2. MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Secara bahasa, Khulafaur Rasyidin berasal dari
kata Khulafa dan Ar-Rasyidin.Kata Khulafa’
merupakan jamak dari kata Khalifah yang berarti
pengganti.Sedangkan Ar-Rasyidin artinya
mendapat petunjuk.
Artinya yaitu orang yang ditunjuk sebagai
pengganti, pemimpin atau pemimpin yang
selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT.
3. Para Khulafaur Rasyidin merupakan sahabat
Nabi Muhammad SAW, yaitu :
Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Umar bin Khattab.
Usman bin Affan.
Ali bin Abi Thalib.
4. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA
KHULAFA’UR RASYIDIN DAN
PERKEMBANGANNYA
Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW
pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada
akhir abad pertama Hijriyah (11 – 41 H atau 632 – 661 M).
Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak masalah. Hal ini
dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui
semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya membawa dampak yang begitu
besar bagi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Secara
umum permasalahan – permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa aspek, yaitu:
5. Secara umum permasalahan – permasalahan itu
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek,
yaitu:
1. Aspek Politik
a. Kekhalifahan Abu Bakar (11 – 13 H atau 632 – 634 M)
b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 – 23 H atau 634 – 643 M)
c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 – 35 H atau 644 – 656 M)
d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H atau 656 – 661 M)
2. Aspek Fiqih
3. Aspek Akidah
6. PENGERTIAN AR-RA’YU DAN AL-’AQLU
Ra’yu adalah salah satu cara umat islam untuk
menetapkan suatu hukum dari permasalahan-
permasalahan kontemporer yang belum
didapatidalam Al-Qur’an dan Hadist.
‘Aqlu adalah subjek (alat/ pelaku yang melakukan
pemikiran), sedangkan ra’yu adalah, suatu hasil/
atau objek dari proses pemikiran yang bertujuan
untuk mencari kebenaran atau solusi dari suatu
hukum yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan
Hadist.
7. Kata ra’yu pada ayat di atas berarti melihat. Namun pada
obyek yang abstrak, kata ra’yu tidak mungkin diartikan
“melihat dengan mata kepala”, tetapi harus diartikan
“melihat dengan mata hati” atau dengan arti
“memikirkan/memperhatikan”.
8. HUKUM YANG DIAMBIL BEDASARKAN
PADA MAQASHID SYARIAH
1. Pengertian maqashid syariah
Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata
maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti
maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian
hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka
dengan demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang
menjadi tujuan pensyariatan hukum.
Menurut Satria Efendi (1998:14), maqashid al-syari'ah mengandung
pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat
umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau
hadits -hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian
kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) mendefinisikan maqashid
syari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh
syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau
tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh
syara' pada setiap hukumnya.
9. 2. Penggalian hukum melalui maqashid syariah
Menurut telaah historis, Imam al-Haramain al-Juwaini
dapat dikatakan sebagai ahli ushul pertama yang
menekankan pentingnya memahami maqashid al-syari'ah
dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas
mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan
mampu menetapkan hukum dalam Islam sebelum ia
memahami benar-benar tujuan Allah mengeluarkan
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya
Maslahat sebagai substansi dari maqashid al-syari'ah dapat
dibagi sesuai dengan tinjauannya. Bila dilihat dari aspek
pengaruhnya dalam kehidupan manusia.
10. FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN
PENDAPAT PADA MASA SAHABAT
Faktor penyebab perbedaan pendapat yang terjadi pada masa
pemerintahan para sahabat sangatlah banyak, yang akan kami
sebutkan sebagai berikut :
1. Perbedaan dalam memahami nash al-Quran dan Hadits.
2. Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang
saling berlawanan.
3. Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa
suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara
yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak
memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih.
4. Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha
5. Mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan
kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap
berbagai masalah yang mereka hadapi.
6. Perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah.