mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, termasuk lembaga
mediasi, dapat diterima ditengah masyarakat di
Indonesia, maka diperlukan parameter yang
secara kualitatif dapat menggambarkan bahwa
berlakunya lembaga hukum tersebut di atas
29
Christoper, W. Moor, Mediasi
Lingkungan, Indonesian Centre for Environmental
Law dan CDR associates, Jakarta, 1995, hal 33-36,
sebagaimana dikutip dalam Rahmadi, Usman, Op-
Cit, hal. 12-17
30
Yahya, M. Harahap, Op-Cit, hal. 148-169
dan hal. 239-247
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 173
9. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
diterima dengan baik atau tidak, yaitu secara
filosofis, sosiologis dan yuridis. Secara
filosofis, apabila penerapan kaidah hukum atau
lembaga hukum tersebut sesuai dengan cita-
cita hukum sebagai nilai positif tertinggi.
Secara sosiologis, apabila berlakunya kaidah
hukum atau lembaga hukum tersebut dapat
diterima atau diakui oleh masyarakat. Secara
yuridis, apabila kaidah hukum atau lembaga
hukum tersebut terbentuk dan dilaksanakan
sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan
dalam masyarakat tersebut.
Lembaga mediasi, sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa, di Indonesia,
adalah memenuhi ketiga parameter tersebut di
atas. Karena secara filosofis, mekanisme atau
pola-pola yang digunakan dalam mediasi
adalah sesuai dengan Pancasila sebagai suatu
cita-cita hukum dan sebagai nilai hukum positip
tertinggi di Indonesia, di mana setiap sengketa
yang timbul sedapat mungkin diupayakan
penyelesaiannya melalui musyawarah
sebagaimana tertuang dalam sila keempat.
Secara Sosiologis, lembaga mediasi sebagai
salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sesungguhnya sudah lama diterima dan diakui
oleh masyarakat Indonesia, bahkan mediasi
untuk sebagian besar masyarakat hukum
sudah menjadi budaya hukum di dalam
menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di
tengah komunitasnya.
Sedangkan secara yuridis,
penggunaan lembaga mediasi ini, walaupun
belum secara komprehensif, namun sudah
dibentuk dan diatur secara garis besar menurut
cara-cara yang telah ditetapkan dalam
berbagai aturan perundang-undangan yang
beraku, antara lain: Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHP), Herzien Inlandsch
Reglement (HIR), Undang-Undang No. 22
tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang no. 2 tahun
2004 tentang penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Undang-Undang no 25
tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, Undang-
undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan
Lingkungan hidup serta Undang-undang no 30
tahun 2002 tentang Arbitrase dan alternatif
penyelesian sengketa, dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, guna menjawab
tuntutan era globalisasi dewasa ini,
pengaturan secara tegas dan komprehensif
dalam sistem hukum Indonesia perihal
penggunaan dan akibat hukum penggunaan
lembaga mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, di samping sudah
menjadi suatu kebutuhan mendesak bagi
masyarakat Indonesia, juga praktek
percepatan penggunaan dan pelembagaan
mekanisme penyelesaian sengketa melalui
mediasi, haruslah didukung sepenuhnya.
E. Kerangka Konseptual.
Dalam kondisi financial dan capital
yang bergerak terus memasuki Indonesia
sesuai dengan corak dan konsep “pasar
bebas” (free trade); dan “persaingan bebas”
(free competition), di samping meningkatkan
aktivitas dan dinamika ekonomi yang semakin
tinggi dan semarak di tengah masyarakat
Indonesia, juga meningkatkan intensitas
terjadinya konflik-konflik di tengah masyarakat
dengan segala variasinya. oleh karena itu,
tumbuhnya kebutuhan akan penggunaan
mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah salah satu cerminan adanya
respon akan pemenuhan penyelesaian dan
penanganan terhadap konflik-konflik yang
semakin meningkat tersebut, karena
mekanisme penyelesaian yang ada melalui
jalur litigasi tidak memungkinkan untuk
merespon pemenuhan kebutuhan akan
penyelesaian sengketa dengan lebih cepat,
fleksibel, murah dan efisien, sebagaimana
dikehendaki oleh masyarakat pada umumnya.
Mekanisme penyelesaian sengketa
melalui pengadilan dirasakan kurang efektif
karena memerlukan biaya yang besar dan
waktu yang lama, sedang yang dibutuhkan
guna menjawab perkembangan aktivitas dan
dinamika ekonomi masyarakat adalah efisiensi
dan efektifitas, sehingga anggota masyarakat
lebih senang menyelesaikan sengketa yang
dihadapi dengan memilih penyelesaian di luar
pengadilan melalui arbitrase, negosiasi,
mediasi atau konsiliasi. Hal ini disebabkan
berperkara melalui jalur penyelesaian di luar
pengadilan tidak begitu formal dan lebih
fleksibel.
Dalam penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, tidak ada tatacara proses
berperkara yang mutlak harus dijalani (kaku),
seperti halnya yang terjadi dalam proses
beracara melalui litigasi atau pengadilan.31
Prosedurnya ringkas dan langsung masuk
kepada pokok perkara (masalah), sehingga
tidak membuat para pihak berperkara menjadi
seolah-olah pihak asing dan dijauhkan dari
masalahnya sendiri.32
Tidak ada keharusan
31
Huala, Adolf, Arbitrase Komersial
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal. 14
32
Emmy, Yuhassarie, Op-Cit, hal. xiii
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 174
10. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
untuk berperkara di tempat tertentu, karena
para pihak sendirilah yang memiliki
kebebasan untuk memilih, baik mengenai
hukum yang digunakan maupun tempat
pertemuan dilangsungkan.
Para pihak pada saat membuat
perjanjian dagang atau kontrak-kontrak bisnis
dapat mencantumkan klausul penyelesaian
sengketa (dispute settlement), yang
memungkinkan para pihak untuk memilih
penyelesaian sengketa dalam forum yang
paling banyak memberikan keuntungan dan
mengurangi kerugian bagi mereka, yaitu
dengan terlebih dahulu menempuh cara-cara
damai (amicable way) di luar pengadilan
melalui negosiasi, konsiliasi atau mediasi,
sebelum menempuh jalur ajudikasi, baik
melalui arbitrase atau pengadilan. Ini berarti
bahwa penggunaan mekanisme penyelesaian
sengketa melalui mediasi, tidak menutup
kemungkinan peluang penyelesaian perkara
tersebut secara litigasi.33
Saat ini, dengan Peraturan Mahkamah
Agung No. 2 tahun 2003 tentang prosedur
mediasi di Pengadilan, sedang dilakukan uji
coba penggunaan mekanisme penyelesaian
sengketa perdata melalui mediasi dalam satu
rangkaian dengan proses litigasi (Court
annexed Mediation). Di mana apabila
penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak
berhasil, maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan proses litigasi, sebaliknya apabila
proses penyelesaian melalui mediasi berhasil
mencapai kesepakatan para pihak untuk
mengakhiri sengketa, maka hasil kesepakatan
tersebut, atas permohonan para pihak, akan
dituangkan dalam bentuk putusan pengadilan
yang disebut dengan “akte perdamaian” atau
“akta van dading” atas permintaan para pihak.
Dalam hal hasil kesepakatan tersebut
dituangkan dalam bentuk putusan pengadilan
yang disebut dengan akte perdamaian, maka
sebagai akibat hukumnya pelaksanaan hasil
kesepakatan dapat dilakukan dengan upaya
hukum paksa melalui bantuan Ketua
Pengadilan Negeri setempat dengan upaya
eksekusi putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Namun apabila hasil
kesepakatan di luar pengadilan tersebut hanya
33
Lihat Suyud, Margono, Pelembagaan
Alternative Dispute Resolution (ADR) di Indonesia,
dimuat dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase
Di Indonesia, Editor Hendarmin, Djarab, dkk, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 18
dituangkan dalam suatu akta tertulis, baik akta
dibawah tangan maupun akta notariil, bahkan
dalam bentuk akta yang telah didaftarkan di
pengadilan sekalipun, maka pelaksanaan hasil
kesepakatan tidak dapat dipaksakan oleh salah
satu pihak kepada pihak lain dan sebagai
akibat hukumnya hasil kesepakatan tertulis
tersebut hanya dapat digunakan sebagai alat
bukti tertulis dalam suatu gugatan yang
diajukan di depan pengadilan.
Mediasi adalah proses pengikutsertaan
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasehat.34
Lebih luas,
Gary Goodpaster mengemukakan bahwa
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan
masalah di mana pihak luar yang tidak
memihak (impartial) dan netral bekerja dengan
pihak yang bersengketa untuk membantu
mereka memperoleh kesepakatan perjanjian
dengan memuaskan.35
Dengan demikian inti
pokok dari penggunaan mediasi dalam
penyelesaian sengketa adalah pencapaian
konsensus (concensus finding) atau
kesepakatan para pihak.
Terhadap beberapa istilah yang
digunakan dalam penulisan tesis ini, perlu
diberikan batasan sebagai definisi
operasional, guna memperoleh pemahaman
yang sama, antara lain:
1. Akibat Hukum adalah hal-hal yang
timbul sebagai implikasi penggunaan
mediasi dalam praktek hukum sehari-hari.
2. Mekanisme penyelesaian adalah
tatacara atau tahap-tahapan atau prosedur
yang perlu ditempuh dalam rangka
menyelesaikan dan mengakhiri suatu
sengketa yang terjadi.
3. Sengketa bisnis adalah sengketa yang
terjadi di antara pelaku bisnis yang
berkaitan dengan aktivitas dan kontrak-
kontrak bisnis pada umumnya di
Indonesia, baik yang bersifat domestik
maupun dengan mitra asing.
4. Lembaga Mediasi adalah suatu
pranata hukum atau sistem dalam
penyelesaian sengketa dengan
menggunakan pihak ketiga sebagai
mediator atau penengah, untuk membantu
para pihak yang bersengketa mencapai
34
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1988, hal. 569
35
Gary, Goodpaster, Op-Cit, hal. 11
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 175
11. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
suatu kesepakatan yang dapat diterima
oleh para pihak.
5. Alternatif penyelesaian sengketa
adalah cara-cara penyelesaian sengketa
yang tidak menggunakan proses litigasi
atau penyelesaian sengketa di luar
pengadilan melalui penyelidikan (fact
finding atau inquiry), negosiasi, konsiliasi,
atau mediasi dan arbitrase.
F. Metode Penelitian.
Dalam penelitian ini digunakan metode
penelitian kepustakaan (library research) yang
bersifat deskriptif.36
yaitu melalui penelaahan
terhadap teori-teori dan azas-azas yang
tersedia dalam bahan-bahan pustaka yang
ada, baik buku-buku dan peraturan perundang-
undangan maupun dokumen-dokumen hasil
penelitian yang berhubungan dengan
penggunaan dan akibat hukum penggunaan
lembaga mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, yang akan digunakan
sebagai landasan pembahasan.
Dalam penelitian bersifat deskriptif
dimaksudkan untuk memberikan gambaran
umum mengenai baik penggunaan, maupun
akibat-akibat hukum dari penggunaan lembaga
mediasi sebagai alternatif penyelesaian
sengketa di Indonesia, berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum normatif yang ada.
G. Tehnik Pengumpulan Data.
Dalam penelitian ini, pengumpulan
data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Pustaka untuk
mendapatkan data sekunder yang
mencakup :
a.1. Bahan hukum primer, yaitu bahan
hukum yang isinya mempunyai
kekutan mengikat kepada
masyarakat, antara lain : Peraturan
Perundang-undangan dan
Yurisprudensi.
a.2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan
hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer,
seperti hasil-hasil penelitian, hasil
karya atau tulisan para ahli hukum.
a.3. bahan hukum tertier, yakni bahan
yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum
36
Soerjono, Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Penerbit UI-PRESS, Jakarta,
1986, hal. 50
primer dan sekunder, seperti
Kamus.37
b. Studi lapangan, yaitu untuk
mendapatkan data primer guna
melengkapi analisis dari segi praktis, yang
dilakukan dengan cara wawancara melalui
kuisioner terhadap orang yang dianggap
ahli (expert) dan berkompoten mengenai
pelaksanaan mediasi dalam praktek dan
terhadap institusi atau lembaga yang
berhubungan langsung dengan
penyelesaian sengketa, seperti
Pengadilan, BANI, kantor advokat dan
konsultan hukum serta perusahaan-
perusahaan yang sudah pernah
menempuh jalur mediasi dalam
penyelesaian sengketa yang dihadapi.
H. Lokasi Penelitian.
Adapun lokasi penelitian di lapangan
akan dilakukan pada kantor-kantor advokat
dan konsultan hukum seperti Hotman Paris &
Associates, Gani Djemat & Associates dan
Pius Timugale & Associates. Sedang
perusahaan-perusahaan yang dijadikan
sebagai sumber data primer adalah
perusahaan-perusahaan yang tergabung
dalam Gapensi (Gabungan Pengusaha
Nasional Indonesia) dan Gapeksi (Gabungan
Pengusaha Konstruksi Indonesia). Lembaga
atau institusi yang dijadikan sumber data
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Timur,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sedangkan
orang yang dianggap ahli (expert) dalam hal
mediasi adalah Mas Ahmad Santosa dari IICT
(Indonesian Institute for Conflict
Transformation) dan Raymond Lee dari STPJ
(Satuan Tugas Prakarsa Jakarta) atau JITF
(Jakarta Initiative Task Force).
37
Soerjono, Soekanto; Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.
13. Lihat juga Soerjono, Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Penerbit UI-PRESS, Jakarta,
1986, hal. 52
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 176
12. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
BAB II
KAIDAH HUKUM DAN PROSES PENGGUNAAN
LEMBAGA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA DI INDONESIA
Dalam rangka mengatasi
permasalahan yang dihadapi baik dalam litigasi
maupun arbitrase, muncul gerakan baru
melalui penggunaan lembaga mediasi di luar
dan di dalam pengadilan yang lebih
mengutamakan pada fleksibilitas para pihak
dalam menyelesaikan sengketanya. Dewasa
ini penggunaan lembaga mediasi sebagai
suatu alternatif penyelesaian sengketa dalam
praktek semakin diminati dan bahkan menjadi
sumber inspirasi bagi pembuat kebijakan untuk
mengadopsinya dalam sistem peradilan yang
dikenal dengan court connected mediation.
Guna pemahaman yang komprehensip
dan mendukung bagi pembahasan dan
pengkajian tentang penggunaan lembaga
mediasi dimaksud, diperlukan pemaparan
kaidah-kaidah hukum yang meliputinya antara
lain perihal pihak-pihak yang terlibat dalam
proses mediasi dan peran masing-masing,
proses mediasi, negosiasi dalam mediasi,
jenis-jenis klausul mediasi dan kekuatan
mengikatnya serta kelemahan-kelemahan yang
terkandung di dalamnya.
A.Para Pihak yang terlibat dalam proses
mediasi dan Peran masing-masing.
1. Para Pihak yang bersengketa.
Sebagaimana dikemukakan dalam
pendahuluan, bahwa terjadinya sengketa
terbuka kemungkinan dalam setiap hubungan
hukum, terutama disebabkan keadaan di mana
pihak yang satu dihadapkan pada kepentingan
yang berbeda dengan pihak lainnya. Ini berarti
dalam setiap sengketa terdapat adanya pihak-
pihak yang sebelumnya sudah terlibat dalam
suatu hubungan hukum tertentu, kemudian
menjadi pihak-pihak yang terlibat dalam
sengketa yang terjadi dan saling berhadapan
karena perbedaan kepentingan. Pihak-pihak
inilah yang menjadi para pihak dalam suatu
proses mediasi.
Para pihak yang terlibat dalam proses
mediasi adalah para pihak yang terlibat dalam
suatu sengketa bersama dengan pihak ketiga
yang netral (mediator). Para pihak dalam suatu
sengketa adalah orang-orang atau badan
hukum lainnya yang oleh hukum dinyatakan
sebagai subyek hukum yang merupakan
penyandang hak dan kewajiban menurut
hukum. Para pihak yang terlibat dalam proses
mediasi, sebagaimana lazimnya para pihak
yang terlibat dalam suatu sengketa/perkara
yang diajukan ke pengadilan, dapat saja terdiri
dari dua pihak atau lebih, tergantung pada
kompleksitas permasalahan atau sengketa
yang dihadapinya. Pihak-pihak yang
berhadapan dalam suatu sengketa, pada
umumnya sering disebut sebagai Pihak
kesatu, Pihak kedua dan Pihak ketiga
lainnya.
Dalam suatu gugatan salah satu pihak
atau Pihak Pertama yang mengajukan
gugatannya lazim disebut sebagai Penggugat
yaitu pihak yang merasa dirugikan kepentingan
atau haknya oleh pihak lainnya yang disebut
sebagai Tergugat atau Pihak Kedua yaitu
pihak yang dirasa merugikan kepentingan
pihak pertama tersebut. Sedangkan Pihak
Ketiga lainya adalah pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan lain yang secara tidak
langsung berhubungan dengan masalah yang
dipersengketakan, seperti penyewa sebagai
pihak ketiga atas suatu rumah yang diperjual-
belikan antara penjual sebagai pihak kesatu
dengan pembeli sebagai pihak kedua .
Peranan para pihak yang bersengketa
dalam proses mediasi sangat menentukan
sekali sebagai pihak yang paling berhak untuk
mengambil setiap keputusan yang dicapai
selama dalam proses. Para pihak yang
bersengketa dalam proses mediasi dapat
menghadiri sendiri proses mediasi tanpa
didampingi oleh penasihat hukum. Namun
apabila para pihak yang bersengketa
memandang perlu untuk didampingi oleh ahli
hukum atau ahli lainnya, dia, para pihak yang
bersengketa dapat menghubungi penasihat
hukumnya untuk mewakili atau mendampingi
selama dalam proses mediasi berlangsung.
Dalam praktek jumlah pihak yang
terlibat dalam mediasi sangat penting, karena
apabila jumlah pihak yang terlibat dalam suatu
sengketa semakin bertambah, maka upaya
untuk mencapai kesimpulan/kesepakatan yang
dapat disetujui bersama akan semakin sulit.
Oleh karena itu, kualitas dan gaya mediasi juga
sangat dipengaruhi oleh jumlah peserta dari
masing-masing pihak yang terlibat. Situasi
perundingan yang paling sederhana dalam
proses mediasi, walaupun tidak selalu yang
paling mudah, adalah antara dua individu.
Salah satu pihak yang terlibat dalam
proses mediasi dapat terdiri dari beberapa
orang perunding sebagai wakil/kuasa, misalnya
satu orang perunding yang mewakili beberapa
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 177
13. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
pembeli bertemu dengan penjual atau
wakilnya, seorang supervisor bertemu dengan
shopstewards, sampai 100 (seratus) orang dari
serikat buruh nasional yang besar. Dalam hal
demikian sangat tidak mungkin bagi orang
sebanyak itu untuk berpartisipasi dalam diskusi
yang bernegosiasi kian kemari, untuk itu perlu
adanya perwakilan.
Suatu perundingan dalam proses
mediasi akan mempunyai kualitas yang
berbeda-beda tergantung pada apakah mereka
yang terlibat dalam perundingan itu bertindak
atas nama mereka sendiri ataukah bertindak
sebagai wakil, misalnya Manager personalia
berunding atas nama perusahaaannya dan
Offisial Serikat Buruh bertindak untuk dan atas
nama anggotanya. Secara umum mereka
kurang bebas karena peran mereka hanyalah
sebagai wakil dari masing-masing pihak yang
memberikan wewenang untuk bertindak.
Kebebasan seorang perunding yang bertindak
sebagai wakil para pihak tergantung pada
seberapa besar dan seberapa luas
kewenangan yang diberikan/didelegasikan
kepadanya oleh pihak yang bersengketa
(principal).
Ada keuntungan dan kerugian untuk
kedua peran tersebut. Peran langsung, di
mana pihak yang bersengketa menghadiri
langsung perundingan, akan memungkinkan
pencapaian keputusan yang lebih cepat dan
pasti, karena si perunding adalah pemegang
penuh hak dan kewenangan, tetapi peran
langsung ini merupakan posisi terbuka tanpa
adanya kesempatan untuk mundur. Peran
sebagai wakil/kuasa, jika wewenang terlalu
dibatasi, mungkin mengurangi kredibilitas si
perunding, tetapi memberikan kesempatan
untuk mendapatkan waktu mengacu kembali
untuk arah baru, dan menawarkan
kemungkinan untuk memecahkan jalan buntu
dengan mengalihkan negosiasi ke arena baru
yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika wewenang
tidak dibatasi, kemungkinan si perunding untuk
melakukan tindakan fatal yang dapat
merugikan pihak pemberi kuasa terbuka lebar,
sehingga hasil perundingan tidak memberi
kepuasan bagi para pihak.
Setiap pihak yang terlibat dalam
mediasi berperan penting dalam memberikan
presentasi suatu outline singkat tentang
masalah yang terjadi kepada mediator secara
bergantian. Tujuan dari presentasi ini adalah
untuk memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk didengar sejak dini, dan juga
memberi kesempatan setiap pihak
mendengarkan permasalahan dari pihak
lainnya secara langsung, sehingga mendorong
terciptanya pemahaman para pihak atas
kepentingan pihak lainnya.
2. Mediator.
Salah satu pihak yang terlibat dalam
mediasi adalah pihak ketiga yang netal yaitu
Mediator. Biasanya mediator adalah orang
yang ahli dalam bidang yang
didiskusikan/disengketakan atau ahli dalam
bidang hukum karena pendekatan yang
difokuskan adalah pada hak. Mediator adalah
pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak
memihak yang berfungsi membantu para pihak
dalam mencari kemungkinan penyelesaian
sengketa. 38
Sebagai “penengah” atau pihak ketiga
yang netral dalam proses mediasi, mediator
adalah untuk “membantu” para pihak dalam
menyelesaikan sengketa yang dihadapinya.
Seorang mediator akan membantu para pihak
untuk membingkai persoalan yang ada agar
menjadi masalah yang perlu dihadapi secara
bersama. Secara umum mediator tidak
membuat keputusan, mediator hanya
membantu dan memfasilitasi para pihak yang
bersengketa untuk merumuskan pelbagai opsi
pilihan penyelesaian sengketa yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak, sehingga
untuk mencapai hasil yang maksimal, seorang
mediator, di samping memiliki kemampuan
sebagai seorang mediator, juga harus dapat
menguasai tehnik-tehnik mediasi secara baik.
Dalam proses mediasi, mediator
berusaha untuk menyelesaikan akar
permasalahannya walaupun tidak secara
keseluruhan, sehingga di samping sengketa
dapat diselesaikan, juga para pihak yang
terlibat benar-benar merasa puas karena
kepentingan mereka terlindungi serta
hubungan baik di antara mereka tetap
berlanjut. Peran utama yang mesti dijalankan
oleh seorang mediator adalah “membantu”
mempertemukan kepentingan-kepentingan
yang saling berbeda di antara para pihak
bersengketa dalam suatu perundingan
(negosiasi), agar mencapai titik temu yang
dapat dijadikan sebagai dasar pemecahan
masalah.
38
Mariana, Sutadi, Pendayagunaan
Perdamaian Menurut Pasal 130 HIR/154 R Bg dan
Potensinya Dalam Mewujudkan Keadilan yang
Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, Pusat
Pengkajian Hukum dan Mahkamah Agung RI,
Jakarta, 2005, hal. 30
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 178
14. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
Guna memahami istilah “membantu”
di sini, akan dijelaskan dengan menguraikan
tentang peran (role) atau fungsi (functions)
mediator yaitu dengan mendeskripsikan kerja,
tugas dan kedudukan dari mediator di dalam
proses negosiasi. Seorang mediator membantu
para pihak memahami pandangan masing-
masing dan membantu mencari persoalan-
persoalan yang dianggap penting bagi para
pihak. Mediator mempermudah pertukaran
informasi, mendorong diskusi mengenai
perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi,
penafsiran terhadap situasi dan persoalan-
persoalan dan menitik beratkan pembahasan
mengenai tujuan dan kepentingan umum.
Mediator akan sering bertemu dengan
para pihak secara pribadi dalam pertemuan
yang disebut caucus yaitu pertemuan mediator
dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya, di mana mediator akan lebih
leluasa memperoleh informasi dari pihak yang
tidak bersedia saling membagi informasi.
Dengan pertemuan terpisah (caucus) ini,
mediator sebagai wadah informasi antara para
pihak, akan mempunyai lebih banyak informasi
mengenai persoalan-persoalan yang terjadi
dibandingkan para pihak.
Oleh karena itu, seorang mediator juga
harus memiliki kemampuan mengumpulkan
sebanyak mungkin informasi yang nantinya
akan dipergunakan sebagai bahan untuk
menyusun dan mengusulkan pelbagai
penyelesaian masalah yang disengketakan,
sehingga mediator diharapkan akan mampu
menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi
terwujudnya suatu perjanjian/kesepakatan.39
Namun mediator berkewajiban untuk
merahasiakan informasi yang diberikan
kepadanya dalam sebuah “kaukus”, atau
dalam hal mediator memang diminta oleh pihak
pemberi informasi untuk merahasiakan
informasi itu. Mediator di samping memberikan
informasi baru bagi para pihak, juga dapat
membantu para pihak dalam menganalisa
sengketa guna menemukan cara-cara yang
dapat diterima oleh kedua belah pihak dalam
menyelesaikan perkara.
Mediator dapat menawarkan penilaian
yang netral dari posisi masing-masing pihak,
dan mengajarkan para pihak bagaimana
terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah
secara efektif, menilai alternatif-alternatif dan
menemukan pemecahan yang kreatif terhadap
39
Gary, Goodpaster, Op-cit, hal. 18
konflik mereka.40
Dengan demikian seorang
mediator tidak hanya berperan sebagai
penengah belaka yang hanya bertindak
sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi
saja, tetapi juga berperan membantu para
pihak untuk mendesain peyelesaian
sengketanya, sehingga dapat menghasilkan
kesepakatan bersama. Pada akhirnya
mediator juga membantu para pihak dalam
merumuskan kesepakatan bersama sebagai
solusi penyelesaian masalah yang juga akan
ditindaklanjuti secara bersama pula.
Howard Raiffa.41
melihat peran
mediator sebagai sebuah garis rentang, yakni
dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran
yang terkuatSisi peran terlemah adalah apabila
mediator hanya melaksanakan peran-peran
sebagai berikut:
a. Penyelenggara pertemuan.
b. Pemimpin diskusi yang netral.
c. Pemelihara atau penjaga aturan-aturan
perundingan agar perdebatan dalam
proses perundingan berlangsung secara
beradab.
d. Pengendali emosi para pihak.
e. Pendorong pihak atau peserta perundingan
yang kurang atau segan untuk
mengungkapkan pandangannya.
Sisi peran yang kuat diperlihatkan oleh
mediator, apabila mediator bertindak atau
mengerjakan hal-hal sebagai berikut dalam
proses perundingan:
a. Mempersiapkan dan membuat notulen
perundingan.
b. Merumuskan atau mengartikulasikan
titik temu atau kesepakatan para pihak.
c. Membantu para pihak agar menyadari
bahwa sengketa bukan sebuah
pertarungan untuk dimenangkan tetapi
untuk diselesaikan.
d. Menyususn dan mengusulkan
alternatif-alternatif pemecahan masalah.
e. Membantu para pihak untuk
menganalisis alternatif-alternatif
pemecahan masalah tersebut.
40
Ibid, hal. 19
41
Rahmadi, Usman, Op-cit, hal. 88.
Sebagaiman dikutip dari Howard Raiffa, The Art &
Sciense of Negotiation, Harvard University Press,
Cambridge, 1982, hal. 218-219
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 179
15. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
Sedangkan Kimberlee K. Kovach 42
menyebutkan peran mediator mencakup hal-
hal sebagai berikut:
a. Mengarahkan komunikasi di antara
para pihak.
b. Memfasilitasi atau memimpin proses
perundingan.
c. Mengevaluasi kemajuan proses
perundingan.
d. Membantu para pihak untuk
mempelajari dan memahami pokok
masalah dan berlangsungnya proses
perundingan secara baik.
e. Mengajukan usul atau gagasan
tentang proses dan penyelesaian
sengketa.
f. Mendorong para pihak ke arah
penyelesaian.
g. Mendorong kemampuan diri dan
pemberdayaan para pihak untuk
melaksanakan proses perundingan.
h. Mengendalikan jalannya proses
perundingan.
Sedangkan Leonard L. Riskin dan
James E. Westbrook menyebutkan peran
mediator sebagai berikut:43
a. mendesak para juru runding agar
setuju atau berkeinginan untuk berbicara.
b. membantu para peserta perundingan
untuk memahami proses mediasi.
c. membawa pesan para pihak.
d. membantu para juru runding untuk
menyepakati agenda perundingan.
e. menyusun agenda.
f. menyediakan suasana yang
menyenangkan bagi berlangsungnya
proses perundingan.
g. memelihara ketertiban perundingan.
h. membantu para juru runding untuk
memahami masalah.
i. melarutkan harapan-harapan yang
tidak realistis.
j. membantu juru runding untuk
melaksanakan perundingan.
42
Ibid, hal. 88, sebagaimana dikutip dari
Kimberlee Kovach, Mediation Principle and
Practice, St. Paul West Puiblishing Co, USA, 1994,
hal. 18
43
Ibid, hal. 89. sebagaimana dikutip dari
Leonard L. Riskin dan James E. Westbrook,
Dispute Resolution and Lawyers, West Publishing
Co, Paul Minnesota, 1987, hal. 92
k. membantu juru runding agar menerima
sebuah penyelesaian tertentu.
Fuller dalam Riskin and Westbrook44
menyebutkan tujuh fungsi mediator yaitu
sebagai : catalyst, educator, translator,
resource person, bearer of bad news, agent of
reality, dan scapegoat.
1. Sebagai “katalisator”, mengandung
pengertian bahwa kehadiran mediator
dalam proses perundingan mampu
mendorong lahirnya suasana yang
konstruktif bagi diskusi.
2. Sebagai “pendidik” berarti seseorang
harus berusaha memahami aspirasi,
prosedur kerja, keterbatasan politis, dan
kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab
itu, ia harus berusaha melibatkan diri
dalam dinamika perbedaan di antara para
pihak.
3. Sebagai “penerjemah”, berarti
mediator harus berusaha menyampaikan
dan merumuskan usulan pihak yang satu
kepada pihak yang lainnya melalui bahasa
atau ungkapan yang baik dengan tanpa
mengurangi sasaran yang dicapai oleh
pengusul.
4. Sebagai “nara sumber” berarti seorang
mediator harus mendayagunakan sumber-
sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai “penyandang berita jelek”,
berarti seorang mediator harus menyadari
bahwa para pihak dalam proses
perundingan dapat bersikap emosional.
Untuk itu mediator harus mengadakan
pertemuan terpisah dengan pihak-pihak
terkait untuk menampung berbagai usulan.
6. Sebagai “agen realitas”, berarti
mediator harus berusaha memberi
pengertian secara jelas kepada salah satu
pihak bahwa sasarannya tidak
mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui
perundingan.
7. Sebagai “kambing hitam”, berarti
seorang mediator harus siap disalahkan,
misalnya dalam membuat kesepakatan
hasil perundingan.
Fungsi mediator untuk “mendidik” atau
memberi wawasan kepada para pihak tentang
proses perundingan adalah untuk mencegah
sikap salah satu atau para pihak yang sangat
44
Suyud, Margono, Op-cit, hal. 60-61,
sebagaimana dikutip dari Leonard L. Riskin and
James E. Westbrok, Dispute Resolution and
Lawyers, Paul West Publishing Co, USA, 1987, hal.
96
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 180
16. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
kompetitif. Proses perundingan yang sangat
kompetitif mengandung resiko, bahwa proses
perundingan berakhir pada jalan buntu.
Kehadiran mediator sebagai “pendidik” sangat
diperlukan dalam proses perundingan. Hal ini
dapat dilakukan oleh mediator dengan
menyarankan kepada para pihak untuk
mengkaji kepentingan para pihak secara
bersama-sama dan mengemukakan beberapa
pemecahan masalah untuk mengatasi
perbedaan kepentingan yang timbul.
Mediator dapat juga mengemukakan
saran tentang substansi pemecahan masalah
selain tentang proses perundingan itu sendiri.
Setelah secara aktif mendengarkan pernyataan
para pihak, mediator barangkali dapat
memahami kepentingan para pihak, dan
kemudian mengemukakan usulan-usulan
pemecahan masalah yang belum diidentifikasi
oleh para pihak itu sendiri. Biasanya, seorang
mediator tidak cepat-cepat mengemukakan
usulan-usulan tentang substansi, karena
bagaimanapun seorang mediator harus
menyadari bahwa peran yang terlalu aktif
dalam hal substansi mengandung resiko, yaitu
bahwa hasil akhir atau kesepakatan dapat
dipandang oleh para pihak atau oleh salah satu
pihak bukan sebagai hasil pemikiran mereka
sendiri, tetapi pemikiran si mediator, sehingga
para pihak atau salah satu pihak tidak sepenuh
hati menerima hasil akhir atau kesepakatan
yang dicapai.
Untuk membantu proses penyelesaian
sengketa, seorang mediator dapat
menggunakan beberapa beberapa tehnik,
sebagai berikut :
a. Membangun kepercayaan.
b. Menganalisis konflik.
c. Mengumpulkan Informasi.
d. Berbicara dengan jelas.
e. Mendengarkan dengan penuh
perhatian.
f. Meringkas/merumuskan ulang
pembicaraan para pihak.
g. Menyususn aturan
perundingan.
h. Mengorganisir pertemuan
perundingan.
i. Mengatasi emosi para pihak.
j. Memanfaatkan “Caucus/Bilik
Kecil” .
k. Mengungkapkan kepentingan
yang masih tersembnyi.
l. Membujuk para pihak/Salah satu pihak
“BATNA”.
m. Menyusun kesepakatan, dan
lain-lain.45
3. Penasihat Hukum
Penasihat hukum adalah seorang yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasar undang-undang untuk memberi
bantuan hukum.46
Peranan penasihat hukum
(attorney) sangat penting dalam hal menasihati
kliennya agar menggunakan mediasi, sebelum
menyelesaiakan sengketanya melalui cara
ajudikasi. Untuk klien-klien yang telah
mengenal proses ini, mungkin tidak begitu
berat bagi seorang penasihat hukum untuk
meyakinkan kliennya. Namun akan lebih sulit
bila klien yang dihadapi adalah klien yang
belum terbiasa dengan proses atau
mekanisme mediasi. Akan tetapi, yang lebih
penting adalah pengetahuan dan keyakinan
penasihat hukum tentang mekanisme mediasi
itu sendiri, karena tanpa pengetahuan tentang
mediasi dan keyakinan akan berhasil dalam
proses mediasi, penasihat hukum tersebut
tidak akan mampu untuk meyakinkan kliennya.
Dilihat dari sisi pihak yang
bersengketa, pihak yang terlibat dalam suatu
sengketa cenderung menghubungi penasihat
hukum adalah untuk menggugat atau
bertarung di pengadilan, bukan untuk suatu
penyelesaian di luar pengadilan.47
Sementara
bila dilihat dari sisi penasihat hukum
kecenderungannya memandang penyelesaian
sengketa melalui mediasi adalah tidak
menguntungkan secara materil, karena waktu
penyelesaian yang relatif singkat akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah fee yang
diperoleh, dibandingkan apabila penyelesaian
sengketa dilakukan melalui proses litigasi yang
cenderung memakan waktu lama, sehingga
memungkinkan penasihat hukum
mendapatkan sejumlah fee yang lebih besar.48
Hal ini menyebabkan banyak penasihat hukum
yang enggan menganjurkan kliennya untuk
menempuh mediasi. Mereka beranggapan
45
Joni Emirzon, Op-cit, hal. 88-90
46
Pasal 1 ayat 13 Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
47
Emmy Yuhassarie, Op-cit, hal. 13
48
Pius ,Timogalo, Wawancara Pribadi,
Advokat dan Pengacara Wilayah Nusa Tenggara
Timur, Flores, Senin, 31 Januari 2005
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 181
17. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
bahwa dengan menganjurkan mediasi,
merupakan indikasi kekurangyakinan
penasihat hukum terhadap kasus tersebut.49
Menurut Leonard L. Riskin dan James
E. Westbrook, ada beberapa hambatan untuk
melibatkan penasihat hukum dalam proses
alternatif (mediasi). yaitu:
1. Banyak penasihat hukum
yang belum terbiasa dengan proses
alternatif. Mereka kebanyakan hanya
sedikit memahami metode-metode
alternatif, karena mereka kekurangan
pendidikan atau tidak mempunyai minat
terhadap metode tersebut.
2. Ketakutan terhadap
ketidaktahuan dan kekuatiran bahwa
mereka mungkin hanya mendapatkan
sedikit uang atau kehilangan kontrol, jika
mereka terlibat dalam proses alternatif.
3. Karena kebanyakan
penasihat hukum memandang peranan
utama mereka adalah sebagai advokat.
Problem dasar yang berpengaruh di sini
adalah perspektif adversarial (berlawanan).
Hal ini sering menjauhkan fungsi penasihat
hukum dalam penetapan pendekatan
pemecahan masalah yang tepat. 50
Peranan penasihat hukum tidak
terbatas hanya pada menyarankan agar
kliennya menempuh mediasi, tetapi juga
selama proses mediasi berlangsung. Pada
saat mediasi berlangsung, penasihat hukum
dapat memberikan nasihat hukum mengenai
aspek-aspek hukum yang berhubungan
dengan masalah-masalah yang
dinegosiasikan. Pada akhirnya, peranan utama
penasihat hukum akan terlihat dalam
menyusun rumusan dan/atau dalam
pelaksanaan hasil kesepakatan akhir.
B. Proses Mediasi.
Lembaga mediasi sebagai suatu
proses yang tumbuh dan berkembang dari dan
karena kebutuhan praktek penyelesaian
sengketa baik antar negara, kelompok,
maupun antar individu, merupakan faktor
utama yang menjadikan mediasi bersifat
49
Otto, Hasibuan, Wawancara Pribadi,
Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Jakarta,
Kamis, 16 Desember 2004
50
Joni Emirzon, Op-cit, hal. 72,
sebagaimana dikutip dari Leonard L. Riskin, James
E. Westbrook, Dispute Resolution and Lawyers,
Paul west Publishing Co, USA, 1987, hal. 53-54
fleksibel dan mempunyai proses atau
mekanisme atau tahapan yang berbeda-beda
satu sama lain yang selalu disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi para pihak yang
bersengketa.51
Oleh karena itu, dalam
penggunaan mekanisme atau tahapan proses
mediasi, belum terdapat keseragaman dan
pedoman yang baku di antara para praktisi
mediasi. Pada umumnya, dalam praktek
penggunaan mediasi, mekanisme atau
tahapan proses mediasi dibuat berdasarkan
pengalaman mereka menjadi mediator.
Untuk menggambarkan perbedaan
tersebut, di bawah ini dikemukakan beberapa
pendapat sarjana mengenai tahapan-tahapan
atau mekanisme proses mediasi, seperti
Leonard L.Riskin dan James E.Westbrook
membagi mekanisme mediasi ke dalam lima
tahapan, yaitu :52
1. sepakat untuk menempuh proses
mediasi.
2. memahami masalah-masalah.
3. membangkitkan pilihan-pilihan
pemecahan masalah.
4. mencapai kesepakatan.
5. melaksanakan kesepakatan.
Sedangkan Kimberlee K. Kovach,
membagi mekanisme mediasi dalam sembilan
tahap, yaitu :
1. penataan atau pengaturan awal.
2. pengantar atau pembukaan oleh
mediator.
3. pernyataan pembukaan oleh para
pihak.
4. pengumpulan informasi.
5. identifikasi masalah, penyusunan
agenda, dan kaukus.
6. mengemukakan pilihan pemecahan
masalah.
7. melakukan tawar menawar.
8. kesepakatan.
9. penutupan. 53
51
Bagir, Manan, Sambutan dalam
pembukaan Lokakarya yang diselenggarakan Pusat
Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Mahkamah
Agung tgl 8 dan 9 Oktober 2002 di Jakarta, tentang
Arbitrase dan Mediasi, hal. 8
52
Suyud, Margono, Op-cit, hal. 63.
sebagaimana dikutip dari Leonard L. Riskin dan
James E. Westbrook, Dispute Resolution and
Lawyers, Paul West Publishing Co, USA, 1987, hal.
214
53
Suyud, Margono, Loc-cit, sebagaimana
dikutip dari Kimberlee, Kovach, Mediation
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 182
18. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
Sedangkan Christopher W. Moore
mengemukakan dua belas tahapan dalam
mekanisme mediasi, yaitu :54
1. menjalin hubungan dengan para pihak
yang berengketa.
2. memilih strategi untuk membimbing
proses mediasi.
3. mengumpulkan dan menganalisa
informasi latar belakang sengketa.
4. menyusun rencana mediasi.
5. membangun kepercayaan dan kerja
sama di antara para pihak.
6. memulai siding-sidang mediasi.
7. merumuskan masalah-masalah dan
menyusun agenda.
8. mengungkapkan kepentingan
tersembunyi para pihak.
9. membangkitkan pilihan-pilihan
penyelesaian sengketa.
10. menganalisa pilihan-pilihan
penyelesaian sengketa.
11. proses tawar menawar akhir.
12. mencapai penyelesaian formal.
1. Negosiasi dalam mediasi
Dari pengertian dan definisi tentang
mediasi tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya mediasi adalah
negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang
memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi
yang efektif dan dapat membantu dalam situasi
konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas para
pihak sehingga lebih efektif dalam proses
tawar menawar. Dengan perkataan lain,
Mediasi dan negosiasi bukan merupakan dua
proses yang terpisah, namun lebih tepat
dikemukakan bahwa mediasi adalah negosiasi
yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral.
Sehingga antara negosiasi dengan mediasi
sering digambarkan dengan perkataan bila
tidak ada negosiasi maka tidak ada mediasi.55
Principle and Practice, Paul West Publishing Co,
USA, 1994, hal. 24-26
54
Sri, Mamudji, Pengantar Mediasi,
disampaikan pada penataran mediator hakim di
Jakarta, FHUI-IICT-bekerjasama dengan
Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 9-16,
sebagaimana dikutip dari Christopher, W. Moore,
The Mediation Process; Practical Strategies for
Resolving Conflict, Jossey Bass Inc, Publishers, San
Fransisco, California, 1986, hal. 25
55
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan
Perdamaian, Proyek pendidikan dan pelatihan
Sebagaimana dikemukakan di atas,
setiap intervensi dari mediator mulai dari
pertemuan pertama dengan para pihak
sampai diraihnya hasil akhir memiliki tujuan
dalam batasan mensukseskan proses
negosiasi di antara para pihak. Sebagai
contoh, mediator menentukan tempat
perundingan dan menyiapkan lingkungan
sekelilingnya di mana negosiasi akan
berlangsung. Sehingga dalam mediasi
tanggung jawab utama mediator adalah untuk
menyusun dan mengatur perundingan
(negosiasi) dan untuk merancang strategi guna
mendapatkan kemajuan menuju kesepakatan
akhir.
Tahapan Negosiasi yang merupakan
tahapan yang banyak memakan waktu dalam
proses Mediasi merupakan tahapan yang
paling menentukan dalam menghasilkan
pergerakan menuju pencapaian Kesepakatan.
Dalam proses negosiasi ini berdasarkan
kesimpulan dari tahapan pencarian opsi
penyelesaian, para pihak diminta memilih opsi
yang disukai untuk penyelesaian sengketa.
Beberapa pilihan yang tersedia disisihkan dari
awal karena tidak layak atau tidak
memungkinkan. Opsi yang hanya
menguntungkan satu pihak saja juga harus
disisihkan. Mediator bersama para pihak yang
bersengketa harus mencari opsi yang dapat
diterima kedua belah pihak. Tahapan ini
biasanya disebut tahap negosiasi dalam
proses mediasi.
Agar suatu negosiasi dalam mediasi
dapat menghasilkan suatu kesepakatan akhir
yang dapat memuaskan bagi para pihak yang
bersengketa, diperlukan adanya syarat-syarat
dalam penyelenggaraan negosiasi yang baik,
yaitu:
(1). Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara
sukarela berdasarkan kesadaran yang
penuh (willingness to negotiate );
(2). Pihak-pihak siap melakukan negosiasi
(preparedness);
(3). Mempunyai wewenang mengambil
keputusan (authoritative);
(4). Memiliki kekuatan yang relative seimbang
sehingga dapat menciptakan saling
ketergantungan (relative equal bargaining
power);
(5). Mempunyai kemauan menyelesaikan
masalah (willingness to settle);
tehnis fungsional, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2004, hal. 81
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 183
19. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
(6) Terdapat BATNA (Best Alternative To a
Negotiated Agreement) yang tidak terlalu
baik.
(7). Masing-masing pihak memiliki kepentingan
mendesak (sence of urgency).
(8). Tidak mempunyai kendala psikologis yang
besar.56
Bila kepentingan para pihak
bertentangan dan tidak dapat ditemukan
kesepakatan yang dapat menyesuaikan
kepentingan mereka, mediator dapat
membantu dengan merefrensikan perbedaan
tersebut terhadap hukum dan regulasi,
kejadian yang sudah-sudah, pendapat ahli, dan
lain-lain. Mungkin para pihak juga perlu
membuat trade-off, konsesi dan kompromi.
Pada tahapan ini, proses komunikasi banyak
terjadi antara para pihak yang bersengketa.
Namun demikian, mediator juga harus
melakukan tugas-tugas penting sebagai
berikut;
- Mengarahkan interaksi para pihak.
- Menyampaikan esensi pernyataan atau
proposal satu pihak dalam kalimat yang lebih
bisa siterima pihak lainnya.
- Memulai dan menjaga suasana saling
bekerjasama.
- Mengarahkan konsesi yang saling
menguntungkan para pihak.
- Konsolidasi pencapaian dan menjaga
momentum.
- Membantu menyelesaian jalan buntu yang
ada.
- Bila perlu, melakukan intervensi untuk
menghindari pemaksaan dan
menyeimbangkan komunikasi di antara para
pihak. 57
Alan Fowler menjelaskan bahwa dalam
negosiasi terdiri dari beberapa elemen yang
merupakan prinsip-prinsip umum, yaitu :
a. Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih.
b. Pihak-pihak itu harus membutuhkan
keterlibatan satu sama lain dalam
mencapai hasil yang diinginkan bersama.
c. Pihak-pihak yang bersangkutan, setidak-
tidaknya pada awalnya menganggap
negosiasi sebagai cara yang lebih
memuaskan untuk menyelesaikan
perbedaan mereka dibandingkan dengan
metode-metode lain.
d. Masing-masing pihak harus beranggapan
bahwa ada kemungkinan untuk membujuk
56
Mahkamah Agung RI, Op-cit, , hal 38
57
Ibid, hal 70
pihak lain untuk memodifikasi posisi awal
mereka.
e. Setiap pihak harus mempunyai harapan
akan sebuah hasil akhir yang mereka
terima, dan suatu konsep tentang seperti
apakah hasil akhir itu.
f. Masing-masing pihak harus mempunyai
suatu tingkat kuasa atas kemampuan
pihak lain untuk bertindak.
g. Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya
merupakan salah satu interaksi di antara
orang-orang, terutama antar komunikasi
lisan yang langsung, walaupun kadang-
kadang dengan elemen tertulis yang
penting .
2. Peran para pihak dalam proses
negosiasi.
Kelebihan penyelesaian sengketa
bisnis melalui negosiasi adalah pihak-pihak
yang bersengketa sendiri yang akan
menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini
dikarenakan pihak-pihak yang bersengketa
adalah pihak yang paling tahu mengenai
masalah yang menjadi sengketa dan
bagaimana cara penyelesaian sengketa yang
diinginkan. Namun ada kalanya negosiasi
mengalami kegagalan dan jalan buntu, karena
ktidaktahuan para pihak dalam menguasai
tehnik bernegosiasi, sehingga para pihak
sering medelegasikannya kepada seorang
lawyer atau kuasa/wakil untuk melakukan
negosiasi demi dan untuk kepentingan para
pihak yang bersangkutan.
Peran para pihak dalam proses
negosiasi sangat besar dan sangat
menentukan sekali bagi keberhasilan untuk
mencapai kesepakatan akhir. Para pihak
sebagai pihak yang paling berkepentingan
dalam proses negosiasi adalah merupakan
pihak yang pertama mengetahui sebab-sebab
terjadinya sengketa sekaligus juga akan
menjadi pihak yang pertama merasakan akibat
dari hasil kesepakatan yang dicapai dalam
proses negosiasi, baik berupa keuntungan-
keuntungan yang akan diperoleh maupun
berupa kerugian-kerugian yang akan
ditanggung sebagai akibat dari implementasi
hasil kesepakatan yang dicapai.
Para pihak adalah subyek yang paling
berhak, paling berwenang untuk menentukan
pilihan dan mengambil keputusan dalam
proses negosiasi. Para pihak sangat berperan
dalam mengontrol jalannya proses mediasi
hingga mengontrol hasil akhir dari mediasi.
Untuk menjelaskan secara rinci dan jelas
permasalahan yang terjadi, peranan para pihak
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 184
20. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
sebagai pelaku dan sebagai nara sumber data
adalah sangat besar, karena subyek yang
pertama mengetahui fakta dan ketersediaan
informasi adalah para pihak yang bersengketa.
Bahkan dalam merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai hingga
menandatangani kesepakatan hanya dapat
dilakukan oleh para pihak atau atas perintah
dan/atau atas kuasa/delegasi dari para pihak
yang bersengketa.
3. Peran mediator dalam proses negosiasi.
Peran utama yang mesti dijalankan
oleh seorang mediator adalah membantu
mempertemukan kepentingan-kepentingan
yang saling berbeda di antara para pihak
bersengketa, agar mencapai titik temu yang
dapat dijadikan sebagai pangkal tolak
pemecahan masalah. Setiap intervensi dari
mediator mulai dari pertemuan pertama
dengan para pihak sampai diraihnya hasil akhir
memiliki tujuan dalam batasan mensukseskan
proses negosiasi di antara para pihak.
Seorang mediator membantu para
pihak memahami pandangan masing-masing
dan membantu mencari (locate) persoalan-
persoalan yang dianggap penting bagi mereka.
Mediator mempermudah pertukaran informasi,
mendorong perundingan (negosiasi)
mempertemukan perbedaan-perbedaan
kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap
situasi dan persoalan-persoalan dan menitik
beratkan pembahasan mengenai tujuan dan
kepentingan bersama. Mediator akan sering
bertemu dengan para pihak secara pribadi.
Dalam pertemuan ini yang disebut caucus,
mediator biasanya dapat memperolah
informasi dari pihak yang tidak bersedia saling
membagi informasi. Sebagai wadah informasi
antara para pihak, mediator akan mempunyai
lebih banyak informasi mengenai sengketa dan
persoalan-persoalan dibandingkan para pihak,
dan akan mampu menentukan apakah terdapat
dasar-dasar bagi terwujudnya suatu
perjanjian/kesepakatan.58
Mediator juga memberikan informasi
baru bagi para pihak atau sebaliknya
membantu para pihak dalam menemukan
cara-cara yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak untuk menyelesaikan perkara.
Mereka dapat menawarkan penilaian yang
netral dari posisi masing-masing pihak. Mereka
juga dapat mengajarkan para pihak bagaimana
terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah
58
Gary, Goodpaster, Op-cit, hal. 18
secara efektif, menilai alternatif-alternatif dan
menemukan pemecahan yang kreatif terhadap
konflik mereka.59
Dengan demikian seorang mediator
tidak hanya berperan sebagai penengah
belaka yang hanya bertindak sebagai
penyelenggara dan pemimpin perundingan
(negosiasi) saja, tetapi juga berperan
membantu para pihak untuk mendesain
peyelesaian sengketanya, sehingga dapat
menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam
hal ini seorang mediator juga harus memiliki
kemampuan mengumpulkan sebanyak
mungkin informasi yang nantinya akan
dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun
dan mengusulkan pelbagai penyelesaian
masalah yang disengketakan.
Kemudian mediator juga akan
membantu para pihak dalam menganalisa
sengketa atau pilihan penyelesaiannya,
sehingga akhirnya dapat mengemukakan
rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi
penyelesaian masalah yang juga akan
ditindaklanjuti secara bersama pula.
Sedangkan Donald G. Gifford60
mengidentifikasi fungsi-fungsi mediator dalam
sebuah proses negosiasi atau perundingan
sebagai berikut:
1. memperbaiki komunikasi di antara para
pihak.
2. memperbaiki sikap para pihak terhadap
satu sama lainnya.
3. memberikan wawasan kepada para pihak
atau kuasa hukumnya tentang proses
negosiasi.
4. menanamkan sikap realistis kepada pihak
yang merasa situasi atau kedudukannya
tidak menguntungkan.
5. mengajukan usulan-usulan yang belum
diidentifikasi oleh para pihak.
Menurut Gifford, keinginan para pihak
untuk berkomunikasi, berbagi informasi satu
sama lain, dan untuk menempuh negosiasi
atau perundingan yang kooperatif atau bersifat
“pemecahan masalah” seringkali dihambat oleh
perasaan para juru runding bahwa posisinya
akan lemah jika pihak lain tidak mengambil
sikap yang sama, yakni bersifat kooperatif
juga. Padahal upaya memperbaiki komunikasi
di antara para pihak dan upaya memperbaiki
59
Ibid, hal. 19
60
Ibid, hal. 59. Sebagaimana dikutip dari
Donal G. Gifford, Legal Negotiation Theory and
Applications, West Publishing Co, St. Paul,
Minnesota, 1989, hal. 204-206
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 185
21. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
sikap para pihak satu sama lainnya, adalah
merupakan dua hal yang saling terkait.
Oleh sebab itu, kehadiran mediator
berusaha untuk menciptakan suasana kondusif
bagi terselenggranya proses negosiasi yang
bersifat kooperatif atau pemecahan masalah
dan bukan bersifat kompetitif. Mediator dapat
memantau proses berbagi informasi secara
sepihak. Namun mediator berkewajiban untuk
merahasiakan informasi yang diberikan
kepadanya dalam sebuah “kaukus”, pertemuan
mediator dengan salah satu pihak tanpa
dihadiri oleh pihak lainnya, atau dalam hal
mediator memang diminta oleh pihak pemberi
informasi untuk merahasiakan informasi itu.
Fungsi mediator untuk “mendidik” atau
memberi wawasan kepada para pihak tentang
proses perundingan (negosiasi) adalah untuk
mencegah sikap salah satu atau para pihak
yang sangat kompetitif. Proses perundingan
(negosiasi) yang sangat kompetitif
mengandung resiko, bahwa proses
perundingan (negosiasi) berakhir pada jalan
buntu. Kehadiran mediator sebagai “pendidik”
sangat diperlukan dalam proses perundingan
(negosiasi). Hal ini dapat dilakukan oleh
mediator dengan menyarankan kepada para
pihak untuk mengkaji kepentingan para pihak
secara bersama-sama dan mengemukakan
beberapa pemecahan masalah untuk
mengatasi perbedaan kepentingan yang
timbul.
Mediator dapat juga mengemukakan
saran tentang substansi pemecahan masalah
selain tentang proses perundingan (negosiasi)
itu sendiri. Setelah secara aktif mendengarkan
pernyataan para pihak, mediator barangkali
dapat memahami kepentingan para pihak, dan
kemudian mengemukakan usulan-usulan
pemecahan masalah yang belum diidentifikasi
oleh para pihak itu sendiri. Lazimnya, seorang
mediator tidak cepat-cepat mengemukakan
usulan-usulan tentang substansi, ia lebih
menyukai agar para pihak sendiri yang
berusaha mengidentifikasi berbagai alternatif
pemecahan masalah.
Usulan dari mediator biasanya
disampaikan setelah para pihak tidak lagi
mempunyai gagasan tentang pemecahan
masalah. Akan tetapi bagaimanapun seorang
mediator harus menyadari bahwa peran yang
terlalu aktif dalam hal substansi mengandung
resiko, yaitu bahwa hasil akhir atau
kesepakatan dapat dipandang oleh para pihak
atau oleh salah satu pihak bukan sebagai hasil
pemikiran mereka sendiri, tetapi pemikiran si
mediator, sehingga para pihak atau salah satu
pihak tidak sepenuh hati menerima hasil akhir
atau kesepakatan yang dicapai.
Secara singkat dapat dikemukakan
bahwa fungsi mediator dalam proses negosiasi
akan terlihat dengan jelas dalam tahapan-
tahapan : 61
a. Mengidentifikasi dan merumuskan substansi
negosiasi.
b. Menyiapkan agenda perundingan.
c. Tahapan negosiasi dari proses mediasi.
d. Peranan tawaran pertama dan harga
konsesi.
e. Strategi untuk menyampaikan pertukaran
(trade-off), konsesi, dan kompromi.
f. Pertemuan terpisah sebagai prosedur
tertentu guna mendapatkan kemajuan.
C. Penggunaan Mediasi di Indonesia.
1. Penggunaan Mediasi di luar Pengadilan
Di Indonesia penggunaan azas
penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat lebih diutamakan terlihat dalam
sila ke empat Pancasila. Secara materil
penggunaan mediasi di luar pengadilan telah
berlangsung lama dan diakui sebagaimana
terlihat dalam pencapaian konsensus bersama
dalam Hukum Adat Indonesia dan dalam KUH
Perdata yang menganut azas kebebasan
berkontrak, azas kesepakatan, itikad baik,
persamaan di depan hukum dan lain-lain.
Dalam Hukum adat penggunaan
lembaga mediasi sudah biasa dilakukan oleh
warga desa untuk menyelesaikan suatu
perselisihan. Hanya saja istilah yang dikenal
dalam hukum adat tersebut adalah
musyawarah untuk mufakat, yang pada
hakekatnya sama dengan melakukan
konsiliasi, negosiasi, dan mediasi. Misalnya
Kepala Desa atau Pemuka Adat setempat
yang dimintai atau ditugaskan untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
masyarakat, baik perselisihan di bidang
pertanahan, hutang-piutang, perkawinan,
warisan dan sebagainya. Penyelesaian
masalah tersebut dilakukan dengan
musyawarah untuk mufakat dengan ditengahi
oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat, Tokoh
Agama, sebagai mediator. Penyelesaian
sengketa tersebut didasarkan kepada hukum
adat setempat dan itikad baik dari para pihak
dan penengah (mediator).
Di era persaingan bebas dan
perdagangan bebas (free competition and free
trade area) dewasa ini, sengketa khusus yang
61
Mahkamah Agung RI, Op-cit, hal 65
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 186
22. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
banyak dibawa ke lembaga mediasi adalah
sengketa bisnis, yang menuntut adanya
penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan
fleksibel, yang mampu menyesuaikan dengan
perkembangan yang terjadi. Penyelesaian
melalui litigasi yang dianggap lambat, mahal
dan bertele-tele, menjadi tidak cocok dengan
tuntutan kepentingan dunia bisnis. Tuntutan
dunia bisnis seperti diatas adalah salah satu
faktor mengapa para pelaku bisnis lebih
memilih penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagai alternatif dari pada
penyelesaian melalui proses litigasi.
Sedangkan faktor lain yang sering
dijadikan alasan mengapa para pelaku bisnis
memilih penyelesaian sengketa di luar
pengadilan khususnya melalui lembaga
mediasi, adalah karena di samping lembaga
mediasi dianggap merupakan pilihan terbaik di
antara sistem dan bentuk alternatif
penyelesaian sengketa yang ada, juga karena
penyelesaian sengketa melalui litigasi di
samping membutuhkan biaya perkara yang
mahal, menguras tenaga dan waktu eksekutif
perusahaan, juga lamanya penyelesaian
sengketa melalui litigasi menyebabkan
hubungan baik sesama para pelaku bisnis
maupun hubungan dengan konsumen menjadi
rusak serta adanya kritik yang ditujukan
kepada lembaga peradilan yang kurang
responsif terhadap kebutuhan keadilan
masyarakat.
Dalam penyelesaian sengketa bisnis,
sering dirasakan perlunya kehadiran pihak
yang benar-benar netral dan professional
sebagai mediator. Alasannya, tidak selamanya
perundingan berlangsung antara pihak lancar,
karena ada hal-hal yang kurang mereka
pahami. Untuk itu diperlukan bantuan mediator,
sekadar pembuka dan pembimbing jalan agar
pembicaraan lebih lancar dan komunikatif,
sehingga penyelesaian sengketa :
- lebih efektif dan lebih terfokus ke arah
pokok masalah.
- mampu memperkecil kesenjangan
yang terjadi antara mereka.
- dapat mendorong para pihak jalan
terus.
- memperlihatkan kepada para pihak
secara realistik persoalan yang sebenarnya.
- menawarkan kepada para pihak
gagasan terbaik sesuai dengan posisi yang
dihadapi masing-masing pihak.
Melalui tata cara demikian,
penyelesaian sepenuhnya diserahkan kepada
para pihak untuk mencapai kompromi dalam
suasana damai dan bersahabat, sama-sama
terbuka mengajukan proposal dan kehendak,
dengan pilihan penyelesaian yang dikehendaki
sangat luas karena tidak terikat pada batasan-
batasan terminus hukum (legal term) dan
mereka dapat berbincang tanpa permusuhan
dan emosi, sehingga tidak menaikkan tensi.
Dalam dunia bisnis praktek
penggunaan mediasi masih bertumpu pada
tingkat kesadaran dan penghayatan terhadap
Etika Bisnis yang berprinsip saling
menguntungkan atau win-win solution. Hal ini
disebabkan karena penyelesaian melalui
mediasi bukanlah badan peradilan resmi
(ordinary court) yang memiliki kewenangan
memaksa, melainkan hanya lembaga swasta
yang berkedudukan sebagai extra judicial.62
Pelaksanaan kesepakatan atau keputusan
sebagai hasil akhir dari proses mediasi tidak
dapat dipaksakan kepada para pihak oleh
pihak lain, melainkan masih digantungkan
pada itikad baik, integritas moral dari masing-
masing pihak untuk menepati hasil akhir
kesepakatan yang dicapai bersama dalam
mediasi.
Di berbagai negara di mana tingkat
kesadaran dan penghayatan etika bisnis
mereka sudah tinggi, mediasi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa telah berkembang dan
memiliki kedudukan serta reputasi yang
terhormat. Oleh karena itu, jika masyarakat
bisnis Indonesia ingin memperoleh
penyelesaian yang cepat atas sengketa yang
dihadapi, pertama-tama yang harus
dikembangkan adalah etika bisnis. Pelaku
bisnis Indonesia harus menyadari bahwa etika
bisnis merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari lingkungan hukum bisnis dan
praktik bisnis.
Oleh karena itu, jika kita ingin
mengembangkan mediasi atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lainnya di
Indonesia, maka ada dua hal yang harus
diperhatikan untuk segera dibenahi dan
dikembangkan : pertama, memperluas
pengajaran dan penyebaran wawasan
pengetahuan mengenai hukum bisnis yang
terkait dengan etika bisnis ; kedua,
mensosialisasikan nilai-nilai dan kesadaran
etika bisnis ke segenap lapisan pelaku bisnis
Indonesia.
Dari segi hukum dan praktik bisnis,
ada dua pokok tanggung jawab dalam etika
bisnis63
yaitu : Pertama, tanggung jawab
62
Yahya, M. Harahap, Op-cit, hal. 170
63
Ibid, hal. 171
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 187
23. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
hukum (legal responsibility). Tanggung jawab
hukum terdiri dari tanggung jawab perdata
(civil liability) dalam bentuk perbuatan melawan
hukum dengan membebankan pembayaran
ganti kerugian kepada pelakunya, dan
tangggung jawab pidana (crime liability)
dengan menjatuhkan hukuman penjara atau
denda kepada pelanggar karena melakukan
penipuan atau penyesatan (misleading) atau
persaingan curang (unfair competition). Kedua,
tanggung jawab sosial (Social responsibility).
Tanggung jawab sosial ini benar-benar sebagai
standar etika bisnis yang harus ditegakkan di
atas landasan prinsip praktik hati-hati (care
activities). Walaupun tidak ada peraturan
hukum atau undang-undang yang melarang
suatu aktivitas tertentu, namun kejujuran budi
yang luhur (common honesty) sebagai standar
etika bisnis harus ditegakkan. Dengan
demikian, tanggung jawab sosial harus
dianggap lebih tinggi dari pada tanggung jawab
hukum.
Dalam etika bisnis ada beberapa nilai-
nilai patokan yang dianggap paling pokok dan
berhubungan erat dengan penyelesaian
sengketa, yaitu :64
a. Setiap pengusaha harus
mengembalikan keuntungan yang
diperoleh kepada masyarakat melalui
kewajiban membayar pajak, membayar
upah dan menjadi kontributor penambahan
jumlah milik sosial seperti rumaha sakit,
sekolah, rumah ibadah, sarana olah raga
dan lain-lain.
b. Sikap dan sifat terus terang
(transparency), jujur (fairness) dengan
integritas pribadi yang memiliki mental
yang bersih.
c. Jangan menuntut kemenangan yang
sebesar-besarnya dan menghempaskan
pihak lain dalam kekalahan yang
separah-parahnya.
d. Membina kebiasaan mengakui
kesalahan sendiri dan mengakui serta
menyadari hal yang bak dan positif dari
orang lain.
e. Membiasakan menyelesaikan
sengketa dengan cepat.
f. Membina interdependensi dalam
bisnis, dan apabila terjadi sengketa
lakukan langkah-langkah pendekatan
mencari kompromi (compromise). Untuk itu
jauhkan sikap dan penggunaan ungkapan
“this is my way and this is your way”,
64
Ibid , hal. 173 - 175
karena sikap demikian akan
menghadapkan penyelesaian kepada
“there is no way” atau jalan buntu.
Dengan mempedomani nilai-nilai
patokan etika bisnis yang dikemukakan di atas,
masyarakat pelaku bisnis akan lebih
cenderung mencari penyelesaian sengketa
secara kompromi, perdamaian atau
kesepakatan bersama di luar pengadilan
melalui lembaga mediasi dan/atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lainnya.
Secara yuridis formal, keberadaan dan
penggunaan alternatif penyelesaian sengketa
melalui mediasi di luar pengadilan di Indonesia,
telah diakui sejak tahun 1970, yaitu dalam
penjelasan pasal 3 Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
bahwa: “Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, atas dasar perdamaian atau
melalui wasit tetap diperbolehkan”, serta dalam
pasal 14 ayat 2 nya yang menyatakan bahwa:
“Ketentuan dalam ayat 1 tidak menutup
kemungkinan untuk usaha penyelesaian
perkara perdata secara perdamaian”.
Sebagai tindak lanjut ketentuan pasal
3 dan 14 UU No. 14 tahun 1970, pada tahun
1977 telah didirikan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI). Kemudian dibentuk
Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa,
yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau
mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu
akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau
melalui alternatif penyelesaian sengketa
termasuk mediasi. Walaupun Undang-undang
ini belum mengatur alternatif penyelesaian
sengketa secara rinci, melainkan hanya dalam
satu pasal saja yaitu pasal 6, namun
keberadaannya sudah dapat dijadikan dasar
hukum bagi penggunaan alternatif
penyelesaian sengketa termasuk mediasi
dalam sistem hukum Indonesia.
Akhir-akhir ini, penyelesaian sengketa
melalui mediasi di Indonesia telah menjadi
pembicaraan umum terutama di kalangan ilmu
hukum dan praktisi hukum. Penyelesaian
sengketa melalui mediasi ini tampaknya
mempunyai prospek dan peluang untuk
didayagunakan dan dikembangkan di
Indonesia. Hal ini. dapat terlihat dengan
semakin banyaknya perselisihan atau
sengketa yang diselesaikan di luar proses
pengadilan yaitu melalui mediasi, terutama
pasca terjadinya gelombang reformasi tahun
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 188
24. J L E G A L I T A S Jurnal Penelitian Hukum Vol. IV No. 2 Juli – Desember 2003 : 166 - 218
1998, yaitu dengan dibentuknya Satuan Tugas
Prakarsa Jakarta (STPJ) atau The Jakarta
Initiative Task Force (JITF) dalam rangka
membantu percepatan usaha restrukturisasi
hutang swasta Indonesia kepada pihak luar
negeri, yang hingga tanggal 24 Juli 2002 dari
sejumlah 128 kasus yang ditangani STPJ,
telah tercatat berhasil diselesaikan dengan
mekanisme mediasi sebanyak 72 kasus.
Peran Satuan Tugas Prakarsa Jakarta
(STPJ atau JITF) ini antara lain adalah sebagai
mediator antara para debitur dan para kreditur
dalam negosiasi restrukturisasi hutang swasta;
sebagai fasilitator dalam rangka pemberian
kemudahan di bidang tertentu (regulatory
insentif) dalam rangka restrukturisasi hutang
perusahaan. 65
Demikian juga dalam upaya
Pemerintah RI untuk mengatasi krisis di sektor
perbankan, khususnya dengan factor-faktor
yang berkaitan dengan kewajiban pemegang
saham yaitu Penyalahgunaan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pelanggaran
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
khususnya kepada group afiliasi bank, biaya-
biaya lain yang harus ditanggung oleh bank
misalnya pesangon karyawan, serta dalam
pelaksanaan Perjanjian Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang
tertuang dalam Master Settlement and
Acquition Agreement (MSAA), Master
Refinancing and Note Issuance Agreement
(MRNIA), Akta Pengakuan Hutang (APU) Bank
Beku Usaha (BBKU), pilihan penyelesaian
masalah di luar pengadilan (out of court
settlement) dipilih sebagai opsi pemerintah
untuk memaksimalkan pengembalian uang
negara, dengan pertimbangan antara lain:
bahwa pendekatan hukum (terutama pidana)
diperkirakan kurang efektif dari segi komersial;
rekomendasi IMF dan World Bank agar
pemerintah mengutamakan negosiasi;
pengupayaan konsentrasi pemerintah untuk
terlebih dahulu mengamankan aset-aset dan
menciptakan iklim kooperatif, termasuk dalam
hal insentif yang berbentuk release and
discharge.66
Bahkan dengan dikeluarkannya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun
2003 tentang Proses Mediasi di Pengadilan,
penggunaan mediasi sudah menjadi bersifat
wajib (mandatory). Suatu perkara yang
65
Raymond, Lee, Op-cit, hal. 2
66
Robertus, Bilitea, Op-cit, hal. 14
diajukan ke pengadilan, harus terlebih dahulu
menempuh proses mediasi, sebelum perkara
tersebut diperiksa dan diproses dalam
persidangan pengadilan menurut Hukum Acara
yang berlaku.
2. Penggunaan Mediasi di Pengadilan
Istilah yang digunakan untuk
menyebutkan mekanisme penyelesaian
sengketa melalui mediasi yang dihubungkan
dengan proses peradilan masih cukup
beragam antara lain ada yang menyebut
dengan istilah Mediation in the court atau
Mediation-Connected Court. atau Court Based
Mediation67
atau Court Annexed Mediation68
atau lebih dikenal dengan Court Annexed
Dispute Resolution atau Court Dispute
Resolution.69
Court Annexed Mediation adalah
penyerahan kasus oleh pengadilan untuk
penyelesaian melalui seorang atau beberapa
orang mediator daripada melalui ajudikasi.
Perkembangan Court Dispute Resolution pada
Subordinate Court Mediation Centre di
Amerika, Australia dan Singapura ternyata
telah berhasil menyelesaikan sebagian besar
dari perkara yang masih di District Court,
Family Court dan Small Claim’s Tribunals
dengan melalui perdamaian yang dipimpin
Hakim. Respon publik maupun para pengacara
cukup baik, terbukti dari banyaknya perkara
yang dapat diselesaikan melalui perdamaian.
Data Subordinate Court di Singapura tahun
1995 dari kasus yang masuk ke Pengadilan, 85
% kasus dapat diselesaikan dengan
perdamaian, dan tahun 1996, dari jumlah
67
Mas Achmad, Santosa dan Wiwiek,
Awiati, Court Based Mediation (CBM) Dan Early
Neutral Evaluation (ENE), Langkah-langkah
Prioritas Pengaktualisasian CBM di Indonesia,
dalam buku Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah
Agung RI, Jakarta, 2004, hal. 165
68
Mariana, Sutadi, Court Annexed
Mediation Dan Potensinya Dalam Mewujudkan
Keadilan Yang Cepat, Sederhana Dan Biaya
Ringan, Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Persiapan Pembentukan Peraturan Mahkamah Aung
Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, diJakarta,
24 Juli 2003, hal. 1
69
Soeharto, Pengarahan Dalam Rangka
Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan
“Perma Court Annexed Mediation Di Pengadilan
Di Indonesia”, Jakarta, 1 Oktober 2003, hal. 11
Akibat Hukum Penggunaan Lembaga ……. (Nurwidiatmo, SH., MH., MM) 189