2. KONSEPSI HUKUM TANAH NASIONAL
• 1. Rumusan Konsepsinya
• Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Ini berarti
antara lain bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi Hukum Adat, yang
dirumuskan dengan kata-kata:
• Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan.
• 2. Sifat Komunalistik Religius
• Sifat komunalisti religious konsepsi Hukum Tanah Nasional ditunjukkan oleh Psal 1 ayat 2:
• Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia, sebagi karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
• Kalau dalam Hukum Adat tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, mak dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara
kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.
Pernyataan ini menunjukkan sifat Komunalistik konsepsi hukum Tanah Nasional.
3. • Unsur religious konsepsi ini ditunjukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air
dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, merupakankarunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia. Dalam konsepsi Hukum Adat sifat keagaamn Hak Ulayat masih
belum jelas benar, dengan rumusan, bahwa tanah ukayat sebagai tanah
bersama adalah “peninggalan nenek moyang” atau sebagi “karunia
sesuatu kekuatan yang gaib”. Dengan adanya sila “Ketuhanan Yang Maha
Esa” maka, dalam Hukum Tanah Nasional, tanah yang merupakan tanah
bersama Bangsa Indonesia, secara tegas dinyatakan sebagai Karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sifat religiusnya menjadi jelas
benar.
• Suasana religius Hukum Tanah Nasional tampak juga dari apa yang
dinyatakan dalam Konsederans/Berpendapat dan pasal5, sebagai pesan
atau peringatan kepada pembuat Undang-Undang, agar dalam
membangun Hukum Tanah Nasional jangan mengabaikan, melalaikan,
harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
4. PRINSIP-PRINSIP HUKUM TANAH
NASIONAL
• 1. Asas Nasionalitas
• Pasal 1 UUPA
• (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia.
• (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
• (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta
ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah
hubungan yang bersifat abadi.
5. • Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah
Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia,
jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para
pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah
dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak
rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan
saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti bahwa selama
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang
angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka dalam
keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau
meniadakan hubungan tersebut.
6. 2. Asas Hak Menguasai Negara
• Pasal 2 UUPA
• (1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasikekuasaan seluruh rakyat.
• Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang
memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
untuk pada tingkatan tertinggi.
• (2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
• a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
• b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
• c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
7. • Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
terwujud kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
• Atas dasar hak menguassai dari Negara tersebut, Negara
dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan
lainnya.Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari Negara
tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
8. 3. Asas Pengakuan Hak Ulayat
• Pasal 3 UUPA
• Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
•
• Pasal 5 UUPA
• Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasioanal dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama.
9. • Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah
yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Hak ulayat atas tanah
masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah
yang ada di wilayah masyarakat hukum adat.
• a. Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam
• Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam
menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan
kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara
kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar
tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang
menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris
maka masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya.
10. • b. Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan
• Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak
perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh
seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas
tanah tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin
diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah
pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat.
• c. Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar
• Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah
dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat
hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara
mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang (pengisi adat)
secara terang dan tunai
11. • Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya
dalam sistem Hukum Agraria Nasional akan
tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan asas ini,
maka untuk kepentingan pembangunan tidak
dibenarkan jika masyarakat hukum adat
berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya
hutan secara besar-besaran dan teratur untuk
melaksanakan proyek-proyek yang besar,
misalnya pembukaan areal pertanian yang baru,
transmigrasi dan lainnya.
12. 4. Asas Tanah mempunyai Fungsi
Sosial
• Pasal 6 UUPA
• Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
•
• Tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau
tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
• Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat
dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti,
bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
13. 5. Asas Perlindungan
• Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA:
• Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-
batas ketentuan pasal 1 dan 2.
• Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan hukum dapat
mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun
usahanya.
• Pasal11 (2) UUPA:
• Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum
golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah.
•
14. • a. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing.
• b. pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
• c. Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang
luasnya terbatas.
• d. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2).
• e. Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak
milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai
hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya.
• f. Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi
keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-
bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
• g. Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud
menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah
yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
16. 6. Asas Persamaan Hak antara Laki-
laki dan Perempuan
• Pasal 9 (2):
• Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
• Pasal 11 (20)
• Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat
diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan
dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi
lemah.
• Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasita,
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik
serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Ketentuan
ini merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah.
• Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas
dalam bidang-bidang usaha agraria.
18. 7. Asas Tanah untuk Pertanian
• Pasal 10 (1) UUPA
• Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanh pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan tau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
• Pasal 12 UUPA
• (1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka
kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
• (2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
• Pasal 13.
• (1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga
meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin
bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
• (2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan
perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
• (3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan
dengan Undang-undang.
• (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam
usaha-usaha di lapangan agraria.
• Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah
pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri.
19. 8. Asas Tata Guna Tanah
• Pasal 7 UUPA
• Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
• Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara dalam bidang
agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan,
penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai
kepentingan hidup rakyat dan Negara.
• a. Rencana umum (National Planning)
• ð Rencana yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, kemudian diperinci menjadi
rencana-rencana khusus.
• b. Rencana khusus (Regional Planning)
• ð Perencanaan atas bagian per bagian wilayah di Indonesia atau dapat dikatakan
rencana per daerahnya.
• Asas ini merupakan hal yang baru dengan tujuan setiap jengkal tanah
dipergunakan se efisien mungkin dengan memperhatikan asas Lestari, Optimal,
Serasi, dan Seimbang (LOSS) untuk penggunaan tanh di pedesaan, sedangkan asas
Aman, Tertib, Lancar dan Sehat (ATLAS) untuk penggunaan tanah di perkotaan.
20. Hukum Adat Dalam UUPA
• 1. UUPA Mengakhiri Kebhinnekaan Peraturan Pertanahan
DiIndonesia
• Berlakunya UUPA merupakan perubahan yang mendasar dalam Hukum
Tanah (Hukum Agraria) Indonesia. Sejak tanggal 24 dicatat sebagai salah
satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah Agraria / pertanahan
di Indonesiapada umumnya dan pembaharuan Hukum Agraria / hukum
tanah pada khususnya.
• Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria bersifat dualistik, yakni
berumber pada Hukum Adat dan hukum Agraria Barat. Sejak UUPA
berlaku maka Hukum Agraria Barat tersebut dinyatakan tidak berlaku, dan
sifat dualistik tersebut juga hapus, yang berlaku adalah UUPA sebagai
hukum positif yang berlaku secara unifikasi di Indonesia.
• Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomian, terutama masih bercorak agraris,
bumi, air, dan ruang angkasa sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai pungsi yang sangat penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur.
24. UUPA Sebagai Hukum Pertahanan
Nasional
• Peraturan dasar hukum formal sebagai landasan yuridis dan filosofis bagi
pembentukan politik UUPA adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945.Sebagaimana
disebutkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan politik
pertahanan, jika dicermati ketentuan ini maka kata “menguasai” memberikan
pernyataan kewenangan menguasai negara yang diberi kewenangan untuk
menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
kewenangan menguasai tanah yang diberikan kepada negara untuk mengatur
peruntukkannya yang ditujukan bagi masyarakat (falsafah atau jiwa dan semangat
UUPA)
• Di lihat dari segi berlaku, UUPA mempunyai dua substansi, yaitu
• a. Menyatakan tidak berlaku lagi dan mencabut Hukum Agraria Kolonial,
berarti mengakhiri hukum agraria kolonial dan menghapus dualisme hukum
agraria kolonial, dan
• b. Membangun hukum agraria atau hukum tanah nasional, berarti
membangun pradigma hukum pertahanan yang berorientasi bagi kemakmuran
seluruh rakyat, berfungsi sosial dengan kemakmuran seluruh rakyat, berfungsi
sosial dengan menghormati hak dan mengakui hak pribadi, kesederhanaan dan
memberikan kepastian hukum, negara berfungsi sebagai regulator dan
menempatkan hukum adat sebagai dasarnya.
25. • UUPA sebagai hukum pertanahan nasional mempunyai dua sifat, yakni :
• Sifat nasional format, sifat tersebut dapat dilihat.
• 1. UUPA dibentuk dan dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
• 2. Disusun dalam Bahasa Indonesia, berlaku dalam wilayah Indonesia.
• Sifat nasional materil, sifat ini dapat disimak bahwa Hukum Agraria Nasional harus bertujuan dan
bersifat nasional, yakni :
• 1. Hukum Agraria Nasional berdasarkan Hukum Adat.
• 2. Hukum Agraria Nasional harus sederhana.
• 3. Hukum Agraria Nasional harus menjamin kepastian hukum bagi rakyat seluruh Indonesia.
• 4. Hukum Agraria Nasional tidak boleh mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.
• 5. Fungsi bumi, air dan kekayaan alam serta ruang angkasa harus sesuai dengan kepentingan
rakyat Indonesia.
• 6. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai azas
kerohanian Bangsa Indonesia.
• 7. Hukum agraria Nasional harus melaksanakan ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
mewajibkan negara harus mengatur pemilikan, penggunaan dan peruntukan tanah sehingga dapat
dicapai penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
27. Kedudukan Hukum Adat Dalam
UUPA
• Hukum Indonesia dalam arti hukum positif bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945. Menurut pandangan UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam
pembukaan yang berpangkal pada kemerdekaan sebagai hak segala
bangsa. Dalam kalimat selanjutnya dalam pembukaan itu menunjukkan
konsep lebih lanjut dalam garis besar dari isi kemerdekaan, yang menurut
paham Indonesiamenjadi sumber materil UUD 1945. hukum dasar yang
dimaksud adalah yang merupakan wujud rumusan dari filsafat Pancasila.
Hukum dasar tersebut merupakan penjabaran dari Rechsidee.
Sumbernya Rechsidee itu ialah nilai-nilai budaya Indonesia.
• Hukum adat adalah hukumnya masyarakat yang masih sederhana, dengan
lingkup personal dan teritorial yang terbatas. Hukum Agraria Nasional
dimaksudkan sebagai hukumnya masyarakat modern, dengan lingkup
personal yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Sehingga penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian
kepentingan masyarakat dalam koteks negara modern dan dunia
International.
28. • Sesuai dengan fungsi hukum adat sebagai pelengkap hukum tertulis, maka berdasarkan pasal 5 dan
penjelasan III (1) UUPA maka hukum pelengkap itu perlu mengalmi pembersihan (sanering, retool).
Lebih dulu.
• Ketentuan UUPA yang mengatur kedudukan hukum adat, selain ketentuan hukum tersebut diatas
dapat dilihat dalam bagian lain sebagai berikut :
• a. Konsiderans Bagian Berpendapat a : Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan diatas perlu adanya hukum Agraria nasional, yang berdasarkan hukum adat tentang
tanah, yang sederhana yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
• b. Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasai
kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
• c. Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan lain yang lebih tinggi.
• d. Penjelasan Pasal 5 : Penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum Agraria yang baru.
Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
29. • Berdasrkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut diatas, UUPA memberikan
kedudukan sebagai posisi dasar. Karena itu, hukum adat berlaku dalam kerangka
UUPA sebagai kesatuan tidak terlepas dari UUPA itu sendiri. Dengan perkataan
lain, pasal-pasal dalam UUPA merupakan kristalisasi dari asas hukum adat
sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat.
• Pembentukan hukum Agraria nasional mempunyai 2 (dua) kedudukan, yaitu :
• “Hukum adat sebagai dasar utama”. Hukum adat sebagai dasar utama hukum
Agraria nasional disimpulkan dari Konsiderans UUPA di bawah perkataan
“Berpendapat” dan dalam Penjelasan Umum III No. 1.
• “Hukum adat sebagai pelngkap”. Hukum adat sebagai pelengkap mempunyai arti,
yaitu bahwa pembentukan hukum nasional yang mewujudkan kesatuan hukum,
kepastian hukum, perlindungan hukum kepada pemegang hak memerlukan suatu
proses yang memakan waktu. Selama proses itu belum selesai, hukum tertulis
yang sudah ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan pelengkap agar tidak
terjadi kekosongan hukum.
•
30. • Pemberian kedudukan hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA
pada hakekatya adalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi hukum
adat yaitu :
• Pengakuan dan penegasan sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat :
• Pengakuan terhadap Hukum-hukum adat merupakan posisi dasar
berlakunya hukum adat.
• Hukum adat yang dimaksudkan UUPA adalah hukum adat hukum aslinya
golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam
bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli,
yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasrkan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip
nasionalitas, Pro kepentingan negara, Pro kepentingan bangsa, Pro
Pancasila tidak bertentangan dengan Undang-undang / peraturan
perundangan yang lebih tinggi dan ditambah unsur agama.
• Karena itu memberlakukan hukum adat dengan disertai dengan
persyaratan, bahwa hukum adat itu tidak boleh bertentangan dengan :
31. • - Kepentingan nasionalisme dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa.
• - Sosialisme Indonesia
• - Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA
• - Peraturan-peraturan Perundangan lainnya.
• - Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
• - Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya hukum adat tidaklah
mengurangi arti ketentuan pokok dalam UUPA, bahwa hukum Agraria
memakai hukum adat sebagai dasar dan sumber utama
pembangunannya.
• Pengakuan hukum adat merupakan perlindungan hukum masyarakat
adat. Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan dalam pasal 5
UUPA merupakan suatu bentuk keragu-raguan, terutama mengenai
kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern.
Hal ini terutama dilontarkan oleh penganut paham kodifikasi yang intinya
hukum adat tidak menjamin kepastian hukum.
32. Upaya Penyusunan Hukum
Agraria Nasional
• Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang dicetuskan pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia
merupakan suatu tonggak sejarah sebagai simbol terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Secara yuridis,
proklamasi tersebut memiliki makna terputusnya atau tidak berlakunya
hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan
secara politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa
Indonesia terlepas dari penjajahan menjadi bangsa yang merdeka.
• Proklamasi kemerdekaan tersebut memberi arti penting terhadap upaya
penyusunan hukum agraria nasional. Pertama dengan proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia memutuskan hubungan dengan hukum
agraria kolonial sekaligus, yang kedua, bangsa Indonesia berupaya
membentuk hukum agraria nasional.
33. • Meskipun demikian, dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta
merta pemerintah dapat dengan mudah membentuk hukum agraria nasional, hal itu
membutuhkan waktu yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria yang bersifat
nasional. Dengan demikian, guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum),
maka sambil menunggu terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 , yaitu : “Segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-Undang
Dasar ini”.
• Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan maupun peraturan
yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku selama hal
tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang baru.
• Dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
menyebutkan :
• “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
34. • Ketentuan tersebut bersifat imperatif, artinya berbentuk perintah kepada
negara agar bumi, air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya
nyang diletakkan di bawah penguasaan negara harus dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
• Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan
Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia
merdeka, yaitu :
• 1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.
• Dala pelaksanaan hukum agraria didasarkan atas kebijaksanaan baru dengan memakai tafsir yang baru
pula yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di sini, conthnya adalah
menegenai hubungan domein verklaring, yaitu negara tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
• 2. Penghapusan hak-hak konversi.
• Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat adalah lembaga konversi yang berlaku di
karasidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah dianggap milik raja. Rakyat hany
sekedar memakainya, yang diwaibkan menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah
itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada anggota
keluarganya atau hamba-hambanya yang berjasa atau seti kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah,
dan pemberian tanah ini disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut di atas.
Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan setelsel apanage.
35. • Tanah-tanah tersebut oleh raja atau penegang apanage disewakan
kepada pengusaha-pengusaha asing unutk usaha pertanian, berikut hak
untuk memungut sebgian dari hasil tanama rakyat yang mengusahakan
tanah itu. berdasarkan S.1918-20, para pengusaha asing tersebut
kemudian mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut hal
konversi (beschikking konversi). Keputusan raja, pada hakikatnya
merupakan suatu keputusan penguasa untuk memakai dan
mengusahakan tanah tertentu.
• Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang
mencabut Stb.1918-20. dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi,
begitu juga hak-hak konversi serta hypotheek yangmembebaninya
menjadi hapus.
36. • 3. Pengahapusan tanah pertikelir.
• Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan di bidan pertanahan oleh
Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah partikelir yang di dalamnya terdapat hak
peruanan. Dengan adanya hak pertuanan ini, seakan-akan tanah-tanah partikelir
tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak
kekuasaan yang demikian besar banyak yang menyalahgunakan haknya, sehingga
banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang ada atau
berdiam di wilayahnya.
• Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia melakukan pembelian tanah-
tanah partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan dikarenakan tidak tersedianya
dan yang cukup juga karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan menuntut harga
yang tinggi.
37. • Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-
tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik partikelir atas tanahnya dan hak-
hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas apartikelir itu karen hukum seluruhnya
serentak menjadai tanah negara.
• Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya merupajan pencabutan hak,
dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir
dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugian telah sesuai.
• 4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.
• Praturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan bedar
khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umumnya sebagai yang
dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan Madura diatur dalam dua
peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-88 untuk daerahpemerintahan
langsung dan Voerstenlands GrondhuureglementS.1918-20 untuk Surakarta dan
Yogyakarta (daerah-daerah swapraja). Menurut ketentuan ini persewaan tanah
dimungkinkan berjangka waktu palig lama 21,5 tahun.
38. • Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut diubah dengan
ditambahkan Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh Undang-undang
Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang Darurat ini kemudian ditetapkan
menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1952. Dengan penambahan pasal-pasal
tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu dan lain-lainnya yang
ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1
tahun tanaman. Adapun besar sewanya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri,
kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan
karena besar dan jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan
harga pada saat itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.
39. • 5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
• Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang menetapkan Undang-
undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Pemindahan Tanah-tanah dan
Barang-barang Tetap Lainnya yang Tunduk Pada Hukum Eropa, dinyatakan bahwa
sambil menunggu pengaturan lebih lanjut unutk sementara untuk setiap serah
pakai lebih dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang berwujud pemindahan hak
mengenai hak tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada
hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Menteri
Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri
Agraria).
• Semua perbuatan yang dilakukan di luar izin menteri tersebut dengan semdirinya
batal menurut hukum, artinya tanah/rumahnya kembali pada penjual, uangnya
kembali kepada pembeli jika perbuatan berbentuk jual beli. Peraturan mengenai
perizinan ini dimaksudkan untk mencegah atau paling tidak mengurangi
kemungkinan jatuhnya tanah-tanah Eropa, termasuk rumah atau bangunan yang
ada di atasnya ke tangan orang-orang dan badan-badan hukum asing.
40. • Ketentuan di atas dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang
Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak-hak Atas Tanah Perkebunan Erfacht, Eigendom, dan
lain-lain Hak Kebendaan. Dikeluarkan juga peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956
tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanh Perkebunan Konsesi, yang
kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959.
• Menurut ketentuan di atas, setiap perbuatan yang berwujud pemindahan hak dan setiap
serah pakai untuk lebih dari satru tahun mengenai tanah erfacht, eigendom, dan hak-hak
kebendaan lainnya atas tanah perkebunan, demikian tanah-tanah konsesi untuk perkebunan
dari bangsa Belanda dan bangsa-bangsa asinglein serta badan-badan hukum hanya dapat
dilakukan dengan izin Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957
izinnya dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
• Maksud praturan tersebut di atas adalah untuk mengadakan pengawasan serta jaminan
bahwa penerima haknya mampu mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan
dengan baik dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi belaka.
41. • 6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
• Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, Menteri Agraria dan Pertanian
berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar tanah-tanah perkebunan yang
mempunyai sifat sangat penting dalam perekonomian negara diusahakan dengan
baik. Dalam undang-undan gini juga ditetapkan bahwa pemegang erfacht,
eigendom dan hak kebendaan lainnya yang sudah mengusahakan kembali
perusahaan-perusahaan, wajib melakukan segala sesuatu yang perlu untuk
memulai atau meneruskan usahanya secaa layak menurut ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
• Jika pemegan hak tersebut belum memenuhi kewajibannya, maka atas
pertimbangan Menteri Pertanian, hak erfacht yang bersanglkutan dapat
dibatalkan oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga dapat dibatalkan, jika menurut
pertimbagnan Menteri Agraria dan Menteri Pertanian sikap pemegang hak selama
waktu yang ditentukan tidak berniat mengusahakan perusahaan perkebunannya
sebagaimana mestinya.
• Tanaman dan bangunan di atas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri
Pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang
42. • 7. Kenaikan Canon dan Cijn.
• Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht setiap tahunnya kepada
negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang konsesi perusahaan
perkebunan besar. Pada umumnya, ccnon dan cijn dulu tidak besar jumlahnya, karena
terutama dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik tanah yang dikuasainya dengan hak
erfacht atau konsesi.
• Setelah Indonesia merdeka, sebgaian besar tanah-tanah perkebunan sudah dibuka dan
diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar setiap tahunnya itu fungsi atau sifatnya
lain, yaitu sebagai sewa pemakaian tanah.
• Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang Perubahan Canon dan Cijn Atas Hak-
hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar ditetpkan bahwa selambat-lambatnya 5
tahun sekali uang wajib tahunan ini harus ditinjau kembali.
46. UUPA Sebagai Hukum Agraria
Nasional.
• 1. Sifat Nasional UUPA.
• UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua,
membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan
berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada
hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanhan.
Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum,
konsepsi yang mendasari maupun isinya.
• UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan
agraria karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca
Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :
• 1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;
• 2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
• 3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
• 4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-
47. • Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan formal. Sifat nasional
material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal berkenaan dengan pembentukan
UUPA.
• a. Sifat Nasional Material UUPA.
• Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus mengandung asas-asas
berikut :
• 2) Berdasarkan hukum tanah adat;
• 3) Sederhana;
• 4) Menjamin kepastian hukum;
• 5) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
• 6) Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam
membangun masyarakat yang adil dan makmur;
• 7) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
• 8) Memnuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
• 9) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti
yang tercantum dalam undang-undang;
• 10) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik;
• 11) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
48. • Sifat Nasional Formal UUPA.
• Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA yang memenuhi sifat
sebagai berikut :
• 1) Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
• 2) Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
• 3) Dibentuk di Indonesia;
• 4) Bersumber pada UUD 1945;
• 5) Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.
•
• 2. Peraturan Lama yang Dicabut oleh UUPA.
• Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka dengan demikian Indonesia
memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional yan tentunya lepas dari sifat-sifat
kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai negara merdeka
dan berdaulat.
49. Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan Hukum
Agraria Nasional.
• Menurut notonagoro, faktor-fakror yang harus diperhatikan dalam
pembangunanhukum agraria nasional, adalah faktor formal, faktor materil,faktor
ideal, faktor agraria modern, dan faktor ideologi politik
• 1. Faktor formal
• Keadaan hukum agraria diindonesia sebelum diundangkannya UUPA merupakan
keadaan peralihan, keadaan sementara waktu oleh karena peraturan-peraturan
yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-perturan peralihannn yang
terdapat dalan pasal 142 undang-undang dasar sementaraa (UUDS) 1950, pasal
192 konstitusi Republik indonesia serikat (KRIS) dan pasal 2 aturan peralihan UUD
1945 , yang semuanya itu bersama-sama menentukan dalam garis besarnya
bahwa peraturan-peraturan hkum yang berlaku pada zaman hindia belanda
memegang kekuasaan, masih berlaku untuk sementara.
53. Undang-undang Pokok Agraria
Hukum Agraria Nasional.
• UUPA merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UU 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu ats dasar ketentuan dalam pasal 33
pasal ayat (3) undang-undang dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
• Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landsan konstitusional bagi
pembentukan politik dan hukum agraria nasional, yang berisi perintah kepada
negara agar bumi, air, dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya yang
diletakan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran seluruh rakyat indonesia.
• UUPA mempunyai dua subtansi dari segi berlakunya, yaitu
pertama,tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonoial, dan
kedua membangun hukum agraria nasional. Menurut boedi harsono, dengan
berlakunya UUPA, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum
agraria diindonesia, terutama hukum dibidang pertanahan. Perubahan yang
fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari
maupun isinya.