2. Pra kondisi
demokrasi?
◦ Politics is about who get what and
how—>sentralistik, absolutisme,
authoritarianisme, anti demokrasi, dll
◦ Power tends to corrupt, absolute power
corrup absolutely
◦ Oligarki partai politik —mendominasi
ekopol
◦ Semua oligark vs semua orang (demos);
oligarkrasi vs demokrasi
◦ Desentralisasi sebagai idea yang
progresif? Vs pseudo demokrasi,
regresi demokrasi, dll
3. Demokrasi Kita?
◦ Gelagat resentralisasi sudah terjadi sejak sekitar kurang dari 10 tahun
pasca reformasi 1998 dengan ditandai banyaknya bermunculan
kebijakan yang berasa sentralistik. Sentralisasi politik juga ditandai
dengan koalisi raksasa di kabinet baik era SBY atau Era Jokowi.
Muncullah fenonena exsecutive heavy dan legislative menjadi tukang
stempel (rubber stamp) yang langgeng pasca reformasi ini. Kerugian
bagi demokrasi kemudian adalah kurang bermakanya partisipasi publik:
demokrasi tanpa demos dan memudarnya peran strategis pilar keempat
demokrasi yaitu civil society. Banyak produk legislasi mengalami
dedemokratisasi akibat sentralnya kuasa politik oligarkis. Fenomena ini
jelas menggerus indeks demokrasi Indonesia (internasional) dan juga
meningkatnya indeks persepsi korupsi di Indonesia tahun 2022.
4. ◦ Agenda desentralisasi dengan diformulasikan ke dalam UU no.22
1999(berkali direvisi) mendorong demokrasi tumbuh menguat dari
daerah menjadi makin jauh panggang dari api. Desentralisasi juga punya
banyak idealisasi akan penguatan kapasitas,partisipasi publik, akselerasi
pembangunan mencegah korupsi, integrasi nasional (Syaukani, et.al,
2012). Praktis, desentralisasi berhimpitan dengan demokrasi yang
mengalami inovasi, lalu involusi/stagnasi, dan kondisi masyarakat politik
kian terpolarisasi sedemikian memburuk (Davidson, 2002). Tentu saja
puluhan sarjana punya temuan yang memperlihatkan demokrasi kita
mengalami regresi (Pabotinggi 2014, Power et.al 2021; Barenschott,
2019, dst)
5. Resentralisasi pasca reformasi
◦ Pasca reformasi, SBY membuat koalisi besar
dalam kebinet eksekutif dan legislatif, jatuh
pada praktik korupsi, cicak vs buaya, UU
otonomi daerah semakin memburuk,
kontroversi daerah istimewa, dan Papua Aceh
terus menuntut keadilan. Konsolidasi oligarki
plus konsolidasi Masy sipil
◦ Era #reformasidikorupsi Jokowi, indeks
demokrasi dan persepsi kurupsi memburuk,
kepercayaan pada KPK menurun, uu
kontroversial anti demokrasi disahkan dan
kriminalisasi masyarakat semakin meningkat.
Menguatnya konsolidasi kapital/oligarki
diikuti dengan dikonsolidasi/fragmentasi
masy sipil.
6. ◦ Kerugian lainnya dari praktik resentralisasi politik di segala bidang
adalah korupsi di sektor SDA dan pelemahan pada kelompok
masyarakat sipil yang mempertahankan lingkungan dan pencegahan
kutukan sumberdaya alam di Indonesia.
7. ◦ Perebutan kekuasaan (++);
sentralisasi/desentralisasi
◦ Alokasi Sumberdaya alam yang
terbatas
◦ Kebijakan (politik
mempertahankan lingkungan
hidup)
◦ Perjuangan Keadilan
(distribustif, rekognitif) (baca:
Michael Flitner);
◦ Politik electoral, politik
kewargaan, politik Gerakan
sosial
◦ SDA berkah atau kutukan?
8.
9.
10.
11. Mengkritisi kutukan sumber daya
alam
◦ Kutukan sumber daya, juga dikenal sebagai paradoks keberlimpahan (paradox of
plenty), adalah fenomena negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah
(seperti bahan bakar fosil dan mineral tertentu) memiliki pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah, demokrasi yang kurang, atau hasil pembangunan yang lebih buruk
daripada negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih terbatas. (Smith,
Benjamin; Waldner, David (2021, Rethinking the Resource Curse. Cambridge University
Press).
◦ Perdebatan akan teori kutukan SDA sudah sangat panjang akibat minus narasi
ekonomi politik. Beberapa lebih senang membuat term kutukan kapitalisme oligarkis.
Genealoginya adalah kasusistik ihwal korelasi antara sumber daya alam dan
konsekuensi politik, ekonomi, dan sosial yang negatif di Afrika telah melahirkan apa
yang dikenal "kutukan sumber daya" (Aunty 1993; Bibi dan Gleb 2001; Ross 1999; Sach
dan Warner 2001). Kritikus dan pendukung tesis kutukan sumber daya terus
memperdebatkan manfaatnya, tetapi kemajuan baru-baru ini dalam pengetahuan ilmu
sosial tampaknya menunjukkan bahwa bukan hanya keberadaan sumber daya alam
yang mengarah pada kutukan sumber daya: melainkan, itu adalah "tata kelola". "Good
governance" sumber daya dan pengelolaan pendapatan yang dihasilkan yang
menentukan apakah SDA akan berubah menjadi kutukan/petaka atau berkah (Alao
2007).
14. Fakta-fakta kutukan
◦ The Corruption Eradication
Commission in Indonesia (KPK)
study revealed that nearly 3
million hectares of natural forest
had been illegally cleared for oil
palm plantations, although this
area was still registered as
natural forest by the government.
As a result of both legal and
illegal logging, Indonesia has one
of the highest rates of
deforestation in the world.
◦ Korupsi pada sektor sumber daya
alam erat sekali dengan
kepentingan ekonomi- politik,
meskipun terjadi pergeseran
trend, sulit dipungkiri kerapkali
terindikasi kuat pembiayaan
politik berasal dari sektor sumber
daya alam. (Wahyu A. Perdana,
Campaigner Pantau Gambut)
15. ◦ “Tidak ada artinya
pertumbuhan
ekonomi jika
lingkungan hidup
rusak”
◦ Kutukan
capitalosene?
16. Dibalik jargon-jargon
◦ NKRI harga mati= pro pemerintahan sentralistik
◦ Nasionalisme= beri kekuasaan tanpa batas pada pemerintahan pusat
◦ Demokrasi langsung= konsolidasi pasar/oligarki
◦ Masih pandemi= biarkan negara ambil alih kekuasaan publik
◦ Resesi global= dukung regulasi/pengesahan UU yang prosesnya tidak
partisipatif dan tidak demokratis
◦ Akhirnya: dipaksa sehat, di negara yang sakit
17. #reformasidikorupsi, Demokrasi
digital meluas
◦ Tapi represi digital menguat (UU ITE)
◦ Tapi Kebebasan akademik terancam
◦ Lalu Masyarakat sipil kebebasannya
dipersempit dengan UUKUHP (kasus Haris
Azhar & Fatia)
◦ Suara ilmuwan tidak diperhitungkan,dunia
internasional tidak membuat rezim belajar
sesuatu; ada juga fenomena moncer di luar,
remuk di dalam
18. Dampak oligarkrasi
◦ GAP kesejahteraan sosial ekonomi meluas, terstruktur, dan sistemis
◦ Kerusakan lingkungan dalam ragam kutukan capitalosene (kutukan
sumber daya alam)
◦ Ruang demokrasi dan ruang hidup semakin terhimpit, hanya CSO
kridibel dan berintegritas yang sanggup mendampingi masyarakat
berhadapan dengan kuasa negara (tirani administratif)
◦ Dunia kampus semakin pragmatis dengan ragam praktik normalisasi
kehidupan kampus yang abai pada masalah-masalah sosial ekonomi
politik kemasyarakatan. Normalisasi kedaruratan demokrasi dan
ekonomi yang justru ditabuh oleh kaum akademisi.