2. RSBI Sarat Dugaan Korupsi, Tidak
Transparan dan Tidak Akuntabilitas
Oleh Musni Umar, Ph.D
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada Yang Mulia
Ketua Majelis Hakim yang telah memberi kesempatan kepada
saya untuk menjadi sanksi atas Perkara Nomor 5/PUU-X/2012
Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 50 ayat (3)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Kesaksian ini akan mendasarkan apa yang saya lihat, ketahui,
saksikan dan rasakan sewaktu menjadi Ketua Komite SMA 70
periode 2009-2011 serta sebagai orang tua siswa SMA 70
(RSBI) dan SMA 6 (non RSBI) tentang praktik Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) di sekolah tersebut.
3. • SMA Negeri 70 Jakarta adalah gabungan dua SMA Negeri
bertetangga, yaitu SMA Negeri IX dan SMA Negeri XI yang
masing-masing berdiri tahun 1959 dan 1960. Kedua sekolah
ini digabung pada 5 Oktober 1981, yang kemudian
diperingati sebagai hari ulang tahun SMA Negeri 70 Jakarta.
Jumlah siswa SMA 70 sebanyak 1.141 siswa (2010-2011)
• Cikal bakal RSBI di SMA 70 Jakarta dimulai tahun 2003-2004
ketika membuka layanan Program Sertifikat A/AS level yang
mengacu pada University of Cambridge International
Examination (Kelas Internasional).
• SMA 70 yang bertetangga dengan SMA 6, dan terletak di
Bulungan Jakarta Selatan, sejak puluhan tahun yang lalu
sudah terkenal dan menjadi sekolah favorit. Isteri saya dan
adik-adiknya sekolah di dua sekolah tersebut, begitu juga
anak saya yang satu, sekolah di SMA 6, dan adiknya sekolah
di SMA 70. Mereka sekolah di tempat itu bukan karena RSBI
dan non RSBI, tetapi lebih dekat dengan tempat tinggal dan
mengikuti jejak orang tua dan tantenya.
• Saya ingin memulai kesaksian ini dengan mengemukakan:
4. 1. Permasalahan Pemerataan Pendidikan
Pendidikan di Indonesia sejatinya adalah untuk semua
(education for all). Ia harus merata, bisa diikuti oleh seluruh
bangsa Indonesia, murah dan berkualitas dalam rangka
“mencerdaskan kehidupan bangsa” sesuai amanat
Pembukaan UUD 1945.
Akan tetapi, dalam implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) tidak mewujudkan adanya unsur
pemerataan pendidikan. Pertama, dari segi nama “Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional” sudah menggambarkan
bahwa RSBI hanya untuk sekolah anak-anak orang kaya.
Konsekuensinya, di SMA 70 Bulungan Jakarta Selatan
misalnya, sangat sedikit anak-anak miskin yang berani
bersekolah ditempat itu, karena sejak awal sudah terbangun
dalam benak mereka, sekolah tersebut bukan untuk mereka.
5. • Kedua, dari aspek pembayaran yang disebut Sumbangan Peserta Didik Baru
(SPDB), dulu disebut IPDB dan Sumbangan Rutin Bulanan (SRB) dulu disebut IIRB,
anak-anak miskin, mustahil bisa mengikuti pendidikan di sekolah yang berlabel
RSBI. Sebagai gambaran RSBI SMA 70 Bulungan Jakarta Selatan, terbagi tiga
kelompok yaitu Kelas Reguler, Kelas CIB (Kelas Aksel), dan Kelas Internasional (KI)
Kelas Reguler
- Sumbangan Peserta Didik Baru (SPDB) Rp 11.200.000,- (Rp 7 juta)
- Sumbangan Rutin Bulangan (RSB) Rp 425.000,-
Kelas CIB (Akselerasi)
- Sumbangan Peserta Didik Baru (SPDB) Rp 11.200.000,-
- Sumbangan Rutin Bulangan (SRB) Rp 1.000.000,-
Kelas Internasional (KI)
- Tahun pertama pembayarannya Rp 31.000.000,-
- Tahun kedua pembayarannya Rp 24.000.000.-
- Tahun ketiga pembayarannya Rp 18.000.000,-
Besarnya jumlah pembayaran pada sekolah RSBI, merupakan bukti bahwa
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional telah menjadi sarana komersialisasi
pendidikan. Pada hal, SMA 70 dan sekolah-sekolah pemerintah yang
berlabel RSBI, sudah mendapat pembiayaan yang besar dari pemerintah
dan pemerintah daerah.
6. 2. Permasalahan Keadilan dalam Pendidikan
Pendidikan seharusnya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
sesuai sila kelima dari Pancasila. Sekolah pemerintah yang mengemban
amanah “mencerdaskan khidupan” dan mewujudkan “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, ” tidak boleh ada kastanisasi, diskrimnasi dan
ketidak-adilan. Akan tetapi, RSBI telah menciptakan ketidak-adilan.
Pertama, ketidak-adilan antar siswa yang kaya dan miskin. Sebagaimana
dikemukakan diatas, hanya mereka yang kaya, bisa memasuki pendidikan
RSBI yang sangat mahal dibanding sekolah non RSBI. Sebagai
perbandingan SMA 6 Bulungan yang non RSBI, Sumbangan Peserta Didik
Baru sekitar Rp 5.900.000,-
Kedua, ketidakadilan antar kepala sekolah dan guru-guru PNS di sekolah
berlabel RSBI dan Non RSBI. Sebagai gambaran, besaran gaji guru PNS dan
karyawan PNS, sesuai peraturan pemerintah yang menggunakan anggaran
APBN dan APBD, bahwa penghasilan seorang guru antara lain:
- Gaji pokok berkisar Rp. 4.000.000,-
- TKD (Tunjangan Kinerja Daerah) Rp. 3.500.000,-
- Tunjangan Remunerasi Rp. 2.500.000,-
- Sertifikasi Rp. 3.000.000,-
7. Dengan adanya RSBI, maka orang tua siswa melalui komite harus
membayar lagi honor kepala sekolah, guru-guru PNS dan karyawan
PNS setiap pertengahan bulan dan tunjangan Hari Raya. Pada hal
tidak ada dasar hukumnya. Katanya kesepakatan antara komite dan
sekolah. Ini juga bentuk lain dari kastanisasi TSBI dan non RSBI.
Sebagai gambaran kepala sekolah SMA 70 diduga menerima honor
dari komite sekolah:
- Kelas Reguler, sebelumnya kepala sekolah menerima sekitar
Rp 35 juta Kemudian komite menurunkan Rp 20,000,000,-
- Kelas Internasional (Andi Yuwono) Rp 5,000,000,-
- Kelas CIB (Andi Yuwono) Rp 5,000,000,-
Ketiga, ketidak-adilan antar sekolah. Sama-sama-sekolah
pemerintah, segala kebutuhan pembiayaan ditanggung oleh
pemerintah melalui APBN dan APBD, . seperti pembangunan gedung
sekolah, renovasi, biaya telepon, listrik, ATK, tetapi RSBI mendapat
Rp 500 juta/tahun, Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Rp
75,000/siswa, dan bisa memungut biaya yang amat mahal dari orang
tua siswa (masyarakat).
8. Keempat, ketidak-adilan dengan orang tua siswa.
RBSI adalah program pemerintah, tetapi yang
menanggung biaya RSBI dan sangat mahal adalah
orang tua siswa (masyarakat) Sebagai gambaran,
total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(APBS) SMA 70 sekitar Rp 15 milyar. Sebanyak Rp
10,3 milyar bersumber dari orang tua siswa
(masyarakat). Pemerintah hanya menanggung
biaya Rp 4,7 milyar. Ini tidak tidak-adil dengan
kualitas RSBI yang biasa-biasa saja, serta
pengelolaan keuangan yang jauh dari standar
internasional.
9. 3. Permasalahan Kualitas Pendidikan
Untuk mewujudkan sekolah yang berkualitas internasional
tidak harus menggunakan nama Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Menggunakan nama-RSBI dan SBI pada sekolah-sekolah
pemerintah bisa menyesatkan dan menipu masyarakat.
Realitas menunjukkan bahwa RSBI tidak berkorelasi dengan
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kalau
barometer untuk mengukur berkualitas tidaknya sebuah
sekolah dari ujian nasional dan ujian Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), maka SMA Negeri
berlabel RSBI belum terbukti lebih berkualitas dibanding
sekolah non RSBI.
Bukti pertama, tingkat kelulusan tertinggi SMA di DKI Jakarta
tahun 2011 adalah 1) SMA Santa Ursula, Lapangan Banteng,
2) SMA Kristen I BPK Penabur, dan 3) Labschool Kebayoran.
10. Bukti kedua, Kelas Internasional SMA 70, tahun
2010, dua siswa tidak lulus ujian nasional
gelombang pertama.
Bukti ketiga, hampir 100 persen siswa SMA 70
sesudah naik kelas XIII ikut Bimbingan Belajar
(Bimbel) di luar sekolah. Bahkan ada yang sudah
masuk Bimbel mulai dari kelas dua. Logikanya,
kalau tujuan RSBI untuk meningkatkan kualitas
supaya melebihi standar nasional, maka seharusnya
siswa-siswi tidak perlu ikut Bimbel. Akan tetapi,
kalau tidak ikut Bimbel berapa persen yang bisa
lulus ujian nasional dan ujian SNMPTN?
11. • Bukti keempat, lebih menukik bahwa untuk bisa
masuk ke ITB hampir tidak ada kaitannya dengan RSBI.
Contohnya, anak saya sekolah di SMA 6 Bulungan
Jakarta Selatan, sekolah non RSBI, bisa lulus ujian
masuk ITB karena sejak naik kelas dua sudah ikut
Bimbel dan makin dekat ujian nasional dan ujian masuk
ITB makin intensif Bimbelnya. Demikian juga anak saya
yang sekolah di SMA 70, bisa diterima belajar di
University of Malaya (UM) karena memenuhi syarat
yaitu nilai ujian nasionalnya diatas rata –rata 8 , dan
TOEFLnya hampir 600. Itu dicapai karena sangat
intensif ikut Bimbel , serta kursus bahasa Inggris sejak
SD, SMP dan SMA. Jadi tidak ada kaitannya dengan
RSBI. Saya kemukakan hal itu, untuk membantah
kesaksian bahwa RSBI membuat sekolah lebih
berkualitas dan bisa masuk di ITB dan universitas
terkemuka lainnya.
12. 4. Permasalahan Pengelolaan Keuangan
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
sejatinya dalam pengelolaan keuangan harus
berlandaskan transparansi dan akuntablitas. Akan
tetapi yang dialami, dilihat dan disaksikan di RSBI
SMA 70 jauh panggang dari api. Pada hal
sebagaimana dikemukakan diatas, mayoritas
pembiayaan RSBI SMA 70 bersumber dari
masyarakat (orang tua siswa). Akan tetapi, tidak
ada transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolalaan keuangan. Sejak proses pemilihan
ketua komite, tidak disajikan laporan
pertanggungjawaban keuangan.dengan berbagai
alasan yang dibuat.
13. Di RSBI SMA 70 paling tidak terdapat lima penampungan uang
sekolah. Pertama, rekening pembayaran Sumbangan Peserta
Didik Baru (SPDB) dan Sumbangan Rutin Bulanan (SRB) kelas
regular. Kedua, menerima langsung uang dari orang tua atau
siswa di loket sekolah baik pembayaran SPDB maupun SRB.
Ketiga, penerimaan dan pengeluaran Kelas Internasional,
keempat, penerimaan dan pengeluaran kelas CIB (Kelas
Akselerasi). Kelima, penerimaan dan pengeluaran dari
pemerintah seperti Bantuan Operasional Pendidikan sebesar
Rp 75.000/siswa, bantuan dalam rangka RSBI Rp 500
juta/tahun, pembayaran listrik, telepon dan lain sebagainya.
Dari lima penampungan uang di SMA 70, yang diketahui dan
bisa dikontrol oleh komite sekolah hanya satu rekening
yaitu dari kelas regular. Selain itu, pengurus komite sama
sekali tidak mempunyai akses untuk mengetahui apalagi
melakukan kontrol sesuai fungsi komite.
14. Oleh karena, tidak ada transparansi dan akuntabilitas, maka melalui
salah seorang orang tua siswa SMA 70, yang bekerja di BPKP DKI
Jakarta, komite SMA 70 dibantu oleh BPKP DKI untuk melakukan
audit investigasi terhadap keuangan SMA 70. Hasilnya amat
mengejutkan karena walaupun yang di audit sangat terbatas,
terdapat uang orang tua siswa di rekening liar (diduga rekening
pribadi kepala sekolah) sebesar Rp Rp 1,2 milyar, yang tidak dicatat
dan tercatat dalam pembukuan sekolah, ataupun komite. BPKP
mengatakan, ini hanya kesalahan administrasi, sementara komite
berpendapat sebaliknya, ada indikasi tindak pidana korupsi, kalau
tidak dilakukan audit, uang itu pasti hilang.
Keinginan komite untuk membenahi keuangan sekolah yang
mayoritas bersumber dari masyarakat (orang tua siswa), dilakukan
dengan menyurat kepada Kepala BPKP DKI supaya dilakukan audit
investigasi dan dibuatkan Tata Kelola Keuangan SMA 70 yang pasti
berguna bagi RSBI lainnya, meminta kepada kepala sekolah tidak
boleh menerima langsung uang dari orang tua siswa dan sumbangan,
tetapi semuanya harus melalui bank. Komite punya akses untuk
mengontrol penerimaan dan pengeluaran uang dari kelas
internasional, kelas CIB (Akselerasi), BOP Rp 75.000/siswa,
semuanya tidak disetujui oleh kepala sekolah.
15. 5. RSBI Sekolah di atas Sekolah
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
pasal 31 ayat (4) tentang Bab XIII tentang Pendidikan
dan Kebudayaan yang menegaskan bahwa “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan
dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional,” seharusnya
biaya pendidikan disemua jenjang yang dilaksanakan
oleh pemerintah, murah dan berkualitas karena
pembiayaannya sudah ditanggung oleh pemerintah
dan pemerintah daerah .
16. SMA 70 misalnya yang sudah puluhan tahun berdiri dan
dikenal sebagai sekolah unggulan, setelah ditetapkan sebagai
RSBI, tak obahnya ada sekolah diatas sekolah. Kepala sekolah,
para wakil sekolah, guru-guru dan karyawan PNS, sudah digaji
Negara seperti dijelaskan diatas, adanya RSBI, orang tua
siswa melalui komite sekolah harus pula menggaji mereka.
Alasan diadakan RSBI untuk meningkatkan kualitas diatas
standar nasional, sulit dicapai , karena guru-gurunya itu-itu
juga, kurikulum tidak ada perubahan yang signifikan, dan
budaya di sekolah tidak berobah, sehingga jangan heran
kalau kualitas masih seperti yang dulu.
Yang beda, sudah merujuk ke Cambridge, yang
konsekuensinya harus membayar mahal karena memakai
nama Cambridge, dan memperoleh sertifikat, yang sangat
sedikit kaitannya dengan peningkatan kualitas, yang sudah
tentu harus mengeluarkan devisa. Pada hal saksi ahli dari
pemerintah, adanya RSBI untuk menyetop keluarnya devisa.
17. Penutup
Alasan adanya RSBI untuk memberi layanan pada anak-
anak pintar, sebenarnya tidak relevan karena disekolah
yang berlabel RSBI dan non RSBI sudah didirikan kelas
CIB (Kelas Akselerasi). Mereka yang cerdas diarahkan
masuk ke kelas itu dengan masa pendidikan hanya dua
tahun untuk jenjang pendidikan SMA atau SMP.
Akhirnya, Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis, saya
mohon maaf harus mengatakan walaupun pahit bahwa
“RSBI lebih banyak mudharatnya dari pada
manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan Negara
Indonesia yang kita cintai ini.”
Demikian dan terima kasih.
Billahittaufik Walhidayah.
Wassalamu ‘aikum Wr. Wb.