1. Merindukan pemimpin bisnis
Indonesia di ajang global
K
ita dapat berdecak kagum saat melihat begitu
banyak CEO keturunan India di perusahaan
global. Mereka membuktikan keunggulan po-
sisi eksekutif India di ajang persaingan bisnis
global. Satya Nadella (Microsoft Corp), Sundhar Picai
(Google Inc), Indra Nooyi (PepsiCo), adalah sebagian
contohnya. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa ja-
rang terdengar orang Indonesia yang berada pada po-
sisi puncak di perusahaan global. Majalah Asianweek
2011 mencatat bahwa hampir 75% dari 96 CEO Asia di
perusahaan yang termasuk Fortune 500 berasal dari
China dan India.Sebagai negara terbesar ketiga di Asia
setelah keduanya, Indonesia tidak menempatkan satu
namapun. Masih kalah dibandingkan jumlah CEO nega-
ra sesama ASEAN, yaitu Vietnam (3), Singapura (1), dan
Filipina (1).
Langkanya CEO Indonesia di dunia internasional ten-
tunya memprihatinkan karena menjadi salah satu cer-
minan daya saing global SDM Indonesia. Persoalan ini
menjadi penting mengingat kita sedang menghadapi
MEA yang membawa persaingan regional di segala bi-
dang. Saat ini dan ke depannya, persaingan profesional
bisnis dengan negara tetangga sudah tidak terhindar-
kan lagi. Untuk itu perlu dipikirkan dengan serius, ba-
gaimana caranya agar lebih banyak eksekutif senior
kita yang berkiprah secara global. Harus diakui bahwa
posisi saing SDM Indonesia dengan negara ASEAN lain-
nya saat ini tidak terlalu bagus. Peringkat dunia univer-
sitas top di negeri ini, sebagai penghasil calon eksekutif
global, berada di bawah universitas unggulan Singapu-
ra, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Padahal, negara
kita adalah sumber SDM terbesar di ASEAN dan men-
jadi tujuan utama ekspansi bisnis negara tetangga. Ba-
yangkan, saat keran MEA betul-betul terbuka, eksekutif
dari negara tetangga bisa saja menempati pucuk-pucuk
pimpinan perusahaan besar Indonesia. Lulusan-lulus-
an terbaik Indonesia bekerja sebagai bawahan dari
pemimpin asing, baik di perusahaan swasta maupun
pemerintah. Mencermati kondisi ini, maka pantaslah
jika kita bertanya: Apakah Indonesia masih punya pelu-
ang dalam persaingan MEA? Apa yang harus dilakukan
dalam sisa waktu yang tersedia ini?
Diskusi yang penulis lakukan bersama dengan Direk-
tur HR perusahaan global di Singapura pada 2012 me-
nyimpulkan bahwa minat terhadap profesional Indo-
nesia sebetulnya cukup tinggi. Studi pada 81 eksekutif
senior, rekan kerja dan bawahan orang Indonesia da-
lam tim multinasional di tiga negara (Indonesia, Singa-
pura, Tiongkok) menunjukkan tiga hal yang menjadi
kekuatan para eksekutif senior Indonesia di dunia glo-
bal, yaitu relasi interpersonal yang baik, pengelolaan
keberagaman yang baik, dan kepemimpinan yang ber-
sifat fasilitatif.
Dunia global sarat dengan keberagaman perilaku
manusianya.Bidang psikologi antar budaya menekan-
kan bahwa kemampuan mengelola keberagaman
menjadi kunci memenangkan persaingan global, atau
kompetensi global. Hal ini logis mengingat CEO global
dituntut untuk memaksimalkan keunggulan SDM yang
mereka miliki. Padahal, mengelola keberagaman untuk
menjadi sinergi tim antar bangsa bukanlah sesuatu
yang mudah. Dalam hal ini, keberagaman domestik
Indonesia berpotensi positif. Ketiga keunggulan ekse-
kutif senior Indonesia di atas terbukti berakar dari
pengalaman hidup mereka dalam keberagaman Indo-
nesia. Pengalaman ini membawa kepada terbangunnya
sejumlah kemampuan seperti kepekaan terhadap ke-
berbedaan, kesedian bertoleransi, kemampuan mem-
bawa dan menempatkan diri dengan selaras, serta
membangun kerjasama dalam keberagaman.
Sayangnya, keberagaman juga berpotensi memun-
culkan prasangka, stereotipe negatif, dan miskomuni-
kasi yang merongrong relasi kerja tim. Potensi negatif
tersebut juga muncul dalam kesulitan umumnya ka-
langan profesional Indonesia di konteks global, yaitu
gaya komunikasi yang tidak langsung dan sikap tidak
asertif. Ini ada kaitannya dengan tuntutan adaptasi
dalam keberagaman Indonesia yang membentuk ke-
biasaan mempertahankan harmoni. Kebiasaan terse-
but menjadi perilaku normatif masyarakat Indonesia,
tidak terkecuali di tempat kerja. Individu dituntut untuk
berhati-hati, menjaga sikap, dan menekan perbedaan.
Studi penulis menunjukkan bahwa pemimpin bisnis
yang disukai adalah mereka yang memiliki sikap dan
tutur yang terjaga dan santun, menyampaikan pesan
dan emosi negatif secara halus dan tidak langsung,ser-
ta menghindari merusak harmoni kelompok.
Tentunya tidak ada yang salah dengan kesantunan
dan orientasi pada keharmonisan. Problem utama
pada orang Indonesia adalah ketika kesantunan dan
keharmonisan menjadi mutlak, akibatnya kita enggan
mendiskusikan perbedaan, tidak terampil berargumen-
tasi tanpa menjadi emosional dan sulit menghargai
ekspresi individual (apalagi yang tidak normatif). Pola
relasi dan komunikasi yang terlalu berorientasi pada
keharmonisan menjadi kontraproduktif dalam relasi
global yang bercirikan mobilitas tinggi dan transparan-
si. Di sini individu diharapkan dapat mengartikulasikan
diri dan ide secara lugas dan ringkas serta berargumen
dengan cermat untuk mempertahankan idenya. Kon-
flik dan benturan pendapat tidak haram selama dapat
dibicarakan terbuka dan tidak emosional.
Kesimpulannya, menjadi anggota masyarakat maje-
muk seperti Indonesia membawa keuntungan dan ke-
lemahan untuk bersaing di ajang global. Menjadi ang-
gota masyarakat majemuk tidak serta merta membuat
kita memiliki kompetensi global. Berkaca pada segelin-
tir pemimpin global Indonesia, refleksi terhadap peng-
alaman kemajemukan menjadi penting. Dengan men-
jalaninya kita dapat membangun kekuatan dan memi-
nimalkan hambatan kemajemukan.
Proses merefleksikan keberagaman adalah bagian
dari pembelajaran budaya yang sistematis. Dilakukan
dengan memberikan pengetahuan, ketrampilan dan
pengalaman mengelola perbedaan menjadi sinergi
kelompok kerja. Pembelajaran bisa terjadi melalui
pendidikan formal, misalnya melalui mata kuliah atau
program studi bergelar. Juga dapat dilakukan melalui
pendidikan informal seperti pelatihan atau kursus ber-
sertifikasi. Pengalaman reflektif sebaiknya dipupuk se-
jak di bangku kuliah, misalnya melalui program pertu-
karan pelajar atau studi di luar negeri. Dalam konteks
organisasi, pengalaman reflektif diberikan melalui pe-
nugasan internasional atau global mentoring. Jika dia-
sah dengan tajam dan serius, kemajemukan budaya
Indonesia dapat dibangun menjadi kompetensi strate-
gis yang memberi jalan bagi munculnya CEO global In-
donesia. Keberagaman adalah keniscayaan, mari me-
mandangnya sebagai sebuah kekuatan.
Prof.Dr.phil. Hana Panggabean
Guru Besar Fakultas Psikologi
Unika Atma Jaya
Atmasphere