SlideShare a Scribd company logo
1 of 20
KIRI ISLAM KAZHUOSHIMOGAKI KIRI ISLAM Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaan Kritis Atas
Pemikiran Hassan Hanafi Disusun Dalam Rangka
Memenuhi Tugas Sejarah Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam Dosen Pengampu Prof. Fauzan
Saleh, Ph.D. Oleh : Rina Hidayati 921211035 PROGRAM PASCA SARJANA KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI 2011 A. Pendahuluan
Pemikiran Hassan Hanafi dan Kebangkitan Kiri Islam 1. Posisi Pemikiran Hassan Hanafi Hassan Hanafi
lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhȗriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Februari
1935. Keluarganya berasal propinsi Banȗ Swaif, salah propinsi di Mesir bagian selatan. Kakeknya berasal
dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah bani Mur yang diantaranya; menurunkan bani Gamal
‘Abd Al-Nasser, Presiden Mesir Kedua.[1] Namun kemudian mereka pindah ke Kairo.[2] Ia adalah
seorang filosuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan gurubesar pada Fakultas Filsafat Universitas
Kairo.[3] Ia memperoleh gelar doctor dari Sorbone University, Paris, tahun 1966 dan
mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra modern dan modern. Ia tergolong modernis
liberal seperti Luthfi al-Sayyid, Taha Husain, dan Al-Aqqad. Salah satu keprihatinannya adalah bagaimana
melanjutkan proyek yang didesain membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan menyeluruh.
Menjelang umur lima tahun, ia mulai menghafal Al-Qur’an. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah
Sulayman Gawisy, Bab Al-Futuh selama lima tahun. Setelah tamat dari pendidikan tersebut ia masuk
sekolah pendidikan guru, Al Mu’allimin. Setelah empat tahun, dan ia akan naik ke tingkat lima, ia pindah
ke Madrasah Al Silahdar, yang berada di kompleks masjid Al Hakim bi Amri’llah, dan dia langsung
diterima di kelas dua. Pada 1961 M, disertasinya tentang ushul fiqih dinyatakan sebagai karya ilmiah
terbaik di Mesir. Disertasi setelab 900 halaman itu dia beri judul Éssai sur la method d’Exegese” (Esai
tentang Metode Penafsiran). Sementara karya ilmiah yang berhasil dia tulis selama jenjang akademisnya
sebanyak tiga macam, yaitu:[4] 1. Essai sur la method d’Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran),
yang memperoleh hadiah sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir. 2. L’Exegese de la phenomenology
(Tafsir Fenomenologi). 3. La phenomenology de l’Exegese (Fenomenologi Tafsir). Setelah
menyandang gelar doktor pada tahun 1966 M, ia kembali ke Mesir dan mengajar di Fakultas Sastra,
Jurusan Filsafat, Universitas Kairo hingga tahun 1971. Ia adalah pelopor pendirian organisasi Himpunan
Filosof Mesir yang berdiri pada tahun 1986 yang diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani, kemudian
diganti oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq (menteri Agama Mesir), dan Hanafi sebagai Sekretairs
Jenderalnya. Wajah pertama, peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner seperti Ali Syariati dan
Imam Khomeini. Setelah revolusi Islam Iran menang, ia meluncurkan Kiri Islam, salah satu tugasnya
adalah mencapai Revolusi Tauhid (keesaan, pengesaan). Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis
tradisi intelektual Islam Klasik, ia mirip posisi Muhammad Abduh. Wajah ketiga adalah penerus gerakan
Al-Afghani[5] (perjuangan melawan imperialisme Barat dan untuk mempersatukan dunia Islam). Hassan
Hanafi memperoleh ide dari A.G Salih dan mengembangkan makna kiri dalam jurnal Kiri Islam (Al-Yasar
al-Islami). Istilah tersebut dalam tulisan A.G Shalih tahun 1972 yang ditulis oleh Kazuo Shimogaki dalam
bukunya yang berjudul Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran
Hassan Hanafi, disitu disebutkan: Dalam Islam, Kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi
orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di antara
seluruh masyarakat. Singkat kata, Kiri adalah kecenderungan sosialistik dalam Islam. Bagi Hassan Hanafi,
Kiri mengangkat posisi kaum yang tertindas, kaum miskin yang menderita. Ia mengenalkan ‘terminologi
Kiri’ dan ‘orang-orang Kiri’ adalah penting bagi upaya menghapus seluruh sisa-sisa imperialisme. Salah
satu tugas Kiri Islam adalah mengembalikan Barat kepada sisi alamiahnya, yaitu dengan menghalau
segala pengaruh kultural Barat yang merasuk ke dalam umat Islam dan bangsa-bangsa Muslim.
2. Kemunculan Al-Yasar al-Islami merupakan sebuah wadah perjuangan pembebasan bagi kaum yang
tertindas dan ini didominasi oleh orang-orang Muslim. Jurnal ini terkesan sebagai refleksi dari karya-
karyanya yang terdahulu, karena munculnya setelah semua karya besarya ditulis. Hassan Hanafi
meluncurkan jurnal berkala Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai
tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Kiri Islam bertopang pada tiga pilar. Pilar pertama, adalah
revitalisasi khazanah Islam klasik, rasionalisme adalah suatu keniscayaan untuk kemajuan dan
kesejahteraan Muslim serta memecahkan situasi kekinian dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah
perlunya menantang peradaban Barat, ia mengusulkan ‘oksidentalisme’ sebagai jawaban ‘Orientalisme’
dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam,
disini ia mengkritik metode tradisional Islam yang selalu bertumpu pada teks (nash), agar realitas Islam
dapat berbicara pada bagi dirinya sendiri. Kiri Islam diterbitkan setelah kemenangan Revolusi Islam di
Iran taun 1979. Hassan Hanafi menjelaskan munculnya Kiri Islam dan mengkaji beberapa kecenderungan
yang penting untuk didiskusikan bagi masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, menggambarkan adanya
kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi ritus. Kedua,
liberalism adalah subyek kritiknya, dalam kenyataan liberalisme didukung oleh kalangan kelas atas yang
mengendalikan ‘kesejahteraan’ nasional. Ketiga, kecenderungan Marxis Barat yang bertujuan
memapankan partai yang berjuang melawan kolonialisme, ini telah menciptakan dampak-dampak
tertentu, tapi hal ini belum cukup untuk membuka berkembangnya khazanah intelektual Muslim.
Keempat, kecenderungan revolusi nasinal terakhir membawa perubahan fundamental dalam struktur
sosial dan kebudayaan Arab-Islam, akan tetapi hal itu belum juga mempengaruhi kesadaran Muslim.
Islam kiri bukan sekedar usaha responsive Hassan Hanafi atas revolusi Islam di Iran. Dari gagasannya
tentang Al-Din wa Al-Tsaurah (Agama dan Revolusi), kita dapat menjajaki pula “Revolusi Dunia Ketiga”
dan “Teologi Pembebasan” dalam konteks sosial politik modern. Bukan hanya yang berkaitan dengan
dunia Arab-Islam, akan tetapi juga berkaitan dengan revolusi dan teologi pembebasan di negara-negara
Dunia Ketiga.[6] Jadi tugas Kiri Islam adalah untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan dan
merealisasikan tujuannya termasuk juga revolusi nasional yang berbasis prinsip revolusi sosialisme
melalui khazanah intelektual umat. 3. Relevansi Kiri Islam Kiri Islam adalah sebuah forum di antara
pergerakan Islam yang modern yang muncul dari berbagai kalangan di dunia Islam. Ada beberapa sebab
jurnal ini menjadi teks paling penting sebagai bahan kajian, yaitu: a. Keberhasilan revolusi Islam di
Iran tahun 1979 yang memberikan dampak besar pada dunia Arab. Kiri Islam menguji dampak revolusi
itu terhadap wacana itelektual di kalangan Arab-Islam. Melalui reaksi itu dapat dikonfirmasikan
pentingnya revolusi Islam dalam dunia Arab-Islam modern dan sejarah dunia. b. Kiri Islam tidak
sekedar responsi Hassan Hanafi atas revolusi Islam di Iran. c. Kiri Islam adala teks penting untuk
kajian perkembangan pergerakan Islam modern, terutama gerakan yang muncul setelah Jamaluddin Al-
Afghani[7]. Hal itu didorong oleh dua faktor, pertama ia mencoba menyamai kebesaran nama Al
Afghani, kedua melakukan tugas besar mendefinisikan masa depan gerakan Islam dan dunia Islam.
d. Kiri Islam juga sebuah teks tentang pembaharuan pemikiran Islam. Pembagian Kiri dan Kanan
mempunyai problem tersendiri. Seperti diungkapkan oleh Akhmad Taufik dalam bukunya yang berjudul
Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernism Islam dikatakan bahwa: Lintasan sejarah pemikiran Islam
memunculkan kasus besar tentang esensi Kiri Islamnya Hassan Hanafi. Dalam terminology teologi,
Asy’ariyah sebagai teologi “kanan” karena bertumpu pada kemapanan dan penindasan rasionalitas,
maka Mu’tazilah adalah “Kiri” karena berada di jalur tertindas dan terkikis, akibat menegakkan
rasionalitas. Dalam syari’at Islam (madzhab fiqih) yang berupaya membekuka hukum dan taqlid
merupakan model kemapanan sekaligus penindasan ijtihad dianggap “kanan” dan dalam praktik realitas
sosial demikian banyak politik berjalan dalam logika tirani-feodal, hal ini berarti “kanam”. Sementara
kelompok tertindas yang menggeliat menuntut hak serta memperjuangkan nasib kerakyatan dianggap
“kiri”. Upaya mengembangkan pendekatan nilai modernism “kiri” yang dimaksudkan Hassan Hanafi akan
selalu bercorak membawa kemajuan, program dan dinamis. Sementara “kanan” berarti kejenuhan,
kebekuan dan apatis stats. Dengan persepsi ini, maka Hassan Hanafi berusaha menegakkan khazanah
wawasan kajian Islam. Upaya-upaya demikian, secara metodologis dan secara epistimologis
dilakukannya dengan memanfaatkan kajian pembedahan Alquran yang sangat interpretative, hidtorikal
dan teoretis kontekstual dengan perilaku-perilaku hasil searah. Termasuk dalam membaca budaya Barat
yang sudah terkristalisasi pada peradaban Islam Kiri. e. Kiri Islam merupakan refleksi dari kekacauan
suasana politik di dunia Arab dan dunia intelektual Arab dan khususnya dunia kebangkitan Arab.
f. Isu utama Kiri Islam adalah kolonialisme, kapitalisme, dan zionisme yang mengepung dunia Islam
dari luar, serta kemiskinan, penindasan, keterbelakangan di dunia Islam. B. Isi Ø Bab I Salah satu
masalah yang menjadi keprihatinan di dalam Kiri Islam adalah konfrontasi antara dunia Islam dan
Barat. Barat sudah mendominasi berbagai diskursus dunia kontemporer, baik sains, politik, ekonomi,
militer, dan lain sebagainya.[8] Dan Hassan Hanafi merancang suatu upaya mengatasi problem-
problem yang muncul sebagai akibat dari westernisasi. Agar umat Islam mampu hidup di masa depan
dalam kondisi serba modern dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan mampu
mengikuti perkembangan zaman.[9] Kebenaran agama kata Hanafi bukan pada kumpulan dogmanya.
Yang dapat dipertahankan dengan mengemukakan argument tertentu. Tapi kebenaran agama
terletak pada kemampuannya untuk menjadi motivasi bagi tindakan.[10] 1. Tauhid Pemikiran
Hassan Hanafi dimulai dari ajaran yang paling mendasar dalam Islam, yaitu tauhid. Menurutnya, hal
pertama dan utama yang harus dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah
pembangunan kembali semangat tauhid.[11] Hal ini menurutnya karena tauhid merupakan asal
seluruh pengetahuan. Jadi, Islam bukan berarti tunduk atau menghamba, akan tetapi merupakan
revolusi transcendental terhadap struktur kesadaran individu, tatanan sosial dan sejarah yang dinamis.
Abuya mengatakan bahwa tauhid adalah benteng moral masyarakat dan modal perjuangan umat
Islam.[12] Apabila landasan tauhid kuat, maka modal perjuangan Islam juga semakin kuat. Untuk
mewujudkan tauhid yang sebenarnya, maka hal itu tidak semudah yang dibayangkan dan membutuhkan
cukup waktu. Tauhid sering dipahami sebagai ‘keesaan Tuhan’, persepsi ini tidak seluruhnya benar,
karena ketika suatu agama dibandingkan oleh agama lain dan ketika suau nilai dibandingkan oleh nilai
lain, maka yang terjadi adalah sebuah prasangka. Jadi analisis kita tentang Islam dan Tauhid tidak bisa
hanya sebatas pada Tuhan. Jadi jalan terbaik untuk memahami tauhid adalah mengartikannya sebagai
‘penyatuan’ ketika hal tersebut dikembalikan kepada ketuhanan berarti ‘keesaan Tuhan’. Sedangkan
bidang keduniawian Tauhid dianalisis berfungsi sebagai pemikiran dalam lembaga sosial politik dan
peradaban, maka kita gunakan istilah ‘pandangan dunia tauhid’ yang berarti bahwa alam semesta ini
adalah berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sangat jelas bahwa aspek kehidupan sosial
Islam harus diintegarsikan ke dalam ‘jaringan relasional Islam’. Dan ini akan diuji melalui ibadah (yaitu
syahadat, shalat, puasa, zakat, haji). ü Syahadat Yaitu persaksian seorang muslim. Bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Ini berarti mereka bersaksi atas sebuah bentuk
jaringan relasional Islam, karena firman Allah adalah abadi dan universal. Keempat ibadah berikutnya
dilandasi oleh pandangan dunia yang saling terkait. ü Shalat Yaitu dialog spiritual langsung Muslim
dengan Tuhannya. Seluruh Muslim mempunyai kesempatan yang sama untuk berhubungan langsung
dengan Tuhannya. Shalat tidak hanya aspek spiritual saja, akan tetapi juga mencakup latihan fisik.
Wudlu dan ghusl tidak hanya mencakup aspek pembersihan spiritual akan tetapi juga latihan bagi
kebersihan badan. ü Puasa Puasa Ramadhan dikerjakan serentak, artinya seluruh Muslim berpartisipasi
secara langsung pada bulan ini, ini juga merupakan gerakan sosial yang menyatukan Muslim secara
simbolik. Cara ini diharapkan akan menumbuhkan rasa solidaritas terhadap penderitaan rakyat miskin,
yang kemudian melahirkan sikap empatik dan simpatik pada penderitaannya. Mereka nantunya akan
memiliki sikap dermawan dan proaktif dalam mendarmabaktikan harta dan kekayaannya untuk rakyat
miskin melalui zakat, sedekah, infak, dan sejenisnya.[13] ü Zakat Zakat berfungsi sebagai aspek spiritual
ketika ia digunakan untuk membersihkan dirinya (Q.S. 92: 18), tetapi juga sebagai aspek ekonomi ketika
ia berguna untuk orang lain (kaum miskin, fakir, amil, sabilillah, ibnu sabil) (Q.S. 9: 60). ü Haji Haji
diartikan oleh Hassan Hanafi sebagai sebuah peristiwa konferensi. Yaitu Muslim melaksanakan
kewajibannya kepada Tuhan dengan aksi nyata, dan haji dilaksanakan hanya pada bulan Dzulhijjah.
Dalam lima kewajiban di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah yang bersifat spiritual adalah juga
bersifat material, aksi yang duniawi adalah juga agamawi, yang individual sekaligus sosial. Kehidupan
Muslim adalah kehidupan yang pasti, dan dalam kehidupan itu dibutuhkan lembaga-lembaga
ekonomi, sosial, dan politik dan Muslim membagi waktunya untuk kehidupan ekonomi, politik, sosial
dan kultural. Manusia baik laki-laki maupun perempuan memerlukan suatu lingkungan yang
menunjang adanya pendidikan yang tepat dan lembaga-lembaga politik, hukum dan sosial untuk
menjamin keadilan, pengembangan seluruh potensi kemanusiaan, dan partisipasi mereka dalam
pembangunan masyarakat.[14] Berdasarkan kenyataan di atas, umat Islam harus bangkit membentuk
suatu kekuatan dangan melalui penguasaan-penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mutakhir.[15] Pentingnya sains dan teknologi yang berbasis sains serta industri di dunia modern
memang tak perlu dipertanyakan lagi.[16] Islam mendorong keterlibatan aktif di dunia, termasuk
penyelidikan ilmiah atas alam yang membawa kemajuan teknologi. Al-Banna percaya bahwa ajaran
Islam tak bertentangan dengan capaian-capaian ilmu pengetahuan, karena agama dan ilmu
pengetahuan membahas tentang realitas yang berbeda.[17] Bagian yang juga penting yaitu umat,
secara harfiah berarti ‘komunitas Islam’. Umat tidak dibatasi oleh batas-batas tertentu, umat mencakup
seluruh kawasan di mana Muslim hidup. Pandangan Tauhid yaitu di mana pun Muslim hidup dan dalam
kawasan manapun mereka berada, mereka pasti akan berhibuangan dengan non-Muslim. Dengan
demikian konsep jaringan relasional Islam itu telah meluas kepada non-Muslim, mereka semua
dirangkum dalam semangat tauhid yang meletakkan pada tingkatan yang sama. Pandangan dunia
Tauhid menegaskan universalitasnya, cita-cita Islamakan merangkum seluruh bidang, maka dengan
demikian ia akan sempurna. Hal ini seperti sebuah jaringan, apabila jaringan tersebut ada satu saja yang
tidak berfungsi maka jaringan yang lain tidak akan berjalan normal. 2. Dari modernitas ke
Postmodernitas Modernitas diartikan sebagai bentuk-bentuk pandangan dunia dan sistem pemikiran.
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional;
berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme prograsif; rasionalitas administratif; serta diferensiasi sosial
dan budaya.[18] Inti dari kecenderungan epistimologis modernitas yaitu: ü Pemisahan antara bidang
sakral dan bidang duniawi. Contohnya yaitu pemisahan antara agama, negara dan politik.
ü Kecenderungan ke arah reduksionisme. Seperti dalam fisika Newton, materi dan benda direduksi
kepada elemen-elemennya. ü Pemisahan antara subjektifitas dan objektifitas. Jadi ini akan mengarah
kepada pengenalan bahwa ‘deskripsi objektif’ selalu berkait dengan realitas yang pasti.
ü Antroposentrisme menggambarkan kecenderungan manusia untuk menganggap diri mereka sebagai
entitas pusat dan yang paling penting di alam semesta, atau penilaian realitas melalui perspektif
eksklusif manusia.[19] Hal ini Nampak pada sejarah Barat dan semenjak masa pencerahan, dan ini
tampak dalam konsep-konsep demokrasi dan individualisme. ü Progresivisme, contohnya dalam bidang
ilmu pengetahuan yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan. Dalam masyarakat modern
manusia menghadapi sejumlah krisis yang cukup serius, misalnya perusakan lingkungan, kelaparan,
diskriminasi rasial, dan ancama perang nuklir. Penyebab problem itu sangat kompleks jadi kita akan
mendiskusikan suatu kecenderungan baru yang berupaya mengatasinya, ini akan disebut dengan
postmodernisme[20]. Ini kita akan menguji trend postmodernisme dengan mendiskusikan dua orang
pakar: ü Epistimologi G. Bateson[21] Bateson menyerang salah satu pilar terpenting dalam modernitas:
“Sains tak pernah membuktikan apapun”. Mitos tentang sains telah terbongkar, oleh karena itu mitos
menuju kebenaran juga terbongkar oleh pengetahuan ilmiah. Dia menegaskan bahwa bukti-bukti dalam
sains ada di alam tautology. Suatu penemuan baru dalam sains tidak berarti kemajuan atau langkah baru
menuju suatu kebenaran, penemuan itu sendiri bisa jadi hanya suatu lompatan dari tautologi ke
tautologi lain. Kita bisa membuktikan tentang bidang tertentu, namun kita tidak tahu bagaimana bidang
itu bisa terkait dengan bidang yang lain hingga kita dapat menemukan jaringan relasionalnya. Ia tidak
setuju pada reduksi sesuatu menjadi elemen-elemen atau karakter yang khas. Sesuatu yang menarik
untuk dikemukakan adalah dia menggunakan idenya tentang relasi untuk menciptakan teori “ikatan-
ganda” untuk analisis schizophrenia. Ia menganggap penyakit itu sebagai penyakit relasi, bukan penyakit
kepribadian Menurutnya, informasi adalah perbedaan, oleh karena itu ia mencoba mendefinisikan
pikiran (mind) berdasarkan teori informasinya dan konsep tentang perbedaan. Criteria tentang
pemikiran adalah sebagai berikut: 1) Suatu pikiran adalah sebuah agragrasi dari bagian atau
komponen yang berinteraksi 2) Interaksi antara bagian-bagian pikiran itu dipicu oleh perbedaan-
perbedaan. Sebagai contoh yaitu seorang fisikawan mencoba mencari eksistensi partikel tertinggi, maka
pasti tidak dapat ditemukan. Eksistensi suatu partikel dapat dipahami dengan informasi, yaitu berita-
berita tentang perbedaan. Apabila ada suatu partikel tertinggi maka eksistensinya dijelaskan oleh unit
perbedaan yang paling kecil dari partikel tertinggi itu. Apabila hal itu dibuktikan, maka tidak ada partikel
yang tertinggi. Dengan demikian materi juga direduksi menjadi masalah perbedaan sebagaimana
masalah pikiran (mind) tadi. Pada akhirnya tidak ada kejelasan jarak antara materi dan pikiran. Hal ini
merupakan tantangan radikal Bateson terhadap pemikiran modern. ü Teori Relasi Kekuasaan: M.
Foucault Dengan analisi historisnya, ia merelativisasi sesuatu yang dianggap absolut. Dia menempatkan
kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia,
dan lain sebagainya yang berada di dalam kerangka relasi kekuasaan. Baginya, kekuasaan bukan sesuatu
yang ‘ada’, kekuasaan sama dengan serba banyak relasi kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang
atau waktu dan di mentransformasikan pengertian kekuasaan yang secara konvensional dapat dipahami
bahwa kekuasaan itu menindas, memproduksi kekuasaan itu memproduksi kebenaran. Oleh karena itu
kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan kebenaran itu berada di dalam kekuasaan. Analisisnya
tentang pengetahuan yaitu dari analisis sejarah tentang sistem hukuman dan disiplin, bahwa lain
kekuasaan lain juga pengetahuan. Pengetahuan diserap dalam kekuasaan dan superiotasnya dibongkar.
Harapannya adalah pembebasan umat manusia dalam arti sebenarnya karena ia merasa begitu
kompleks penindasan dengan kebenaran dan kekuasaan. Foucault menyuguhkan kepada kita dengan
teorinya tentang anti-antroposentrisme dan memuji kebaikan postmodernisme dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa intelektual Barat modern telah mencoba merebut manusia di
dalam sejarah dan masyarakat Barat, tetapi setiap cara telah menghilang sekarang. Antroposentrisme
dalam masyarakat dan sejarah Barat telah berubah menjadi Erosentrisme dan Etnosentrisme. Masalah
ini juga yang dilawan oleh Foucault. Ø Bab II Tantangan Barat dan Jawaban Islam Bagi Hassan Hanafi,
kolonialisme merupakan kejahatan terbesar dalam sejarah kemanusiaan yang dilakukan Barat atas
bangsa-bangsa non-Barat. Tetapti bagi Kiri Islam, imperialisme adalah salah satu masalah fundamental,
dan ia menyatakan bahwa imperialisme menjadi hantu bagi dunia Islam. Ia juga melihat dengan tajam
apa yang tidak terlihat dari upaya-upaya Barat, yakni imperialisme kultural Barat. Ini baginya adalah
masalah serius, karena dunia Barat ingin agar bangsa-bangsa secara kultural lemah. Yang peling penting
adalah bahwa sejarah Barat itu sendiri telah terdistorsi[22]. Imperialisme adalah buah dari masyarakat
Barat yang terdistorsi, dan Barat tidak bisa dipahami tanpa Timur. Respon Hassan Hanafi
Kiri Islam merupakan respon Hassan Hanafi atas tantangan Barat, melanjutkan perjuangan Al-Afghani
melawan kolonialisme. Baginya penggunaan nama “Kiri” sangat penting karena dalam citra akademik
Kiri adalah konotasi untuk perlawanan dan kritisisme. Secara umum istilah Kiri sering disalahpahami.
Dalam dunia Islam Kiri dikenal sebagai “kafir” atau “atheis”. Hal ini merupakan sisa-sisa penjajahan
imperialisme kultural yang mencegah Muslim mendukung ide-ide Kiri dan membuat mereka bersikap
negatif terhadap isu-isu penting seperti pembebasan, demokrasi, dan perjuangan dalam bentuk
apapun. “Kiri” sendiri adalah sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan
menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Nama ini menjamin adanya gerakan, perlawanan,
revolusi, dan bukan sekedar perbincangan tanpa hasil.[23] Revolusi Iran bagi Hassan Hanafi adalah
“Revolusi Islam yang terjadi di Iran.” Salah satu respon terhadap Barat adalah dengan cara
memperkenalkan Revolusi Islam itu kepada khalayak Muslim, tetapi bukan menganjurkan untuk
melakukan oposisi pada pemerintah apalagi pemberontakan pada negara. Kiri Islam sesungguhnya
hanya melakukan investigasi terhadap gerakan revolusioner dan ingin melakukan teorisasi revolusi di
kalangan Muslim. Revolusi yang dimaksud adalah Revolusi Tauhid. Dunia Islam memang berada di
bawah dominasi imperialisme kultural, dan tugasnya adalah berjuang melawan dominasi itu. Hassan
Hanafi menyerap ilmu-ilmu, metodologi dan pemikiran Barat. Namun Kiri Islam tidak terpengaruh oleh
Barat. Ia mencoba membuka wajah peradaban Barat. Menurutnya mengkaji hakekat perkembangan
Barat merupakan keniscayaan untuk menghentikan Erosentrisme yang telah menguasai dunia, dan
untuk menebus kejahatan orientalisme. Gagasan itu disebut “oksidentalisme” dalam Kiri Islam. Hassan
Hanafi menyatakan pentingnya Oksidental[24] (al-istighrâb) untuk menetralkan dan mengimbangi
Orientalisme (al-Istisrâq).[25] Hassan Hanafi yang menyerap ilmu-ilmu Barat, dan bersikap sebagaimana
mestinya seorang intelektual Muslim berinteraksi dengan Barat dan dapat mendiskusikannya secara
objektif-akademik, mencoba untuk membangun suatu “Ilmu Sosial Baru” yang “Oksidentalistik”, sebagai
lawan dari “Orientalistik”.[26] Hassan Hanafi selalu mengingatkan tentang kekeliruan-kekeliruan Barat
memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalisis.[27] Dari sisi ini ia menjadikan Barat sebagai
bahan kajian akademik dengan mencoba membangun sistemik “Ilmu Sosial Baru”. Ia mengkaji nilai-nilai
dab ilmu-ilmu Barat sepenuhnya, tapi dari situ pula dia berpijak mengkaji Barat dalam suatu
pemahaman wacana kelompok modernis, baik mereka yang menerima maupun mereka yang
menolaknya. Dari realitas menuju Kebangkitan Umat Kebangkitan atau fundamentalisme, istilah
fundamentalisme berasal dari bahasa Inggris fundament yang dapat diartikan dasar dari sesuatu, atau
sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata fundamentalisme biasa diartikan sebagai ide atau gerakan yang
mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang diyakini paling dasar dan benar, seperti kitab suci
bagi pemeluk suatu agama, atau dasar Negara (ideology) bagi suatu bangsa. Sedangkan orang yang
mengikuti idea tau gerakan itu disebut fundamentalis. Dalam kamus Oxford Advance Learner’s (1990:
501) disebutkan definisi fundamentalisme yang terkait dengan agama (Kristen), “belief that the Bible is
literally true and should from the basis of religious thought or pracrice”.[28] Hasil dari pengaruh
imperialisme pada dunia Islam adalah keterbelakangan, penindasan, kediktatoran, tersumbatnya
kebebasan dan demokrasi dan meluasnya kemiskinan. Hassan Hanafi melakukan kritik terhadap aspek –
aspek negatif yang diderita dunia Islam dan Kiri Islam juga mempunyai penilaiannya sendiri. Pertama,
kembali pada realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dunia Islam dibagi menjadi dua kelompok, penguasa
dan yang dikuasai, yang kaya dan miskin. Nama Kiri diangkat dari realitas itu dan memihak pada sisi
kedua. Menurutnya mengapa terjadi kemandegan dalam dunia Islam adalah karena dominannya
sufisme. Karena ketika seorang sufi mencapai tingkat penyatuan dengan Tuhan, pasti telah
membayangkan bahwa sebuah negara Islam telah berdiri dan semua masalah telah teratasi, akan tetapi
nyatanya berbagai dunia Islam itu telah dijajah. Realitas dunia Islam itu yang menurut Hassan Hanafi
mengharuskan konstruktif rasionalisme saat ini jauh lebih penting dari pada merobohkan rasionalisme
seperti dalam pemikiran sufisme klasik. Kritiknya diarahkan pada khazanah Islam untuk menganalisis
krisis itu. Ia menjelaskan lima akar krisis dunia Islam: ü Pertama, ia mengkritik metode interpretasi Al-
Qur’an secara tekstual, sebagaimana Madzhab Hanbali, karena hanya mengambil satu sisi dari ayat Al-
Quran dan tidak mendiskusikan detil isinya. Dengan demikian Muslim pada umumnya memberi prioritas
pada aspek eksternal Al-Qur’an. Dengan perintah tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis
yang memuat norma-norma dasar bagi penetapan hukum, umat Islam dalam hal ini para ulama
diperintahkan dan dianjurkan supaya bekerja keras melakukan penalaran dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang ketentuan hukumnya tidak tegas-tegas ditentukan oleh nas-nas Alquran dan
hadis.[29] Ahmad Barizi menyatakan dalam bukunya yang berjudul Memahami Semangat
Intelektualisme Islam di Era Modern menuliskan: Menurut al-Banna, pemahaman yang autentik tentang
Islam mensyaratkan pengenalan al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber otoritatif untuk menetapkan
peraturan Islam dalam setiap keadaan. Kaum muslim harus mempelajari Kitab Suci-nya agar dapat
pemahaman yang komprehensif tentang agamanya, bukan semata tunduk kepada otoritas
keagamaan yang ada. Dalam beribadah, kaum muslim haruslah berlandaskan pada kitab suci dan
tidak boleh mempercayai kemujaraban azimat, jampi-jampi, mantera, dan ramalan. Secara umum,
kaum muslim harus memerangi bid’ah dalam praktik agama.[30] ü Kedua, ia menemukan kaitan hadis
entang “perpecahan umat ke dalam 73 kelompok”, dengan potensi saling bermusuhan. Menurut hadis
itu, hanya satu kelompok yang selamat, jadi kelompok yang berkuasa yang menganggap dirinya yang
selamat, dan yang lain adalah celaka. ü Ketiga, ia mengkritik As’ariyah karena pandangannya
deterministik, sentralistik, dan otoritatif yang kemudian dianut mayoritas Muslim, hasilnya muncul
penguasa tunggal dan ketundukan pada penguasa. ü Keempat, rasionalisme dalam filsafat Islam tidak
ditempatkan pada posisi netral tetapi pada posisi kontradiktif. Kepentingan rasio adalah bagaimana
mencari jalan tengah terhadap perbedaan bukan menceiptakan dialog, karena dialog hampir-hampir
mustahil dilakukan. ü Kelima, tidak ada kajian manusia dalam khazanah Islam klasik. Misalnya ilmu
usul al-din (pokok-pokok agama) yang pada dasarnya memperlihatkan suatu studi tentang manusia,
tapi tanpa kajian yang independen akan mengeluarkan manusia dari esensinya. Relevansi Metodologi
Hassan Hanafi Kepada manusia modern Islam tidak memberikan sekumpulan pemecahan terhadap
masalah-masalah yang mereka hadapi, tetapi sebuah pemilihan arah yang sangat berbeda.[31] Kiri Islam
yakin bahwa cita-cita revolusi Islam dapat benar-benar tercapai setelah realitas-realitas yang terjadi
dianalisis secara seksama dan setelah semuanya ditanggulangi. Analisis sosial adalah hal pertama yang
harus dilakukan untuk memperbaharui masyarakat, karena mereka masih mengandalkan pada
otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya mengalihkan teks pada kenyataan. Hassan
Hanafi menemukan kelemahan pada metodologi ini. ü Pertama, teks bukan realitas, ia hanya sebuah
teks. Sebuah ekspresi lingistik yang mendiskripsikan linguistik yang mendeskripsikan realitas, tetapi
bukan realitas itu sendiri. Bukti adalah fundamental, karena teks itu tidak dapat dijadikan bukti tanpa
melihat kembali kepada landasan realitasnya. ü Kedua, teks memerlukan keyakinan a priori yang
kontras dengan rasio dan kontras dengan pengalaman manusia. Karena itu kebenaran pembuktian teks
hanya untuk orang-orang yang mempercayainya, bukan pembuktian secara universal. ü Ketiga, teks
bertumpu pada otoritas kitab, bukan rasio. Otoritas kitab bukan bukti, di sisi lain masih ada realitas dan
akal. ü Keempat, teks adalah bukti yang datang dari luar, bukan dari dalam. Dalam term pembuktian,
sesuatu yang berasal dari luar tentu lemah dari pada yang berasal dari dalam. ü Kelima, teks
memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang telah ditunjuk, yaitu suatu peristiwa yang
ditandai teks. Tanpa itu maka teks tidak akan bermakna, konsekuensinya yaitu akan terjadi
kesalahpahaman, dan penggunaan teks di luar konteksnya. ü Keenam, teks adalah unilateral, dan
bertumpu pada teks-teks lain. Dan tidak boleh mempercayai sebagian kitab dan mengingkari sebagian
yang lain. Apabila hal itu terjadi maka akan terjadi suatu kontradiksi antara teks-teks itu dan seorang
penafsir akan jatuh pada pandangan yang parsial. ü Ketujuh, teks bertumpu pada pilihan-pilihan, dan
biasanya pilihan-pilihan itu didasarkan pada untung dan rugi. Jadi para kapitalis akan menggunakan teks
yang menguntungkannya saja. Sedangkan teks yang menurutnya tidak menguntungkan maka tidak akan
pernah dipakai. ü Kedelapan, kondisi sosial seorang penafsir adalah dasar bagi pilihan teks itu.
Kemudian menjadikan saling dorong karena persaingan kekuasaan kelompok. ü Kesembilan, teks
dihadapkan pada keyakinan yang digunakan untuk menghiasi symbol-simbol keagamaan dan
mencanggihkan argumentasi para kaum apologis, bukan pada rasio umat atau kenyataan langsung. Jadi,
metode yang demikian itu bukan metode yang ilmiah akan tetapi sebuah retorika untuk mendukung
kepentingan suatu kelompok atau menyerang kelompok dan sistem lain. ü Kesepuluh, metode teks
lebih dekat kepada nasehat dan petunjuk daripada pembuktian dan penjelasan. Itu lebih membela Islam
sebagai sebuah prinsip dari pada membela sebagai umat. Metode teks lebih jauh dari pada yang dapay
kita lakukan, kalaupun dapat mencapai sasaran dan kembali kepada realitas, ia hanya akan memberikan
kepada kita suatu pernyataan, bukan kuantitas. Hassan Hanafi tidak tahu sampai di mana batas
metodologi teks tradisional. Yang diklarifikasi metode ini adalah pembagian muslim pada dua kelompok.
Kiri Islam menempatkan diri pada orang yang tertindas. Dalam hal ini rekonstruksi masyarakat Islam dan
Kebangkitan Islam memasuki era baru dengan bantuan jurnal seperti Kiri Islam. Ø Bab III Batas-batas Kiri
Islam Kiri Islam adalah lanjutan jurnal Al-Urwa al-Wutsqa[32] yang diterbitkan Jamaluddin Al-Afghani
dan Muhammad Abduh pada 1884 di Paris. Ia segera disambut karena melakukan kritik keras terhadap
kebijakan kolonial Inggris. Delapan volume diterbitkan dalam waktu yang singkat, yaitu delapan bulan.
Akan tetapi dalam waktu yang singkat tersebut masih berpengaruh besar hingga kini. Alasan Al-Urwa Al-
Wutsqa mempunyai reputasi tinggi. Pertama, kebearan nama Al-Afghani sebagai intelektual Islam dan
aktivis gerakan Pan-Islamisme dan penentang imperialisme. Kedua, jurnal itu terbit tepat waktu dengan
munculnya aspirasi Pan-Islamisme saat itu. Kiri Islam dapat memimpin dunia Arab-Islam hanya jika
kedua sisi itu berkat secara efektif. Arti Kiri Islam telah membuka kompleksitas lingkungan Mesir dan
kesulitan-kesulitan yang nyata dalam hal bagaimana Kiri Islam dapat berhubungan dengan bangsa Mesir
dan dunia Arab-Islam. Modernisme Hassan Hanafi Ia ingin membangun rasionalisme,
kebebasan, demokrasi, pencerahan dan humanisme. Karena itu merupakan tulang punggung
modernisme. Analisisnya terhadap Barat, pertama ia membagi dalam tiga asal-usul: Roma-Yunani,
Yudaisme-Kristiani dan Eropa. Ia mencoba mengaitkan watak Eropa dengan perang kolonial, bahkan
dengan materialisme. Akhirnya ia berasumsi bahwa manusia Eropa adalah manusia-manusia tamak,
individual dan egoistik, tidak rasional, a-sosial. Secara akademik pernyataan itu tidak rasional.
Pandangan Bateson bahwa tidak ada gunanya membicarakan watak seorang pribadi, karena seorang
manusia mempunyai akarnya sendiri yang berada di sekeliling mereka, bukan dari dalam dirinya sendiri.
Sejak menemukan banyak jaringan relasi kekuasaan. Ini bisa dibayangkan sulitnya melakukan konstruksi
sebuah masyarakat yang benar-benar demokratis di dalam sistem sosial dan politik yang kompleks.
Itulah keluhan Hassan Hanafi tentang realitas dunia Islam dan itu bisa menjadi kecemburuan terhadap
Barat. Kritik terhadap Dikotomi dan Rasionalisme Model konfrontasi dikotomik merupakan
pemikiran Hassan Hanafi yang perlu dikaji tuntas. Hassan Hanafi mengalami trauma oleh realitas dunia
Islam yang terpilah dalam kelompok penguasa dan yang dikuasai, padahal mereka hidup dalam
keterbelakangan. Mayoritas rakyat muslim berusaha mengentaskan kemiskinan dan penindasan.
Dengan demikian, meski ia melihat kemajuan Barat, hal itu tidak berdasarkan pengetahuan yang
mendalam tentang Barat, tapi sebagai ‘tandingan’ terhadap keterbelakangan dunia Islam. Menurutnya,
Asyariyah menjadi basis kekuasaan dalam pandangan dunia mayoritas muslim dan sekaligus menjadi
basis perilaku fatalistik, yaitu yang menunggu pertolongan dan inspirasi dari surga dan mengabaikan
tindakan nyata. Ia percaya ini suatu dasar struktur kekuasaan dalam dunia Islam. Namun itu terlalu
menyederhanakan masalah, tidak ada investigasi historis konkrit yang dilakukan. Yang diserang Al-
Ghazali bukanlah ilmu rasional, tapi orang yang menyalahgunakan kajian ilmu rasional. Ia tidak
menafikkan nilai pemikiran rasional. Ketika Hassan Hanafi membicarakan masalah akan dan naql, ia
memberikan prioritas pada akal daripada pada naql. Pentingnya akal adalah untuk membangun
pengetahuan keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql tanpa aqal menjadi pandangan semata,
karena akal adalah basis naql. Tapi ketika berbicara tentang akal ia tidak mempertimbangkan sesuatu di
balik akal itu. Itulah pendirian Hassan Hanafi yang hanya memahami sufisme hanya pada lefel
permukaan. Sebenarnya sufisme menjadi dimensi dalam Islam. Ketika Islam didasarkan pada tauhid,
seluruh manifestasinya mencerminkan keesaan dalam berbagai cara, dan prinsip-prinsip ketuhanan
tercermin secara langsung. C. Kesimpulan Islam pernah mencapai puncak kejayaannya dan kaum
muslim yakin bahwa yang menjadi kekuatan adalah Tauhid. Namun seperti yang dikatakan Al-Afghani
bahwa telah terjadi kerusakan dala semangat Tauhid dan menyebabkan keruntuhan umat Islam.
Menurut Hassan Hanafi penyebab paling mendasar krisis dunia Islam adalah hilangnya semangat
tauhid dan banyaknya pandangan dunia yang dualistik. Pandangan dualistik ini tercermin dalam
pemikiran mereka yang percaya satu sisi dan mengingkari sisi yang lain. Dan salah satu tugas Kiri Islam
adalah membangkitkan kembali peradaban Islam melalui revolusi tauhid yaitu pemaknaan kembali
Tauhid menjadi suatu yang niscaya. Pandangan tauhid adalah pandangan yang relasional, dan ulama
menjadi penjaga agar Syariah selalu mengatur seluruh aspek kehidupan muslim. Kewajiban muslim ada
lima, dan hal itu merupakan kewajiban keagamaan namun tidak sebatas aspek spiritual saja akan tetapi
juga aspek fisik, sosial, ekonomi, dan politik. Apabila jaringan relasional dapat mencakup keseluruhan
umat maka kesejahteraan muslim akan dapat direalisasikan. Sementara itu, postmodernisme yang
diajukan G. Bateson dan Michael Foucault mengkritik modernitas. Yang patut dihargai dari mereka
adalah konsistensi mereka menerapkan sistem pemikiran relasional dalam karya mereka. Menguji
beberapa masalah tentang Kiri Islam dalam konteks dunia Islam. Untuk menganalisis relasi kekuasaan di
dalam dunia Islam, analisis Foucault tidak dapat diterapkan secara penuh tapi perlu diperhitungkan
dalam menganalisis relasi Islam dengan Barat. Kiri Islam adalah salah satu bentuk perlawanan. Dan
Hassan Hanafi menyatakan bahwa Kiri Islam tidak terpengaruh oleh Barat. Padahal ketika membuat ilmu
sosial baru adalah hasil dari pengaruh Barat. Metode analisis Hassan Hanafi tidak mempunyai pijakan
relasional, revolusi tauhid yang diserukan secara teoritik justru relasional. Jika ia menerapkan metode
rasional dalam mengkaji peradaban Barat, niscaya sarjana Muslim lain akan dapat menemukan
perspektif baru dalam kajian pandangan dunia Tauhid dan akan memperoleh tanggapan positif dari
kalangan postmodernisme Barat. DAFTAR PUSTAKA Aliboron, “Jamaluddin al-Afghani (1838 M-1897 M):
Ide Pembaharuan dan Pemikiran Politik,” dalam
http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/jamaluddin-al-afghani-1838-m-1897-m-ide-pembaharuan-
dan-pemikiran-politik/, diakses tanggal 14 Oktober 2011.
“AnthropocentrismAntroposentrisme”,http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=
http://en.wikipedia.org/wiki/Anthropocentrism, diakses tanggal 13 Oktober 2011. “distorsi”.
http://www.artikata.com/arti-325451-distorsi.html, diakses tanggal 10 Oktober 2011. Abdurrahman,
Moeslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Arifin, Syamsul. Islam Indonesia Sinergi
Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi. Malang: UMM Pres, 2003. Badruzzaman,
Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan politik. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 2005. Barizi, Ahmad, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era
Modern”, dalam Intelektualisme Islam, ed. M. Lutfi Mustofa dan Helmin Syaifudin, Malang: LKQS, 2007.
Barizi, Ahmad. “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme
Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, ed. M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin
(Malang: Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS), 2007. Chapra, Umer. Peradaban Muslim. terj.
Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Amzah, 2010. Gauhar, Altaf. Tantangan Islam. terj. Anas Mahyuddin,
Bandung: Pustaka, 1982. Hambali, Ridlwan. “Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turats, hingga
Oksidentalisme”. Dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Aunul Abied Shah,
ed. Bandung: Anggota IKAPI, 2001. Hambali, Ridlwan. Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi
Turâts, hingga Oksidentalisme, Bandung: Mizan Media Utama, 2001. Kalajengking-air. “Islam Kiri”, dalam
http://kalajengkingair.blogspot.com/2006/11/islam-kiri.html. diakses tanggal 12 Oktober 2011.
Mu’allim, Yusdani Amir. Ijtihad dan Legislasi Muslin Kontemporer. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2005. Nurhakim. Islam Responsif Agama di Tengah Pergulatan Idelogi Politik dan Budaya Global. Malang:
UMM Press, 2005. Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis
Atas Pemikiran Hassan Hanafi. terj. Imam Aziz dan Jadul Maula, Yogyakarta: LkiS, 1993. Taufik, Akhmad.
Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Tasmuji,
“REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan Hanafi”, dalam
http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582. Diakses tanggal 12 Oktober 2011. Watt, William Montogomery.
Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam. terj. Kurnia Sastrapraja, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Wikipedia, “Gregory Bateson”, dalam
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Gregory_
Bateson, diakses tanggal 13 Oktober 2011. Wikipedia, “Postmodernisme”, dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme. diakses tanggal 14 Oktober 2011. Yusuf, Moh. Asror.
Persinggungan Islam dan Barat Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi. Kediri: STAIN Press, 2009.
Zubaedi. Islam dan Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007. [1] M. Ridlwan
Hambali, Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turâts, hingga Oksidentalisme, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2001), 218. [2] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan
Agama dan politik (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2005), 41. [3] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara
Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul
Maula (Yogyakarta: LkiS, 1993), 3. [4] M. Ridlwan Hambali, Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi
Turâts, hingga Oksidentalisme, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), 218. [5] Jamaluddin Al-Afghani
adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah
dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia
dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas. Ia juga adalah
perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan
pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa
persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat. Dia pula tokoh
yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan
berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme
murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta
terhadap barat di pihak lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas
yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan
politik. Lihat dalam Aliboron, “Jamaluddin al-Afghani (1838 M-1897 M): Ide Pembaharuan dan
Pemikiran Politik,” dalam http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/jamaluddin-al-afghani-1838-m-
1897-m-ide-pembaharuan-dan-pemikiran-politik/, diakses tanggal 14 Oktober 2011. [6] M. Ridlwan
Hambali, Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turâts, hingga Oksidentalisme, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2001), 226. [7] Tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan politik Islam di Mesir adalah
Jamaluddil al-Afghani, terutama tentang gagasan Pan Islamisme, atau kesatuan dunia Islam sebagai
satu-satunya banteng pertahanan dunia Islam terhadap pendudukan dan dominasi asing atas negeri-
negeri muslim. Melalui gerakan Pan Islamisme al-Afghani ingin menghimpun kembali kekuatan dunia
Islam yang tercecer agar daripadanya timbul keberanian dan kekuatan umat Islam untuk menghadapi
serangan maupun kolonialisme bangsa-bangsa asing yang memusuhi Islam. Rumusan Pan-Islamisme
dalam pengertian yang lebih luas adalah rasa solidaritas antara seluruh mukmin. Rasa solidaritas ini
sudah semenjak Rasulullah mengikat tali iman dalam berhadapan dengan orang-orang jahiliyah yang
berusaha membinasakan mereka. Lihat Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di
Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam, ed. M. Lutfi Mustofa dan Helmin Syaifudin (Malang: LKQS,
2007), 158. [8] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era
Modern”, dalam Intelektualisme Islam, ed. M. Lutfi Mustofa dan Helmin Syaifudin (Malang: LKQS,
2007), 79. [9] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), 26. [10] Syamsul Arifin, Islam Indonesia Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai
Keadaban Demokrasi. (Malang: UMM Pres, 2003), 258. [11] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan
Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 200-201. [12] Moeslim
Abdurrahman, Islam Transformatif. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 277. [13][13] Zubaedi, Islam dan
Benturan Antarperadaban (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), 210. [14] Umer Chapra, Peradaban
Muslim , terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Amzah, 2010), 75. [15] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran
dan Tokoh Modernisme Islam, 18. [16] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas
dalam Islam, terj. Kurnia Sastrapraja (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 112. [17] Ahmad Barizi,
“Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam: Melacak
Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, ed. M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (Malang: Lembaga
Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS), 2007), 92. [18] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme
Islam di Era Modern”, 126. [19] “Anthropocentrism Antroposentrisme”,
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Anthropo
centrism, diakses tanggal 13 Oktober 2011. [20] Postmodernisme adalah faham yang berkembang
setelah era modern dengan modernisme-nya. Berdasarkan asal usul kata, Post-modern-isme, berasal
dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini
muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi
dari moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada
tahun 1947. Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme
pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri. Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika
postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk
pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup,
konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa
serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai
faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.
Lihat Wikipedia, “Postmodernisme”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme. diakses
tanggal 14 Oktober 2011. [21] Bateson lahir di Grantchester di Cambridgeshire , Inggris pada tanggal 9
Mei 1904 - anak ketiga dan termuda dari [Caroline] Beatrice Durham dan genetika dibedakan dari
William Bateson. Lihat Wikipedia, “Gregory Bateson”, dalam
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Gregory_
Bateson, diakses tanggal 13 Oktober 2011. [22] 1 pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dsb;
penyimpangan: untuk memperoleh keuntungan pribadi tidak jarang orang melakukan -- thd fakta yg
ada; 2 gangguan dl siaran radio yg mengubah mutu siaran; 3 Fis perubahan bentuk yg tidak diinginkan;
eroton; 4 Dok hal terkilir (kaki dsb); 5 ark perubahan bentuk pd benda gerabah yg disebabkan oleh
pengeringan terlampau cepat dan tidak merata krn pencampuran bahan tidak merata waktu pencetakan
source: kbbi3. Lihat “distorsi”, http://www.artikata.com/arti-325451-distorsi.html, diakses tanggal 10
Oktober 2011. [23] Kalajengking-air. “Islam Kiri”, dalam
http://kalajengkingair.blogspot.com/2006/11/islam-kiri.html. diakses tanggal 12 Oktober 2011. [24]
Terminologi oksidentalisme berasal dari kata dasar occident, yang berarti “barat”. Oksidentalisme
merupakan istilah (ilmu) baru yang digulirkan oleh Hanafi berhadapan dengan orientalisme. Istilah ini
awalnya lebih diarahkan sebagai reaksi atas eurosentrisme dan perlunya melakukan perubahan dari
transferensi ke inovasi. Oksidentalisme terlahir dari realitas historis berupa tampilnya superioritas tradisi
Barat melalui alat pandangnya atas dunia Timur yang lazim disebut orientalisme. Lihat dalam Tasmuji,
“REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan Hanafi”, dalam
http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582. Diakses tanggal 12 Oktober 2011. [25] Moh. Asror Yusuf,
Persinggungan Islam dan Barat Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi, (Kediri: STAIN Press, 2009),
105. [26] Ridlwan Hambali, “Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turats, hingga Oksidentalisme”.
Dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Aunul Abied Shah, ed. (Bandung:
Anggota IKAPI, 2001), 230. [27] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, 203.
[28] Nurhakim, Islam Responsif Agama di Tengah Pergulatan Idelogi Politik dan Budaya Global. (Malang:
UMM Press, 2005), 100. [29] Yusdani Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi Muslin Kontemporer.
(Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005), 28. [30] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme
Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam, 91-92. [31] Altaf Gauhar, Tantangan Islam , terj. Anas
Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1982), 333. [32] Jurnal ini sebagian disediakan untuk analisis kebijakan
kekuatan-kekuatan adidaya di dunia muslim, khususnya Inggris, Mesir Sudan, dan lainnya. Sebagian
isinya juga menjelaskan kelemahan-kelemahan internal Islam dan mendorong masyarakat muslim untuk
berpikir dan menyembuhkan kelemahan-kelemahan itu. Bahasa dari jurnal ini adalah bahasa dari
Abduh, sedangkan pemikirannya dari Afghani. Kendati, dicegah oleh otoritas Inggris, jurnal ini tersebar
secara luas, dan banyak dari pemikir generasi belakangan yang member kesaksian atas pengaruh
mendalam dari jurnal-jurnal tersebut dan dibaca bertahun-tahun kemudian. Lihat Ahmad Barizi,
“Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam: Melacak
Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, ed. M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (Malang: Lembaga
Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS), 2007), 88.
Make Money at : http://bit.ly/copy_win
KIRI ISLAM HASSAN HANAFI
Ideologi Kebangkitan Dunia Islam
A.Pendahuluan
Tidak terlalu sulit menemukan kiri dan kanan di kehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian
dua haluan atau front kekuatan yang saling bergumul atau berhubungan secara dialektis. Ketika kata kiri
digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan Kiri
Islam.1
Bagi Hassan Hanafi, tokoh Kiri kontroversial Mesir yang memperkenalkan karya dengan mengedepankan
proyek tradisi dan pembaruan berjudul Kiri Islam menyatakan bahwa penggunaan nama “kiri” sangat
penting. Karena dalam citra akademik, “kiri” memiliki konotasi perlawanan dan kritisisme.2 Berbeda
dengan wacana kebangkitan Islam yang diusung oleh kalangan “neorevivalis” yang lebih
mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan.3
Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam Hassan Hanafi bertopang pada tiga pilar dalam rangka
mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama
adalah revitalitas khazanah Islam klasik. Pilar kedua adalah perlunya menantang peradaban Barat.
Kemudian pilar ketiga yaitu analisis atas realitas dunia Islam.4
Dengan demikian pemikiran Hassan Hanafi ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena secara
tidak langsung pemikiran ini memberikan sebuah gagasan untuk membangkitkan kembali peradaban
Islam melalui gagasan tauhid dan penentangan dominasi kultural Barat.5
B.Mengenal Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada
tanggal 13 Pebruari 1935. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian
Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif
mengikuti diskusi-diskusi kelompok al-Ikhwan al-Muslimun, sehingga paham tentang pemikiran-
pemikiran yang dikembangkan dan aktifitas-aktifitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga
mempelajari pemikiran Sayyid Qutb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan ke-Islaman.6 Hal ini
dikarenakan Hanafi merasakan ketidakpuasan atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-
kotak.
Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi Departemen Filsafat Kairo. Di dalam periode ini ia
merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras
antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa di kampus ini,
membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul
saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Kemudian setelah menyandang gelar sarjana muda, Hanafi melanjutkan ke Universitas Sorbonne
Prancis, dengan konsentrasi kajian pada pemikiran Barat pra-modern dan modern. Di Sorbonne, Hanafi
sangat tertarik mendalami Idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam pemikiran
Hegel dan Karl Marx. Di samping itu, fenomenologi dari Edmund Husserl yang sangat menghargai
individu dalam teori pengetahuan dan kenyataan, juga menarik minatnya.7 Karena itu, meski di
kemudian hari ia mengkritik dan menolak Barat, tetapi tidak pelak, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi,
rasionalisme dan pencerahannya telah mempengaruhinya.8
Mengenai gerak pemikiran Hanafi yang disesuaikan dengan kondisi gerak Intelektual negara Mesir pada
saat itu, dilihat dari tiga kecenderungan pemikiran yang muncul,9 Hanafi tidak begitu setuju dengan
gerakan pemikiran tersebut, walau di masa perjalanan karir pemikirannya sempat berpihak pada
gerakan ikhwan al-Muslimin. Tetapi pemikirannya mengalami proses dengan dipengaruhi oleh gerakan
pemikiran yang lain, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan demikian pemikirannya terbangun
lewat situasi gerak intelektual di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan unik.10
C.Kiri Islam (Kemunculan, Nama dan Artinya)
Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami:Kitabat Fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri
Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Majalah ini terbit pasca kemenangan
Revolusi Islam di Iran pada Februari 197911 yang bersamaan dengan sedang berkecamuknya kritikan
atas rezim politik di Mesir dan juga setelah dipublikasikannya buku al-Hukumah al Islamiyah
(Pemerintahan Islam) dan Jihad an-Nafs (Jihad Melawan Diri) karya Ayatullah Khomeini.12
Dalam esai pertama jurnal yang berjudul “apa arti Kiri Islam?.” Hassan Hanafi mendiskusikan beberapa
isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang
pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan
kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan
perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam itu. Pilar kedua adalah perlunya ada menantang
peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang
cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan
“Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat.
Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional
yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam
dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi dunia Islam kini sedang menghadapi tiga
ancaman, yaitu, imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari luar, kemiskinan, ketertindasan dan
keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.13
Ketika Hassan Hanafi menjelaskan latar belakang munculnya Kiri Islam, Ia mengkaji beberapa
kecenderungan yang menurutnya penting untuk didiskusikan bagi masa depan dunia Arab-Islam.
Pertama, ia menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik
keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua, liberalisme adalah subjek kritik Hassan Hanafi.
Ketiga, kecenderungan Marxis Barat yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan
kolonialisme, telah menciptakan dampak-dampak tertentu, namun belum cukup untuk membuka
kemungkinan berkembangnya khazanah intelektual Muslim. Keempat, kecenderungan revolusi nasional
terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab-
Islam, tapi perubahan itu tidak mempengaruhi kesadaran massa Muslim.14 Dan tugas Kiri Islam adalah
mengatasi kecenderungan-kecenderungan itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi
nasional yang berbasis pada prinsip revolusi sosialisme melalui khazanah intelektual umat.
Meskipun jurnal Kiri Islam hanya satu edisi yang berhasil diterbitkan,15 namun jurnal ini menjadi salah
satu jurnal yang paling penting sebagai bahan kajian dikarenakan beberapa sebab:
1.Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan Al-Manar dilihat dari keterikatannya
dengan agenda Islam al-Afghani; yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan
kebebasan dan keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok
Timur.16
2.Kiri Islam berakar pada pemikir Islam revolusioner Ali Syariati dan upayanya membangun anatomi
revolusi yang merupakan fajar pembuka revolusi Islam di Iran di bawah komando Imam Khomaeni.
3.Kiri Islam merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan
tendensi sosial politik kaum Muslimin. Ia tidak muncul dari ruang hampa dan bukan sesuatu yang
mengada-ada dalam gerakan Islam kendati pun ia muncul di tengah-tengah kekosongan setelah agenda
Al-Afghani mengalami krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar, terlebih di dalam majalah-majalah Al-
Wa’dh wa al-Irsyad dan Al-Dakwah ila Sabil al-Rasyad.17
4.Kiri Islam juga sebuah teks tentang pembaruan pemikiran Islam. Melalui pengujian argumen-argumen
Hassan Hanafi, terutama tentang Mu’tazilah (Kiri yang dipuji-puji Hassan Hanafi), dan tentang Asy’ariyah
(Kanan yang ditolak Hassan Hanafi. Dengan isu ini, kita dapat meneliti kaitan-kaitan antara kekuatan
politik, kesejahteraan Muslim, dan isu rasionalisme.
Sedangkan mengenai penamaan Kiri Islam sendiri, ini menggambarkan arus yang berkembang dalam
esai-esai di dalamnya. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistesi dan
kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan
secara umum. Misalnya, terdapat Kiri Freud dalam psikologi. Kiri Hegel dalam Filsafat, dan Kiri
Keagamaan dalam ilmu-ilmu sejarah agama-agama.
Hassan Hanafi sendiri menyadari, walaupun dengan nama Kiri Islam akan menyebabkan perlawanan
datang dari dua arah. Pertama Kelompok “Persaudaraan Allah” akan berkata: tidak ada Kiri dan Kanan
dalam Islam. Islam adalah satu, umat Islam satu dan Tuhan satu. Sementara perlawanan kedua dari
kalangan pembela status quo (baik politik, ekonomi dan status sosial) yang menolak perubahan akan
mengatakan bahwa Kiri dan Kanan itu adalah permainan kata-kata, untuk memecah belah umat,
menyebar intrik dan fitnah. Kiri adalah pengkhianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada
kebaikan manusia.18
D.Kiri Islam dan Revitalisasi Khazanah Klasik
Kiri Islam juga berupaya merekonstruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya adalah untuk membangun
kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput dari agenda kehidupan umat
Islam.
Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali tradisi keilmuan
Islam. Dengan mengaktualkannya, berarti kita selama ini tidak actual atau tidak sejalan dengan
kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau
reformasi.19
Karena Turats bukanlah wujud yang terlepas dari realitas yang dinamis, berubah dan berganti, yang
mengekspresikan semangat zaman, pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah.20 Turats
sendiri bukanlah masalah kajian zaman bahula semata yang sering dilupakan, selalu di museum dan
diteliti hanya oleh para arkeolog, tetapi juga merupakan bagian dari realitas dan muatan
psikologisnya.21
Oleh karena itu Kiri Islam Hassan Hanafi berupaya merekontruksi, mengembangkan dan memurnikan
kembali khazanah lama (Turats) yang dimana khazanah lama kita terdiri dari tiga macam ilmu
pengetahuan, yaitu: ilmu-ilmu normative-rasional (al-uum an-naqliyah al-‘aqliyah), semisal ilmu
usuludin, ilmu ushul fiqh, ilmu-ilmu hikmah, dan tasawuf. Ilmu-ilmu rasional semata (al-‘aqliyah), semisal
matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi. Dan ilmu-ilmu normative tradisional (an-
naqliyah), semisal ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, sirah Nabi, fiqh dan tafsir.22
Dalam bidang ilmu usuluddin,23 Kiri Islam sebagai paradigma independent pemikiran keagamaan
memandang Mu’tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia.
Dengan demikian Kiri Islam menyepakati lima prinsip Mu’tazilah (ushul al-khamsah) dan berusaha
merekonstruksi prinsip Mu’tazilah itu setelah tenggelam pada abad ke-5 Hijriah. Kemudian juga dalam
ilmu fiqh dan ushul fiqh, Kiri Islam mengikuti paradigma fiqh dan ushul fiqh Maliki karena ia
menggunakan pendekatan kemaslahatan (mashalih mursalah) serta membela kepentingan umat.
Selanjutnya dalam filsafat Kiri Islam mengikuti paradigma Ibnu Rusyd. Ia menghindari iluminasi dan
metafisika, dengan mendayakan rasio untuk menganalisis hukum alam. Dengan demikian Kiri Islam hadir
untuk menegaskan komitmennya pada pemikiran rasionalistik-ilmiah, yang telah dirintis dan
dikembangkan oleh al-Kindi dan Ibnu Rusyd di dunia filsafat Islam. Untuk tasawuf, Kiri Islam
menolaknya, karena tasawuf dipandang sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin24 yang ditengarai
oleh Ibnu Taimiyah, al-Kawakibi dan Imam Khomeini sebagai orang-orang yang sok suci.25
Kiri Islam juga mempunyai akar pada ilmu-ilmu normative-tradisional murni. Dalam ilmu hadits, Kiri
Islam lebih memprioritaskan pada makna hadits, bukan pada perawinya, dan selanjutnya
memprioritaskan pada kata-kata nabi daripada pribadinya. Dalam ilmu tafsir, Kiri Islam melampaui tafsir
historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Akan tetapi Kiri Islam membangun tafsir perspektif (asy-
syu’uri) agar al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, membangun system sosial dan politik. Kemudian sebagai ahli fiqh, Kiri
Islam lebih tertarik pada pengembangan muamalah daripada ibadah.26
E.Kiri Islam Dan Peradaban Barat.
Kiri Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan barat. Jika Al Afghani mengingatkan
akan imperialisme militer, maka kita pada awal abad ini tengah menghadapi ancaman imperialisme
ekonomi berupa korporasi multi nasional, sekaligus mengingatkan akan ancaman imperialisme
kebudayaan. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam dari tradisinya sendiri dan berdiri melawan
pembalakan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan Nasional dan memperkokoh
dominasi kebudayaan barat.27
Tugas Kiri Islam adalah melokalisasi barat, artinya mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan
menepis mitos “Mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya yang menjadikan dirinya sebagai
pusat peradaban dunia dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai paradigma kemajuan bagi
bangsa-bangsa yang lain.28
Tugas Kiri Islam juga menarik peradaban barat bersama kekuatan militernya kedalam batas-batas barat,
setelah imperialisme terpecah, dan menjadikannya objek studi dari peradaban non barat bahkan
membangun ilmu baru bernama oksidentalisme untuk menandingi orientalisme lama.dengan demikian
study tentang peradaban Eropa sebagai sebuah objek studi yang independen dapat dilakukan dari dua
arah, pertama dari perkembangannya dan kedua dari strukturnya.29
Perlu diketahui, kekuatan Barat terletak pada proyek epistemologis “Aku berfikir, maka aku ada”, yang
mengawali babak awal modern Barat. Barat berperan sebagai subjek pengetahuan, dengan menjadikan
Non Barat sebagai objek pengetahuan. Sementara Barat menciptakan orientalisme, maka non Barat bisa
menciptakan oksidentalisme untuk mengkaji fenomena yang disebut “Barat”, sumber-sumber
peradabannya, fase-fase sejarahnya, struktur serta masa depannya. Karena Barat perlu melihat
gambaran dirinya menurut perspektif Non Barat, mendapatkan objektivikasi dan historisasi
sebagaimana dialami budaya lain.30
Namun oksidentalisme yang dimaksud Hassan Hanafi dalam Kiri Islam sesungguhnya bukan lawan
orientalisme melainkan sebuah hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang
satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas
dunia Timur.31
F.Realitas Dunia Islam
Kiri Islam menggambarkan situasi dunia Islam tidak secara normatif untuk memberi nasihat dan
petunjuk. Realitas dan angka-angka statistik dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara
pemikiran keagamaan kita selama ini hanya bertumpu pada model pengalihan yang hanya
memindahkan bunyi teks kepada realitas yang dapat berbicara sendiri. Padahal metode teks seperti itu
banyak mengandung kelemahan.
Pertama; teks adalah teks dan bukan realitas ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang
dapat menggantikannya. Kedua, Berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan
manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan apriori terlebih
dahulu. Sehingga argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Dan ini Elitis. Ketiga;
Teks bertumpu pada otoritas Al Kitab dan bukan otoritas Rasio. Keempat; teks adalah pembuktian (al
burhan) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Kelima; Teks selau terkait denagn
acuan realitas yang ditunjuknya. Keenam: Teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks
lainya. Ketujuh: Teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan untung
rugi. Kedelapan: posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks sehingga
didalam realitas, perbedaan dan pertikaian para penafsir akan menjadi sumber pertikaian diantara
kekuatan yang ada. Sembilan: Teks hanya berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan dan berbagai
pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarah pada rasio dan kenyataan keseharian
mereka. Sepuluh: Metode teks lebih cocok untuk nasihat daripada untuk pembuktian, karena dia hanya
memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat.
Terakhir: Walaupun mengarah pada realitas metode teks secara maksimal hanya akan memberikan
status tetapi tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif.32
Sedangkan metode Kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistic sehingga
realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri. Teks selalu mengacu konteksnya (asbab an-nuzul),
dan Kiri Islam langsung merujuk secara obyektif pada konteks tersebut dan mendefinisikannya secara
kuantitatif. Dalam sejarah pengetahuan, kuantifikasi seperti ini selalu lebih detil dan akurat daripada
sekedar identifikasi abstrak.33
G.Penutup
Kiri Islam Hassan Hanafi sangat jelas makna merupakan salah satu bentuk perlawanan dan juga sebagai
pembelaan terhadap orang-orang yang hidup di bawah kediktatoran para penguasa, tertindas, miskin
dan terbelakang. Ini bisa di “raba” dari tiga agenda besar Kiri Islam yang mengedepankan “Turats wa
Tajdid”.
Mu’tazilah disebut-sebut sebagai pemikiran keagamaan yang lebih diambil Kiri Islam dengan
menyepakati lima prinsip yang dikandung gerakan pemikiran tersebut. Dengan mengintroduksi
Mu’tazilah, Kiri Islam mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi, dan eksplorasi alam.
Namun demikian, meski pemikiran Hassan Hanafi tersebut mengandung butir-butir yang sangat berarti
bagi kemajuan dan perkembangan peradaban Islam ke depan, selalu saja ada yang pro dan kontra.
Karena bagaimanapun buah pemikiran tidak perlu selalu membutuhkan kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA
A.Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela, 2003.
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2005.
Ahmad Hasan Ridwan, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam,
Yogyakarta: Tesis UIN SuKa, tidak diterbitkan, 1997.
Eko Prasetyo, Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta: INSIST Press, 2003.
Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, alih bahasa Kamran As’ad. I. dan Mufliha. W.
Yogyakarta: Islamika, 2003.
-----------------, Cakrawala Baru Peradaban Global, alih bahasa M. Saiful, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
-----------------, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, alih bahasa Asep Usman dkk,
Jakarta: Paramadina, 2003.
-----------------, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, alih bahasa M. Najib B. Jakarta:
Paramadina, 2000.
-----------------, Turas dan Tajdid, alih bahasa Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press Kerja sama
Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001.
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, cet.
1, Jakarta: Teraju, 2002.
John L. Esposito, Ensiklopedi Islam, alih bahasa Eva Y. N dkk, Bandung: Mizan, 2001.
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah kritis Pemikiran Hassan
Hanafi, alih bahasa M.Imam Aziz, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001.

More Related Content

Similar to kiri islam hasan hanafi.docx

Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Ltfltf
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6Ltfltf
 
Kerangka berfikir kalam kontemporer
Kerangka berfikir kalam kontemporerKerangka berfikir kalam kontemporer
Kerangka berfikir kalam kontemporerRifan Abidin
 
Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesir
Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesirPengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesir
Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesirsantri87
 
3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesiaMarhamah Saleh
 
Karakteristik filsafat islam
Karakteristik filsafat islamKarakteristik filsafat islam
Karakteristik filsafat islamAgus Sutarlan
 
Orientalisme di Dunia Islam
Orientalisme di Dunia IslamOrientalisme di Dunia Islam
Orientalisme di Dunia IslamFàdh Äldrîch
 
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqikonsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqiLtfltf
 
325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx
325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx
325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptxPutriDamayanti55
 
Tokoh Modernisasi Islam
Tokoh Modernisasi IslamTokoh Modernisasi Islam
Tokoh Modernisasi Islamrendrafauzi
 
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdfb-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdfTriomediaCenter
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaAinina Sa'id
 

Similar to kiri islam hasan hanafi.docx (20)

Spe Bab3
Spe Bab3Spe Bab3
Spe Bab3
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6
 
Kel 8
Kel 8Kel 8
Kel 8
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6
 
Kerangka berfikir kalam kontemporer
Kerangka berfikir kalam kontemporerKerangka berfikir kalam kontemporer
Kerangka berfikir kalam kontemporer
 
Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesir
Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesirPengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesir
Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesir
 
3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia
 
Karakteristik filsafat islam
Karakteristik filsafat islamKarakteristik filsafat islam
Karakteristik filsafat islam
 
Agama islam orientalisme
Agama islam   orientalismeAgama islam   orientalisme
Agama islam orientalisme
 
Jil&syi'ah
Jil&syi'ahJil&syi'ah
Jil&syi'ah
 
Orientalisme di Dunia Islam
Orientalisme di Dunia IslamOrientalisme di Dunia Islam
Orientalisme di Dunia Islam
 
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahmanIslamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
Islamisasi sains dan penolakan fazlur rahman
 
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqikonsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
konsep integrasi ilmu menurut ismail razi al faruqi
 
325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx
325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx
325098361-kontribusi-islam-dalam-perkembangan-peradaban-dunia.pptx
 
Dwi ilhami
Dwi ilhamiDwi ilhami
Dwi ilhami
 
ISLAM LIBERAL
ISLAM LIBERALISLAM LIBERAL
ISLAM LIBERAL
 
Tokoh Modernisasi Islam
Tokoh Modernisasi IslamTokoh Modernisasi Islam
Tokoh Modernisasi Islam
 
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdfb-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
b-m-rachman-islam-dan-liberalisme.pdf
 
Fundmentalisme
FundmentalismeFundmentalisme
Fundmentalisme
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
 

Recently uploaded

APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024GilbertFibriyantAdan
 
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEISIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEIGilbertFibriyantAdan
 
PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...
PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...
PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...KangSarungPangeranBe
 
4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt
4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt
4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.pptMichaelPateh1
 
KEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islam
KEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islamKEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islam
KEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islamsyifaavirarachman
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7Adam Hiola
 

Recently uploaded (6)

APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
 
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEISIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
 
PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...
PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...
PPT puasa: menjekaskan tentang pengertian puasa dan hal hak yang berkaitan te...
 
4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt
4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt
4 RAHSIA UMUR PANJANG BAGI ORANG KRISTEN.ppt
 
KEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islam
KEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islamKEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islam
KEL 1 HAKIKAT IBADAH dalam ajaran agama islam
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 7
 

kiri islam hasan hanafi.docx

  • 1. KIRI ISLAM KAZHUOSHIMOGAKI KIRI ISLAM Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaan Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Sejarah Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam Dosen Pengampu Prof. Fauzan Saleh, Ph.D. Oleh : Rina Hidayati 921211035 PROGRAM PASCA SARJANA KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI 2011 A. Pendahuluan Pemikiran Hassan Hanafi dan Kebangkitan Kiri Islam 1. Posisi Pemikiran Hassan Hanafi Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhȗriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Februari 1935. Keluarganya berasal propinsi Banȗ Swaif, salah propinsi di Mesir bagian selatan. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah bani Mur yang diantaranya; menurunkan bani Gamal ‘Abd Al-Nasser, Presiden Mesir Kedua.[1] Namun kemudian mereka pindah ke Kairo.[2] Ia adalah seorang filosuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan gurubesar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo.[3] Ia memperoleh gelar doctor dari Sorbone University, Paris, tahun 1966 dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra modern dan modern. Ia tergolong modernis liberal seperti Luthfi al-Sayyid, Taha Husain, dan Al-Aqqad. Salah satu keprihatinannya adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan menyeluruh. Menjelang umur lima tahun, ia mulai menghafal Al-Qur’an. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah Sulayman Gawisy, Bab Al-Futuh selama lima tahun. Setelah tamat dari pendidikan tersebut ia masuk sekolah pendidikan guru, Al Mu’allimin. Setelah empat tahun, dan ia akan naik ke tingkat lima, ia pindah ke Madrasah Al Silahdar, yang berada di kompleks masjid Al Hakim bi Amri’llah, dan dia langsung diterima di kelas dua. Pada 1961 M, disertasinya tentang ushul fiqih dinyatakan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir. Disertasi setelab 900 halaman itu dia beri judul Éssai sur la method d’Exegese” (Esai tentang Metode Penafsiran). Sementara karya ilmiah yang berhasil dia tulis selama jenjang akademisnya sebanyak tiga macam, yaitu:[4] 1. Essai sur la method d’Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran), yang memperoleh hadiah sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir. 2. L’Exegese de la phenomenology (Tafsir Fenomenologi). 3. La phenomenology de l’Exegese (Fenomenologi Tafsir). Setelah menyandang gelar doktor pada tahun 1966 M, ia kembali ke Mesir dan mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat, Universitas Kairo hingga tahun 1971. Ia adalah pelopor pendirian organisasi Himpunan Filosof Mesir yang berdiri pada tahun 1986 yang diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani, kemudian diganti oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq (menteri Agama Mesir), dan Hanafi sebagai Sekretairs Jenderalnya. Wajah pertama, peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner seperti Ali Syariati dan Imam Khomeini. Setelah revolusi Islam Iran menang, ia meluncurkan Kiri Islam, salah satu tugasnya adalah mencapai Revolusi Tauhid (keesaan, pengesaan). Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam Klasik, ia mirip posisi Muhammad Abduh. Wajah ketiga adalah penerus gerakan Al-Afghani[5] (perjuangan melawan imperialisme Barat dan untuk mempersatukan dunia Islam). Hassan Hanafi memperoleh ide dari A.G Salih dan mengembangkan makna kiri dalam jurnal Kiri Islam (Al-Yasar al-Islami). Istilah tersebut dalam tulisan A.G Shalih tahun 1972 yang ditulis oleh Kazuo Shimogaki dalam bukunya yang berjudul Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, disitu disebutkan: Dalam Islam, Kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh masyarakat. Singkat kata, Kiri adalah kecenderungan sosialistik dalam Islam. Bagi Hassan Hanafi, Kiri mengangkat posisi kaum yang tertindas, kaum miskin yang menderita. Ia mengenalkan ‘terminologi Kiri’ dan ‘orang-orang Kiri’ adalah penting bagi upaya menghapus seluruh sisa-sisa imperialisme. Salah
  • 2. satu tugas Kiri Islam adalah mengembalikan Barat kepada sisi alamiahnya, yaitu dengan menghalau segala pengaruh kultural Barat yang merasuk ke dalam umat Islam dan bangsa-bangsa Muslim. 2. Kemunculan Al-Yasar al-Islami merupakan sebuah wadah perjuangan pembebasan bagi kaum yang tertindas dan ini didominasi oleh orang-orang Muslim. Jurnal ini terkesan sebagai refleksi dari karya- karyanya yang terdahulu, karena munculnya setelah semua karya besarya ditulis. Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkala Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Kiri Islam bertopang pada tiga pilar. Pilar pertama, adalah revitalisasi khazanah Islam klasik, rasionalisme adalah suatu keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta memecahkan situasi kekinian dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menantang peradaban Barat, ia mengusulkan ‘oksidentalisme’ sebagai jawaban ‘Orientalisme’ dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam, disini ia mengkritik metode tradisional Islam yang selalu bertumpu pada teks (nash), agar realitas Islam dapat berbicara pada bagi dirinya sendiri. Kiri Islam diterbitkan setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran taun 1979. Hassan Hanafi menjelaskan munculnya Kiri Islam dan mengkaji beberapa kecenderungan yang penting untuk didiskusikan bagi masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi ritus. Kedua, liberalism adalah subyek kritiknya, dalam kenyataan liberalisme didukung oleh kalangan kelas atas yang mengendalikan ‘kesejahteraan’ nasional. Ketiga, kecenderungan Marxis Barat yang bertujuan memapankan partai yang berjuang melawan kolonialisme, ini telah menciptakan dampak-dampak tertentu, tapi hal ini belum cukup untuk membuka berkembangnya khazanah intelektual Muslim. Keempat, kecenderungan revolusi nasinal terakhir membawa perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab-Islam, akan tetapi hal itu belum juga mempengaruhi kesadaran Muslim. Islam kiri bukan sekedar usaha responsive Hassan Hanafi atas revolusi Islam di Iran. Dari gagasannya tentang Al-Din wa Al-Tsaurah (Agama dan Revolusi), kita dapat menjajaki pula “Revolusi Dunia Ketiga” dan “Teologi Pembebasan” dalam konteks sosial politik modern. Bukan hanya yang berkaitan dengan dunia Arab-Islam, akan tetapi juga berkaitan dengan revolusi dan teologi pembebasan di negara-negara Dunia Ketiga.[6] Jadi tugas Kiri Islam adalah untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan dan merealisasikan tujuannya termasuk juga revolusi nasional yang berbasis prinsip revolusi sosialisme melalui khazanah intelektual umat. 3. Relevansi Kiri Islam Kiri Islam adalah sebuah forum di antara pergerakan Islam yang modern yang muncul dari berbagai kalangan di dunia Islam. Ada beberapa sebab jurnal ini menjadi teks paling penting sebagai bahan kajian, yaitu: a. Keberhasilan revolusi Islam di Iran tahun 1979 yang memberikan dampak besar pada dunia Arab. Kiri Islam menguji dampak revolusi itu terhadap wacana itelektual di kalangan Arab-Islam. Melalui reaksi itu dapat dikonfirmasikan pentingnya revolusi Islam dalam dunia Arab-Islam modern dan sejarah dunia. b. Kiri Islam tidak sekedar responsi Hassan Hanafi atas revolusi Islam di Iran. c. Kiri Islam adala teks penting untuk kajian perkembangan pergerakan Islam modern, terutama gerakan yang muncul setelah Jamaluddin Al- Afghani[7]. Hal itu didorong oleh dua faktor, pertama ia mencoba menyamai kebesaran nama Al Afghani, kedua melakukan tugas besar mendefinisikan masa depan gerakan Islam dan dunia Islam. d. Kiri Islam juga sebuah teks tentang pembaharuan pemikiran Islam. Pembagian Kiri dan Kanan mempunyai problem tersendiri. Seperti diungkapkan oleh Akhmad Taufik dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernism Islam dikatakan bahwa: Lintasan sejarah pemikiran Islam memunculkan kasus besar tentang esensi Kiri Islamnya Hassan Hanafi. Dalam terminology teologi,
  • 3. Asy’ariyah sebagai teologi “kanan” karena bertumpu pada kemapanan dan penindasan rasionalitas, maka Mu’tazilah adalah “Kiri” karena berada di jalur tertindas dan terkikis, akibat menegakkan rasionalitas. Dalam syari’at Islam (madzhab fiqih) yang berupaya membekuka hukum dan taqlid merupakan model kemapanan sekaligus penindasan ijtihad dianggap “kanan” dan dalam praktik realitas sosial demikian banyak politik berjalan dalam logika tirani-feodal, hal ini berarti “kanam”. Sementara kelompok tertindas yang menggeliat menuntut hak serta memperjuangkan nasib kerakyatan dianggap “kiri”. Upaya mengembangkan pendekatan nilai modernism “kiri” yang dimaksudkan Hassan Hanafi akan selalu bercorak membawa kemajuan, program dan dinamis. Sementara “kanan” berarti kejenuhan, kebekuan dan apatis stats. Dengan persepsi ini, maka Hassan Hanafi berusaha menegakkan khazanah wawasan kajian Islam. Upaya-upaya demikian, secara metodologis dan secara epistimologis dilakukannya dengan memanfaatkan kajian pembedahan Alquran yang sangat interpretative, hidtorikal dan teoretis kontekstual dengan perilaku-perilaku hasil searah. Termasuk dalam membaca budaya Barat yang sudah terkristalisasi pada peradaban Islam Kiri. e. Kiri Islam merupakan refleksi dari kekacauan suasana politik di dunia Arab dan dunia intelektual Arab dan khususnya dunia kebangkitan Arab. f. Isu utama Kiri Islam adalah kolonialisme, kapitalisme, dan zionisme yang mengepung dunia Islam dari luar, serta kemiskinan, penindasan, keterbelakangan di dunia Islam. B. Isi Ø Bab I Salah satu masalah yang menjadi keprihatinan di dalam Kiri Islam adalah konfrontasi antara dunia Islam dan Barat. Barat sudah mendominasi berbagai diskursus dunia kontemporer, baik sains, politik, ekonomi, militer, dan lain sebagainya.[8] Dan Hassan Hanafi merancang suatu upaya mengatasi problem- problem yang muncul sebagai akibat dari westernisasi. Agar umat Islam mampu hidup di masa depan dalam kondisi serba modern dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam dan mampu mengikuti perkembangan zaman.[9] Kebenaran agama kata Hanafi bukan pada kumpulan dogmanya. Yang dapat dipertahankan dengan mengemukakan argument tertentu. Tapi kebenaran agama terletak pada kemampuannya untuk menjadi motivasi bagi tindakan.[10] 1. Tauhid Pemikiran Hassan Hanafi dimulai dari ajaran yang paling mendasar dalam Islam, yaitu tauhid. Menurutnya, hal pertama dan utama yang harus dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah pembangunan kembali semangat tauhid.[11] Hal ini menurutnya karena tauhid merupakan asal seluruh pengetahuan. Jadi, Islam bukan berarti tunduk atau menghamba, akan tetapi merupakan revolusi transcendental terhadap struktur kesadaran individu, tatanan sosial dan sejarah yang dinamis. Abuya mengatakan bahwa tauhid adalah benteng moral masyarakat dan modal perjuangan umat Islam.[12] Apabila landasan tauhid kuat, maka modal perjuangan Islam juga semakin kuat. Untuk mewujudkan tauhid yang sebenarnya, maka hal itu tidak semudah yang dibayangkan dan membutuhkan cukup waktu. Tauhid sering dipahami sebagai ‘keesaan Tuhan’, persepsi ini tidak seluruhnya benar, karena ketika suatu agama dibandingkan oleh agama lain dan ketika suau nilai dibandingkan oleh nilai lain, maka yang terjadi adalah sebuah prasangka. Jadi analisis kita tentang Islam dan Tauhid tidak bisa hanya sebatas pada Tuhan. Jadi jalan terbaik untuk memahami tauhid adalah mengartikannya sebagai ‘penyatuan’ ketika hal tersebut dikembalikan kepada ketuhanan berarti ‘keesaan Tuhan’. Sedangkan bidang keduniawian Tauhid dianalisis berfungsi sebagai pemikiran dalam lembaga sosial politik dan peradaban, maka kita gunakan istilah ‘pandangan dunia tauhid’ yang berarti bahwa alam semesta ini adalah berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sangat jelas bahwa aspek kehidupan sosial Islam harus diintegarsikan ke dalam ‘jaringan relasional Islam’. Dan ini akan diuji melalui ibadah (yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, haji). ü Syahadat Yaitu persaksian seorang muslim. Bahwa tidak ada
  • 4. Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Ini berarti mereka bersaksi atas sebuah bentuk jaringan relasional Islam, karena firman Allah adalah abadi dan universal. Keempat ibadah berikutnya dilandasi oleh pandangan dunia yang saling terkait. ü Shalat Yaitu dialog spiritual langsung Muslim dengan Tuhannya. Seluruh Muslim mempunyai kesempatan yang sama untuk berhubungan langsung dengan Tuhannya. Shalat tidak hanya aspek spiritual saja, akan tetapi juga mencakup latihan fisik. Wudlu dan ghusl tidak hanya mencakup aspek pembersihan spiritual akan tetapi juga latihan bagi kebersihan badan. ü Puasa Puasa Ramadhan dikerjakan serentak, artinya seluruh Muslim berpartisipasi secara langsung pada bulan ini, ini juga merupakan gerakan sosial yang menyatukan Muslim secara simbolik. Cara ini diharapkan akan menumbuhkan rasa solidaritas terhadap penderitaan rakyat miskin, yang kemudian melahirkan sikap empatik dan simpatik pada penderitaannya. Mereka nantunya akan memiliki sikap dermawan dan proaktif dalam mendarmabaktikan harta dan kekayaannya untuk rakyat miskin melalui zakat, sedekah, infak, dan sejenisnya.[13] ü Zakat Zakat berfungsi sebagai aspek spiritual ketika ia digunakan untuk membersihkan dirinya (Q.S. 92: 18), tetapi juga sebagai aspek ekonomi ketika ia berguna untuk orang lain (kaum miskin, fakir, amil, sabilillah, ibnu sabil) (Q.S. 9: 60). ü Haji Haji diartikan oleh Hassan Hanafi sebagai sebuah peristiwa konferensi. Yaitu Muslim melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan dengan aksi nyata, dan haji dilaksanakan hanya pada bulan Dzulhijjah. Dalam lima kewajiban di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah yang bersifat spiritual adalah juga bersifat material, aksi yang duniawi adalah juga agamawi, yang individual sekaligus sosial. Kehidupan Muslim adalah kehidupan yang pasti, dan dalam kehidupan itu dibutuhkan lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik dan Muslim membagi waktunya untuk kehidupan ekonomi, politik, sosial dan kultural. Manusia baik laki-laki maupun perempuan memerlukan suatu lingkungan yang menunjang adanya pendidikan yang tepat dan lembaga-lembaga politik, hukum dan sosial untuk menjamin keadilan, pengembangan seluruh potensi kemanusiaan, dan partisipasi mereka dalam pembangunan masyarakat.[14] Berdasarkan kenyataan di atas, umat Islam harus bangkit membentuk suatu kekuatan dangan melalui penguasaan-penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir.[15] Pentingnya sains dan teknologi yang berbasis sains serta industri di dunia modern memang tak perlu dipertanyakan lagi.[16] Islam mendorong keterlibatan aktif di dunia, termasuk penyelidikan ilmiah atas alam yang membawa kemajuan teknologi. Al-Banna percaya bahwa ajaran Islam tak bertentangan dengan capaian-capaian ilmu pengetahuan, karena agama dan ilmu pengetahuan membahas tentang realitas yang berbeda.[17] Bagian yang juga penting yaitu umat, secara harfiah berarti ‘komunitas Islam’. Umat tidak dibatasi oleh batas-batas tertentu, umat mencakup seluruh kawasan di mana Muslim hidup. Pandangan Tauhid yaitu di mana pun Muslim hidup dan dalam kawasan manapun mereka berada, mereka pasti akan berhibuangan dengan non-Muslim. Dengan demikian konsep jaringan relasional Islam itu telah meluas kepada non-Muslim, mereka semua dirangkum dalam semangat tauhid yang meletakkan pada tingkatan yang sama. Pandangan dunia Tauhid menegaskan universalitasnya, cita-cita Islamakan merangkum seluruh bidang, maka dengan demikian ia akan sempurna. Hal ini seperti sebuah jaringan, apabila jaringan tersebut ada satu saja yang tidak berfungsi maka jaringan yang lain tidak akan berjalan normal. 2. Dari modernitas ke Postmodernitas Modernitas diartikan sebagai bentuk-bentuk pandangan dunia dan sistem pemikiran. Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme prograsif; rasionalitas administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya.[18] Inti dari kecenderungan epistimologis modernitas yaitu: ü Pemisahan antara bidang
  • 5. sakral dan bidang duniawi. Contohnya yaitu pemisahan antara agama, negara dan politik. ü Kecenderungan ke arah reduksionisme. Seperti dalam fisika Newton, materi dan benda direduksi kepada elemen-elemennya. ü Pemisahan antara subjektifitas dan objektifitas. Jadi ini akan mengarah kepada pengenalan bahwa ‘deskripsi objektif’ selalu berkait dengan realitas yang pasti. ü Antroposentrisme menggambarkan kecenderungan manusia untuk menganggap diri mereka sebagai entitas pusat dan yang paling penting di alam semesta, atau penilaian realitas melalui perspektif eksklusif manusia.[19] Hal ini Nampak pada sejarah Barat dan semenjak masa pencerahan, dan ini tampak dalam konsep-konsep demokrasi dan individualisme. ü Progresivisme, contohnya dalam bidang ilmu pengetahuan yaitu kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan. Dalam masyarakat modern manusia menghadapi sejumlah krisis yang cukup serius, misalnya perusakan lingkungan, kelaparan, diskriminasi rasial, dan ancama perang nuklir. Penyebab problem itu sangat kompleks jadi kita akan mendiskusikan suatu kecenderungan baru yang berupaya mengatasinya, ini akan disebut dengan postmodernisme[20]. Ini kita akan menguji trend postmodernisme dengan mendiskusikan dua orang pakar: ü Epistimologi G. Bateson[21] Bateson menyerang salah satu pilar terpenting dalam modernitas: “Sains tak pernah membuktikan apapun”. Mitos tentang sains telah terbongkar, oleh karena itu mitos menuju kebenaran juga terbongkar oleh pengetahuan ilmiah. Dia menegaskan bahwa bukti-bukti dalam sains ada di alam tautology. Suatu penemuan baru dalam sains tidak berarti kemajuan atau langkah baru menuju suatu kebenaran, penemuan itu sendiri bisa jadi hanya suatu lompatan dari tautologi ke tautologi lain. Kita bisa membuktikan tentang bidang tertentu, namun kita tidak tahu bagaimana bidang itu bisa terkait dengan bidang yang lain hingga kita dapat menemukan jaringan relasionalnya. Ia tidak setuju pada reduksi sesuatu menjadi elemen-elemen atau karakter yang khas. Sesuatu yang menarik untuk dikemukakan adalah dia menggunakan idenya tentang relasi untuk menciptakan teori “ikatan- ganda” untuk analisis schizophrenia. Ia menganggap penyakit itu sebagai penyakit relasi, bukan penyakit kepribadian Menurutnya, informasi adalah perbedaan, oleh karena itu ia mencoba mendefinisikan pikiran (mind) berdasarkan teori informasinya dan konsep tentang perbedaan. Criteria tentang pemikiran adalah sebagai berikut: 1) Suatu pikiran adalah sebuah agragrasi dari bagian atau komponen yang berinteraksi 2) Interaksi antara bagian-bagian pikiran itu dipicu oleh perbedaan- perbedaan. Sebagai contoh yaitu seorang fisikawan mencoba mencari eksistensi partikel tertinggi, maka pasti tidak dapat ditemukan. Eksistensi suatu partikel dapat dipahami dengan informasi, yaitu berita- berita tentang perbedaan. Apabila ada suatu partikel tertinggi maka eksistensinya dijelaskan oleh unit perbedaan yang paling kecil dari partikel tertinggi itu. Apabila hal itu dibuktikan, maka tidak ada partikel yang tertinggi. Dengan demikian materi juga direduksi menjadi masalah perbedaan sebagaimana masalah pikiran (mind) tadi. Pada akhirnya tidak ada kejelasan jarak antara materi dan pikiran. Hal ini merupakan tantangan radikal Bateson terhadap pemikiran modern. ü Teori Relasi Kekuasaan: M. Foucault Dengan analisi historisnya, ia merelativisasi sesuatu yang dianggap absolut. Dia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia, dan lain sebagainya yang berada di dalam kerangka relasi kekuasaan. Baginya, kekuasaan bukan sesuatu yang ‘ada’, kekuasaan sama dengan serba banyak relasi kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang atau waktu dan di mentransformasikan pengertian kekuasaan yang secara konvensional dapat dipahami bahwa kekuasaan itu menindas, memproduksi kekuasaan itu memproduksi kebenaran. Oleh karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan kebenaran itu berada di dalam kekuasaan. Analisisnya tentang pengetahuan yaitu dari analisis sejarah tentang sistem hukuman dan disiplin, bahwa lain
  • 6. kekuasaan lain juga pengetahuan. Pengetahuan diserap dalam kekuasaan dan superiotasnya dibongkar. Harapannya adalah pembebasan umat manusia dalam arti sebenarnya karena ia merasa begitu kompleks penindasan dengan kebenaran dan kekuasaan. Foucault menyuguhkan kepada kita dengan teorinya tentang anti-antroposentrisme dan memuji kebaikan postmodernisme dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa intelektual Barat modern telah mencoba merebut manusia di dalam sejarah dan masyarakat Barat, tetapi setiap cara telah menghilang sekarang. Antroposentrisme dalam masyarakat dan sejarah Barat telah berubah menjadi Erosentrisme dan Etnosentrisme. Masalah ini juga yang dilawan oleh Foucault. Ø Bab II Tantangan Barat dan Jawaban Islam Bagi Hassan Hanafi, kolonialisme merupakan kejahatan terbesar dalam sejarah kemanusiaan yang dilakukan Barat atas bangsa-bangsa non-Barat. Tetapti bagi Kiri Islam, imperialisme adalah salah satu masalah fundamental, dan ia menyatakan bahwa imperialisme menjadi hantu bagi dunia Islam. Ia juga melihat dengan tajam apa yang tidak terlihat dari upaya-upaya Barat, yakni imperialisme kultural Barat. Ini baginya adalah masalah serius, karena dunia Barat ingin agar bangsa-bangsa secara kultural lemah. Yang peling penting adalah bahwa sejarah Barat itu sendiri telah terdistorsi[22]. Imperialisme adalah buah dari masyarakat Barat yang terdistorsi, dan Barat tidak bisa dipahami tanpa Timur. Respon Hassan Hanafi Kiri Islam merupakan respon Hassan Hanafi atas tantangan Barat, melanjutkan perjuangan Al-Afghani melawan kolonialisme. Baginya penggunaan nama “Kiri” sangat penting karena dalam citra akademik Kiri adalah konotasi untuk perlawanan dan kritisisme. Secara umum istilah Kiri sering disalahpahami. Dalam dunia Islam Kiri dikenal sebagai “kafir” atau “atheis”. Hal ini merupakan sisa-sisa penjajahan imperialisme kultural yang mencegah Muslim mendukung ide-ide Kiri dan membuat mereka bersikap negatif terhadap isu-isu penting seperti pembebasan, demokrasi, dan perjuangan dalam bentuk apapun. “Kiri” sendiri adalah sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Nama ini menjamin adanya gerakan, perlawanan, revolusi, dan bukan sekedar perbincangan tanpa hasil.[23] Revolusi Iran bagi Hassan Hanafi adalah “Revolusi Islam yang terjadi di Iran.” Salah satu respon terhadap Barat adalah dengan cara memperkenalkan Revolusi Islam itu kepada khalayak Muslim, tetapi bukan menganjurkan untuk melakukan oposisi pada pemerintah apalagi pemberontakan pada negara. Kiri Islam sesungguhnya hanya melakukan investigasi terhadap gerakan revolusioner dan ingin melakukan teorisasi revolusi di kalangan Muslim. Revolusi yang dimaksud adalah Revolusi Tauhid. Dunia Islam memang berada di bawah dominasi imperialisme kultural, dan tugasnya adalah berjuang melawan dominasi itu. Hassan Hanafi menyerap ilmu-ilmu, metodologi dan pemikiran Barat. Namun Kiri Islam tidak terpengaruh oleh Barat. Ia mencoba membuka wajah peradaban Barat. Menurutnya mengkaji hakekat perkembangan Barat merupakan keniscayaan untuk menghentikan Erosentrisme yang telah menguasai dunia, dan untuk menebus kejahatan orientalisme. Gagasan itu disebut “oksidentalisme” dalam Kiri Islam. Hassan Hanafi menyatakan pentingnya Oksidental[24] (al-istighrâb) untuk menetralkan dan mengimbangi Orientalisme (al-Istisrâq).[25] Hassan Hanafi yang menyerap ilmu-ilmu Barat, dan bersikap sebagaimana mestinya seorang intelektual Muslim berinteraksi dengan Barat dan dapat mendiskusikannya secara objektif-akademik, mencoba untuk membangun suatu “Ilmu Sosial Baru” yang “Oksidentalistik”, sebagai lawan dari “Orientalistik”.[26] Hassan Hanafi selalu mengingatkan tentang kekeliruan-kekeliruan Barat memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalisis.[27] Dari sisi ini ia menjadikan Barat sebagai bahan kajian akademik dengan mencoba membangun sistemik “Ilmu Sosial Baru”. Ia mengkaji nilai-nilai dab ilmu-ilmu Barat sepenuhnya, tapi dari situ pula dia berpijak mengkaji Barat dalam suatu
  • 7. pemahaman wacana kelompok modernis, baik mereka yang menerima maupun mereka yang menolaknya. Dari realitas menuju Kebangkitan Umat Kebangkitan atau fundamentalisme, istilah fundamentalisme berasal dari bahasa Inggris fundament yang dapat diartikan dasar dari sesuatu, atau sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata fundamentalisme biasa diartikan sebagai ide atau gerakan yang mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang diyakini paling dasar dan benar, seperti kitab suci bagi pemeluk suatu agama, atau dasar Negara (ideology) bagi suatu bangsa. Sedangkan orang yang mengikuti idea tau gerakan itu disebut fundamentalis. Dalam kamus Oxford Advance Learner’s (1990: 501) disebutkan definisi fundamentalisme yang terkait dengan agama (Kristen), “belief that the Bible is literally true and should from the basis of religious thought or pracrice”.[28] Hasil dari pengaruh imperialisme pada dunia Islam adalah keterbelakangan, penindasan, kediktatoran, tersumbatnya kebebasan dan demokrasi dan meluasnya kemiskinan. Hassan Hanafi melakukan kritik terhadap aspek – aspek negatif yang diderita dunia Islam dan Kiri Islam juga mempunyai penilaiannya sendiri. Pertama, kembali pada realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dunia Islam dibagi menjadi dua kelompok, penguasa dan yang dikuasai, yang kaya dan miskin. Nama Kiri diangkat dari realitas itu dan memihak pada sisi kedua. Menurutnya mengapa terjadi kemandegan dalam dunia Islam adalah karena dominannya sufisme. Karena ketika seorang sufi mencapai tingkat penyatuan dengan Tuhan, pasti telah membayangkan bahwa sebuah negara Islam telah berdiri dan semua masalah telah teratasi, akan tetapi nyatanya berbagai dunia Islam itu telah dijajah. Realitas dunia Islam itu yang menurut Hassan Hanafi mengharuskan konstruktif rasionalisme saat ini jauh lebih penting dari pada merobohkan rasionalisme seperti dalam pemikiran sufisme klasik. Kritiknya diarahkan pada khazanah Islam untuk menganalisis krisis itu. Ia menjelaskan lima akar krisis dunia Islam: ü Pertama, ia mengkritik metode interpretasi Al- Qur’an secara tekstual, sebagaimana Madzhab Hanbali, karena hanya mengambil satu sisi dari ayat Al- Quran dan tidak mendiskusikan detil isinya. Dengan demikian Muslim pada umumnya memberi prioritas pada aspek eksternal Al-Qur’an. Dengan perintah tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis yang memuat norma-norma dasar bagi penetapan hukum, umat Islam dalam hal ini para ulama diperintahkan dan dianjurkan supaya bekerja keras melakukan penalaran dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ketentuan hukumnya tidak tegas-tegas ditentukan oleh nas-nas Alquran dan hadis.[29] Ahmad Barizi menyatakan dalam bukunya yang berjudul Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern menuliskan: Menurut al-Banna, pemahaman yang autentik tentang Islam mensyaratkan pengenalan al-Qur’an dan Sunnah, dua sumber otoritatif untuk menetapkan peraturan Islam dalam setiap keadaan. Kaum muslim harus mempelajari Kitab Suci-nya agar dapat pemahaman yang komprehensif tentang agamanya, bukan semata tunduk kepada otoritas keagamaan yang ada. Dalam beribadah, kaum muslim haruslah berlandaskan pada kitab suci dan tidak boleh mempercayai kemujaraban azimat, jampi-jampi, mantera, dan ramalan. Secara umum, kaum muslim harus memerangi bid’ah dalam praktik agama.[30] ü Kedua, ia menemukan kaitan hadis entang “perpecahan umat ke dalam 73 kelompok”, dengan potensi saling bermusuhan. Menurut hadis itu, hanya satu kelompok yang selamat, jadi kelompok yang berkuasa yang menganggap dirinya yang selamat, dan yang lain adalah celaka. ü Ketiga, ia mengkritik As’ariyah karena pandangannya deterministik, sentralistik, dan otoritatif yang kemudian dianut mayoritas Muslim, hasilnya muncul penguasa tunggal dan ketundukan pada penguasa. ü Keempat, rasionalisme dalam filsafat Islam tidak ditempatkan pada posisi netral tetapi pada posisi kontradiktif. Kepentingan rasio adalah bagaimana mencari jalan tengah terhadap perbedaan bukan menceiptakan dialog, karena dialog hampir-hampir
  • 8. mustahil dilakukan. ü Kelima, tidak ada kajian manusia dalam khazanah Islam klasik. Misalnya ilmu usul al-din (pokok-pokok agama) yang pada dasarnya memperlihatkan suatu studi tentang manusia, tapi tanpa kajian yang independen akan mengeluarkan manusia dari esensinya. Relevansi Metodologi Hassan Hanafi Kepada manusia modern Islam tidak memberikan sekumpulan pemecahan terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, tetapi sebuah pemilihan arah yang sangat berbeda.[31] Kiri Islam yakin bahwa cita-cita revolusi Islam dapat benar-benar tercapai setelah realitas-realitas yang terjadi dianalisis secara seksama dan setelah semuanya ditanggulangi. Analisis sosial adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk memperbaharui masyarakat, karena mereka masih mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya mengalihkan teks pada kenyataan. Hassan Hanafi menemukan kelemahan pada metodologi ini. ü Pertama, teks bukan realitas, ia hanya sebuah teks. Sebuah ekspresi lingistik yang mendiskripsikan linguistik yang mendeskripsikan realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Bukti adalah fundamental, karena teks itu tidak dapat dijadikan bukti tanpa melihat kembali kepada landasan realitasnya. ü Kedua, teks memerlukan keyakinan a priori yang kontras dengan rasio dan kontras dengan pengalaman manusia. Karena itu kebenaran pembuktian teks hanya untuk orang-orang yang mempercayainya, bukan pembuktian secara universal. ü Ketiga, teks bertumpu pada otoritas kitab, bukan rasio. Otoritas kitab bukan bukti, di sisi lain masih ada realitas dan akal. ü Keempat, teks adalah bukti yang datang dari luar, bukan dari dalam. Dalam term pembuktian, sesuatu yang berasal dari luar tentu lemah dari pada yang berasal dari dalam. ü Kelima, teks memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang telah ditunjuk, yaitu suatu peristiwa yang ditandai teks. Tanpa itu maka teks tidak akan bermakna, konsekuensinya yaitu akan terjadi kesalahpahaman, dan penggunaan teks di luar konteksnya. ü Keenam, teks adalah unilateral, dan bertumpu pada teks-teks lain. Dan tidak boleh mempercayai sebagian kitab dan mengingkari sebagian yang lain. Apabila hal itu terjadi maka akan terjadi suatu kontradiksi antara teks-teks itu dan seorang penafsir akan jatuh pada pandangan yang parsial. ü Ketujuh, teks bertumpu pada pilihan-pilihan, dan biasanya pilihan-pilihan itu didasarkan pada untung dan rugi. Jadi para kapitalis akan menggunakan teks yang menguntungkannya saja. Sedangkan teks yang menurutnya tidak menguntungkan maka tidak akan pernah dipakai. ü Kedelapan, kondisi sosial seorang penafsir adalah dasar bagi pilihan teks itu. Kemudian menjadikan saling dorong karena persaingan kekuasaan kelompok. ü Kesembilan, teks dihadapkan pada keyakinan yang digunakan untuk menghiasi symbol-simbol keagamaan dan mencanggihkan argumentasi para kaum apologis, bukan pada rasio umat atau kenyataan langsung. Jadi, metode yang demikian itu bukan metode yang ilmiah akan tetapi sebuah retorika untuk mendukung kepentingan suatu kelompok atau menyerang kelompok dan sistem lain. ü Kesepuluh, metode teks lebih dekat kepada nasehat dan petunjuk daripada pembuktian dan penjelasan. Itu lebih membela Islam sebagai sebuah prinsip dari pada membela sebagai umat. Metode teks lebih jauh dari pada yang dapay kita lakukan, kalaupun dapat mencapai sasaran dan kembali kepada realitas, ia hanya akan memberikan kepada kita suatu pernyataan, bukan kuantitas. Hassan Hanafi tidak tahu sampai di mana batas metodologi teks tradisional. Yang diklarifikasi metode ini adalah pembagian muslim pada dua kelompok. Kiri Islam menempatkan diri pada orang yang tertindas. Dalam hal ini rekonstruksi masyarakat Islam dan Kebangkitan Islam memasuki era baru dengan bantuan jurnal seperti Kiri Islam. Ø Bab III Batas-batas Kiri Islam Kiri Islam adalah lanjutan jurnal Al-Urwa al-Wutsqa[32] yang diterbitkan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada 1884 di Paris. Ia segera disambut karena melakukan kritik keras terhadap kebijakan kolonial Inggris. Delapan volume diterbitkan dalam waktu yang singkat, yaitu delapan bulan.
  • 9. Akan tetapi dalam waktu yang singkat tersebut masih berpengaruh besar hingga kini. Alasan Al-Urwa Al- Wutsqa mempunyai reputasi tinggi. Pertama, kebearan nama Al-Afghani sebagai intelektual Islam dan aktivis gerakan Pan-Islamisme dan penentang imperialisme. Kedua, jurnal itu terbit tepat waktu dengan munculnya aspirasi Pan-Islamisme saat itu. Kiri Islam dapat memimpin dunia Arab-Islam hanya jika kedua sisi itu berkat secara efektif. Arti Kiri Islam telah membuka kompleksitas lingkungan Mesir dan kesulitan-kesulitan yang nyata dalam hal bagaimana Kiri Islam dapat berhubungan dengan bangsa Mesir dan dunia Arab-Islam. Modernisme Hassan Hanafi Ia ingin membangun rasionalisme, kebebasan, demokrasi, pencerahan dan humanisme. Karena itu merupakan tulang punggung modernisme. Analisisnya terhadap Barat, pertama ia membagi dalam tiga asal-usul: Roma-Yunani, Yudaisme-Kristiani dan Eropa. Ia mencoba mengaitkan watak Eropa dengan perang kolonial, bahkan dengan materialisme. Akhirnya ia berasumsi bahwa manusia Eropa adalah manusia-manusia tamak, individual dan egoistik, tidak rasional, a-sosial. Secara akademik pernyataan itu tidak rasional. Pandangan Bateson bahwa tidak ada gunanya membicarakan watak seorang pribadi, karena seorang manusia mempunyai akarnya sendiri yang berada di sekeliling mereka, bukan dari dalam dirinya sendiri. Sejak menemukan banyak jaringan relasi kekuasaan. Ini bisa dibayangkan sulitnya melakukan konstruksi sebuah masyarakat yang benar-benar demokratis di dalam sistem sosial dan politik yang kompleks. Itulah keluhan Hassan Hanafi tentang realitas dunia Islam dan itu bisa menjadi kecemburuan terhadap Barat. Kritik terhadap Dikotomi dan Rasionalisme Model konfrontasi dikotomik merupakan pemikiran Hassan Hanafi yang perlu dikaji tuntas. Hassan Hanafi mengalami trauma oleh realitas dunia Islam yang terpilah dalam kelompok penguasa dan yang dikuasai, padahal mereka hidup dalam keterbelakangan. Mayoritas rakyat muslim berusaha mengentaskan kemiskinan dan penindasan. Dengan demikian, meski ia melihat kemajuan Barat, hal itu tidak berdasarkan pengetahuan yang mendalam tentang Barat, tapi sebagai ‘tandingan’ terhadap keterbelakangan dunia Islam. Menurutnya, Asyariyah menjadi basis kekuasaan dalam pandangan dunia mayoritas muslim dan sekaligus menjadi basis perilaku fatalistik, yaitu yang menunggu pertolongan dan inspirasi dari surga dan mengabaikan tindakan nyata. Ia percaya ini suatu dasar struktur kekuasaan dalam dunia Islam. Namun itu terlalu menyederhanakan masalah, tidak ada investigasi historis konkrit yang dilakukan. Yang diserang Al- Ghazali bukanlah ilmu rasional, tapi orang yang menyalahgunakan kajian ilmu rasional. Ia tidak menafikkan nilai pemikiran rasional. Ketika Hassan Hanafi membicarakan masalah akan dan naql, ia memberikan prioritas pada akal daripada pada naql. Pentingnya akal adalah untuk membangun pengetahuan keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql tanpa aqal menjadi pandangan semata, karena akal adalah basis naql. Tapi ketika berbicara tentang akal ia tidak mempertimbangkan sesuatu di balik akal itu. Itulah pendirian Hassan Hanafi yang hanya memahami sufisme hanya pada lefel permukaan. Sebenarnya sufisme menjadi dimensi dalam Islam. Ketika Islam didasarkan pada tauhid, seluruh manifestasinya mencerminkan keesaan dalam berbagai cara, dan prinsip-prinsip ketuhanan tercermin secara langsung. C. Kesimpulan Islam pernah mencapai puncak kejayaannya dan kaum muslim yakin bahwa yang menjadi kekuatan adalah Tauhid. Namun seperti yang dikatakan Al-Afghani bahwa telah terjadi kerusakan dala semangat Tauhid dan menyebabkan keruntuhan umat Islam. Menurut Hassan Hanafi penyebab paling mendasar krisis dunia Islam adalah hilangnya semangat tauhid dan banyaknya pandangan dunia yang dualistik. Pandangan dualistik ini tercermin dalam pemikiran mereka yang percaya satu sisi dan mengingkari sisi yang lain. Dan salah satu tugas Kiri Islam adalah membangkitkan kembali peradaban Islam melalui revolusi tauhid yaitu pemaknaan kembali
  • 10. Tauhid menjadi suatu yang niscaya. Pandangan tauhid adalah pandangan yang relasional, dan ulama menjadi penjaga agar Syariah selalu mengatur seluruh aspek kehidupan muslim. Kewajiban muslim ada lima, dan hal itu merupakan kewajiban keagamaan namun tidak sebatas aspek spiritual saja akan tetapi juga aspek fisik, sosial, ekonomi, dan politik. Apabila jaringan relasional dapat mencakup keseluruhan umat maka kesejahteraan muslim akan dapat direalisasikan. Sementara itu, postmodernisme yang diajukan G. Bateson dan Michael Foucault mengkritik modernitas. Yang patut dihargai dari mereka adalah konsistensi mereka menerapkan sistem pemikiran relasional dalam karya mereka. Menguji beberapa masalah tentang Kiri Islam dalam konteks dunia Islam. Untuk menganalisis relasi kekuasaan di dalam dunia Islam, analisis Foucault tidak dapat diterapkan secara penuh tapi perlu diperhitungkan dalam menganalisis relasi Islam dengan Barat. Kiri Islam adalah salah satu bentuk perlawanan. Dan Hassan Hanafi menyatakan bahwa Kiri Islam tidak terpengaruh oleh Barat. Padahal ketika membuat ilmu sosial baru adalah hasil dari pengaruh Barat. Metode analisis Hassan Hanafi tidak mempunyai pijakan relasional, revolusi tauhid yang diserukan secara teoritik justru relasional. Jika ia menerapkan metode rasional dalam mengkaji peradaban Barat, niscaya sarjana Muslim lain akan dapat menemukan perspektif baru dalam kajian pandangan dunia Tauhid dan akan memperoleh tanggapan positif dari kalangan postmodernisme Barat. DAFTAR PUSTAKA Aliboron, “Jamaluddin al-Afghani (1838 M-1897 M): Ide Pembaharuan dan Pemikiran Politik,” dalam http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/jamaluddin-al-afghani-1838-m-1897-m-ide-pembaharuan- dan-pemikiran-politik/, diakses tanggal 14 Oktober 2011. “AnthropocentrismAntroposentrisme”,http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u= http://en.wikipedia.org/wiki/Anthropocentrism, diakses tanggal 13 Oktober 2011. “distorsi”. http://www.artikata.com/arti-325451-distorsi.html, diakses tanggal 10 Oktober 2011. Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Arifin, Syamsul. Islam Indonesia Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi. Malang: UMM Pres, 2003. Badruzzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan politik. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2005. Barizi, Ahmad, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam, ed. M. Lutfi Mustofa dan Helmin Syaifudin, Malang: LKQS, 2007. Barizi, Ahmad. “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, ed. M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (Malang: Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS), 2007. Chapra, Umer. Peradaban Muslim. terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Amzah, 2010. Gauhar, Altaf. Tantangan Islam. terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1982. Hambali, Ridlwan. “Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turats, hingga Oksidentalisme”. Dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Aunul Abied Shah, ed. Bandung: Anggota IKAPI, 2001. Hambali, Ridlwan. Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turâts, hingga Oksidentalisme, Bandung: Mizan Media Utama, 2001. Kalajengking-air. “Islam Kiri”, dalam http://kalajengkingair.blogspot.com/2006/11/islam-kiri.html. diakses tanggal 12 Oktober 2011. Mu’allim, Yusdani Amir. Ijtihad dan Legislasi Muslin Kontemporer. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005. Nurhakim. Islam Responsif Agama di Tengah Pergulatan Idelogi Politik dan Budaya Global. Malang: UMM Press, 2005. Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi. terj. Imam Aziz dan Jadul Maula, Yogyakarta: LkiS, 1993. Taufik, Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Tasmuji, “REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan Hanafi”, dalam
  • 11. http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582. Diakses tanggal 12 Oktober 2011. Watt, William Montogomery. Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam. terj. Kurnia Sastrapraja, Bandung: Pustaka Setia, 2003. Wikipedia, “Gregory Bateson”, dalam http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Gregory_ Bateson, diakses tanggal 13 Oktober 2011. Wikipedia, “Postmodernisme”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme. diakses tanggal 14 Oktober 2011. Yusuf, Moh. Asror. Persinggungan Islam dan Barat Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi. Kediri: STAIN Press, 2009. Zubaedi. Islam dan Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007. [1] M. Ridlwan Hambali, Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turâts, hingga Oksidentalisme, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), 218. [2] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan politik (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2005), 41. [3] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis Atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul Maula (Yogyakarta: LkiS, 1993), 3. [4] M. Ridlwan Hambali, Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turâts, hingga Oksidentalisme, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), 218. [5] Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas. Ia juga adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat. Dia pula tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap barat di pihak lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan politik. Lihat dalam Aliboron, “Jamaluddin al-Afghani (1838 M-1897 M): Ide Pembaharuan dan Pemikiran Politik,” dalam http://aliboron.wordpress.com/2010/10/26/jamaluddin-al-afghani-1838-m- 1897-m-ide-pembaharuan-dan-pemikiran-politik/, diakses tanggal 14 Oktober 2011. [6] M. Ridlwan Hambali, Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turâts, hingga Oksidentalisme, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), 226. [7] Tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan politik Islam di Mesir adalah Jamaluddil al-Afghani, terutama tentang gagasan Pan Islamisme, atau kesatuan dunia Islam sebagai satu-satunya banteng pertahanan dunia Islam terhadap pendudukan dan dominasi asing atas negeri- negeri muslim. Melalui gerakan Pan Islamisme al-Afghani ingin menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer agar daripadanya timbul keberanian dan kekuatan umat Islam untuk menghadapi serangan maupun kolonialisme bangsa-bangsa asing yang memusuhi Islam. Rumusan Pan-Islamisme dalam pengertian yang lebih luas adalah rasa solidaritas antara seluruh mukmin. Rasa solidaritas ini sudah semenjak Rasulullah mengikat tali iman dalam berhadapan dengan orang-orang jahiliyah yang berusaha membinasakan mereka. Lihat Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam, ed. M. Lutfi Mustofa dan Helmin Syaifudin (Malang: LKQS, 2007), 158. [8] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam, ed. M. Lutfi Mustofa dan Helmin Syaifudin (Malang: LKQS, 2007), 79. [9] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
  • 12. Persada, 2005), 26. [10] Syamsul Arifin, Islam Indonesia Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi. (Malang: UMM Pres, 2003), 258. [11] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 200-201. [12] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 277. [13][13] Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), 210. [14] Umer Chapra, Peradaban Muslim , terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Amzah, 2010), 75. [15] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, 18. [16] William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. Kurnia Sastrapraja (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 112. [17] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, ed. M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (Malang: Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS), 2007), 92. [18] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, 126. [19] “Anthropocentrism Antroposentrisme”, http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Anthropo centrism, diakses tanggal 13 Oktober 2011. [20] Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Berdasarkan asal usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri. Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme. Lihat Wikipedia, “Postmodernisme”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme. diakses tanggal 14 Oktober 2011. [21] Bateson lahir di Grantchester di Cambridgeshire , Inggris pada tanggal 9 Mei 1904 - anak ketiga dan termuda dari [Caroline] Beatrice Durham dan genetika dibedakan dari William Bateson. Lihat Wikipedia, “Gregory Bateson”, dalam http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Gregory_ Bateson, diakses tanggal 13 Oktober 2011. [22] 1 pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dsb; penyimpangan: untuk memperoleh keuntungan pribadi tidak jarang orang melakukan -- thd fakta yg ada; 2 gangguan dl siaran radio yg mengubah mutu siaran; 3 Fis perubahan bentuk yg tidak diinginkan; eroton; 4 Dok hal terkilir (kaki dsb); 5 ark perubahan bentuk pd benda gerabah yg disebabkan oleh pengeringan terlampau cepat dan tidak merata krn pencampuran bahan tidak merata waktu pencetakan source: kbbi3. Lihat “distorsi”, http://www.artikata.com/arti-325451-distorsi.html, diakses tanggal 10 Oktober 2011. [23] Kalajengking-air. “Islam Kiri”, dalam http://kalajengkingair.blogspot.com/2006/11/islam-kiri.html. diakses tanggal 12 Oktober 2011. [24] Terminologi oksidentalisme berasal dari kata dasar occident, yang berarti “barat”. Oksidentalisme merupakan istilah (ilmu) baru yang digulirkan oleh Hanafi berhadapan dengan orientalisme. Istilah ini awalnya lebih diarahkan sebagai reaksi atas eurosentrisme dan perlunya melakukan perubahan dari transferensi ke inovasi. Oksidentalisme terlahir dari realitas historis berupa tampilnya superioritas tradisi
  • 13. Barat melalui alat pandangnya atas dunia Timur yang lazim disebut orientalisme. Lihat dalam Tasmuji, “REKONSTRUKSI TEOLOGI, OKSIDENTALISME DAN KIRI ISLAM; Telaah Pemikiran Hassan Hanafi”, dalam http://ush.sunan-ampel.ac.id/?p=1582. Diakses tanggal 12 Oktober 2011. [25] Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi, (Kediri: STAIN Press, 2009), 105. [26] Ridlwan Hambali, “Hassan Hanafi: Dari Islam “Kiri”, Revitalisasi Turats, hingga Oksidentalisme”. Dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Aunul Abied Shah, ed. (Bandung: Anggota IKAPI, 2001), 230. [27] Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, 203. [28] Nurhakim, Islam Responsif Agama di Tengah Pergulatan Idelogi Politik dan Budaya Global. (Malang: UMM Press, 2005), 100. [29] Yusdani Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi Muslin Kontemporer. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005), 28. [30] Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam, 91-92. [31] Altaf Gauhar, Tantangan Islam , terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1982), 333. [32] Jurnal ini sebagian disediakan untuk analisis kebijakan kekuatan-kekuatan adidaya di dunia muslim, khususnya Inggris, Mesir Sudan, dan lainnya. Sebagian isinya juga menjelaskan kelemahan-kelemahan internal Islam dan mendorong masyarakat muslim untuk berpikir dan menyembuhkan kelemahan-kelemahan itu. Bahasa dari jurnal ini adalah bahasa dari Abduh, sedangkan pemikirannya dari Afghani. Kendati, dicegah oleh otoritas Inggris, jurnal ini tersebar secara luas, dan banyak dari pemikir generasi belakangan yang member kesaksian atas pengaruh mendalam dari jurnal-jurnal tersebut dan dibaca bertahun-tahun kemudian. Lihat Ahmad Barizi, “Memahami Semangat Intelektualisme Islam di Era Modern”, dalam Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, ed. M. Lutfi Musthofa dan Helmi Syaifuddin (Malang: Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS), 2007), 88. Make Money at : http://bit.ly/copy_win KIRI ISLAM HASSAN HANAFI Ideologi Kebangkitan Dunia Islam A.Pendahuluan Tidak terlalu sulit menemukan kiri dan kanan di kehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian dua haluan atau front kekuatan yang saling bergumul atau berhubungan secara dialektis. Ketika kata kiri digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan Kiri Islam.1 Bagi Hassan Hanafi, tokoh Kiri kontroversial Mesir yang memperkenalkan karya dengan mengedepankan proyek tradisi dan pembaruan berjudul Kiri Islam menyatakan bahwa penggunaan nama “kiri” sangat penting. Karena dalam citra akademik, “kiri” memiliki konotasi perlawanan dan kritisisme.2 Berbeda dengan wacana kebangkitan Islam yang diusung oleh kalangan “neorevivalis” yang lebih mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan.3 Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam Hassan Hanafi bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalitas khazanah Islam klasik. Pilar kedua adalah perlunya menantang peradaban Barat.
  • 14. Kemudian pilar ketiga yaitu analisis atas realitas dunia Islam.4 Dengan demikian pemikiran Hassan Hanafi ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena secara tidak langsung pemikiran ini memberikan sebuah gagasan untuk membangkitkan kembali peradaban Islam melalui gagasan tauhid dan penentangan dominasi kultural Barat.5 B.Mengenal Hassan Hanafi Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok al-Ikhwan al-Muslimun, sehingga paham tentang pemikiran- pemikiran yang dikembangkan dan aktifitas-aktifitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan ke-Islaman.6 Hal ini dikarenakan Hanafi merasakan ketidakpuasan atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak- kotak. Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi Departemen Filsafat Kairo. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa di kampus ini, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi. Kemudian setelah menyandang gelar sarjana muda, Hanafi melanjutkan ke Universitas Sorbonne Prancis, dengan konsentrasi kajian pada pemikiran Barat pra-modern dan modern. Di Sorbonne, Hanafi sangat tertarik mendalami Idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam pemikiran Hegel dan Karl Marx. Di samping itu, fenomenologi dari Edmund Husserl yang sangat menghargai individu dalam teori pengetahuan dan kenyataan, juga menarik minatnya.7 Karena itu, meski di kemudian hari ia mengkritik dan menolak Barat, tetapi tidak pelak, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahannya telah mempengaruhinya.8 Mengenai gerak pemikiran Hanafi yang disesuaikan dengan kondisi gerak Intelektual negara Mesir pada saat itu, dilihat dari tiga kecenderungan pemikiran yang muncul,9 Hanafi tidak begitu setuju dengan gerakan pemikiran tersebut, walau di masa perjalanan karir pemikirannya sempat berpihak pada gerakan ikhwan al-Muslimin. Tetapi pemikirannya mengalami proses dengan dipengaruhi oleh gerakan pemikiran yang lain, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan demikian pemikirannya terbangun lewat situasi gerak intelektual di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan unik.10 C.Kiri Islam (Kemunculan, Nama dan Artinya) Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami:Kitabat Fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Majalah ini terbit pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran pada Februari 197911 yang bersamaan dengan sedang berkecamuknya kritikan atas rezim politik di Mesir dan juga setelah dipublikasikannya buku al-Hukumah al Islamiyah (Pemerintahan Islam) dan Jihad an-Nafs (Jihad Melawan Diri) karya Ayatullah Khomeini.12 Dalam esai pertama jurnal yang berjudul “apa arti Kiri Islam?.” Hassan Hanafi mendiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan
  • 15. perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam itu. Pilar kedua adalah perlunya ada menantang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu, imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari luar, kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.13 Ketika Hassan Hanafi menjelaskan latar belakang munculnya Kiri Islam, Ia mengkaji beberapa kecenderungan yang menurutnya penting untuk didiskusikan bagi masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, ia menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua, liberalisme adalah subjek kritik Hassan Hanafi. Ketiga, kecenderungan Marxis Barat yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan kolonialisme, telah menciptakan dampak-dampak tertentu, namun belum cukup untuk membuka kemungkinan berkembangnya khazanah intelektual Muslim. Keempat, kecenderungan revolusi nasional terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab- Islam, tapi perubahan itu tidak mempengaruhi kesadaran massa Muslim.14 Dan tugas Kiri Islam adalah mengatasi kecenderungan-kecenderungan itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi nasional yang berbasis pada prinsip revolusi sosialisme melalui khazanah intelektual umat. Meskipun jurnal Kiri Islam hanya satu edisi yang berhasil diterbitkan,15 namun jurnal ini menjadi salah satu jurnal yang paling penting sebagai bahan kajian dikarenakan beberapa sebab: 1.Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan Al-Manar dilihat dari keterikatannya dengan agenda Islam al-Afghani; yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur.16 2.Kiri Islam berakar pada pemikir Islam revolusioner Ali Syariati dan upayanya membangun anatomi revolusi yang merupakan fajar pembuka revolusi Islam di Iran di bawah komando Imam Khomaeni. 3.Kiri Islam merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik kaum Muslimin. Ia tidak muncul dari ruang hampa dan bukan sesuatu yang mengada-ada dalam gerakan Islam kendati pun ia muncul di tengah-tengah kekosongan setelah agenda Al-Afghani mengalami krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar, terlebih di dalam majalah-majalah Al- Wa’dh wa al-Irsyad dan Al-Dakwah ila Sabil al-Rasyad.17 4.Kiri Islam juga sebuah teks tentang pembaruan pemikiran Islam. Melalui pengujian argumen-argumen Hassan Hanafi, terutama tentang Mu’tazilah (Kiri yang dipuji-puji Hassan Hanafi), dan tentang Asy’ariyah (Kanan yang ditolak Hassan Hanafi. Dengan isu ini, kita dapat meneliti kaitan-kaitan antara kekuatan politik, kesejahteraan Muslim, dan isu rasionalisme. Sedangkan mengenai penamaan Kiri Islam sendiri, ini menggambarkan arus yang berkembang dalam esai-esai di dalamnya. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistesi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Misalnya, terdapat Kiri Freud dalam psikologi. Kiri Hegel dalam Filsafat, dan Kiri Keagamaan dalam ilmu-ilmu sejarah agama-agama.
  • 16. Hassan Hanafi sendiri menyadari, walaupun dengan nama Kiri Islam akan menyebabkan perlawanan datang dari dua arah. Pertama Kelompok “Persaudaraan Allah” akan berkata: tidak ada Kiri dan Kanan dalam Islam. Islam adalah satu, umat Islam satu dan Tuhan satu. Sementara perlawanan kedua dari kalangan pembela status quo (baik politik, ekonomi dan status sosial) yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa Kiri dan Kanan itu adalah permainan kata-kata, untuk memecah belah umat, menyebar intrik dan fitnah. Kiri adalah pengkhianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada kebaikan manusia.18 D.Kiri Islam dan Revitalisasi Khazanah Klasik Kiri Islam juga berupaya merekonstruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput dari agenda kehidupan umat Islam. Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali tradisi keilmuan Islam. Dengan mengaktualkannya, berarti kita selama ini tidak actual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi.19 Karena Turats bukanlah wujud yang terlepas dari realitas yang dinamis, berubah dan berganti, yang mengekspresikan semangat zaman, pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah.20 Turats sendiri bukanlah masalah kajian zaman bahula semata yang sering dilupakan, selalu di museum dan diteliti hanya oleh para arkeolog, tetapi juga merupakan bagian dari realitas dan muatan psikologisnya.21 Oleh karena itu Kiri Islam Hassan Hanafi berupaya merekontruksi, mengembangkan dan memurnikan kembali khazanah lama (Turats) yang dimana khazanah lama kita terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan, yaitu: ilmu-ilmu normative-rasional (al-uum an-naqliyah al-‘aqliyah), semisal ilmu usuludin, ilmu ushul fiqh, ilmu-ilmu hikmah, dan tasawuf. Ilmu-ilmu rasional semata (al-‘aqliyah), semisal matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi. Dan ilmu-ilmu normative tradisional (an- naqliyah), semisal ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, sirah Nabi, fiqh dan tafsir.22 Dalam bidang ilmu usuluddin,23 Kiri Islam sebagai paradigma independent pemikiran keagamaan memandang Mu’tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia. Dengan demikian Kiri Islam menyepakati lima prinsip Mu’tazilah (ushul al-khamsah) dan berusaha merekonstruksi prinsip Mu’tazilah itu setelah tenggelam pada abad ke-5 Hijriah. Kemudian juga dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh, Kiri Islam mengikuti paradigma fiqh dan ushul fiqh Maliki karena ia menggunakan pendekatan kemaslahatan (mashalih mursalah) serta membela kepentingan umat. Selanjutnya dalam filsafat Kiri Islam mengikuti paradigma Ibnu Rusyd. Ia menghindari iluminasi dan metafisika, dengan mendayakan rasio untuk menganalisis hukum alam. Dengan demikian Kiri Islam hadir untuk menegaskan komitmennya pada pemikiran rasionalistik-ilmiah, yang telah dirintis dan dikembangkan oleh al-Kindi dan Ibnu Rusyd di dunia filsafat Islam. Untuk tasawuf, Kiri Islam menolaknya, karena tasawuf dipandang sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin24 yang ditengarai oleh Ibnu Taimiyah, al-Kawakibi dan Imam Khomeini sebagai orang-orang yang sok suci.25 Kiri Islam juga mempunyai akar pada ilmu-ilmu normative-tradisional murni. Dalam ilmu hadits, Kiri Islam lebih memprioritaskan pada makna hadits, bukan pada perawinya, dan selanjutnya memprioritaskan pada kata-kata nabi daripada pribadinya. Dalam ilmu tafsir, Kiri Islam melampaui tafsir
  • 17. historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Akan tetapi Kiri Islam membangun tafsir perspektif (asy- syu’uri) agar al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun system sosial dan politik. Kemudian sebagai ahli fiqh, Kiri Islam lebih tertarik pada pengembangan muamalah daripada ibadah.26 E.Kiri Islam Dan Peradaban Barat. Kiri Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan barat. Jika Al Afghani mengingatkan akan imperialisme militer, maka kita pada awal abad ini tengah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi berupa korporasi multi nasional, sekaligus mengingatkan akan ancaman imperialisme kebudayaan. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam dari tradisinya sendiri dan berdiri melawan pembalakan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan Nasional dan memperkokoh dominasi kebudayaan barat.27 Tugas Kiri Islam adalah melokalisasi barat, artinya mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “Mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya yang menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa yang lain.28 Tugas Kiri Islam juga menarik peradaban barat bersama kekuatan militernya kedalam batas-batas barat, setelah imperialisme terpecah, dan menjadikannya objek studi dari peradaban non barat bahkan membangun ilmu baru bernama oksidentalisme untuk menandingi orientalisme lama.dengan demikian study tentang peradaban Eropa sebagai sebuah objek studi yang independen dapat dilakukan dari dua arah, pertama dari perkembangannya dan kedua dari strukturnya.29 Perlu diketahui, kekuatan Barat terletak pada proyek epistemologis “Aku berfikir, maka aku ada”, yang mengawali babak awal modern Barat. Barat berperan sebagai subjek pengetahuan, dengan menjadikan Non Barat sebagai objek pengetahuan. Sementara Barat menciptakan orientalisme, maka non Barat bisa menciptakan oksidentalisme untuk mengkaji fenomena yang disebut “Barat”, sumber-sumber peradabannya, fase-fase sejarahnya, struktur serta masa depannya. Karena Barat perlu melihat gambaran dirinya menurut perspektif Non Barat, mendapatkan objektivikasi dan historisasi sebagaimana dialami budaya lain.30 Namun oksidentalisme yang dimaksud Hassan Hanafi dalam Kiri Islam sesungguhnya bukan lawan orientalisme melainkan sebuah hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur.31 F.Realitas Dunia Islam Kiri Islam menggambarkan situasi dunia Islam tidak secara normatif untuk memberi nasihat dan petunjuk. Realitas dan angka-angka statistik dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara pemikiran keagamaan kita selama ini hanya bertumpu pada model pengalihan yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas yang dapat berbicara sendiri. Padahal metode teks seperti itu banyak mengandung kelemahan. Pertama; teks adalah teks dan bukan realitas ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang dapat menggantikannya. Kedua, Berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan apriori terlebih
  • 18. dahulu. Sehingga argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Dan ini Elitis. Ketiga; Teks bertumpu pada otoritas Al Kitab dan bukan otoritas Rasio. Keempat; teks adalah pembuktian (al burhan) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Kelima; Teks selau terkait denagn acuan realitas yang ditunjuknya. Keenam: Teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainya. Ketujuh: Teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan untung rugi. Kedelapan: posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks sehingga didalam realitas, perbedaan dan pertikaian para penafsir akan menjadi sumber pertikaian diantara kekuatan yang ada. Sembilan: Teks hanya berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan dan berbagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarah pada rasio dan kenyataan keseharian mereka. Sepuluh: Metode teks lebih cocok untuk nasihat daripada untuk pembuktian, karena dia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat. Terakhir: Walaupun mengarah pada realitas metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tetapi tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif.32 Sedangkan metode Kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistic sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri. Teks selalu mengacu konteksnya (asbab an-nuzul), dan Kiri Islam langsung merujuk secara obyektif pada konteks tersebut dan mendefinisikannya secara kuantitatif. Dalam sejarah pengetahuan, kuantifikasi seperti ini selalu lebih detil dan akurat daripada sekedar identifikasi abstrak.33 G.Penutup Kiri Islam Hassan Hanafi sangat jelas makna merupakan salah satu bentuk perlawanan dan juga sebagai pembelaan terhadap orang-orang yang hidup di bawah kediktatoran para penguasa, tertindas, miskin dan terbelakang. Ini bisa di “raba” dari tiga agenda besar Kiri Islam yang mengedepankan “Turats wa Tajdid”. Mu’tazilah disebut-sebut sebagai pemikiran keagamaan yang lebih diambil Kiri Islam dengan menyepakati lima prinsip yang dikandung gerakan pemikiran tersebut. Dengan mengintroduksi Mu’tazilah, Kiri Islam mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi, dan eksplorasi alam. Namun demikian, meski pemikiran Hassan Hanafi tersebut mengandung butir-butir yang sangat berarti bagi kemajuan dan perkembangan peradaban Islam ke depan, selalu saja ada yang pro dan kontra. Karena bagaimanapun buah pemikiran tidak perlu selalu membutuhkan kesepakatan.
  • 19. DAFTAR PUSTAKA A.Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela, 2003. Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. Ahmad Hasan Ridwan, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta: Tesis UIN SuKa, tidak diterbitkan, 1997. Eko Prasetyo, Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta: INSIST Press, 2003. Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, alih bahasa Kamran As’ad. I. dan Mufliha. W. Yogyakarta: Islamika, 2003. -----------------, Cakrawala Baru Peradaban Global, alih bahasa M. Saiful, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. -----------------, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, alih bahasa Asep Usman dkk, Jakarta: Paramadina, 2003. -----------------, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, alih bahasa M. Najib B. Jakarta: Paramadina, 2000. -----------------, Turas dan Tajdid, alih bahasa Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press Kerja sama Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001. Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, cet. 1, Jakarta: Teraju, 2002. John L. Esposito, Ensiklopedi Islam, alih bahasa Eva Y. N dkk, Bandung: Mizan, 2001. Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah kritis Pemikiran Hassan Hanafi, alih bahasa M.Imam Aziz, Yogyakarta: LKiS, 2001.
  • 20. Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001.