2. Kota yang Keluyuran Malam Hari
Hawe Setiawan | Penulis lepas
KOTA sesungguhnya terbuat dari lampu-lampu, sosok-sosok yang bergerak seperti hantu, dan Foto-foto itu, dalam ukuran besar, kemudian dipajang di ruang-ruang terbuka, antara lain di Babakan
seberkas hasrat untuk menaklukkan kegelapan. Sejak orang menyalakan lampu gas di abad ke-19, Asih, juga di taman sekitar Balai Kota. Dengan demikian, foto-foto itu seakan jadi cermin tersendiri
terlebih-lebih sejak energi listrik merambat ke seantero bumi, orang membangun kehidupan malam bagi Bandung, dan warga kota yang lalu-lalang di sekitarnya, tentu, dapat ikut mempertimbangkan
di wilayah-wilayah urban. Begadang dirayakan baik oleh lagu dangdut maupun oleh program televisi. gambaran kehidupan kota yang tercermin di situ.
Kelelawar menyingkir, dan kunang-kunang berakhir. Kota adalah kelelawar. Kota adalah kunang-
kunang. BANDUNG, dan Priangan umumnya, sejak dulu merupakan salah satu titik persinggungan Asia dengan
Eropa yang telah menghasilkan begitu banyak citraan visual seperti drawing, lukisan, karya litografi,
“Pencahayaan kota mengubah cara orang memikirkan---dan karena itu menghidupi---malam. dan tentu saja foto. Pada zaman kolonial kegiatan memvisualisasikan alam dan penghuni kawasan
Kegelapan, yang begitu lama merintangi kegiatan manusia, seketika jadi rangsangan,” tulis William Priangan dilakukan baik oleh peneliti kebumian dan kebudayaan maupun oleh seniman. Di antara
Chapman Sharpe dalam bukunya, New York Nocturne: the City After Dark in Literature, Painting, and citraan-citraan visual itu ada yang dijadikan ilustrasi dalam bahan bacaan. Buku Andries de Wilde, De
Photography, 1850–1950 (2008). Preanger Regentschappen op Java Gelegen (Keresidenan Priangan di Wilayah Jawa) (1830), misalnya,
disisipi 4 gambar hitam putih tentang alam Priangan. Tak sedikit pula foto yang dijadikan kartu pos.
Kota yang dirangsang cahaya adalah kota yang menghardik mati listrik. Lalu-lintas, donor darah, dan Selembar kartu pos bertiti mangsa Desember 1899, contohnya, memperlihatkan sebuah foto bertajuk
bursa efek tidak boleh macet. Adapun gulita bisa menghilangkan dunia persepsi seketika. Kota tidak “Preanger Vrouw” (Gadis Priangan): seorang gadis telanjang dada sedang berdiri seraya menyunggi
mau macet, juga tidak mau meraba-raba dalam kegelapan. Kota takut oleh kegelapan. Bahkan di seikat kayu bakar berlatarkan sebuah lukisan panorama.
mal-mal yang terus bermunculan neon ribuan watt seakan ingin memperpanjang siang. Orang yang
mengunjungi mal baru menyadari hadirnya kegelapan manakala sudah kembali ke jalan. Kota Bandung sendiri, yang dalam poster-poster buatan majalah Mooi Bandoeng dijuluki “Europa in de
Tropen” (Eropa di Kawasan Tropis), menjelma dari persinggungan orang sini dengan para pendatang
Tapi benarkah kegelapan dapat ditaklukkan? Rasa-rasanya, tidak. Bahkan pada saat-saat tertentu dari seberang lautan, tak terkecuali dari lingkungan imperium Prancis. Waktu Bandung mulai dibangun
orang sepertinya justru merindukan kegelapan. Setidak-tidaknya, orang masih mencari suram dan pada 1810 Pulau Jawa termasuk ke dalam kekuasaan Prancis (1809-1811). Konon, Herman Willem
redup di sudut-sudut kafe atau taman kota, mungkin buat mengelola cinta, puisi, atau urusan lainnya. Daendels, jenderal pilihan Napoleon Bonaparte dan gubernur di Jawa dari 1808 hingga 1811,
Yang paling nyata, kiranya, adalah semacam ruang antara: gelap di satu sisi, terang di sisi lain. Di menandai awal pembangunan kota ini dengan menancapkan tongkat di titik kilometer nol (Jl. Asia-
antara gelap dan terang, kita membangun persepsi tiada henti sebagaimana yang kita wujudkan Afrika kini). Peristiwa itu tampak sebagai rincian tersendiri dari keperkasaan tangan Daendels yang
melalui seni rupa dan fotografi. membentangkan jalan 1000 kilometer dari Anyer ke Panarukan. Adapun di antara berbagai “warisan
budaya” yang harus dirawat di kota ini tak lain dari gedung-gedung putih peninggalan Belanda.
ADA kunang-kunang dari Prancis, namanya Romain Osi. Bulan ini ia berkunjung ke Bandung.
Fotografer kelahiran Paris tahun 1980 ini memotret kota ini malam hari, kemudian memamerkan Interaksi antarbudaya, tentu, ditopang oleh kesanggupan melakukan perjalanan. Dalam kebudayaan
karyanya di ruang-ruang terbuka. Centre Culturel Français de Bandung bersama Common Room Sunda sendiri, pentingnya perjalanan sesungguhnya ditekankan pula, sebagaimana yang dapat kita
Networks Foundation menyelenggarakan kegiatan ini. Judulnya, “Keluyuran”. carikan rujukannya mulai dari kisah Bujangga Manik (abad ke-16) hingga wawacan Panji Wulung
(abad ke-19). Pangeran Jaya Pakuan alias Bujangga Manik melakukan perjalanan spiritual menyusuri
Sebelum ke Bandung, Romain mengunjungi Phnom Penh, Rio de Janeiro, Havana, dll. Orang pulau Jawa hingga ke Bali, dalam dua kali putaran, seraya mencatat nama-nama tempat. Adapun
menyebutnya “fotografer kelana” (photographe de l’errance). Ia memotret kota demi kota, bergerak dalam Wawacan Panji Wulung karya R.H. Moehamad Moesa (1822-1886), yang pertama terbit pada
dari suasana malam yang satu ke suasana malam yang lain. Jika kita mengunjungi websitenya 1876, digubah dalam bentuk puisi terikat, berupa asmarandana, petuah tentang hal itu berbunyi: Kieu
http://www.romainosi.com, kita dapat melihat hasil-hasil perjalanan malamnya, yang beberapa di wurukna ki patih, hé ki Panji anak bapa, ayeuna agus ges gedé, meujeuhna diajar nyaba, ka dayeuh-
antaranya dipamerkan pula di di Galerie Esp’Art, CCF de Bandung, dengan tajuk “Urban Dream”. dayeuh lian, supaya réa panimu, kanyaho nu langka-langka. Panji Wulung sendiri, sebagai pangeran
Sunda, bersahabat dengan pangeran Bugis, pergi ke tanah Cempa, Malayu, Keling, dan Patani.
Dalam hal udar-ider di Bandung untuk berkarya, Romain adalah tamu Prancis kesekian. Pada akhir
dasawarsa 1990-an, misalnya, Marc Le Moullec berkeliling kota, masuk keluar gang, mengendarai Inilah kiranya yang pada gilirannya memungkinkan timbulnya kehendak mengupayakan translasi
sepeda motor Jepang. Ia mencatat nama-nama jalan, permukiman, dan kawasan. Hasilnya adalah kultural. Penulis Mohamad Ambri, misalnya, mengadaptasi drama Moliere, Le Medicin Malgre Lui, ke
atlas Kota Bandung. Dengan cara serupa, ia pun membuat atlas Surabaya dan Jakarta. dalam bahasa Sunda dan melahirkan sebuah novel berjudul Si Kabayan jadi Dukun (1933). Demikian
pula Bupati Bandung zaman kolonial, R.A.A. Wiranatakusumah, mengadaptasi buku karya penulis
Romain sendiri, tentu saja, tidak membuat peta. Sekiranya peta disebut model tata ruang, fotografer Prancis dan Aljazair, Etienne Dinet dan Slimane ben Ibrahim, La Vie de Mohammed: Prophete d’Allah
memasuki ruang itu sendiri. Berbekal kamera digital, sambil membonceng sepeda motor, ia (1918) ke dalam bahasa Belanda, Het Leven van Mohammad de Profeet van Allah (1940), dan bahasa
mengunjungi bagian-bagian kota, menuruti kata hati. Di titik-titik tertentu ia berhenti, kadang seperti Sunda, Riwajat Kandjeng Nabi Moehammad S.A.W. (1941).
menunggu sesuatu beberapa saat, kadang pula mengamati-amati keadaan di sekitarnya. Lalu, pada
saat yang tepat, ia memotret suasana malam di situ. Kemudian, ia keluyuran lagi ke sudut-sudut lain Hari ini, ketika generasi Romain Osi berkunjung ke Bandung, interaksi antarbudaya itu kiranya tetap
kota ini. Begitu seterusnya beberapa hari lamanya. berlangsung.
Boleh dikata, ia bekerja tanpa rencana. Apa yang ingin dipotret, atau di mana hendak memotret, tidak
ditentukan sebelumnya. Keluyuran itulah yang kiranya terpenting, seperti telah jadi metode tersendiri.
Sewaktu keluyuran ia akan tahu di mana mesti berhenti dan ke mana kamera mesti diarahkan.
“Metode saya sepenuhnya mengandalkan perasaan,” kata Romain ketika diajak berbincang pada
suatu siang di Bandung, beberapa waktu lalu.
PROFIL SINGKAT
Seperti yang ia lakukan di kota-kota lain di mancanegara, di Bandung pun Romain memilih malam Romain Osi adalah anggota dari agensi fotografi Picture Tank. Sebagai seorang fotografer independen,
sebagai waktu pemotretan. Bandung sendiri, sebagaimana Solo dan kota-kota lain di Indonesia, ia bekerja berdasarkan pesanan reguler dari beberapa institusi dan agensi komunikasi. Selain itu, ia
niscaya punya cara tersendiri untuk menghidupi malam. Sebuah lagu keroncong ikut merayakan juga kerap memberikan workshop seni dan bekerjasama dengan penerbit di Perancis ataupun media
pemandangan “Bandung Selatan di waktu malam”: lampu-lampu yang berserakan bagai jutaan internasional. Sejak tahun 2004, kegiatan pamerannya di Perancis maupun di luar negeri semakin
kunang-kunang. Bahkan inilah kota yang salah satu fase sejarahnya diisi dengan imajinasi tentang meningkat.
“lautan api”—kota yang pernah membakar dirinya justru buat menegaskan identitasnya.
Ia kerap dijuluki sebagai fotografer petualang. Dalam karyanya, Romain Osi memiliki kecenderungan
Buat sebagian besar warga Bandung, kota ini kiranya hanya dikenal dari jam delapan pagi hingga untuk membuka cakrawala dimana halusinasi fantastik ataupun khayalan mengenai tempat-tempat
jam 5 sore. Selepas senja, apalagi setelah larut malam, Bandung seakan mereka tinggalkan sebelum yang tak terduga menjadi latar yang tepat untuk mencari kebenaran.
ditemui lagi esok pagi. Adapun Romain, di saat-saat kita tidur dan mematikan listrik, keluyuran di kota
ini buat menangkap momen-momen estetik dari ruang yang sedang ditinggalkan banyak orang. Ia http://www.romainosi.com
menangkap lampu-lampu, sosok-sosok yang seperti hantu, dan latar yang terbungkus semacam kabut
halusinasi. Itulah kiranya puisi visual tersendiri—citraan visual yang barangkali tidak begitu kita kenali
selama ini.
Dengan cara seperti itu, Romain seperti sedang membaca puisi “Nightwood” karya Djuna Barnes dari
tahun 1930-an yang juga dikutip oleh William Chapman Sharpe dalam buku itu tadi: Now the nights of
one period are not/the nights of another.//Neither are the nights of one city the/nights of another.
COLOPHON
FOTO-FOTO karya Romain hasil keluyuran di Bandung dalam beberapa hari terakhir memperlihatkan KELUYURAN | URBAN PHOTOGRAPHIC SAMPLE FROM BANDUNG, INDONESIA by ROMAIN OSI
sejumlah segi dari wajah Bandung. Temanya meliputi antara lain suasana kehidupan sosial, lanskap Organized by Centre Culturel Francais de Bandung (CCF Bandung) in collaboration with
kota, dan lingkungan alam. Objek foto sama sekali tidak dimanipulasi. Tekanan diletakkan pada sudut the City Government of Bandung
pandang, waktu, dan teknik pemotretan, terutama untuk menghasilkan efek-efek puitik dari hasil Supported by Common Room Networks Foundation
pemotretannya. Design & Layout by Sandy Adriadi
Artistic Direction by Romain Osi
Dalam foto-foto karya Romain, pepohonan yang tumbuh di punggung bukit Bandung Utara seperti Produced by Centre Culturel Francais de Bandung (CCF Bandung)
iring-iringan manusia dalam upacara. Rimbunnya dedaunan pohon tinggi bagai gumpalan asap bom Circulation 1000 copies
atom. Kabel-kabel yang malang melintang pada tiang listrik bak ruwetnya berbagai orientasi di ruang All Rights Reserved (2010)
sosial. Bentangan tembok beton di balik gedung-gedung tinggi tak ubahnya dengan tembok pemisah
antarkaum. Adapun lanskap kota tampak terhampar di bawah kilatan guntur. Kita pun dapat melihat
pusaran cahaya di sekeliling penjaja makanan yang tengah mendorong gerobaknya, barangkali seperti
pusaran nasib itu sendiri.
Romain menangkap gerak dan nuansa dari pemandangan yang terhampar di depan dirinya,
sedemikian rupa sehingga foto-fotonya sering menimbulkan kesan surrealistis. Dalam foto-fotonya kita
memang melihat kota yang sudah kita kenal tapi sekaligus jadi agak asing karena pemandangan yang
diperlihatkannya tidak seperti pemandangan yang biasa kita lihat. Kita seperti diajak melihat kota kita
dengan sejenis kesadaran baru. Dengan kata lain, wajah kota kita, dengan segala masalahnya, seakan
jadi puisi tersendiri.