SlideShare a Scribd company logo
1 of 185
HALMAHERA
Portal Masa Lalu




NOi EVERAIN
Bab 0
                                    Kaum Moro


       Kelam telah menunggangi langit diantara bayang-bayang belantara.
Permainan kolosal saling bersiul dari sisi tersembunyi hutan yang bertaburan
di punggung pegunungan daratan tertua. Terdengar alat musik tiup suku purba
pedalaman yang tak ingin tertemukan.
       Mereka mengisolasikan diri di rimba Halmahera. Dan membantah
dunia luar yang asing. Tampaknya segala ritual pemanggilan pemilik alam ruh
untuk melindungi mereka lebih mendominasi sikap bijaknya.
       Beberapa orang meragukan keberadaan mereka, tak tersentuh dan ada
larangan telak untuk membicarakannya. Ruh hitam telah menganggap bangsa
itu dalam kesatuan mereka. Merekalah bangsa terdalam Moro.
       ―Tanah kita dirampas. Biri-biri itu akan memakan rumput kita!‖ Salah
satu dari mereka menyeruduk pemukiman yang berupa tenda akar liar.
Kaumnya mengikut sambil menghapus jejak kehidupannya.
       Sekejap semuanya telah kosong. Perdu dan pohon pun bersekongkol
menyimpan rapat-rapat rahasia mereka. Mereka bersembunyi tak begitu jauh.
Bahkan hanya sehasta dari para ―biri-biri‖ berkuda itu menghentikan
langkahnya dengan tiba-tiba.
       Satu dari mereka melompat dari punggung kuda. Ia membuka kerudung
kebesarannya. Wanita itu menatap pilu seseorang yang masih saja tegak di atas
tunggangannya.
       ―Apa kau yakin meninggalkanku di sini?‖ suaranya mengiba.
       ―Geffon, tak ada pilihan lain. Koloni Van Wierk telah melewati batas
pelabuhan…‖
       ―Al, tapi mereka tak akan merampas apapun dari kita.‖
       ―Benar.‖ Pria di atas kuda itu melanjutkan. ―Tapi Portugis yang akan
memotong lidah siapa saja yang berdamai dengan selain mereka.‖
       ―Lalu apa yang kau pilih?‖


                                       1
―Kebebasan.‖
           ―Hanya itu, Al?‖
           ―Aku seorang Raja Halmahera. Dan pilihanku adalah kehidupan kalian
semua diatas jiwa yang utuh.‖ Jawaban itu terdengar seperti bisikan keras.
―Tak ada pilihan terbaik. Selain berperang.‖
           Pria itu memutar kudanya.
           ―Tunggu Al…‖ si wanita berusaha meraih kaki sang raja. ―Sebentar
lagi kau akan memiliki…‖ Suaranya teredam derap kuda yang berlari dan ia
menelan kalimatnya yang belum berakhir.
           Sebentar lagi kau akan memiliki anak, ia melanjutkan kata-kata itu
untuk dirinya sendiri. Geffon melihat ke sekitar hutan, angin kecil melewati
telinganya, seperti memberi bisikan yang menyuruhnya lari. Lari jauhlah,
segera menjauh…‖
           Dan bisikan itu berakhir. Bisikan itu benar, seharusnya ia berlari. Tapi
terlambat untuk sekarang. Para makhluk berkoteka mengepungnya. Entah dari
mana mereka muncul, tampaknya mereka meyusup begitu saja dari
penglihatan.
           Tangannya pendek sebatas dada, sementara kakinya kurus melengkung
setinggi kuda. Dengan mata tanpa biji hitam, mereka menumpulkan tatapan
ketakutan mangsanya.
           ―Sebaiknya kita apakan biri-biri ini?‖ Salah satu dari mereka bertanya
pada yang berjanggut penuh.
           Si janggut penuh mencabut pisau dari belitan kain di pinggang
menggunakan kakinya. ―Biri-biri layak dibunuh.‖ Ia membidik sasarannya.
           Dan seorang wanita dari kaum Moro mencegah pisau itu meluncur
mengoyak. Ia berbicara dengan bahasa isyarat bibir tanpa suara.
           ―Baiklah. Kita biarkan dia dan anaknya hidup sampai pada waktunya.‖
Ia berbalik sambil meludah.
           Si wanita Moro medekat kepadanya. Geffon mundur perlahan dengan
takut. ―Beruntung kau sedang hamil. Mari ikut aku,‖ katanya tanpa bahasa
isyarat.



                                          2
Geffon mengikuti wanita itu menyeruak diantara kaum Moro yang
menatapnya dengan kebencian.
       ―M-mengapa kau menolongku?‖
       ―Aku tidak menolongmu.‖ Suaranya serak. ―Aku hanya memberitahu
kebenaran. Ada aturan kuno bagi kami, salah satunya adalah larangan
membunuh biri-biri yang tidur di dalam gua.‖
       ―Biri-biri?‖ Geffon mengerut.
       ―Engkau dan sebangsamu bagi kami adalah biri-biri.‖
       ―Lalu sampai kapan aku dan anakku dibiarkan hidup?‖
       ―Sampai pada masanya.‖
       ―Masa?‖
       Wanita Moro itu mengangguk. ―Kami menunggu biri-biri itu keluar
dari gua.‖
       ―Tidak…!‖ Geffon tiba-tiba menjerit. Ia hendak berlari namun si
wanita Moro lebih dahulu menelikung tangannya dengan kaki. ―Biarkan aku
pergi. Anakku harus tetap hidup…‖
       Wanita Moro itu menepis kata-kata Geffon. ―Aku akan mengajarkanmu
ilmu ramal. Suatu saat yang kau miliki itulah yang menjadikan kalian hidup.‖




                                       3
Bab 1
       ‖Tak sangka, lelakilah yang keluar dari perempuan itu.‖ Si wanita
Moro memberikan bayi itu pada kepala tua.
       ‖Jangan bunuh dia,‖ suara lemah Geffon menghentikan si kepala tua
yang nyaris membanting bayi laki-laki itu. ‖Aku sudah menjadi bagian dari
kaum kalian. Aku bisa melihat masa depan kaum kita akan keluar dari
persembunyiannya dan hidup normal seperti manusia lainnya. Kita akan
menjadi raja diantara kaum mereka. Dan raja itu adalah bayi laki-laki
ditanganmu itu.‖
       Lima pasang mata di ruang itu melompat kepadanya lalu melihat sang
kepala tua dengan keterkejutan yang sama.
       ‖Itu benar,‖ si wanita Moro menambahkan. ‖Dia mewarisi ilmu
ramalanku dengan baik. Dia menjadi bagian kita.‖
       ‖Tapi bayi ini bukan kaum kita.‖
       ‖Suatu saat dia akan menjadi yang terbaik diantara kita,‖ kata Geffon.
‖Aku berjanji.‖
       ‖Kenapa kita harus percaya padanya?‖ seorang Moro lain berteriak.
       ‖Ada larangan besar bagi peramal untuk berdusta,‖ kata si wanita moro
mematahkan keraguan mereka. ‖Lalu apa rencanamu, Geffon?‖
       ‖Aku akan membiarkan sungai membawanya kepada bapak yang telah
membuangnya.‖
                                    ***
       ‖Anak siapa ini?‖
       Seorang dayang datang tergopoh-gopoh memberitahukan pada
permaisuri yang mandi tak jauh darinya.
       Sungai tiba-tiba meramai oleh dayang-dayang yang berkerumun ingin
melihat apa yang terjadi. Permaisuri menggendongnya membawa ke istana dan
ia merajuk pada raja untuk mengangkat bayi itu menjadi anak mereka.




                                     4
‖Al bayi ini tak ada berbahayanya sama sekali. Apa yang salah jika kita
mengangkatnya jadi anak?‖ Sang permaisuri berkata. ―Toh engkau tak punya
keturunan yang akan meneruskan tahtamu.‖
       Sang raja menghela nafas dengan berat. ―Beri dia nama Quarenci
Ghobadi.‖
                                         ***
       27 Tahun Berlalu. Bayi itu mendewasa, dan ia telah menemukan
kehidupannya. Tentang bagaimana ia dibuang dan kembali pada bapak yang
tak pernah tahu bahwa ia memiliki seorang anak kandung.
       Begitulah hingga akhirnya Quarenci menjadi raja Halmahera
menggantikan Al. Ia berusaha keras mempersatukan kaum Moro dengan
kaumnya saat pergolakan diantara perbedaan mereka tak bisa berbaur. Kaum
Moro yang bersatu dengan manusia menamakan dirinya pengikut muslim.
       Sementara mereka yang tak ingin bersekutu dengan manusia, memilih
tetap berada dalam belantara dan tak tertemukan. Hingga suatu masa, lahir
putra kedua Quarenci. Ketika itu menginjak tengah malam, dan Quarenci
memacu kudanya ke dalam hutan.
       Raja itu menitipkan bayinya pada kaum Moro suku terdalam. Mereka
menyambut bayi itu dengan dendam tersembunyi.
       ―Kenapa kau memberikannya pada kami?‖
       ―Jika aku memiliki dua anak maka kerajaanku harus dibelah menjadi
dua. Aku tak ingin semua itu terjadi.‖
       ―Bagaimana jika kami membunuhnya?‖
       ―Tak masalah bagiku. Tapi ramalan Geffon mengatakan bayi itu akan
mendewasa dan menjadi seorang pemimpin diantara kalian.‖
       Waktupun berlalu. Quarenci telah menginjak tua, dan anak pertamanya
Togu Ghobadi mewarisi tahta kerajaan seutuhnya. Ramalan Geffon
mengatakan kebenaran bahwa bayi yang terbuang itu akan menjadi pemimpin
bangsa Moro yang membelot dari kodratnya. Namun ramalan itu tak
mengatakan malapetaka besar yang akan terjadi.




                                          5
Dendam masa lalu yang membuat Kaum Moro terpecah memicu
perang saudara demi merebut wilayah kekuasaan.
       Quarenci terbunuh ketika ia sedang tertidur. Salah satu penyusup
menikamkan pisau bengkok ke lehernya. Sementara itu Togu dan Ona Ghobadi
melarikan dua anak mereka pada salah satu pedagang yang hendak berlayar ke
luar pulau.
       ―Nama bayi itu Eric Ghobadi,‖ kata Togu. ― Dan anak perempuan ini
Flori.‖ Ia melempar sekantong emas pada lelaki di atas kapal. ―Aku akan
mengambilnya saat ia dewasa. Dan aku akan membayarmu dengan harta yang
lebih banyak lagi jika kau merawat mereka dengan baik. Aku berjanji‖
       ―Bagaimana kau bisa menemukanku?‖
       ―Aku Togu Ghobadi, keturunan Geffon.‖
       ―G-geffon...?‖ lelaki itu memucat. ―Dia peramal yang menyebar
kutukan pada kaum pendatang di sini.‖ Dengan segera ia melempar kantong
uangnya seperti membuang bara api dari telapak tangannya.
       ―Untuk tiga kantong emas?‖
       Pedagang itu tetap menggeleng. Ia menarik jangkarnya bersiap
meninggalkan daratan.
       ―Sepuluh kantong emas?‖ kata Togu dengan putus asa. ―Penawaran
terakhir.‖
       Lelaki itu menoleh. ―Untuk sepuluh kantong emas.‖
                                    ***




                                     6
2
                        Kematian yang terlupakan
        Pagi ini sedingin es setelah hujan pertama di bulan Juli. Orang-orang
berlalu-lalang dengan mantel bulu domba besar-besar. Memasukkan kedua
telapak tangan dengan rapat pada saku mantel.       Beserta kerudung kepala
kebesaran, mereka berjalan pelan, tertunduk dan gemetaran. Kelihatannya
mantel mereka tidak mampu menghalau hawa dingin yang terlampau parah.
        Seorang wanita tua nyaris terjerembab karena menginjak mantelnya
sendiri yang menjumbai menyapu tanah. Tetapi ia beruntung telah menabrak
seorang anak laki-laki yang berjalan di depannya.
        Anak itu terhuyung dengan kepala yang tetap tertunduk. Tampaknya ia
tidak ingin memperlihatkan wajahnya pada orang lain. Penampilannya tidak
seperti orang yang berniat keluar rumah. Ia mengenakan kaos tipis yang
bersembunyi di balik mantel lusuh, celana jins yang tidak menutup mata
kakinya, dan sepatu kets berlubang yang memperlihatkan ujung jarinya setiap
ia berjalan. Ia bersusah payah menahan dirinya agar tidak menggigil, tapi
tampaknya kerja keras itu sia-sia.
        "Oh, maaf, nak!" kata wanita tua itu sambil membetulkan letak kaca
matanya yang merosot. Kelihatannya kaca mata itu terlalu besar untuk ukuran
wajahnya yang mungil. Sekilas wanita tua itu memperhatikan anak laki-laki
yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan fatal bagi para manula yang
terjatuh.
        Mata tua yang tampak letih itu menyusur ujung kaki hingga ujung
rambut lawan bicaranya. ―Siapa namamu, nak?‖ tanyanya. ―Kau sungguh
mirip dengan anakku. Sungguh.‖
        "Eric—Eric Ghobadi," jawabnya dengan sangat pelan hingga hanya
terdengar seperti sebuah dengkuran. lalu si wanita tua mendekatkan telinganya
ke mulut bocah itu.
        ―Apa? tidak dengar!‖
        Ia berteriak jengkel. "Nama saya Eric, — Eric Ghobadi."


                                      7
"Kau menyakiti telinga. Aku belum tuli,‖ dengusnya. ―Aku hanya ingin
memastikan kaulah Eric yang aku tunggu selama ini.‖
        Eric menelan air liur yang tertampung dimulut. Diam-diam diamatinya
perempuan tua itu, ternyata ia berukuran kecil tapi hentakan tenaganya sangat
kuat.
        ―Namaku Geffon, penghuni hutan Halmahera utara.‖ Ia membenarkan
letak kacamatanya lalu menatap Eric dengan menantang. Kelak kau akan
mencariku. Aku akan mengikat batinmu denganku.
        Eric menarik nafas seakan ingin memegangnya erat-erat. Ia merasa
seperti baru saja terbangun dari kematian saat mata Geffon memperbudak
pikirannya.
    ―Aku ingin berpesan kepadamu," ia menarik telinga Eric kuat-kuat
sehingga mulutnya dapat menjangkaunya dengan baik. Berbisik. "Gunakan
pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam
bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu,
karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada.‖
    Ia berhenti sejenak, menjauhkan mulutnya dari telinga Eric lalu berbicara
dengan nada yang sangat mendalam, menguliti tatapan Eric bagai hendak
menundukkan penghuni matanya, ―Kau akan mengingat ini—tak akan bisa
melupakannya. Meskipun kematian mejemput dan memori itu hilang..." Ia
melanjutkan dengan bisikan sangat pelan hingga terdengar seperti ular yang
mendesis, tetapi sanggup menyayat penghulu telinga, melesat cepat ke otak,
dan membuat jantung berhenti berdetak sedetik. "Mungkin sebentar lagi!"
        Eric berjengit. Hatinya beku seketika. Bola matanya yang berwarna
coklat tua mengikuti punggung Geffon yang bergerak menjauh.
        Menit berikutnya ia melanjutkan langkahnya dengan waspada. berjalan
terhuyung, otaknya terlalu berat untuk memikirkan kata-kata wanita tua tadi..
Perutnya melilit dan ia tersadar belum mengisi perutnya sejak kemarin malam.
        Ia bersusah payah untuk tidak merintih namun tetap saja orang-orang
yang melewatinya merasa kasihan. Eric berpikir dialah satu-satunya anak laki-
laki berumur lima belas tahun paling menderita di seluruh dunia.



                                       8
Dunia ini adil pada siapa saja tapi tak pernah adil padaku. Itu adalah
kata-kata yang selalu dia ucapkan. Sejak kecil ia hanya mendapati kisah
tentang orang tua kandungnya telah membuangnya.
       Dan sesuatu yang paling membuatnya hancur adalah saudara
perempuannya menghilang meninggalkannya. Di saat ia tak memiliki siapapun
kecuali orang tua asuh yang menderita penyakit mental hingga tega
menyiksanya secara tak wajar.
       Harapan Eric saat ini adalah bebas dari belenggu mereka. Lari sejauh
yang dapat ia tempuh, hingga mereka tak bisa menemukannya. Terkadang ia
menoleh ke belakang dengan cemas, ia selalu berhati-hati dan bersiap
melompat ke semak apabila mendengar deru mobil seperti milik bapak
asuhnya mengendap seakan hendak menyergapnya.
       Dada Eric tiba-tiba saja terasa sesak dan batuk menyerangnya bertubi-
tubi. Seorang gadis menawarinya permen jahe. Eric menatap gadis yang
terlihat lebih tua darinya itu—hampir mirip dengan ibunya. Rambutnya yang
panjang berwarna hitam seperti miliknya melambai dipermainkan angin.
       Gadis itu tersenyum, ―Ini—ambillah!‖ katanya seraya melepaskan syal
dari lehernya. Ia mendekatkan wajah lawan bicaranya lalu mengalungkan
syalnya ke leher Eric. Liontin angsa biru yang mengepakkan sayap
menggantung di depan mata Eric.
       ―K-kalungmu bagus.‖ Eric berhasil menemukan keberanian untuk
berkata.
       ―Ini satu-satunya yang tersisa dari kepergian orang tuaku.‖
       ―Kemana mereka?‖
       Ia mengangkat bahunya. ―Mungkin disuatu tempat dimana mereka
sangat merindukanku.‖ Gadis itu merogoh saku celananya kemudian
membanjiri telapak tangan Eric dengan manisan jahe beku. ―Aku membuatnya
sendiri.‖
       Eric memaksa dirinya untuk tersenyum. Hatinya bergejolak ingin
mengatakan sesuatu, Apa orang tuaku juga sedang berada disuatu tempat dan
mereka sangat merindukanku?



                                      9
"Semoga kita bertemu lagi," kata gadis itu sambil melangkah menjauh
kemudian berbalik untuk melambaikan tangan.
       Eric hanya membalasnya dengan senyum yang kering, tetapi inilah
pertama kali ia menemukan senyum tulusnya. Ia menatap manisan jahe beku
yang terbungkus plastik bening lalu mengulumnya, sisanya ia         masukkan
dalam saku mantel.
       Eric berharap tidak bertemu dengan orang ketiga yang mengajaknya
mengobrol tentang apa yang sama sekali tidak dimengertinya. Ia kemudian
melanjutkan langkahnya ke arah tebing Tallanga. Tempat yang dulu pernah
terjadi pembunuhan massal pada jaman Portugis.
       Tebing Tallanga berjarak dua kilometer dari Halmahera Utara. Kata
banyak orang, Tallanga adalah tempat misterius yang menyimpan keindahan
pada puncaknya yang tak semua orang berhasil mencapainya. Jika kau
beruntung maka kau akan menemukan pemandu yang menunjukkan jalan
menuju ke puncak. Kau bisa mengintip surga dari atas sana, begitulah kata
orang-orang. Sayanganya para pemandu itu bukan menusia melainkan roh
yang bermain dadu dengan kehidupan, jika engkau tidak beruntung maka
mereka akan memakanmu.
                                           ***
       Ini adalah kali pertamanya Eric menginjakkan kaki di atas tanah
Tallanga. Ia menyusuri jalan kecil yang menanjak dan berputar-putar seperti
sebuah skrup. Di samping kirinya terbentang jurang yang bebatuan sering
meluncur dari atas secara bergantian. Sementara itu kakinya tiba-tiba terasa
sangat berat dan letih. Ia mendapati jalan yang ia lalui semakin sempit seperti
kerucut. Jalan itu terpotong. Tidak ada jalur lain yang terhubung dengan
potongan jalan yang ia lewati.
       Dia memutuskan memanjat dinding tebing yang batu-batunya mencuat
seperti tangga. Eric tersengal kepayahan saat berhasil memanjat lima belas
tingkat. Pada tingkat kesembilan belas, pegangannya terasa rapuh. Pandangan
matanya kabur. Sesuatu dengan kekuatan yang sangat berlebih seakan
mendorong dadanya.



                                      10
Sesuatu itu menyusup dalam ketakutannya. Eric tak kuasa meraih
ranting yang mungkin dapat membuatnya sedikit bertahan hidup. Semuanya
tak bisa dikendalikan dengan baik. Berlangsung sangat cepat dan menyakitkan.
       Dia tidak mampu berteriak, perasaannya serba berantakan. Kemeranaan
seolah berhambur menyelubungi kalbunya yang rapuh. Seluruh kehidupan
yang sama sekali tidak menyenangkan berputar-putar di dalam pikirannya.
       “Dia anak sial. Andai ia ikut mati saja bersama orang tuanya, kenapa
harus kita yang mengasuhnya?” Ibu asuhnya, Tena, meneguk alkoholnya yang
tinggal satu tetes lalu ia melempar botolnya ke arah Eric namun hancur
berkeping-keping saat menabrak meja.
       Eric tergugu dalam ketakutan. Tak ada yang bisa menolongnya. Ia
balik memandang Wartog, yang sedang menghabiskan batang rokoknya yang
baru saja diambil dari bungkusnya.
       “Sang pengawas menitipkannya pada kita. Ingat, sayang, sang
pengawas menjanjikan seluruh harta Ghobadi pada kita…”
       “Tapi kapan sang pengawasmu itu akan mengambil si idiot ini?”suara
wanita itu tiba-tiba meledak.
       “Secepatnya. Segera…”
       “Aku sudah tidak tahan! Rasanya anak sial ini memperpendek
umurku.”
       Jantung Eric berdebar cepat. Apa kiranya adegan yang akan terjadi
berikutnya? Akan ditampar dengan ujung sepatu yang lancip itu, atau…Eric
tidak mampu membayangkan hukuman omong kosong apa lagi yang akan ia
terima. Ia berdoa agar salah satu dari mereka menusuknya dengan pisau atau
melepaskan pelatuk pistolnya untuk mengakhiri semua ini. Tapi itu hanya akan
terjadi jika ia membuat sedikit keonaran, “Yah, semoga mereka membunuhku
malam ini…”
       Eric berlari ke arah pintu. Sial! Mereka menguncinya.
       “Siapa yang menyuruhmu pergi dari tempatmu, heh?”
       Eric menelan air liur banyak-banyak. Keringat ketakutan menghujani
ubun-ubunnya. “Semoga mereka membunuhku,” rintihnya pada Dewaa.



                                     11
“Apa yang kau lakukan?” Tena mendesis di telinga Eric. Nafasnya
yang berbau alkohol menyeruak tak sedap. “Kau ingin kebebasan?”
       Eric mengangguk kuat-kuat.
       “Apa kau bosan hidup?”
       “Ya!” Eric terkejut mendengar suaranya melompat menantang.
       Wartog menggeram. Saat itu Eric segera menyadari, ia telah
melakukan kesalahan besar.
       “Sang pengawas akan marah besar jika aku mempersembahkan mayat
untuknya. Jadi aku tidak akan membunuhmu, tapi menyiksamu adalah
kenikmatan tersendiri bagiku.”
       Ia menjilat tengkuk Eric sebelum akhirnya tertawa keras-keras.
Semenit berikutnya, pada periode yang tak Eric sadari, ia berteriak tak wajar
saat si pria menyudutkan rokoknya ke tangan korbannya.


                                          ***
       Masa lalu kelabu beterbangan menghimpit relungnya. Aku tak ingin
mengingatnya. Aku ingin mati dengan tenang.          Eric merasakan seperti
dihantam benda keras pada kepala belakangnya. Kemudian kegelapan
mengambil alih kesadaran. Sesuatu mengejar jiwanya yang mencoba melawan.
Sepasukan kata-kata yang merangsek ketidakteraturan otaknya. ―Gunakan
pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam
bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu,
karena yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada, dan yang kau lihat
dengan mata tidak sejalan dengan hati.‖ Berkali-kali ia harus merelakan
pikirannya dikubangi kata-kata mengerikan itu.
       Beberapa saat kemudian, tiga makhluk berkelebat membangunkannya.
Cahaya tubuh mereka serasa menusuk jantung Eric. Salah satu diantara mereka
menampakkan sesosok tubuh yang mirip manusia dengan kulitnya yang pucat
masam, bibirnya merah tebal. Bermata sipit dan bertelinga mungil.




                                     12
Makluk yang satunya memiliki otot yang mencuat mengerikan.
telinganya lebar menyerupai gajah. Bermata besar tanpa bola mata. Rambutnya
keriting tak beraturan.
       Sedangkan yang lainnya berlidah panjang yang terjulur hingga
dagunya. Ia memiliki tiga mata yang salah satunya terletak di dahinya yang
menonjol. Bibirnya lebar kehitaman. Ia juga memiliki kaki yang panjang
sebelah.
       Si makhluk berotot menyambar lengan Eric dengan keji. Sementara
yang lainnya menatapnya tanpa ekspresi. Dimana aku? "Lepaskan aku!‖ Eric
mencoba memberontak. Akan tetapi semakin ia bersusah payah memberontak,
lengannya dipelintir hingga rasanya hampir putus.
       ―S-siapa kalian? Jangan paksa aku..."
       tidak ada satupun yang menggubris lolongannya.
       "Seret dia keluar!" kata salah satu dari mereka.
       Arus liar merasuk di sela kulitnya, menampar tulangnya, membekukan
darah, dan menghisap kehidupannya. Eric merasakan dadanya sakit sekali
bagaikan ditusuk dengan pisau dan lehernya tersumbat bagai dijerat dengan
kawat bergerigi.
       "Kasihan. Dia mati dengan tidak wajar—sungguh roh yang malang,‖
kata salah satu dari tiga makhluk itu, sementara yang lainnya mengiyakan
tanpa berkespresi.
       Eric terkesiap. Mulutnya seperti tersumbat bola golf. Ia segera tersadar.
Raga yang terkapar itu adalah miliknya. Ia membuang mukanya dengan cepat.
Kematian yang diluar dugaan.
       "Kau hampir terlambat ke pengadilan!" lolong makhluk berotot seraya
menyambar lengan Eric. Mereka menghilang setelah menembus dinding batu
yang berlumut.




                                      13
BAB 2
                         Pengadilan Pemutusan Nasib
         Eric menginjakkan kaki dengan perlahan di atas lantai batu. Tiga
makhluk mengerikan yang selalu mengawalnya dengan cermat melayang satu
inci dari permukaan tanah. Jubah gelap mereka menjumbai menyusur udara.
Mereka memasuki gerbang yang menjulang menggapai awan hitam.
         Benda itu terbuka dengan hentakan dan menimbulkan suara yang
berdebam mengagetkan. Eric disambut oleh ruangan temaram yang riuh oleh
ocehan hantu-hantu yang duduk di atas kursi yang disusun mirip anak tangga.
Kira-kira ada seribu hantu yang sibuk mengawasinya.
         Makhluk mata tiga seakan hendak melahap dengan matanya yang
nyaris meluncur ke arah Eric. Ingin rasanya melarikan diri dari tempat itu, tapi
ia membayangkan lengannya pasti kena pelintir si makhluk berotot itu lagi.
         Eric berjalan perlahan menuju kursi yang terbuat dari tali berjalin. Ia
sangat    terkejut,   tiba-tiba   saja   kursi   itu   menyambar   perutnya   dan
mendudukkannya dengan paksa. Hantu yang berjubah elit seperti hakim
berkelebat sambil menenteng kitab tebal. Di belakangnya puluhan pengawal
mengikutinya, sementara tiga makhluk tadi menundukkan badan hingga
punggungnya membentuk 90 derajat sempurna pada sang hakim.
         Hakim itu membenamkan diri di atas singgasana yang tak terlihat.
Diletakkannya kitab tebal di atas meja yang tak tampak pula. Eric terpesona
dengan segala sesuatu yang melayang sempurna. Walau hati kecilnya berharap
kejadian hari itu semuanya hanya ilusi. Bukan. Semoga semuanya mimpi di
siang bolong.
         Namun tampaknya ia harus menerima kenyataan semua yang
dialaminya bukanlah mimpi. Ia melompat ketika ledakan meraung membenam
keributan.




                                          14
"Sidang dimulai!" suara sang hakim menyeruak dibarengi lusinan lilin
menyala hijau zamrud pada Chandelier. Eric meyakini ada tangan tak tampak
yang mengukir batu prisma yang tergolek di depan makhluk itu. Hakim Ketua.
       Para hantu terdiam seperti ada sesuatu yang memaksa mereka
menghentikan bisikan ribut yang tidak berguna itu.
       "Terdakwa, err... siapa nama anda, eh?" tanya hakim ketua dengan
suara dingin. Eric bisa melihat urat-uratnya mencuat menabrak kulitnya yang
berbuku-buku.
       Hantu itu sibuk membolak-balikkan kitab tebal tampak sedang mencari
sesuatu yang maha penting. Sementara tiga makhluk berwujud mengerikan
mendampingi di sampingnya.
       Eric terdiam. Tiba-tiba perasaannya mencelos. Ia seperti kehilangan
sesuatu yang Maha besar. Tidak. Lebih tepatnya ia tidak tahu siapa namanya.
Rasa-rasanya otaknya hanya berisi rongga udara yang berdesing ketika
diterjang angin.
       Dia mencoba mengira-ngira namanya sendiri. Lupa nama orang lain itu
biasa, tapi lupa nama sendiri kedengarannya sangat idiot.
       Okelah, Lano, nama Lano tidak ada jeleknya. Tapi Eric mengurungkan
niat itu. ―Saya, err ... saya tidak tahu, eh tidak, saya lupa,‖ jawabnya ragu-ragu
dengan penuh nada menyesal. ―yah, seperti itulah lebih tepatnya.‖
       Eric benar-benar ingin menyerobot udara banyak-banyak lalu
mengehembuskannya supaya lebih lega. Tapi ia hanya mendapati irama
desingan merayap di kepalanya. Sejenak ia sadar. Ini kehidupan setelah
kematian. Tidak!
       Para hantu melolong mencemooh, "Oh, kasus hilang ingatan lagi! "seru
salah satu di antara mereka yang mulai tidak sabar. Tangan-tangan panjang
yang menggelepar dari podium nyaris mencakar Eric jika saja si makhluk
berotot itu tidak sigap mematahkannya.
       Dentuman mengagetkan meraung liar memaksa suasana kembali
senyap.




                                       15
"Maaf, Yang Mulia, Nama saya Ona Ghobadi dan terdakwa tersebut
adalah anak saya," seorang wanita berdiri dengan tergopoh-gopoh.
       Ibu? Eric tidak tahu dari mana datangnya wanita itu, tapi ia merasakan
ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaannya ketika mendengar suaranya
yang lembut. Ibu. Tiba-tiba saja ia sangat ingin memeluknya.
       "Dia bernama Eric Ghobadi."
       "Eric Ghobadi‖ Hakim ketua mengulang kata itu. Jemarinya dengan
lincah membalik lembaran kitab. Kacamata besar bergagang tanduk rusa
membenamkan matanya yang berkerut-kerut. ―Lahir bulan April hari ke dua
belas tahun ke sembilan puluh. Anak kandung ke dua dari Togu Ghobadi.‖
       Hakim itu melecutkan pandangannya ke arah Eric. Kacamatanya nyaris
terjatuh karena hentakannya yang tak terduga. Ia berkata lagi dengan nada
yang tajam, ―Aku telah mengetahui bagaimana kematianmu karena segalanya
telah tertulis. Semua keturunan Ghobadi telah disumpah tentang bagaimana dia
hidup dan bagaimana dia mati.‖
       Eric mual mendengarnya. Ingin rasanya ia menyusut menjadi kecil lalu
meringkuk dalam bola. Menurutnya ini adalah sebuah teori yang tidak masuk
akal. Ia ingin berinterupsi namun kerongkongannya serasa kering dan
tersumbat. Ia bersusah payah mengingat semua yang telah terjadi pada dirinya.
Kepalanya menjadi semakin berat dan rasanya seperti mau meledak.
       "Hari ke sembilan bulan Juli tahun ke lima. Saudara Eric Ghobadi
dinyatakan meninggal di Tebing Tallanga, pukul enam lebih enam puluh tujuh
menit waktu pengadilan.‖
       Mata hakim ketua mengawasi Eric, menunggu jawabannya. Eric
mengangguk berpura-pura mengerti.
       Hakim keriput menggerung kemudian menulis sesuatu pada halaman
tengah-tengah kitab tebal.
       "Dia kehilangan memori - kematiannya begitu tragis, seperti hidupnya
yang merana," kata hakim keriput setelah selesai menulis. Mencelupkan bulu
elang hitam ke dalam tinta merah.




                                     16
"Kau -er ... maksud kami, Saudara Eric Ghobadi. Berada dalam urutan
lingkaran abu-abu. Hantu yang kehilangan memori. Bukan begitu, Ghobadi?
       Eric terkejut, dia sama sekali tidak memperhatikan hakim keriput
berbicara.
       "Er ... maaf?"
       "Saudara berada dalam urutan abu-abu, di bawah Taro Kohara yang
meninggal selang seperseributiga detik dari anda," jawab hakim keriput sambil
mengawasi Eric dengan jengkel.
       Eric mengangguk seolah mengerti. Ia ingin semuanya cepat berakhir
dan ia sesegera mungkin pergi dari tempat aneh itu. Hakim ketua mengalihkan
perhatiannya pada pena bulu lalu menulis tak jelas pada kitabnya.
       "Saudara terdakwa harus menentukan takdir hidupnya, kehidupan akan
terus berlanjut karena belum waktunya dunia tanpa batas menjemput anda.‖ Ia
berhenti sejenak memandang Eric yang balas memandangnya dengan tatapan
bosan. ―Saudara bisa memilih menjadi golongan Satanic Mask, mereka
bergentayangan dan mengganggu manusia tetapi manusia tidak dapat
menyentuh mereka. Sanggup membuat manusia memekik setengah sadar
karena ketakutan. Kekuatan sihir standar. Hanya saja kelemahannya terletak
pada cahaya alam.
       “Peri Ghaits, Si pemalas. Kehebatannya adalah dapat melakukan sihir
di atas standar. Namun ia tak tahan dengan sinar alam, beberapa diantaranya
lumpuh dan terbakar sia-sia karena ceroboh.
       “Lucifer. Tinggal tenang di gunung api bawah laut. Mereka
menyebutnya api perairan. Lucifer merakit kendaraan berbeda dari hasil
jarahan pada saat bintang muda Lucifer berada pada arah jam tiga dari bumi.
Dan saat itulah api akan berhembus menembus perairan.
       ―Ocupant yang dapat bertransformasi menjadi hewan atau manusia,
sayangnya mereka sangat licik, tetapi diantaranya terlampau baik sehingga
mudah diperalat.
       "Patred, golongan hati pendosa, mereka yang misterius, sulit dideteksi
dan roh para pengkhianat. Mereka bisa merubah diri menjadi wujud benda.



                                      17
“Geogle, Merekalah golongan tertinggi, dan satu-satunya yang berhak
menjadi pewaris Emperor. Para roh yang memiliki hati ksatria, tangguh, dan
teguh. Dunia kelam menyebutnya ksatria langit.‖
       Hakim keriput menghentakkan palu batunya pada tatakan piringan
hitam. ―Silahkan tentukan jalan hidup saudara dengan pertimbangan dan
konsekuensi yang anda hadapi.‖
       Eric terperanjat, ia yang sama sekali tidak mengerti apa yang dijelaskan
baru saja.
       "Saya harap anda tidak membunuh waktu," kata hantu tua itu dengan
suara bergetar. Matanya sibuk bercengkerama bersama kitabnya namun Eric
merasa hakim itu sedang mengaduk otaknya.
       Perlahan telinga Eric menangkap sebuah teriakan kecil berdengung di
telinganya. "Eric, anakku, jadilah Geogle! Ksatria langit adalah dirimu, takdir
itu memang benar adanya."
       Eric membeku sejenak. Pikirannya bergejolak. Bergumam seakan
sedang berunding dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan waktu untuk
mencerna suara wanita yang baru saja didengarnya. Suara seseorang yang
sepertinya sangat ia rindukan sejak lama namun tak ia dapatkan. Ibu.
        Desiran    udara    yang   tak     hadir   seolah   sedang     mencekik
kerongkongannya. Bibirnya membuka tanpa suara, pandangannya menyusur
ruangan sidang dan ia mendapati ratusan makhluk di sekelilingnya sedang
melotot tidak sabar.
       ―Geogle‖ geragapnya. Ia merinding mendengar kata-katanya sendiri.
Meskipun suaranya tidak terdengar jelas tapi tempat itu segera ramai dengan
komentar yang bagi Eric itu terdengar seperti kutukan.
       "Geogle!" ulang Eric dengan hati-hati.
       "Bocah itu? Geogle ? oh...memalukan," kata salah satu hantu disambut
hinaan hantu yang lain.
       ―Sombong sekali dia?‖
       ―Menurunkan martabat Geogle sejati!‖




                                      18
Para hantu mencemooh dengan anarkis. Beberapa diantaranya mencoba
melempar kaleng bekas, botol soda, sepatu, hingga air comberan dalam bola
plastik, namun tiga ajudan hakim keriput terburu mengkisnya dengan
sempurna sehingga rongsokan itu mengenai si pelempar dengan serangan yang
lebih mengenaskan.
       Mendadak Eric menyesal telah lancang menempatkan pilihan pada
Geogle. Tapi ia berusaha keras menyembunyikan ketidaknyamanannya itu. Ia
tetap duduk normal bersandar pada punggung kursi. Jarinya saling mengatup di
atas pangkuannya. Dan tatapannya berkilat seperti semburat matahari terbit.
       "Geogle?" gumam hakim keriput lirih dengan nada keraguan dalam
ucapannya, "Maaf saudara baru saja kehilangan memori. Kehilangan dirinya
sendiri. Saudara Eric Ghobadi berhak memilih takdirnya, tetapi kami lebih
berhak menentukan," katanya sambil menggosok ujung palu dengan bimbang.
Kedua alisnya bertaut seolah sedang bersusah payah melucuti pikiran Eric.
       ―Maaf saya lancang Yang Mulia, nama saya Togu Ghobadi.‖ Suara
seorang Pria seolah membangunkan Eric dari beban kekhawatiran yang
membenamnya. Eric buru-buru melecutkan mata ke arahnya, wajah pria itu
tenggelam dalam kerudung jubahnya yang besar sehingga hanya janggut
lancipnya saja yang tampak. ―Tidak ada Undang-Undang yang menyatakan
kehilangan memori adalah kesalahan fatal sebagai bangsa Geogle, Mohon
kebijaksanaan Yang Mulia.‖
       "Memori saya tidak sepenuhnya hilang, saya masih ingat sesuatu," seru
Eric saat hakim itu nyaris memukulkan palunya. "Saya masih ingat kata-kata
ini,‖ Ia berhenti sejenak, sungguh-sungguh angin disekitarnya serasa
membungkam mulutnya, ia menggigil seperti ada yang menghujani es di
kepalanya. ―Gunakan pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam
matanya, masuklah ke alam bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu,
pastikan dia berpihak padamu, karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat
bukan berarti tidak ada.‖
       Hakim keriput beranjak dari kursinya, menutup kitab keras-keras
sehingga tinta merahnya meluber membasahi meja yang tak tampak. Para



                                      19
hantu membuat suara gaduh, beberapa diantaranya berteriak melengking
memuakkan seolah Eric telah melempar peledak di ruangan itu.
       ―I-itu kata yang diucapkan Master Quarenci saat sidang,‖ rintih salah
satu hantu dengan muka keterkejutan yang belum hilang. Satanic di
sampingnya menampar pipinya hingga membelesak ke dalam.
       ―Benar-benar pewaris Emperor, ia sama luar biasanya seperti Master
Quarenci,‖ desah salah satu hadirin sambil takhenti-hentinya mencucurkan air
mata. Ia berulangkali membersihkan ingusnya dengan lengan bajunya. ―Sudah
kubilang anak itu tidak berdosa, dia tampan dan dia hebat dan dia luar biasa.‖
Ia mencekik leher suaminya ketika laki-laki itu mencibir kata-katanya.
       Hakim ketua memukul palunya berkali-kali tapi ocehan yang
meramaikan ruang itu tidak berhenti. Suasana senyap terjadi ketika dentuman
memekakkan telinga hampir merobohkan ruang itu.
       Hakim ketua berjalan mendekat ke arah Eric sambil menenteng kitab
tebal di lengan kanannya. Jubah agungnya menyapu lantai batu yang
dilaluinya. Mata putihnya yang terlihat letih menatap Eric dengan kewibaan
yang tak terlukiskan.
       "Dengan ini kami memutuskan," katanya sambil meletakkan kitab di
atas kepala Eric. Pernyataan ini tidak bisa diubah, meskipun yang
bersangkutan sendiri yang memohon dengan kesungguhan__Eric Ghobadi
dengan kehormatan penuh dinyatakan sebagai bangsa..." hakim keriput
berhenti sebentar membiarkan ketegangan itu tercipta beberapa saat kemudian
meneruskan, "Geogle!"
       Eric beranjak dari kursi yang telah membuat pantatnya benar-benar
datar. Sang Hakim menjabat tangan Eric lalu memeluknya dengan erat
sebelum akhirnya menghilang diikuti oleh tiga ajudannya yang berwujud
mengerikan. Lilin pada Chandeleir meredup seperti tertiup angin meski
keberadaan udara pun sulit terdeteksi.
       Eric terkejut ketika seorang wanita mengalungkan tangan ke lehernya.
―Eric, anakku...‖ Wanita itu terisak kemudian ia melapaskan ikatannya.
Dipandanginya wajah Eric dengan air mata yang tak berhenti mengalir.



                                         20
Eric terhunyung sesaat menyadari wanita itu ibunya. Ia mencoba
mengingat masa lalunya namun sepertinya tak ada satupun yang tersisa di
kepalanya. Dia mencermati wajah cantik yang masih terisak di hadapannya.
Wanita itu mengelus lembut rambut Eric dan mendekap erat tubuhnya.
       Hantu pria yang berjubah besar menghampiri Eric sambil menepuk
bahu anaknya berkali-kali. ―Ayah bangga padamu, ayah sungguh bangga
padamu,‖ katanya berulang-ulang.
       Eric tak mampu berkata apapun. Perasaannya terlalu kacau untuk
menemukan kata-kata yang tepat untuk sedikit bisa menghibur dirinya.
Kejadian yang tak terduga mengalir dalam kehidupannya, ia sama sekali tidak
tahu bagaimana kehidupannya sebelum berada di tempat aneh itu. Namun ia
benar-benar merasakan kehidupan yang bebas dan menyenangkan daripada
masa lalunya.
       Sekejap ruangan itu serasa menyempit seperti ada kekuatan besar yang
melipatnya. Lilin yang padam secara tidak wajar menjadikan tempat itu gelap
sejadi-jadinya. Eric merasakan sesuatu menarik tangannya lalu membawanya
keluar dari ruangan itu.




                                    21
BAB 3
                                   Snowvus
          Eric mendapati dirinya sedang berdiri diantara lorong kelam tak
berujung. Sementara itu di salah satu sisi dinding yang keropos pada beberapa
bagiannya, lima hantu laki-laki sedang berbincang sengit tentang hasil sidang
pengadilan.
          "Tak ada yang menang dalam taruhan kali ini,‖ kata hantu yang
punggungnya ditumbuhi sayap kecil.
          "Kupikir dia akan jadi Lucifer atau Ghaits," sahut hantu yang memakai
baju hijau berenda. Dia membuang topi kerucutnya kelantai.
          "Tebakanku kurang jitu kali ini," hantu berambut keriting ikut
berkomentar. "Tak kusangka dia menjadi Geogle, padahal aku berani bertaruh
menampar muka Mame Granyo jika anak itu menjadi Geogle.‖
          ―Mame Granyo?‖ Empat hantu lainnya menyeringai, ―mengerikan.‖
          Lima hantu laki-laki tadi kemudian menghilang.
          Sebuah suara merambat melewati tengkuk Eric. "Hei...ei...ei! Geogle
senang bertemu denganmu. Semoga kau mewarisi jejak kakekmu menjadi
Emperor.‖
          Pemilik suara itu tiba-tiba menampar punggung Eric, namun ia tak
segera menoleh. Ia masih menatap lorong itu dengan tersenyum-senyum,
membayangkan ingatannya yang normal dan ia dinobatkan sebagai Geogle
dengan riuh tepuk tangan. Tetapi semua itu memudar, ia menyadari
keadaannya yang memprihatinkan sebagai Geogle. Semua memori yang
hilang, kecuali...
          "Haloooo....! Kau dengar tidak, sih?"
          Eric benar-benar dibuat melompat oleh suara yang tiba-tiba mengamuk
ditelinganya. Ia menatap wajah hantu laki-laki sebayanya itu dan melototinya
dengan kemarahan yang meletup. Anak itu nyengir tanpa ada rasa berdosa
kemudian menyisir rambut coklat keritingnya yang berantakan dengan jari
tangan.


                                         22
"Namaku Haiden Powi... peri Ghaits," katanya dengan tirai mata nyaris
tertutup. "Aku mati karena terpeleset di kamar mandi.‖
       Eric nyengir. Diamatinya hantu gemuk dengan tubuh berlipat-lipat
yang berdiri di depannya itu.
       "Kalian harus kembali ke Snowvos," kata Togu seraya memeluk Eric.
"Kastil hantu, di bawah awan kebiru kelabu."
       "Kalian juga ikut kesana, kan?"
       Togu menggeleng sempurna, "Ayah Lucifer tinggal api perairan.‖
       Eric beralih menatap ibunya dengan berharap.
       "Satanic, muncul dan menghilang di antara kehidupan manusia," kata
Ona dengan mengelus rambut hitam Eric yang tebal.
       Haiden menyambar lengan Eric dan menariknya cepat, "Kita harus
segera sampai ke Snowvus!"
       "Eric!" panggil Togu sebelum benar-benar berpisah dengan anaknya.
"Temukan dirimu dan jadilah Geogle yang sebenarnya.‖
       Eric tersenyum, meskipun dia tidak mengerti makna kata-kata itu tetapi
dalam hati dia berjanji akan menemukan bagian dari dirinya yang hilang.
       ―Ayah, ibu…‖ ia berhenti bermaksud mengucapkan selamat tinggal
tapi diurungkannya. ―Jika aku telah menemukan diriku yang hilang, apakah
aku bisa ikut bersama kalian?‖
       ―Tidak, anakku,‖ Ona memeluk Eric dengan air mata mengalir. Eric
merasakan punggungnya serasa nyaris basah kuyup. ―Hiduplah dengan
memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat semua tidak akan
sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba, kelak engkau harus
siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah!‖
       Perlahan wanita itu melepas pelukannya. Eric melihat sebuah tatapan
tanpa isi yang bisa tertebak.
       ―Kelak aku akan mengerti,‖ Eric berkata tanpa ia sadari.
       Togu dan Ona melambaikan tangan ke arah Eric dan Haiden. Ia melihat
ayahnya mengenakan kerudung kebesaran sehingga hanya tampak dagunya
yang runcing. Sementara Ona berubah mengerikan, rambutnya memutih dan



                                      23
memanjang tak beraturan sehingga menutupi seluruh wajahnya, kecuali
matanya yang membesar.
       Haiden menarik lengan Eric, mereka menembus dinding lorong.
meluncur melawan awan mendung berdebu. Sesekali kilat menyambar
mengiringi mereka. Eric merasakan seperti disiram air es dan tiba-tiba disiram
dengan air hangat. Sungguh tak enak. Dia memeras lengan Haiden yang makin
cepat meluncur. Tidak ada kata yang dapat diucapkan, sementara lolongan tak
sanggup mengubah segalanya.


                                           ***
       Saat awan mulai menghilang diganti kabut tipis yang menyebar, Eric
mendapati pulau besar ditengah laut tenang dan kastil tua dengan menara
tinggi yang mencuat. Pada puncaknya yang tertinggi terdapat arca barong
wanita terhormat bergaun bunga karang sedang memegangi tongkat bola
bermata zamrud.
       ―Lolongan si barong Mapoti, dapat membuat bulu kuduk tercabut,
bahkan burung Poppo terbelesak nyawanya. Konon Mapoti hanya bangkit saat
dipanggil.‖
       ―Burung Poppo?…‖ Eric mengernyit pada Hayden.
       ―Poppo, burung alam baka. Makhluk pencabik roh pendosa.
Jangan…jangan      bicarakan    itu    lagi.     Kepalaku   berkunang-kunang
memikirkannya. Tapi dia cantik…yah lumayan, deh.‖
       ―Hla? Mamapopoti seperti itu dibilang cantik?‖ Eric menganga.
       ―Bukan Mamapopoti, tapi Mapoti!‖ Katanya senewen. ―Mapoti.‖
Tambahnya lagi.
       Eric menyeringai jijik. ―Patung itu cantik?‖
       ―Kelak jika dia bangkit, kau akan mencium kakinya untuk
mendapatkan cintanya,‖ kata Hayden sambil mempraktekkan menciumi
punggung tangan Eric.
       ―Kau menjijikkan, Heidi…‖




                                      24
Eric merampas tangannya dari genggaman Hayden lalu mengelap
dengan bajunya sebelum mencium aroma air liur yang menempel.
       ―Jangan panggil aku Heidi. Itu kan nama cewek!‖
       ―Yaiya aku mengerti. Hay apa itu?‖
       Hayden melecutkan matanya ke arah laut suram yang dipenuhi tangan-
tangan lemah menggapai seolah memohon pertolongan yang sia-sia.
       ―Laut kematian. Tapi sering disebut laut hitam. Seperti makam untuk
para pendosa, Mereka jemaah pembesar kegelapan yang berhasil dieksekusi.‖
       ―jemaah pembesar kegelapan?‖
       ―Yeah. Mereka sangat keji. Hei, itu Snowvus..." kata Hayden,
menunjuk ke arah kastil tua berpelindung separo bola bening. Eric berjalan
dibelakang mengikuti Hayden. "Kau harus mengetahui tata cara hantu baru
memasuki bola pelindung. Ulurkan tanganmu seperti ini, er...bukan begitu -
sentuh atmosfernya, maksudku bola pelindungnya. kemudian katakan ―Wahai
penanda kehidupan. Dengan ini saya yang bernama....‖ Hayden berpaling pada
Eric. ―Ayo ikuti aku!‖
       ―Wahai...‖ Eric mengulurkan tangannya. Dia merasa telapak tangannya
seperti dipaksa menyentuh balok es yang berasap bagaikan sedang mendidih.
―Penanda kehidupan..‖
       ―Stop...stop! Matamu musti merem dan lehermu harus tegak.‖ Eric
menurut saja karena ia tak punya banyak wacana untuk berinterupsi. ―Sekali
lagi ikuti aku. Wahai Penanda kehidupan...‖
       ―Wahai penanda kehidupan...‖
       ―Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...‖
       ―Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...‖
       ―Salam kenal...‖
       ―Apa?‖
       ―Kau ikuti saja.‖
       Oke. ―Salam kenal.‖ Sambung Eric dengan alis terangkat.
       ―Nah, sekarang kau sudah boleh masuk.‖




                                      25
Eric merasa ada kekuatan yang mendorongnya memasuki wilayah
Snowvus di bawah awan kebiru kelabu. Awan yang benar-benar biru seperti
dasar air laut.
        "Menakjubkan...‖ kata Eric. "Tapi aku kan hantu, er maksudku, bisa
menembus kapan saja tanpa jampi-jampi macam itu.
        Hayden mendesis, "Itu tata cara hantu baru masuk ke sini. Istilahnya
ritual buat jadi member...‖
        ―Member?‖
        ―Kau bisa lenyap terbakar jika tak mematuhi aturan mainnya. Bola
pelindung melindungi kami dari serangan makhluk hitam pengikut pembesar
kegelapan, dan…" katanya pelan sambil berjalan cepat. "Berhati-hatilah
dengan pawang hantu, mereka punya tambahan indra, mereka licik dan...‖
Hayden berhenti dan berbalik tiba-tiba. ―Penjilat."
        "Tapi bagaimana kita tahu dia pawang hantu?"
        "Gimana, sih? kau kan Geogle. Kau mengucapkan sesuatu yang luar
biasa di pengadilan. Kau membuat hantu lainnya iri tapi juga mendukungmu."
        "Yah...itu satu-satunya pesan yang bisa kuingat," kata Eric saat menaiki
undakan ke dua puluh tiga, di depan gerbang yang sangat besar dengan ukiran
Tampagolo Lau Panangan.
        Eric menembus pintu itu, seperti yang dilakukan Hayden dengan
sempurna, tanpa jampi-jampi.
        Mereka berada dalam sebuah ruangan remang-remang berhias sarang
laba-laba yang sengaja dipelihara. Chandeleir yang dipenuhi lilin kecil yang
menyala redup menggantung di atap. Tidak banyak perabot di dalamnya hanya
meja besar berdebu diletakkan di tengah ruangan luas, cermin-cermin gelap,
serta patung kucing dan harimau petarung yang saling terikat dalam satu rantai.
        Eric      melihat   beberapa   hantu    berseliweran,    melayang    dengan
menundukkan kepala kemudian menghilang saat menabrak sebuah cermin
yang pernah dilihatnya ketika berada di pengadilan.
        Gerombolan          hantu   anak-anak     berjalan      beriringan   sambil
mememandang Eric dengan ekspresi ingin tahu. Hayden melambaikan tangan,



                                         26
tetapi mereka tak membalasnya simpati. Para hantu menaiki tangga spiral yang
tinggi. Hayden menyambar lengan Eric dan mengikuti mereka, menaiki tangga
spiral tanpa lengan dan selalu melengkung tiap tiga belas anak tangga kecil.




                                      27
BAB 4
                        Hantu Otak Meleset
       Gerombolan hantu melayang terburu menuju lantai atas. Sesekali
mereka menengok ke belakang dengan tanpa ekspresi seolah mereka tidak
setuju jika Hayden dan Eric membuntutinya.
       "Selamat datang sang Geogle di rumah baru," seru pria setengah tua
yang memakai piyama hijau dengan aksesoris tanduk kerbau menempel di
tengah piyama. Tepuk tangan dan hura-hura kecil seolah mengiringi Eric saat
memasuki aula penuh hiasan kuno berkarat, sarang laba-laba, serta banyak
sekali baju zirah yang dirawat mengkilap. "Geogle yang kehilangan memori,
tapi sungguh menakjubkan, Ghobadi."
       Hayden menghilang begitu saja dan muncul di tengah-tengah para
hantu yang sedang berhura-hura. Mereka bermain terompet yang setiap kali
ditiup akan menghamburkan makhluk kecil yang menaburkan bubuk cahaya.
Mereka memukul tinjunya ke udara secara berjemaah sambil berhura, "Hidup
Ghobadi...hip hip hip Geogle!"
       Eric terkejut. Ia menatap pria setengah tua yang selalu tersenyum
padanya.
       ―Hei….Kau suka sambutannya?‖ kata hantu laki-laki yang lebih tua
lima tahun darinya sambil memeluk lalu menepuk punggung Eric.
"Perkenalkan, namaku Victor Kapele, Patred."
       "Aku, Ami Tobuwa, peri Ghaits."
       "Diano Saloh, peri Ghaits."
       "Payambono, Ocupant."
       Para hantu berebut memperkenalkan diri hingga Eric hanya bisa
mengingat selusin nama dari dua lusin nama yang disebutkan.
       Eric merasakan kehidupan paling bahagia muncul untuk pertama kali.
Seolah-olah dia selalu merana disela-sela masa hidupnya dahulu yang
dianggap lebih menyenangkan. Kepalanya berdenyut, bertanya pada ketidak
tahuannya, Apakah hidupku dulu menyenangkan seperti ini? Mengapa


                                      28
kematian cepat sekali menjemput? Oh aku ingin hidup lagi menjadi manusia
normal. Ini tempat yang suram.
       Eric mencuri pandang kearah hantu pria yang terus mengawasinya
dengan tersenyum. Hingga akhirnya pria itu menghampirinya.
       "Kakek selalu menunggumu, Eric. Dan…Ouh aku hampir saja
melupakannya, jangan sentuh sanubariku dengan nama Ghobadi. Omong-
omong di sini aku biasa dipanggil Master Quarenci," katanya sambil mengetuk
dada Eric.
       ―Mengapa engkau tak ingin memakai nama Ghobadi?‖ Suara Eric
melompat begitu saja.
       Senyum wibawanya tersungging diantara tuturan lembut. "Mengapa?
Oh tidak pemuda tangguhku. Jangan bertanya mengapa, karena hanya akan
menambah satu masalah lagi dalam hidupmu." Ia menepuk bahu Eric, dengan
sedikit menunduk ia mensejajarkan kepalanya dengan lawan bicaranya.
―Nikmati pestanya.‖
       Eric hanya mengangguk meski tak tahu apa maksud ucapan tadi. Walau
begitu rasanya dia tiba-tiba telah menjadi penghuni penting yang dikagumi.
Master Quarenci berjalan meninggalkan aula, menuruni anak tangga tanpa
lengan sambil membetulkan topi tidur kebesaran yang selalu merosot.
       Hayden memukul punggung Eric keras-keras saat ia sedang akan
berbicara pada Victor Kapele. "Bagaimanapun kau adalah pewaris Emperor
suatu saat nanti." katanya nyengir sambil memperkirakan Eric akan
membalasnya dengan pukulan bertubi-tubi.
       Tetapi Eric hanya memandang mata Hayden kebingungan, "Apa?
Emperor katamu tadi?‖
       ―Pemimpin      kerajaan dengan kehidupan yang paling besar, bahkan
lebih agung dari kastil para Lucifer. Kau juga akan diberkati dengan mata
emperor yang dapat menguliti pikiran lawan bicaramu.‖
       ―Oh, itu terlalu berlebihan...‖ katanya sambil memperhatikan salah satu
baju zirah yang berguncang dan mengeluarkan suara berisik.




                                     29
"Oh yaeh! Ingat, dunia ini begitu sempit, Eric. Semua bisa saling
berhubungan tanpa terduga," kata Ami Tobuwa. "Master Quarenci adalah
pemimpin agung, berwibawa dan sangat dihormati. Jika aku jadi kau, aku akan
sangat bangga."
          Hantu bergaun putih gading keluar dari baju zirah yang berkelontangan.
Ia menghampiri Eric dengan terisak, "Hik... Akhirnya aku ... hik... bisa ... hik
...bertemu dengan...hik.. hik... Ghobadi ....‖ lolongnya. Diusapnya air mata
yang berebut meluncur dengan segelondong tissu besar yang selalu dibawanya
kemana-mana. Ingusnya melumer tanpa bisa ditahan. Dia menatap Eric dan
hantu lainnya disertai bisik rintihan lalu melayang dan menghilang masuk ke
dalam baju zirah.
          Ami memungut tissu yang dijatuhkan gadis itu sambil bersungut-
sungut.
          "Dia Classy Phinisi- Satanic Mask. Seharusnya dia bergentayangan di
dunia manusia, bukan di dalam Snowvus,‖ ujar Hayden ketika Eric melihatnya
dengan pandangan bingung. ―Jangan kaget dia seperti itu karena otaknya
sedikit meleset.‖
          Victor Kapele menyeringai kecil, ―Master Quarenci seharusnya
mengusir Closet, atau siapalah itu namanya." Suaranya tiba-tiba melengking
mengagetkan. Victor menyambar tissu yang digenggam Ami dan melemparnya
keras-keras kearah baju zirah Classy.
          Classy menjerit dan melolong marah, balas melempar tissu yang
diremas ke sembarang arah. Baju zirah yang ditempatinya berkelontangan
          "Berhenti, Victor!" lolong Ami. ―Kau kekanak-kanakan...‖
          "TAPI OTAKKU TIDAK MELESET SEPERTI DIA.‖
          Eric menyambar lengan Hayden, membawanya menjauh dari Ami dan
Victor yang berdebat sengit. Para hantu yang tadi berhura-hura mulai
menghilang satu persatu.
          "Kau tahukan dia Satanic Mask dan dia bisa tinggal di Snowvus?" kata
Eric berharap. Hayden mengangguk dan mengangkat kedua alisnya tinggi-
tinggi. ―Berarti, ibuku ..."



                                        30
"Jangan samakan ibumu dengan hantu otak meleset itu, mengerti!"
hardik Hayden cepat, setengah berbisik.
       Dia menarik lengan Eric, membawanya melayang di atas patung
Malango, patung babi bertanduk gading. Mereka duduk di atas tanduk
Malango yang dibuat mengkilap.
       "Dia mengalami sesuatu yang sangat tidak menyenangkan sepanjang
hidupnya. Tapi aku tidak tahu apa itu. Pekerjaannya sehari-hari hanya
membaca buku tebal dan menulis berlembar-lembar kertas sebelum dia
mengakhirinya dengan tangisan yang meledak-ledak.‖
       "Apa yang dia tulis?" kata Eric, sambil berayun di atas tanduk,
membenahi posisi duduknya.
       "Aku tidak tahu, tapi yakinlah segala sesuatu yang dituliskan oleh
makhluk sinting dengan otak agak sedikit meleset dari syarafnya itu tidak
penting. Dia telah merusak rumahku...lihat! Tanduknya bukan tanduk asli
pedalaman__berbuku-buku, keropos, usang, pokoknya keren, deh."
       "Tapi yang ini mengkilap dan luar biasa."
       "Tapi aku suka yang biasa.‖ Hayden memberengut.
       Eric merasa lengannya nyaris putus saat Hayden tiba-tiba menariknya
masuk ke dalam hidung Malango yang berbulu halus. ―Mame Granyo
datang...Cepat sembunyi!‖ Eric menerobos dan meluncur melewati ladang bulu
hidung yang membuatnya geli terpingkal-pingkal.




                                     31
BAB 5
                               Keributan
       Eric mendapati dirinya seperti sedang berada dalam sangkar mulut
babi. Atapnya berlendir hijau menjijikan sedangkan lantainya licin mengkilap
ditaburi kotoran lalat mirip kismis. Dindingnya berlubang dan keropos. Tidak
ada chandeleir dengan lilin menyala, tetapi hanya gerombolan kunang-kunang
bercahaya yang dikurung dalam kaca lentur.
       "Ini rumahku dan kau boleh tinggal disini, yah...seandainya kau mau,‖
kata Hayden dengan berlari menuju lubang yang keropos, dia setengah
berteriak pada Eric, "Hei...Kemari, cepat!"
       Eric tidak terlalu antusias untuk tinggal di tempat yang dipenuhi segala
jenis lendir. Tetapi dia lebih memilih tinggal dengan Hayden yang tergila-gila
pada lendir dari pada bersama Classy yang setiap waktu selalu melempar tisu
dan berteriak mengagetkan.
       "CLASSY PHINISI!‖ sebuah lolongan meluncur menghentakkan
seperempat isi kastil. Beberapa hantu mengintip dari balik persembunyian
mereka dengan tanpa suara. ―Kembalikan topi bulu kudaku sebelum kau
kupecat dari sini!‖
       Mereka mengintip hati-hati melalui celah Malango.
       Dilihatnya sesosok perempuan gemuk, berambut keriting gimbal dan
berbaju kebesaran dipenuhi renda-renda, kerahnya hampir menutupi bagian
belakang kepala.
       "CLASSY PHINISI KAU DENGAR ITU?‖ Mame Granyo berteriak
hingga lehernya nyaris terpental menjauh darinya. Bibir coklat tebalnya
manyun seperti ada yang menariknya dari depan. Ia melempar kerikil senjata
kaum Ocupant yang dapat menimbulkan ledakkan mengejutkan. ―KELUAR
KATAKU!"
       Eric menyeringai. Membayangkan dirinya menjadi Classy. Ia pasti
telah menonjoknya dengan pot besi yang digunakan untuk menanam bunga




                                      32
troll mulut buaya, kemudian menyemprotnya dengan lendir babi, sampai
wanita malang itu mengibarkan bendera putih.
       "Rasanya aku ingin membelesakkan giginya jika sampai berani
mengutak-atik rumahku,‖ kata Hayden berapi-api.
       Eric menyeringai sambil mencibir. "Aukh ...!" dia memekik kaget. Ada
yang melempar batu hingga mengenai pelipisnya. "Kau melempariku dengan
batu ini, ya?" katanya jengkel pada Hayden yang sedang menyaksikan Mame
Granyo berlelah-lelah memukul baju zirah Classy.
       Hayden memberengut sambil menyambar benda yang diacungkan Eric,
"Batu berambut merah!! Ini pasti ulah Setan Ocupant..."
       Hayden melempar batu itu keras-keras hingga menembus dinding yang
dilewatinya. "Batu berambut merah adalah batu ghaib bangsa Ocupant, mereka
menggunakannya sekedar untuk berbuat jahil."
       "Aukh...KURANG AJAAR!" suara Mame Granyo melengking tinggi.
"Dasar anak-anak brengsek! siapa yang melempariku dengan Batu berambut
merah?‖ sengatnya sambil melecutkan mata ke arah Malango, patung tempat
tinggal Hayden.
       Eric melihat wajah Hayden yang merah pucat, sepucat kertas yang
diremas-remas. Pipinya yang gembul semakin menggelembung akibat
menahan ketakutannya.
       "Apa yang harus kita lakukan?" ujar Eric dengan datar.
       "Apa yang harus kita lakukan?‖ Hayden mengulang dengan meringis.
―KITA HARUS KABUR, BOY!‖
       "Anak-anak brengsek--turun kalian!" Ia memergoki Eric dan Hayden
lalu membentangkan lengannya. Dan seekor anjing hutan melesat diantara
bentangan tangan. Taringnya menyembul bersiap memangsa.
       ―Hey itu tadi sulap?‖
       ―ITU SIHIR!‖ Hayden hampir menangis putus asa. ―Eric. Berpegang
padaku. Aku harus menyelamatkanmu…‖
       "T-tunggu lihat itu...!" kata Eric dengan bersusah payah melepas
pegangan Hayden akibatnya dia hampir terjatuh kebawah karena belum



                                     33
terbiasa melayang terlalu tinggi. Pandangannya menangkap kejadian ajaib
yang belum pernah dilihatnya.
         Serigala betina bertarung menghabisi anjing yang balas menggigitnya.
Mereka tak saling lebih kuat sampai salah satu diantara keduanya menggelepar
lalu lenyap begitu saja. Serigala jantan memenangkannya.
         Mame Granyo menjerit bagaikan baru saja disengat listrik. ―SIAPA
YANG BERANI MENANTANGKU?‖
         ―Aku.‖
         Mame Granyo melongok ke atas. Ia mendapati Classy sedang melayang
di kepalanya bersama seember lendir menjijikkan yang ditumpahkannya
dengan sengaja.
         "Uuupss…‖ Hayden dan Eric tak bisa menahan tawanya. Sementara
Classy    cepat-cepat   menjatuhkan   embernya    tanpa    hati-hati   sehingga
menimbulkan suara berkelontangan." Ayo! kita harus segera kabur ..." Hayden
memburu tangan Eric dan menariknya. sementara Mame Granyo melolong
meratapi nasibnya.
         "AAARRGGHHTT…‖
         Eric merinding mendengar jeritan menyayat Mame Granyo, sehingga
dia hanya diam dan tidak mau memprotes saat Hayden menarik lengannya
kuat-kuat.




                                      34
Bab 6
                                  Naydelin
       Eric dan Hayden melesat cepat, menabrak lalu menembus cermin yang
dipasang hampir di seluruh ruangan. Tanpa disadari mereka mendapati dirinya
berada di ladang jagung yang tak berbatas ujung, "Kau tahu ini dimana ?"
       Hayden menggeleng, tetapi segera menjawab, "Aku sendiri tidak tahu
tujuanku.‖
       Eric terdiam. Ia berjalan dibalik punggung Hayden sambil sesekali
menyibak jagung dalam gelapnya malam yang hanya diterangi bulan yang
terhalang awan pekat.
       ―Apa kau tahu siapa yang melempari kepalaku dengan benda...batu
berambut pirang?" Eric membuka percakapan.
       "Batu berambut merah! " kata Hayden membenarkan, ia terbatuk-batuk
tetapi Eric tahu sahabatnya itu hanya menahan tawa yang hampir meledak. "Itu
hal yang biasa, para Ocupant memainkan batu gaibnya untuk iseng. Bahkan
yang paling menyebalkan, mereka sering melempari Malango dengan lusinan
Batu berambut merah saat aku tidur," Hayden mengepalkan jemarinya dan
menabrakkan dengan telapak tangan satunya. "Akibatnya aku harus bersih-
bersih Malango setiap hari."
       Mereka berjalan menyusuri ladang jagung. Sebuah orang-orangan yang
berwajah     serabut   dipenuhi   rambut   jerami   dan   topi   kerucut   lusuh
membungkukkan badan sambil mengucapkan kalimat basa-basi.
       "Saat purnama datang bersama angin dingin menggerogoti seluruh
tubuhku dan aku hanya sendirian disini dan hanya dibalut pakain bekas
manusia. Malam yang sempurna karena tak ada bintang yang muncul, angin
membuatku kedinginan di saat semua merasakan hangatnya malam ini," kata
salah satu orang-orangan pengusir burung, kondisinya memang tidak lebih
baik dari Mame Granyo yang terkena tumpahan lumpur berlendir menjijikan.
―Maukah? Maukah engkau membantuku, sobat?"




                                      35
Orang-orangan itu melirik syal yang bertengger di leher Eric. Dia mulai
bergerak-gerak dan berusaha memberontak dari ikatan yang digunakan untuk
mengikatnya kuat-kuat pada kayu bersilang.
       Rambut jeraminya rontok perlahan sementara tiangnya nyaris roboh.
"Aku menginginkan benda di lehermu itu!" rintihnya.
       Eric menjauh kemana saja ia sanggup melakukannya. Orang-orangan
ladang itu mencondongkan kepalanya, mendekati Eric. Tali penyalipnya putus.
Tangannya yang berupa dahan bercabang bersikeras merampas syal.
       "Tolonglah.     Berikan   syalmu,     aku   ingin    benda   itu,   aku
membutuhkannya,‖ katanya memelas dengan wajah culas.
       Eric berusaha menjauh menghidari sambaran tangan makhluk itu.
       "TERBANTING!" Eric mendengar Hayden berteriak di balik
kerumunan tanaman jagung dengan tersengal-sengal.
       Tiba-tiba angin bergulung menghajar orang-orangan ladang hingga
terpelanting meluluh lantakkan tanaman yang dilewatinya.
       "LARI!" Hayden berteriak pada Eric yang sedang tercengang. Mereka
menembus lorong diantara tanaman jagung. Awan kelam menutupi sebagian
cahaya bulan yang sepertinya berpihak pada kegelapan.
       ―Itu tadi sihir?‖
       ―Sulap,‖ ujar Hayden dengan tidak sabar. ―Yaiyalah SIHIR…‖
       ―Super sekali!‖
       Hayden menepuk dadanya dengan bangga. ―Ah cuma sihir kecil-
kecilan.‖
       ―Classy bisa memunculkan rubah betina, itu juga hebat, kan?‖
       ―Biasa.‖ Eric melihat wajah Hayden tanpa ekspresi.
       Mereka berhenti bersamaan ketika mendengar nyanyian mengalun
lembut diantara lolongan serigala yang berlomba memamerkan suara
perkasanya.
       Eric dan Hayden berpandangan, "Apa mungkin manusia menyanyi di
ladang jagung tengah malam?" celetuk Hayden.




                                     36
―Ini dunia manusia?" Eric tidak melanjutkan ucapannya, dia melonjak
kaget setelah suara kecil menjawab pertanyaannya.
       "Ya, ini dunia manusia. Kau hantu baru yang hilang ingatan itu, kan ?"
       Eric dan Hayden melongok ke belakang secara bersamaan dengan ragu-
ragu. Mereka melompat terkejut melihat gadis berambut perak panjang, dengan
bola mata berwarna coklat mengkilat sama seperti mata Eric.
       "Hai, aku Naydelin...‖ Eric dan Hayden terdiam, mereka tidak tahu apa
yang seharusnya        dikatakan.   Gadis   itu   kembali   melanjutkan   sambil
menggumam, "Umh...aku Satanic, tetapi aku mencoba berjalan-jalan di ladang
jagung, ditemani para hantu ladang."
       Eric mengangguk. Hayden masih terbengong-bengong.
       "Kau cucu Master Quarenci, eh?" katanya sambil menunjuk kearah
Eric, sementara Eric hanya menjawabnya dengan mengangguk kecil. "Sudah
kuduga tetapi jangan khawatir kau akan menemukan memorimu kembali."
       "Aku bertaruh keadaanmu sekarang adalah yang paling baik daripada
hidupmu dulu. Yah, kalau kau percaya.‖
       "Sok tahu banget, sih!" bisik Hayden. Bibirnya hampir menyentuh
telinga Eric.
       "Tapi bagaimana aku bisa tahu keadaanku dulu jika memoriku hilang?"
       Naydelin tersenyum sinis, dia duduk di atas batu pipih disampingnya,
"benda itu adalah kenangan dari seorang gadis tepat sebelum kau kehilangan
nyawamu," katanya sambil melirik syal Eric.
       "Sok tehe!" sengat Hayden.
       "Apa kalian tidak ingat?" sela Naydelin cepat, dia berdiri dan
mendekati Hayden. "Kata-kata yang membuat Eric lolos menjadi Geogle,
bahkan seluruh hantu dibuatnya terkejut. Kata-kata yang didapatnya saat
sebuah keputusasaan menggerogoti batinnya, saat dia begitu menderita dan...,
ah sudahlah!" Naydelin terlihat begitu jengkel pada Hayden.
       "Sok tehe...‖
       "Oh, yeah! Kau sendiri Ghaits yang terlalu lama memikirkan mantra
untuk melakukan sihir sederhana!" serang Naydelin bertubi-tubi.



                                       37
Eric tidak mendengarkan Hayden dan Naydelin berdebat, ia mendapati
pikirannya melayang jauh dan saling berkelebat. Seorang perempuan tua
berbisik di telinganya, kemudian gadis berambut panjang yang hampir mirip
ibunya sedang mengalungkan syal kelehernya. Mendadak perasaannya seakan
mengambil alih kesadarannya. Ia menemukan dorongan kuat untuk
mengungkap semua yang ada di balik bayang-bayang pikirannya. Siapa
mereka? Apa mereka begitu penting bagiku? Ingatan itu bagaikan sepotong
kue yang pertama ditemukannya.
       ―Aku ingin menyanyi untuk mengisi malam ini,‖ kata Naydelin sambil
mengerling ke arah Eric kemudian meninggalkan dua hantu itu, melayang
diantara tanaman jagung yang tumbuh berdekatan. Kemudian bernyanyi
mengalunkan lagu merdu mengiringi hembusan angin yang bertiup lembut.


       Aku merindukan sesuatu
       Sesuatu yang tak aku tahu
       Hanya bermimpi di bawah lintas dahulu
       Menanti keadilan menunggu waktu
       Di saat semua pergi tanpa berpaling lagi
       Aku tetap menunggu semua berlalu


       "Lagu konyol," kata Hayden dengan mendengus.
       ―Aku harus berusaha menemukan sesuatu yang hilang dan..." Eric
terdiam sesaat. ―Aku harus bisa membantu diriku sendiri...‖
       Hayden terkesiap. "Oh, kurasa kita harus kembali ke Snowvus. Lagi
pula kupikir ini hampir subuh." Ia menggandengnya lengan Eric, berjalan lima
langkah ditengah rerimbunan tanaman jagung dan menghilang.




                                     38
Bab 7
                             Ramalan Sean Ying
       Eric dan Hayden muncul kembali ditempat mereka semula menghilang,
di depan cermin kemana saja.
       "Kita pasti dihabisi seandainya Mame Granyo tiba-tiba memergoki
kita," bisik Hayden sangat pelan. Eric hanya bergumam dan Hayden menduga
Eric tidak mendengarkannya berbicara.
       Hayden melayang lalu masuk ke dalam Malango melalui lubang hidung
yang penuh bulu diikuti Eric dibelakangnya.
       "Kau tidur saja diranjangku sampai malam menjelang," kata Hayden
dengan menggaruk kepalanya. Dia menunjuk ranjangnya yang mungkin cukup
untuk berdua.
       "Lendirmu sudah hilang, eh ...? "Eric bertanya hati-hati, dia khawatir
Hayden akan tersinggung,
       Hayden tertawa tetapi wajahnya tampak serius lagi. "Lendir itu hanya
untuk pengkilap ruangan dan pengusir kotoran, jika sudah setengah hari
lendirnya akan hilang dengan sendirinya. Sama sekali tidak lucu kalau aku
memakainya untuk hiasan rumah, asal tahu saja sebenarnya aku tidak suka
lendir, yah hanya kebiasaan saja."
       Eric begitu lega di dalam hatinya. Ia duduk di pojok ruangan sambil
memainkan lampu yang berisi kunang-kunang.
       Hayden menenggelamkan diri di ranjangnya yang empuk dan tampak
nyaman kemudian menutup separuh matanya dan berujar kepada Eric,
"Bangunkan aku saat yang disana itu..."dia menunjuk bunga kuning
bermahkota besar yang sedang tertidur di atas pot kecil. "...Berubah warna
menjadi hitam─ itu tandanya malam telah menjelang."
       Eric melecutkan pendangan ke arah bunga yang sedang mendengkur.
Ia berpikir seandainya bisa ikut tidur tentu pikirannya tidak akan serumit ini.




                                       39
Bayangan tentang seorang wanita selalu membuat perasaannya kalut.
Tiba-tiba hantu itu teringat sesuatu. Master Quarenci, kakeknya, tempat ia
bertanya tentang segala hal.
       Eric menembus dinding Malango dengan tidak sabar, meringankan
beban tubuhnya agar tidak terlalu cepat meluncur ke bawah. Ia melayang dua
senti dari lantai untuk menghindari hatu lain yang akan memergokinya sedang
mengendap-endap.
       Snowvus menjadi sangat sepi, tidak ada hantu yang berterbangan dan
berseliweran seperti ketika ia pertama kali memasukinya.
       Eric menuruni anak tangga lengkung tanpa lengan menuju ruang utama.
Cermin-cermin yang waktu itu hanya menampakkan bayangan hitam tanpa
ekspresi, sekarang bersinar terang seolah memperlihatkan cahaya alam yang
menerangi seluruh kehidupan manusia
       Cahaya yang menyeruak berbondong-bondong dari cermin tidak
mampu mengalahkan kegelapan Snowvus. Kastil itu akan selalu gelap secara
abadi sebagai tempat tinggal para hantu.
       Eric berhenti sejenak. Matanya menerawang di setiap sudut.        Ia
mendapati banyak sekali cermin yang bisa membawanya kemana-mana dan
sebuah pintu kecil seukuran setengah tubuhnya. Ia kebingunan mencari arah,
ingin rasanya berteriak memanggil nama kakeknya tetapi terbayang dalam
tayangan pikirannya hantu-hantu yang menjerit dan menghujam dengan marah
karena tidurnya telah terganggu.
       Terdengar langkah kaki yang berjalan ringan di belakang Eric. Sebuah
ketukan langkah kaki misterius. Ia menduga Mame Granyo ingin membalas
dendam dengan cara yang tidak fair.
       Eric berbalik dengan cepat dan dia mendapati Master Quarenci tertawa
kecil padanya, "Aku sudah menduga cucuku ini adalah Geogle yang sempurna,
kau memiliki Garizah yang setara denganku."
       "Garizah...?‖
       "Keberanian yang tidak terbatas, kehebatan dan kekuatan yang tidak
perlu dipelajari."



                                      40
Eric mendekap hantu yang selalu tersenyum bijak itu. kemudian
berkata lirih. "Apa benar keadaanku yang sekarang lebih baik daripada saat
aku hidup?‖ Ia merasakan sesuatu yang berbeda saat itu, sebuah dorongan dan
bayangan masa lalu yang sangat jelas.
       Master Quarenci melepaskan dekapan Eric tanpa berkata apa-apa, lalu
membawanya masuk ke sebuah cermin yang masih terkontaminasi oleh
kegelapan.
       Ruangan yang terlalu gelap. Eric hampir saja tidak bisa melihat
tubuhnya sendiri bila sebuah bola kristal kecil tidak memancarkan cahaya biru
misterius.
       Eric menduga dibelakang bola kristal itu ada sesosok berjubah gelap
tanpa terlihat seluruh anggota tubuhnya kecuali telapak tangan yang berada di
kedua sisi bola yang melayang tanpa disentuh.
       "Sean Ying, aku mengunjungimu bersama Eric, cucu yang selalu aku
nanti kedatangannya," kata Master Quarenci sambil membetulkan letak topi
besarnya yang melorot ke samping.
       ―Tentu saja aku sudah mengetahinya. Ghobadi kecil itu, kan?‖ kata
sosok itu dengan dibarengi tawa yang melengking. ―Baiklah, jika kalian
bersedia duduk itu lebih baik bagiku.‖
       Master Quarenci terkekeh-kekeh, ―kau selalu menyuruhku duduk pada
kursi yang tidak tampak." katanya sambil merebahkan pantat pada kursi
misterius diikuti Eric yang merasa sangat takjub. Mereka seolah duduk
melayang tanpa kursi.
       "Lama tak terlihat. Kupikir kau tidak akan kemari lagi, Quarenci," kata
Yean tanpa membuka kerudung penutup kepalanya.
       "Benarkah? Aku selalu sibuk mengurus para hantu di Snowvus.
       Yean terkekeh melengking, sementara Master Quarenci angkat bicara.
"Bagaimana dengan cucuku ini – apa kelak ia akan menjadi penerusku?"
       Yean terkekeh lagi,      tapi kemudian berhenti tiba-tiba, serius
memperhatikan      bola kristalnya yang menyala semakin redup, terang,
kemudian redup lagi.



                                         41
Hantu yang berjanggut lancip itu tampak tenang menunggu ramalan
Yean.
        "Aku tidak dapat melihat semuanya, hanya masa lalunya saja yang
tampak jelas, penuh kesuraman dalam hidupnya. Dan harinya selalu rumit,
tidak akan pernah terang, jiwanya terbelenggu di saat kebahagiaan datang
menghampirinya..."
        "Bola ramalan anda sedang terbalik, agak meleset seperti…?" Eric
teringat otak Classy yang meleset dan ia nyaris keceplosan. ―Maaf.‖
        Yean tersenyum sama sekali tidak tersinggung. ―Aneh sekali. Aku
hanya bisa melihat masa lalumu. Masa depanmu tersegel.‖ Ia berkata dengan
menyesal.
        Aku berhasil menyegelnya, hanya Quarenci yang dapat mendengar
ucapannya sendiri.




                                     42
Bab 8
                                   Pencarian
          "Aku harap bola kristalnya sedang bermasalah sehingga ramalannya
meleset sedikit, eh, bukan, maksudku meleset banyak,‖ kata Eric saat keluar
dari ruang Sean Ying. ―Apa maksudnya masa depanku tersegel? Bukankah
ramalan untuk mengetahui masa depan, bukan masa lalu?‖
          Master Quarenci terkekeh sambil mengacak-acak rambut Eric,
menunduk dan memandang tajam mata bulatnya, "Karena belum saatnya kau
berada di sini. Perbaikilah masa lalumu sebelum engkau menuju masa depan."
          Dia mengantar Eric menuju sebuah cermin di samping tangga.
          "Masuklah ke dalam cermin ini maka kau akan tiba di tebing Tallanga,
tempatmu terakhir kali dipanggil ke dunia ini. Kemudian turunilah tebing itu
hingga tiba di pedesaan yang bernama Halmahera."
          Eric mengangguk. Menatap Master Quarenci penuh harap.
          "Pakailah kalung ini." katanya sambil mengalungkan benda itu ke leher
Eric.
          Eric mengamati kalung yang berantai panjang dan menggosok
permukaan liontin yang berbentuk angsa biru yang mengepakkan sayap.
Rasanya ia pernah melihatnya, hanya saja pikirannya tak sangup menjangkau
jawabannya.
          "Carilah saudara perempuanmu yang hilang, ia yang akan membuat
hidupmu berubah. Ia memiliki kalung yang sama seperti ini karena hanya ada
dua pemilik berlainan. Satu di tanganmu dan yang lain dimiliki oleh seorang
gadis yang harus kau cari.‖ Quarenci mengerling cucunya agar cepat-cepat
menembus cermin yang berpendar itu. ―Omong-omong gadis itu bernama
Flori.‖
          Dia saudara perempuanku?‖ Eric berbalik menatap kakeknya. ―Flori
Ghobadi?‖
          Pria tua itu tak bereaksi. "kau cukup mencari gadis itu, selebihnya
kembali ke Snowvus."


                                       43
Eric mengangguk paham untuk kesekian kali. ―Aku berjanji akan
kembali ke sini setelah menemukan saudara perempuanku yang hilang.‖
Namun dalam hati ia tetap berkeras kemauan mencari dirinya yang hilang. Ia
menembus perlahan ke dalam cermin itu. Tiada perjalanan panjang seperti
yang dibayangkannya. Secepat cahaya ia tiba di tebing Tallanga.
        Hantu itu tidak tahu secara pasti sudah hari keberapa dia meninggal.
Menurutnya waktu manusia dan hantu berselisih jauh dan sebetulnya hanya
dibatasi oleh benang tipis yang membuat siapapun tak menyadarinya telah
berdiri diantara perbedaan masa itu.
        Eric menatap sebentar liontin angsanya lalu memasukkannya kedalam
balik mantel yang terlalu lebar untuk ukurannya. Menuruni tebing dengan
berjalan cepat. Aku tidak sabar bertemu dengan Flori. Apa dia merindukanku
juga?
                                        ***
        Matahari yang menyengat, orang-orang berlalu lalang sibuk beserta
urusan masing-masing. Cuaca dingin yang aneh telah berlalu dan semua
kembali normal.
        Toko-toko kelontong riuh berjajar di sepanjang jalan di perkampungan
itu. Eric berada dalam penyamarannya sebagai manusia. Ia tersenyum puas
saat melihat papan besar bertuliskan,


                        SEDIA BERBAGAI MACAM :
                     ONDERDIL RITUAL PENYUCIAN
                                  (DI JUAL TERPISAH)



        Ia menghampiri pria yang berdiri di depan toko itu. Tatapannya tidak
bersahabat tapi pria itu membuka pembicaraan. ―Apa kau memerlukan
jambang dan perkakas penyucian?‖ Eric menatap manusia itu sejenak dan pria
itu kembali melanjutkan. ―Aku tidak menjualnya secara utuh tetapi menjualnya
dengan terpisah.‖
        ―Tidak... aku tidak beli apa-apa, pak.‖



                                        44
Si manusia mendengus lalu masuk ke dalam tokonya dan membanting
pintu dengan kasar.
        Eric melompat mundur selangkah memastikan pintunya tidak jatuh
menimpa dirinya. Ia melihat sekeliling. Beberapa orang memandangnya
dengan tatapan aneh. Mereka bahkan rela berjalan mundur untuk mengamati
penampilannya yang ganjil.
        Mantelnya yang kusut dan sangat longgar juga sepatu yang berlubang
mirip mulut buaya itulah yang mengundang perhatian manusia. Eric tidak
begitu menghiraukan lalu memutuskan menyusuri tempat itu meski tanpa tahu
arah. Disekelilingnya beberapa anak mengatainya orang gila dan anak idiot
sambil bersiap kabur jika Eric tiba-tiba hendak mengejar mereka.
        Tanpa sadar Hantu itu memelototi mereka hingga salah satu matanya
lepas, menggelinding ke sembarang arah. Anak-anak tadi menjerit ketakutan,
kemudian kabur kemana saja yang dianggapnya sebagai tempat paling aman.
Sementara Eric sibuk mengejar mata yang sangat berbahaya bila dilihat oleh
lebih banyak kaum manusia. Ia kemudian memasangnya kembali dengan
normal.
        Eric serasa sangat merindukan malam yang tenang sebab manusia akan
berpikir seratus kali untuk melalukan perjalanan di waktu yang tidak
menyenangkan bagi mereka. Ia berjalan lagi sambil mengamati manusia yang
sibuk dengan aktivitas mereka. Kios yang seharusnya menjajakan makanan
kecil tertutup rapat, sedangkan kios koran dan toko bunga tetap buka dalam
sepi.
        Eric tiba-tiba merasa pedih menjalar menusuk setiap sendi dan
rusuknya saat melihat kebahagiaan yang mungkin tidak didapatkannya. Dia
membayangkan berkumpul kembali dengan orang tuanya dan Flori yang
sedang dicarinya. Tetapi perasaannya selalu mendebat impiannya. Sangat
mustahil bagi keluarga yang berbeda kehidupan untuk disatukan.
        Kata-kata ibunya kembali melayang-layang memenuhi kepalanya,
Hiduplah dengan memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat
semua tidak akan sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba,



                                     45
kelak engkau harus siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah! Eric mengangkat
bahu dengan putus asa. Mau tidak mau ia mamaksa dirinya berkata, Kurasa
aku harus bersiap.




                                   46
9
                           Hutan Jalur Utara
       Malam akhirnya kunjung datang mempertegas senja. Eric merasa
sangat nyaman berada pada malam yang hanya diterangi cahaya lampu redup.
Satanic dengan muka masam muncul sekonyong-konyong dari dalam tanah.
Serombongan hantu minum teh sambil bersandar di pohon mengobrolkan
sesuatu.
       Beberapa diantaranya mengisi kesibukan dengan menyendiri tanpa ada
hantu lain yang iseng menyapanya. Para Ghaits lebih senang terbang
bergerombol mengikuti arus angin malam menyeret mereka. Eric dikejutkan
oleh anjing ceking nyaris tanpa bulu yang sibuk mendengking-dengking saat
Eric   lewat    di   depannya,   kemudian     sekonyong-konyong   hewan   itu
bertransformasi menjadi hantu. Ocupant, dengusnya.
       Semua ini adalah dunia yang tak pernah dibayangkannya. Mungkinkah
orang-orang yang masih hidup itu membayangkan kehidupan lain ini? Tidak!
Ini bukan urusan para manusia, sekali lagi, kita berbeda.
       Rumah-rumah manusia mulai tertutup rapat, jendela yang berjajar
terhalang gorden yang agak tebal. Beberapa rumah masih menyalakan lampu
utama yang sangat terang sementara rumah yang lain hanya menyalakan
beberapa lampu kecil dengan nyala redup.
           Eric yang sedang bertransformasi dalam wujud manusia sengaja
memainkan ayunan di taman yang dipenuhi desiran angin yang membawa
kabur dedaunan yang rapuh. Bunyi besi berkarat yang bergesekan membuat
orang penasaran sekaligus merinding. Gerombolan anak-anak berandalan
menghampirinya.
       "Apa kabar bocah?" tanya berandalan yang bertubuh besar dan
berambut keriting tergerai gimbal.
       "Kabar buruk karena kalian telah menggangguku!" Jawab Eric sembil
mengkontraksikan otot matanya.




                                         47
Berandalan bertubuh       kerempeng mendengus          kesal.   Tangannya
mengacak rambut Eric dengan kasar. Lusinan gelangnya saling bertabrakan
kemudian bersuara nyaring ditengah kesunyian malam. "Ini markas kami,
bodoh!"
       "Dan kau harus membayar denda," lanjut berandalan yang memakai
tindik pada hidungnya serta banyak kalung panjang dilehernya.
       "Ouch…bagaimana kalau aku tiba-tiba mengatakan aku bukan manusia
seperti kalian?" sahut Eric datar, seolah tidak peduli pada tiga berandalan itu.
       "maksudmu anak setan?‖ kata berandalan bertubuh kerempeng
disambut tawa anak yang lainnya.
       Tetapi sebentar kemudian ketiganya berhenti dan menampakkan wajah
keterkejutan luar biasa saat Eric ikut mengikik bersamanya.
       "Kau menantang kami, eh?" dengus yang bertubuh paling besar sambil
menghentikan ayunan Eric.
       "Tenang, Jim, anak itu tidak punya kekuatan apa-apa," kata berandaan
yang ditindik hidungnya pada kawannya yang bertubuh besar yang tampaknya
menyembunyikan kegelisahannya. Ia membidik dengan jari tengahnya.
       Mendadak angin bertiup begitu kencang, sampai - sampai semua
mainan di taman itu bergerak dengan sendirinya. Bunyi besi yang berdencit
terdengar bersahutan.
       Eric melayang di atas kepala para berandalan itu dan menjambak
berandalan yang berambut panjang dan bertubuh besar. Sementara dua
berandalan yang lainnya terbirit-birit menerjang semak dan menabrak tembok
hingga giginya patah.
       Hantu itu terkikik melengking. Ia melayang pergi menembus malam
bersamaan dengan semua mainan di taman yang berhenti berderak.
       Malam semakin larut dan Eric dapat melihat banyak hantu yang
berkeliaran. Terkadang mereka muncul, tetapi sebentar kemudian tiba-tiba
menghilang. Dia tetap menyamar sebagai manusia meskipun hantu lain
menatapnya sinis.




                                       48
Ia menghabiskan waktu dengan berjalan menembus malam di bawah
sinar lampu jalan yang kadang-kadang mulai meredup. Sampai akhirnya tiba
ditempat yang jarang ditemukan rumah manusia. Hanya pohon oak
disekelilingnya dan semak yang tumbuh liar.
       Tetapi dibalik rerimbunan pohon oak dan semak, Eric samar-samar
mendengar senandung besi yang dipukul berirama dan jeritan wanita yang
melengking kemudian tiba-tiba letupan api pelan yang mengakhiri semuanya.
       Eric tidak memedulikan suara itu, dia berpikir itu adalah ulah kaum
Ocupant yang jahil berlebihan. Tetapi      ketika akan melangkah menjauh,
ledakan begitu keras terdengar mengerikan. Burung-burung yang sedang tidur
seolah terlonjak kaget dan beterbangan saling mendahului.
       Eric terhenyak mendengar nama keluarganya disebut-sebut. "Ghobadi...
aku merindukan kalian." Suaranya terseret–seret seakan tenaga telah terkuras.
"Ghobadi, bila kau berada disini, masuklah diantara semak-semak ke arah jalur
utara, berjalanlah lurus ke utara kemudian carilah pondok tua dengan dua
pohon cemara yang dulu pernah aku janjikan padamu."
       Eric melamun, menatap rerimbunan pohon oak, memikirkan sesuatu
yang tidak jelas. Dia baru tersadar ada Satanic yang melayang cepat
didepannya, kemudian menempeleng kepalanya tanpa ampun.
       Satanic itu menghilang sebelum Eric sempat melihat wajahnya. Eric
merasa tubuhnya berdesir seakan pikirannya kembali teringat dengan ibunya.
       Satanic berkelebat diantara pohon oak, malayang menembus semak-
semak. Ia mengambil jalan pintas dengan menabrak semua pohon sementara
Eric serasa sengaja dijadikannya berambisi mengejarnya dalam motif abu-abu.
                                     ***
       Eric tiba-tiba kehilangan Satanic yang melayang liar seperti elang yang
buta matanya. "Hantu yang menyebalkan!‖ dengusnya.
       Suara yang sama sekali tidak merdu membantunya memahami
kesadaran pada sekitarnya. Dia sedang dikelilingi ratusan katak yang
berloncatan setinggi kepalanya.




                                     49
Geogle itu merapatkan kedua kakinya, kemudian melayang menjauh.
Eric merasakan mata kodok-kodok itu terus mengawasinya.
       "Turunlah Ghobadi ! Kelakuanmu tidak sopan!" hardik sebuah suara
yang tampaknya berasal dari dalam pondok tua itu. Eric mematung sejenak
memahami suara itu.
       Ia kemudian mendengus kesal. Aku hantu jadi tak perlu takut siapapun.
Ia mendekati pondokan itu kemudian berdiri di depan pintu yang terbuat dari
akar-akaran. "Sekali lagi kuperingatkan. Berlakulah yang sopan!" Suara itu
terdengar lebih kejam dari sebelumnya. ―Bertatakramalah seperti manusia.‖
       Tetapi Eric terlanjur menembus pintu dan mendapati tempat yang
begitu berantakan dan jorok.      Ia melecutkan pandangan ke arah tungku
perapian, dan dijumpainya seorang perempuan tua duduk di atas kursi yang
dilapisi tiga buku tebal. Seekor kucing persia tidur di atas pangkuannya.
       "Ghobadi aku selalu menunggumu. Kau adalah keturunan terakhir.
Yang paling akhir.‖
       Si kucing melompat terkejut saat makhluk tua itu beranjak dari
kursinya. Ia berjalan dengan tongkat yang tingginya hampir menyamai atap
pondoknya. Ukuran tubuhnya tidak melampaui separuh dari tinggi tubuh Eric.
Perlahan ia mendekati hantu yang sedang diliputi perasaan tidak nyaman dan
begidik.
       "Aku bukan hantu sepertimu," katanya dengan cepat membaca pikiran
Eric. "Aku peramal dari bangsa Moro yang berpihak dengan dunia manusia,
disaat yang lain selalu bersembunyi."
       "Apa anda tinggal sendiri, maksud s-saya selain dengan k-kodok?"
tanya Eric menyembunyikan rasa frustasi. Ia jijik dikelilingi ratusan kodok
yang bermata besar dan menonjol.
       Peramal itu mengikik ganjil lalu berdeham dan berhenti sejenak,
―Angan-anganmu terlalu tinggi, nak. sementara kau tidak pernah memikirkan
resikonya," katanya dengan tajam. ―Kau mudah dijebak. Kau datang kemari
bukan karena hatimu, tapi emosi dalam jiwa.‖




                                        50
Eric serasa ingin muntah saat wanita renta itu mengambil kodok lalu
menjilatinya. "Aku bisa membaca pikiranmu".
       "Tentang kucing anda yang sedikit aneh dan kodok-kodok anda yang
sepertinya tidak senang saya di sini. Enng... ya itu yang sedang saya pikirkan,"
kata Eric sekenanya.
       "TIDAK!" hardiknya. Eric terlonjak, terkejut. "Bukan itu. Tapi kau
berpikir bahwa aku ini siluman kodok!‖
       Eric tak bisa berbohong, tetapi dia tidak mau mengiyakan. Ia
menggeleng tegas meskipun ia sadar peramal itu mengetahui pernyataan
palsunya. Nenek itu kembali duduk di kursinya yang selalu berdencit. Mata
kodoknya terus mengawasi Eric, membuatnya canggung. Dia memilin-milin
taplak meja yang dianyam dari tumbuhan lalu tiba-tiba saja matanya tertuju
pada sebuah kotak tua tertutup.
       ―M-maaf, sepertinya saya pernah bertemu dengan,‖ ujarnya. ―Anda.‖
       ―Ya. Namaku Geffon, penghuni hutan jalur utara.‖
       Eric berpikir keras. Ada bagian dari isi kepalanya yang masuk berjejal
tapi ia tak bisa meraih ingatannya. Rasanya sesak seakan ada yang melucuti
dosanya satu per satu lalu menghukumnya bertubi-tubi.
       Bayangan kelabu perempuan tua yang menabraknya berputar kuat di
kepalanya. Aku mendapatkannya, aku pernah bertemu dengan orang tua ini…
       "Sudah saatnya kau pergi, Ghobadi!"
       Eric terhenyak. Pergi? Hei dia mengusirku setelah mengundangku
dengan paksa. ―T-tapi s-saya masih ingin bertanya pada anda. Bagaimana
anda…‖
       wanita tua itu mengetukkan tongkatnya kelantai. Eric terhempas angin
kencang yang seolah dihasilkan oleh getaran tongkat itu.
       Hantu itu hendak berpegangan pada meja namun hanya sempat meraih
taplaknya saja. Ia terhempas mengikuti arus angin yang liar. Dunia terasa
berputar dan terbalik cepat sekali seolah teori grafitasi bumi sudah tidak
berlaku lagi.




                                      51
Eric mendarat payah di jalanan yang sepi. Ia seperti baru saja
dijatuhkan dari langit sementara kotak sebesar dua buah apel itu terpental
beberapa meter dari tangannya.




                                   52
10
                           PAWANG HANTU
       Eric mendengus kesal ia bersusah payah menarik kakinya yang
terperosok menembus aspal kering. ―sialan!‖. Hantu itu mengumpat setelah
berhasil menyelamatkan kakinya. Ia memungut kotak usang yang tak berdebu
(sepertinya setiap hari di bersihkan), mengamatinya dengan mata terpicing.
       Benda itu memiliki banyak ukiran rumit. Berwarna emas kusam dengan
rantai kecil yang mengelilingi tutupnya. Eric berusaha membaca huruf yang
terangkai melingkar pada alas kotak itu. "HE-LLUVA-GLOW.‖ Kotak itu
tiba-tiba membuka sedikit namun sedetik kemudian menutup kembali.
       Eric berdecak sebal—memasukkan Helluvaglow ke dalam saku mantel
dalamnya sambil bersiap melangkah pergi. Secara bersamaan ia merasa ada
sesuatu yang memukul punggungnya dengan sangat keras dan bertenaga
sampai-sampai ia hampir terjerembab.
       "Kau meninggalkanku diam-diam," sembur Hayden marah-marah.
Matanya yang sipit melotot sejadi-jadinya. "Ini dunia manusia— hati-hati
dengan segala sesuatunya."
       "Maksudmu?" tanya Eric dengan kesal.
       Sebuah Land Cruiser hitam melaju dengan kecepatan tinggi menabrak
dua makhluk itu dari belakang. Hayden melolong tertahan, suaranya seperti
tercekik. Benda itu berhasil menembus awaknya.
       ―S-seharusnya kita pura-pura mati saja.‖ Kukunya yang panjang
menggaruki kepalanya dengan frustasi.
       ―Kita kan memang sudah mati. Ngapain masih pura-pura?‖
       ―Ya dewaaa... kenapa kau nggak pernah bisa mengerti dengan sekali
penjelasan?‖
       ―Oh, kau sedang menjelaskan?‖ sahut Eric datar. ―Kalau begitu
bicaralah intinya saja.‖
       Land Cruiser berdencit membelok kembali ke arah Eric dan Hayden.




                                       53
―P-pawang hantu itu...‖ kata Hayden dengan suara gemetar. "M-
mungkin sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini...‖
       "Kenapa?" protes Eric keras kepala. "Kita ini hantu dan dia manusia.
Kau bisa sihir. Jadi nggak usah takut.‖
       "T-tapi ppepedang itu di tangannya— s-sekarang..."
       Eric terdiam sambil berpikir keras. Ia beradu pandang dengan pawang
hantu itu dan perasaannya sangat tidak menyenangkan. ―Auranya seperti
hendak mencabik.‖
       "I-itu Bisolgedhi," teriak Hayden seraya menyambar lengan Eric sekuat
tenaga. ―Pawang hantu!‖
       "Kurasa dia berbahaya," celetuk Eric semenit berikutnya. "Aku bisa
melihat dari matanya."
       "Oh, Dewaaa!" Kata Hayden dengan dongkol. "Kurasa itu yang aku
katakan dari tadi. Apa kau bisa melayang sendiri tanpa bantuanku?"
       Eric nyengir tapi kemudian memasang wajah serius. Mereka melesat
kabur. Bisolgedhi, si pawang hantu, mengejarnya bersama Land Cruiser yang
berlari sekencang kuda menerobos apa saja yang menghalangi jalannya.
Termasuk pagar taman.
       Hayden begitu sangat menderita melayang dengan kecepatan melebihi
kemampuan maksimalnya. Kondisi badannya yang sangat gemuk membuatnya
terseok-seok. Sementara Bisolgedhi mengejarnya dengan beringas seolah dia
mendapatkan mangsa yang diharapkan.
       "Kita kembali ke Snowvus sebelum semua terlambat," raung Hayden.
―Kau tahu di mana letak cermin ke mana saja diletakkan?‖
       Eric menyambar lengan Hayden. Mereka bersembunyi di balik semak-
semak. "Aku bersumpah tidak akan kembali ke snowvus sebelum menemukan
ingatanku lagi," desah Eric dengan nada tajam.
       "Tapi hanya di sana kita bisa aman!" protesnya dengan tak sabar.
       "Aku tidak peduli," kata Eric keras kepala sambil mengibaskan tangan
ke arah Hayden. "Aku tahu tempat yang bagus untuk bersembunyi. Percaya
padaku!"



                                          54
Kali ini Hayden menyerah, ia rela berhenti mengomel untuk sementara.
Mereka menggeliat di antara kapiler besi. Menjatuhkan diri di gorong-gorong
yang sempit.
       "Bersiaplah ...kita akan jatuh," kata Eric secara mendadak.
       "AAARRGGHHH...!!!
       Mereka memekik tertahan. Hayden dan Eric terperosok diantara pipa
saluran, meluncur liar mengikuti arus.
       Hayden mengerang. Pantatnya terperosok ke dalam tanah sementara
pakaiannya terkena cipratan comberan yang menjijikkan. "tempat yang jorok,
ini seperti dunia tikus, kalau aku benar menebak, di sini adalah comberan
bawah tanah—tempat kotoran... Ouh..."
       Eric nyengir sambil pura-pura batuk untuk menahan tawanya. "Aku tadi
kan menyuruhmu untuk bersiap jatuh! Tapi sudahlah, Bisolgedhi tidak
mungkin menyusul kemari."
       Hayden mendengus. Dia berusaha menghindari kerumunan tikus yang
bersusah payah menggerayangi tubuhnya. Tikus-tikus itu sepertinya putus asa,
mereka seperti hanya menggigit angin kosong.
       ―tampaknya kau menjadi daging yang paling lezat untuk ukuran
mereka,‖ kata Eric sambil membantu Hayden menarik pantatnya yang
tenggelam di tanah.
       Setiap hewan diprediksi mampu merasakan bahkan melihat kehadiran
hantu di sekelilingnya. Tetapi disisi lain mereka ragu untuk menyerangnya atau
mengajak berteman tanpa komunikasi yang jelas—hanya dengan sedikit
koneksi yang sama untuk menyamakan frekuaensi dengan alam lain.
       ―Kenapa tidak memakai jampi tembus batas yang dimiliki setiap hantu,
aku kan juga hantu...‖ omel Hayden setelah ia berhasil menyelamatkan
pantatnya.
       ―Bersyukurlah saja, pantatmu tidak gepeng.‖
       "Omong-omong kehilangan pantat jauh kebih baik dari pada dikurung
dalam Naigan - pedang perak yang paling mengerikan milik Bisolgedhi." kata
Hayden. ―Aku terperangkap di sana dan luar biasa menderita?‖



                                         55
"Naigan? kau pernah dikurung di dalamnya? Jadi pedang itu bisa
memakanmu?"
       Hayden bergumam. "Dia menghisap bukan memakan,‖ kata Hayden
dengan mata yang dipaksa melotot. "Aku disiksa habis-habisan tanpa henti.
kau tahu ? tanpa henti! sampai aku bersedia menjadi anak buahnya untuk
melaksanakan semua perintah pawang bedebah itu."
       Eric diam seakan sedang mendengarkan setiap suara Hayden dengan
detil, tapi sebenarnya ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Seberapa bahayakah
dia? Dia tak berarti apa-apa tanpa pedang penghisapnya.
       "Sebuah keberuntungan menyertai! Master Quarenci datang untuk
menolongku dan berkat kehebatan kakekmu, aku selamat. Sebelumnya aku tak
pernah berharap untuk melihat kastil Snowvus tercinta lagi setelah pawang itu
menangkapku."
       Eric hanya bergumam, membiarkan Hayden meneruskan ceritanya
sambil berjalan menghabiskan malam itu.
       "Setelah bersumpah menjadi anak buahnya, otakmu akan dicuci lalu
dimodifikasi agar mampu membantu menciptakan kesenangan pribadi dan
hura-hura manusia."
       "Hura-hura, eh?" Eric mengernyit.
       "Hem! manusia membutuhkan makhluk gaib untuk mengejar
keberuntungan. Pada pertandingan sepak bola, Bisolgedhi menggunakan
kelemahan hantu tawanannya untuk membantu klub Persabu selama
pertandingan itu. Akibatnya klub Persabu menang tidak wajar." kata Hayden,
bersemangat.
       ―Tunggu sebentar!‖ Eric bergaya memegang kepalanya. ―Aku ingat!
Aku ingat. Aku bisa mengingatnya!‖
       Hayden berbinar. ―Ingatanmu sudah ingat?!‖
       Eric mengangguk kuat-kuat sambil memeluk Hayden. ―Aku bisa
mengingat tim sepak bola andalanku! Persabu yang hebat itu berkat menjual
nama Callisto Treton…‖




                                     56
Sebelum meninggal Eric benar-benar penggemar Persabu dan pada
setiap penampilannya selalu disertai ritual untuk menciptakan gol. Ia terlalu
mengelu-elukan Callisto Treton, pemain andalan Persabu yang memiliki
tendangan di atas standar normal.
       ―Ingatan yang lain?‖
       ―Yang lain tidak ada,‖ ujar Eric dengan muram.
       ―AARRGGHH…Itu namanya bukan berhasil mengingat,‖ sahut
Hayden sambil menggaruk lehernya yang tak gatal. ―Itu memori sekunder yang
tidak akan hilang meskipun kepalamu hilang.‖
       Mereka terdiam sesaat, suara air kotor yang menetes terdengar nyaring
ketika bersenDewaa dengan pipa besi.
       Eric tertunduk.
       ―Sudahlah, sobat. Kelak kau pasti berhasil menemukan dirimu yang
sebenarnya.‖
       "Hey omong-omong, dari mana kau tahu aku menyelinap ke dunia
manusia?" tanya Eric dengan cepat.
       Hayden melirik Eric. "Tentu saja kakekmu yang memberitahuku. Kau
pikir Mame Granyo yang memberitahuku?"
       Eric menatap Hayden terkejut. "Kakek bercerita banyak tentangku,
eh?"
       "yah - bahkan semua tentangmu. Katanya semua keturunan Ghobadi
tidak bisa bersatu."
       "APA?‖ sembur Eric dengan murka.
       "Tapi Master Quarenci berusaha membuat perhubungan jiwa lewat
aliran darah keturunan. Peramal Geffon - kau tahu dia? bangsa manusia yang
dikutuk menjadi peramal oleh kaum Moro akibat kesalahan luar biasa yang
dilakukannya.‖
       ―Kakek bilang begitu?‖
       ―Eeng... bukan. Itu gosipnya,‖ sambung Hayden cengar-cengir. ―Tapi
memang Geffon itu....ber-ba-ha-ya!‖




                                       57
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost
Halmahera , the ghost

More Related Content

What's hot

What's hot (20)

Cerita kebijaksanaan hud hud(mtq 2013)
Cerita kebijaksanaan hud hud(mtq 2013)Cerita kebijaksanaan hud hud(mtq 2013)
Cerita kebijaksanaan hud hud(mtq 2013)
 
13. suling naga
13. suling naga13. suling naga
13. suling naga
 
Tujuh pemuda yang beriman (versi updated)
Tujuh pemuda yang beriman (versi updated)Tujuh pemuda yang beriman (versi updated)
Tujuh pemuda yang beriman (versi updated)
 
Bola kristal
Bola kristalBola kristal
Bola kristal
 
Cerita hud hud
Cerita hud hudCerita hud hud
Cerita hud hud
 
Hikayat
HikayatHikayat
Hikayat
 
Kisah para peminang_bidadari
Kisah para peminang_bidadariKisah para peminang_bidadari
Kisah para peminang_bidadari
 
Cerita dongeng dunia
Cerita dongeng duniaCerita dongeng dunia
Cerita dongeng dunia
 
Adit
AditAdit
Adit
 
Bu Kek Siansu Jilid 2
Bu Kek Siansu Jilid 2Bu Kek Siansu Jilid 2
Bu Kek Siansu Jilid 2
 
Tugas kmr
Tugas kmrTugas kmr
Tugas kmr
 
Kisah moncong pahit
Kisah moncong pahitKisah moncong pahit
Kisah moncong pahit
 
Cerpan keluar dari lingkaran kegelapan
Cerpan keluar dari lingkaran kegelapanCerpan keluar dari lingkaran kegelapan
Cerpan keluar dari lingkaran kegelapan
 
Ahmad hizqil tugasan
Ahmad hizqil   tugasanAhmad hizqil   tugasan
Ahmad hizqil tugasan
 
Sultan hb ix ditilang
Sultan hb ix ditilangSultan hb ix ditilang
Sultan hb ix ditilang
 
Harga sebuah kejujuran
Harga sebuah kejujuranHarga sebuah kejujuran
Harga sebuah kejujuran
 
Qishosh.pptx
Qishosh.pptxQishosh.pptx
Qishosh.pptx
 
Hikayat
HikayatHikayat
Hikayat
 
Pemburu
PemburuPemburu
Pemburu
 
Iblis dan alamnya (4)
Iblis dan alamnya (4)Iblis dan alamnya (4)
Iblis dan alamnya (4)
 

Similar to Halmahera , the ghost

Sepasang pedang iblis kho ping hoo
Sepasang pedang iblis kho ping hooSepasang pedang iblis kho ping hoo
Sepasang pedang iblis kho ping hooSariyanti Palembang
 
Pendekar pedang akhirat
Pendekar pedang akhiratPendekar pedang akhirat
Pendekar pedang akhiratahfa42
 
Menganalisis unsur instrinsik cerita rakyat
Menganalisis unsur instrinsik cerita rakyatMenganalisis unsur instrinsik cerita rakyat
Menganalisis unsur instrinsik cerita rakyatKurniapeni Rahayu
 
08. sepasang pedang iblis
08. sepasang pedang iblis08. sepasang pedang iblis
08. sepasang pedang iblisDody Irawan
 
Cerita rakyat watu dodol
Cerita rakyat watu dodolCerita rakyat watu dodol
Cerita rakyat watu dodolahmad Subbanul
 

Similar to Halmahera , the ghost (7)

Sepasang pedang iblis kho ping hoo
Sepasang pedang iblis kho ping hooSepasang pedang iblis kho ping hoo
Sepasang pedang iblis kho ping hoo
 
Pendekar pedang akhirat
Pendekar pedang akhiratPendekar pedang akhirat
Pendekar pedang akhirat
 
Menganalisis unsur instrinsik cerita rakyat
Menganalisis unsur instrinsik cerita rakyatMenganalisis unsur instrinsik cerita rakyat
Menganalisis unsur instrinsik cerita rakyat
 
Cerita pendek kanak
Cerita pendek kanakCerita pendek kanak
Cerita pendek kanak
 
08. sepasang pedang iblis
08. sepasang pedang iblis08. sepasang pedang iblis
08. sepasang pedang iblis
 
-
  -  -
-
 
Cerita rakyat watu dodol
Cerita rakyat watu dodolCerita rakyat watu dodol
Cerita rakyat watu dodol
 

More from Noi Everain

Indonesia 2014 salary guide hires
Indonesia 2014 salary guide hiresIndonesia 2014 salary guide hires
Indonesia 2014 salary guide hiresNoi Everain
 
What do they say about muhammad rosulullah
What do they say about muhammad rosulullahWhat do they say about muhammad rosulullah
What do they say about muhammad rosulullahNoi Everain
 
Linkin Park Quotes
Linkin Park QuotesLinkin Park Quotes
Linkin Park QuotesNoi Everain
 
Can You Guess WHO?
Can You Guess WHO?Can You Guess WHO?
Can You Guess WHO?Noi Everain
 
11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL
11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL
11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOLNoi Everain
 
Pidato yang mengguncang dunia
Pidato yang mengguncang duniaPidato yang mengguncang dunia
Pidato yang mengguncang duniaNoi Everain
 
Reflection of dreams
Reflection of dreamsReflection of dreams
Reflection of dreamsNoi Everain
 

More from Noi Everain (11)

Indonesia 2014 salary guide hires
Indonesia 2014 salary guide hiresIndonesia 2014 salary guide hires
Indonesia 2014 salary guide hires
 
Orde Blackhole
Orde BlackholeOrde Blackhole
Orde Blackhole
 
What do they say about muhammad rosulullah
What do they say about muhammad rosulullahWhat do they say about muhammad rosulullah
What do they say about muhammad rosulullah
 
Linkin Park Quotes
Linkin Park QuotesLinkin Park Quotes
Linkin Park Quotes
 
Can You Guess WHO?
Can You Guess WHO?Can You Guess WHO?
Can You Guess WHO?
 
11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL
11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL
11 rules YOU WILL NEVER LEARN IN SCHOOL
 
Pidato yang mengguncang dunia
Pidato yang mengguncang duniaPidato yang mengguncang dunia
Pidato yang mengguncang dunia
 
Reflection of dreams
Reflection of dreamsReflection of dreams
Reflection of dreams
 
Dare to be you
Dare to be youDare to be you
Dare to be you
 
Skripsi
SkripsiSkripsi
Skripsi
 
Even when
Even whenEven when
Even when
 

Halmahera , the ghost

  • 2. Bab 0 Kaum Moro Kelam telah menunggangi langit diantara bayang-bayang belantara. Permainan kolosal saling bersiul dari sisi tersembunyi hutan yang bertaburan di punggung pegunungan daratan tertua. Terdengar alat musik tiup suku purba pedalaman yang tak ingin tertemukan. Mereka mengisolasikan diri di rimba Halmahera. Dan membantah dunia luar yang asing. Tampaknya segala ritual pemanggilan pemilik alam ruh untuk melindungi mereka lebih mendominasi sikap bijaknya. Beberapa orang meragukan keberadaan mereka, tak tersentuh dan ada larangan telak untuk membicarakannya. Ruh hitam telah menganggap bangsa itu dalam kesatuan mereka. Merekalah bangsa terdalam Moro. ―Tanah kita dirampas. Biri-biri itu akan memakan rumput kita!‖ Salah satu dari mereka menyeruduk pemukiman yang berupa tenda akar liar. Kaumnya mengikut sambil menghapus jejak kehidupannya. Sekejap semuanya telah kosong. Perdu dan pohon pun bersekongkol menyimpan rapat-rapat rahasia mereka. Mereka bersembunyi tak begitu jauh. Bahkan hanya sehasta dari para ―biri-biri‖ berkuda itu menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Satu dari mereka melompat dari punggung kuda. Ia membuka kerudung kebesarannya. Wanita itu menatap pilu seseorang yang masih saja tegak di atas tunggangannya. ―Apa kau yakin meninggalkanku di sini?‖ suaranya mengiba. ―Geffon, tak ada pilihan lain. Koloni Van Wierk telah melewati batas pelabuhan…‖ ―Al, tapi mereka tak akan merampas apapun dari kita.‖ ―Benar.‖ Pria di atas kuda itu melanjutkan. ―Tapi Portugis yang akan memotong lidah siapa saja yang berdamai dengan selain mereka.‖ ―Lalu apa yang kau pilih?‖ 1
  • 3. ―Kebebasan.‖ ―Hanya itu, Al?‖ ―Aku seorang Raja Halmahera. Dan pilihanku adalah kehidupan kalian semua diatas jiwa yang utuh.‖ Jawaban itu terdengar seperti bisikan keras. ―Tak ada pilihan terbaik. Selain berperang.‖ Pria itu memutar kudanya. ―Tunggu Al…‖ si wanita berusaha meraih kaki sang raja. ―Sebentar lagi kau akan memiliki…‖ Suaranya teredam derap kuda yang berlari dan ia menelan kalimatnya yang belum berakhir. Sebentar lagi kau akan memiliki anak, ia melanjutkan kata-kata itu untuk dirinya sendiri. Geffon melihat ke sekitar hutan, angin kecil melewati telinganya, seperti memberi bisikan yang menyuruhnya lari. Lari jauhlah, segera menjauh…‖ Dan bisikan itu berakhir. Bisikan itu benar, seharusnya ia berlari. Tapi terlambat untuk sekarang. Para makhluk berkoteka mengepungnya. Entah dari mana mereka muncul, tampaknya mereka meyusup begitu saja dari penglihatan. Tangannya pendek sebatas dada, sementara kakinya kurus melengkung setinggi kuda. Dengan mata tanpa biji hitam, mereka menumpulkan tatapan ketakutan mangsanya. ―Sebaiknya kita apakan biri-biri ini?‖ Salah satu dari mereka bertanya pada yang berjanggut penuh. Si janggut penuh mencabut pisau dari belitan kain di pinggang menggunakan kakinya. ―Biri-biri layak dibunuh.‖ Ia membidik sasarannya. Dan seorang wanita dari kaum Moro mencegah pisau itu meluncur mengoyak. Ia berbicara dengan bahasa isyarat bibir tanpa suara. ―Baiklah. Kita biarkan dia dan anaknya hidup sampai pada waktunya.‖ Ia berbalik sambil meludah. Si wanita Moro medekat kepadanya. Geffon mundur perlahan dengan takut. ―Beruntung kau sedang hamil. Mari ikut aku,‖ katanya tanpa bahasa isyarat. 2
  • 4. Geffon mengikuti wanita itu menyeruak diantara kaum Moro yang menatapnya dengan kebencian. ―M-mengapa kau menolongku?‖ ―Aku tidak menolongmu.‖ Suaranya serak. ―Aku hanya memberitahu kebenaran. Ada aturan kuno bagi kami, salah satunya adalah larangan membunuh biri-biri yang tidur di dalam gua.‖ ―Biri-biri?‖ Geffon mengerut. ―Engkau dan sebangsamu bagi kami adalah biri-biri.‖ ―Lalu sampai kapan aku dan anakku dibiarkan hidup?‖ ―Sampai pada masanya.‖ ―Masa?‖ Wanita Moro itu mengangguk. ―Kami menunggu biri-biri itu keluar dari gua.‖ ―Tidak…!‖ Geffon tiba-tiba menjerit. Ia hendak berlari namun si wanita Moro lebih dahulu menelikung tangannya dengan kaki. ―Biarkan aku pergi. Anakku harus tetap hidup…‖ Wanita Moro itu menepis kata-kata Geffon. ―Aku akan mengajarkanmu ilmu ramal. Suatu saat yang kau miliki itulah yang menjadikan kalian hidup.‖ 3
  • 5. Bab 1 ‖Tak sangka, lelakilah yang keluar dari perempuan itu.‖ Si wanita Moro memberikan bayi itu pada kepala tua. ‖Jangan bunuh dia,‖ suara lemah Geffon menghentikan si kepala tua yang nyaris membanting bayi laki-laki itu. ‖Aku sudah menjadi bagian dari kaum kalian. Aku bisa melihat masa depan kaum kita akan keluar dari persembunyiannya dan hidup normal seperti manusia lainnya. Kita akan menjadi raja diantara kaum mereka. Dan raja itu adalah bayi laki-laki ditanganmu itu.‖ Lima pasang mata di ruang itu melompat kepadanya lalu melihat sang kepala tua dengan keterkejutan yang sama. ‖Itu benar,‖ si wanita Moro menambahkan. ‖Dia mewarisi ilmu ramalanku dengan baik. Dia menjadi bagian kita.‖ ‖Tapi bayi ini bukan kaum kita.‖ ‖Suatu saat dia akan menjadi yang terbaik diantara kita,‖ kata Geffon. ‖Aku berjanji.‖ ‖Kenapa kita harus percaya padanya?‖ seorang Moro lain berteriak. ‖Ada larangan besar bagi peramal untuk berdusta,‖ kata si wanita moro mematahkan keraguan mereka. ‖Lalu apa rencanamu, Geffon?‖ ‖Aku akan membiarkan sungai membawanya kepada bapak yang telah membuangnya.‖ *** ‖Anak siapa ini?‖ Seorang dayang datang tergopoh-gopoh memberitahukan pada permaisuri yang mandi tak jauh darinya. Sungai tiba-tiba meramai oleh dayang-dayang yang berkerumun ingin melihat apa yang terjadi. Permaisuri menggendongnya membawa ke istana dan ia merajuk pada raja untuk mengangkat bayi itu menjadi anak mereka. 4
  • 6. ‖Al bayi ini tak ada berbahayanya sama sekali. Apa yang salah jika kita mengangkatnya jadi anak?‖ Sang permaisuri berkata. ―Toh engkau tak punya keturunan yang akan meneruskan tahtamu.‖ Sang raja menghela nafas dengan berat. ―Beri dia nama Quarenci Ghobadi.‖ *** 27 Tahun Berlalu. Bayi itu mendewasa, dan ia telah menemukan kehidupannya. Tentang bagaimana ia dibuang dan kembali pada bapak yang tak pernah tahu bahwa ia memiliki seorang anak kandung. Begitulah hingga akhirnya Quarenci menjadi raja Halmahera menggantikan Al. Ia berusaha keras mempersatukan kaum Moro dengan kaumnya saat pergolakan diantara perbedaan mereka tak bisa berbaur. Kaum Moro yang bersatu dengan manusia menamakan dirinya pengikut muslim. Sementara mereka yang tak ingin bersekutu dengan manusia, memilih tetap berada dalam belantara dan tak tertemukan. Hingga suatu masa, lahir putra kedua Quarenci. Ketika itu menginjak tengah malam, dan Quarenci memacu kudanya ke dalam hutan. Raja itu menitipkan bayinya pada kaum Moro suku terdalam. Mereka menyambut bayi itu dengan dendam tersembunyi. ―Kenapa kau memberikannya pada kami?‖ ―Jika aku memiliki dua anak maka kerajaanku harus dibelah menjadi dua. Aku tak ingin semua itu terjadi.‖ ―Bagaimana jika kami membunuhnya?‖ ―Tak masalah bagiku. Tapi ramalan Geffon mengatakan bayi itu akan mendewasa dan menjadi seorang pemimpin diantara kalian.‖ Waktupun berlalu. Quarenci telah menginjak tua, dan anak pertamanya Togu Ghobadi mewarisi tahta kerajaan seutuhnya. Ramalan Geffon mengatakan kebenaran bahwa bayi yang terbuang itu akan menjadi pemimpin bangsa Moro yang membelot dari kodratnya. Namun ramalan itu tak mengatakan malapetaka besar yang akan terjadi. 5
  • 7. Dendam masa lalu yang membuat Kaum Moro terpecah memicu perang saudara demi merebut wilayah kekuasaan. Quarenci terbunuh ketika ia sedang tertidur. Salah satu penyusup menikamkan pisau bengkok ke lehernya. Sementara itu Togu dan Ona Ghobadi melarikan dua anak mereka pada salah satu pedagang yang hendak berlayar ke luar pulau. ―Nama bayi itu Eric Ghobadi,‖ kata Togu. ― Dan anak perempuan ini Flori.‖ Ia melempar sekantong emas pada lelaki di atas kapal. ―Aku akan mengambilnya saat ia dewasa. Dan aku akan membayarmu dengan harta yang lebih banyak lagi jika kau merawat mereka dengan baik. Aku berjanji‖ ―Bagaimana kau bisa menemukanku?‖ ―Aku Togu Ghobadi, keturunan Geffon.‖ ―G-geffon...?‖ lelaki itu memucat. ―Dia peramal yang menyebar kutukan pada kaum pendatang di sini.‖ Dengan segera ia melempar kantong uangnya seperti membuang bara api dari telapak tangannya. ―Untuk tiga kantong emas?‖ Pedagang itu tetap menggeleng. Ia menarik jangkarnya bersiap meninggalkan daratan. ―Sepuluh kantong emas?‖ kata Togu dengan putus asa. ―Penawaran terakhir.‖ Lelaki itu menoleh. ―Untuk sepuluh kantong emas.‖ *** 6
  • 8. 2 Kematian yang terlupakan Pagi ini sedingin es setelah hujan pertama di bulan Juli. Orang-orang berlalu-lalang dengan mantel bulu domba besar-besar. Memasukkan kedua telapak tangan dengan rapat pada saku mantel. Beserta kerudung kepala kebesaran, mereka berjalan pelan, tertunduk dan gemetaran. Kelihatannya mantel mereka tidak mampu menghalau hawa dingin yang terlampau parah. Seorang wanita tua nyaris terjerembab karena menginjak mantelnya sendiri yang menjumbai menyapu tanah. Tetapi ia beruntung telah menabrak seorang anak laki-laki yang berjalan di depannya. Anak itu terhuyung dengan kepala yang tetap tertunduk. Tampaknya ia tidak ingin memperlihatkan wajahnya pada orang lain. Penampilannya tidak seperti orang yang berniat keluar rumah. Ia mengenakan kaos tipis yang bersembunyi di balik mantel lusuh, celana jins yang tidak menutup mata kakinya, dan sepatu kets berlubang yang memperlihatkan ujung jarinya setiap ia berjalan. Ia bersusah payah menahan dirinya agar tidak menggigil, tapi tampaknya kerja keras itu sia-sia. "Oh, maaf, nak!" kata wanita tua itu sambil membetulkan letak kaca matanya yang merosot. Kelihatannya kaca mata itu terlalu besar untuk ukuran wajahnya yang mungil. Sekilas wanita tua itu memperhatikan anak laki-laki yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan fatal bagi para manula yang terjatuh. Mata tua yang tampak letih itu menyusur ujung kaki hingga ujung rambut lawan bicaranya. ―Siapa namamu, nak?‖ tanyanya. ―Kau sungguh mirip dengan anakku. Sungguh.‖ "Eric—Eric Ghobadi," jawabnya dengan sangat pelan hingga hanya terdengar seperti sebuah dengkuran. lalu si wanita tua mendekatkan telinganya ke mulut bocah itu. ―Apa? tidak dengar!‖ Ia berteriak jengkel. "Nama saya Eric, — Eric Ghobadi." 7
  • 9. "Kau menyakiti telinga. Aku belum tuli,‖ dengusnya. ―Aku hanya ingin memastikan kaulah Eric yang aku tunggu selama ini.‖ Eric menelan air liur yang tertampung dimulut. Diam-diam diamatinya perempuan tua itu, ternyata ia berukuran kecil tapi hentakan tenaganya sangat kuat. ―Namaku Geffon, penghuni hutan Halmahera utara.‖ Ia membenarkan letak kacamatanya lalu menatap Eric dengan menantang. Kelak kau akan mencariku. Aku akan mengikat batinmu denganku. Eric menarik nafas seakan ingin memegangnya erat-erat. Ia merasa seperti baru saja terbangun dari kematian saat mata Geffon memperbudak pikirannya. ―Aku ingin berpesan kepadamu," ia menarik telinga Eric kuat-kuat sehingga mulutnya dapat menjangkaunya dengan baik. Berbisik. "Gunakan pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu, karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada.‖ Ia berhenti sejenak, menjauhkan mulutnya dari telinga Eric lalu berbicara dengan nada yang sangat mendalam, menguliti tatapan Eric bagai hendak menundukkan penghuni matanya, ―Kau akan mengingat ini—tak akan bisa melupakannya. Meskipun kematian mejemput dan memori itu hilang..." Ia melanjutkan dengan bisikan sangat pelan hingga terdengar seperti ular yang mendesis, tetapi sanggup menyayat penghulu telinga, melesat cepat ke otak, dan membuat jantung berhenti berdetak sedetik. "Mungkin sebentar lagi!" Eric berjengit. Hatinya beku seketika. Bola matanya yang berwarna coklat tua mengikuti punggung Geffon yang bergerak menjauh. Menit berikutnya ia melanjutkan langkahnya dengan waspada. berjalan terhuyung, otaknya terlalu berat untuk memikirkan kata-kata wanita tua tadi.. Perutnya melilit dan ia tersadar belum mengisi perutnya sejak kemarin malam. Ia bersusah payah untuk tidak merintih namun tetap saja orang-orang yang melewatinya merasa kasihan. Eric berpikir dialah satu-satunya anak laki- laki berumur lima belas tahun paling menderita di seluruh dunia. 8
  • 10. Dunia ini adil pada siapa saja tapi tak pernah adil padaku. Itu adalah kata-kata yang selalu dia ucapkan. Sejak kecil ia hanya mendapati kisah tentang orang tua kandungnya telah membuangnya. Dan sesuatu yang paling membuatnya hancur adalah saudara perempuannya menghilang meninggalkannya. Di saat ia tak memiliki siapapun kecuali orang tua asuh yang menderita penyakit mental hingga tega menyiksanya secara tak wajar. Harapan Eric saat ini adalah bebas dari belenggu mereka. Lari sejauh yang dapat ia tempuh, hingga mereka tak bisa menemukannya. Terkadang ia menoleh ke belakang dengan cemas, ia selalu berhati-hati dan bersiap melompat ke semak apabila mendengar deru mobil seperti milik bapak asuhnya mengendap seakan hendak menyergapnya. Dada Eric tiba-tiba saja terasa sesak dan batuk menyerangnya bertubi- tubi. Seorang gadis menawarinya permen jahe. Eric menatap gadis yang terlihat lebih tua darinya itu—hampir mirip dengan ibunya. Rambutnya yang panjang berwarna hitam seperti miliknya melambai dipermainkan angin. Gadis itu tersenyum, ―Ini—ambillah!‖ katanya seraya melepaskan syal dari lehernya. Ia mendekatkan wajah lawan bicaranya lalu mengalungkan syalnya ke leher Eric. Liontin angsa biru yang mengepakkan sayap menggantung di depan mata Eric. ―K-kalungmu bagus.‖ Eric berhasil menemukan keberanian untuk berkata. ―Ini satu-satunya yang tersisa dari kepergian orang tuaku.‖ ―Kemana mereka?‖ Ia mengangkat bahunya. ―Mungkin disuatu tempat dimana mereka sangat merindukanku.‖ Gadis itu merogoh saku celananya kemudian membanjiri telapak tangan Eric dengan manisan jahe beku. ―Aku membuatnya sendiri.‖ Eric memaksa dirinya untuk tersenyum. Hatinya bergejolak ingin mengatakan sesuatu, Apa orang tuaku juga sedang berada disuatu tempat dan mereka sangat merindukanku? 9
  • 11. "Semoga kita bertemu lagi," kata gadis itu sambil melangkah menjauh kemudian berbalik untuk melambaikan tangan. Eric hanya membalasnya dengan senyum yang kering, tetapi inilah pertama kali ia menemukan senyum tulusnya. Ia menatap manisan jahe beku yang terbungkus plastik bening lalu mengulumnya, sisanya ia masukkan dalam saku mantel. Eric berharap tidak bertemu dengan orang ketiga yang mengajaknya mengobrol tentang apa yang sama sekali tidak dimengertinya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya ke arah tebing Tallanga. Tempat yang dulu pernah terjadi pembunuhan massal pada jaman Portugis. Tebing Tallanga berjarak dua kilometer dari Halmahera Utara. Kata banyak orang, Tallanga adalah tempat misterius yang menyimpan keindahan pada puncaknya yang tak semua orang berhasil mencapainya. Jika kau beruntung maka kau akan menemukan pemandu yang menunjukkan jalan menuju ke puncak. Kau bisa mengintip surga dari atas sana, begitulah kata orang-orang. Sayanganya para pemandu itu bukan menusia melainkan roh yang bermain dadu dengan kehidupan, jika engkau tidak beruntung maka mereka akan memakanmu. *** Ini adalah kali pertamanya Eric menginjakkan kaki di atas tanah Tallanga. Ia menyusuri jalan kecil yang menanjak dan berputar-putar seperti sebuah skrup. Di samping kirinya terbentang jurang yang bebatuan sering meluncur dari atas secara bergantian. Sementara itu kakinya tiba-tiba terasa sangat berat dan letih. Ia mendapati jalan yang ia lalui semakin sempit seperti kerucut. Jalan itu terpotong. Tidak ada jalur lain yang terhubung dengan potongan jalan yang ia lewati. Dia memutuskan memanjat dinding tebing yang batu-batunya mencuat seperti tangga. Eric tersengal kepayahan saat berhasil memanjat lima belas tingkat. Pada tingkat kesembilan belas, pegangannya terasa rapuh. Pandangan matanya kabur. Sesuatu dengan kekuatan yang sangat berlebih seakan mendorong dadanya. 10
  • 12. Sesuatu itu menyusup dalam ketakutannya. Eric tak kuasa meraih ranting yang mungkin dapat membuatnya sedikit bertahan hidup. Semuanya tak bisa dikendalikan dengan baik. Berlangsung sangat cepat dan menyakitkan. Dia tidak mampu berteriak, perasaannya serba berantakan. Kemeranaan seolah berhambur menyelubungi kalbunya yang rapuh. Seluruh kehidupan yang sama sekali tidak menyenangkan berputar-putar di dalam pikirannya. “Dia anak sial. Andai ia ikut mati saja bersama orang tuanya, kenapa harus kita yang mengasuhnya?” Ibu asuhnya, Tena, meneguk alkoholnya yang tinggal satu tetes lalu ia melempar botolnya ke arah Eric namun hancur berkeping-keping saat menabrak meja. Eric tergugu dalam ketakutan. Tak ada yang bisa menolongnya. Ia balik memandang Wartog, yang sedang menghabiskan batang rokoknya yang baru saja diambil dari bungkusnya. “Sang pengawas menitipkannya pada kita. Ingat, sayang, sang pengawas menjanjikan seluruh harta Ghobadi pada kita…” “Tapi kapan sang pengawasmu itu akan mengambil si idiot ini?”suara wanita itu tiba-tiba meledak. “Secepatnya. Segera…” “Aku sudah tidak tahan! Rasanya anak sial ini memperpendek umurku.” Jantung Eric berdebar cepat. Apa kiranya adegan yang akan terjadi berikutnya? Akan ditampar dengan ujung sepatu yang lancip itu, atau…Eric tidak mampu membayangkan hukuman omong kosong apa lagi yang akan ia terima. Ia berdoa agar salah satu dari mereka menusuknya dengan pisau atau melepaskan pelatuk pistolnya untuk mengakhiri semua ini. Tapi itu hanya akan terjadi jika ia membuat sedikit keonaran, “Yah, semoga mereka membunuhku malam ini…” Eric berlari ke arah pintu. Sial! Mereka menguncinya. “Siapa yang menyuruhmu pergi dari tempatmu, heh?” Eric menelan air liur banyak-banyak. Keringat ketakutan menghujani ubun-ubunnya. “Semoga mereka membunuhku,” rintihnya pada Dewaa. 11
  • 13. “Apa yang kau lakukan?” Tena mendesis di telinga Eric. Nafasnya yang berbau alkohol menyeruak tak sedap. “Kau ingin kebebasan?” Eric mengangguk kuat-kuat. “Apa kau bosan hidup?” “Ya!” Eric terkejut mendengar suaranya melompat menantang. Wartog menggeram. Saat itu Eric segera menyadari, ia telah melakukan kesalahan besar. “Sang pengawas akan marah besar jika aku mempersembahkan mayat untuknya. Jadi aku tidak akan membunuhmu, tapi menyiksamu adalah kenikmatan tersendiri bagiku.” Ia menjilat tengkuk Eric sebelum akhirnya tertawa keras-keras. Semenit berikutnya, pada periode yang tak Eric sadari, ia berteriak tak wajar saat si pria menyudutkan rokoknya ke tangan korbannya. *** Masa lalu kelabu beterbangan menghimpit relungnya. Aku tak ingin mengingatnya. Aku ingin mati dengan tenang. Eric merasakan seperti dihantam benda keras pada kepala belakangnya. Kemudian kegelapan mengambil alih kesadaran. Sesuatu mengejar jiwanya yang mencoba melawan. Sepasukan kata-kata yang merangsek ketidakteraturan otaknya. ―Gunakan pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu, karena yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada, dan yang kau lihat dengan mata tidak sejalan dengan hati.‖ Berkali-kali ia harus merelakan pikirannya dikubangi kata-kata mengerikan itu. Beberapa saat kemudian, tiga makhluk berkelebat membangunkannya. Cahaya tubuh mereka serasa menusuk jantung Eric. Salah satu diantara mereka menampakkan sesosok tubuh yang mirip manusia dengan kulitnya yang pucat masam, bibirnya merah tebal. Bermata sipit dan bertelinga mungil. 12
  • 14. Makluk yang satunya memiliki otot yang mencuat mengerikan. telinganya lebar menyerupai gajah. Bermata besar tanpa bola mata. Rambutnya keriting tak beraturan. Sedangkan yang lainnya berlidah panjang yang terjulur hingga dagunya. Ia memiliki tiga mata yang salah satunya terletak di dahinya yang menonjol. Bibirnya lebar kehitaman. Ia juga memiliki kaki yang panjang sebelah. Si makhluk berotot menyambar lengan Eric dengan keji. Sementara yang lainnya menatapnya tanpa ekspresi. Dimana aku? "Lepaskan aku!‖ Eric mencoba memberontak. Akan tetapi semakin ia bersusah payah memberontak, lengannya dipelintir hingga rasanya hampir putus. ―S-siapa kalian? Jangan paksa aku..." tidak ada satupun yang menggubris lolongannya. "Seret dia keluar!" kata salah satu dari mereka. Arus liar merasuk di sela kulitnya, menampar tulangnya, membekukan darah, dan menghisap kehidupannya. Eric merasakan dadanya sakit sekali bagaikan ditusuk dengan pisau dan lehernya tersumbat bagai dijerat dengan kawat bergerigi. "Kasihan. Dia mati dengan tidak wajar—sungguh roh yang malang,‖ kata salah satu dari tiga makhluk itu, sementara yang lainnya mengiyakan tanpa berkespresi. Eric terkesiap. Mulutnya seperti tersumbat bola golf. Ia segera tersadar. Raga yang terkapar itu adalah miliknya. Ia membuang mukanya dengan cepat. Kematian yang diluar dugaan. "Kau hampir terlambat ke pengadilan!" lolong makhluk berotot seraya menyambar lengan Eric. Mereka menghilang setelah menembus dinding batu yang berlumut. 13
  • 15. BAB 2 Pengadilan Pemutusan Nasib Eric menginjakkan kaki dengan perlahan di atas lantai batu. Tiga makhluk mengerikan yang selalu mengawalnya dengan cermat melayang satu inci dari permukaan tanah. Jubah gelap mereka menjumbai menyusur udara. Mereka memasuki gerbang yang menjulang menggapai awan hitam. Benda itu terbuka dengan hentakan dan menimbulkan suara yang berdebam mengagetkan. Eric disambut oleh ruangan temaram yang riuh oleh ocehan hantu-hantu yang duduk di atas kursi yang disusun mirip anak tangga. Kira-kira ada seribu hantu yang sibuk mengawasinya. Makhluk mata tiga seakan hendak melahap dengan matanya yang nyaris meluncur ke arah Eric. Ingin rasanya melarikan diri dari tempat itu, tapi ia membayangkan lengannya pasti kena pelintir si makhluk berotot itu lagi. Eric berjalan perlahan menuju kursi yang terbuat dari tali berjalin. Ia sangat terkejut, tiba-tiba saja kursi itu menyambar perutnya dan mendudukkannya dengan paksa. Hantu yang berjubah elit seperti hakim berkelebat sambil menenteng kitab tebal. Di belakangnya puluhan pengawal mengikutinya, sementara tiga makhluk tadi menundukkan badan hingga punggungnya membentuk 90 derajat sempurna pada sang hakim. Hakim itu membenamkan diri di atas singgasana yang tak terlihat. Diletakkannya kitab tebal di atas meja yang tak tampak pula. Eric terpesona dengan segala sesuatu yang melayang sempurna. Walau hati kecilnya berharap kejadian hari itu semuanya hanya ilusi. Bukan. Semoga semuanya mimpi di siang bolong. Namun tampaknya ia harus menerima kenyataan semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Ia melompat ketika ledakan meraung membenam keributan. 14
  • 16. "Sidang dimulai!" suara sang hakim menyeruak dibarengi lusinan lilin menyala hijau zamrud pada Chandelier. Eric meyakini ada tangan tak tampak yang mengukir batu prisma yang tergolek di depan makhluk itu. Hakim Ketua. Para hantu terdiam seperti ada sesuatu yang memaksa mereka menghentikan bisikan ribut yang tidak berguna itu. "Terdakwa, err... siapa nama anda, eh?" tanya hakim ketua dengan suara dingin. Eric bisa melihat urat-uratnya mencuat menabrak kulitnya yang berbuku-buku. Hantu itu sibuk membolak-balikkan kitab tebal tampak sedang mencari sesuatu yang maha penting. Sementara tiga makhluk berwujud mengerikan mendampingi di sampingnya. Eric terdiam. Tiba-tiba perasaannya mencelos. Ia seperti kehilangan sesuatu yang Maha besar. Tidak. Lebih tepatnya ia tidak tahu siapa namanya. Rasa-rasanya otaknya hanya berisi rongga udara yang berdesing ketika diterjang angin. Dia mencoba mengira-ngira namanya sendiri. Lupa nama orang lain itu biasa, tapi lupa nama sendiri kedengarannya sangat idiot. Okelah, Lano, nama Lano tidak ada jeleknya. Tapi Eric mengurungkan niat itu. ―Saya, err ... saya tidak tahu, eh tidak, saya lupa,‖ jawabnya ragu-ragu dengan penuh nada menyesal. ―yah, seperti itulah lebih tepatnya.‖ Eric benar-benar ingin menyerobot udara banyak-banyak lalu mengehembuskannya supaya lebih lega. Tapi ia hanya mendapati irama desingan merayap di kepalanya. Sejenak ia sadar. Ini kehidupan setelah kematian. Tidak! Para hantu melolong mencemooh, "Oh, kasus hilang ingatan lagi! "seru salah satu di antara mereka yang mulai tidak sabar. Tangan-tangan panjang yang menggelepar dari podium nyaris mencakar Eric jika saja si makhluk berotot itu tidak sigap mematahkannya. Dentuman mengagetkan meraung liar memaksa suasana kembali senyap. 15
  • 17. "Maaf, Yang Mulia, Nama saya Ona Ghobadi dan terdakwa tersebut adalah anak saya," seorang wanita berdiri dengan tergopoh-gopoh. Ibu? Eric tidak tahu dari mana datangnya wanita itu, tapi ia merasakan ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaannya ketika mendengar suaranya yang lembut. Ibu. Tiba-tiba saja ia sangat ingin memeluknya. "Dia bernama Eric Ghobadi." "Eric Ghobadi‖ Hakim ketua mengulang kata itu. Jemarinya dengan lincah membalik lembaran kitab. Kacamata besar bergagang tanduk rusa membenamkan matanya yang berkerut-kerut. ―Lahir bulan April hari ke dua belas tahun ke sembilan puluh. Anak kandung ke dua dari Togu Ghobadi.‖ Hakim itu melecutkan pandangannya ke arah Eric. Kacamatanya nyaris terjatuh karena hentakannya yang tak terduga. Ia berkata lagi dengan nada yang tajam, ―Aku telah mengetahui bagaimana kematianmu karena segalanya telah tertulis. Semua keturunan Ghobadi telah disumpah tentang bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati.‖ Eric mual mendengarnya. Ingin rasanya ia menyusut menjadi kecil lalu meringkuk dalam bola. Menurutnya ini adalah sebuah teori yang tidak masuk akal. Ia ingin berinterupsi namun kerongkongannya serasa kering dan tersumbat. Ia bersusah payah mengingat semua yang telah terjadi pada dirinya. Kepalanya menjadi semakin berat dan rasanya seperti mau meledak. "Hari ke sembilan bulan Juli tahun ke lima. Saudara Eric Ghobadi dinyatakan meninggal di Tebing Tallanga, pukul enam lebih enam puluh tujuh menit waktu pengadilan.‖ Mata hakim ketua mengawasi Eric, menunggu jawabannya. Eric mengangguk berpura-pura mengerti. Hakim keriput menggerung kemudian menulis sesuatu pada halaman tengah-tengah kitab tebal. "Dia kehilangan memori - kematiannya begitu tragis, seperti hidupnya yang merana," kata hakim keriput setelah selesai menulis. Mencelupkan bulu elang hitam ke dalam tinta merah. 16
  • 18. "Kau -er ... maksud kami, Saudara Eric Ghobadi. Berada dalam urutan lingkaran abu-abu. Hantu yang kehilangan memori. Bukan begitu, Ghobadi? Eric terkejut, dia sama sekali tidak memperhatikan hakim keriput berbicara. "Er ... maaf?" "Saudara berada dalam urutan abu-abu, di bawah Taro Kohara yang meninggal selang seperseributiga detik dari anda," jawab hakim keriput sambil mengawasi Eric dengan jengkel. Eric mengangguk seolah mengerti. Ia ingin semuanya cepat berakhir dan ia sesegera mungkin pergi dari tempat aneh itu. Hakim ketua mengalihkan perhatiannya pada pena bulu lalu menulis tak jelas pada kitabnya. "Saudara terdakwa harus menentukan takdir hidupnya, kehidupan akan terus berlanjut karena belum waktunya dunia tanpa batas menjemput anda.‖ Ia berhenti sejenak memandang Eric yang balas memandangnya dengan tatapan bosan. ―Saudara bisa memilih menjadi golongan Satanic Mask, mereka bergentayangan dan mengganggu manusia tetapi manusia tidak dapat menyentuh mereka. Sanggup membuat manusia memekik setengah sadar karena ketakutan. Kekuatan sihir standar. Hanya saja kelemahannya terletak pada cahaya alam. “Peri Ghaits, Si pemalas. Kehebatannya adalah dapat melakukan sihir di atas standar. Namun ia tak tahan dengan sinar alam, beberapa diantaranya lumpuh dan terbakar sia-sia karena ceroboh. “Lucifer. Tinggal tenang di gunung api bawah laut. Mereka menyebutnya api perairan. Lucifer merakit kendaraan berbeda dari hasil jarahan pada saat bintang muda Lucifer berada pada arah jam tiga dari bumi. Dan saat itulah api akan berhembus menembus perairan. ―Ocupant yang dapat bertransformasi menjadi hewan atau manusia, sayangnya mereka sangat licik, tetapi diantaranya terlampau baik sehingga mudah diperalat. "Patred, golongan hati pendosa, mereka yang misterius, sulit dideteksi dan roh para pengkhianat. Mereka bisa merubah diri menjadi wujud benda. 17
  • 19. “Geogle, Merekalah golongan tertinggi, dan satu-satunya yang berhak menjadi pewaris Emperor. Para roh yang memiliki hati ksatria, tangguh, dan teguh. Dunia kelam menyebutnya ksatria langit.‖ Hakim keriput menghentakkan palu batunya pada tatakan piringan hitam. ―Silahkan tentukan jalan hidup saudara dengan pertimbangan dan konsekuensi yang anda hadapi.‖ Eric terperanjat, ia yang sama sekali tidak mengerti apa yang dijelaskan baru saja. "Saya harap anda tidak membunuh waktu," kata hantu tua itu dengan suara bergetar. Matanya sibuk bercengkerama bersama kitabnya namun Eric merasa hakim itu sedang mengaduk otaknya. Perlahan telinga Eric menangkap sebuah teriakan kecil berdengung di telinganya. "Eric, anakku, jadilah Geogle! Ksatria langit adalah dirimu, takdir itu memang benar adanya." Eric membeku sejenak. Pikirannya bergejolak. Bergumam seakan sedang berunding dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan waktu untuk mencerna suara wanita yang baru saja didengarnya. Suara seseorang yang sepertinya sangat ia rindukan sejak lama namun tak ia dapatkan. Ibu. Desiran udara yang tak hadir seolah sedang mencekik kerongkongannya. Bibirnya membuka tanpa suara, pandangannya menyusur ruangan sidang dan ia mendapati ratusan makhluk di sekelilingnya sedang melotot tidak sabar. ―Geogle‖ geragapnya. Ia merinding mendengar kata-katanya sendiri. Meskipun suaranya tidak terdengar jelas tapi tempat itu segera ramai dengan komentar yang bagi Eric itu terdengar seperti kutukan. "Geogle!" ulang Eric dengan hati-hati. "Bocah itu? Geogle ? oh...memalukan," kata salah satu hantu disambut hinaan hantu yang lain. ―Sombong sekali dia?‖ ―Menurunkan martabat Geogle sejati!‖ 18
  • 20. Para hantu mencemooh dengan anarkis. Beberapa diantaranya mencoba melempar kaleng bekas, botol soda, sepatu, hingga air comberan dalam bola plastik, namun tiga ajudan hakim keriput terburu mengkisnya dengan sempurna sehingga rongsokan itu mengenai si pelempar dengan serangan yang lebih mengenaskan. Mendadak Eric menyesal telah lancang menempatkan pilihan pada Geogle. Tapi ia berusaha keras menyembunyikan ketidaknyamanannya itu. Ia tetap duduk normal bersandar pada punggung kursi. Jarinya saling mengatup di atas pangkuannya. Dan tatapannya berkilat seperti semburat matahari terbit. "Geogle?" gumam hakim keriput lirih dengan nada keraguan dalam ucapannya, "Maaf saudara baru saja kehilangan memori. Kehilangan dirinya sendiri. Saudara Eric Ghobadi berhak memilih takdirnya, tetapi kami lebih berhak menentukan," katanya sambil menggosok ujung palu dengan bimbang. Kedua alisnya bertaut seolah sedang bersusah payah melucuti pikiran Eric. ―Maaf saya lancang Yang Mulia, nama saya Togu Ghobadi.‖ Suara seorang Pria seolah membangunkan Eric dari beban kekhawatiran yang membenamnya. Eric buru-buru melecutkan mata ke arahnya, wajah pria itu tenggelam dalam kerudung jubahnya yang besar sehingga hanya janggut lancipnya saja yang tampak. ―Tidak ada Undang-Undang yang menyatakan kehilangan memori adalah kesalahan fatal sebagai bangsa Geogle, Mohon kebijaksanaan Yang Mulia.‖ "Memori saya tidak sepenuhnya hilang, saya masih ingat sesuatu," seru Eric saat hakim itu nyaris memukulkan palunya. "Saya masih ingat kata-kata ini,‖ Ia berhenti sejenak, sungguh-sungguh angin disekitarnya serasa membungkam mulutnya, ia menggigil seperti ada yang menghujani es di kepalanya. ―Gunakan pikiran jernihmu, lihatlah dengan menatap tajam matanya, masuklah ke alam bawah sadar—tundukkanlah penghuni mata itu, pastikan dia berpihak padamu, karena segala sesuatu yang tidak bisa kau lihat bukan berarti tidak ada.‖ Hakim keriput beranjak dari kursinya, menutup kitab keras-keras sehingga tinta merahnya meluber membasahi meja yang tak tampak. Para 19
  • 21. hantu membuat suara gaduh, beberapa diantaranya berteriak melengking memuakkan seolah Eric telah melempar peledak di ruangan itu. ―I-itu kata yang diucapkan Master Quarenci saat sidang,‖ rintih salah satu hantu dengan muka keterkejutan yang belum hilang. Satanic di sampingnya menampar pipinya hingga membelesak ke dalam. ―Benar-benar pewaris Emperor, ia sama luar biasanya seperti Master Quarenci,‖ desah salah satu hadirin sambil takhenti-hentinya mencucurkan air mata. Ia berulangkali membersihkan ingusnya dengan lengan bajunya. ―Sudah kubilang anak itu tidak berdosa, dia tampan dan dia hebat dan dia luar biasa.‖ Ia mencekik leher suaminya ketika laki-laki itu mencibir kata-katanya. Hakim ketua memukul palunya berkali-kali tapi ocehan yang meramaikan ruang itu tidak berhenti. Suasana senyap terjadi ketika dentuman memekakkan telinga hampir merobohkan ruang itu. Hakim ketua berjalan mendekat ke arah Eric sambil menenteng kitab tebal di lengan kanannya. Jubah agungnya menyapu lantai batu yang dilaluinya. Mata putihnya yang terlihat letih menatap Eric dengan kewibaan yang tak terlukiskan. "Dengan ini kami memutuskan," katanya sambil meletakkan kitab di atas kepala Eric. Pernyataan ini tidak bisa diubah, meskipun yang bersangkutan sendiri yang memohon dengan kesungguhan__Eric Ghobadi dengan kehormatan penuh dinyatakan sebagai bangsa..." hakim keriput berhenti sebentar membiarkan ketegangan itu tercipta beberapa saat kemudian meneruskan, "Geogle!" Eric beranjak dari kursi yang telah membuat pantatnya benar-benar datar. Sang Hakim menjabat tangan Eric lalu memeluknya dengan erat sebelum akhirnya menghilang diikuti oleh tiga ajudannya yang berwujud mengerikan. Lilin pada Chandeleir meredup seperti tertiup angin meski keberadaan udara pun sulit terdeteksi. Eric terkejut ketika seorang wanita mengalungkan tangan ke lehernya. ―Eric, anakku...‖ Wanita itu terisak kemudian ia melapaskan ikatannya. Dipandanginya wajah Eric dengan air mata yang tak berhenti mengalir. 20
  • 22. Eric terhunyung sesaat menyadari wanita itu ibunya. Ia mencoba mengingat masa lalunya namun sepertinya tak ada satupun yang tersisa di kepalanya. Dia mencermati wajah cantik yang masih terisak di hadapannya. Wanita itu mengelus lembut rambut Eric dan mendekap erat tubuhnya. Hantu pria yang berjubah besar menghampiri Eric sambil menepuk bahu anaknya berkali-kali. ―Ayah bangga padamu, ayah sungguh bangga padamu,‖ katanya berulang-ulang. Eric tak mampu berkata apapun. Perasaannya terlalu kacau untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk sedikit bisa menghibur dirinya. Kejadian yang tak terduga mengalir dalam kehidupannya, ia sama sekali tidak tahu bagaimana kehidupannya sebelum berada di tempat aneh itu. Namun ia benar-benar merasakan kehidupan yang bebas dan menyenangkan daripada masa lalunya. Sekejap ruangan itu serasa menyempit seperti ada kekuatan besar yang melipatnya. Lilin yang padam secara tidak wajar menjadikan tempat itu gelap sejadi-jadinya. Eric merasakan sesuatu menarik tangannya lalu membawanya keluar dari ruangan itu. 21
  • 23. BAB 3 Snowvus Eric mendapati dirinya sedang berdiri diantara lorong kelam tak berujung. Sementara itu di salah satu sisi dinding yang keropos pada beberapa bagiannya, lima hantu laki-laki sedang berbincang sengit tentang hasil sidang pengadilan. "Tak ada yang menang dalam taruhan kali ini,‖ kata hantu yang punggungnya ditumbuhi sayap kecil. "Kupikir dia akan jadi Lucifer atau Ghaits," sahut hantu yang memakai baju hijau berenda. Dia membuang topi kerucutnya kelantai. "Tebakanku kurang jitu kali ini," hantu berambut keriting ikut berkomentar. "Tak kusangka dia menjadi Geogle, padahal aku berani bertaruh menampar muka Mame Granyo jika anak itu menjadi Geogle.‖ ―Mame Granyo?‖ Empat hantu lainnya menyeringai, ―mengerikan.‖ Lima hantu laki-laki tadi kemudian menghilang. Sebuah suara merambat melewati tengkuk Eric. "Hei...ei...ei! Geogle senang bertemu denganmu. Semoga kau mewarisi jejak kakekmu menjadi Emperor.‖ Pemilik suara itu tiba-tiba menampar punggung Eric, namun ia tak segera menoleh. Ia masih menatap lorong itu dengan tersenyum-senyum, membayangkan ingatannya yang normal dan ia dinobatkan sebagai Geogle dengan riuh tepuk tangan. Tetapi semua itu memudar, ia menyadari keadaannya yang memprihatinkan sebagai Geogle. Semua memori yang hilang, kecuali... "Haloooo....! Kau dengar tidak, sih?" Eric benar-benar dibuat melompat oleh suara yang tiba-tiba mengamuk ditelinganya. Ia menatap wajah hantu laki-laki sebayanya itu dan melototinya dengan kemarahan yang meletup. Anak itu nyengir tanpa ada rasa berdosa kemudian menyisir rambut coklat keritingnya yang berantakan dengan jari tangan. 22
  • 24. "Namaku Haiden Powi... peri Ghaits," katanya dengan tirai mata nyaris tertutup. "Aku mati karena terpeleset di kamar mandi.‖ Eric nyengir. Diamatinya hantu gemuk dengan tubuh berlipat-lipat yang berdiri di depannya itu. "Kalian harus kembali ke Snowvos," kata Togu seraya memeluk Eric. "Kastil hantu, di bawah awan kebiru kelabu." "Kalian juga ikut kesana, kan?" Togu menggeleng sempurna, "Ayah Lucifer tinggal api perairan.‖ Eric beralih menatap ibunya dengan berharap. "Satanic, muncul dan menghilang di antara kehidupan manusia," kata Ona dengan mengelus rambut hitam Eric yang tebal. Haiden menyambar lengan Eric dan menariknya cepat, "Kita harus segera sampai ke Snowvus!" "Eric!" panggil Togu sebelum benar-benar berpisah dengan anaknya. "Temukan dirimu dan jadilah Geogle yang sebenarnya.‖ Eric tersenyum, meskipun dia tidak mengerti makna kata-kata itu tetapi dalam hati dia berjanji akan menemukan bagian dari dirinya yang hilang. ―Ayah, ibu…‖ ia berhenti bermaksud mengucapkan selamat tinggal tapi diurungkannya. ―Jika aku telah menemukan diriku yang hilang, apakah aku bisa ikut bersama kalian?‖ ―Tidak, anakku,‖ Ona memeluk Eric dengan air mata mengalir. Eric merasakan punggungnya serasa nyaris basah kuyup. ―Hiduplah dengan memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat semua tidak akan sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba, kelak engkau harus siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah!‖ Perlahan wanita itu melepas pelukannya. Eric melihat sebuah tatapan tanpa isi yang bisa tertebak. ―Kelak aku akan mengerti,‖ Eric berkata tanpa ia sadari. Togu dan Ona melambaikan tangan ke arah Eric dan Haiden. Ia melihat ayahnya mengenakan kerudung kebesaran sehingga hanya tampak dagunya yang runcing. Sementara Ona berubah mengerikan, rambutnya memutih dan 23
  • 25. memanjang tak beraturan sehingga menutupi seluruh wajahnya, kecuali matanya yang membesar. Haiden menarik lengan Eric, mereka menembus dinding lorong. meluncur melawan awan mendung berdebu. Sesekali kilat menyambar mengiringi mereka. Eric merasakan seperti disiram air es dan tiba-tiba disiram dengan air hangat. Sungguh tak enak. Dia memeras lengan Haiden yang makin cepat meluncur. Tidak ada kata yang dapat diucapkan, sementara lolongan tak sanggup mengubah segalanya. *** Saat awan mulai menghilang diganti kabut tipis yang menyebar, Eric mendapati pulau besar ditengah laut tenang dan kastil tua dengan menara tinggi yang mencuat. Pada puncaknya yang tertinggi terdapat arca barong wanita terhormat bergaun bunga karang sedang memegangi tongkat bola bermata zamrud. ―Lolongan si barong Mapoti, dapat membuat bulu kuduk tercabut, bahkan burung Poppo terbelesak nyawanya. Konon Mapoti hanya bangkit saat dipanggil.‖ ―Burung Poppo?…‖ Eric mengernyit pada Hayden. ―Poppo, burung alam baka. Makhluk pencabik roh pendosa. Jangan…jangan bicarakan itu lagi. Kepalaku berkunang-kunang memikirkannya. Tapi dia cantik…yah lumayan, deh.‖ ―Hla? Mamapopoti seperti itu dibilang cantik?‖ Eric menganga. ―Bukan Mamapopoti, tapi Mapoti!‖ Katanya senewen. ―Mapoti.‖ Tambahnya lagi. Eric menyeringai jijik. ―Patung itu cantik?‖ ―Kelak jika dia bangkit, kau akan mencium kakinya untuk mendapatkan cintanya,‖ kata Hayden sambil mempraktekkan menciumi punggung tangan Eric. ―Kau menjijikkan, Heidi…‖ 24
  • 26. Eric merampas tangannya dari genggaman Hayden lalu mengelap dengan bajunya sebelum mencium aroma air liur yang menempel. ―Jangan panggil aku Heidi. Itu kan nama cewek!‖ ―Yaiya aku mengerti. Hay apa itu?‖ Hayden melecutkan matanya ke arah laut suram yang dipenuhi tangan- tangan lemah menggapai seolah memohon pertolongan yang sia-sia. ―Laut kematian. Tapi sering disebut laut hitam. Seperti makam untuk para pendosa, Mereka jemaah pembesar kegelapan yang berhasil dieksekusi.‖ ―jemaah pembesar kegelapan?‖ ―Yeah. Mereka sangat keji. Hei, itu Snowvus..." kata Hayden, menunjuk ke arah kastil tua berpelindung separo bola bening. Eric berjalan dibelakang mengikuti Hayden. "Kau harus mengetahui tata cara hantu baru memasuki bola pelindung. Ulurkan tanganmu seperti ini, er...bukan begitu - sentuh atmosfernya, maksudku bola pelindungnya. kemudian katakan ―Wahai penanda kehidupan. Dengan ini saya yang bernama....‖ Hayden berpaling pada Eric. ―Ayo ikuti aku!‖ ―Wahai...‖ Eric mengulurkan tangannya. Dia merasa telapak tangannya seperti dipaksa menyentuh balok es yang berasap bagaikan sedang mendidih. ―Penanda kehidupan..‖ ―Stop...stop! Matamu musti merem dan lehermu harus tegak.‖ Eric menurut saja karena ia tak punya banyak wacana untuk berinterupsi. ―Sekali lagi ikuti aku. Wahai Penanda kehidupan...‖ ―Wahai penanda kehidupan...‖ ―Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...‖ ―Dengan ini saya yang bernama Eric Ghobadi...‖ ―Salam kenal...‖ ―Apa?‖ ―Kau ikuti saja.‖ Oke. ―Salam kenal.‖ Sambung Eric dengan alis terangkat. ―Nah, sekarang kau sudah boleh masuk.‖ 25
  • 27. Eric merasa ada kekuatan yang mendorongnya memasuki wilayah Snowvus di bawah awan kebiru kelabu. Awan yang benar-benar biru seperti dasar air laut. "Menakjubkan...‖ kata Eric. "Tapi aku kan hantu, er maksudku, bisa menembus kapan saja tanpa jampi-jampi macam itu. Hayden mendesis, "Itu tata cara hantu baru masuk ke sini. Istilahnya ritual buat jadi member...‖ ―Member?‖ ―Kau bisa lenyap terbakar jika tak mematuhi aturan mainnya. Bola pelindung melindungi kami dari serangan makhluk hitam pengikut pembesar kegelapan, dan…" katanya pelan sambil berjalan cepat. "Berhati-hatilah dengan pawang hantu, mereka punya tambahan indra, mereka licik dan...‖ Hayden berhenti dan berbalik tiba-tiba. ―Penjilat." "Tapi bagaimana kita tahu dia pawang hantu?" "Gimana, sih? kau kan Geogle. Kau mengucapkan sesuatu yang luar biasa di pengadilan. Kau membuat hantu lainnya iri tapi juga mendukungmu." "Yah...itu satu-satunya pesan yang bisa kuingat," kata Eric saat menaiki undakan ke dua puluh tiga, di depan gerbang yang sangat besar dengan ukiran Tampagolo Lau Panangan. Eric menembus pintu itu, seperti yang dilakukan Hayden dengan sempurna, tanpa jampi-jampi. Mereka berada dalam sebuah ruangan remang-remang berhias sarang laba-laba yang sengaja dipelihara. Chandeleir yang dipenuhi lilin kecil yang menyala redup menggantung di atap. Tidak banyak perabot di dalamnya hanya meja besar berdebu diletakkan di tengah ruangan luas, cermin-cermin gelap, serta patung kucing dan harimau petarung yang saling terikat dalam satu rantai. Eric melihat beberapa hantu berseliweran, melayang dengan menundukkan kepala kemudian menghilang saat menabrak sebuah cermin yang pernah dilihatnya ketika berada di pengadilan. Gerombolan hantu anak-anak berjalan beriringan sambil mememandang Eric dengan ekspresi ingin tahu. Hayden melambaikan tangan, 26
  • 28. tetapi mereka tak membalasnya simpati. Para hantu menaiki tangga spiral yang tinggi. Hayden menyambar lengan Eric dan mengikuti mereka, menaiki tangga spiral tanpa lengan dan selalu melengkung tiap tiga belas anak tangga kecil. 27
  • 29. BAB 4 Hantu Otak Meleset Gerombolan hantu melayang terburu menuju lantai atas. Sesekali mereka menengok ke belakang dengan tanpa ekspresi seolah mereka tidak setuju jika Hayden dan Eric membuntutinya. "Selamat datang sang Geogle di rumah baru," seru pria setengah tua yang memakai piyama hijau dengan aksesoris tanduk kerbau menempel di tengah piyama. Tepuk tangan dan hura-hura kecil seolah mengiringi Eric saat memasuki aula penuh hiasan kuno berkarat, sarang laba-laba, serta banyak sekali baju zirah yang dirawat mengkilap. "Geogle yang kehilangan memori, tapi sungguh menakjubkan, Ghobadi." Hayden menghilang begitu saja dan muncul di tengah-tengah para hantu yang sedang berhura-hura. Mereka bermain terompet yang setiap kali ditiup akan menghamburkan makhluk kecil yang menaburkan bubuk cahaya. Mereka memukul tinjunya ke udara secara berjemaah sambil berhura, "Hidup Ghobadi...hip hip hip Geogle!" Eric terkejut. Ia menatap pria setengah tua yang selalu tersenyum padanya. ―Hei….Kau suka sambutannya?‖ kata hantu laki-laki yang lebih tua lima tahun darinya sambil memeluk lalu menepuk punggung Eric. "Perkenalkan, namaku Victor Kapele, Patred." "Aku, Ami Tobuwa, peri Ghaits." "Diano Saloh, peri Ghaits." "Payambono, Ocupant." Para hantu berebut memperkenalkan diri hingga Eric hanya bisa mengingat selusin nama dari dua lusin nama yang disebutkan. Eric merasakan kehidupan paling bahagia muncul untuk pertama kali. Seolah-olah dia selalu merana disela-sela masa hidupnya dahulu yang dianggap lebih menyenangkan. Kepalanya berdenyut, bertanya pada ketidak tahuannya, Apakah hidupku dulu menyenangkan seperti ini? Mengapa 28
  • 30. kematian cepat sekali menjemput? Oh aku ingin hidup lagi menjadi manusia normal. Ini tempat yang suram. Eric mencuri pandang kearah hantu pria yang terus mengawasinya dengan tersenyum. Hingga akhirnya pria itu menghampirinya. "Kakek selalu menunggumu, Eric. Dan…Ouh aku hampir saja melupakannya, jangan sentuh sanubariku dengan nama Ghobadi. Omong- omong di sini aku biasa dipanggil Master Quarenci," katanya sambil mengetuk dada Eric. ―Mengapa engkau tak ingin memakai nama Ghobadi?‖ Suara Eric melompat begitu saja. Senyum wibawanya tersungging diantara tuturan lembut. "Mengapa? Oh tidak pemuda tangguhku. Jangan bertanya mengapa, karena hanya akan menambah satu masalah lagi dalam hidupmu." Ia menepuk bahu Eric, dengan sedikit menunduk ia mensejajarkan kepalanya dengan lawan bicaranya. ―Nikmati pestanya.‖ Eric hanya mengangguk meski tak tahu apa maksud ucapan tadi. Walau begitu rasanya dia tiba-tiba telah menjadi penghuni penting yang dikagumi. Master Quarenci berjalan meninggalkan aula, menuruni anak tangga tanpa lengan sambil membetulkan topi tidur kebesaran yang selalu merosot. Hayden memukul punggung Eric keras-keras saat ia sedang akan berbicara pada Victor Kapele. "Bagaimanapun kau adalah pewaris Emperor suatu saat nanti." katanya nyengir sambil memperkirakan Eric akan membalasnya dengan pukulan bertubi-tubi. Tetapi Eric hanya memandang mata Hayden kebingungan, "Apa? Emperor katamu tadi?‖ ―Pemimpin kerajaan dengan kehidupan yang paling besar, bahkan lebih agung dari kastil para Lucifer. Kau juga akan diberkati dengan mata emperor yang dapat menguliti pikiran lawan bicaramu.‖ ―Oh, itu terlalu berlebihan...‖ katanya sambil memperhatikan salah satu baju zirah yang berguncang dan mengeluarkan suara berisik. 29
  • 31. "Oh yaeh! Ingat, dunia ini begitu sempit, Eric. Semua bisa saling berhubungan tanpa terduga," kata Ami Tobuwa. "Master Quarenci adalah pemimpin agung, berwibawa dan sangat dihormati. Jika aku jadi kau, aku akan sangat bangga." Hantu bergaun putih gading keluar dari baju zirah yang berkelontangan. Ia menghampiri Eric dengan terisak, "Hik... Akhirnya aku ... hik... bisa ... hik ...bertemu dengan...hik.. hik... Ghobadi ....‖ lolongnya. Diusapnya air mata yang berebut meluncur dengan segelondong tissu besar yang selalu dibawanya kemana-mana. Ingusnya melumer tanpa bisa ditahan. Dia menatap Eric dan hantu lainnya disertai bisik rintihan lalu melayang dan menghilang masuk ke dalam baju zirah. Ami memungut tissu yang dijatuhkan gadis itu sambil bersungut- sungut. "Dia Classy Phinisi- Satanic Mask. Seharusnya dia bergentayangan di dunia manusia, bukan di dalam Snowvus,‖ ujar Hayden ketika Eric melihatnya dengan pandangan bingung. ―Jangan kaget dia seperti itu karena otaknya sedikit meleset.‖ Victor Kapele menyeringai kecil, ―Master Quarenci seharusnya mengusir Closet, atau siapalah itu namanya." Suaranya tiba-tiba melengking mengagetkan. Victor menyambar tissu yang digenggam Ami dan melemparnya keras-keras kearah baju zirah Classy. Classy menjerit dan melolong marah, balas melempar tissu yang diremas ke sembarang arah. Baju zirah yang ditempatinya berkelontangan "Berhenti, Victor!" lolong Ami. ―Kau kekanak-kanakan...‖ "TAPI OTAKKU TIDAK MELESET SEPERTI DIA.‖ Eric menyambar lengan Hayden, membawanya menjauh dari Ami dan Victor yang berdebat sengit. Para hantu yang tadi berhura-hura mulai menghilang satu persatu. "Kau tahukan dia Satanic Mask dan dia bisa tinggal di Snowvus?" kata Eric berharap. Hayden mengangguk dan mengangkat kedua alisnya tinggi- tinggi. ―Berarti, ibuku ..." 30
  • 32. "Jangan samakan ibumu dengan hantu otak meleset itu, mengerti!" hardik Hayden cepat, setengah berbisik. Dia menarik lengan Eric, membawanya melayang di atas patung Malango, patung babi bertanduk gading. Mereka duduk di atas tanduk Malango yang dibuat mengkilap. "Dia mengalami sesuatu yang sangat tidak menyenangkan sepanjang hidupnya. Tapi aku tidak tahu apa itu. Pekerjaannya sehari-hari hanya membaca buku tebal dan menulis berlembar-lembar kertas sebelum dia mengakhirinya dengan tangisan yang meledak-ledak.‖ "Apa yang dia tulis?" kata Eric, sambil berayun di atas tanduk, membenahi posisi duduknya. "Aku tidak tahu, tapi yakinlah segala sesuatu yang dituliskan oleh makhluk sinting dengan otak agak sedikit meleset dari syarafnya itu tidak penting. Dia telah merusak rumahku...lihat! Tanduknya bukan tanduk asli pedalaman__berbuku-buku, keropos, usang, pokoknya keren, deh." "Tapi yang ini mengkilap dan luar biasa." "Tapi aku suka yang biasa.‖ Hayden memberengut. Eric merasa lengannya nyaris putus saat Hayden tiba-tiba menariknya masuk ke dalam hidung Malango yang berbulu halus. ―Mame Granyo datang...Cepat sembunyi!‖ Eric menerobos dan meluncur melewati ladang bulu hidung yang membuatnya geli terpingkal-pingkal. 31
  • 33. BAB 5 Keributan Eric mendapati dirinya seperti sedang berada dalam sangkar mulut babi. Atapnya berlendir hijau menjijikan sedangkan lantainya licin mengkilap ditaburi kotoran lalat mirip kismis. Dindingnya berlubang dan keropos. Tidak ada chandeleir dengan lilin menyala, tetapi hanya gerombolan kunang-kunang bercahaya yang dikurung dalam kaca lentur. "Ini rumahku dan kau boleh tinggal disini, yah...seandainya kau mau,‖ kata Hayden dengan berlari menuju lubang yang keropos, dia setengah berteriak pada Eric, "Hei...Kemari, cepat!" Eric tidak terlalu antusias untuk tinggal di tempat yang dipenuhi segala jenis lendir. Tetapi dia lebih memilih tinggal dengan Hayden yang tergila-gila pada lendir dari pada bersama Classy yang setiap waktu selalu melempar tisu dan berteriak mengagetkan. "CLASSY PHINISI!‖ sebuah lolongan meluncur menghentakkan seperempat isi kastil. Beberapa hantu mengintip dari balik persembunyian mereka dengan tanpa suara. ―Kembalikan topi bulu kudaku sebelum kau kupecat dari sini!‖ Mereka mengintip hati-hati melalui celah Malango. Dilihatnya sesosok perempuan gemuk, berambut keriting gimbal dan berbaju kebesaran dipenuhi renda-renda, kerahnya hampir menutupi bagian belakang kepala. "CLASSY PHINISI KAU DENGAR ITU?‖ Mame Granyo berteriak hingga lehernya nyaris terpental menjauh darinya. Bibir coklat tebalnya manyun seperti ada yang menariknya dari depan. Ia melempar kerikil senjata kaum Ocupant yang dapat menimbulkan ledakkan mengejutkan. ―KELUAR KATAKU!" Eric menyeringai. Membayangkan dirinya menjadi Classy. Ia pasti telah menonjoknya dengan pot besi yang digunakan untuk menanam bunga 32
  • 34. troll mulut buaya, kemudian menyemprotnya dengan lendir babi, sampai wanita malang itu mengibarkan bendera putih. "Rasanya aku ingin membelesakkan giginya jika sampai berani mengutak-atik rumahku,‖ kata Hayden berapi-api. Eric menyeringai sambil mencibir. "Aukh ...!" dia memekik kaget. Ada yang melempar batu hingga mengenai pelipisnya. "Kau melempariku dengan batu ini, ya?" katanya jengkel pada Hayden yang sedang menyaksikan Mame Granyo berlelah-lelah memukul baju zirah Classy. Hayden memberengut sambil menyambar benda yang diacungkan Eric, "Batu berambut merah!! Ini pasti ulah Setan Ocupant..." Hayden melempar batu itu keras-keras hingga menembus dinding yang dilewatinya. "Batu berambut merah adalah batu ghaib bangsa Ocupant, mereka menggunakannya sekedar untuk berbuat jahil." "Aukh...KURANG AJAAR!" suara Mame Granyo melengking tinggi. "Dasar anak-anak brengsek! siapa yang melempariku dengan Batu berambut merah?‖ sengatnya sambil melecutkan mata ke arah Malango, patung tempat tinggal Hayden. Eric melihat wajah Hayden yang merah pucat, sepucat kertas yang diremas-remas. Pipinya yang gembul semakin menggelembung akibat menahan ketakutannya. "Apa yang harus kita lakukan?" ujar Eric dengan datar. "Apa yang harus kita lakukan?‖ Hayden mengulang dengan meringis. ―KITA HARUS KABUR, BOY!‖ "Anak-anak brengsek--turun kalian!" Ia memergoki Eric dan Hayden lalu membentangkan lengannya. Dan seekor anjing hutan melesat diantara bentangan tangan. Taringnya menyembul bersiap memangsa. ―Hey itu tadi sulap?‖ ―ITU SIHIR!‖ Hayden hampir menangis putus asa. ―Eric. Berpegang padaku. Aku harus menyelamatkanmu…‖ "T-tunggu lihat itu...!" kata Eric dengan bersusah payah melepas pegangan Hayden akibatnya dia hampir terjatuh kebawah karena belum 33
  • 35. terbiasa melayang terlalu tinggi. Pandangannya menangkap kejadian ajaib yang belum pernah dilihatnya. Serigala betina bertarung menghabisi anjing yang balas menggigitnya. Mereka tak saling lebih kuat sampai salah satu diantara keduanya menggelepar lalu lenyap begitu saja. Serigala jantan memenangkannya. Mame Granyo menjerit bagaikan baru saja disengat listrik. ―SIAPA YANG BERANI MENANTANGKU?‖ ―Aku.‖ Mame Granyo melongok ke atas. Ia mendapati Classy sedang melayang di kepalanya bersama seember lendir menjijikkan yang ditumpahkannya dengan sengaja. "Uuupss…‖ Hayden dan Eric tak bisa menahan tawanya. Sementara Classy cepat-cepat menjatuhkan embernya tanpa hati-hati sehingga menimbulkan suara berkelontangan." Ayo! kita harus segera kabur ..." Hayden memburu tangan Eric dan menariknya. sementara Mame Granyo melolong meratapi nasibnya. "AAARRGGHHTT…‖ Eric merinding mendengar jeritan menyayat Mame Granyo, sehingga dia hanya diam dan tidak mau memprotes saat Hayden menarik lengannya kuat-kuat. 34
  • 36. Bab 6 Naydelin Eric dan Hayden melesat cepat, menabrak lalu menembus cermin yang dipasang hampir di seluruh ruangan. Tanpa disadari mereka mendapati dirinya berada di ladang jagung yang tak berbatas ujung, "Kau tahu ini dimana ?" Hayden menggeleng, tetapi segera menjawab, "Aku sendiri tidak tahu tujuanku.‖ Eric terdiam. Ia berjalan dibalik punggung Hayden sambil sesekali menyibak jagung dalam gelapnya malam yang hanya diterangi bulan yang terhalang awan pekat. ―Apa kau tahu siapa yang melempari kepalaku dengan benda...batu berambut pirang?" Eric membuka percakapan. "Batu berambut merah! " kata Hayden membenarkan, ia terbatuk-batuk tetapi Eric tahu sahabatnya itu hanya menahan tawa yang hampir meledak. "Itu hal yang biasa, para Ocupant memainkan batu gaibnya untuk iseng. Bahkan yang paling menyebalkan, mereka sering melempari Malango dengan lusinan Batu berambut merah saat aku tidur," Hayden mengepalkan jemarinya dan menabrakkan dengan telapak tangan satunya. "Akibatnya aku harus bersih- bersih Malango setiap hari." Mereka berjalan menyusuri ladang jagung. Sebuah orang-orangan yang berwajah serabut dipenuhi rambut jerami dan topi kerucut lusuh membungkukkan badan sambil mengucapkan kalimat basa-basi. "Saat purnama datang bersama angin dingin menggerogoti seluruh tubuhku dan aku hanya sendirian disini dan hanya dibalut pakain bekas manusia. Malam yang sempurna karena tak ada bintang yang muncul, angin membuatku kedinginan di saat semua merasakan hangatnya malam ini," kata salah satu orang-orangan pengusir burung, kondisinya memang tidak lebih baik dari Mame Granyo yang terkena tumpahan lumpur berlendir menjijikan. ―Maukah? Maukah engkau membantuku, sobat?" 35
  • 37. Orang-orangan itu melirik syal yang bertengger di leher Eric. Dia mulai bergerak-gerak dan berusaha memberontak dari ikatan yang digunakan untuk mengikatnya kuat-kuat pada kayu bersilang. Rambut jeraminya rontok perlahan sementara tiangnya nyaris roboh. "Aku menginginkan benda di lehermu itu!" rintihnya. Eric menjauh kemana saja ia sanggup melakukannya. Orang-orangan ladang itu mencondongkan kepalanya, mendekati Eric. Tali penyalipnya putus. Tangannya yang berupa dahan bercabang bersikeras merampas syal. "Tolonglah. Berikan syalmu, aku ingin benda itu, aku membutuhkannya,‖ katanya memelas dengan wajah culas. Eric berusaha menjauh menghidari sambaran tangan makhluk itu. "TERBANTING!" Eric mendengar Hayden berteriak di balik kerumunan tanaman jagung dengan tersengal-sengal. Tiba-tiba angin bergulung menghajar orang-orangan ladang hingga terpelanting meluluh lantakkan tanaman yang dilewatinya. "LARI!" Hayden berteriak pada Eric yang sedang tercengang. Mereka menembus lorong diantara tanaman jagung. Awan kelam menutupi sebagian cahaya bulan yang sepertinya berpihak pada kegelapan. ―Itu tadi sihir?‖ ―Sulap,‖ ujar Hayden dengan tidak sabar. ―Yaiyalah SIHIR…‖ ―Super sekali!‖ Hayden menepuk dadanya dengan bangga. ―Ah cuma sihir kecil- kecilan.‖ ―Classy bisa memunculkan rubah betina, itu juga hebat, kan?‖ ―Biasa.‖ Eric melihat wajah Hayden tanpa ekspresi. Mereka berhenti bersamaan ketika mendengar nyanyian mengalun lembut diantara lolongan serigala yang berlomba memamerkan suara perkasanya. Eric dan Hayden berpandangan, "Apa mungkin manusia menyanyi di ladang jagung tengah malam?" celetuk Hayden. 36
  • 38. ―Ini dunia manusia?" Eric tidak melanjutkan ucapannya, dia melonjak kaget setelah suara kecil menjawab pertanyaannya. "Ya, ini dunia manusia. Kau hantu baru yang hilang ingatan itu, kan ?" Eric dan Hayden melongok ke belakang secara bersamaan dengan ragu- ragu. Mereka melompat terkejut melihat gadis berambut perak panjang, dengan bola mata berwarna coklat mengkilat sama seperti mata Eric. "Hai, aku Naydelin...‖ Eric dan Hayden terdiam, mereka tidak tahu apa yang seharusnya dikatakan. Gadis itu kembali melanjutkan sambil menggumam, "Umh...aku Satanic, tetapi aku mencoba berjalan-jalan di ladang jagung, ditemani para hantu ladang." Eric mengangguk. Hayden masih terbengong-bengong. "Kau cucu Master Quarenci, eh?" katanya sambil menunjuk kearah Eric, sementara Eric hanya menjawabnya dengan mengangguk kecil. "Sudah kuduga tetapi jangan khawatir kau akan menemukan memorimu kembali." "Aku bertaruh keadaanmu sekarang adalah yang paling baik daripada hidupmu dulu. Yah, kalau kau percaya.‖ "Sok tahu banget, sih!" bisik Hayden. Bibirnya hampir menyentuh telinga Eric. "Tapi bagaimana aku bisa tahu keadaanku dulu jika memoriku hilang?" Naydelin tersenyum sinis, dia duduk di atas batu pipih disampingnya, "benda itu adalah kenangan dari seorang gadis tepat sebelum kau kehilangan nyawamu," katanya sambil melirik syal Eric. "Sok tehe!" sengat Hayden. "Apa kalian tidak ingat?" sela Naydelin cepat, dia berdiri dan mendekati Hayden. "Kata-kata yang membuat Eric lolos menjadi Geogle, bahkan seluruh hantu dibuatnya terkejut. Kata-kata yang didapatnya saat sebuah keputusasaan menggerogoti batinnya, saat dia begitu menderita dan..., ah sudahlah!" Naydelin terlihat begitu jengkel pada Hayden. "Sok tehe...‖ "Oh, yeah! Kau sendiri Ghaits yang terlalu lama memikirkan mantra untuk melakukan sihir sederhana!" serang Naydelin bertubi-tubi. 37
  • 39. Eric tidak mendengarkan Hayden dan Naydelin berdebat, ia mendapati pikirannya melayang jauh dan saling berkelebat. Seorang perempuan tua berbisik di telinganya, kemudian gadis berambut panjang yang hampir mirip ibunya sedang mengalungkan syal kelehernya. Mendadak perasaannya seakan mengambil alih kesadarannya. Ia menemukan dorongan kuat untuk mengungkap semua yang ada di balik bayang-bayang pikirannya. Siapa mereka? Apa mereka begitu penting bagiku? Ingatan itu bagaikan sepotong kue yang pertama ditemukannya. ―Aku ingin menyanyi untuk mengisi malam ini,‖ kata Naydelin sambil mengerling ke arah Eric kemudian meninggalkan dua hantu itu, melayang diantara tanaman jagung yang tumbuh berdekatan. Kemudian bernyanyi mengalunkan lagu merdu mengiringi hembusan angin yang bertiup lembut. Aku merindukan sesuatu Sesuatu yang tak aku tahu Hanya bermimpi di bawah lintas dahulu Menanti keadilan menunggu waktu Di saat semua pergi tanpa berpaling lagi Aku tetap menunggu semua berlalu "Lagu konyol," kata Hayden dengan mendengus. ―Aku harus berusaha menemukan sesuatu yang hilang dan..." Eric terdiam sesaat. ―Aku harus bisa membantu diriku sendiri...‖ Hayden terkesiap. "Oh, kurasa kita harus kembali ke Snowvus. Lagi pula kupikir ini hampir subuh." Ia menggandengnya lengan Eric, berjalan lima langkah ditengah rerimbunan tanaman jagung dan menghilang. 38
  • 40. Bab 7 Ramalan Sean Ying Eric dan Hayden muncul kembali ditempat mereka semula menghilang, di depan cermin kemana saja. "Kita pasti dihabisi seandainya Mame Granyo tiba-tiba memergoki kita," bisik Hayden sangat pelan. Eric hanya bergumam dan Hayden menduga Eric tidak mendengarkannya berbicara. Hayden melayang lalu masuk ke dalam Malango melalui lubang hidung yang penuh bulu diikuti Eric dibelakangnya. "Kau tidur saja diranjangku sampai malam menjelang," kata Hayden dengan menggaruk kepalanya. Dia menunjuk ranjangnya yang mungkin cukup untuk berdua. "Lendirmu sudah hilang, eh ...? "Eric bertanya hati-hati, dia khawatir Hayden akan tersinggung, Hayden tertawa tetapi wajahnya tampak serius lagi. "Lendir itu hanya untuk pengkilap ruangan dan pengusir kotoran, jika sudah setengah hari lendirnya akan hilang dengan sendirinya. Sama sekali tidak lucu kalau aku memakainya untuk hiasan rumah, asal tahu saja sebenarnya aku tidak suka lendir, yah hanya kebiasaan saja." Eric begitu lega di dalam hatinya. Ia duduk di pojok ruangan sambil memainkan lampu yang berisi kunang-kunang. Hayden menenggelamkan diri di ranjangnya yang empuk dan tampak nyaman kemudian menutup separuh matanya dan berujar kepada Eric, "Bangunkan aku saat yang disana itu..."dia menunjuk bunga kuning bermahkota besar yang sedang tertidur di atas pot kecil. "...Berubah warna menjadi hitam─ itu tandanya malam telah menjelang." Eric melecutkan pendangan ke arah bunga yang sedang mendengkur. Ia berpikir seandainya bisa ikut tidur tentu pikirannya tidak akan serumit ini. 39
  • 41. Bayangan tentang seorang wanita selalu membuat perasaannya kalut. Tiba-tiba hantu itu teringat sesuatu. Master Quarenci, kakeknya, tempat ia bertanya tentang segala hal. Eric menembus dinding Malango dengan tidak sabar, meringankan beban tubuhnya agar tidak terlalu cepat meluncur ke bawah. Ia melayang dua senti dari lantai untuk menghindari hatu lain yang akan memergokinya sedang mengendap-endap. Snowvus menjadi sangat sepi, tidak ada hantu yang berterbangan dan berseliweran seperti ketika ia pertama kali memasukinya. Eric menuruni anak tangga lengkung tanpa lengan menuju ruang utama. Cermin-cermin yang waktu itu hanya menampakkan bayangan hitam tanpa ekspresi, sekarang bersinar terang seolah memperlihatkan cahaya alam yang menerangi seluruh kehidupan manusia Cahaya yang menyeruak berbondong-bondong dari cermin tidak mampu mengalahkan kegelapan Snowvus. Kastil itu akan selalu gelap secara abadi sebagai tempat tinggal para hantu. Eric berhenti sejenak. Matanya menerawang di setiap sudut. Ia mendapati banyak sekali cermin yang bisa membawanya kemana-mana dan sebuah pintu kecil seukuran setengah tubuhnya. Ia kebingunan mencari arah, ingin rasanya berteriak memanggil nama kakeknya tetapi terbayang dalam tayangan pikirannya hantu-hantu yang menjerit dan menghujam dengan marah karena tidurnya telah terganggu. Terdengar langkah kaki yang berjalan ringan di belakang Eric. Sebuah ketukan langkah kaki misterius. Ia menduga Mame Granyo ingin membalas dendam dengan cara yang tidak fair. Eric berbalik dengan cepat dan dia mendapati Master Quarenci tertawa kecil padanya, "Aku sudah menduga cucuku ini adalah Geogle yang sempurna, kau memiliki Garizah yang setara denganku." "Garizah...?‖ "Keberanian yang tidak terbatas, kehebatan dan kekuatan yang tidak perlu dipelajari." 40
  • 42. Eric mendekap hantu yang selalu tersenyum bijak itu. kemudian berkata lirih. "Apa benar keadaanku yang sekarang lebih baik daripada saat aku hidup?‖ Ia merasakan sesuatu yang berbeda saat itu, sebuah dorongan dan bayangan masa lalu yang sangat jelas. Master Quarenci melepaskan dekapan Eric tanpa berkata apa-apa, lalu membawanya masuk ke sebuah cermin yang masih terkontaminasi oleh kegelapan. Ruangan yang terlalu gelap. Eric hampir saja tidak bisa melihat tubuhnya sendiri bila sebuah bola kristal kecil tidak memancarkan cahaya biru misterius. Eric menduga dibelakang bola kristal itu ada sesosok berjubah gelap tanpa terlihat seluruh anggota tubuhnya kecuali telapak tangan yang berada di kedua sisi bola yang melayang tanpa disentuh. "Sean Ying, aku mengunjungimu bersama Eric, cucu yang selalu aku nanti kedatangannya," kata Master Quarenci sambil membetulkan letak topi besarnya yang melorot ke samping. ―Tentu saja aku sudah mengetahinya. Ghobadi kecil itu, kan?‖ kata sosok itu dengan dibarengi tawa yang melengking. ―Baiklah, jika kalian bersedia duduk itu lebih baik bagiku.‖ Master Quarenci terkekeh-kekeh, ―kau selalu menyuruhku duduk pada kursi yang tidak tampak." katanya sambil merebahkan pantat pada kursi misterius diikuti Eric yang merasa sangat takjub. Mereka seolah duduk melayang tanpa kursi. "Lama tak terlihat. Kupikir kau tidak akan kemari lagi, Quarenci," kata Yean tanpa membuka kerudung penutup kepalanya. "Benarkah? Aku selalu sibuk mengurus para hantu di Snowvus. Yean terkekeh melengking, sementara Master Quarenci angkat bicara. "Bagaimana dengan cucuku ini – apa kelak ia akan menjadi penerusku?" Yean terkekeh lagi, tapi kemudian berhenti tiba-tiba, serius memperhatikan bola kristalnya yang menyala semakin redup, terang, kemudian redup lagi. 41
  • 43. Hantu yang berjanggut lancip itu tampak tenang menunggu ramalan Yean. "Aku tidak dapat melihat semuanya, hanya masa lalunya saja yang tampak jelas, penuh kesuraman dalam hidupnya. Dan harinya selalu rumit, tidak akan pernah terang, jiwanya terbelenggu di saat kebahagiaan datang menghampirinya..." "Bola ramalan anda sedang terbalik, agak meleset seperti…?" Eric teringat otak Classy yang meleset dan ia nyaris keceplosan. ―Maaf.‖ Yean tersenyum sama sekali tidak tersinggung. ―Aneh sekali. Aku hanya bisa melihat masa lalumu. Masa depanmu tersegel.‖ Ia berkata dengan menyesal. Aku berhasil menyegelnya, hanya Quarenci yang dapat mendengar ucapannya sendiri. 42
  • 44. Bab 8 Pencarian "Aku harap bola kristalnya sedang bermasalah sehingga ramalannya meleset sedikit, eh, bukan, maksudku meleset banyak,‖ kata Eric saat keluar dari ruang Sean Ying. ―Apa maksudnya masa depanku tersegel? Bukankah ramalan untuk mengetahui masa depan, bukan masa lalu?‖ Master Quarenci terkekeh sambil mengacak-acak rambut Eric, menunduk dan memandang tajam mata bulatnya, "Karena belum saatnya kau berada di sini. Perbaikilah masa lalumu sebelum engkau menuju masa depan." Dia mengantar Eric menuju sebuah cermin di samping tangga. "Masuklah ke dalam cermin ini maka kau akan tiba di tebing Tallanga, tempatmu terakhir kali dipanggil ke dunia ini. Kemudian turunilah tebing itu hingga tiba di pedesaan yang bernama Halmahera." Eric mengangguk. Menatap Master Quarenci penuh harap. "Pakailah kalung ini." katanya sambil mengalungkan benda itu ke leher Eric. Eric mengamati kalung yang berantai panjang dan menggosok permukaan liontin yang berbentuk angsa biru yang mengepakkan sayap. Rasanya ia pernah melihatnya, hanya saja pikirannya tak sangup menjangkau jawabannya. "Carilah saudara perempuanmu yang hilang, ia yang akan membuat hidupmu berubah. Ia memiliki kalung yang sama seperti ini karena hanya ada dua pemilik berlainan. Satu di tanganmu dan yang lain dimiliki oleh seorang gadis yang harus kau cari.‖ Quarenci mengerling cucunya agar cepat-cepat menembus cermin yang berpendar itu. ―Omong-omong gadis itu bernama Flori.‖ Dia saudara perempuanku?‖ Eric berbalik menatap kakeknya. ―Flori Ghobadi?‖ Pria tua itu tak bereaksi. "kau cukup mencari gadis itu, selebihnya kembali ke Snowvus." 43
  • 45. Eric mengangguk paham untuk kesekian kali. ―Aku berjanji akan kembali ke sini setelah menemukan saudara perempuanku yang hilang.‖ Namun dalam hati ia tetap berkeras kemauan mencari dirinya yang hilang. Ia menembus perlahan ke dalam cermin itu. Tiada perjalanan panjang seperti yang dibayangkannya. Secepat cahaya ia tiba di tebing Tallanga. Hantu itu tidak tahu secara pasti sudah hari keberapa dia meninggal. Menurutnya waktu manusia dan hantu berselisih jauh dan sebetulnya hanya dibatasi oleh benang tipis yang membuat siapapun tak menyadarinya telah berdiri diantara perbedaan masa itu. Eric menatap sebentar liontin angsanya lalu memasukkannya kedalam balik mantel yang terlalu lebar untuk ukurannya. Menuruni tebing dengan berjalan cepat. Aku tidak sabar bertemu dengan Flori. Apa dia merindukanku juga? *** Matahari yang menyengat, orang-orang berlalu lalang sibuk beserta urusan masing-masing. Cuaca dingin yang aneh telah berlalu dan semua kembali normal. Toko-toko kelontong riuh berjajar di sepanjang jalan di perkampungan itu. Eric berada dalam penyamarannya sebagai manusia. Ia tersenyum puas saat melihat papan besar bertuliskan, SEDIA BERBAGAI MACAM : ONDERDIL RITUAL PENYUCIAN (DI JUAL TERPISAH) Ia menghampiri pria yang berdiri di depan toko itu. Tatapannya tidak bersahabat tapi pria itu membuka pembicaraan. ―Apa kau memerlukan jambang dan perkakas penyucian?‖ Eric menatap manusia itu sejenak dan pria itu kembali melanjutkan. ―Aku tidak menjualnya secara utuh tetapi menjualnya dengan terpisah.‖ ―Tidak... aku tidak beli apa-apa, pak.‖ 44
  • 46. Si manusia mendengus lalu masuk ke dalam tokonya dan membanting pintu dengan kasar. Eric melompat mundur selangkah memastikan pintunya tidak jatuh menimpa dirinya. Ia melihat sekeliling. Beberapa orang memandangnya dengan tatapan aneh. Mereka bahkan rela berjalan mundur untuk mengamati penampilannya yang ganjil. Mantelnya yang kusut dan sangat longgar juga sepatu yang berlubang mirip mulut buaya itulah yang mengundang perhatian manusia. Eric tidak begitu menghiraukan lalu memutuskan menyusuri tempat itu meski tanpa tahu arah. Disekelilingnya beberapa anak mengatainya orang gila dan anak idiot sambil bersiap kabur jika Eric tiba-tiba hendak mengejar mereka. Tanpa sadar Hantu itu memelototi mereka hingga salah satu matanya lepas, menggelinding ke sembarang arah. Anak-anak tadi menjerit ketakutan, kemudian kabur kemana saja yang dianggapnya sebagai tempat paling aman. Sementara Eric sibuk mengejar mata yang sangat berbahaya bila dilihat oleh lebih banyak kaum manusia. Ia kemudian memasangnya kembali dengan normal. Eric serasa sangat merindukan malam yang tenang sebab manusia akan berpikir seratus kali untuk melalukan perjalanan di waktu yang tidak menyenangkan bagi mereka. Ia berjalan lagi sambil mengamati manusia yang sibuk dengan aktivitas mereka. Kios yang seharusnya menjajakan makanan kecil tertutup rapat, sedangkan kios koran dan toko bunga tetap buka dalam sepi. Eric tiba-tiba merasa pedih menjalar menusuk setiap sendi dan rusuknya saat melihat kebahagiaan yang mungkin tidak didapatkannya. Dia membayangkan berkumpul kembali dengan orang tuanya dan Flori yang sedang dicarinya. Tetapi perasaannya selalu mendebat impiannya. Sangat mustahil bagi keluarga yang berbeda kehidupan untuk disatukan. Kata-kata ibunya kembali melayang-layang memenuhi kepalanya, Hiduplah dengan memerankan dirimu sendiri. Kita berbeda dan suatu saat semua tidak akan sama dengan apa yang kau pikirkan. Ketika masa itu tiba, 45
  • 47. kelak engkau harus siap, apapun yang terjadi. Bersiaplah! Eric mengangkat bahu dengan putus asa. Mau tidak mau ia mamaksa dirinya berkata, Kurasa aku harus bersiap. 46
  • 48. 9 Hutan Jalur Utara Malam akhirnya kunjung datang mempertegas senja. Eric merasa sangat nyaman berada pada malam yang hanya diterangi cahaya lampu redup. Satanic dengan muka masam muncul sekonyong-konyong dari dalam tanah. Serombongan hantu minum teh sambil bersandar di pohon mengobrolkan sesuatu. Beberapa diantaranya mengisi kesibukan dengan menyendiri tanpa ada hantu lain yang iseng menyapanya. Para Ghaits lebih senang terbang bergerombol mengikuti arus angin malam menyeret mereka. Eric dikejutkan oleh anjing ceking nyaris tanpa bulu yang sibuk mendengking-dengking saat Eric lewat di depannya, kemudian sekonyong-konyong hewan itu bertransformasi menjadi hantu. Ocupant, dengusnya. Semua ini adalah dunia yang tak pernah dibayangkannya. Mungkinkah orang-orang yang masih hidup itu membayangkan kehidupan lain ini? Tidak! Ini bukan urusan para manusia, sekali lagi, kita berbeda. Rumah-rumah manusia mulai tertutup rapat, jendela yang berjajar terhalang gorden yang agak tebal. Beberapa rumah masih menyalakan lampu utama yang sangat terang sementara rumah yang lain hanya menyalakan beberapa lampu kecil dengan nyala redup. Eric yang sedang bertransformasi dalam wujud manusia sengaja memainkan ayunan di taman yang dipenuhi desiran angin yang membawa kabur dedaunan yang rapuh. Bunyi besi berkarat yang bergesekan membuat orang penasaran sekaligus merinding. Gerombolan anak-anak berandalan menghampirinya. "Apa kabar bocah?" tanya berandalan yang bertubuh besar dan berambut keriting tergerai gimbal. "Kabar buruk karena kalian telah menggangguku!" Jawab Eric sembil mengkontraksikan otot matanya. 47
  • 49. Berandalan bertubuh kerempeng mendengus kesal. Tangannya mengacak rambut Eric dengan kasar. Lusinan gelangnya saling bertabrakan kemudian bersuara nyaring ditengah kesunyian malam. "Ini markas kami, bodoh!" "Dan kau harus membayar denda," lanjut berandalan yang memakai tindik pada hidungnya serta banyak kalung panjang dilehernya. "Ouch…bagaimana kalau aku tiba-tiba mengatakan aku bukan manusia seperti kalian?" sahut Eric datar, seolah tidak peduli pada tiga berandalan itu. "maksudmu anak setan?‖ kata berandalan bertubuh kerempeng disambut tawa anak yang lainnya. Tetapi sebentar kemudian ketiganya berhenti dan menampakkan wajah keterkejutan luar biasa saat Eric ikut mengikik bersamanya. "Kau menantang kami, eh?" dengus yang bertubuh paling besar sambil menghentikan ayunan Eric. "Tenang, Jim, anak itu tidak punya kekuatan apa-apa," kata berandaan yang ditindik hidungnya pada kawannya yang bertubuh besar yang tampaknya menyembunyikan kegelisahannya. Ia membidik dengan jari tengahnya. Mendadak angin bertiup begitu kencang, sampai - sampai semua mainan di taman itu bergerak dengan sendirinya. Bunyi besi yang berdencit terdengar bersahutan. Eric melayang di atas kepala para berandalan itu dan menjambak berandalan yang berambut panjang dan bertubuh besar. Sementara dua berandalan yang lainnya terbirit-birit menerjang semak dan menabrak tembok hingga giginya patah. Hantu itu terkikik melengking. Ia melayang pergi menembus malam bersamaan dengan semua mainan di taman yang berhenti berderak. Malam semakin larut dan Eric dapat melihat banyak hantu yang berkeliaran. Terkadang mereka muncul, tetapi sebentar kemudian tiba-tiba menghilang. Dia tetap menyamar sebagai manusia meskipun hantu lain menatapnya sinis. 48
  • 50. Ia menghabiskan waktu dengan berjalan menembus malam di bawah sinar lampu jalan yang kadang-kadang mulai meredup. Sampai akhirnya tiba ditempat yang jarang ditemukan rumah manusia. Hanya pohon oak disekelilingnya dan semak yang tumbuh liar. Tetapi dibalik rerimbunan pohon oak dan semak, Eric samar-samar mendengar senandung besi yang dipukul berirama dan jeritan wanita yang melengking kemudian tiba-tiba letupan api pelan yang mengakhiri semuanya. Eric tidak memedulikan suara itu, dia berpikir itu adalah ulah kaum Ocupant yang jahil berlebihan. Tetapi ketika akan melangkah menjauh, ledakan begitu keras terdengar mengerikan. Burung-burung yang sedang tidur seolah terlonjak kaget dan beterbangan saling mendahului. Eric terhenyak mendengar nama keluarganya disebut-sebut. "Ghobadi... aku merindukan kalian." Suaranya terseret–seret seakan tenaga telah terkuras. "Ghobadi, bila kau berada disini, masuklah diantara semak-semak ke arah jalur utara, berjalanlah lurus ke utara kemudian carilah pondok tua dengan dua pohon cemara yang dulu pernah aku janjikan padamu." Eric melamun, menatap rerimbunan pohon oak, memikirkan sesuatu yang tidak jelas. Dia baru tersadar ada Satanic yang melayang cepat didepannya, kemudian menempeleng kepalanya tanpa ampun. Satanic itu menghilang sebelum Eric sempat melihat wajahnya. Eric merasa tubuhnya berdesir seakan pikirannya kembali teringat dengan ibunya. Satanic berkelebat diantara pohon oak, malayang menembus semak- semak. Ia mengambil jalan pintas dengan menabrak semua pohon sementara Eric serasa sengaja dijadikannya berambisi mengejarnya dalam motif abu-abu. *** Eric tiba-tiba kehilangan Satanic yang melayang liar seperti elang yang buta matanya. "Hantu yang menyebalkan!‖ dengusnya. Suara yang sama sekali tidak merdu membantunya memahami kesadaran pada sekitarnya. Dia sedang dikelilingi ratusan katak yang berloncatan setinggi kepalanya. 49
  • 51. Geogle itu merapatkan kedua kakinya, kemudian melayang menjauh. Eric merasakan mata kodok-kodok itu terus mengawasinya. "Turunlah Ghobadi ! Kelakuanmu tidak sopan!" hardik sebuah suara yang tampaknya berasal dari dalam pondok tua itu. Eric mematung sejenak memahami suara itu. Ia kemudian mendengus kesal. Aku hantu jadi tak perlu takut siapapun. Ia mendekati pondokan itu kemudian berdiri di depan pintu yang terbuat dari akar-akaran. "Sekali lagi kuperingatkan. Berlakulah yang sopan!" Suara itu terdengar lebih kejam dari sebelumnya. ―Bertatakramalah seperti manusia.‖ Tetapi Eric terlanjur menembus pintu dan mendapati tempat yang begitu berantakan dan jorok. Ia melecutkan pandangan ke arah tungku perapian, dan dijumpainya seorang perempuan tua duduk di atas kursi yang dilapisi tiga buku tebal. Seekor kucing persia tidur di atas pangkuannya. "Ghobadi aku selalu menunggumu. Kau adalah keturunan terakhir. Yang paling akhir.‖ Si kucing melompat terkejut saat makhluk tua itu beranjak dari kursinya. Ia berjalan dengan tongkat yang tingginya hampir menyamai atap pondoknya. Ukuran tubuhnya tidak melampaui separuh dari tinggi tubuh Eric. Perlahan ia mendekati hantu yang sedang diliputi perasaan tidak nyaman dan begidik. "Aku bukan hantu sepertimu," katanya dengan cepat membaca pikiran Eric. "Aku peramal dari bangsa Moro yang berpihak dengan dunia manusia, disaat yang lain selalu bersembunyi." "Apa anda tinggal sendiri, maksud s-saya selain dengan k-kodok?" tanya Eric menyembunyikan rasa frustasi. Ia jijik dikelilingi ratusan kodok yang bermata besar dan menonjol. Peramal itu mengikik ganjil lalu berdeham dan berhenti sejenak, ―Angan-anganmu terlalu tinggi, nak. sementara kau tidak pernah memikirkan resikonya," katanya dengan tajam. ―Kau mudah dijebak. Kau datang kemari bukan karena hatimu, tapi emosi dalam jiwa.‖ 50
  • 52. Eric serasa ingin muntah saat wanita renta itu mengambil kodok lalu menjilatinya. "Aku bisa membaca pikiranmu". "Tentang kucing anda yang sedikit aneh dan kodok-kodok anda yang sepertinya tidak senang saya di sini. Enng... ya itu yang sedang saya pikirkan," kata Eric sekenanya. "TIDAK!" hardiknya. Eric terlonjak, terkejut. "Bukan itu. Tapi kau berpikir bahwa aku ini siluman kodok!‖ Eric tak bisa berbohong, tetapi dia tidak mau mengiyakan. Ia menggeleng tegas meskipun ia sadar peramal itu mengetahui pernyataan palsunya. Nenek itu kembali duduk di kursinya yang selalu berdencit. Mata kodoknya terus mengawasi Eric, membuatnya canggung. Dia memilin-milin taplak meja yang dianyam dari tumbuhan lalu tiba-tiba saja matanya tertuju pada sebuah kotak tua tertutup. ―M-maaf, sepertinya saya pernah bertemu dengan,‖ ujarnya. ―Anda.‖ ―Ya. Namaku Geffon, penghuni hutan jalur utara.‖ Eric berpikir keras. Ada bagian dari isi kepalanya yang masuk berjejal tapi ia tak bisa meraih ingatannya. Rasanya sesak seakan ada yang melucuti dosanya satu per satu lalu menghukumnya bertubi-tubi. Bayangan kelabu perempuan tua yang menabraknya berputar kuat di kepalanya. Aku mendapatkannya, aku pernah bertemu dengan orang tua ini… "Sudah saatnya kau pergi, Ghobadi!" Eric terhenyak. Pergi? Hei dia mengusirku setelah mengundangku dengan paksa. ―T-tapi s-saya masih ingin bertanya pada anda. Bagaimana anda…‖ wanita tua itu mengetukkan tongkatnya kelantai. Eric terhempas angin kencang yang seolah dihasilkan oleh getaran tongkat itu. Hantu itu hendak berpegangan pada meja namun hanya sempat meraih taplaknya saja. Ia terhempas mengikuti arus angin yang liar. Dunia terasa berputar dan terbalik cepat sekali seolah teori grafitasi bumi sudah tidak berlaku lagi. 51
  • 53. Eric mendarat payah di jalanan yang sepi. Ia seperti baru saja dijatuhkan dari langit sementara kotak sebesar dua buah apel itu terpental beberapa meter dari tangannya. 52
  • 54. 10 PAWANG HANTU Eric mendengus kesal ia bersusah payah menarik kakinya yang terperosok menembus aspal kering. ―sialan!‖. Hantu itu mengumpat setelah berhasil menyelamatkan kakinya. Ia memungut kotak usang yang tak berdebu (sepertinya setiap hari di bersihkan), mengamatinya dengan mata terpicing. Benda itu memiliki banyak ukiran rumit. Berwarna emas kusam dengan rantai kecil yang mengelilingi tutupnya. Eric berusaha membaca huruf yang terangkai melingkar pada alas kotak itu. "HE-LLUVA-GLOW.‖ Kotak itu tiba-tiba membuka sedikit namun sedetik kemudian menutup kembali. Eric berdecak sebal—memasukkan Helluvaglow ke dalam saku mantel dalamnya sambil bersiap melangkah pergi. Secara bersamaan ia merasa ada sesuatu yang memukul punggungnya dengan sangat keras dan bertenaga sampai-sampai ia hampir terjerembab. "Kau meninggalkanku diam-diam," sembur Hayden marah-marah. Matanya yang sipit melotot sejadi-jadinya. "Ini dunia manusia— hati-hati dengan segala sesuatunya." "Maksudmu?" tanya Eric dengan kesal. Sebuah Land Cruiser hitam melaju dengan kecepatan tinggi menabrak dua makhluk itu dari belakang. Hayden melolong tertahan, suaranya seperti tercekik. Benda itu berhasil menembus awaknya. ―S-seharusnya kita pura-pura mati saja.‖ Kukunya yang panjang menggaruki kepalanya dengan frustasi. ―Kita kan memang sudah mati. Ngapain masih pura-pura?‖ ―Ya dewaaa... kenapa kau nggak pernah bisa mengerti dengan sekali penjelasan?‖ ―Oh, kau sedang menjelaskan?‖ sahut Eric datar. ―Kalau begitu bicaralah intinya saja.‖ Land Cruiser berdencit membelok kembali ke arah Eric dan Hayden. 53
  • 55. ―P-pawang hantu itu...‖ kata Hayden dengan suara gemetar. "M- mungkin sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini...‖ "Kenapa?" protes Eric keras kepala. "Kita ini hantu dan dia manusia. Kau bisa sihir. Jadi nggak usah takut.‖ "T-tapi ppepedang itu di tangannya— s-sekarang..." Eric terdiam sambil berpikir keras. Ia beradu pandang dengan pawang hantu itu dan perasaannya sangat tidak menyenangkan. ―Auranya seperti hendak mencabik.‖ "I-itu Bisolgedhi," teriak Hayden seraya menyambar lengan Eric sekuat tenaga. ―Pawang hantu!‖ "Kurasa dia berbahaya," celetuk Eric semenit berikutnya. "Aku bisa melihat dari matanya." "Oh, Dewaaa!" Kata Hayden dengan dongkol. "Kurasa itu yang aku katakan dari tadi. Apa kau bisa melayang sendiri tanpa bantuanku?" Eric nyengir tapi kemudian memasang wajah serius. Mereka melesat kabur. Bisolgedhi, si pawang hantu, mengejarnya bersama Land Cruiser yang berlari sekencang kuda menerobos apa saja yang menghalangi jalannya. Termasuk pagar taman. Hayden begitu sangat menderita melayang dengan kecepatan melebihi kemampuan maksimalnya. Kondisi badannya yang sangat gemuk membuatnya terseok-seok. Sementara Bisolgedhi mengejarnya dengan beringas seolah dia mendapatkan mangsa yang diharapkan. "Kita kembali ke Snowvus sebelum semua terlambat," raung Hayden. ―Kau tahu di mana letak cermin ke mana saja diletakkan?‖ Eric menyambar lengan Hayden. Mereka bersembunyi di balik semak- semak. "Aku bersumpah tidak akan kembali ke snowvus sebelum menemukan ingatanku lagi," desah Eric dengan nada tajam. "Tapi hanya di sana kita bisa aman!" protesnya dengan tak sabar. "Aku tidak peduli," kata Eric keras kepala sambil mengibaskan tangan ke arah Hayden. "Aku tahu tempat yang bagus untuk bersembunyi. Percaya padaku!" 54
  • 56. Kali ini Hayden menyerah, ia rela berhenti mengomel untuk sementara. Mereka menggeliat di antara kapiler besi. Menjatuhkan diri di gorong-gorong yang sempit. "Bersiaplah ...kita akan jatuh," kata Eric secara mendadak. "AAARRGGHHH...!!! Mereka memekik tertahan. Hayden dan Eric terperosok diantara pipa saluran, meluncur liar mengikuti arus. Hayden mengerang. Pantatnya terperosok ke dalam tanah sementara pakaiannya terkena cipratan comberan yang menjijikkan. "tempat yang jorok, ini seperti dunia tikus, kalau aku benar menebak, di sini adalah comberan bawah tanah—tempat kotoran... Ouh..." Eric nyengir sambil pura-pura batuk untuk menahan tawanya. "Aku tadi kan menyuruhmu untuk bersiap jatuh! Tapi sudahlah, Bisolgedhi tidak mungkin menyusul kemari." Hayden mendengus. Dia berusaha menghindari kerumunan tikus yang bersusah payah menggerayangi tubuhnya. Tikus-tikus itu sepertinya putus asa, mereka seperti hanya menggigit angin kosong. ―tampaknya kau menjadi daging yang paling lezat untuk ukuran mereka,‖ kata Eric sambil membantu Hayden menarik pantatnya yang tenggelam di tanah. Setiap hewan diprediksi mampu merasakan bahkan melihat kehadiran hantu di sekelilingnya. Tetapi disisi lain mereka ragu untuk menyerangnya atau mengajak berteman tanpa komunikasi yang jelas—hanya dengan sedikit koneksi yang sama untuk menyamakan frekuaensi dengan alam lain. ―Kenapa tidak memakai jampi tembus batas yang dimiliki setiap hantu, aku kan juga hantu...‖ omel Hayden setelah ia berhasil menyelamatkan pantatnya. ―Bersyukurlah saja, pantatmu tidak gepeng.‖ "Omong-omong kehilangan pantat jauh kebih baik dari pada dikurung dalam Naigan - pedang perak yang paling mengerikan milik Bisolgedhi." kata Hayden. ―Aku terperangkap di sana dan luar biasa menderita?‖ 55
  • 57. "Naigan? kau pernah dikurung di dalamnya? Jadi pedang itu bisa memakanmu?" Hayden bergumam. "Dia menghisap bukan memakan,‖ kata Hayden dengan mata yang dipaksa melotot. "Aku disiksa habis-habisan tanpa henti. kau tahu ? tanpa henti! sampai aku bersedia menjadi anak buahnya untuk melaksanakan semua perintah pawang bedebah itu." Eric diam seakan sedang mendengarkan setiap suara Hayden dengan detil, tapi sebenarnya ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Seberapa bahayakah dia? Dia tak berarti apa-apa tanpa pedang penghisapnya. "Sebuah keberuntungan menyertai! Master Quarenci datang untuk menolongku dan berkat kehebatan kakekmu, aku selamat. Sebelumnya aku tak pernah berharap untuk melihat kastil Snowvus tercinta lagi setelah pawang itu menangkapku." Eric hanya bergumam, membiarkan Hayden meneruskan ceritanya sambil berjalan menghabiskan malam itu. "Setelah bersumpah menjadi anak buahnya, otakmu akan dicuci lalu dimodifikasi agar mampu membantu menciptakan kesenangan pribadi dan hura-hura manusia." "Hura-hura, eh?" Eric mengernyit. "Hem! manusia membutuhkan makhluk gaib untuk mengejar keberuntungan. Pada pertandingan sepak bola, Bisolgedhi menggunakan kelemahan hantu tawanannya untuk membantu klub Persabu selama pertandingan itu. Akibatnya klub Persabu menang tidak wajar." kata Hayden, bersemangat. ―Tunggu sebentar!‖ Eric bergaya memegang kepalanya. ―Aku ingat! Aku ingat. Aku bisa mengingatnya!‖ Hayden berbinar. ―Ingatanmu sudah ingat?!‖ Eric mengangguk kuat-kuat sambil memeluk Hayden. ―Aku bisa mengingat tim sepak bola andalanku! Persabu yang hebat itu berkat menjual nama Callisto Treton…‖ 56
  • 58. Sebelum meninggal Eric benar-benar penggemar Persabu dan pada setiap penampilannya selalu disertai ritual untuk menciptakan gol. Ia terlalu mengelu-elukan Callisto Treton, pemain andalan Persabu yang memiliki tendangan di atas standar normal. ―Ingatan yang lain?‖ ―Yang lain tidak ada,‖ ujar Eric dengan muram. ―AARRGGHH…Itu namanya bukan berhasil mengingat,‖ sahut Hayden sambil menggaruk lehernya yang tak gatal. ―Itu memori sekunder yang tidak akan hilang meskipun kepalamu hilang.‖ Mereka terdiam sesaat, suara air kotor yang menetes terdengar nyaring ketika bersenDewaa dengan pipa besi. Eric tertunduk. ―Sudahlah, sobat. Kelak kau pasti berhasil menemukan dirimu yang sebenarnya.‖ "Hey omong-omong, dari mana kau tahu aku menyelinap ke dunia manusia?" tanya Eric dengan cepat. Hayden melirik Eric. "Tentu saja kakekmu yang memberitahuku. Kau pikir Mame Granyo yang memberitahuku?" Eric menatap Hayden terkejut. "Kakek bercerita banyak tentangku, eh?" "yah - bahkan semua tentangmu. Katanya semua keturunan Ghobadi tidak bisa bersatu." "APA?‖ sembur Eric dengan murka. "Tapi Master Quarenci berusaha membuat perhubungan jiwa lewat aliran darah keturunan. Peramal Geffon - kau tahu dia? bangsa manusia yang dikutuk menjadi peramal oleh kaum Moro akibat kesalahan luar biasa yang dilakukannya.‖ ―Kakek bilang begitu?‖ ―Eeng... bukan. Itu gosipnya,‖ sambung Hayden cengar-cengir. ―Tapi memang Geffon itu....ber-ba-ha-ya!‖ 57