1. Ulang Tahun, Kebiasaan Aneh Tapi Nyata
Oleh Panggih Walu
Anak saya sontak teriak ketika mendapat undangan kecil bergambar kartun dari
temannya mainnya. Sebagai orang tua, saya bisa memaklumi kegembiraannya karena setahunya,
dia mendapat sebuah undangan untuk makan dan bernyanyi-nyanyi ke rumah temannya. Anak
saya tahu hal seperti itu dari berbagai tayangan televisi, dari temen-temen bermainnya, dari
saudara-saudara yang masih melakukan kebiasaan berulang tahun.
Seperti biasanya, ketika mendapat undangan seperti itu, saya selalu berpesan kepada istri
agar tidak menghadiri acara tersebut. Saya berpesan agar memberikan hadiah saja di luar acara
tersebut. Dengan niat memberikan hadiah semata. Hal tersebut saya lakukan guna menjaga
hubungan antara tetangga, agar jangan sampai terjadi persangkaan-persangkaan yang tidak-tidak
karena ketidakhadiran anak saya.
Di awal-awal, sempat juga saya berselisih pendapat dengan istri saya, istri berdalih dan
khawatir jika tidak hadir di acara semacam itu kita akan diasingkan oleh masyarakat dan anak
kita akan menjadi kuper. Lalu saya jawab, “mi... akal siapakah yang mau menerima, ketika jatah
umur kita berkurang dengan bertambahnya waktu, lalu kita malah “bergembira”, lalu “jika
dikaitkan dengan rasa bersyukur dengan bertambahnya usia, apakah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wassalam sebagai panutan kita mengajar cara bersyukur yang seperti itu...?” Bukankah ini
sebuah pembodohan untuk anak kita? Sebuah pemaksaan ajaran yang jelas tidak bersumber dari
agama yang kita yakini yakni Islam...”
Kemudian saya tambahkan kepada istri saya lagi bahwa kebiasaan ulang tahun adalah
mengekor pada kebiasaan kaum di luar Islam yang biasa merayakan hari kelahiran “tuhan”
mereka. Dan ini merupakan satu point tambahan untuk alasan mengapa kita harus menghindari
acara tersebut. Apa dalilnya? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam telah mengingatkan kita,
dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu
Daud No. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)
Bisa dikatakan jika kita mengikuti kebiasaan mereka (kaum di luar Islam) tersebut maka
kita adalah bagian dari kaum tersebut. Sebab dari panutan kita yang mulia pun, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wassalam tidak pernah memberikan contoh “ritual” tersebut, bahkan jika
dalihnya adalah sebuah ungkapan kesyukuran, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam
telah mengajarkan dan mencontohkan bentuk kesyukuran yang real, sebagaimana telah
diriwayatkan dalam hadist berikut:
2. Mughirah bin Syu'bah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah bangun untuk shalat sehingga
kedua telapak kaki atau kedua betis beliau bengkak. Lalu dikatakan kepada beliau, 'Allah
mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti
itu?' Lalu, beliau menjawab, 'Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang
bersyukur?'" (HR. Bukhari)
Begitulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengajarkan kita cara bersyukur.
Bersyukur yang sebenar-benarnya adalah dengan menambah ketaatan pada Dzat yang
memberikan kenikmatan. Bukan dengan sekadar makan bersama atau bernyanyi-nyanyi lalu
setelah itu nuansa ketaatan dibuang jauh-jauh setelah mendapat kenikmatan itu.
Jadi, kepada Anda wahai saudaraku seaqidah yang menjadi orang tua, menjadi kakak,
dan menjadi contoh bagi anak dan adik-adik kita, masihkah ada dalil dan dalih untuk “gemar”
melakukan dan mencontohkan atau menganjurkan kebiasaan ini kepada generasi penerus kita?
Jika Anda berlebih harta, ajarkan anak dan adik-adik kita bersedekah dan berinfaq kepada yang
membutuhkan. Itu jauh lebih mengajarkan kepada hal yang dicintai Alloh dan RasulNya. Jika
Anda ingin mengadakan acara makan bersama, maka undanglah anak yatim untuk bersama-sama
menikmati rezeki yang Anda terima dari Alloh. Maka itu juga hal yang diridhoi oleh Alloh dan
RasulNya.
Wahai saudaraku seaqidah...seperjuangan
Yakinlah...bahwa agama ini adalah aturan yang sempurna dari Yang Maha Sempurna.
Tidak usahlah kita merasa bangga dengan kebiasaan-kebiasaan yang “mereka” lakukan.
Cukuplah Alloh dan RasulNya sebagai penilai kita dan tolok ukur kebaikan buat kita...
Wallahu ‘alam.
forward from www.mujahiddesa.blogspot.com