1. Info Utama
Judul : Menyoal Wacana Kepemilikan Properti Bagi WNA
Highlight : Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996
memang sudah masuk proses pematangan di berbagai
kementerian saat ini.
Editor/Reporter: Wahyu Arif Hidayat/Bimo Arya
Foto: Istimewa
Kutipan : "Intinya, pemerintah memang tidak ingin tergesa-gesa
membuat keputusan. Kriteria-kriteria itu masih dalam
pembahasan dan sudah sampai tahap finalisasi”.
Wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun
1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia sebenarnya telah
berhembus sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Poinnya adalah memperpanjang hak pakai properti bagi
Warga Negara Asing (WNA) dari 25 tahun menjadi 75 tahun.
Namun, hingga berakhirnya masa pemerintahan SBY, wacana itu tak
kunjung terealisasi karena persoalan status Hak Guna Bangunan
(HGB) yang kerap menjadi pembahasan alot di kalangan elit.
Mereka mempertanyakan bagaimana bisa hak pakai menjadi 75
tahun sementera HGB saja hanya 30 tahun.
Kini, pada era pemerintahan Jokowi, wacana itu kembali berhembus.
Bahkan, semakin kencang. Banyak pihak, baik pengembang,
pengamat, maupun pelaku industri terkait yang mendesak agar
peraturan itu segera direvisi. Sebab, menurut ketua Umum Real
estate Indonesia (REI) Eddy Hussy, kondisi aktual mengenai
dinamika pasar properti saat ini sudah sangat menunjang dan
berpotensi besar meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Terlebih, Indonesia tahun ini, juga akan memasuki era pasar
bebas ASEAN. Tentu, kecenderungan meningkatnya pertumbuhan
populasi pekerja asing atau ekspatriat yang datang ke Indonesia
sangat tinggi.
2. Saat ini saja, berdasarkan data, pertumbuhan populasi pekerja asing
atau ekspatriat di Indonesia sudah mencapai sekitar 1,35 persen
per tahun selama 2010-2014. "Apalagi, saat memasuki pasar
bebas. Tentu angkanya akan lebih tinggi. Sebab itu, pemerintah
memang harus segera merevisi PP Nomor 41 Tahun 1996,"
tegasnya.
Bila terus terkatung-katung, kata Eddy, dikhawatirkan minat asing
untuk memiliki properti di Indonesia akan berkurang. Bukan
tidak mungkin, mereka akan beralih ke Malaysia atau Singapura.
"Di Malaysia, waktu kepemilikan bisa sampai 75 tahun. Di
Singapura 99 tahun. Pemerintah harusnya bisa mencontoh
negara tetangga," tutur dia dalam diskusi "Wacana Penjualan
Properti untuk Orang Asing dan Kawasan Ekonomi Khusus" yang
diselenggarakan PT Jababeka Tbk., di Jakarta, Rabu (19/8).
Dalam acara yang sama Direktur Pengelolaan dan Pengadaan Tanah
Pemerintah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional M Noor Marzuki mengaku revisi peraturan
tersebut saat ini memang sudah masuk proses pematangan di
berbagai kementerian. Pemerintah juga tengah meminta
pendapat dari berbagai ahli.
Revisi mencakup subjek (orang asing), bangunan, dan jangka
waktu. Untuk subjek, lanjut Noor, mereka bisa pemilik Kartu Izin
Tinggal Terbatas/Tetap, bisa pemegang passport, bisa hanya
untuk WNA yang taat aturan, taat membayar pajak, atau kriteria
lainnya.
Sedangkan untuk jangka waktu, menurut dia, bisa seumur hidup. Ini
sebagai bentuk penghormatan kehadiran orang asing dan
membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Adapun untuk
kepemilikan bangunan, bisa hak pakai sebagai obyek tanggungan
yang boleh dijaminkan, dialihkan, diagunkan, dan diwariskan.
Atau, HGB. "Intinya, pemerintah memang tidak ingin tergesa-
gesa membuat keputusan. Kriteria-kriteria itu masih dalam
pembahasan dan sudah sampai tahap finalisasi. Kami masih
menunggu pandang-pandangan dari berbagai pihak agar
keputusan yang dibuat nanti lebih membumi," jelas Noor.
3. Pemerintah Jangan Takut
Menurut Ferdinand Boedi Poerwoko, president director PT
Hexabuana Tomanas, pemerintah seharusnya bisa cepat
memutuskan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, pihak
asing hanya diperbolehkan memiliki hunian vertikal, seperti
apartemen dan kondotel, bukan rumah tapak. Alhasil,
kecenderungan muncul para spekulan sangat kecil.
Justru, kehadiran pihak asing dapat berdampak positif bagi
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebab, mereka memiliki
kewajiban mengeluarkan service charge, maintenance, dan
sinking fund yang dapat menambah pemasukan negara. Juga,
akan membantu menciptakan tenaga-tenaga kerja baru, seperti
security, cleaning, house keeping, dan lainnya. “Sebenarnya,
pemerintah tidak bisa menutup mata. Saat ini saja, sudah banyak
orang asing memiliki properti atas nama warga lokal. Praktik jual
beli di ‘bawah tangan’ itu malah membuat negara kehilangan
sejumlah pemasukan dari sektor pajak. Untuk menghilangkan
praktik itu, ya pemerintah harus membuat regulasi yang jelas.
Yang memudahkan para WNA untuk memiliki properti,”
paparnya.
Jangan sampai, pada era MEA nanti, Indonesia kehilangan pasar
potensial karena pihak asing lebih memilih berinvestasi properti
ke negara lain. “Bila segala sesuatunya sudah kita tata dengan
baik, pasti semua akan berjalan baik. Jadi, pemerintah tidak usah
takut,” katanya.
Rinto, sales manager Holland Vilage pun berpendapat sama. Wacana
pembukaan akses kepemilikan properti oleh asing sejatinya
menjadi “angin segar” bagi para pengembang. Ini merupakan
indikasi bahwa pasar properti bakal kembali bergeliat. Bahkan,
geliatnya nanti bisa merambah ke segala segmen. Apalagi, bila
pemerintah bisa lebih lunak mengenai Loan To Value (LTV) di
perbankan konvensional dan Financing To Value (FTV) bagi
perbankan syariah. “Pasti, dampaknya akan sangat baik bagi
dunia properti,” pungkasnya.