1. confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 1/6
12th February 2012 Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah
Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan
dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk meninggikan Islam, tetapi
di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta) yang bersumber dari
Barat, yang notabene sangat memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai
macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya
“Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala
sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang
kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan terjebak dalam
dualisme pemahaman yang bertolak belakang. Pertanyaannya: Apakah semua hal
yang berkaitan dengan Barat harus ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus
ditolak dan boleh untuk diambil?
[]
Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai
pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh
Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An
Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah
sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai
fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari
benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.
Hadharah memiliki sifat khas, tetapi kadang-kadang bersifat umum. Sedangkan
madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban
suatu umat tertentu.
Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil.
Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan
hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran
dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah.
Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang
berangkat entah dari mana, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.
Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga
‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan
musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan
serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas
(fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah.
Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat
tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan
urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang
dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi. Ini sebuah kesalahan besar.
Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah.
Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi
permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi
untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak,
semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Dan itu
semua diambil dengan suara terbanyak. Seolah-olah suara terbanyak mewakili
kebaikan semua pihak. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram,
diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan
2. confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 2/6
Sunnah, bukan dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi
memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas
musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia sendiri.
Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah riba itu halal atau haram, jelas
tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang
berasal dari Alquran dan Sunnah. Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba
ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah
menegaskan: Wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa
tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu
(Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang
yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.
Kemudian, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh
mengelola kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan
oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak benar. Sebab
menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang menguasai hajat hidup
orang banyak memang milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga
negara bisa dengan seenaknya jual sana jual sini.
Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i,
wal kala i, wannaari (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput
dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum
tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir).
Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum
karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah
yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk
mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru karena dikelola pihak asing itulah
kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak pernah dirasakan oleh rakyat.
Sedangkan yang kedua, adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang
bersifat umum dan yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan
teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan
hidup tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh
komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi
mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman
atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki
pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone.
Termasuk juga berbagai jenis perangkat IT seperti internet, facebook, web browser,
twitter; perangkat lunak seperti Windows, Linux, Unix, dan sebagainya. Adakah
Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam benda-benda atau software
tersebut?
Hal ini pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil
teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan
hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq
buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong
berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh.
Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar
ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah
sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam
3. confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 3/6
menggempur lawan.
Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam
Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi
mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia
pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar bin Khathab, juga pernah
mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Parsi untuk
mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Adakah Anda menemukan
pandangan hidup tertentu dari Dababah, Manjaniq, parit yang dibagung Salman Al
Farisi, dan system administrasi Parsi yang diadopsi Umar bin Khathab? Berbagai
fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal
untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup
tertentu.
Sedangkan madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya
bagaimana? Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan
hidup tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh
mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki
pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita
tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu.
Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.
Kadang-kadang benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita
yang meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian,
hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan
kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah
kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak
mampu, tentu dengan hati.
Ada satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini
disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti menciptakan
sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam kitab Lisanul Arab
disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan.
Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai
berikut.
1. Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa menurut
Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang baru dan
diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat, maka termasuk
bid’ah yang sesat.
2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak
dilakukan pada masa Rasulullah saw.
3. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan
bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar
syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar’I
tidak termasuk bid’ah.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.
5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah
4. confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 4/6
(tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang
bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku
dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.
Dari berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah
setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap perbuatan yang
menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah saw.:
Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun (Siapa saja yang
melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami
adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Hanya saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak
ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali perbuatan-
perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum.
Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bid’ah. Misalnya belajar
matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir, mempelajari sel-sel makhluk hidup dan
tumbuhan, dan sebagainya. Semua perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-
dalil yang sifatnya umum, yaitu dalil menuntut ilmu.
Demikian pula, pergi rekreasi, menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat,
cincin, atau Alquran, membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid,
memakai pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan
merupakan bid’ah.
Semua perbuatan di atas memang tidak dijelaskan secara detail dan terinci, baik
pada masa Rasul maupun pada masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-
dalil yang sifatnya umum. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani
menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam
syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.
Jadi, bid;ah adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk
semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan
tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.
Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah) pelaksanaan perbuatan
kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat
tidak membatasi tata cara, melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya
(tasharruf). Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah,
tetapi bisa haram atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan
larangannya.
Mendirikan perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja
hukumnya haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam,
bukan bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak termasuk
bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut demokrasi, tidak
terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.
Lain halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah
ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan, termasuk
bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan alasan cinta
kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah. Ada dalil yang
menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini adalah tata cara
5. confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 5/6
spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh karena itu, siapa saja yang
menyalahinya, misal berdoa dengan mengepalkan tangan atau dengan tangan di
pinggang, jelas ini adalah bid’ah. Haram melakukannya.
Berangkat dari hal di atas, kemudian ada orang yang secara serampangan
menyatakan “Bukankah keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri
juga baru? Jadi konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”
Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah
dan madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa
rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru
dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu kita
sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain juga belum ada.
Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis dan ushul hadis, belum
ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal-hal baru
yang muncul, pada masa dulu para sahabat tidak perlu bingung-bingung dengan
konsep hadharah dan madaniyah. Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah
saw. masih ada. Sehingga jika mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan
langsung menanyakannya kepada Rasulullah.
Atau pada masa tabi’in dan sahabat sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika
tabi’in menemukan satu hal yang baru dan tidak bisa memecahkan
permasalahannya, maka mereka akan bertanya kepada sahabat yang masih hidup.
Begitu seterusnya. Hingga pada masa kontemporer, ketika orang mengalami
kebingungan dalam memilih dan memilah, mana yang harus diambil dari peradaban
orang-orang Barat, maka Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan
dihasilkanlah sebuah konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib
diambil hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak.
Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat umum
maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil. Demikianlah..
Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan.
Mari kita melihat, apa yang disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar
dan memiliki hujjah yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat
A, dan kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita
masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu pendapat
B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri. Tidak penting, orang itu
berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang lebih kuat, tentu harus diambil dan
menyepakati pendapat yang lebih kuat tersebut dan membenarkannya.
Kita semua perlu mengakui kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al
Banna, “Kewajiban yang kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.”
Walaupun saya tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi
saya mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar.
Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang
sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu yang ada
sangat sedikit.
Oleh karena itu, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh
prinsip kebenaran. Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang
atau yang lainn