2. Latar Belakang Pembentukan
Pengadilan HAM
Undang-Undang Pengadilan HAM disahkan dan
diundangkan sebagai respon terhadap adanya
Pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi di Timor-
Timur .
Tuntutan masyarakat internasional maupun nasional
atas dugaan adanya beberapa peristiwa yang diduga
merupakan kejahatan kemanusiaan yang paling
serius.
3. Sejak diundangkannya pada tanggal 23 November
2000, UU Pengadilan HAM telah dipergunakan dalam
proses peradilan dugaan Pelanggaran HAM yang
Berat, diantaranya adalah Peristiwa Tangjung Priok
1984, Peristiwa Timor-Timur 1999 dan Peristiwa
Abepura 2000.
4. Undang-Undang Pengadilan HAM ini disahkan dan
diundangkan pada 23 November 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026) pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur).
5. Dalam pertimbangannya, Pengadilan HAM perlu
dibentuk untuk ikut serta memelihara perdamaian
dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta memberi
perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman
kepada perorangan maupun masyarakat.
6. Hukum Acara Pengadilan HAM
diatur dalam
UU. No. 26 Tahun
Penangkapan
1. Bukti permulaan yang cukup (pasal 11 ayat 1, uu no 26 tahun
2000)
alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 184 KUHAP, yakni,
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa.
2. Dilakukan oleh Penyidik (pasal 11 ayat 2)
Penangkapan hanya bisa dilakukan oleh penyidik dalam hal ini
adalah Jaksa Agung. Ini berarti tidak semua aparat kejaksaan
menjadi penyidik dalam perkara pelanggaran HAM
7. 3. Dilengkapi Surat Tugas (pasal 11 ayat 20).
4. Dilengkapi dengan surat Perintah Penangkapan (pasal 11 ayat 2)
5. Tembusan Surat Perintah Penahanan.
Segera setelah penangkapan dilakukan (pasal 11 ayat 3 uu no 26
tahun 2000) maka tembusan Surat Perintah. Segera disini, baik dari
uu no 26 tahun 2000 maupun dalam KUHAP tidak menentukan
secara limitative berapa lama maksud segera itu.
8. Penahanan
Dalam perkara pelanggaran HAM berat Jaksa Agung selaku
penyidik dan penuntut umum (pasal 12 ayat 1 uu 26 tahun 2000)
berwenag melakukan penahanan atau penahanan lanjutan,
sedangkan hakim Pengadilan HAM ( ayat (2)) dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan. Penahanan atau
penahanan lanjutan (ayat (3)) dilakukan dengan Surat Perintah
Penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau Penuntut Umum
atau dengan Penetapan Hakim.
9. Penyelidikan
Adalah serangkaian tindakan penyidik mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana, guna menentuksn dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan (pasal 1 angka 5
HUHAP), dengan demikian penyelidikan menurut
uu no 26 tahun 2000 adalah serangkaian tindakan
penyelidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang
Penyelidikan dilakukan oleh KOMNAS HAM selaku
Penyelidik.
10. Penyidikan
Penyidikan dalah tindakan pro justicia selama pemeriksaan
pendahuluan untuk mencari bukti –bukti tentang terjadinya
pelanggaran HAM yang berat7).
Dalam penyidikan, dilakukan oleh jaksa Agung (pasal 21). Ia dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsure masyarakat
dan unsure pemerintah
Penyidikan dilakukan dalam jangka waktu 240 hari, jika dalam
jangka waktu tersebut tidak ditemukan cukup bukti, maka jaksa
agung musti mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
namun dapat di buka kembali apabila terdapat bukti baru.
11. Penuntutan
Penuntutan adalah suatu proses pelimpahan perkara pelanggaran
HAM yang berat kepada Pengadilan HAM dengan membuat surat
dakwaaan.
12. Acara pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim yang berjumlah 5 orang. Terdiri
dari 2 orang hakim pengadilan Tinggi bersangkutan dan 3 orang
hakim Ad hoc. 8)
Dalam hal perkara diajukan kasasi ke MA (pasal 33) maka perkara
tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari
sejak perkara dilimpahkan ke MA. Pemeriksaan dilakukan oleh 2
orang hakim agung dan 3 orang hakim ad hoc.