Ekosistem Hutan Mangrove atau lebih dikenal juga dengan sebutan Hutan Bakau atau mangal merupakan salah satu ekosistem penting yang membangun dan menyokong keberadaan wilayah pesisir.
1. LAPORAN KULIAH LAPANGAN EKOLOGI LAHAN BASAH
“ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR
SELATAN”
OLEH:
DEVI ULFA NINGSIH
16032063
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
2. ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE DI PULAU MANDEH, PESISIR
SELATAN
A. Tujuan
1. Mengetahui Karakteristik ekosistem hutan mangrove kawasan Mandeh
Pesisir Selatan dengan menganalisis beberapa parameter fisik.
2. Mengetahui vegetasi mangrove pada ekosistem hutan mangrove di
kawasan Mandeh Pesisir Selatan.
3. Mengetahui nilai nilai manfaat dari ekosistem hutan mangrove kawasan
Mandeh Pesisir Selatan.
B. Waktu dan Tempat
Hari, tanggal : Minggu, 9 Desember 2018
Pukul : 07:00 WIB - Selesai
Tempat : Kawasan Mandeh XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatra Barat
C. Dasar Teori
Ekosistem Hutan Mangrove atau lebih dikenal juga dengan sebutan Hutan
Bakau atau mangal merupakan salah satu ekosistem penting yang membangun
dan menyo- kong keberadaan wilayah pesisir. Hutan bakau atau mangal adalah
sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas
pantai tropik yang didomi- nasi oleh beberapa spesies pohon-pohon khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
(Nybakken, 1988).
“Bakau” adalah tumbuhan daratan ber- bunga yang mengisi kembali
pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua indi- vidu tumbuhan.
Harahab (2010) mendefinisikan hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pan-
tai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab
dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut
juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau.
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang di-
dominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkem- bang pada daerah pasang-surut dan pantai berlumpur. Dalam pengertian
yang lebih sederhana, hutan mangrove adalah suatu ekosis- tem yang
3. menggabungkan komponen daratan dan komponen akuatik yang merangkumi
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Mangrove merupakan ekosistem utama di wilayah
pesisir, terutama pada wilayah tropis. Dari ± 15,9 juta ha hutan mangrove dunia, ±
27 % ada di Indonesia. Selanjutnya dijelaskan, bahwa ekosistem tersebut meru-
pakan salah satu ekosistem alamiah penting yang memiliki nilai ekologis dan
ekonomis yang tinggi, karena dapat menghasilkan berbagai bahan dasar untuk
keperluan manu- sia, seperti ; bahan bakar, keperluan industri, bahan pembuat
kertas dan lain-lain. (Bengen, 2000).
Lahan basah mangrove membantu masyarakat pesisir dengan mengurangi
erosi pantai, banjir, dan gelombang badai, gelombang peredam dan angin kencang
yang dihasilkan oleh badai tropis dan subtropis; dan mungkin mengurangi
kerusakan akibat gelombang pasang (tsunami) di daerah seismik aktif (Salm et al,
2000).
Konsentrasi kehidu- pan manusia dan berbagaai kegiatan pembangunan di
wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan disebabkan oleh tiga alasan
ekonomi (economic rationality) yang kuat, yaitu : Pertama; wilayah pesisir
merupakan salah satu kawasan yang secara bi- ologis paling produktif di planet
bumi. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan
mangrove, padang lamun, terumbu karang dan estuaria berada di wilayah pesisir.
Lebih dari 90 % total produksi perikanan dunia, baik melalui kegiatan
penangkapan maupun budidaya, berasal dari wilayah pesisir. Kedua; wilayah
pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan
relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman, dan kegiatan
pembangaunan lainnya, dari pada yang disediakan oleh daerah lahan atas (up-land
areas). Ketiga; wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan
yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan
menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur,
perairan untuk berenang, selancar, dan berperahu, dan te- rumbu karang serta
keindahan bawah laut untuk pariwisata selam dan snorkeling. (Dahuri, 1998)
Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mem- punyai banyak fungsi
dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ekosistem mangrove bagi bermacam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-
4. kerangan) berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara anak,
dan berkembang biak. Dari segi ekonomis, vegetasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu
bakar, bahan arang, alat tangkap ikan, dan sumber bahan lain seperti tannin dan
pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari
hempasan gelombang air laut serta penyerap logam berat dan pestisida yang
mencemari laut (Mukhtasor, 2007).
Ekosistem hutan mangrove telah mengalami kerusakan parah akibat beban
eksploitasi komersial yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
Penebangan hutan mangrove untuk berbagai kegiatan pembangunan (pemukiman,
perikanan dan industri) dengan semena-mena tanpa memikirkan akibat yang dapat
ditimbulkan merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem tersebut (Dirjen
Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, 2002).
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan
dampak terhadap ekosistem mangrove. Beberapa aktivitas manusia terhadap
ekosistem hutan mangrove yang menimbulkan dampak kerusakan terhadap
ekosistem tersebut adalah; tebang habis, konversi lahan, pembuangan sampah
cair, pembuangan sampah padat, penambangan dan ekstraksi mineral serta
pencemaran (Berwick, 1983 dalam Dahuri et al, 2001).
Kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga juga
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem wilayah pesisir, seperti
halnya ekosistem hutan mangrove melalui proses masuknya bahan pencemaran.
Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri et al (2001) sebagian besar (80 %) bahan
pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land
basic activities). Sebagai contoh kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan (up
land) yang buruk tidak saja merusak ekosistem sungai melalui banjir dan erosi
tetapi juga akan menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan.
Melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang terus mengalami
peningkatan telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan lautan
(Supriharyono, 2000).
Tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir-pantai yang
semakin parah memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh untuk
5. pelestariannya kedepan. Rehabilitasi ekosistem hutan mangrove yang sudah
mengalami kerusakan dan menjaga kelestariannya secara bekesinambungan harus
dilakukan secara terprogram. Pengelolaan dan pelestarian sumberdaya pesisir
merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena
kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak
terkait, baik yang berada disekitar kawasan maupun diluar kawasan. Dengan
demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai
komponen utama penggerak pengelolaan dan pelestarian sumberdaya pesisir.
Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya pesisir
perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya
sumberdaya pesisir tersebut (Ginting, 2003).
Jika dicermati secara lebih mendalam, sebenarnya akar permasalahan
kerusakan ekosistem wilayah pesisir, termasuk ekosistem hutan mangrove
meliputi empat hal, yaitu : 1) Kemiskinan masyarakat dan ketiadaan mata
pencaharian alternatif, 2) ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat dan
pengguna (stakeholders), (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan
(4) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam
mengelola keberadaan kawasan pesisir dan lautan. Dalam hal ketidaktahuan dan
ketidaksadaran masyarakat dan pengguna (stakeholders) terhadap keberadaan
ekosistem hutan mangorve di wilayah pesisir, menunjukkan lemahnya
pemahaman tentang status dan sifat sumberdaya tersebut (Clark , 1992).
6. D. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Tali Transek
b. Meteran
c. Kompas
d. Plastik
e. Label
f. Parang
g. Kamera
h. Alat Tulis
2. Bahan
a. Mangrove
b. Tanah
E. Cara Kerja
1. Membuat 6 Plot pada hutan mangrove masing masing dengan luas 10x10
m.
2. Mengambil 3 sampel tanah pada masing masing plot .
3. Melihat semua jenis spesies yang terdapat pada plot.
4. Menghitung jumlah masing masing spesies setiap plot.
5. Mengukur diameter mangrove yang dikategorikan pohon
6. Mencatat data pada buku dan mendokumentasikannya.
7. Melakukan pengolahan data
7. F. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Pengolahan data identifikasi mangrove
Keterangan:
Total plot = 6
Luas plot = 10 x 10
Luas Area = luas plot X jumlah plot
= 10x10x6 = 600
DBH = keliling/ 3,14
Frekuensi = Jumlah hadirnya suatu jenis/ jumlah seluruh plot
FR = frekuensi suatu jenis/ total frekuensi X 100%
Densitas(D) = jumlah individu suatu jenis/luas area sampel
DR = densitas suatu jenis/ total densitas X 100%
8. BA = ¼ x 3,14 x DBH2
Dominansi(Do) = BA suatu jenis/ luas area sampel
DoR = dominansi suatu jenis/ total dominansi X 100%
INP = FR% + DR% + DoR%
Tabel 2. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
No. Nama Plot H ‘
1. Plot 1 1,1035
2. Plot 2 0,4563
3. Plot 3 0,4101
4. Plot 4 0,4101
5. Plot 5 0,2640
6. Plot 6 0,6172
H’ = - ∑(𝐧𝐢/𝐍) 𝐈𝐧 (𝐧𝐢/𝐍)
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman
ni = Jumlah individu/spesies
N = Jumlah individu keseluruhan
9. G. Pembahasan
Kuliah lapangan ini dilakukan di kawasan Mandeh Pesisir Selatan, dengan
tujuan untuk menganalisis vegetasi mangrove pada kawasan ini. Proses dilakukan
dengan cara mengidentifikasi jenis mangrove dengan pembuatan plot berukuran
10x10 m sebanyak 6 plot pada daerah yang telah dipilih. Pada masing-masing plot
dilakukan identifikasi jenis yang ditemukan, menghitung jumlahnya dan
kemudian melakukan pengukuran keliling pohon untuk mengetahui DBH nya.
Selanjutnya pengukukuran dilakukan dengan pengambilan sampel tanah pada
masing-masing plot untuk mengetahui struktur tanah pada lokasi ini.
Berdasarkan dari hasil pengamatan vegetasi mangrove pada 6 plot dilokasi
telah ditemukan 4 jenis vegetasi mangrove sejati, diantaranya : Sonneratia sp.,
Barringtonia specios, Rhizophora apiculata, dan Ceriops tagal. Vegetasi asli
dimaksudkan sebagai vegetasi yang memang merupakan vegetasi asli penghuni
hutan mangrove. Masing-masing jenis tanaman mangrove memiliki tipe perakaran
yang berbeda-beda. Sonneratia sp. memiliki akar nafas berupa akar yang muncul
dari sistem akar kabel dan memanjang ke luar ke arah udara seperti pasak.
Barringtonia speciosa memiliki sistem perakaran tunggang. Rhizophora apiculata
memiliki akar tunjang yang merupakan akar udara yang tumbuh di atas
permukaan tanah, mencuat dari batang pohon dan dahan paling bawah serta
memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah. Ceriops tagal memiliki akar
banir yang memiliki struktur seperti papan, memanjang secara radial dari pangkal
batang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan pada plot satu ditemukan
ada 4 jenis tanaman mangrove, yaitu: Sonneratia sp., Barringtonia speciosa,
Rhizophora apiculata, dan Ceriops tagal. Lokasi plot satu merupakan lokasi yang
paling tepi dari ekosistem mangrove yang kami lakukan pengukuran. Pada lokasi
ini tanaman mangrove tumbuh pada kondisi tanah yang berpasir dan berlumpu.
Rhizophora apiculata merupakan tanaman yang paling mendominasi pada plot
ini. Hal ini dikarenakan tanaman tersebut sangat cocok tumbuh pada kondisi tanah
yang berlumpur dan berpasir. Struktur akarnya yang mencuat dari batang
merupakan bentuk yang cocok baginya dalam penyesuaian diri terhadap kondisi
pantai yang deras dengan terpaan ombak. Sesuai dengan fugsi perakarannya yang
10. mampu menahan terpaan ombak sehingga tanaman ini mampu bertahan dan tidak
tebawa arus.
Pada plot dua ditemukan ada 3 jenis tanaman mangrove, diantaranya:
Sonneratia sp., Barringtonia speciosa, dan Rhizophora apiculata. Pada plot ini
vegetasi yang mendominasi adalah Rhizophora apiculata. Plot 3 sampai dengan
plot 6 data yang kami peroleh hanya ditemukan dua jenis tanaman nagrove, yaitu:
Sonneratia sp. dan Rhizophora apiculata. Dari data plot 3 sampai 6 ini dapat
disimpulkan bahwa tanaman yang diperoleh memiliki jenis keanekaragaman yang
minim. Karena pada 4 plot yang kami data hanya terdapat dua jenis tanaman
mangrove yang hadir. Pada lokasi ini plot yang kami letakkan semakin dekat
dengan arah datangnya ombak, sehingga jenis vegetasi yang muncul adalah
vegetasi yang memiliki sistem perakaran kuat untuk menahan terpaan ombak.
Dari keseluruhan data Rhizophora apiculata mendominasi jenis vegetasi
pada lokasi ini. Pada total 6 plot Rhizophora apiculata hadir sebanyak 117 kali.
Sementara urutan kedua jenis vegetasi yang mendominasi adalah Sonneratia sp.
dengan jumlah total individu 19. Disusul oleh Barringtonia speciosa berjumlah 8
individu. Jenis vegetasi yang paling sedikit ditemukan pada lokasi ini adalah
Ceriops tagal dengan jumlah individu yang hadir sebanyak 3 individu dan jenis
vegetasi ini hanya ditemukan pada 1 petakan (plot) yaitu pada plot 1.
Untuk menentukan jenis vegetasi apakah yang mendominasi daerah hutan
mangrove pada daerah ini dapat diketahui melalui perhitungan Indeks Nilai
Penting. Suzana (2011) dalam penelitiannya memaparkan bahwa “kondisi
ekologis hutan mangrove dapat diketahui dengan menggunakan beberapa jenis
perhitungan, yaitu kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan
Indeks Nilai Penting (INP) dari tiap jenis. Untuk mencari nilai INP digunakan tiga
perhitungan, yaitu nilai kerapatan tiap jenis, nilai frekuensi tiap jenis, dan nilai
dari penutupan tiap jenis”. Rhizophora apiculata dikatakan sebagi pendominasi
pada vegetasi ini ditandai dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 136,35783.
Indeks ini menunjukkan tingkat penguasaan suatu jenis terhadap jenis yang
lainnya, sehingga Rhizophora apiculata merupakan vegetasi mangrove yang
mempunyai pengaruh paling besar di kawasan hutan mangrove ini.
11. Pada vegetasi tingkat pohon frekuensi tertinggi terdapat pada Rhizophora
apiculata dan Sonneratia sp. dengan nilai 1. Begitu pula dengan frekuensi
relatifnya (FR) juga di kuasai oleh Rhizophora apiculata dan Sonneratia sp.
dengan nilai 40 %. Nilai frekuensi menunjukkan nilai penyebaran suatu jenis.
Semakin tinggi penyebarannya maka nilai frekuensinya akan semakin tinggi.
Selanjutnya adalah densitas (kerapatan). Densitas merupakan nilai yang
menunjukkan banyaknya suatu jenis per satuan luas. Semakin besar kerapatan
suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Nilai densitas
relative (DR) yang paling tinggi ditunjukkan oleh Rhizophora apiculata yaitu
79,59183 %.
Dominansi merupaka nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis
terhadap komunitas. Untuk nilai Dominansi tertinggi diterdapat pada Sonneratia
sp. dengan nilai sebesar 38,922 %. Hal ini menunjukkan bahwa Sonneratia sp.
merupakan jenis vegetasi yang paling mendominasi pada komunitas mangrove
yang kami amati.
Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa jenis vegetasi yang paling
mendominasi adalah Rhizophora apiculata ditandai dengan Indeks Nilai Penting
yang paling tinggi. Nama daerah Rhizophora apiculata adalah bakau, tancang,
tanjang, tinjang, bangko, kawoka, wako, jangkar dan lain-lain. Tanaman ini
termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae. Tanaman ini memiliki batang
silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam, pada bagian luar
kulit terlihat retak-retak. Memiliki akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk
yang tertutup, daun penumpu yang meruncing, buah yang berkecambah dan
berakar ketika masih berada di pohon. Biji ini biasa disebut dengan propagul.
Struktur tanah yang kami amati terlihat berpasir dengan campuran lumpur,
namun lumpur yang kami amati letaknya terlihat cukup dalam. Dimana jika dibuat
lapisan struktur tanah yang akan terlihat adalah pasir baru setelah digali akan
tampak struktur tanah yang berlumpur. Warna tanah yang kami amati berwarna
putih keabuan dengan butiran pasir yang lembut. Struktur tanah juga bercampur
dengan serasah yang berasal dari hutan mangrove. Serasah yang kami dapatkan
berupa serbuk-serbuk halus yang bercampur dengan pasir dan lumpur.
12. Berdasarkan dari hasil pengamatan, indeks keanekaragaman Shannon-
Wiener menunjukkan bahwa plot 1 memiliki nilai 1<H’<3, H’=1,1035. Angka ini
menunjukkan keanekaragaman jenisnya pada plot tersebut termasuk dalam
kategori sedang karena ekosistem mangrove tersebut memiliki produktivitas yang
cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, kondisi perairan masih stabil, dan
tekanan ekologisnya sedang. Sedangkan keanekaragaman plot 2 sampai dengan
plot 6 termasuk dalam kategori rendah yaitu H’<1. Hal ini menunjukkan bahwa
vegetasi yang tumbuh pada plot ini sangat sedikit dan tidak beragam. Dibuktikan
dengan data bahwasanya jumlah jenis tanaman yang hadir hanya 3 jenis pada plot
2 dan hanya 2 jenis tanaman yang hadir pada plot 3 sampai plot 6.
Ekosistem mangrove kawasan mandeh ini sebenarnya sangat berpotensi
sebagai kawasan ekowisata karena masih sangat asri dan mangrovnya masih
terjaga, hal ini disebabkan karena kawasannya cukup jauh dari dermaga maupun
tempat tinggal penduduk sehingga jauh dari pencemaran. Saat ini hutan mangrove
kawasan mandeh ini hanya dimanfaatkan sebagai ekologis saja, belum sampai
ekowisata. Untuk itu perlu pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan
kawasan ini sebaga wisata unggulan di Sumatera Barat.
13. H. Kesimpulan
1. Pada lokasi pengamaatan di Kawasan mangrove Mandeh Pesisir Selatan
terdapat 4 spesies yaitu Sonneratia sp., Barringtonia speciosa, Rhizophora
apiculata, dan Ceriops tagal.
2. Pada lokasi pengamatan jenis tanaman yang mendominasi adalah
Rhizophora apiculata dengan nilai INP 136,35783 %, Rhizophora
apiculata memiliki akar yang mampu menahan terpaan ombak sehingga
banyak tumbuh dan mendominasi lokasi pengamatan yang berada pada
bibir pantai
3. Struktur tanah lokasi pengamatan adalah berpasir dengan campuran
lumpur dan serasah.
4. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener plot 1 memiliki
tingkat keanekaragaman sedang dan plot 2 sampai 6 memiliki tingkat
keanekaragaman rendah.
5. Kawasan hutan mangrove mandeh memiliki potensi ekowisata yang baik
dan perlu pengembangan dari pemerintah.
14. Daftar Pustaka
Bengen D.G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan EKosistem
Man- grove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.
Clark, J.R., 1992. Integrated Management of Coastal Zone. FAO Fisheries
Technical Paper. No. 327. Rome, Italy.
Dahuri, Rokhmin; Rais J.; Ginting S.P. dan Sitepu M.J., 2001. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi
Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perika- nan, Jakarta.
Ginting, S., 2003. Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara
Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Pelatihan
ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning and Management). Bappeda
Propinsi Bengkulu.
Harahab, N., 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan
Aplikasinya da- lam Perencanaan Wilayah Pesisir. Cetakan Pertama.
Graha Ilmu, Yogyakarta.
Mukhtasor, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. PT. Pradnya
Pa- ramita, Jakarta.
Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan
oleh Muhammad Eidman et al. PT. Gramedia, Jakarta.
Salm, R.V., Clark, J.R., and Siirila, E., 2000. Marine and Coastal Protected
Areas. A Guide for Planners and Managers. Third Edition. International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Gland,
Switzerland and Cambridge, UK.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suzana, Benu Olfie L. dkk. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove
di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. ASE.
Vol. 7 No.2 : 29 - 38