SlideShare a Scribd company logo
1 of 15
ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA
Dosen Pengampu : NonitaYasmalija,S,Pd.,S.Psi,.M.M
Oleh : kelompok VI
Diah Lili Handayani : 22317001010
Sri Aulia : 22317001008
Masitah : 22317001031
Nur Laila Selian : 22317001029
Rahma Mayani : 22317001016
M.Sayidul Kiram : 22317001009
Manja : 22317001013
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN USMAN SAFRI (STKIP-US)
KUTACANE
2023/2024
ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA
A. ALIRAN-ALIRAN SASTRA
Aliran-aliran dalam kesusastraan memiliki kesamaan dengan aliran dalam kesenian yang
lain, misalnya dalam seni lukis, seni drama, bahkan dalam dunia filsafat dan kehidupan sosial.
Aliran dalam kesusastraan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan pengarang
dan penyair, serta biasanya terekspresikan dalam karya-karya mereka. Artinya, kita
memasukkan seorang sastrawan/sastrawati ke dalam aliran tertentu, hendaknya berdasarkan
buah cipta mereka. Dengan demikian, seorang pengarang bisa dimasukkan ke dalam beberapa
aliran, karena corak karyanya yang bermacam-macam. Sementara itu, sebuah novel, cerpen,
puisi atau teks drama bisa dijadikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa seorang
pengarang menganut beberapa aliran.
Ambillah contoh “Nyanyi Sunyi” karya Amir Hamzah, “Ziarah”, “Merahnya Merah”, dan
“Kering” karya Iwan Simatupang, “Gadlob” dan “Adam Makrifat” karya Danarto, “Harimau!
Harimau!”, “Jalan Tak Ada Ujung” dan “Maut dan Cinta” karya Muchtar Lubis. Antologi puisi
“Nyanyi Sunyi” bisa digunakan contoh untuk romantisme, mistisme, atau religiusme, tiga
novel Iwan yang tadi telah disebut untuk absurdisme dan eksistensialisme, karya-karya
Danarto untuk mistisisme, simbolisme dan absurdisme, karya-karya Muchtar Lubis untuk
idealisme, humanisme, psikolonialisme.
Aoh. K.Hadimadja dalam bukunya “Aliran-aliran Klasik Romantik, dan Realisme dalam
Kesusastraan” mengatakan bahwa “aliran itu tidak lain daripada keyakinan yang dianut
golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham
lama. Adakalanya para penganut aliran yang sama tidak sepaham benar-benar, akan tetapi pada
dasarnya mereka tidak bertentangan, dan ciri-cirinya pengarang membawa pembawaan dan
kepribadian yang khas atau ada seorang karena ciri-ciri yang umum itu, mereka dapat
digolongkan ke dalam aliran tertentu”.
Sementara itu H.B. Jassin dalam bukunya “Tifa Penyair dan Daerahnya” menyatakan
bahwa aliran dalam sastra dapat “mengenai cara pengucapan daripada isi yang diucapkan,“
tetapi “ada pula aliran-aliran yang menyatakan isi“.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita pahami bahwa aliran dalam sastra sebenarnya
berpangkal pada kesadaran sastrawan untuk menentang paham atau aliran sebelumnya.
Perlawanan menentang paham atau aliran lama itu diwujudkan dalam bentuk ciptaan yang
menunjukkan ciri lain daripada yang ada sebelumnya. Ingatkah Anda pada kumpulan sanjak
“Tiga Menguak Takdir”? Kumpulan sajak itu sebenarnya merupakan bukti perlawanan
kelompok penyair muda (Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani) terhadap Sutan Takdir
Alisjahbana. Perlawanan itu bertolak dari konsepsi kesenian yang berbeda antara dua
kelompok sastrawan itu (Pujangga Baru versus Angkatan ‘45).
Di Indonesia sebenarnya adanya aliran yang secara sadar diperjuangkan untuk menentang
paham atau aliran sebelumnya belum banyak terjadi. Hal ini salah satu di antaranya disebabkan
oleh usia sejarah sastra Indonesia yang belum begitu lama.
Salah satu indikator (petunjuk) adanya golongan yang menentang kelompok sastrawan
sebelumnya adalah : adanya suatu manifestasi yang menyatakan pendirian kelompok itu dalam
memperjuangkan gagasan-gagasan barunya. Angkatan ‘45 misalnya dengan manifestasi yang
tercantum pada “Surat Kepercayaan Gelanggang “ menyatakan pendirian kelompok tersebut,
yang berbeda pendirian dari kelompok sastrawan Pujangga Baru, sementara itu “Manifes
Kebudayaan “ (17 agustus 1963) lebih banyak merupakan sikap politik dari sastrawan
kelompok bebas (Manifes) terhadap sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat),
daripada pernyataan melawan kelompok sastrawan generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan
sastrawan kelompok Manifes dan kelompok Lekra hidup sezaman.
Berikut ini akan kita pelajari beberapa aliran dalam sastra. Hendaknya dipahami bahwa
aliran-aliran yang disebutkan di sini tidak menjamin bahwa sastrawannya secara sadar ingin
memperjuangkan gagasan-gagasan aliran, dengan konsep atau pengertian aliran. Dapat kita
indentifikasi karya sastra tertentu termasuk ke dalam kategori aliran sastra tertentu. Hendaknya
kita sadari bahwa masalah aliran ini bukan merupakan monopoli bidang sastra. Aliran-aliran
itu dapat berlaku dalam bidang seni lainnya, terutama pada seni lukis. Demikianlah jika kita
berbicara tentang aliran realisme, maka aliran itu tidak hanya khusus berlaku pada sastra, tetapi
juga berlaku pada seni lukis. Penjelasan berikut ini tidak berdasarkan pada urutan sejarah
kelahirannya.
1. REALISME
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis merupakan kutub
seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal
yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, true-story,
album kisah nyata, roman sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda
dengan berita surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik.
Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa yang
memikat.
Novel “Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu Ibu adalah Rinduku” karya Motinggo
Boesye, “Bilik-bilik Muhammad” karya A.R.Baswedan, skenario “Arie Anggara“ karya
Arswendo Atmowiloto, novel biografis “Pangeran dari Seberang“ karya N.H.Dini tentang
Amir Hamzah, novel “Dari Hari ke Hari“ Mahbub Junaidi, “Guruku Orang Pesantren“
Syaifuddin Zuhri merupakan sekadar contoh sastra realis ini. Ia berusaha berjujur terhadap
kenyataan, tetapi hal-hal yang peka, diungkapkan dengan cukup etis dan sublim.
M.H. Abrams dalam kamusnya “ Glossary of Literary Terms “ menyebutkan bahwa
realisme digunakan dalam 2 pengertian :
a. Untuk mengidentifikasi gerakan sastra pada abad XIX, khususnya prosa fiksi.
b. Menunjukkan cara penggambaran kehidupan di dalam sastra. Fiksi realistik sering
dioposisikan dengan fiksi romantik. Di dalam romantik disajikan kehidupan yang lebih
indah, lebih berani mengambil resiko, dan lebih heroik, dari pada yang nyata.
2. SURREALISME
Aliran yang terlalu mengagungkan kebebasan kreatif dan berimajinasi sehingga
hasil yang dicapai menjadi antilogika dan antirealitas. Bisa jadi apa yang terungkap itu
pada mulanya berangkat dari kenyataan sekitar, tetapi karena desain imajinasinya itu sudah
demikian sarat, kuat dan jauh, ia terasa ekstrim dan radikal. Ada semacam keadaan trans
(hanyut/kesurupan) di sana, sesuatu yang tidak kita temukan dalam realisme maupun
naturalisme.
Surrealisme lebih dekat terhadap absurdisme daripada terhadap realisme. Dari sisi
tertentu sanjak-sanjak Rendra “Khotbah“, “Nyanyian Angsa“, “ Mencari Bapa“, cerpen-
cerpen Danarto “Godlob“, “Kecubung Pengasihan“, “Rintrik“, “Sanu, Infinita Kembar“
Motenggo Boesye bisa ditunjuk sebagai contoh surrealisme.
Surrealisme merupakan gerakan di kalangan pengarang dan pelukis di Perancis,
yang dimulai sekitar tahun 1920 an. Gerakan ini menghendaki adanya kebebasan dalam
kreativitas artistik, mengungkapkan bawah sadar dengan imaji-imaji tanpa adanya urutan
atau koherensi (seperti di dalam mimpi), membebaskan diri dari alasan yang logis, standar
moralitas, konvensi dan norma-norma sosial dan artistik.
Surrealisme dapat diartikan sebagai melebihi realisme, karena surrealisme juga
mengagung-agungkan asosiasi yang bebas serta penulisan secara otomatis, fantasi yang tak
terkendali serta asosiasi yang bebas mewakili suatu dunia yang lebih realistis daripada
kenyataan yang riil. Surrealisme mencoba mengeksploatasi materi-materi di dalam mimpi,
keadaan jiwa antara tidur dan jaga, dan menyerahkan penafsirannya kepada pembaca.
H.B. Jassin menyatakan bahwa “Surrealisme menghendaki keseluruhan dan
kesewaktuan. Sebab itu hasil kesusastraan surrealisme jadi sukar untuk menurutkannya,
logika hilang, alam benda dan alam pikiran dan angan-angan bercampur baur dalam
keseluruhan dan kesewaktuan.
3. ABSURDISME
Aliran dalam kesusastraan yang menonjolkan hal-hal yang di luar jalur logika, satu
kehidupan dan bentang peristiwa imajinatif, dari alam bawah sadar, suasan trans.
Pengarang aliran ini punya kesan mengada-ada, sengaja menyimpang dari konvensi
kehidupan dan pola penulisan, tetapi pada super starnya, nampak kuat kebaruan dan
kesegaran kreativitas mereka, bahkan kegeniusan mereka. Umumnya, mereka ini pernah
pula sukses sebagai pengarang konvensional, sebagaimana para pelukis abstrak yang
sempat meroket dan malang melintang di langit dunia mereka, bukan sunyi dari penciptaan
lukisan-lukisan naturalis. Dramawan kontemporer/absurd yang tersohor, misalnya Putu
Wijaya, N. Riantiarno dan Arifin C. Noer, juga punya seabrek karya konvensional.
Di langit sastra Indonesia, absurdisme sudah memancar dan mendarah daging pada
karya-karya Iwan Simatupang di dasawarsa 60 an, baik dalam dramanya “Petang di Sebuah
Taman“, dan “RT 0 RW 0“, cerpen-cerpennya yang terakit dalam “Tegak Lurus dengan
Langit“, maupun dalam empat novel monumentalnya : “Kering“, “Merahnya Merah“,
“Ziarah“, “Koooong“. Ternyata, kehidupan yang serba mungkin dan dirias renda-renda
absurditas ini banyak mengilhami lahirnya sastra absurd, sebagai bisa diciptakan oleh
penyair Sutarji Calzoum Bachri dalam “O Amuk Kapak“, “Yudhistira Ardi Noegraha
dalam“ Omong Kosong“, dan “Sajak Sikat Gigi“, serta oleh Ibrahim Sattah dan Sides
Sudiarto Ds. dalam sanjak-sanjak mereka, oleh pengarang Budi Darma dalam kumcerpen
“Orang-orang Bloomington”, oleh Putu Wijaya dalam karya-karya sastranya “Telegram“,
“Stasiun“, “Lho“, “Keok“, “Sobat“, “Gres“, di samping drama-dramanya “Anu“, “Dag Dig
Dug“, “Aduh“, “Zat“, oleh Arifin C. Noer dalam “Kapai-kapai“, “Mega-mega“, “Dalam
Bayangan Tuhan atawa Interogasi“, oleh N. Riantarno dalam “Bom Waktu“, “Opera
Kecoak“ dan naskah saduran “Perempuan-perempuan Parlemen“.
4. PSIKOLOGISME
Aliran yang mengutamakan pembahasan masalah kejiwaan dalam kaitannya
dengan berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam novel, suasana jiwa dan konflik batin para
pelaku disoroti dengan tajam, detail dan mendalam. “Belenggu” Armijn Pane, “Atheis“
Achdiat Kartamiharja, “Royan Revolusi“ dan “Kemelut hidup“ Ramadhan K.H., “Damai
dalam Badai“ dan “Cintaku Selalu Padamu“ Motenggo Boesye, “Bila Malam Bertambah
Malam“ Putu Wijaya, novel-novel N.H. Dini, Titie Said, La Rose, Ike Supomo, Marga T.,
Ashadi Siregar, Ahmad Tohari, bisa disebut sebagai novel psikologi.
5. ALIRAN ROMANTIK
Sastra romantik ditandai dengan ciri-ciri : keinginan untuk kembali ke tengah alam,
kembali kepada sifat-sifat yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-
tangan manusia. Istilah ini juga mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan,
kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga cenderung untuk
kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang terkadang
melahirkan manusia-manusia besar. Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan
percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman.
Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat dikuasai oleh
perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga tokoh-tokoh yang tak
tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka itu kemudian ada yang lari
kegunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakannya jauh dari kekerasan hidup.
Aoh K. Hadimadja menyatakan bahwa salah satu ciri alam romantik tokoh-
tokohnya suka membunuh diri, karena terlalu kuat dihinggapi perasaan.
Romantisme, aliran yang mementingkan curahan perasaan yang indah dan
menggetarkan yang diungkapkan dalam estetika diksi dan gaya bahasa yang mendayu-
dayu membuai sukma. Contoh : puisi-puisi Amir Hamzah “Buah Rindu“, “Karena
Kasihmu“, “Memuji Dikau“, “Mengawan“, “Do’a“, karya-karya Hamka “Tenggelamnya
Kapal Van der Wijk“, “Di Bawah Lindungan Ka’bah“, “Di dalam Lembah Kehidupan“,
roman “Upacara“ dan kumpulan sanjak “Nyanyian Ibadah“ nya Korrie Layun Rampan,
kumpulan sajak “Romance Perjalanan“ Kirjomulyo, “Buku Puisi“ nya Hartoyo
Andangjaya.
6. EKSISTENSIALISME
Liaw Yock Fang dalam bukunya “Ikhtisar Kritik Sastra” menyatakan bahwa
“Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang kemudian menjadi landasan suatu aliran
sastra.”
Ajaran yang pokok dari eksistensialisme ialah bahwa manusia adalah apa yang
diciptakannya sendiri. Manusia tidak ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau
membiarkan dirinya dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri.
Karena itu, karya sastra eksistensialisme sangat mementingkan perbuatan –termasuk
perbuatan kemauan- sebagai unsur-unsur yang menentukan. Unsur-unsur dasar dari
manusia seperti irrasionalitas, ketidak sadaran dan kebawahsadaran juga dipentingkan.
Kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus mengalir sedangkan
kehidupan manusia adalah rentetan saat-saat yang berurutan”.
Fuad Hasan dalam bukunya “Berkenalan dengan Eksistensialisme” mencoba
memprkenalkan suatu alam pikiran yang dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme,
dengan membutiri pendapat filsuf eksistensialis melalui hasil-hasil karya sastranya.
Beberapa pikiran tokoh eksistensialisme itu dikutipkan berikut ini :
a. Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang
diambilnya tak pernah ia mantap sempurna (Kiergaard).
b. Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan (Kiergaard).
c. Dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam
kehidupan adalah kekuatan, apa yang baik, harus kuat ; sebaliknya segala yang lemah
adalah buruk dan salah (Niezseche).
d. Dalam pergaulan antara manusia maka yang harus ditumbuhkan dalam manusia-
manusia agung yaitu manusia yang oleh kekuatan tak bisa mengatasi kumpulan
manusia-manusia dalam massa (Nietzseche).
7. FILSAFATISME
Aliran yang mengedapankan hadirnya nilai-nilai filsafati, suatu pemikiran
mendalam makna hidup, yang biasanya berangkat dari penghayatan personal. Para
pengarang dan penyair yang karya-karyanya kental berkadar filsafat disebut pujangga.
Tidak sedikit di antara mereka sekaligus filsuf.
Dari R.A. Kartini, R. Ng. Ronggowarsito, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Frans
Kafka, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, Putu Wijaya, Emha Ainun Najib,
banyak terlahir sastra filosofis.
Sastra filosofis ada yang berkadar humanis, adapula yang religius. Di sisi lain kita
temukan spiritualisme, aliran yang mementingkan nilai-nilai ruhani, kehidupan batiniah,
yang menuju kebajikan dan kesempurnaan. Spiritualisme berbeda dengan psikologisme,
karena spiritualisme sudah mengacu ke moral luhur, sedang psikologisme membahas
kehidupan dari segi jiwanya, lepas dari masalah atau tanpa keharusan penyampaian-
penyampaian nilai-nilai dan akhlak mulia.
Sanjak-sanjak ruhani bisa merupakan bagian dari filsafatisme, di samping ia sendiri
merupakan perwujudan spiritualisme. Filsafatisme bisa berangkat dari pikiran, bisa pula
diilhami wahyu atau mewujudkan renungan hati nurani. Contoh-contoh di bawah ini bisa
dimasukkan ke dalam filsafatisme, tetapi juga benar untuk dimasukkan ke dalam
spritualisme.
8. EKSPRESIONISME DAN IMPRESIONISME
M.H. Abrams menyatakan bahwa ekspresionisme adalah gerakan dalam sastra dan
seni di Jerman yang mencapai puncaknya pada periode 1910 – 1952. Para pelopornya
seniman dan pengarang yang dengan bermacam cara menyimpang dari penggambaran
yang realistik tentang kehidupan dan dunia. Mereka mengekspresikan pandangan seni
mereka atau emosi secara kuat. Ekspresionisme tidak pernah merupakan suatu gerakan
yang dirancang secara baik. Dapat dikatakan bahwa ciri utama ekspresionisme adalah
pemberontakan melawan tradisi realisme dalam bidang sastra dan seni, baik dalam hal
pokok persoalannya (subyect matter) maupun gayanya (style).
A.F. Scott dalam kamusnya Current Literary Terms A Concis Dictionary
menyatakan bahwa impresionisme merupakan cara menulis karangan yang tidak
memperlakukan realitas secara obyektif, tetapi menyajikan kesan-kesan (impressions) dari
pengarangnya. Istilah impressionisme ini berasal dari dunia seni lukis pad paruh pertama
abad ke 19 di Perancis.
Sementara itu H.B. Jassin menyebutkan bahwa “suatu lukisan yang impresiomistis
kelihatannya seperti belum selesai. Baru hanya skets. Segala sesuatu tidak dilukiskan
pikiran-pikiran yang sudah masak dipikirkannya, dia hanya mau melukiskan kesannya
sepintas lalu, kesan pertama yang segar“.
9. MELANKHOLISME
Aliran dengan karya-karya penuh warna muram, sendu, kehidupan yang getir dan
tragis, sarat ratapan dan rintihan. Kisah cinta klasik, drama-drama dalam film India, cerita-
cerita dengan tema kemiskinan, kemalangan hidup dan penderitaan termasuk
melankholisme. “Di dalam Lembah Kehidupan“, “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijk“,
“Di bawah Lindungan Ka’bah“ karya Hamka, “Buku Harian Seorang Penganggur“ dan
cerpen-cerpen serta drama-drama Muhammad Ali, puisi-puisi Amir Hamzah dalam “Buah
Rindu“, kebanyakan sanjak-sanjak Leon Agusta, merupakan sastra melankholik. Lagu-
lagu Rinto Harahap, Charles Hutagalung, Benny Panjaitan, A. Riyanto bisa dimasukkan ke
sini.
10. IRONISME
Aliran yang mementingkan nada mengejek, kadang terus terang, kadang melalui
sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi
sosial atau perilaku tokoh tertentu. “Melaut Benciku“ Amal Hamzah, “Kisah Sebuah
Celana Pendek“ Idrus, beberapa cerpen Hamsad Rangkuti dan “Sumpah WTS“ dan
“Catatan Harian Seorang Koruptor“ F. Rahardi merupakan contoh ironisme.
11. NIHILISME
Aliran yang mengekspos peristiwa atau pemikiran-pemikiran, bisa saja sampai
tingkat filsafat, tanpa landasan moral kemanusiaan, apalagi Keilahian. Cerita-cerita yang
ateistik, komunistik, sekuleristik, chauvinistik bisa dimasukkan ke dalam fiksi nihilis. Ada
memang, cerita yang menghadirkan paham-paham penafian Tuhan, pemasabodohan
agama dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, misalnya “ Atheis “ nya
Achdiat Kartamihardja, tetapi karena tenden pengarang tidak ke sana sebagai justru terlihat
dalam sikap Achdiat yang mengkritik tokoh-tokoh ceritanya itu, maka karangan tersebut
tidak bisa digolongkan ke dalam nihilisme.
12. NATURALISME
Aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa
mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya
menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan
tajam. Pornografi, karya mereka jatuh menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya,
hal ini benar-benar mereka sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan naturalisme
ini sebagai gaya mereka. Kumpulan sanjak F. Rahardi, “Catatan Harian Sang Koruptor“
dan “Sumpah WTS“, beberapa sanjak Rendra “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta“,
“Rick dari Corona“, “Sajak Gadis dan Majikan“, Sajak SLA bisa ditunjuk sebagai contoh
pengibar aliran ini. Dari khazanah lama “Surabaya“ nya Idrus bisa digunakan sebagai
contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan Rendra.
13. DETERMINISME
Istilah determinisme berasal dari doktrin filsafat yang menyatakan bahwa setiap
kejadian atau peristiwa itu ada penyebabnya. Dalam sastra, determinisme mencoba
menggambarkan tokoh-tokoh cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak
sanggup dan tidak mampu lagi ke luar dari takdir yang telah jatuh pada dirinya.
Takdir yang dimaksudkan di sini bukanlah takdir dari Tuhan sesuai dengan
konsepsi yang berlaku pada agama langit, melainkan takdir yang lebih tepat dikatakan
sebagai akibat yang tak dapat dielakkan karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya,
berupa faktor-faktor biologis, lingkungan dan sosial.
H.B. Jassin menyatakan bahwa nasib itu “ditentukan oleh keadaan masyarakat
sekitar, kemiskinan, penyakit, darah keturunan, dalam hubungan sebab akibat. Menurut
ilmu keturunan, ayah atau ibu yang jahat akan menurunkan sifat-sifat jahatnya pada
anaknya atau cucu-cucunya, biarpun keturunannya itu bermaksud baik, mau memperbaiki
dirinya. Apabila si orang tua jahat, maka itu bukan pula karena sudah ditakdirkan Tuhan
demikian, tetapi karena keadaan masyarakat yang serba bobrok, orang hidup dalam
kemiskinan yang sangat, pembagian harta kekayaan antara manusia tidak adil“. (contoh
novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” oleh Hamka).
Determinisme berpendapat bahwa tragedi hidup manusia sudah tercetak dalam
kemutlakan, merupakan paksaan nasib yang tak bisa ditembus oleh segenap daya dan
ikhtiar sang pelaku. Orang sadar dengan kodratnya, sebagai wong cilik, sebagai hamba
sahaya, sebagai sang kurban, sehingga tidak akan banyak menuntut. Ia legawa-legalila
nrima ing pandum menerima suratan nasib, seperti yang terjadi pada Maria Magdalena
Pariyem dalam liris prosanya Linus Suryadi Ag. . Atau, seperti skenario semula, memang
tragis penuh tangis. Determinisme bisa dijumpai dalam “Trilogi Oedipus“ nya Sophokles,
“Tragedi Sangkuriang “, “Pengakuan Pariyem“ nya Linus Suryadi AG, novel “Kuterima
Penderitaan Ini, Ibu“ Motenggo Boesye, tokoh-tokoh cerita Iwan Simatupang, Putu
Wijaya, Arifin C yang papa. (baca “Merahnya Merah” dan “Kering” karya Iwan, “Pol” dan
“Stasiun” karya Putu, “Mega-mega”, “Kapai-kapai”, “Umang-umang” klarya Arifin).
14. SIMBOLISME
Pengungkapan simbolis tidak secara harfiah, melainkan dengan simbol-simbol.
Sebuah simbol berarti sesuatu yang bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai
simbol dari kecantikan.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba mengungkapkan ide-ide
dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui
objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap realisme dan
naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan semata. Sastra simbolik banyak
menggunakan simbol atau lambang dalam mengungkapkan pemikiran, emosi, secara
samar-samar dan misterius.
Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya secara samar-samar ditangkap
maknanya.
Penyair simbolik bahkan menyukai yang samar-samar itu, oleh karena bagi mereka
puisi harus merupakan teka-teki bagi orang biasa, tetapi sebenarnya merupakan musik yang
indah bagi yang dapat menghayati dan menikmatinya. Puisi simbolik mencapai
keindahannya dengan mengungkapkan objek secara tidak langsung, secara sugestif, dan
dengan memperhitungkan efek musiknya yang mengandung makna.
Simbolisme, banyak menggunakan kata-kata kias, lambang-lambang, kata-kata
yang bermakna simbolik untuk melukiskan sesuatu. Sesungguhnya, semua fabel (misalnya
“Serial Kancil”, “Hikayat Kalilah dan Daminah”) adalah contoh tepat simbolisme ini.
“Dengar Keluhan Pohon Mangga “, karya Maria Amin, “Musyawarah Burung“ karya
Fariduddin Attar, “Kucing“ sanjak Sutardji Q.B., “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa“ karya Y.B.
Mangunwijaya, “Ular dan Kabut“ sanjak Ayip Rosidi, “Sebuah Lok Hitam“ puisi Hartoyo
Andangjaya, hanya sekadar contoh sastra simbolik ini.
15. IDEALISME
Aliran dalam kesusastraan yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya
penuh perasaan dan cita-cita. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu
perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya
pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca
dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas
menjadi rajin, dan seterusnya. Contoh:
a. “HabisGelap Terbitlah Terang“ karya R.A. Kartini;
b. “Layar Terkembang“ karya Sutan Takdir Alisjahbana
c. “Kemarau“ karya A.A. Navis, cerpen “Kadis“ karya Muhammad Diponegoro.
d. Cerpen “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini
16. HEROISME
Aliran yang mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan
figur teladan bangsa, serta semangat membela tanah air. “Bende Mataram“ karya
Muhammad Yamin, “Diponegoro“ karya Chairil Anwar, “Monginsidi“ karya Subagio
Sastrowadojo, “Tanah Tumpah Darah“ karya Sitor Situmorang, “Stasiun Tugu“ karya
Taufik Ismail, “Ode bagi Proklamator“ karya Leon Agusta, dan tentu saja lagu kebangsaan
“Indonesia Raya“ dan lagu-lagu nasional “Ibu Kita Kartini“, “Satu Nusa Bangsa“,
“Padamu Negeri“, “Rayuan Pulau Kelapa“, juga lagu-lagu “Sepasang Mata Bola“, “Melati
Tapal Batas“, “Pantang Mundur“, merupakan contoh-contoh heroisme ini. “Percikan
Revolusi“ dan “Cerita-cerita dari Blora“ karya Pramudya serta cerpen-cerpen revolusi
Trisno Yuwono “Di Medan Perang“ dan “Laki-laki dan Mesiu“ bisa dimasukkan ke sini.
Heroisme pun kita temukan pada lagu-lagu tertentu ciptaan Leo Kristi dan Gombloh
almarhum.
17. RELIGIUSISME
Religiusme, aliran yang mementingkan nilai-nilai keagamaan atau renungan
tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya. Sastra religius dimiliki oleh setiap agama,
juga oleh sastrawan yang punya penghayatan personal terhadap Tuhan. “Gitanyali“ karya
Rabindranath Tagore, “Rindu Dendam“ karya Y.E. Tatengkeng, “Kata Hati“ karya
Samadi, beberapa sanjak Rendra dalam “Sajak-sajak Sepatu Tua“, “Balai-balai“, “Sajadah
Panjang“, “Aisyah Adinda Kita“ karya Taufik Ismail, “99 untuk Tuhanku“ karya Emha
Ainun Najib, “Nyanyian Ibadah” karya Korrie Layun Rampan, cerpen “Di dalam Kereta
Api Perjalanan Hidup“ karya Riyono Pratikto, novel “Rindu Ibu adalah Rinduku“ dan
“Perempuan-perempuan Impian“ karya Motenggo Boesye, “Wirid“ karya Ikranegara,
novel “Ibuku Sayang“ karya Teguh Esha adalah sekadar contoh sastra religius yang bisa
dijumpai.
18. TRANSENDENTALISME
Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai transendental, renungan-renungan hidup
yang mendalam, yang metafisis (di atas hal-hal yang fisik/nampak). Kalau sastra sufi
merupakan katarsisme, maka sastra aliran ini kebanyakan bersifat kontemplatif. Sanjak-
sanjak Afrizal Malna dalam “Abad yang Berlari”,
“Isyarat“ dan “Suluk Awang-uwung“ karya Kuntowijoyo, cerpen-cerpen Danarto dan Hamid
Jabbar, serta Ahmad Tohari, sanjak-sanjak Umbu Langgu Peranggi dan Goenawan Mohamad,
juga “Sejuta Milyar Satu“ karya Eka Budianta, merupakan contoh Transendentalisme.
19. KOMEDIALISME
Penuh suasana ceria, kocak, menganggap hidup penuh optimisme dan rasa humor,
berbeda dengan determinisme dan melankolisme yang pessimistis. Tetapi ia tidak identik
dengan lawak. Gaya bahasa Mahbub Junaidi dan Slamet Suseno, bahkan Y.B.
Mangunwijaya dalam “Puntung-puntung Rara Mendut“ mengacu ke sini. Drama “Tuan
Kondektur“, “Pinangan“, “Orang-orang Kasar“ karya Anton Chekov, “Kejarlah Daku kau
Kutangkap“ karya Asrul Sani, novel “Dari Hari ke Hari“ karya Mahbub Junaidi, “Arjuna
Mencari Cinta“ dan “Yudhistira Duda“ oleh Yudhistira Ardi Noegraha merupakan
sebagian contoh komedialisme.
https://danririsbastind.wordpress.com/2011/04/13/aliran-aliran-dalam-kesusastraan/
B. PENDEKATAN SASTRA
Dalam mengkaji sebuah karya sastra, kita tidak dapat melepaskan diri dari cara pandang
yang bersifat parsial, maka ketika mengkaji karya sastra, seringkali seseorang akan
memfokuskan perhatiaanya hanya kepada aspek-aspke tertentu dari karya sastra. Aspek-aspek
tertentu itu misalnya berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas, psikologi, masyarakat,
beserta dengan aspek-aspeknya yang lebih rinci lagi, dan sebagainya. Hal itu sendiri, memang
bersifat multidimensional. Karena hal-hal di atas, maka muncul berbagai macam pendekatan
kajian sastra. Berikut pendekatan dalam kajian sastra:
1. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa
memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal
dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra
dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya
dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di
luar karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaa karya sastra yang
akan dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak bercerita tentang "kawin" paksa. Maka
dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun tersebut yang berupa latar belakang sumber
penciptaannya.
2. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra
memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini
memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan
perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja
dengan persepsi-persepsi, pikiran atau perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan
pendekatan ini dalam kajian sastra, dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan
diri sastrawan, seperti kapan dan di mana dia dilahirkan, pendidikan sastrawan, agama,
latar belakang sosial budayannya, juga pandanga kelompok sosialnya.
3. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut
dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam
praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam
mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 1994).
Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra
berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun
fungsi sosial lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung dalam karya
sastra makan semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi pembacannya.
4. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya
sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom
dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca. Pendekatan
ini juga disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian
difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan,
koherensi, dan kebenaran sendiri.
5. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural ini memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur
karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri
sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1984). Dalam hal ini
setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur yang lain.
6. Pendekatan Semiotik
Dalam kajian sastra, pendekatan semiotik memandang sebuah karya sastra sebagai
sebuah sistem tanda.Secara sistematik, semiotik mempelajari tanda-tanda dan lambang-
lambang, sistem lambang, dan proses-proses perlambangan.
Pendekatan ini memandang fenomena sosial dan budaya sebagai suatu sistem
tanda. Tanda tersebut hadir juga dalam kehidupan sehari misal: bendera putih di depan
gang, maka orang akan berpikir ada salah satu keluarga yang sedang ada yang berduka.
contoh lain adalah mendung: orang akan berpikir hujan akan segera turun sebentar lagi.
Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan tentang latarbelakang sosial-
budaya karya sastra tersebut dibuat.
Tanda, dalam pendekatan ini terdiri dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang
menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu).
7. Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik.
Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek
sosial kemasyarakatannya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan
karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu masyarakat (Sapardi
Djoko Damono 1979).
8. Pendekatan Resepsi Sastra
Resepsi berarti tanggapan. Dari pengertian tersebut dapat kita pahami makna
resepsi sastra adalah tanggapan dari pembaca terhadap sebuah karya sastra. Pendekatan ini
mencoba memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembacanya.
9. Pendekatan Psikologi Sastra
Wellek & Waren (1990) mengemukakan empat kemungkinan pengertian. Pertama
adalah studi psikologi pengarang sebgai tipe atau pribadi. Kedua studi proses kreatif.
Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra.
Pengertian keempat menurut Wellek & Waren (1990) terasa lebih dekat pada sosiologi
pembaca.
10. Pendekatan Moral
Di samping karya sastra dapat dibahas dan dikritik berdasrkan sejumlah pendelatan
yang telah diuraikan sebelumnnya, karya sastra juga dapat dibahasa dan dikritik dengan
pendekatan moral. Sejauh manakah sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas
kepada pembacanya. Yang dimaksudkan dengan moral adalah suatu norma etika, suatu
konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnnya. Moral berkaitan
erat dengan baik dan buruk. Pendekatan ini masuk dalam pendekatan pragmatic
11. Pendekatan Feminisme
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra
feminis. Pendekatan feminisme ialah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada
pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandan eksistensi
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra (Djananegara, 2000:15).
http://www.rumpunsastra.com/2014/09/pendekatan-dalam-kajian-sastra.html
ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA . KELOMPOK.6.docx

More Related Content

Similar to ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA . KELOMPOK.6.docx

KANONISASI SASTRA
KANONISASI SASTRA KANONISASI SASTRA
KANONISASI SASTRA Fadia Rizqi
 
Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...
Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...
Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...SigitWisnuTomo1
 
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAANKONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAANJoseviraLintang
 
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra IndonesiaPeriodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra IndonesiaDedi Irawan
 
Ilmu budaya dasar
Ilmu budaya dasarIlmu budaya dasar
Ilmu budaya dasarfay Rafida
 
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraanKonsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraanAulia Rahma
 
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahMari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahDebby Zalina
 
Pengertian sastra dan jenis jenis sastra
Pengertian sastra dan jenis jenis sastraPengertian sastra dan jenis jenis sastra
Pengertian sastra dan jenis jenis sastraAbu Ja'far
 
Kul sosas 2, sastra dan mayarakat
Kul sosas 2, sastra dan mayarakatKul sosas 2, sastra dan mayarakat
Kul sosas 2, sastra dan mayarakatSyukrina Rahmawati
 
Kajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta newKajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta newNancy Rothstein
 
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam KesusastraanKonsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam KesusastraanMia Asdhar
 
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Marliena An
 
Periodisasi sastra indonesia
Periodisasi sastra indonesiaPeriodisasi sastra indonesia
Periodisasi sastra indonesiaIra Chumairoh
 
3. نظرية التعبير
3. نظرية التعبير3. نظرية التعبير
3. نظرية التعبيرMulyadi O
 

Similar to ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA . KELOMPOK.6.docx (20)

KANONISASI SASTRA
KANONISASI SASTRA KANONISASI SASTRA
KANONISASI SASTRA
 
Sosiologi sastra
Sosiologi sastraSosiologi sastra
Sosiologi sastra
 
Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...
Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...
Yoseph Yapi Taum - Pengantar teori sastera _ ekspresivisme, strukturalisme, p...
 
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAANKONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN
 
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra IndonesiaPeriodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 
PROSA LAMA DAN BARU
PROSA LAMA DAN BARUPROSA LAMA DAN BARU
PROSA LAMA DAN BARU
 
Ilmu budaya dasar
Ilmu budaya dasarIlmu budaya dasar
Ilmu budaya dasar
 
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraanKonsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam kesusastraan
 
Teori mimetik 1
Teori mimetik 1Teori mimetik 1
Teori mimetik 1
 
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahMari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
 
Pengertian sastra dan jenis jenis sastra
Pengertian sastra dan jenis jenis sastraPengertian sastra dan jenis jenis sastra
Pengertian sastra dan jenis jenis sastra
 
Kul sosas 2, sastra dan mayarakat
Kul sosas 2, sastra dan mayarakatKul sosas 2, sastra dan mayarakat
Kul sosas 2, sastra dan mayarakat
 
Kajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta newKajian maut dan cinta new
Kajian maut dan cinta new
 
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam KesusastraanKonsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan
Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan
 
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
 
Periodisasi sejarah sastra indonesia
Periodisasi sejarah sastra indonesiaPeriodisasi sejarah sastra indonesia
Periodisasi sejarah sastra indonesia
 
Periodisasi sastra indonesia
Periodisasi sastra indonesiaPeriodisasi sastra indonesia
Periodisasi sastra indonesia
 
3. نظرية التعبير
3. نظرية التعبير3. نظرية التعبير
3. نظرية التعبير
 
Makalah ekspresionisme
Makalah ekspresionismeMakalah ekspresionisme
Makalah ekspresionisme
 

ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA . KELOMPOK.6.docx

  • 1. ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA Dosen Pengampu : NonitaYasmalija,S,Pd.,S.Psi,.M.M Oleh : kelompok VI Diah Lili Handayani : 22317001010 Sri Aulia : 22317001008 Masitah : 22317001031 Nur Laila Selian : 22317001029 Rahma Mayani : 22317001016 M.Sayidul Kiram : 22317001009 Manja : 22317001013 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN USMAN SAFRI (STKIP-US) KUTACANE 2023/2024
  • 2. ALIRAN DAN PENDEKATAN SASTRA A. ALIRAN-ALIRAN SASTRA Aliran-aliran dalam kesusastraan memiliki kesamaan dengan aliran dalam kesenian yang lain, misalnya dalam seni lukis, seni drama, bahkan dalam dunia filsafat dan kehidupan sosial. Aliran dalam kesusastraan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan pengarang dan penyair, serta biasanya terekspresikan dalam karya-karya mereka. Artinya, kita memasukkan seorang sastrawan/sastrawati ke dalam aliran tertentu, hendaknya berdasarkan buah cipta mereka. Dengan demikian, seorang pengarang bisa dimasukkan ke dalam beberapa aliran, karena corak karyanya yang bermacam-macam. Sementara itu, sebuah novel, cerpen, puisi atau teks drama bisa dijadikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa seorang pengarang menganut beberapa aliran. Ambillah contoh “Nyanyi Sunyi” karya Amir Hamzah, “Ziarah”, “Merahnya Merah”, dan “Kering” karya Iwan Simatupang, “Gadlob” dan “Adam Makrifat” karya Danarto, “Harimau! Harimau!”, “Jalan Tak Ada Ujung” dan “Maut dan Cinta” karya Muchtar Lubis. Antologi puisi “Nyanyi Sunyi” bisa digunakan contoh untuk romantisme, mistisme, atau religiusme, tiga novel Iwan yang tadi telah disebut untuk absurdisme dan eksistensialisme, karya-karya Danarto untuk mistisisme, simbolisme dan absurdisme, karya-karya Muchtar Lubis untuk idealisme, humanisme, psikolonialisme. Aoh. K.Hadimadja dalam bukunya “Aliran-aliran Klasik Romantik, dan Realisme dalam Kesusastraan” mengatakan bahwa “aliran itu tidak lain daripada keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama. Adakalanya para penganut aliran yang sama tidak sepaham benar-benar, akan tetapi pada dasarnya mereka tidak bertentangan, dan ciri-cirinya pengarang membawa pembawaan dan kepribadian yang khas atau ada seorang karena ciri-ciri yang umum itu, mereka dapat digolongkan ke dalam aliran tertentu”. Sementara itu H.B. Jassin dalam bukunya “Tifa Penyair dan Daerahnya” menyatakan bahwa aliran dalam sastra dapat “mengenai cara pengucapan daripada isi yang diucapkan,“ tetapi “ada pula aliran-aliran yang menyatakan isi“. Dari penjelasan di atas dapatlah kita pahami bahwa aliran dalam sastra sebenarnya berpangkal pada kesadaran sastrawan untuk menentang paham atau aliran sebelumnya. Perlawanan menentang paham atau aliran lama itu diwujudkan dalam bentuk ciptaan yang menunjukkan ciri lain daripada yang ada sebelumnya. Ingatkah Anda pada kumpulan sanjak “Tiga Menguak Takdir”? Kumpulan sajak itu sebenarnya merupakan bukti perlawanan kelompok penyair muda (Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani) terhadap Sutan Takdir Alisjahbana. Perlawanan itu bertolak dari konsepsi kesenian yang berbeda antara dua kelompok sastrawan itu (Pujangga Baru versus Angkatan ‘45).
  • 3. Di Indonesia sebenarnya adanya aliran yang secara sadar diperjuangkan untuk menentang paham atau aliran sebelumnya belum banyak terjadi. Hal ini salah satu di antaranya disebabkan oleh usia sejarah sastra Indonesia yang belum begitu lama. Salah satu indikator (petunjuk) adanya golongan yang menentang kelompok sastrawan sebelumnya adalah : adanya suatu manifestasi yang menyatakan pendirian kelompok itu dalam memperjuangkan gagasan-gagasan barunya. Angkatan ‘45 misalnya dengan manifestasi yang tercantum pada “Surat Kepercayaan Gelanggang “ menyatakan pendirian kelompok tersebut, yang berbeda pendirian dari kelompok sastrawan Pujangga Baru, sementara itu “Manifes Kebudayaan “ (17 agustus 1963) lebih banyak merupakan sikap politik dari sastrawan kelompok bebas (Manifes) terhadap sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), daripada pernyataan melawan kelompok sastrawan generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan sastrawan kelompok Manifes dan kelompok Lekra hidup sezaman. Berikut ini akan kita pelajari beberapa aliran dalam sastra. Hendaknya dipahami bahwa aliran-aliran yang disebutkan di sini tidak menjamin bahwa sastrawannya secara sadar ingin memperjuangkan gagasan-gagasan aliran, dengan konsep atau pengertian aliran. Dapat kita indentifikasi karya sastra tertentu termasuk ke dalam kategori aliran sastra tertentu. Hendaknya kita sadari bahwa masalah aliran ini bukan merupakan monopoli bidang sastra. Aliran-aliran itu dapat berlaku dalam bidang seni lainnya, terutama pada seni lukis. Demikianlah jika kita berbicara tentang aliran realisme, maka aliran itu tidak hanya khusus berlaku pada sastra, tetapi juga berlaku pada seni lukis. Penjelasan berikut ini tidak berdasarkan pada urutan sejarah kelahirannya. 1. REALISME Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, true-story, album kisah nyata, roman sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa yang memikat. Novel “Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu Ibu adalah Rinduku” karya Motinggo Boesye, “Bilik-bilik Muhammad” karya A.R.Baswedan, skenario “Arie Anggara“ karya Arswendo Atmowiloto, novel biografis “Pangeran dari Seberang“ karya N.H.Dini tentang Amir Hamzah, novel “Dari Hari ke Hari“ Mahbub Junaidi, “Guruku Orang Pesantren“ Syaifuddin Zuhri merupakan sekadar contoh sastra realis ini. Ia berusaha berjujur terhadap kenyataan, tetapi hal-hal yang peka, diungkapkan dengan cukup etis dan sublim.
  • 4. M.H. Abrams dalam kamusnya “ Glossary of Literary Terms “ menyebutkan bahwa realisme digunakan dalam 2 pengertian : a. Untuk mengidentifikasi gerakan sastra pada abad XIX, khususnya prosa fiksi. b. Menunjukkan cara penggambaran kehidupan di dalam sastra. Fiksi realistik sering dioposisikan dengan fiksi romantik. Di dalam romantik disajikan kehidupan yang lebih indah, lebih berani mengambil resiko, dan lebih heroik, dari pada yang nyata. 2. SURREALISME Aliran yang terlalu mengagungkan kebebasan kreatif dan berimajinasi sehingga hasil yang dicapai menjadi antilogika dan antirealitas. Bisa jadi apa yang terungkap itu pada mulanya berangkat dari kenyataan sekitar, tetapi karena desain imajinasinya itu sudah demikian sarat, kuat dan jauh, ia terasa ekstrim dan radikal. Ada semacam keadaan trans (hanyut/kesurupan) di sana, sesuatu yang tidak kita temukan dalam realisme maupun naturalisme. Surrealisme lebih dekat terhadap absurdisme daripada terhadap realisme. Dari sisi tertentu sanjak-sanjak Rendra “Khotbah“, “Nyanyian Angsa“, “ Mencari Bapa“, cerpen- cerpen Danarto “Godlob“, “Kecubung Pengasihan“, “Rintrik“, “Sanu, Infinita Kembar“ Motenggo Boesye bisa ditunjuk sebagai contoh surrealisme. Surrealisme merupakan gerakan di kalangan pengarang dan pelukis di Perancis, yang dimulai sekitar tahun 1920 an. Gerakan ini menghendaki adanya kebebasan dalam kreativitas artistik, mengungkapkan bawah sadar dengan imaji-imaji tanpa adanya urutan atau koherensi (seperti di dalam mimpi), membebaskan diri dari alasan yang logis, standar moralitas, konvensi dan norma-norma sosial dan artistik. Surrealisme dapat diartikan sebagai melebihi realisme, karena surrealisme juga mengagung-agungkan asosiasi yang bebas serta penulisan secara otomatis, fantasi yang tak terkendali serta asosiasi yang bebas mewakili suatu dunia yang lebih realistis daripada kenyataan yang riil. Surrealisme mencoba mengeksploatasi materi-materi di dalam mimpi, keadaan jiwa antara tidur dan jaga, dan menyerahkan penafsirannya kepada pembaca. H.B. Jassin menyatakan bahwa “Surrealisme menghendaki keseluruhan dan kesewaktuan. Sebab itu hasil kesusastraan surrealisme jadi sukar untuk menurutkannya, logika hilang, alam benda dan alam pikiran dan angan-angan bercampur baur dalam keseluruhan dan kesewaktuan. 3. ABSURDISME Aliran dalam kesusastraan yang menonjolkan hal-hal yang di luar jalur logika, satu kehidupan dan bentang peristiwa imajinatif, dari alam bawah sadar, suasan trans. Pengarang aliran ini punya kesan mengada-ada, sengaja menyimpang dari konvensi kehidupan dan pola penulisan, tetapi pada super starnya, nampak kuat kebaruan dan
  • 5. kesegaran kreativitas mereka, bahkan kegeniusan mereka. Umumnya, mereka ini pernah pula sukses sebagai pengarang konvensional, sebagaimana para pelukis abstrak yang sempat meroket dan malang melintang di langit dunia mereka, bukan sunyi dari penciptaan lukisan-lukisan naturalis. Dramawan kontemporer/absurd yang tersohor, misalnya Putu Wijaya, N. Riantiarno dan Arifin C. Noer, juga punya seabrek karya konvensional. Di langit sastra Indonesia, absurdisme sudah memancar dan mendarah daging pada karya-karya Iwan Simatupang di dasawarsa 60 an, baik dalam dramanya “Petang di Sebuah Taman“, dan “RT 0 RW 0“, cerpen-cerpennya yang terakit dalam “Tegak Lurus dengan Langit“, maupun dalam empat novel monumentalnya : “Kering“, “Merahnya Merah“, “Ziarah“, “Koooong“. Ternyata, kehidupan yang serba mungkin dan dirias renda-renda absurditas ini banyak mengilhami lahirnya sastra absurd, sebagai bisa diciptakan oleh penyair Sutarji Calzoum Bachri dalam “O Amuk Kapak“, “Yudhistira Ardi Noegraha dalam“ Omong Kosong“, dan “Sajak Sikat Gigi“, serta oleh Ibrahim Sattah dan Sides Sudiarto Ds. dalam sanjak-sanjak mereka, oleh pengarang Budi Darma dalam kumcerpen “Orang-orang Bloomington”, oleh Putu Wijaya dalam karya-karya sastranya “Telegram“, “Stasiun“, “Lho“, “Keok“, “Sobat“, “Gres“, di samping drama-dramanya “Anu“, “Dag Dig Dug“, “Aduh“, “Zat“, oleh Arifin C. Noer dalam “Kapai-kapai“, “Mega-mega“, “Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi“, oleh N. Riantarno dalam “Bom Waktu“, “Opera Kecoak“ dan naskah saduran “Perempuan-perempuan Parlemen“. 4. PSIKOLOGISME Aliran yang mengutamakan pembahasan masalah kejiwaan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam novel, suasana jiwa dan konflik batin para pelaku disoroti dengan tajam, detail dan mendalam. “Belenggu” Armijn Pane, “Atheis“ Achdiat Kartamiharja, “Royan Revolusi“ dan “Kemelut hidup“ Ramadhan K.H., “Damai dalam Badai“ dan “Cintaku Selalu Padamu“ Motenggo Boesye, “Bila Malam Bertambah Malam“ Putu Wijaya, novel-novel N.H. Dini, Titie Said, La Rose, Ike Supomo, Marga T., Ashadi Siregar, Ahmad Tohari, bisa disebut sebagai novel psikologi. 5. ALIRAN ROMANTIK Sastra romantik ditandai dengan ciri-ciri : keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada sifat-sifat yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan- tangan manusia. Istilah ini juga mencakup ciri-ciri adanya : keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang terkadang melahirkan manusia-manusia besar. Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan dengan sangat dikuasai oleh
  • 6. perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga tokoh-tokoh yang tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka itu kemudian ada yang lari kegunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakannya jauh dari kekerasan hidup. Aoh K. Hadimadja menyatakan bahwa salah satu ciri alam romantik tokoh- tokohnya suka membunuh diri, karena terlalu kuat dihinggapi perasaan. Romantisme, aliran yang mementingkan curahan perasaan yang indah dan menggetarkan yang diungkapkan dalam estetika diksi dan gaya bahasa yang mendayu- dayu membuai sukma. Contoh : puisi-puisi Amir Hamzah “Buah Rindu“, “Karena Kasihmu“, “Memuji Dikau“, “Mengawan“, “Do’a“, karya-karya Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk“, “Di Bawah Lindungan Ka’bah“, “Di dalam Lembah Kehidupan“, roman “Upacara“ dan kumpulan sanjak “Nyanyian Ibadah“ nya Korrie Layun Rampan, kumpulan sajak “Romance Perjalanan“ Kirjomulyo, “Buku Puisi“ nya Hartoyo Andangjaya. 6. EKSISTENSIALISME Liaw Yock Fang dalam bukunya “Ikhtisar Kritik Sastra” menyatakan bahwa “Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang kemudian menjadi landasan suatu aliran sastra.” Ajaran yang pokok dari eksistensialisme ialah bahwa manusia adalah apa yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau membiarkan dirinya dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri. Karena itu, karya sastra eksistensialisme sangat mementingkan perbuatan –termasuk perbuatan kemauan- sebagai unsur-unsur yang menentukan. Unsur-unsur dasar dari manusia seperti irrasionalitas, ketidak sadaran dan kebawahsadaran juga dipentingkan. Kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus mengalir sedangkan kehidupan manusia adalah rentetan saat-saat yang berurutan”. Fuad Hasan dalam bukunya “Berkenalan dengan Eksistensialisme” mencoba memprkenalkan suatu alam pikiran yang dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme, dengan membutiri pendapat filsuf eksistensialis melalui hasil-hasil karya sastranya. Beberapa pikiran tokoh eksistensialisme itu dikutipkan berikut ini : a. Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap sempurna (Kiergaard). b. Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan (Kiergaard). c. Dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan, apa yang baik, harus kuat ; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah (Niezseche). d. Dalam pergaulan antara manusia maka yang harus ditumbuhkan dalam manusia- manusia agung yaitu manusia yang oleh kekuatan tak bisa mengatasi kumpulan manusia-manusia dalam massa (Nietzseche).
  • 7. 7. FILSAFATISME Aliran yang mengedapankan hadirnya nilai-nilai filsafati, suatu pemikiran mendalam makna hidup, yang biasanya berangkat dari penghayatan personal. Para pengarang dan penyair yang karya-karyanya kental berkadar filsafat disebut pujangga. Tidak sedikit di antara mereka sekaligus filsuf. Dari R.A. Kartini, R. Ng. Ronggowarsito, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Frans Kafka, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, Putu Wijaya, Emha Ainun Najib, banyak terlahir sastra filosofis. Sastra filosofis ada yang berkadar humanis, adapula yang religius. Di sisi lain kita temukan spiritualisme, aliran yang mementingkan nilai-nilai ruhani, kehidupan batiniah, yang menuju kebajikan dan kesempurnaan. Spiritualisme berbeda dengan psikologisme, karena spiritualisme sudah mengacu ke moral luhur, sedang psikologisme membahas kehidupan dari segi jiwanya, lepas dari masalah atau tanpa keharusan penyampaian- penyampaian nilai-nilai dan akhlak mulia. Sanjak-sanjak ruhani bisa merupakan bagian dari filsafatisme, di samping ia sendiri merupakan perwujudan spiritualisme. Filsafatisme bisa berangkat dari pikiran, bisa pula diilhami wahyu atau mewujudkan renungan hati nurani. Contoh-contoh di bawah ini bisa dimasukkan ke dalam filsafatisme, tetapi juga benar untuk dimasukkan ke dalam spritualisme. 8. EKSPRESIONISME DAN IMPRESIONISME M.H. Abrams menyatakan bahwa ekspresionisme adalah gerakan dalam sastra dan seni di Jerman yang mencapai puncaknya pada periode 1910 – 1952. Para pelopornya seniman dan pengarang yang dengan bermacam cara menyimpang dari penggambaran yang realistik tentang kehidupan dan dunia. Mereka mengekspresikan pandangan seni mereka atau emosi secara kuat. Ekspresionisme tidak pernah merupakan suatu gerakan yang dirancang secara baik. Dapat dikatakan bahwa ciri utama ekspresionisme adalah pemberontakan melawan tradisi realisme dalam bidang sastra dan seni, baik dalam hal pokok persoalannya (subyect matter) maupun gayanya (style). A.F. Scott dalam kamusnya Current Literary Terms A Concis Dictionary menyatakan bahwa impresionisme merupakan cara menulis karangan yang tidak memperlakukan realitas secara obyektif, tetapi menyajikan kesan-kesan (impressions) dari pengarangnya. Istilah impressionisme ini berasal dari dunia seni lukis pad paruh pertama abad ke 19 di Perancis. Sementara itu H.B. Jassin menyebutkan bahwa “suatu lukisan yang impresiomistis kelihatannya seperti belum selesai. Baru hanya skets. Segala sesuatu tidak dilukiskan pikiran-pikiran yang sudah masak dipikirkannya, dia hanya mau melukiskan kesannya sepintas lalu, kesan pertama yang segar“.
  • 8. 9. MELANKHOLISME Aliran dengan karya-karya penuh warna muram, sendu, kehidupan yang getir dan tragis, sarat ratapan dan rintihan. Kisah cinta klasik, drama-drama dalam film India, cerita- cerita dengan tema kemiskinan, kemalangan hidup dan penderitaan termasuk melankholisme. “Di dalam Lembah Kehidupan“, “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijk“, “Di bawah Lindungan Ka’bah“ karya Hamka, “Buku Harian Seorang Penganggur“ dan cerpen-cerpen serta drama-drama Muhammad Ali, puisi-puisi Amir Hamzah dalam “Buah Rindu“, kebanyakan sanjak-sanjak Leon Agusta, merupakan sastra melankholik. Lagu- lagu Rinto Harahap, Charles Hutagalung, Benny Panjaitan, A. Riyanto bisa dimasukkan ke sini. 10. IRONISME Aliran yang mementingkan nada mengejek, kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau perilaku tokoh tertentu. “Melaut Benciku“ Amal Hamzah, “Kisah Sebuah Celana Pendek“ Idrus, beberapa cerpen Hamsad Rangkuti dan “Sumpah WTS“ dan “Catatan Harian Seorang Koruptor“ F. Rahardi merupakan contoh ironisme. 11. NIHILISME Aliran yang mengekspos peristiwa atau pemikiran-pemikiran, bisa saja sampai tingkat filsafat, tanpa landasan moral kemanusiaan, apalagi Keilahian. Cerita-cerita yang ateistik, komunistik, sekuleristik, chauvinistik bisa dimasukkan ke dalam fiksi nihilis. Ada memang, cerita yang menghadirkan paham-paham penafian Tuhan, pemasabodohan agama dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, misalnya “ Atheis “ nya Achdiat Kartamihardja, tetapi karena tenden pengarang tidak ke sana sebagai justru terlihat dalam sikap Achdiat yang mengkritik tokoh-tokoh ceritanya itu, maka karangan tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam nihilisme. 12. NATURALISME Aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Pornografi, karya mereka jatuh menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya, hal ini benar-benar mereka sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan naturalisme ini sebagai gaya mereka. Kumpulan sanjak F. Rahardi, “Catatan Harian Sang Koruptor“ dan “Sumpah WTS“, beberapa sanjak Rendra “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta“,
  • 9. “Rick dari Corona“, “Sajak Gadis dan Majikan“, Sajak SLA bisa ditunjuk sebagai contoh pengibar aliran ini. Dari khazanah lama “Surabaya“ nya Idrus bisa digunakan sebagai contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan Rendra. 13. DETERMINISME Istilah determinisme berasal dari doktrin filsafat yang menyatakan bahwa setiap kejadian atau peristiwa itu ada penyebabnya. Dalam sastra, determinisme mencoba menggambarkan tokoh-tokoh cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak sanggup dan tidak mampu lagi ke luar dari takdir yang telah jatuh pada dirinya. Takdir yang dimaksudkan di sini bukanlah takdir dari Tuhan sesuai dengan konsepsi yang berlaku pada agama langit, melainkan takdir yang lebih tepat dikatakan sebagai akibat yang tak dapat dielakkan karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, berupa faktor-faktor biologis, lingkungan dan sosial. H.B. Jassin menyatakan bahwa nasib itu “ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar, kemiskinan, penyakit, darah keturunan, dalam hubungan sebab akibat. Menurut ilmu keturunan, ayah atau ibu yang jahat akan menurunkan sifat-sifat jahatnya pada anaknya atau cucu-cucunya, biarpun keturunannya itu bermaksud baik, mau memperbaiki dirinya. Apabila si orang tua jahat, maka itu bukan pula karena sudah ditakdirkan Tuhan demikian, tetapi karena keadaan masyarakat yang serba bobrok, orang hidup dalam kemiskinan yang sangat, pembagian harta kekayaan antara manusia tidak adil“. (contoh novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” oleh Hamka). Determinisme berpendapat bahwa tragedi hidup manusia sudah tercetak dalam kemutlakan, merupakan paksaan nasib yang tak bisa ditembus oleh segenap daya dan ikhtiar sang pelaku. Orang sadar dengan kodratnya, sebagai wong cilik, sebagai hamba sahaya, sebagai sang kurban, sehingga tidak akan banyak menuntut. Ia legawa-legalila nrima ing pandum menerima suratan nasib, seperti yang terjadi pada Maria Magdalena Pariyem dalam liris prosanya Linus Suryadi Ag. . Atau, seperti skenario semula, memang tragis penuh tangis. Determinisme bisa dijumpai dalam “Trilogi Oedipus“ nya Sophokles, “Tragedi Sangkuriang “, “Pengakuan Pariyem“ nya Linus Suryadi AG, novel “Kuterima Penderitaan Ini, Ibu“ Motenggo Boesye, tokoh-tokoh cerita Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Arifin C yang papa. (baca “Merahnya Merah” dan “Kering” karya Iwan, “Pol” dan “Stasiun” karya Putu, “Mega-mega”, “Kapai-kapai”, “Umang-umang” klarya Arifin). 14. SIMBOLISME Pengungkapan simbolis tidak secara harfiah, melainkan dengan simbol-simbol. Sebuah simbol berarti sesuatu yang bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai simbol dari kecantikan.
  • 10. Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan semata. Sastra simbolik banyak menggunakan simbol atau lambang dalam mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan misterius. Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya secara samar-samar ditangkap maknanya. Penyair simbolik bahkan menyukai yang samar-samar itu, oleh karena bagi mereka puisi harus merupakan teka-teki bagi orang biasa, tetapi sebenarnya merupakan musik yang indah bagi yang dapat menghayati dan menikmatinya. Puisi simbolik mencapai keindahannya dengan mengungkapkan objek secara tidak langsung, secara sugestif, dan dengan memperhitungkan efek musiknya yang mengandung makna. Simbolisme, banyak menggunakan kata-kata kias, lambang-lambang, kata-kata yang bermakna simbolik untuk melukiskan sesuatu. Sesungguhnya, semua fabel (misalnya “Serial Kancil”, “Hikayat Kalilah dan Daminah”) adalah contoh tepat simbolisme ini. “Dengar Keluhan Pohon Mangga “, karya Maria Amin, “Musyawarah Burung“ karya Fariduddin Attar, “Kucing“ sanjak Sutardji Q.B., “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa“ karya Y.B. Mangunwijaya, “Ular dan Kabut“ sanjak Ayip Rosidi, “Sebuah Lok Hitam“ puisi Hartoyo Andangjaya, hanya sekadar contoh sastra simbolik ini. 15. IDEALISME Aliran dalam kesusastraan yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi rajin, dan seterusnya. Contoh: a. “HabisGelap Terbitlah Terang“ karya R.A. Kartini; b. “Layar Terkembang“ karya Sutan Takdir Alisjahbana c. “Kemarau“ karya A.A. Navis, cerpen “Kadis“ karya Muhammad Diponegoro. d. Cerpen “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini 16. HEROISME Aliran yang mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta semangat membela tanah air. “Bende Mataram“ karya Muhammad Yamin, “Diponegoro“ karya Chairil Anwar, “Monginsidi“ karya Subagio Sastrowadojo, “Tanah Tumpah Darah“ karya Sitor Situmorang, “Stasiun Tugu“ karya
  • 11. Taufik Ismail, “Ode bagi Proklamator“ karya Leon Agusta, dan tentu saja lagu kebangsaan “Indonesia Raya“ dan lagu-lagu nasional “Ibu Kita Kartini“, “Satu Nusa Bangsa“, “Padamu Negeri“, “Rayuan Pulau Kelapa“, juga lagu-lagu “Sepasang Mata Bola“, “Melati Tapal Batas“, “Pantang Mundur“, merupakan contoh-contoh heroisme ini. “Percikan Revolusi“ dan “Cerita-cerita dari Blora“ karya Pramudya serta cerpen-cerpen revolusi Trisno Yuwono “Di Medan Perang“ dan “Laki-laki dan Mesiu“ bisa dimasukkan ke sini. Heroisme pun kita temukan pada lagu-lagu tertentu ciptaan Leo Kristi dan Gombloh almarhum. 17. RELIGIUSISME Religiusme, aliran yang mementingkan nilai-nilai keagamaan atau renungan tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya. Sastra religius dimiliki oleh setiap agama, juga oleh sastrawan yang punya penghayatan personal terhadap Tuhan. “Gitanyali“ karya Rabindranath Tagore, “Rindu Dendam“ karya Y.E. Tatengkeng, “Kata Hati“ karya Samadi, beberapa sanjak Rendra dalam “Sajak-sajak Sepatu Tua“, “Balai-balai“, “Sajadah Panjang“, “Aisyah Adinda Kita“ karya Taufik Ismail, “99 untuk Tuhanku“ karya Emha Ainun Najib, “Nyanyian Ibadah” karya Korrie Layun Rampan, cerpen “Di dalam Kereta Api Perjalanan Hidup“ karya Riyono Pratikto, novel “Rindu Ibu adalah Rinduku“ dan “Perempuan-perempuan Impian“ karya Motenggo Boesye, “Wirid“ karya Ikranegara, novel “Ibuku Sayang“ karya Teguh Esha adalah sekadar contoh sastra religius yang bisa dijumpai. 18. TRANSENDENTALISME Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai transendental, renungan-renungan hidup yang mendalam, yang metafisis (di atas hal-hal yang fisik/nampak). Kalau sastra sufi merupakan katarsisme, maka sastra aliran ini kebanyakan bersifat kontemplatif. Sanjak- sanjak Afrizal Malna dalam “Abad yang Berlari”, “Isyarat“ dan “Suluk Awang-uwung“ karya Kuntowijoyo, cerpen-cerpen Danarto dan Hamid Jabbar, serta Ahmad Tohari, sanjak-sanjak Umbu Langgu Peranggi dan Goenawan Mohamad, juga “Sejuta Milyar Satu“ karya Eka Budianta, merupakan contoh Transendentalisme. 19. KOMEDIALISME Penuh suasana ceria, kocak, menganggap hidup penuh optimisme dan rasa humor, berbeda dengan determinisme dan melankolisme yang pessimistis. Tetapi ia tidak identik dengan lawak. Gaya bahasa Mahbub Junaidi dan Slamet Suseno, bahkan Y.B. Mangunwijaya dalam “Puntung-puntung Rara Mendut“ mengacu ke sini. Drama “Tuan
  • 12. Kondektur“, “Pinangan“, “Orang-orang Kasar“ karya Anton Chekov, “Kejarlah Daku kau Kutangkap“ karya Asrul Sani, novel “Dari Hari ke Hari“ karya Mahbub Junaidi, “Arjuna Mencari Cinta“ dan “Yudhistira Duda“ oleh Yudhistira Ardi Noegraha merupakan sebagian contoh komedialisme. https://danririsbastind.wordpress.com/2011/04/13/aliran-aliran-dalam-kesusastraan/ B. PENDEKATAN SASTRA Dalam mengkaji sebuah karya sastra, kita tidak dapat melepaskan diri dari cara pandang yang bersifat parsial, maka ketika mengkaji karya sastra, seringkali seseorang akan memfokuskan perhatiaanya hanya kepada aspek-aspke tertentu dari karya sastra. Aspek-aspek tertentu itu misalnya berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas, psikologi, masyarakat, beserta dengan aspek-aspeknya yang lebih rinci lagi, dan sebagainya. Hal itu sendiri, memang bersifat multidimensional. Karena hal-hal di atas, maka muncul berbagai macam pendekatan kajian sastra. Berikut pendekatan dalam kajian sastra: 1. Pendekatan Mimetik Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaa karya sastra yang akan dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak bercerita tentang "kawin" paksa. Maka dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun tersebut yang berupa latar belakang sumber penciptaannya. 2. Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran atau perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra, dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan, seperti kapan dan di mana dia dilahirkan, pendidikan sastrawan, agama, latar belakang sosial budayannya, juga pandanga kelompok sosialnya.
  • 13. 3. Pendekatan Pragmatik Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 1994). Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung dalam karya sastra makan semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi pembacannya. 4. Pendekatan Objektif Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca. Pendekatan ini juga disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. 5. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural ini memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1984). Dalam hal ini setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur yang lain. 6. Pendekatan Semiotik Dalam kajian sastra, pendekatan semiotik memandang sebuah karya sastra sebagai sebuah sistem tanda.Secara sistematik, semiotik mempelajari tanda-tanda dan lambang- lambang, sistem lambang, dan proses-proses perlambangan. Pendekatan ini memandang fenomena sosial dan budaya sebagai suatu sistem tanda. Tanda tersebut hadir juga dalam kehidupan sehari misal: bendera putih di depan gang, maka orang akan berpikir ada salah satu keluarga yang sedang ada yang berduka. contoh lain adalah mendung: orang akan berpikir hujan akan segera turun sebentar lagi. Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan tentang latarbelakang sosial- budaya karya sastra tersebut dibuat. Tanda, dalam pendekatan ini terdiri dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu).
  • 14. 7. Pendekatan Sosiologi Sastra Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik. Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatannya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu masyarakat (Sapardi Djoko Damono 1979). 8. Pendekatan Resepsi Sastra Resepsi berarti tanggapan. Dari pengertian tersebut dapat kita pahami makna resepsi sastra adalah tanggapan dari pembaca terhadap sebuah karya sastra. Pendekatan ini mencoba memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembacanya. 9. Pendekatan Psikologi Sastra Wellek & Waren (1990) mengemukakan empat kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebgai tipe atau pribadi. Kedua studi proses kreatif. Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Pengertian keempat menurut Wellek & Waren (1990) terasa lebih dekat pada sosiologi pembaca. 10. Pendekatan Moral Di samping karya sastra dapat dibahas dan dikritik berdasrkan sejumlah pendelatan yang telah diuraikan sebelumnnya, karya sastra juga dapat dibahasa dan dikritik dengan pendekatan moral. Sejauh manakah sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas kepada pembacanya. Yang dimaksudkan dengan moral adalah suatu norma etika, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnnya. Moral berkaitan erat dengan baik dan buruk. Pendekatan ini masuk dalam pendekatan pragmatic 11. Pendekatan Feminisme Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis. Pendekatan feminisme ialah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandan eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra (Djananegara, 2000:15). http://www.rumpunsastra.com/2014/09/pendekatan-dalam-kajian-sastra.html