1. ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK BENCANA GEMPA BUMI
TERINTEGRASI DI KABUPATEN BELU
Oleh :
Marshalia Netty Tae
Pendahuluan
Tinjauan Pustaka
Sistem informasi bencana kini sangat terbantu oleh teknologi big data, yakni
kumpulan data berukuran sangat besar yang akan dianalisis atau diolah lagi untuk keperluan
tertentu seperti membuat keputusan, prediksi dan lain sebagainya. Big data juga sangat
membantu inisiatif untuk menyediakan open data dan mendukung mitigasi serta penanganan
bencana alam. Open data telah menjadi salah satu alat yang sangat bermanfaat dalam
membantu para relawan tanggap darurat. Dengan memberikan informasi geospasial yang
terkini dan akurat, program tanggap darurat dan rekonstruksi pasca bencana bisa dilakukan
dengan baik.. Platform data geospasial semacam open street map, yaitu proyek pemetaan
yang bersifat open source memungkinkan untuk memperkirakan tingkat kerusakan dengan
cepat dan memonitor pelaksanaan penanggulangan bencana. Kesemrawutan penanganan
gempa bumi yang pernah terjadi menunjukkan pentingnya sistm informasi dan ketersediaan
peta bencaana yang berbasis system informasi geografis (SIG) serta terintegrasi dengan
system e-government pemerintah daerah. Terhambatnya arus informasi di daerah bencana
bisa menyebabkan data korban menjadi simpang siur, informasi kebutuhan pengungsi
menjadi tidak jelas, tindakan medis terhadap korban terlambat dan penyaluran bantuan
menjadi kalang kabut. Ironisnya, hingga saat ini inisiatif system informasi bencana
pemerintah daerah sangat terbatas dan ketinggalan zaman. Sistem informasi bencana alam
harus terpadu dengan e-government, yang dibangun pemerintah daerah dan memenuhi
kebutuhan yang digariskan oleh international strategy for disaster reduction (ISDR). Dengan
empat tahapan, yakni tahap tanggap darurat, tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, tahap
preventif dan mitigasi dan tahap kesiapsiagaan. Kepala daerah sebagai penanggungjawab
2. penanganan bencana mestinya juga memiliki system pendukung pengambilan keputusan
yang biasa disebut decision support system (DSS) bencana aalam. Sistem itu juga sangat
membantu kementerian kesehatan. Modul aplikasi system informasi bencana (EMCIS)
merupakan solusi tepat. Dukungan system informasi pascabencana alam sangat diperlukan
untuk memperlancar proses identifikasi korban, juga kerugian materi dan infrastruktur.
Dukungan system inipun dapat menjadi suatu pertimbangan pengambilan keptusan guna
langkah merehabilitasi pasca bencana. Untuk mewujudkan system informasi bencana,
diperlukan sinkronisasi dengan sistem informasi administrasi kependudkan (SIAK) dan data
permukiman, seperti jumlah rumah, data infrastruktur, dan kawasan di daerah tersebut.
Nantinya, dapat dibuat system informasi geografis informasi sebelum dan sesudah bencana
dengan melakukan ovelay, sehingga dengan tepat dan cepat jumlah kerugian jiwa, materi,
dan sarana prasarana di daerah bencana dapat ditentukan. Untuk mewujudkan system ini
diperlukan lima langkah. Pertama, survey untuk identifikasi kebutuhan system, yang
mencakup, data atribut, ataupun data spasial, laporan atau informasi yang harus dihasilkan,
aliran data dan laporan, prosedur komunikasi antar daerah dan pusat dan aspek penting
lainnya. Kedua, desain system yang mencakup database, data masukan, laporan atau
informasi keluaran sistem, prosedur pemrosesan data, dan prosedut komunikasi. Ketiga,
pembuatan program aplikasi meliputi modul informasi kependudukan per wilayah, informasi
kepemilikan tanah dan rumah, informasi sarana dan prasarana. Keempat, instalasi system
yang mencakup hard ware, software aplikasi, internet. Kelima kegiatan pelatihan untuk
pengguna atau operator admin. Format informasi yang dihasilkan bisa berbentuk data
geografis, yang dapat menginformasikan keadaan bencana dengan cepat. Data geografis
merupakan data unit atau area yang tersebar secara geografis yang terbagi menjadi dua
bagian. Yaitu data spasial (data lokasi, posisis, bentuk) dan data tekstual (data deskripsi
teknis, historis, administrasi dan lainnya). Basis data yang diperluakn untuk pengembagan
system informasi bencana alam meliputi data citra satelit per tahun, peta kawasan,
infrastruktur, land use, data kemiringan, utilitas, tekstual, kependudukan, kepemilikan tanah
dan rumah, dan data infrastruktur di daerah. Penegembangan system informasi bencana alam
yang cukup krusial adalah modul aplikasi emergency medical care information system
(EMCIS). Setelah terjadi bencana, bantuan medis merupakan hal yang sangat penting.
Mengingat banyaknya korban yang akhirnya meninggal gara-gara terlambat ditolong.
Mengambil pengalaman kejadian gempa besar di dunia, fakta menunjukan sekitar 80 persen
dari korban meninggal dunia pada tujuh jam pertama setelah gempa terjadi. Sayanganya,
seringkali kesulitan untuk mendatangkan bantuan medis karena kerusakan infrastruktur di
3. daerah yang terkena bencana. Kalaupun bantuan medis dapat didatangkan, jumlah petugas
yang dikirim juga terbatas. Padahal, banyak korban yang terluka parah biasanya
membutuhkan perawatan lebih intensif sehingga perlu dikirm ke rumah sakit terdekat.
Dengan keterbatasan infrastruktur transportasi, tentu sulit dilakukan. Disinilah arti
pentingnya aplikasi EMCIS yang mampu melakukan fungsi telemedicine, telediagnostic serta
teleconsultation. Penerapan telemedicine, telediagnostic serta teleconsultation memungkinkan
pelayanan kesehatan korban bencana dilakukan di tempat kejadian, tanpa harus segera
dibawa ke rumah sakit. Fungsi utama aplikasi ini untuk memudahkan diagnosis, perawatan,
pengawasan dan akses terhadap tenaga ahli serta informasi pasien tanpa bergantung pada
keterbatasan jarak atau lingkungan.
Sistem informasi kebencanaan memiliki beberapa kondisi baik secara kebutuhan system
pada umumnya seperti ketersediaan infrastruktur yang memadai, kesesuaian dengan proses
bisnis perusahaan serta dapat dioperasikan dengan baik. Maka diperlukan kebutuhan khusus
yang mampu memberikan informasi yang lengkap dan jelas. Sawano mengungkapkan bahwa
sistem informasi geografis mampu untuk menangani seluruh aspek bencana membantu
kegiatan penanganan bencana, kapan, di mana, bagaimana, oleh siapa, kepada siapa, dan apa
yang telah mereka lakukan. Sistem informasi geografis mampu mencakup semua informasi
yang dibutuhkan untuk mengurangi resiko kebencanaan, baik resiko jiwa maupun resiko-
resiko finansial yang disebut pula sebagai mitigasi. Sin’ya Tsukasa menyatakan penanganan
mitigasi yang baik diperlukan informasi yang jelas dan mudah didistribusikan dan diterima
masyaratkat. Perubahan kebijakan dan legalitas dalam sebuah perusahaan menyebabkan
perubahan sistem informasi dan atau mampu menjadikan sebuah sistem informasi dapat
digantikan. Berdasarkan peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor
8 Tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan, dalam tujuannya melakukan
standarisasi data kebencanaan adalah untuk menyamakan persepsi dalam pengolahan data
kebencanaan. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 12 Tahun
2012 tentang Pedoman Pusat pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana
(PUSDALOPS-PB) dalam halaman 19 Bab IV Pengelolaan data yang diantaranya harus
memiliki informasi geografis. Dalam pengembangan sistem diperlukan sebuah pengelolaan
dan perencaan yang baik yang menghsilkan dokumen-dokumen yang baku sehingga dalam
pengembangan mampu mengikuti alur yang telah dibuat sebelumnya. Maka perlu adanya
langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu evaluasi dari sistem informasi penanganan
bencana gempa bumi di Kabupaten Belu, kemudian sejauhmana diperlukannya perancangan
4. sistem informasi geografi penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Belu. Kemudian
tahap berikutnya adalah merancang system informasi geografis penanganan bencana di
Kabuapetn Belu.
Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem informasi ysng digunakan untuk
memasukkan, mernyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisa dan menghasilkan
data yang mempunyai referensi geografis atau lazim disebut data geospatial, yang berfungsi
sebagai pendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan
lahan, sumber daya alam, lingkungan, transparansi, fasilitas kota dan pelayanan umum
lainnya. ESRI, 1990, mendifinisikan SIG sebagai suatu sistem yang terorganisir dan terdiri
atas pernagkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personil yang dirancang
secara efisien untuk memeperoleh, menyimpaan, mengupdate, memanupulasi, menganalisis,
dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.
Sistem informasi kebencanaan merupakan sebuah sistem terkomputerisasi yang
digunakan dalam penanganan kebencanaan dalam sifat mengelola dampak bencana dan atau
mengurangi dampak bencana. Maka sistem informasi kebencanaan disesuaikan pada proses
penanganan bencana terbagi menjadi :
1. Sistem informasi deteksi dini kebencanaan, sistem informasi ini berkaitan pada
kedudukan penanganan bencana pada pencegahan dan pengurangan dampak bencana.
2. Sistem informasi peringatan dini, merupakan sistem informasi pemberian informasi
kebencanaan sedini mungkin diberikan kepada semua yang berpotensi terdampak
bencana. Dalam kedudukan penanganan bencana ini, berada pada bagian pra bencana.
3. Sistem informasi penanganan bencana, dimana sistem ini mengelola semua atau sebagian
tindakan penanggulangan bencana yang terjadi, seperti inventarisasi kebencanaan,
penanganan korban, distribusi logistik dan relawan, dan lain sebagainya dalam
penanggulangan bencana.
4. Sistem informasi rekonstruksi dan rehabilitasi, dalam sistem informasi ini merupakan
pengelolaan sisa bencana yang memiliki potensi membangun dan menghilangkan potensi
buruk akibat bencana.
5. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan beberapa langkah yaitu analisis sistem lama dan
dokumentasi formal yang digunakan dalam pembangunan sistem. Kemudian menganalisis
kebutuhan sistem dan membuat dokumentasi teknis perancangan sistem utama dan aturan-
aturan baku pengembangan sistem.
Hasil Pembahasan
Penanganan Kebencanaan
Secara geografis Kabupaten Belu termasuk daerah yang tidak rawan bencana. Seperti
gempa, tsunami, banjir, kekeringan dan tanah longsor. Namun sikap antisipatif terhadap
bencana alam harus dilakukan. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban melaksanakan
perencanaan penaggulangan bencana baik pada tahap pra bencana, pada saat bencana dan
pasca bencana. Oleh karena itu penanganan bencana di Kabupaten Belu dipandang
merupakan kebutuhan berjaga-jaga.
Penanganan penanggulangan bencana pada tahap pra bencana meliputi :
1. Dalam situasi tidak terjadi bencana yang meliputi pengurangan resiko bencana,
pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko
bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan
persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
2. Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan
dini, dan mitigasi bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi :
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian dan
sumber daya
2. Penentuan status keadaan darurat bencana
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana
4. Pemenuhan kebutuhan dasar
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan
6. Pemulihan dengan prasarana dan sarana vital
6. Penyelenggaraan penanggulangan pada tahap pasca bencana meliputi :
1. Rehabilitasi yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti perbaikan lingkungan
daerah bencana, bantuan perbaikan rumah masyarakat, rekonsiliasi dan resolusi konflik,
pemulihan social, ekonomi dan budaya, pemilihan keamanan dan ketertiban, pemulihan
fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
2. Rekonstruksi, yang dilakukan melalui kegiatan-kegiata nseperti pembangunan kembali
sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat,
penerapan rancang bangun yang tepat, dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, peningkatan
fungsi pelayanan publik atau peningkatan pelayanan utma dalam masyarakat.
Dalam pelaksanaan penanggulangan bencana di wilayah Kabupaten Belu, dapat dibuat
dalam bentuk alur kegiatan teknis tertama pelaksanaan tanggap darurat adalah sebagai
berikut :
IdentifikasiKejadian
→ Pengiriman informasi ke pihak terkait
↓
Penentuan tim pelaksana tanggap
darurat
← Penentuan status bencana
↓
Koordinasi pihak terkait
→ Pelaksanaan tanggap darurat
↓
Pelaporan kegiatan tanggap darurat
← Penentuan berakhir tanggap darurat
Gambar 1. Alur Pelaksanaan Tanggap Darurat
7. Penjelasan dari alur pelaksanaan tanggap darurat pada gambar 1 adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi kejadian, adalah proses survei dan pendataan tentang kejadian/peristiwa
yang terjadi baik dalam kondisi wilayah, bentuk kerusakan dan jumlah korban.
Identifikasi ini dilakukan oleh tim reaksi cepat BPBD.
2. Pengiriman informasi ke pihak terkait, adalah proses pengiriman data informasi
identifikasi dari reaksi cepat dikirim ke bagian tanggap darurat BPBD, dan akan
dikirimkan ke pihak terkait seperti kepala BPBD, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Sosial, TNI, Polri, Dinas Kesehatan, PMI.
3. Penentuan status bencana, adalah proses yang dilakukan oleh kepala BPBD untuk
menyatakan apakah peristiwa/musibah yang terjadi dapat dinyatakan sebagai bencana
atau tidak.
4. Penentuan tim pelaksana tanggap darurat, terjadi jika penetapan status bencana sudah
dilakukan maka kepala BPBD atas perintah Bupati menyusun tim pelaksanaan
tanggap darurat, yang terdiri dari pihak-pihak seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Sosial, TNI, Polri, Dinas Kesehatan, PMI dan LSM.
5. Koordinasi pihak terkait, adalah proses penentuan kerja dan pembagian tugas kepada
semua bidang dipimpin oleh kepala pelaksana tanggap darurat.
6. Pelaksanaan tanggap darurat, adalah proses pelaksanaan yang telah dikoordinasikan
sebelumnya, semua kegiatan dicatat dan dipantau oleh tim pelaksana tanggap darurat
BPBD. Proses pelaksanaan dan petugas yang melaksanakan tanggap darurat harus
dalam sepengetahuan tim pelaksana tanggap darurast BPBD.
7. Penentuan berakhir tanggap darurat, adalah proses penghentian tanggap darurat yang
dilakukan oleh kepala BPBD sesuai rekomendasi kepala pelaksana tanggap darurat
BPBD.
8. Pelaporan kegiatan tanggap darurat, adalah proses menginformasikan segala bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh tim pelaksana tanggap darurat yang disampaikan oleh
kepala pelaksana tanggap darurat dan disetujui oleh kepala BPBD.
Ilustrasi Sistem Lama
8. Sistem informasi di BPBD terdiri dari pusat informasi lapangan, pusat data, dan pusat
informasi dan pelaporan. Pusat informasi lapangan adalah tempat atau orang yang
berwenang melaporkan kejadian-kejadian serta memberikan informasi berupa jenis
kelamin, jumlah korban, kerusakan asset, dan keperluan bantuan. Pusat informasi
lapangan ini dilakukan oleh Tim Reaksi Cepat. Proses pendatan informasi pada tahap
ini dilakukan dua kali, yaitu ketika Tim Reaksi Cepat pertama kali tiba di tempat
kejadian proses pendataan ini biasanya dilakukan dengan observasi lapangan dan
langsusng melaporkan ke BPBD dengan beberapa cara via telepon atau via SMS.
Kemudian pada sore hari Tim Reaksi Cepat harus membuat laporan kegiatan yang
berisi data kejadian, jumlah korban dan kerusakan asset pada hari tersebut.
Kegiatan pusat data BPBD dilakukan oleh Tim Pusdalop BPBD di kantor
BPBD. Pusat data melakukan penyimpanan data dari beberapa sumber yaitu data dari
Tim Reaksi Cepat, Kepolisian, TNI, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, dan beberapa
sumber lainnya. Pencatatan data dilakukan setiap saat selama ada pengiriman data dan
akan dicatat dalam LOG BOOK. Di sore hari, dilakukan rekapitulaasi data yang akan
digunakan sebagai laporan harian.
Kegiatan pusat informasi BPBD dilakukan oleh tim Pusdalop BPBD di kantor
BPBD. Pusat informasi melakukan penyusunan informasi dan laporan harian, dan
rekapitulasi bencana yang terjadi. Informasi disusun dalam bentuk laporana kegiatan
penanganan bencana meliputi lokasi penanganan, jumlah korban, jumlah kerusakan
asset, dan jumlah kebutuhan bantuan serta distribusi yang telah diberikan.
Penyampaian informasi bencana dilakukan di Kantor BPBD dengan ditempel di
Papan Informasi, sehingga para pencari informasi tentang bencana dapat melihat
secara langsung.
Fakta Informasi Penangannan Kebencanaan
Penanganan bencana yang dilakukan oleh BPBD sudah berjalan sesuai peraturan yang
berlaku dimana pelaksanaan dimulai dengan identifikasi oleh tim reaksi cepat dan
diteruskan kepada kepala tanggap darurat BPBD, yang selanjutnya akan
diinformasikan dan dianalisa serta ditetapkan sebagai bencana oleh kepala BPBD.
Jika masih dalam kondisi musibah setempat, maka informasi tersebut dimasukkan
dalam informasi kejadian luar biasa dan kegiatannya langsung dikelola oleh tim
tanggap darurat BPBD dan tim reaksi cepat BPBD. Jika kondisi musibah ditetapkan
sebagai bencana, maka Kepala BPBD atas perintah Bupati, melakukan penyusunan
9. tim pelaksana tanggap darurat bersama dinas terkait dan LSM. Pelaksanaan dari
kegiatan tersebut diinformasikan dan dipantau oleh Tim pelaksana tanggap darurat,
mulai dari kegiatan penanganan korban, pendataan dan penyaluran bantuan maka
harus sepengetahuan dan izin dari tim pelaksana tanggap darurat untuk didata serta
diberikan rekomendasi penyaluran bantuan tersebut. Namun terkadang donatur tidak
menyampaikan informasi donasinya ke tim pelaksana tanggap darurat sehingga
penyaluran tidak merata. Minimnya informasi donator dan LSM menyebabkan
informasi donasipun terkadang meleset atau tidak sesuai harapan.
Dalam pelaksanaan tanggap darurat, aspek penanganan cepat sangat
dibutuhlkan bahkan menjadi prioritas utama, namun terkadang karena mementingkan
penanganan cepat maka informasi yang harus disampaikan menjadi prioritas kedua
atau bahkan diabaikan. Faktor tersebut juga didukung dengan alur yang kurang jelas
bagaimana tim rekasi cepat menyampaikan informasi ke BPBD. Maka diharapkan
adanya sistem yang mampu memberikan sarana agar tim reaksi cepat mampu
mrngirimkan kondisi di lapangan dengan mudah dan cepat serta informasi yang
diberikan mampu segera diproses agar dapat ditetapkan sebagai bencana atau tidak
serta dapat disampaikan ke semua instansi terkait seperti kepala BPBD, Polri, TNI,
Dians Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, PMI.
Dalam pelaksanaan penyusunan informasi dan penyampaian informasi BPBD
saat ini menggunakan aplikasi spreadsheet, walaupun sebenarnya BPBD sempat
mendapat beberapa sistem informasi kebencanaan yang diberikana antara lain, sistem
informasi dari PMI Prancis tahun 2007, dan Dibi Nasional tahun 2008, dimana kedua
sistem ini berbasis web. Dan pada saat diluncurkan, BPBD belum siap menjalankan
sistem tersebut terkendala jaringan internet. Terlalu lamanya sistem informasi
kebencanaan tersebut tidak digunakan, sehingga petugas yang mengoperasikan sistem
ini sudah tidak mampu lagi mengoperasikan sistem ini bahkan sudah merasa nyaman
dengan penggunaan aplikasi spreadsheet. Beberapa informasi dapat disampaikan
menggunkana aplikasi spreadsheet tersebut, namun informasi kewilayahan dan
informasi lokasi yang dibutuhkan untuk mengetahui kondisi bencana secara parsial
masih menggunakan aplikasi pendukung seperti ilwis, Arcview untuk menjadikan
informasi selanjutnya.
Berdasarkan pada permasalahan yang harus diselesaikan, dan harus sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan maka tata kelola sistem informasi penanganan
bencana di BPBD dapat diterapkan sebagai berikut :
10. 1. Ketika terjadi suatu peristiwa berpotensi bencana maka Tim reaksi cepat akan
mendatangi langsung ke tempat kejadian dan kemudian melakukan penanganan
pertama dengan melakukan pendataan kejadian, selanjutnya data tersebut akan
dikirim Data Center ke sistem informasi geografi BPBD.
2. Ketika informasi awal (identifikasi bencana) diterima SIG BPBD, maka akan
langsung disalurkan kepada anggota BPBD dan instansi lain yang terkait, seperti
Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, PMI dan lainnya.
3. Ketika BPBD menerima informasi identifikasi bencana, maka BPBD harus
menentukan status kejadian tersebut.
4. Jika dinyatakan hanya berstatus musibah, maka BPBD melakukan pendataan
ulang dan atau melengkapi informasi dari tim reaksi cepat.
5. Jika dinyatakan status bencana, maka BPBD membentuk tim tanggap bencana.
6. Tim tanggap bencana yang akan melakukan input data bencana, seperti lokasi
bencana, kondisi lokasi, data korban, pengungsi, relawaan dan lainnya.
7. Donatur yang akan mengirimkan donasinya harus menyerahkan data ke tim
tanggap bencana juga harus melakukan input data donasi dan donaturnya.
8. Tim tanggap bencana juga harus membuat laporan yang akan diteima oleh BPBD.
11. Kesimpulan
1. Sistem informasi geografis dalam membantu penanganan bencana alam di Kabupaten
Belu perlu dianalisis dari segi sistem, kelayakan, kebutuhan dan ekonomi.
2. Penggunaan SM gateway berguna untuk meningkatkan kecepatan pengiriman data ke
pusat data
3. Perlu adanya alur pengalihan kinerja dari BPBD dialihkan ke sistem informasi sehingga
mampu mempercepat pengambilan keputusan penentuan terjadinya bencana.
4. Diperlukan suatu sistem komputerisasi yang handal yang diprogram khusus terkait
penanggulangan bencana, sehingga keakuratan suatu bencana dapat di ketahui secara
dini.
5. Diperlukan jaringan sistem informasi yang baik sehingga kecepatan dan ketepatan
penanganan suatu bencana dapat segera dilakukan.
Saran
1. Pemerintah Kabupaten Belu perlu secara dini mempersipakan sumber daya yang baik
yang cukup untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Dalam hal ini menyangkut
manusia dan sarana prasarana lain yang terkait.
2. Mengingat besarnya dampak yang terjadi akibat bencana, maka diperlukan adanya suatu
analisa terhadap geografis setempat dan membuat suatu sistem berjaga-jaga yang akurat
sehingga dapat mengantisipasi dan meminimalir dampak tersebut.
12. Daftar Pustaka
Kadir, Abdul. 2010. Mudah Mempelajari Database MySQL Yogyakarta : Andi Offset
Sutarbi, Tata. 2012. Analisis System Informasi. Yogyakarta : Andi Offset
UNDP, 2009, Risk Knowledge Fundamentals, Guidelines and Lessons For Establishing and
Institutionalizing Disaster Loss Database
Sugiart, Yuni S.T.M. Mkom. 2013 Analisis dan Perancangan UML