SlideShare a Scribd company logo
Distinction, Personal Branding, dan Instagram
(Strategi Investasi Simbolik Syahrini)
Tritama Chaerani dan Haryatmoko
Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Tesis ini membahas strategi investasi simbolik yang dilakukan Syahrini pada akun Instagram
miliknya sebagai upaya pencarian distinction melalui tiga pola konsumsi (penampilan,
budaya, dan makanan). Konsep distinction digunakan untuk mengeksplorasi konsep personal
branding. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam perspektif kritis dengan
analisis isi dan metode semiotika. Hasil penelitian menunjukkan Syahrini menempatkan
penampilan (barang mewah dan mode busana) dalam proporsi yang paling besar untuk
menggambarkan distinction melalui media sosial Instagram, namun upaya tersebut tidak
membuat Syahrini meraih kapital simbolik dan personal branding yang efektif.
Kata kunci:
Distinction; Instagram; Personal Branding; Syahrini
ABSTRACT
This thesis describes Syahrini’s symbolic investment strategy on her instagram account as
one effort to find distinction based on three consumption patterns (performance, culture, and
food). The concept of distinction is utilized to elaborate the concept of personal branding.
This study used a qualitative approach in a critical perspective with content analysis and
semiotics method. The results shows that Syahrini puts performance (luxury brands and
fashion) in the greatest proportion to potray distinction through Instagram, but this effort do
not make Syahrini gain symbolic capital and achieve an effective personal branding.
Keywords:
Distinction; Instagram; Personal Branding; Syahrini
PENDAHULUAN
Revolusi teknologi komunikasi menghadirkan internet sebagai new media dengan ruang
interaksi tanpa batasan geografis. Kehadiran media sosial sebagai bagian dari jaringan internet
mengubah tatanan interaksi sosial antar individu yang melahirkan potensi media sosial untuk
mereproduksi dominasi, baik melalui proses distinction ataupun personal branding sebagai
shortcut mobilitas sosial. Tren media sosial mengarah pada fitur photo-sharing, salah satunya
ditandai dengan kemunculan Instagram yang membuat tehnik pengambilan gambar dapat
dilakukan dengan mudah dan sederhana. Take, edit, dan share menjadi gerakan yang begitu
sederhana dalam mereplikasi suatu peristiwa. Instagram menggabungkan langkah-langkah
tersebut ke dalam satu saat sebagai alur kerja tunggal yang mengutamakan penerbitan instan
dengan lebih menekankan sifat mobile.
 
	
   2	
  
Instagram pertama kali diluncurkan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger pada tanggal 06
Oktober 2010. Hanya delapan bulan setelah itu, Instagram memiliki sepuluh juta pengguna.
Di akhir tahun 2011, Instagram mendapat penghargaan “iPhone App of the Year” dari Apple
Inc. Instagram memperluas jangkauannya dengan hadir dalam ponsel Android pada tanggal
03 April 2012 dan membawa implikasi pada naiknya jumlah pengguna hingga 80 juta hanya
dalam waktu singkat. Pertumbuhannya yang progresif membuat Facebook mengakuisisi
Instagram dengan harga US 1 Miliar dalam bentuk tunai dan saham. Instagram menutup
tahun 2013 dengan jumlah pengguna yang bertambah menjadi lebih dari 150 juta pengguna
yang saling berbagi 55 juta foto setiap harinya dengan 1.2 juta likes (Instagram Press, 2013).
Tidak dapat dipungkiri, momentum keberhasilan Instagram didukung oleh perkembangan
teknologi ponsel. Pengguna internet melalui ponsel semakin mobile dengan dukungan
perangkat teknologi yang semakin canggih menghadirkan kesempurnaan visual. Pada tahun
2002, RIM (Research in Motion) membuat momentum perkembangan teknologi melalui
smartphone yang dinamakan Blackberry (e-mail, telepon, chatting, dan akses internet dalam
satu genggaman). Lima tahun kemudian, Apple memperkenalkan iPhone (2007) sebagai satu
ponsel yang paling digemari karena fiturnya yang lengkap, banyak fungsi dalam satu ponsel,
dan resolusi kamera terbaik. Audio atau video player, games, web browser, telepon, instant
messaging, email, sync, dan digital personal assistant dalam satu ponsel berlayar sentuh.
Smartphone menjadi tersebar dan terjangkau ketika pada tahun 2009, Android menjadi salah
satu sistem yang dijual bebas oleh Google untuk dikembangkan dengan ponsel merek apapun.
Harga smartphone menjadi lebih terjangkau dengan merek selain Blackberry dan iPhone.
Mobile phone murah semakin lama menghasilkan foto yang berkualitas baik dengan cara
yang semakin mudah. Hanya cukup dengan sekali sentuhan atau klik pada mobile phone, foto
dapat dihasilkan dan disebarkan melalui media sosial berbasis jaringan visual atau foto.
Dengan begitu, foto melampaui konten pada teks. Foto menjadi medium revolusioner ketika
mudah diproses, dihasilkan, dan disitribusikan. Pengguna Instagram berperan sebagai
kontributor konten visual yang mencerminkan ekspresi dan citra diri. Dahulu kita
mendokumentasikan tempat dan peristiwa dengan mengambil gambar melalui kamera,
kemudian dicetak dan dibagikan ke teman atau keluarga terdekat. Saat ini, pertumbuhan
teknologi pada ponsel, menciptakan evolusi bagaimana kita berkomunikasi. Ponsel yang
dilengkapi kamera bersama dengan terobosan media sosial seperti Instagram menjadi cara
baru bagi masyarakat untuk berbagi narasi kehidupan melalui foto.
 
	
   3	
  
Melalui Instagram, Syahrini kerap mempublikasikan kepemilkan barang mewah dan gaya
hidup glamour. Ia menarasikan kehidupan dan karirnya sebagai penyanyi dalam gambaran
ideal kelas atas yang berlimpah materi. Akun Instagram miliknya juga kerap menjadi bahan
pemberitaan di media massa televisi berkat aksinya yang dinilai pamer dan terkesan norak.
Sebab ada ketimpangan antara Syahrini ‘dulu’ dan ‘sekarang’ yang terlihat berbeda perihal
penampilan dan keadaan sosial. Analisa tersebut tidak terlepas dari peran habitus, sistem
pendidikan yang telah dilalui, serta karirnya yang melesat sejak berduet bersama Anang
Hermansyah. Menariknya, Syahrini dengan nama asli Rini Fatimah Zaelani, yang dari
perspektif habitus, sebetulnya memiliki masa kecil di Cikujang, Sukabumi mencerminkan
kepemilikan kelas menengah ke bawah tapi berupaya melakukan distinction dalam media
sosial Instagram sebagai arena. Bahkan, artis yang dulu mendapatkan julukan 'Rini' di awal
karir, sekarang mentransformasikan dirinya sebagai penyanyi pop berpenampilan glamour
melalui personal branding di Instagram.
Dalam pemikiran Bourdieu (1984), pada dasarnya kecenderungan individu menginginkan
mobilitas sosial yang bergerak ke atas. Akibatnya, untuk berada di kelas tertentu seperti yang
dikehendaki, individu melakukan distinction dengan mengupayakan segala bentuk akumulasi
kapital yang dimiliki agar mendapat pengakuan simbolik. Pertunjukkan dari kapital tersebut
semakin menjadi lebih mudah ketika menggunakan media sosial yang relatif cepat, praktis,
dan berbiaya murah. Menjadi jawaban dari ketidakmampuan individu yang memiliki
mobilitas sosial yang rendah. Memang Bourdieu tidak menyebut branding secara eksplisit,
namun dalam praktik strategi kekuasaan, terdapat upaya branding di dalamnya untuk
mempertahankan suatu dominasi kekuasaaan.
Personal branding merupakan kegiatan yang dapat mengendalikan persepsi orang lain sesuai
dengan cara pandang yang ingin dibentuk. Senada dengan pendapat Wilson dan Blumenthal
(2008:20) bahwa personal branding relevan untuk siapa pun yang secara proaktif
menyalurkan hasrat dirinya dalam reputasi yang relevan dengan apa yang dikehendaki. Dalam
personal branding, pelaku memiliki hasrat untuk membangun suatu reputasi yang relevan
dengan citra dan identitas diri yang diinginkan. Mereka berusaha menempatkan diri pada
suatu kelas sosial dengan berlandaskan pada keinginan menjadi spesial, berharap menjadi
pusat perhatian, dihargai, dan dianggap penting. Keinginan membedakan diri untuk
menunjukkan klasifikasi diri yang menghantarkan pada strategi penempatan kapital dalam
arena sosial merupakan bagian distinction yang diungkapkan Bourdieu. Melalui karyanya
 
	
   4	
  
Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984:471), Bourdieu
menggambarkan bagaimana tatanan sosial secara progresif berada dalam pikiran seseorang
melalui produk budaya, seperti sistem pendidikan, bahasa, penilaian, nilai, metode klasifikasi,
dan aktivitas kehidupan sehari-hari yang mengarah pada perbedaan hirarki sosial, tetapi
secara tidak sadar diterima sebagai sebuah kebenaran universal.
Distinction menurut Bourdieu (1984:184) menunjukkan bagaimana preferensi pada makanan,
pakaian (penampilan), dan gaya hidup (budaya) mengklasifikasi suatu selera. Selera memberi
gambaran pemisahan kelas sesuai dengan harapan dan bagaimana kelas dominan dipandang
dalam hirarki kekuasaan (Blunden, 2013). Untuk itu, tiga struktur selera sebagai produk sosial
menyediakan konteks bagaimana kelas dominan mengklaim gambaran kelas sosialnya.
Haryatmoko (2010) menyatakan bahwa selera dengan demikian tidak netral. Jadi selera
beroperasi sebagai semacam orientasi sosial, mengarahkan seseorang dalam posisi sosial
tertentu sesuai dengan kedudukannya. Jenis makanan dan cara makan menunjukkan kelas
sosial seseorang. Begitu pula dengan penampilan sebagai cara berperilaku dan budaya apa
yang dikonsumsi seseorang.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi penempatan kapital
yang dilakukan Syahrini pada akun Instagram yang dimilikinya melalui proses distinction.
Adapun proses distinction tersebut akan membawa penulis memahami makna simbolik
terhadap strategi penempatan kapital Syahrini melalui tiga pola konsumsi (makanan,
penampilan, dan budaya). Tujuan dari analisis tersebut diharapkan dapat menunjukkan
konsep personal branding juga berlangsung dalam akun Instagram Syahrini sebagai akibat
strategi investasi simbolik yang dilakukannya.
TINJAUAN TEORITIS
Pandangan Bourdieu tentang habitus, kapital, arena, distinction dan selera, serta kekerasan
simbolik merupakan teori utama yang digunakan sebagai dasar penelitian. Kekayaan teori
Bourdieu nantinya akan dipadukan dengan konsep personal branding Rampersad (2008).
Sinergi antara distinction milik Bourdieu dengan personal branding menjadi menarik dalam
bingkai komunikasi. Personal branding juga digunakan sebagai kompensasi dari lemahnya
mobilitas sosial. Akhirnya, kedua pendekatan itu menelusuri praktik-praktik mobilitas sosial
agen melalui kategori pemaknaan yang ditujukan untuk mereproduksi dominasi.
 
	
   5	
  
Habitus digunakan untuk menganalisa kecenderungan pilihan selera yang digunakan untuk
menjelaskan distinction sebagai perwujudan dari habitus Syahrini. Konsep habitus
digambarkan sebagai hasil dari proses sosialisasi jangka panjang yang dialami individu dalam
kehidupan sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi kerangka penafsiran
dan kepribadian. Oleh karena itu, habitus mencerminkan kebiasaan seseorang yang menuntun
pada bagaimana individu berpikir dan bertindak.
Kontribusi habitus juga menghasilkan strategi-strategi yang secara obyektif akan disesuaikan
menurut situasi yang ada, meski habitus tidak lahir dari usaha sadar dalam mencapai tujuan
yang terumuskan secara eksplisit berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang kondisi-
kondisi obyektif dan tidak pula oleh determinasi mekanis oleh berbagai sebab (Bourdieu,
1987:16). Sebagai struktur yang tidak determinatif terhadap individu menjadikan individu
memiliki strategi yang berbeda-beda untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dalam
kaitannya dengan kapital, bagaimana strategi dan habitus dapat bertransformasi dan
melakukan differensiansi vertikal pada kehidupan Syahrini 'dulu' dan 'sekarang'. Proses
internalisasi yang dilakukan Syahrini untuk menghadirkan dirinya dalam kelas sosial atas
sekaligus menjadikan dirinya sebagai gambaran artis ideal dan glamour.
Istilah konsep kapital (modal) pada bidang ekonomi hampir serupa dengan kapital (modal)
yang diusungkan Bourdieu, tetapi tidak sama. Bedanya, dalam bidang ekonomi, kapital
dimaknai sebagai bentuk akumulasi materi (uang), sedangkan Bourdieu memaknai kapital
secara lebih luas. Baginya, kapital bukan hanya dimaknai semata-mata sebagai kapital yang
berbentuk materi, melainkan kapital merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi dalam
bentuk embodied, yang dapat digunakan untuk memberi keuntungan bagi agen sosial,
misalnya menentukan posisi mereka dalam struktur sosial.
Konsep kapital terdiri dari empat kategori, yakni ekonomi, sosial, budaya dan simbolik
digunakan untuk melihat bagaimana penempatan jenis kapital tersebut digunakan Syahrini
untuk mengasosiasikan dirinya dalam kelas sosial atas. Menurut Bourdieu (1986:243), kapital
ekonomi menjadi kapital yang relatif paling independen, tidak terlalu terikat pada arena
tertentu, lebih dmudah dikonversi antara arena, dan lebih leluasa. Kedua, kapital budaya
(serangkaian kemampuan dan keahlian individu) yang dalam kondisi tertentu merupakan
perluasan dari kepemilikan kapital ekonomi dan dapat dikonversi kembali menjadi kapital
ekonomi. Kapital budaya bisa didapatkan melalui pendidikan dan keluarga. Misalnya,
 
	
   6	
  
kualifikasi pendidikan yang dilembagakan. Kapital sosial digunakan untuk mengamati
hubungan sosial yang dibangun Syahrini. Menurut Bourdieu (1984:286), kapital sosial adalah
kumpulan sumberdaya aktual dan potensial yang berhubungan dengan kepemilikan jaringan
hubungan kenalan dan pengakuan yang terlembaga dan bertahan lama yang memberikan pada
masing-masing anggotanya dukungan kapital yang dimiliki secara kolektif, suatu
'kepercayaan' yang memungkinkannya dipercaya, dalam berbagai pengertian. Kapital
simbolik sebagai jenis kapital yang dikenali melalui skema klasifikasi dan secara sosial
diakui.
Kapital simbolik merupakan kategori konsep kapital yang paling penting untuk diteliti karena
peran pentingnya sebagai sumber kekuasaan. Kapital simbolik tak lain adalah kapital ekonomi
dan budaya ketika ia mendapat legitimasi, atau ketika ia dikenali lewat kategori persepsi yang
diberlakukannya, maka relasi kekuasaan simbolis cenderung mereproduksi dan memperkuat
relasi kekuasaan yang membentuk struktur ruang sosial (Bourdieu, 1987:176). Tujuannya
adalah untuk mendapatkan lebih banyak kapital dan posisi dominan dalam arena itu yang
dalam waktu panjang dapat menghasilkan prestige, selebriti, penghormatan, dan kekuasaan
(Bourdieu & Johnson, 1993:75). Analisis terhadap tanda-tanda simbolik menunjukkan usaha
Syahrini dalam menempati kelas sosial tertentu.
Konsep kelas dikemukakan Bourdieu tidak terlepas dari konsep kapital. Kepemilikan kapital
yang tidak seimbang, menjadikan masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelas. Bourdieu
melihat habitus kelas sebagai sistem skema klasifikasi dalam bentuk internalisasi suatu
kondisi kelas. Ia mengungkapkan pentingnya habitus dalam pengondisian suatu kelas.
Melalui habitus, sifat-sifat kelas menjadi praktik sosial yang dapat berwujud homogen, tetapi
juga menciptakan klasifikasi. Secara obyektif Bourdieu (1984:101) mendefinisikan kelas
sebagai kumpulan agen yang menduduki posisi-posisi sama (homogen) dan ditempatkan
dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang sama.
Kelas sosial menurut Bourdieu (1984:106) tidak hanya dibedakan oleh kuantifikasi
kepemilikan kapital, jenis kelamin, usia, pendapatan, atau asal daerah. Tetapi, struktur relasi
antara semua bentuk kapital yang memberikan nilai dan efek tertentu yang mengarahkan pada
praktik sosial. Bourdieu (1984:106-107) menggunakan karakteristik pekerjaan (professional)
untuk menunjukkan bagaimana suatu kelas diproduksi yang pada akhirnya menentukan
praktik sosial. Oleh karena itu, pemikiran Bourdieu dalam tafsiran Haryatmoko (2010:7-8)
 
	
   7	
  
memberikan penjelasan mengenai pembagian kelas sosial yang terkait dengan kategori sosio-
profesional. Kelas sosial dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, kelas dominan (borjuis)
ditandai dengan besarnya kepemilikan kapital. Kelas ini mengakumulasi berbagai kapital
dalam wujud kapital simbolik. Mereka mendefinisikan dan menentukan budaya yang sah.
Kelompok kedua ialah kaum borjuis kecil (petite bourgeoisie). Mereka selalu memiliki hasrat
untuk menaiki tangga sosial agar memiliki kesamaan sifat dengan kaum bourjuis. Mereka
masuk ke dalam posisi kelas menengah dalam lingkup sosial. Ada yang karyawan,
wiraswasta, atau pengusaha. Ketiga, kelas populer. Kelas ini ditandai dengan serba kurangnya
kepemilikan kapital. Mereka hampir tidak memiliki keempat jenis kapital yang di sebut di
atas. Nilai yang menyatukan mereka ialah sejumlah praktik dan representasi yang menemukan
makna dalam keunggulan fisik dan penerimaan dominasi.
Jika kapital dalam fungsi sosialnya menentukan posisi sosial individu dalam masyarakat,
maka setiap agen sosial akan selalu berupaya untuk mereproduksi setiap kapital yang
dimilikinya. Di dalam arena, habitus dan kapital beroperasi untuk memperjuangkan
kepentingan agen sosial. Arena adalah jaringan atau konfigurasi, hubungan-hubungan
obyektif di antara posisi-posisi. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992:97), posisi-posisi
tersebut didefinisikan secara obyektif, dalam eksistensinya dan dalam determinasi yang
dikenakannya pada individu yang mendudukinya, agen atau institusi, oleh situasinya saat ini
dan potensialnya dalam struktur distribusi dan jenis kekuasaan (atau kapital) yang
kepemilikannya memberikan akses pada keuntungan-keuntungan spesifik yang menjadi
sasaran yang akan dicapai dalam arena tersebut, juga oleh hubungan obyektifnya pada posisi-
posisi lain (dominasi, subordinasi, dan homologi). Dengan demikian, arena merupakan tempat
dimana para agen berusaha melakukan transformasi dominasi atau mempertahankan kekuatan
dengan struktur distribusi kapital yang spesifik. Dalam dalam penelitian ini, arena yang
dijadikan ajang kontestasi pertarungan melalui pencarian distinction adalah media sosial
Instagram.
Distinction pada Bourdieu (1984:184) menunjukkan bagaimana preferensi pada makanan,
pakaian (penampilan), dan gaya hidup (budaya) mengklasifikasi suatu selera yang
merefleksikan gambaran pemisahan kelas untuk menyesuaikan harapan dan bagaimana kelas
dominan dipandang dalam hirarki kekuasaan. Untuk itu, tiga struktur tersebut sebagai produk
sosial menyediakan konteks kelas dominan yang mengklaim gambaran kelas sosialnya
melalui makanan, penampilan, dan budaya yang dijadikan strategi kekuasaan dalam proses
 
	
   8	
  
distinction melalui makna dan hubungannya yang tercermin dalam pilihan selera konsumsi.
Oleh karena itu, praktik distinction tidak pernah lepas dari klasifikasi selera yang turut
dipengaruhi oleh habitus tempat seseorang dibesarkan. Menurut Bourdieu (1984:56), selera
merupakan cara membedakan diri yang esensial dengan orang mengklasifikasikan dirinya dan
pada saat yang sama, ia juga diklasifikasikan oleh orang lain.
Bourdieu (1984:16) membedakan selera menjadi tiga zona berdasarkan tingkat pendidikan
dan kelas sosial. Pertama, legitimate taste, selera yang dipercaya untuk karya seni yang
dilegitimasi ataupun dalam proses legitimasi oleh kelas dominan atau intelektual
berpendidikan tinggi. Kedua, Middle-brow taste, yang menyatukan karya-karya kecil dari seni
utama, berlaku pada selera kelas menengah atau kelompok intelektual dari kelas dominan.
Ketiga, popular taste, diwakili oleh pilihan karya musik yang ringan dan populer.
Atribusi dari selera konsumsi yang implisit secara sadar atau tidak dipilih karena mereka
menghadirkan kualitas yang kurang lebih seperti kelas atas yang digunakan sebagai sistem
klasifikasi. Inilah yang menyebabkan tidak ada hal yang mengklasifikasi seseorang selain cara
dia diklasifikasikan (Bourdieu, 1984:52; 1987:175). Tujuan sentralnya selalu pada
memastikan distinction yang akan menjamin status agen sosial itu dan berfungsi sebagai
sumber kekuasaan simbolis yang kemudian digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih
lanjut (Bourdieu, 1990:123-139). Bagi Bourdieu, cara kerja selera dan logika distinction ini
memberi struktur pada hirarki sosial dan memberi legitimasi dengan mewakili realitas kaum
borjuis sebagai kehidupan ideal bagi kelas dibawahnya.
Logika distinction yang selalu berujung pada upaya membedakan diri dapat dilihat juga dari
beberapa asumsi personal branding, yakni (1) personal branding menjadikan seseorang unik,
khusus, dan berbeda (Rampersad, 2008:2); (2) segala sesuatu yang individu lakukan dapat
mengubah dirinya menjadi produk berharga dengan membuat pilihan yang
mengkomunikasikan ekuitas dari personal brand, seperti dengan siapa seseorang berteman
(kapital sosial), pakaian yang digunakan (selera pada preferensi penampilan), dan cara
berbicara dan berperilaku (kapital budaya) (Rampersad, 2008:106; Bourdieu, 1984); (3)
personal branding sebagai upaya menjelaskan dan komunikasi atas apa yang membuat
seseorang berbeda dengan menggunakan sifat-sifat khusus untuk memisahkan diri dari orang
lain (Rampersad, 2008:7).
 
	
   9	
  
Hubert K. Rampersad (2008:14-15) memberikan sebelas kriteria membangun personal
branding yang efektif, diantaranya: authenticity, integrity, consistency, specialization,
authority, distinctiveness, relevant, visibility, persistence, goodwill, dan performance.
Pertama, Authenticity mencerminkan karakter, perilaku, nilai-nilai, dan visi yang sejalan
dengan cita-cita pribadi (personal ambition). Rampersad memaknai ‘authentic’ pada proses
personal branding berakhir pada kepercayaan orang lain terhadap seorang figur (Rampersad,
2008:118). Rampersad (2008:14) selanjutnya berpegang pada integritas yang meliputi
keteguhan moral dan perilaku yang erat dengan keaslian. Ketiga, kriteria consistency dalam
penyajian konten personal branding yang berulang agar kerap diingat oleh masyarakat
(Rampersad, 2008:14).
Keempat, specialization dalam personal branding digunakan untuk menggali potensi diri
dengan berfokus pada satu arena tertentu (Rampersad, 2008:14). Rampersad (2008:65)
mengatakan bahwa keahlian khusus dibutuhkan seseorang untuk menjadi berbeda. Kriteria
kelima adalah otoritas yang didapat dari keahlian di bidang tertentu (Rampersad, 2008:15).
Otoritas biasanya didukung oleh spesialisasi dan kredibilitas yang relevan dengan profesinya.
Kriteria keenam adalah relevan yang menghubungkan apa yang individu lakukan dengan apa
yang dianggap penting oleh khalayak (Rampersad, 2008:15). Umumnya, bentuk relevansi
menggambarkan seseorang yang berkecimpung di suatu arena akan sering memuat pesan
yang sesuai dengan keahliannya. Ketujuh, kriteria visibility artinya personal branding harus
terlihat secara konsisten, dan berulang sehingga menggambarkan repetisi dalam terpaan
jangka panjang (Rampersad, 2008:15).
Kedelapan, kriteria persistence yang menunjukkan bahwa kegiatan personal branding
bukanlah sesuatu yang instan, melainkan langkah membangun personal brand yang
membutuhkan kepercayaan publik dan investasi waktu (Rampersad, 2008:15). Kriteria
kesembilan adalah goodwill yang memberikan nilai-nilai positif pada personal brand
(Rampersad, 2008:15). Nilai-nilai positif yang ditampilkan umumnya didasari pada bentuk
kontribusi untuk khalayak, bukan berorientasi pada diri sendiri. Kemudian, kriteria kesepuluh
dari Rampersad (2008) adalah kinerja. Kriteria ini yang memberi penilaian terhadap personal
brand telah dibentuk. Rampersad (2008:15) menyarankan individu untuk tidak pernah
berhenti meningkatkan kinerja sebagai bentuk adaptasi terhadap persaingan. Distinctiveness
sebagai kriteria kesebelas sengaja dicantumkan oleh penulis sebagai kriteria terakhir karena
menunjukkan penekanan utama dari seluruh kriteria personal branding. Kriteria ini
 
	
   10	
  
menekankan individu untuk membedakan diri dengan orang lain agar terlihat memiliki nilai
lebih dalam sebuah kompetisi (Rampersad, 2008:15). Personal branding memang selalu
ditujukan untuk lebih dikenal karena unik dan berbeda.
METODE PENELITIAN
Pendekatan kualitatif memperjelas bagaimana peneliti mengidentifikasi fenomena sosial
dengan memahami makna subyektif. Hennink (2011:9) berpendapat bahwa fitur utama yang
membedakan penelitian kualitatif dengan kuantitatif adalah pendekatan ini memungkinkan
kita untuk mengidentifikasi isu-isu dari perspektif partisipan penelitian, dan memahami
makna dan interpretasi yang mereka berikan kepada perilaku, peristiwa atau benda. Perspektif
kritis memberi ruang reflektif bagi penulis untuk memahami pemaknaan terhadap tanda
konotasi (semiotika R.Barthes) pada sejumlah foto Instagram Syahrini, peneliti mempelajari
cara kerja tanda tersebut dapat berkembang menjadi mitos. Cara kerja mitos ini yang
menjadikan Syahrini sebagai pelaku sekaligus korban dalam kekerasan simbolik.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi kuantitatif dan analisis semiotika
yang memiliki fungsi saling melengkapi dalam memberikan sudut pandang pengamatan.
Analisis isi kuantitatif tidak lain hanya merupakan prosedur yang digunakan untuk
menguatkan data pola konsumsi dalam bentuk proporsi tiga jenis konsumsi (penampilan,
budaya, dan makanan) yang ditampilkan Syahrini dalam akun Instagram yang dimilikinya.
Peneliti menghindari penggunaan metode statistik yang kompleks (analisis jalur, regresi, atau
analisis determinan) sebagai suatu mekanisme batasan penelitian. Lalu, analisis semiotika R.
Barthes dengan perangkat enam tahapan untuk membedah konotasi berfungsi untuk
memperdalam temuan dengan mencerminkan strategi investasi simbolik Syahrini dalam
gambaran naratif dari tanda-tanda yang digunakan.
PEMBAHASAN
Syahrini merupakan penyanyi musik pop yang tidak terlepas dari fungsinya sebagai agen
sosial. Ia memiliki hasrat untuk membedakan diri dengan orang lain, bahkan selalu berada
dalam arena pertarungan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan distinction-nya, ia menampilkan
tiga struktur konsumsi (penampilan, budaya, dan makanan) dalam hirarki yang berbeda.
Dalam temuan penulis, penampilan menempati posisi paling banyak yaitu 84.83%. Sementara
yang menampilkan konsumsi budaya hanya 10.34% dan yang terkecil pada makanan dengan
presentase 4.83%. Kemudian, foto dengan likes terbanyak sebesar 6.719 ditempati oleh foto
 
	
   11	
  
yang menggambarkan penampilan Syahrini. Maka dapat diinterpretasikan, Syahrini
menggunakan penampilan dengan atribut luxury brand untuk melakukan mobilitas sosial ke
atas. Telaah terhadap habitus, perjalanan karir, dan penempatan kapital yang Syahrini lakukan
untuk bertahan dalam arena industri hiburan menunjukkan bagaimana Syahrini menutupi
kelemahan kapital budaya dengan konversi kapital ekonomi dalam kepemilikan barang
mewah. Sikapnya kerap membalut narasi kehidupannya dalam gaya hidup mewah justru
mengindikasikan dirinya bukan berasal dari kelas dominan, melainkan new petite
bourgeoisie.
Mobilitas vertikal yang Syahrini lakukan juga mencerminkan lemahnya kapital budaya yang
ia miliki. Berdasarkan analisa pasar bahasa, Syahrini menunjukkan inkompetensi penggunaan
bahasa dalam peran sosialnya sebagai publik figur. Ia kerap sekali melakukan kesalahan
gramatikal, tata bahasa yang berlebihan, dan tutur berbahasa Inggris yang salah. Uniknya, ada
beberapa ungkapan khas Syahrini yang justru diterima oleh masyarakat dan menaikkan
popularitas Syahrini, seperti sesuatu dan cetar membahana badai. Sebab itu, bahasa populer
yang diucapkan Syahrini bekerja seperti slogan yang mudah diserap sebagai tren. Ungkapan
tersebut digunakan Syahrini semata-mata untuk menutupi kelemahan kapital budaya
(terutama kemampuannya berbahasa asing) yang dimilikinya dan mengalihkannya kepada
ekspresi-ekspresi bias. Ungkapan-ungkapan tersebut kabur dari maknanya dan pelaku
komunikasi tidak berusaha memahami keutuhan makna, konteks, dan perpaduan unsur
bahasa. Masyarakat menganggap ekspresi tersebut sebagai tren yang diikuti dengan
keikhlasan sebagai relawan dalam menaikan popularitas Syahrini.
Untuk mendapatkan temuan yang lebih dalam mengenai penampilan Syahrini, penulis
menggunakan metode semiotika Roland Barthes dalam membahas pola konsumsi tersebut.
Penampilan diri dapat dilihat dari cara berpakaian, sikap tubuh, penampilan fisik (proporsi
tubuh, wajah, dan kulit), tata rambut, dan tata rias. Elemen-elemen tersebut memiliki makna
denotasi dan konotasi yang dapat mencerminkan identitas dan posisi kelas Syahrini. Pada
tahap konotasi, Syahrini berkepentingan untuk memiliki citra artis kelas atas agar honor
artisnya pun disesuaikan dengan citra yang ia bentuk, sehingga ada upaya menampilkan
dirinya secara berbeda dalam masyarakat dengan memproduksi dan mengkonsumsi nilai
simbolik yang ditawarkan dalam dunia fashion (seperti pada Gambar I). Sebab, produk-
produk bernilai simbolik menandakan siapa Syahrini, bagaimana mereka melihat dirinya, dan
bagaimana ia ingin dilihat oleh orang lain.
 
	
   12	
  
Gambar I. Salah Satu Foto Penampilan Syahrini
(Instagram, 24 Oktober 2013)
Melalui pemaknaan terhadap tanda konotasi, penulis mempelajari cara kerja tanda tersebut
dapat berkembang menjadi mitos. Pada kasus Syahrini, ada dua mitos yang bergerak secara
halus melalui foto-foto dirinya di Instagram, yakni mitos kecantikan dan mitos
konsumerisme. Syahrini menampilkan identifikasi perempuan cantik melalui kriteria kulit
putih, ramping, dan berambut indah. Pesan kecantikan ideal tersebut disampaikan secara
konsisten melalui foto-foto dirinya pada Instagram, sehingga justifikasi diri untuk menjadi
cantik sekedar penilaian fisik seperti yang ditampilkan Syahrini. Untuk mitos konsumerisme,
Syahrini mengandalkan citra produk untuk kesan ekslusif dan konstruksi gaya hidup mewah.
Implikasinya, keinginan menjadi berbeda menghasilkan dorongan untuk membeli barang
yang dapat memberikan status. Konsumsi didorong oleh fantasi untuk membangun ruang
identitas, gaya hidup, realisasi dari mimpi memiliki kehidupan ideal, yang selalu berakhir
dengan mencari tren dan barang lainnya. Ekspresi praktik konsumsi tersebut mereproduksi
pembagian kelas.
Cara kerja mitos ini yang menjadikan Syahrini sebagai pelaku sekaligus korban dalam
kekerasan simbolik. Pelaku kekerasan simbolik di sini bukan berarti Syahrini merupakan
bagian dari kelas dominan yang memiliki otoritas dan legitimasi. Namun, ia mengganduli
wacana ideologi dan mitos yang diciptakan kelas dominan. Syahrini fungsinya sebagai pelaku
 
	
   13	
  
yang mengajak pengguna Instagram untuk mempelajari habitus kelas atas yang menjalani
kehidupan dengan kemewahan. Ia sendiri tidak leluasa mengendalikan indikator realitas
kehidupan yang ideal. Melalui representasi simbolik dalam arena Instagram, Syahrini
menjadikan suatu realitas dapat dihadirkan melalui mobilisasi nilai tanda yang dikemas dalam
foto. Syahrini selalu menghadirkan momen kesehariannya tanpa terlepas dari produk mewah,
sehingga orang lain akan melihat konsumsi produk mewah sebagai hal yang normal bagi
kalangan atas. Untuk itu, penelitian ini menunjukkan bahwa Instagram dan Syahrini
mensosialisasikan nilai konsumsi yang membawa implikasi potensial tentang bagaimana
konsumerisme dan produk mewah semakin dihargai dan diimpikan. Pesan visual yang
ditampilkan Syahrini selain memberikan kriteria kehidupan ideal melalui kepemilikan barang
mewah, juga mencerminkan Syahrini terjebak dalam batasan definisi tersebut. Maka, untuk
menjadi bagian dari kelas tertentu, Syahrini turut memproduksi dan melestarikan suatu
pedoman baku yang ditentukan kelas dominan agar diasosiasikan dengan posisi tertentu.
Mekanisme kekerasan simbolik menjadi efektif ketika yang didominasi tidak merasakan
kekerasan simbolis yang terjadi dan justru turut melegitimasi kekerasan simbolik tersebut
sebagai suatu kebenaran. Tanpa sadar, Syahrini dijadikan korban kekerasan simbolik, yang
menjadikan dirinya sebagai obyek bahan tontonan, hiburan, bahkan ejekan dalam sosialisasi
pemisahan kelas. Syahrini walaupun kerap berpenampilan mewah, ia tetap tidak memiliki
akses pada budaya dominan. Justru apa yang ia lakukan dengan mengakomodasi barang
mewah, hanya menempatkan dirinya sebagai obyek bukan subyek yang menentukan. Syahrini
menjadi display yang mengajak orang lain dalam pusaran konsumerisme.
Pada saat yang sama, secara tidak sadar, Syahrini mengorbankan sejumlah kapital ekonomi
yang tidak sedikit untuk penampilan mewah. Barang-barang mewah tersebut menjadi
komoditas yang mengidentifikasi posisi sosial Syahrini sekaligus kontrol sosial bagi dirinya.
Mekanisme konsumerisme yang dilekatkan dalam kebutuhan sehari-sehari menjadikan
Syahrini tidak merasa berada pada sebuah ideologi yang sangat halus. Maka untuk bertahan,
Syahrini harus terus mengkonsumsi barang mewah dan menghabiskan banyak kapital yang
dimilikinya. Sebab, konsumsi barang mewah menjadi sebuah keharusan, sebuah keniscayaan
untuk menuai popularitas. Syahrini juga terlibat dengan doxa dalam bentuk ketaataanya
dengan aturan dunia fashion. Ia tidak dapat lepas dari logika konsumsi makna tanda dari
fashion, baik dari segi nilai kebaruan ataupun aturan style, sebagai bentuk ketaatan pada
aturan formal dan non formal yang telah ditentukan oleh individu atau kelompok lain yang
 
	
   14	
  
memiliki posisi yang lebih dominan, misalnya pilihan-pilihan gaya berpakaian Syahrini pada
beberapa kegiatan terlihat mengikuti gaya Victoria Beckham.
Setelah melakukan analisis semiotik, penulis semakin menyakini bahwa Syahrini berkerja
melalui penampilan untuk mempengaruhi makna dan cara pandang masyarakat terhadap
dirinya. Fashion dan penampilan sebagai garda terdepan dalam membentuk citra diri Syahrini
yang glamour sekaligus sebagai kekuatan yang menutupi kelemahan kapital budaya dan
rendahnya apresiasi seni pada Syahrini. Upaya pencarian distinction tersebut dalam dunia
pemasaran dan industri lebih dikenali dengan konsep personal branding. Dari hasil temuan,
distinction dan personal branding berdiri dalam hasrat yang sama, yakni ingin tampil
berbeda, dikenal, dan dihargai. Maka, personal branding menjadi bagian dari strategi
investasi simbolik yang mengarahkan pada pencarian distinction. Personal branding tidak
dapat disamakan dengan natural distinction yang mendampingi agen sosial dari kelas borjuis.
Personal branding melibatkan usaha untuk menaikkan posisi dalam arena (dapat berjenis apa
saja yang dikehendaki sebagai arena tempur) yang membawa unique selling proposition atau
keunikan dibanding kompetitor. Tidak ada yang menarik dari sikap yang homogen, tetapi
begitu pola differensiasi muncul, proses personal branding berjalan.
Teori personal branding milik Rampersad dipadukan oleh penulis dengan konsep distinction
milik Bourdieu menjelaskan pentingnya mekanisme sosial dalam pembentukan identitas
pribadi. Bourdieu dapat lebih jauh memberi indikator strategi investasi simbolik yang dapat
berjalan baik dan jika gagal, Bourdieu memberikan pengamatan pada dialetika agen dan
struktur yang dapat menjelaskan bagaimana strategi penempatan kapital yang seharusnya.
Maka, pemikiran Bourdieu sifatnya bukan teknis seperti panduan kriteria yang harus dipenuhi
oleh pelaku personal branding. Konsep distinction menghargai peran habitus kelas yang
justru menegasikan pencarian distinction itu sendiri. Maka, individu yang dari lahir berada di
kelas borjuis tidak memerlukan personal branding untuk menaikkan status. Natural
distinction yang akan membawanya bersikap seperti ia apa adanya. Ia dilahirkan dengan
warisan kapital simbolik, sehingga tidak perlu mencari-cari pengakuan. Kaum borjuis sejak
kecil telah memperoleh pembelajaran untuk memahami kode-kode budaya tertentu. Maka,
individu yang dibesarkan dalam habitus borjuis berbeda dengan individu yang menonton dan
berusaha mempelajari kehidupan borjuis. Sedangkan, Syahrini dan kelompok petite
bourgeoisie selalu dalam kerinduan untuk mendapat pengakuan karena desakan posisinya
untuk membedakan diri dari kelas di bawahnya dan inkompetensi untuk memasuki kelas atas.
 
	
   15	
  
Terlebih lagi dengan munculnya teknologi informasi yang memberi akses bagi individu untuk
merepresentasikan diri melalui media sosial menjadikan praktik personal branding lebih
kompetitif dan vulgar. Instagram dengan budaya komunikasi cepat saji memberikan
mekanisme baru untuk mengakses persepsi masyarakat dengan menawarkan strategi
pencitraan yang lebih mudah. Melalui Instagram, strategi penempatan kapital menjadi
bergerak lebih cepat, dinamis, dan pertarungan simbolik yang lebih terbuka. Pertarungan
simbolik yang dilakoni Syahrini melibatkan beberapa arena yang sifatnya saling terintegrasi
untuk memberikan popularitas, seperti arena industri hiburan, arena media massa, dan arena
Instagram. Syahrini dalam hal ini terjepit oleh hirarki legitimasi dan cara kerja logika selera
membuktikan Syahrini hanya akan mendapatkan popularitas, tetapi tidak akan mendapatkan
otoritas legitimasi. Sebab, Syahrini sendiri bermain di dalam arena kultural massal yang
hakikatnya akan memproduksi budaya populer. Praktik budaya tersebut akan
memprioritaskan pendukung massal (fans) demi kepentingan profit sebuah industri. Maka,
totalitas praktik kultural Syahrini lebih menekankan pada identitas sosial yang berwujud
dalam gaya hidup dan penampilan. Misalnya, ketika Syahrini menggunakan foto berikut
caption ‘my baby orange’ sambil berpose dengan Lamborghini, maka ada tata bahasa dan
penggunaan simbol yang mengandung kekuatan kategorisasi dan justifikasi hirarki kelas
dalam penafsiran para pengguna yang menyerap informasi tersebut. Kemudian, perilaku
vulgarnya tersebut, menarik perhatian media massa untuk memberitakan gaya hidup mewah
Syahrini. Sehingga, yang tidak memiliki akun Instagram pun akan melihat pesan visual yang
sama lewat program infotainment di televisi. Realitas empirik di atas menggambarkan
bagaimana dukungan produksi kultural yang dilakukan secara instan oleh Instagram turut
membantu kontestasi di arena lain.
Praktik sosial menjadi begitu kompleks, Syahrini hanya sebagian kecil dari fenomena sosial
budaya. Instagram memberikan kita kemampuan menghadirkan konten visual yang dapat
dibuat melalui proses editing secara instan yang pada akhirnya menjadikan foto sebagai
reproduksi realitas bukan lagi sekedar refleksi realitas. Dengan demikian, selera bergerak
lebih kompleks dalam praktik sosial. Selera semakin tidak netral dari yang diungkapkan
Bourdieu. Selera tidak hanya berperan dalam pemilihan foto yang diunggah Syahrini, selera
juga mencerminkan apa yang individu ingin refleksikan. Ada kebebasan Syahrini sebagai
produsen informasi yang mempengaruhi perputaran informasi seperti apa yang dapat
ditampilkan dan mana yang tidak, seberapa dekat citra diri yang ingin ditampilkan dengan
 
	
   16	
  
konsep foto, sudut pengambilan dan teknis foto yang disesuaikan. Tetapi, ketika ia melakukan
praktik tersebut, Syahrini tidak lepas dari disposisi habitus yang ia miliki.
KESIMPULAN
Praktik sosial menjadi begitu kompleks, Syahrini hanya sebagian kecil dari fenomena sosial
budaya. Instagram memberikan kita kemampuan menghadirkan konten visual yang dapat
dibuat melalui proses editing secara instan yang pada akhirnya menjadikan foto sebagai
reproduksi realitas bukan lagi sekedar refleksi realitas. Dengan demikian, selera bergerak
lebih kompleks dalam praktik sosial. Selera semakin tidak netral dari yang diungkapkan
Bourdieu. Selera tidak hanya berperan dalam pemilihan foto yang diunggah Syahrini, selera
juga mencerminkan apa yang individu ingin refleksikan. Ada kebebasan Syahrini sebagai
produsen informasi yang mempengaruhi perputaran informasi seperti apa yang dapat
ditampilkan dan mana yang tidak, seberapa dekat citra diri yang ingin ditampilkan dengan
konsep foto, sudut pengambilan dan teknis foto yang disesuaikan. Tetapi, ketika ia melakukan
praktik tersebut, Syahrini tidak lepas dari disposisi habitus yang ia miliki.
Syahrini dengan aksi performatifnya tersebut mengindikasikan bahwa ia menganggap selera
dapat dibentuk dengan kapital ekonomi. Padahal, produk mewah dapat dibeli karena Syahrini
mampu membayar harga dari standar hidup kelas atas, bukan born into that class. Syahrini
menjadi borjuis kecil yang cenderung mengafirmasi produk mewah sebagai simbol status
dibandingkan menyikapi gaya hidup dengan kualitas kapital budaya yang baik. Hal ini umum
terjadi kepada seseorang yang mengalami mobilitas sosial ke atas, cenderung mengejar
kenikmatan dan kesenangan daripada berinvestasi pada kapital budaya yang memerlukan
waktu dan daya pikir rasional.
Penelitian ini setelah melewati analisis bertahap secara rinci mengupas habitus Syahrini,
meneliti akumulasi kapital yang dimilikinya, arena tempatnya bertarung, pola konsumsi yang
memperlihatkan upaya distinction, dan penilaian terhadap efektivitas personal branding
Syahrini, dapat memberi konklusi bahwa Syahrini tidak berhasil meraih kapital simbolik
karena upayanya yang instan, singkat, dan mudah tanpa melewati proses dedikasi yang
panjang berlawanan dengan proses pembelajaran sosial yang menurut Bourdieu tidak terjadi
tiba-tiba karena proses belajar sosial budaya pada habitus berjalan halus. Sebab itu, Instagram
justru menunjukkan proses yang vulgar dan menjadi pembeda dengan kaum Borjuis yang
aktivitas budayanya telah melalui pembiasaan sejak lahir.
 
	
   17	
  
IMPLIKASI PENELITIAN
Instagram dalam penelitian ini dari segi teoritis dipandang tidak hanya sebagai media sosial,
tetapi shortcut mobilitas sosial, conspicuous consumption, representasi virtual, simulacra, dan
saluran personal branding online. Bahkan, di tahun 2014, konsep distinction (Bourdieu,
1984) masih berlaku di Instagram, walaupun berubahnya pola komunikasi masyarakat dengan
adanya teknologi internet. Hanya saja, konsep klasifikasi kelas sosial Bourdieu
(sosioprofesional) yang digunakan untuk memberikan kriteria pola konsumsi distinction
(makanan, penampilan, dan budaya) harus diperbaharui dengan kenyataan sosial era sekarang.
Misalnya, makanan dan aktivitas olahraga sebagai gaya hidup mengalami pergeseran akibat
globalisasi dan transformasi budaya. Kemudian, era industri budaya populer yang semakin
berkembang menjadikan profesi artis tidak seideal (kapital budayanya tinggi) yang
digambarkan Bourdieu. Jenis profesi saat ini pun lebih beragam dan dunia sosial berlaga lebih
kompleks dengan mobilitas sosial yang berputar cepat.
Pada implikasi praktis, kajian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para professional
yang hendak membangun personal brand bertumpu pada pentingnya kapital budaya, yakni
kompetensi dan kinerja. Kemudian, penilaian terhadap popularitas juga harus dibangun
melalui kerja keras. Kembali lagi pada jenis brand apa yang tertanam dalam benak
masyarakat, apakah populer dengan talentanya atau sensasi yang melekat pada diri mereka.
Popularitas itu bukan jaminan Anda dianggap baik, tetapi karena Anda dikenal. Lalu
bagaimana Anda dikenal yang akan menjamin personal brand seseorang. Kemudian, era
digitalisasi membuat kehadiran individu penting dalam dunia virtual untuk membangun
jaringan yang lebih luas.
Pada implikasi sosial, teori harus mampu medorong rasionalitas masyarakat ke arah
perubahan dan kemajuan. Masyarakat tidak lagi dijadikan instrumen-instrumen penguasa
yang digunakan untuk kepentingan individu atau sekelompok orang tertentu. Kepatuhan
menjadikan bentuk-bentuk dominasi semakin langgeng melalui wacana yang dibiarkan larut
tanpa untuk dipertanyakan. Kepatuhan karena rasa mengidolakan publik figur tertentu
membenarkan bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan simbolik yang menimpa
masyarakat. Perhatian masyarakat kabur seolah-olah memang itu yang dianggap benar dan
mengamini ‘kewajaran’ yang terjadi. Sikap paling skeptis umumnya sebatas haters yang
ditujukan untuk publik figur yang tidak disukai dan itupun biasanya muncul karena ingin
melindungi publik figur yang ia gemari. Misalnya, haters Syahrini umumnya dari pecinta
 
	
   18	
  
Ashanty. Adapun masyarakat umumnya hanya sekedar tidak menyukai dan kesal, tetapi tetap
menonton berita infotainment tentang Syahrini dan tetap mengikuti Instagram Syahrini
dengan dalih sekedar hiburan untuk ditertawakan. Padahal, sikap-sikap tersebut tidak
membuka selubung dominasi dan dampak kekerasan simbolik yang ditimbulkan. Kekerasan
yang berjalan dengan atau tanpa persetujuan korbannya harus disingkap. Maka analisa
kepentingan di balik bervariasinya wacana tersembunyi merupakan sarana bertindak yang
lebih baik.
Media sosial menjadi ekstensi ‘kebebasan’ agen sosial yang berada dalam tekanan institusi
atau kelompok tertentu di dunia nyata. Mereka merasa memiliki kekuasaan dalam arena
media sosial, sebab mereka sendiri yang memilih konten yang akan ditampilkan, dengan siapa
mereka ingin berbagi dan berkomunikasi, dan bagaimana mereka ingin dikenal. 'Kuasa'
tersebut juga bersifat ilusi karena pengguna media sosial tidak menyadari bahwa dirinya
sedang dibatasi oleh aturan-aturan tertentu. Menjadi anggota media sosial merupakan bagian
dari kesenangan, pemenuhan hasrat, hiburan, dan penghilang rasa bosan. Kehadiran UU ITE
(Informasi dan Transaksi Elektronik) dengan pemerintah sebagai regulator akan menentukan
sistem operasi, standar, dan protokol komunikasi sebagai bagian dari aturan permainan di
media sosial.
Kemudian ada aturan yang seringkali diabaikan begitu saja karena hasrat kesenangan
menghilangkan kesadaran pengguna sosialnya, yakni People's Terms and Service Contract
sering disetujui secara kilat (tanpa menginvestasikan waktu untuk membacanya terlebih
dahulu), sesaat kita menyatakan ‘Ya’ pada ketentuan yang harus disetujui sebelum menjadi
bagian dari jaringan sosial tersebut. Yang paling penting untuk diingat bahwa media tidak
netral, khususnya Instagram dalam penelitian ini. Media sebagai arena produksi kultural
memiliki aturan main yang membentuk bagaimana partisipan didalamnya beraktivitas,
membuat relasi, dan meraih kekuasaan. Bahwa klaim media baru (terutama media sosial)
merupakan arena yang otonom dari kepentingan melalui retorika 'kebebasan individu',
'demokratisasi wilayah publik', atau 'revolusi komunikasi', justru sebetulnya
menyembunyikan kekuatan kapitalisme gaya baru.
KETERBATASAN PENELITIAN DAN REKOMENDASI
Dengan demikian, persoalan teoritis, topik substantif, dan temuan empiris saat ini
menawarkan tantangan ke arah penelitian lebih lanjut, seperti (1) pengembangan kajian
 
	
   19	
  
multidisipliner yang memiliki pendekatan ‘sosioteknologi’; (2) sistem representasi pada dunia
virtual dapat lebih mengerucutkan bagaimana diposisi konsep high art dan low art, seiring
dengan teks-teks budaya yang menjadi lebih mudah diakses; (3) penelitian selanjutnya dapat
mempertimbangkan kemudahan terhadap akses barang mewah melalui sistem sewa atau
cicilan kredit mempermudah akses social climber dalam mencari penerimaan; (4) pola
konsumsi yang mengarahkan pada upaya distinction juga dapat dilihat dari fetisisme
komoditas yang menjadikan praktik konsumsi terhadap barang mewah dapat menciptakan
devaluasi terhadap komoditas mewah tersebut; (5) penelitian ke depan juga dapat menggali
bagaimana luxury brands pada suatu kasus, seperti akun Instagram @fashionlover178
menggunakan pengetahuannya terhadap luxury brands sebagai bentuk kapital budaya dalam
mempertahankan status quo dirinya sebagai model dan lady couture.
DAFTAR REFERENSI
Bourdieu, Pierre. (1984[1979]). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste,
translated by Richard Nice. Cambridge MA: Harvard University Press.
______________. (1986). The Forms of Capital. In J.G. Richardson (Ed.).Handbook for
Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press.
______________. (1987). Choses Dites, translated by Ninik Rochani S. Bantul:Kreasi
Wacana.
______________. (1990). Homo Academicus, translated by Peter Collier. Stanford, Calif:
Standford University Press.
______________. (1992). The Logic of Practice, translated by Richard Nice. Stanford:
Stanford University Press.
______________, & Johnson, R. (1993). The Field of Cultural Production (1st ed.). New
York: Columbia University Press.
Blunden, A. (n.d.). Bourdieu on Status, Class and Culture by Andy Blunden. Home.mira.net.
Retrieved 18 September 2013, from http://home.mira.net/~andy/works/bourdieu-
review.htm
Haryatmoko. (2010). Habitus dan Kapital Dalam Strategi Kekuasaan : Teori Strukturasi
Pierre Bourdieu dengan Orientasi Budaya. Papers presented at Pascasarjana Ilmu
Komunikasi UI.
Hennink, Monique, Hutter, Inge, dan Bailey, Ajay. (2011). Qualitative Research Methods.
Great Britain: Sage Publications.
Instagram Press Center. (2013). Retrieved 19 September 2013, from
http://instagram.com/press/
Rampersad, K. Hubert. (2008). Authentic Personal Branding: A New Blueprint for Building
And Aligning A Powerful Leadership Brand. Jakarta: PPM publishing.
Wilson, J., & Blumenthal, I. (2008). Managing brand you (1st ed.). New York:
AMACOM/American Management Association.
	
  

More Related Content

Similar to Tritama Chaerani-Jurnal-FISIP-2014

PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptx
PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptxPERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptx
PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptx
Lelitasari Danukusumo
 
Social media terhadap perilaku konsumen
Social media terhadap perilaku konsumenSocial media terhadap perilaku konsumen
Social media terhadap perilaku konsumen
HallifatulAmbyah
 
Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm Xyz )
Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm  Xyz )Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm  Xyz )
Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm Xyz )
Jim Jimenez
 
kampanye politik.pptx
kampanye politik.pptxkampanye politik.pptx
kampanye politik.pptx
AminahBintiSulaiman
 
Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...
Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...
Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...
chintia20
 
Perilaku konsumen dan media sosial
Perilaku konsumen dan media sosialPerilaku konsumen dan media sosial
Perilaku konsumen dan media sosial
GhinaAuliaSalsabila
 
Advertising on Social Media
Advertising on Social MediaAdvertising on Social Media
Advertising on Social Media
YoriWulandarii
 
Bisnis sosial media impact
Bisnis sosial media impactBisnis sosial media impact
Bisnis sosial media impact
Keziaflorance
 
Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...
Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...
Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...
manik madyni
 
Perilaku konsumen dan social media
Perilaku konsumen dan social mediaPerilaku konsumen dan social media
Perilaku konsumen dan social media
YusnitaTRD
 
Bahan2 nhn pr
Bahan2 nhn prBahan2 nhn pr
Bahan2 nhn pr
hjnurhanifah
 
Social media impact of consumer behavior
Social media impact of consumer behaviorSocial media impact of consumer behavior
Social media impact of consumer behavior
RossiFatmawati
 
Bijak bersosmed - tips dan informasi gerakan
Bijak bersosmed - tips dan informasi gerakanBijak bersosmed - tips dan informasi gerakan
Bijak bersosmed - tips dan informasi gerakan
literasi digital
 
STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...
STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...
STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...
KaylaMartiza3
 
Public Relations 2.0 (Cyber PR)
Public Relations 2.0 (Cyber PR)Public Relations 2.0 (Cyber PR)
Public Relations 2.0 (Cyber PR)
Siti Nurhayati
 
bijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdf
bijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdfbijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdf
bijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdf
DwikiNugroho2
 
Media sosial
Media sosialMedia sosial
Media sosial
bintang_cahya
 
AKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdf
AKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdfAKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdf
AKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdf
WahdanFuad
 

Similar to Tritama Chaerani-Jurnal-FISIP-2014 (20)

PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptx
PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptxPERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptx
PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMASARAN SOSIAL.pptx
 
Social media terhadap perilaku konsumen
Social media terhadap perilaku konsumenSocial media terhadap perilaku konsumen
Social media terhadap perilaku konsumen
 
Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm Xyz )
Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm  Xyz )Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm  Xyz )
Analisis Strategi Implementasi Media Sosial (Studi Kasus Ukm Xyz )
 
Media sosial dan branding
Media sosial dan brandingMedia sosial dan branding
Media sosial dan branding
 
kampanye politik.pptx
kampanye politik.pptxkampanye politik.pptx
kampanye politik.pptx
 
Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...
Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...
Pengaruh Social Media Marketing Instagram terhadap Brand Awareness dan Purcha...
 
Perilaku konsumen dan media sosial
Perilaku konsumen dan media sosialPerilaku konsumen dan media sosial
Perilaku konsumen dan media sosial
 
Advertising on Social Media
Advertising on Social MediaAdvertising on Social Media
Advertising on Social Media
 
Bisnis sosial media impact
Bisnis sosial media impactBisnis sosial media impact
Bisnis sosial media impact
 
Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...
Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...
Fenomena Beauty Vlogger: Penguatan Konstruksi Realitas Sosial tentang Penting...
 
Perilaku konsumen dan social media
Perilaku konsumen dan social mediaPerilaku konsumen dan social media
Perilaku konsumen dan social media
 
Bahan2 nhn pr
Bahan2 nhn prBahan2 nhn pr
Bahan2 nhn pr
 
Social media impact of consumer behavior
Social media impact of consumer behaviorSocial media impact of consumer behavior
Social media impact of consumer behavior
 
Bijak bersosmed - tips dan informasi gerakan
Bijak bersosmed - tips dan informasi gerakanBijak bersosmed - tips dan informasi gerakan
Bijak bersosmed - tips dan informasi gerakan
 
STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...
STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...
STRATEGI INTREGRATED MARKETING COMMUNICATION (IMC) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN...
 
Public Relations 2.0 (Cyber PR)
Public Relations 2.0 (Cyber PR)Public Relations 2.0 (Cyber PR)
Public Relations 2.0 (Cyber PR)
 
Makalah Pkn
Makalah Pkn Makalah Pkn
Makalah Pkn
 
bijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdf
bijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdfbijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdf
bijakbersosmed-tipsdaninformasigerakan2017-180208072341.pdf
 
Media sosial
Media sosialMedia sosial
Media sosial
 
AKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdf
AKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdfAKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdf
AKP Pertemuan 13_Fithriyyah S Digital Marketing.pdf
 

Tritama Chaerani-Jurnal-FISIP-2014

  • 1. Distinction, Personal Branding, dan Instagram (Strategi Investasi Simbolik Syahrini) Tritama Chaerani dan Haryatmoko Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesia ABSTRAK Tesis ini membahas strategi investasi simbolik yang dilakukan Syahrini pada akun Instagram miliknya sebagai upaya pencarian distinction melalui tiga pola konsumsi (penampilan, budaya, dan makanan). Konsep distinction digunakan untuk mengeksplorasi konsep personal branding. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam perspektif kritis dengan analisis isi dan metode semiotika. Hasil penelitian menunjukkan Syahrini menempatkan penampilan (barang mewah dan mode busana) dalam proporsi yang paling besar untuk menggambarkan distinction melalui media sosial Instagram, namun upaya tersebut tidak membuat Syahrini meraih kapital simbolik dan personal branding yang efektif. Kata kunci: Distinction; Instagram; Personal Branding; Syahrini ABSTRACT This thesis describes Syahrini’s symbolic investment strategy on her instagram account as one effort to find distinction based on three consumption patterns (performance, culture, and food). The concept of distinction is utilized to elaborate the concept of personal branding. This study used a qualitative approach in a critical perspective with content analysis and semiotics method. The results shows that Syahrini puts performance (luxury brands and fashion) in the greatest proportion to potray distinction through Instagram, but this effort do not make Syahrini gain symbolic capital and achieve an effective personal branding. Keywords: Distinction; Instagram; Personal Branding; Syahrini PENDAHULUAN Revolusi teknologi komunikasi menghadirkan internet sebagai new media dengan ruang interaksi tanpa batasan geografis. Kehadiran media sosial sebagai bagian dari jaringan internet mengubah tatanan interaksi sosial antar individu yang melahirkan potensi media sosial untuk mereproduksi dominasi, baik melalui proses distinction ataupun personal branding sebagai shortcut mobilitas sosial. Tren media sosial mengarah pada fitur photo-sharing, salah satunya ditandai dengan kemunculan Instagram yang membuat tehnik pengambilan gambar dapat dilakukan dengan mudah dan sederhana. Take, edit, dan share menjadi gerakan yang begitu sederhana dalam mereplikasi suatu peristiwa. Instagram menggabungkan langkah-langkah tersebut ke dalam satu saat sebagai alur kerja tunggal yang mengutamakan penerbitan instan dengan lebih menekankan sifat mobile.
  • 2.     2   Instagram pertama kali diluncurkan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger pada tanggal 06 Oktober 2010. Hanya delapan bulan setelah itu, Instagram memiliki sepuluh juta pengguna. Di akhir tahun 2011, Instagram mendapat penghargaan “iPhone App of the Year” dari Apple Inc. Instagram memperluas jangkauannya dengan hadir dalam ponsel Android pada tanggal 03 April 2012 dan membawa implikasi pada naiknya jumlah pengguna hingga 80 juta hanya dalam waktu singkat. Pertumbuhannya yang progresif membuat Facebook mengakuisisi Instagram dengan harga US 1 Miliar dalam bentuk tunai dan saham. Instagram menutup tahun 2013 dengan jumlah pengguna yang bertambah menjadi lebih dari 150 juta pengguna yang saling berbagi 55 juta foto setiap harinya dengan 1.2 juta likes (Instagram Press, 2013). Tidak dapat dipungkiri, momentum keberhasilan Instagram didukung oleh perkembangan teknologi ponsel. Pengguna internet melalui ponsel semakin mobile dengan dukungan perangkat teknologi yang semakin canggih menghadirkan kesempurnaan visual. Pada tahun 2002, RIM (Research in Motion) membuat momentum perkembangan teknologi melalui smartphone yang dinamakan Blackberry (e-mail, telepon, chatting, dan akses internet dalam satu genggaman). Lima tahun kemudian, Apple memperkenalkan iPhone (2007) sebagai satu ponsel yang paling digemari karena fiturnya yang lengkap, banyak fungsi dalam satu ponsel, dan resolusi kamera terbaik. Audio atau video player, games, web browser, telepon, instant messaging, email, sync, dan digital personal assistant dalam satu ponsel berlayar sentuh. Smartphone menjadi tersebar dan terjangkau ketika pada tahun 2009, Android menjadi salah satu sistem yang dijual bebas oleh Google untuk dikembangkan dengan ponsel merek apapun. Harga smartphone menjadi lebih terjangkau dengan merek selain Blackberry dan iPhone. Mobile phone murah semakin lama menghasilkan foto yang berkualitas baik dengan cara yang semakin mudah. Hanya cukup dengan sekali sentuhan atau klik pada mobile phone, foto dapat dihasilkan dan disebarkan melalui media sosial berbasis jaringan visual atau foto. Dengan begitu, foto melampaui konten pada teks. Foto menjadi medium revolusioner ketika mudah diproses, dihasilkan, dan disitribusikan. Pengguna Instagram berperan sebagai kontributor konten visual yang mencerminkan ekspresi dan citra diri. Dahulu kita mendokumentasikan tempat dan peristiwa dengan mengambil gambar melalui kamera, kemudian dicetak dan dibagikan ke teman atau keluarga terdekat. Saat ini, pertumbuhan teknologi pada ponsel, menciptakan evolusi bagaimana kita berkomunikasi. Ponsel yang dilengkapi kamera bersama dengan terobosan media sosial seperti Instagram menjadi cara baru bagi masyarakat untuk berbagi narasi kehidupan melalui foto.
  • 3.     3   Melalui Instagram, Syahrini kerap mempublikasikan kepemilkan barang mewah dan gaya hidup glamour. Ia menarasikan kehidupan dan karirnya sebagai penyanyi dalam gambaran ideal kelas atas yang berlimpah materi. Akun Instagram miliknya juga kerap menjadi bahan pemberitaan di media massa televisi berkat aksinya yang dinilai pamer dan terkesan norak. Sebab ada ketimpangan antara Syahrini ‘dulu’ dan ‘sekarang’ yang terlihat berbeda perihal penampilan dan keadaan sosial. Analisa tersebut tidak terlepas dari peran habitus, sistem pendidikan yang telah dilalui, serta karirnya yang melesat sejak berduet bersama Anang Hermansyah. Menariknya, Syahrini dengan nama asli Rini Fatimah Zaelani, yang dari perspektif habitus, sebetulnya memiliki masa kecil di Cikujang, Sukabumi mencerminkan kepemilikan kelas menengah ke bawah tapi berupaya melakukan distinction dalam media sosial Instagram sebagai arena. Bahkan, artis yang dulu mendapatkan julukan 'Rini' di awal karir, sekarang mentransformasikan dirinya sebagai penyanyi pop berpenampilan glamour melalui personal branding di Instagram. Dalam pemikiran Bourdieu (1984), pada dasarnya kecenderungan individu menginginkan mobilitas sosial yang bergerak ke atas. Akibatnya, untuk berada di kelas tertentu seperti yang dikehendaki, individu melakukan distinction dengan mengupayakan segala bentuk akumulasi kapital yang dimiliki agar mendapat pengakuan simbolik. Pertunjukkan dari kapital tersebut semakin menjadi lebih mudah ketika menggunakan media sosial yang relatif cepat, praktis, dan berbiaya murah. Menjadi jawaban dari ketidakmampuan individu yang memiliki mobilitas sosial yang rendah. Memang Bourdieu tidak menyebut branding secara eksplisit, namun dalam praktik strategi kekuasaan, terdapat upaya branding di dalamnya untuk mempertahankan suatu dominasi kekuasaaan. Personal branding merupakan kegiatan yang dapat mengendalikan persepsi orang lain sesuai dengan cara pandang yang ingin dibentuk. Senada dengan pendapat Wilson dan Blumenthal (2008:20) bahwa personal branding relevan untuk siapa pun yang secara proaktif menyalurkan hasrat dirinya dalam reputasi yang relevan dengan apa yang dikehendaki. Dalam personal branding, pelaku memiliki hasrat untuk membangun suatu reputasi yang relevan dengan citra dan identitas diri yang diinginkan. Mereka berusaha menempatkan diri pada suatu kelas sosial dengan berlandaskan pada keinginan menjadi spesial, berharap menjadi pusat perhatian, dihargai, dan dianggap penting. Keinginan membedakan diri untuk menunjukkan klasifikasi diri yang menghantarkan pada strategi penempatan kapital dalam arena sosial merupakan bagian distinction yang diungkapkan Bourdieu. Melalui karyanya
  • 4.     4   Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984:471), Bourdieu menggambarkan bagaimana tatanan sosial secara progresif berada dalam pikiran seseorang melalui produk budaya, seperti sistem pendidikan, bahasa, penilaian, nilai, metode klasifikasi, dan aktivitas kehidupan sehari-hari yang mengarah pada perbedaan hirarki sosial, tetapi secara tidak sadar diterima sebagai sebuah kebenaran universal. Distinction menurut Bourdieu (1984:184) menunjukkan bagaimana preferensi pada makanan, pakaian (penampilan), dan gaya hidup (budaya) mengklasifikasi suatu selera. Selera memberi gambaran pemisahan kelas sesuai dengan harapan dan bagaimana kelas dominan dipandang dalam hirarki kekuasaan (Blunden, 2013). Untuk itu, tiga struktur selera sebagai produk sosial menyediakan konteks bagaimana kelas dominan mengklaim gambaran kelas sosialnya. Haryatmoko (2010) menyatakan bahwa selera dengan demikian tidak netral. Jadi selera beroperasi sebagai semacam orientasi sosial, mengarahkan seseorang dalam posisi sosial tertentu sesuai dengan kedudukannya. Jenis makanan dan cara makan menunjukkan kelas sosial seseorang. Begitu pula dengan penampilan sebagai cara berperilaku dan budaya apa yang dikonsumsi seseorang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi penempatan kapital yang dilakukan Syahrini pada akun Instagram yang dimilikinya melalui proses distinction. Adapun proses distinction tersebut akan membawa penulis memahami makna simbolik terhadap strategi penempatan kapital Syahrini melalui tiga pola konsumsi (makanan, penampilan, dan budaya). Tujuan dari analisis tersebut diharapkan dapat menunjukkan konsep personal branding juga berlangsung dalam akun Instagram Syahrini sebagai akibat strategi investasi simbolik yang dilakukannya. TINJAUAN TEORITIS Pandangan Bourdieu tentang habitus, kapital, arena, distinction dan selera, serta kekerasan simbolik merupakan teori utama yang digunakan sebagai dasar penelitian. Kekayaan teori Bourdieu nantinya akan dipadukan dengan konsep personal branding Rampersad (2008). Sinergi antara distinction milik Bourdieu dengan personal branding menjadi menarik dalam bingkai komunikasi. Personal branding juga digunakan sebagai kompensasi dari lemahnya mobilitas sosial. Akhirnya, kedua pendekatan itu menelusuri praktik-praktik mobilitas sosial agen melalui kategori pemaknaan yang ditujukan untuk mereproduksi dominasi.
  • 5.     5   Habitus digunakan untuk menganalisa kecenderungan pilihan selera yang digunakan untuk menjelaskan distinction sebagai perwujudan dari habitus Syahrini. Konsep habitus digambarkan sebagai hasil dari proses sosialisasi jangka panjang yang dialami individu dalam kehidupan sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi kerangka penafsiran dan kepribadian. Oleh karena itu, habitus mencerminkan kebiasaan seseorang yang menuntun pada bagaimana individu berpikir dan bertindak. Kontribusi habitus juga menghasilkan strategi-strategi yang secara obyektif akan disesuaikan menurut situasi yang ada, meski habitus tidak lahir dari usaha sadar dalam mencapai tujuan yang terumuskan secara eksplisit berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang kondisi- kondisi obyektif dan tidak pula oleh determinasi mekanis oleh berbagai sebab (Bourdieu, 1987:16). Sebagai struktur yang tidak determinatif terhadap individu menjadikan individu memiliki strategi yang berbeda-beda untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya. Dalam kaitannya dengan kapital, bagaimana strategi dan habitus dapat bertransformasi dan melakukan differensiansi vertikal pada kehidupan Syahrini 'dulu' dan 'sekarang'. Proses internalisasi yang dilakukan Syahrini untuk menghadirkan dirinya dalam kelas sosial atas sekaligus menjadikan dirinya sebagai gambaran artis ideal dan glamour. Istilah konsep kapital (modal) pada bidang ekonomi hampir serupa dengan kapital (modal) yang diusungkan Bourdieu, tetapi tidak sama. Bedanya, dalam bidang ekonomi, kapital dimaknai sebagai bentuk akumulasi materi (uang), sedangkan Bourdieu memaknai kapital secara lebih luas. Baginya, kapital bukan hanya dimaknai semata-mata sebagai kapital yang berbentuk materi, melainkan kapital merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi dalam bentuk embodied, yang dapat digunakan untuk memberi keuntungan bagi agen sosial, misalnya menentukan posisi mereka dalam struktur sosial. Konsep kapital terdiri dari empat kategori, yakni ekonomi, sosial, budaya dan simbolik digunakan untuk melihat bagaimana penempatan jenis kapital tersebut digunakan Syahrini untuk mengasosiasikan dirinya dalam kelas sosial atas. Menurut Bourdieu (1986:243), kapital ekonomi menjadi kapital yang relatif paling independen, tidak terlalu terikat pada arena tertentu, lebih dmudah dikonversi antara arena, dan lebih leluasa. Kedua, kapital budaya (serangkaian kemampuan dan keahlian individu) yang dalam kondisi tertentu merupakan perluasan dari kepemilikan kapital ekonomi dan dapat dikonversi kembali menjadi kapital ekonomi. Kapital budaya bisa didapatkan melalui pendidikan dan keluarga. Misalnya,
  • 6.     6   kualifikasi pendidikan yang dilembagakan. Kapital sosial digunakan untuk mengamati hubungan sosial yang dibangun Syahrini. Menurut Bourdieu (1984:286), kapital sosial adalah kumpulan sumberdaya aktual dan potensial yang berhubungan dengan kepemilikan jaringan hubungan kenalan dan pengakuan yang terlembaga dan bertahan lama yang memberikan pada masing-masing anggotanya dukungan kapital yang dimiliki secara kolektif, suatu 'kepercayaan' yang memungkinkannya dipercaya, dalam berbagai pengertian. Kapital simbolik sebagai jenis kapital yang dikenali melalui skema klasifikasi dan secara sosial diakui. Kapital simbolik merupakan kategori konsep kapital yang paling penting untuk diteliti karena peran pentingnya sebagai sumber kekuasaan. Kapital simbolik tak lain adalah kapital ekonomi dan budaya ketika ia mendapat legitimasi, atau ketika ia dikenali lewat kategori persepsi yang diberlakukannya, maka relasi kekuasaan simbolis cenderung mereproduksi dan memperkuat relasi kekuasaan yang membentuk struktur ruang sosial (Bourdieu, 1987:176). Tujuannya adalah untuk mendapatkan lebih banyak kapital dan posisi dominan dalam arena itu yang dalam waktu panjang dapat menghasilkan prestige, selebriti, penghormatan, dan kekuasaan (Bourdieu & Johnson, 1993:75). Analisis terhadap tanda-tanda simbolik menunjukkan usaha Syahrini dalam menempati kelas sosial tertentu. Konsep kelas dikemukakan Bourdieu tidak terlepas dari konsep kapital. Kepemilikan kapital yang tidak seimbang, menjadikan masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelas. Bourdieu melihat habitus kelas sebagai sistem skema klasifikasi dalam bentuk internalisasi suatu kondisi kelas. Ia mengungkapkan pentingnya habitus dalam pengondisian suatu kelas. Melalui habitus, sifat-sifat kelas menjadi praktik sosial yang dapat berwujud homogen, tetapi juga menciptakan klasifikasi. Secara obyektif Bourdieu (1984:101) mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen yang menduduki posisi-posisi sama (homogen) dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang sama. Kelas sosial menurut Bourdieu (1984:106) tidak hanya dibedakan oleh kuantifikasi kepemilikan kapital, jenis kelamin, usia, pendapatan, atau asal daerah. Tetapi, struktur relasi antara semua bentuk kapital yang memberikan nilai dan efek tertentu yang mengarahkan pada praktik sosial. Bourdieu (1984:106-107) menggunakan karakteristik pekerjaan (professional) untuk menunjukkan bagaimana suatu kelas diproduksi yang pada akhirnya menentukan praktik sosial. Oleh karena itu, pemikiran Bourdieu dalam tafsiran Haryatmoko (2010:7-8)
  • 7.     7   memberikan penjelasan mengenai pembagian kelas sosial yang terkait dengan kategori sosio- profesional. Kelas sosial dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, kelas dominan (borjuis) ditandai dengan besarnya kepemilikan kapital. Kelas ini mengakumulasi berbagai kapital dalam wujud kapital simbolik. Mereka mendefinisikan dan menentukan budaya yang sah. Kelompok kedua ialah kaum borjuis kecil (petite bourgeoisie). Mereka selalu memiliki hasrat untuk menaiki tangga sosial agar memiliki kesamaan sifat dengan kaum bourjuis. Mereka masuk ke dalam posisi kelas menengah dalam lingkup sosial. Ada yang karyawan, wiraswasta, atau pengusaha. Ketiga, kelas populer. Kelas ini ditandai dengan serba kurangnya kepemilikan kapital. Mereka hampir tidak memiliki keempat jenis kapital yang di sebut di atas. Nilai yang menyatukan mereka ialah sejumlah praktik dan representasi yang menemukan makna dalam keunggulan fisik dan penerimaan dominasi. Jika kapital dalam fungsi sosialnya menentukan posisi sosial individu dalam masyarakat, maka setiap agen sosial akan selalu berupaya untuk mereproduksi setiap kapital yang dimilikinya. Di dalam arena, habitus dan kapital beroperasi untuk memperjuangkan kepentingan agen sosial. Arena adalah jaringan atau konfigurasi, hubungan-hubungan obyektif di antara posisi-posisi. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992:97), posisi-posisi tersebut didefinisikan secara obyektif, dalam eksistensinya dan dalam determinasi yang dikenakannya pada individu yang mendudukinya, agen atau institusi, oleh situasinya saat ini dan potensialnya dalam struktur distribusi dan jenis kekuasaan (atau kapital) yang kepemilikannya memberikan akses pada keuntungan-keuntungan spesifik yang menjadi sasaran yang akan dicapai dalam arena tersebut, juga oleh hubungan obyektifnya pada posisi- posisi lain (dominasi, subordinasi, dan homologi). Dengan demikian, arena merupakan tempat dimana para agen berusaha melakukan transformasi dominasi atau mempertahankan kekuatan dengan struktur distribusi kapital yang spesifik. Dalam dalam penelitian ini, arena yang dijadikan ajang kontestasi pertarungan melalui pencarian distinction adalah media sosial Instagram. Distinction pada Bourdieu (1984:184) menunjukkan bagaimana preferensi pada makanan, pakaian (penampilan), dan gaya hidup (budaya) mengklasifikasi suatu selera yang merefleksikan gambaran pemisahan kelas untuk menyesuaikan harapan dan bagaimana kelas dominan dipandang dalam hirarki kekuasaan. Untuk itu, tiga struktur tersebut sebagai produk sosial menyediakan konteks kelas dominan yang mengklaim gambaran kelas sosialnya melalui makanan, penampilan, dan budaya yang dijadikan strategi kekuasaan dalam proses
  • 8.     8   distinction melalui makna dan hubungannya yang tercermin dalam pilihan selera konsumsi. Oleh karena itu, praktik distinction tidak pernah lepas dari klasifikasi selera yang turut dipengaruhi oleh habitus tempat seseorang dibesarkan. Menurut Bourdieu (1984:56), selera merupakan cara membedakan diri yang esensial dengan orang mengklasifikasikan dirinya dan pada saat yang sama, ia juga diklasifikasikan oleh orang lain. Bourdieu (1984:16) membedakan selera menjadi tiga zona berdasarkan tingkat pendidikan dan kelas sosial. Pertama, legitimate taste, selera yang dipercaya untuk karya seni yang dilegitimasi ataupun dalam proses legitimasi oleh kelas dominan atau intelektual berpendidikan tinggi. Kedua, Middle-brow taste, yang menyatukan karya-karya kecil dari seni utama, berlaku pada selera kelas menengah atau kelompok intelektual dari kelas dominan. Ketiga, popular taste, diwakili oleh pilihan karya musik yang ringan dan populer. Atribusi dari selera konsumsi yang implisit secara sadar atau tidak dipilih karena mereka menghadirkan kualitas yang kurang lebih seperti kelas atas yang digunakan sebagai sistem klasifikasi. Inilah yang menyebabkan tidak ada hal yang mengklasifikasi seseorang selain cara dia diklasifikasikan (Bourdieu, 1984:52; 1987:175). Tujuan sentralnya selalu pada memastikan distinction yang akan menjamin status agen sosial itu dan berfungsi sebagai sumber kekuasaan simbolis yang kemudian digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut (Bourdieu, 1990:123-139). Bagi Bourdieu, cara kerja selera dan logika distinction ini memberi struktur pada hirarki sosial dan memberi legitimasi dengan mewakili realitas kaum borjuis sebagai kehidupan ideal bagi kelas dibawahnya. Logika distinction yang selalu berujung pada upaya membedakan diri dapat dilihat juga dari beberapa asumsi personal branding, yakni (1) personal branding menjadikan seseorang unik, khusus, dan berbeda (Rampersad, 2008:2); (2) segala sesuatu yang individu lakukan dapat mengubah dirinya menjadi produk berharga dengan membuat pilihan yang mengkomunikasikan ekuitas dari personal brand, seperti dengan siapa seseorang berteman (kapital sosial), pakaian yang digunakan (selera pada preferensi penampilan), dan cara berbicara dan berperilaku (kapital budaya) (Rampersad, 2008:106; Bourdieu, 1984); (3) personal branding sebagai upaya menjelaskan dan komunikasi atas apa yang membuat seseorang berbeda dengan menggunakan sifat-sifat khusus untuk memisahkan diri dari orang lain (Rampersad, 2008:7).
  • 9.     9   Hubert K. Rampersad (2008:14-15) memberikan sebelas kriteria membangun personal branding yang efektif, diantaranya: authenticity, integrity, consistency, specialization, authority, distinctiveness, relevant, visibility, persistence, goodwill, dan performance. Pertama, Authenticity mencerminkan karakter, perilaku, nilai-nilai, dan visi yang sejalan dengan cita-cita pribadi (personal ambition). Rampersad memaknai ‘authentic’ pada proses personal branding berakhir pada kepercayaan orang lain terhadap seorang figur (Rampersad, 2008:118). Rampersad (2008:14) selanjutnya berpegang pada integritas yang meliputi keteguhan moral dan perilaku yang erat dengan keaslian. Ketiga, kriteria consistency dalam penyajian konten personal branding yang berulang agar kerap diingat oleh masyarakat (Rampersad, 2008:14). Keempat, specialization dalam personal branding digunakan untuk menggali potensi diri dengan berfokus pada satu arena tertentu (Rampersad, 2008:14). Rampersad (2008:65) mengatakan bahwa keahlian khusus dibutuhkan seseorang untuk menjadi berbeda. Kriteria kelima adalah otoritas yang didapat dari keahlian di bidang tertentu (Rampersad, 2008:15). Otoritas biasanya didukung oleh spesialisasi dan kredibilitas yang relevan dengan profesinya. Kriteria keenam adalah relevan yang menghubungkan apa yang individu lakukan dengan apa yang dianggap penting oleh khalayak (Rampersad, 2008:15). Umumnya, bentuk relevansi menggambarkan seseorang yang berkecimpung di suatu arena akan sering memuat pesan yang sesuai dengan keahliannya. Ketujuh, kriteria visibility artinya personal branding harus terlihat secara konsisten, dan berulang sehingga menggambarkan repetisi dalam terpaan jangka panjang (Rampersad, 2008:15). Kedelapan, kriteria persistence yang menunjukkan bahwa kegiatan personal branding bukanlah sesuatu yang instan, melainkan langkah membangun personal brand yang membutuhkan kepercayaan publik dan investasi waktu (Rampersad, 2008:15). Kriteria kesembilan adalah goodwill yang memberikan nilai-nilai positif pada personal brand (Rampersad, 2008:15). Nilai-nilai positif yang ditampilkan umumnya didasari pada bentuk kontribusi untuk khalayak, bukan berorientasi pada diri sendiri. Kemudian, kriteria kesepuluh dari Rampersad (2008) adalah kinerja. Kriteria ini yang memberi penilaian terhadap personal brand telah dibentuk. Rampersad (2008:15) menyarankan individu untuk tidak pernah berhenti meningkatkan kinerja sebagai bentuk adaptasi terhadap persaingan. Distinctiveness sebagai kriteria kesebelas sengaja dicantumkan oleh penulis sebagai kriteria terakhir karena menunjukkan penekanan utama dari seluruh kriteria personal branding. Kriteria ini
  • 10.     10   menekankan individu untuk membedakan diri dengan orang lain agar terlihat memiliki nilai lebih dalam sebuah kompetisi (Rampersad, 2008:15). Personal branding memang selalu ditujukan untuk lebih dikenal karena unik dan berbeda. METODE PENELITIAN Pendekatan kualitatif memperjelas bagaimana peneliti mengidentifikasi fenomena sosial dengan memahami makna subyektif. Hennink (2011:9) berpendapat bahwa fitur utama yang membedakan penelitian kualitatif dengan kuantitatif adalah pendekatan ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi isu-isu dari perspektif partisipan penelitian, dan memahami makna dan interpretasi yang mereka berikan kepada perilaku, peristiwa atau benda. Perspektif kritis memberi ruang reflektif bagi penulis untuk memahami pemaknaan terhadap tanda konotasi (semiotika R.Barthes) pada sejumlah foto Instagram Syahrini, peneliti mempelajari cara kerja tanda tersebut dapat berkembang menjadi mitos. Cara kerja mitos ini yang menjadikan Syahrini sebagai pelaku sekaligus korban dalam kekerasan simbolik. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi kuantitatif dan analisis semiotika yang memiliki fungsi saling melengkapi dalam memberikan sudut pandang pengamatan. Analisis isi kuantitatif tidak lain hanya merupakan prosedur yang digunakan untuk menguatkan data pola konsumsi dalam bentuk proporsi tiga jenis konsumsi (penampilan, budaya, dan makanan) yang ditampilkan Syahrini dalam akun Instagram yang dimilikinya. Peneliti menghindari penggunaan metode statistik yang kompleks (analisis jalur, regresi, atau analisis determinan) sebagai suatu mekanisme batasan penelitian. Lalu, analisis semiotika R. Barthes dengan perangkat enam tahapan untuk membedah konotasi berfungsi untuk memperdalam temuan dengan mencerminkan strategi investasi simbolik Syahrini dalam gambaran naratif dari tanda-tanda yang digunakan. PEMBAHASAN Syahrini merupakan penyanyi musik pop yang tidak terlepas dari fungsinya sebagai agen sosial. Ia memiliki hasrat untuk membedakan diri dengan orang lain, bahkan selalu berada dalam arena pertarungan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan distinction-nya, ia menampilkan tiga struktur konsumsi (penampilan, budaya, dan makanan) dalam hirarki yang berbeda. Dalam temuan penulis, penampilan menempati posisi paling banyak yaitu 84.83%. Sementara yang menampilkan konsumsi budaya hanya 10.34% dan yang terkecil pada makanan dengan presentase 4.83%. Kemudian, foto dengan likes terbanyak sebesar 6.719 ditempati oleh foto
  • 11.     11   yang menggambarkan penampilan Syahrini. Maka dapat diinterpretasikan, Syahrini menggunakan penampilan dengan atribut luxury brand untuk melakukan mobilitas sosial ke atas. Telaah terhadap habitus, perjalanan karir, dan penempatan kapital yang Syahrini lakukan untuk bertahan dalam arena industri hiburan menunjukkan bagaimana Syahrini menutupi kelemahan kapital budaya dengan konversi kapital ekonomi dalam kepemilikan barang mewah. Sikapnya kerap membalut narasi kehidupannya dalam gaya hidup mewah justru mengindikasikan dirinya bukan berasal dari kelas dominan, melainkan new petite bourgeoisie. Mobilitas vertikal yang Syahrini lakukan juga mencerminkan lemahnya kapital budaya yang ia miliki. Berdasarkan analisa pasar bahasa, Syahrini menunjukkan inkompetensi penggunaan bahasa dalam peran sosialnya sebagai publik figur. Ia kerap sekali melakukan kesalahan gramatikal, tata bahasa yang berlebihan, dan tutur berbahasa Inggris yang salah. Uniknya, ada beberapa ungkapan khas Syahrini yang justru diterima oleh masyarakat dan menaikkan popularitas Syahrini, seperti sesuatu dan cetar membahana badai. Sebab itu, bahasa populer yang diucapkan Syahrini bekerja seperti slogan yang mudah diserap sebagai tren. Ungkapan tersebut digunakan Syahrini semata-mata untuk menutupi kelemahan kapital budaya (terutama kemampuannya berbahasa asing) yang dimilikinya dan mengalihkannya kepada ekspresi-ekspresi bias. Ungkapan-ungkapan tersebut kabur dari maknanya dan pelaku komunikasi tidak berusaha memahami keutuhan makna, konteks, dan perpaduan unsur bahasa. Masyarakat menganggap ekspresi tersebut sebagai tren yang diikuti dengan keikhlasan sebagai relawan dalam menaikan popularitas Syahrini. Untuk mendapatkan temuan yang lebih dalam mengenai penampilan Syahrini, penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes dalam membahas pola konsumsi tersebut. Penampilan diri dapat dilihat dari cara berpakaian, sikap tubuh, penampilan fisik (proporsi tubuh, wajah, dan kulit), tata rambut, dan tata rias. Elemen-elemen tersebut memiliki makna denotasi dan konotasi yang dapat mencerminkan identitas dan posisi kelas Syahrini. Pada tahap konotasi, Syahrini berkepentingan untuk memiliki citra artis kelas atas agar honor artisnya pun disesuaikan dengan citra yang ia bentuk, sehingga ada upaya menampilkan dirinya secara berbeda dalam masyarakat dengan memproduksi dan mengkonsumsi nilai simbolik yang ditawarkan dalam dunia fashion (seperti pada Gambar I). Sebab, produk- produk bernilai simbolik menandakan siapa Syahrini, bagaimana mereka melihat dirinya, dan bagaimana ia ingin dilihat oleh orang lain.
  • 12.     12   Gambar I. Salah Satu Foto Penampilan Syahrini (Instagram, 24 Oktober 2013) Melalui pemaknaan terhadap tanda konotasi, penulis mempelajari cara kerja tanda tersebut dapat berkembang menjadi mitos. Pada kasus Syahrini, ada dua mitos yang bergerak secara halus melalui foto-foto dirinya di Instagram, yakni mitos kecantikan dan mitos konsumerisme. Syahrini menampilkan identifikasi perempuan cantik melalui kriteria kulit putih, ramping, dan berambut indah. Pesan kecantikan ideal tersebut disampaikan secara konsisten melalui foto-foto dirinya pada Instagram, sehingga justifikasi diri untuk menjadi cantik sekedar penilaian fisik seperti yang ditampilkan Syahrini. Untuk mitos konsumerisme, Syahrini mengandalkan citra produk untuk kesan ekslusif dan konstruksi gaya hidup mewah. Implikasinya, keinginan menjadi berbeda menghasilkan dorongan untuk membeli barang yang dapat memberikan status. Konsumsi didorong oleh fantasi untuk membangun ruang identitas, gaya hidup, realisasi dari mimpi memiliki kehidupan ideal, yang selalu berakhir dengan mencari tren dan barang lainnya. Ekspresi praktik konsumsi tersebut mereproduksi pembagian kelas. Cara kerja mitos ini yang menjadikan Syahrini sebagai pelaku sekaligus korban dalam kekerasan simbolik. Pelaku kekerasan simbolik di sini bukan berarti Syahrini merupakan bagian dari kelas dominan yang memiliki otoritas dan legitimasi. Namun, ia mengganduli wacana ideologi dan mitos yang diciptakan kelas dominan. Syahrini fungsinya sebagai pelaku
  • 13.     13   yang mengajak pengguna Instagram untuk mempelajari habitus kelas atas yang menjalani kehidupan dengan kemewahan. Ia sendiri tidak leluasa mengendalikan indikator realitas kehidupan yang ideal. Melalui representasi simbolik dalam arena Instagram, Syahrini menjadikan suatu realitas dapat dihadirkan melalui mobilisasi nilai tanda yang dikemas dalam foto. Syahrini selalu menghadirkan momen kesehariannya tanpa terlepas dari produk mewah, sehingga orang lain akan melihat konsumsi produk mewah sebagai hal yang normal bagi kalangan atas. Untuk itu, penelitian ini menunjukkan bahwa Instagram dan Syahrini mensosialisasikan nilai konsumsi yang membawa implikasi potensial tentang bagaimana konsumerisme dan produk mewah semakin dihargai dan diimpikan. Pesan visual yang ditampilkan Syahrini selain memberikan kriteria kehidupan ideal melalui kepemilikan barang mewah, juga mencerminkan Syahrini terjebak dalam batasan definisi tersebut. Maka, untuk menjadi bagian dari kelas tertentu, Syahrini turut memproduksi dan melestarikan suatu pedoman baku yang ditentukan kelas dominan agar diasosiasikan dengan posisi tertentu. Mekanisme kekerasan simbolik menjadi efektif ketika yang didominasi tidak merasakan kekerasan simbolis yang terjadi dan justru turut melegitimasi kekerasan simbolik tersebut sebagai suatu kebenaran. Tanpa sadar, Syahrini dijadikan korban kekerasan simbolik, yang menjadikan dirinya sebagai obyek bahan tontonan, hiburan, bahkan ejekan dalam sosialisasi pemisahan kelas. Syahrini walaupun kerap berpenampilan mewah, ia tetap tidak memiliki akses pada budaya dominan. Justru apa yang ia lakukan dengan mengakomodasi barang mewah, hanya menempatkan dirinya sebagai obyek bukan subyek yang menentukan. Syahrini menjadi display yang mengajak orang lain dalam pusaran konsumerisme. Pada saat yang sama, secara tidak sadar, Syahrini mengorbankan sejumlah kapital ekonomi yang tidak sedikit untuk penampilan mewah. Barang-barang mewah tersebut menjadi komoditas yang mengidentifikasi posisi sosial Syahrini sekaligus kontrol sosial bagi dirinya. Mekanisme konsumerisme yang dilekatkan dalam kebutuhan sehari-sehari menjadikan Syahrini tidak merasa berada pada sebuah ideologi yang sangat halus. Maka untuk bertahan, Syahrini harus terus mengkonsumsi barang mewah dan menghabiskan banyak kapital yang dimilikinya. Sebab, konsumsi barang mewah menjadi sebuah keharusan, sebuah keniscayaan untuk menuai popularitas. Syahrini juga terlibat dengan doxa dalam bentuk ketaataanya dengan aturan dunia fashion. Ia tidak dapat lepas dari logika konsumsi makna tanda dari fashion, baik dari segi nilai kebaruan ataupun aturan style, sebagai bentuk ketaatan pada aturan formal dan non formal yang telah ditentukan oleh individu atau kelompok lain yang
  • 14.     14   memiliki posisi yang lebih dominan, misalnya pilihan-pilihan gaya berpakaian Syahrini pada beberapa kegiatan terlihat mengikuti gaya Victoria Beckham. Setelah melakukan analisis semiotik, penulis semakin menyakini bahwa Syahrini berkerja melalui penampilan untuk mempengaruhi makna dan cara pandang masyarakat terhadap dirinya. Fashion dan penampilan sebagai garda terdepan dalam membentuk citra diri Syahrini yang glamour sekaligus sebagai kekuatan yang menutupi kelemahan kapital budaya dan rendahnya apresiasi seni pada Syahrini. Upaya pencarian distinction tersebut dalam dunia pemasaran dan industri lebih dikenali dengan konsep personal branding. Dari hasil temuan, distinction dan personal branding berdiri dalam hasrat yang sama, yakni ingin tampil berbeda, dikenal, dan dihargai. Maka, personal branding menjadi bagian dari strategi investasi simbolik yang mengarahkan pada pencarian distinction. Personal branding tidak dapat disamakan dengan natural distinction yang mendampingi agen sosial dari kelas borjuis. Personal branding melibatkan usaha untuk menaikkan posisi dalam arena (dapat berjenis apa saja yang dikehendaki sebagai arena tempur) yang membawa unique selling proposition atau keunikan dibanding kompetitor. Tidak ada yang menarik dari sikap yang homogen, tetapi begitu pola differensiasi muncul, proses personal branding berjalan. Teori personal branding milik Rampersad dipadukan oleh penulis dengan konsep distinction milik Bourdieu menjelaskan pentingnya mekanisme sosial dalam pembentukan identitas pribadi. Bourdieu dapat lebih jauh memberi indikator strategi investasi simbolik yang dapat berjalan baik dan jika gagal, Bourdieu memberikan pengamatan pada dialetika agen dan struktur yang dapat menjelaskan bagaimana strategi penempatan kapital yang seharusnya. Maka, pemikiran Bourdieu sifatnya bukan teknis seperti panduan kriteria yang harus dipenuhi oleh pelaku personal branding. Konsep distinction menghargai peran habitus kelas yang justru menegasikan pencarian distinction itu sendiri. Maka, individu yang dari lahir berada di kelas borjuis tidak memerlukan personal branding untuk menaikkan status. Natural distinction yang akan membawanya bersikap seperti ia apa adanya. Ia dilahirkan dengan warisan kapital simbolik, sehingga tidak perlu mencari-cari pengakuan. Kaum borjuis sejak kecil telah memperoleh pembelajaran untuk memahami kode-kode budaya tertentu. Maka, individu yang dibesarkan dalam habitus borjuis berbeda dengan individu yang menonton dan berusaha mempelajari kehidupan borjuis. Sedangkan, Syahrini dan kelompok petite bourgeoisie selalu dalam kerinduan untuk mendapat pengakuan karena desakan posisinya untuk membedakan diri dari kelas di bawahnya dan inkompetensi untuk memasuki kelas atas.
  • 15.     15   Terlebih lagi dengan munculnya teknologi informasi yang memberi akses bagi individu untuk merepresentasikan diri melalui media sosial menjadikan praktik personal branding lebih kompetitif dan vulgar. Instagram dengan budaya komunikasi cepat saji memberikan mekanisme baru untuk mengakses persepsi masyarakat dengan menawarkan strategi pencitraan yang lebih mudah. Melalui Instagram, strategi penempatan kapital menjadi bergerak lebih cepat, dinamis, dan pertarungan simbolik yang lebih terbuka. Pertarungan simbolik yang dilakoni Syahrini melibatkan beberapa arena yang sifatnya saling terintegrasi untuk memberikan popularitas, seperti arena industri hiburan, arena media massa, dan arena Instagram. Syahrini dalam hal ini terjepit oleh hirarki legitimasi dan cara kerja logika selera membuktikan Syahrini hanya akan mendapatkan popularitas, tetapi tidak akan mendapatkan otoritas legitimasi. Sebab, Syahrini sendiri bermain di dalam arena kultural massal yang hakikatnya akan memproduksi budaya populer. Praktik budaya tersebut akan memprioritaskan pendukung massal (fans) demi kepentingan profit sebuah industri. Maka, totalitas praktik kultural Syahrini lebih menekankan pada identitas sosial yang berwujud dalam gaya hidup dan penampilan. Misalnya, ketika Syahrini menggunakan foto berikut caption ‘my baby orange’ sambil berpose dengan Lamborghini, maka ada tata bahasa dan penggunaan simbol yang mengandung kekuatan kategorisasi dan justifikasi hirarki kelas dalam penafsiran para pengguna yang menyerap informasi tersebut. Kemudian, perilaku vulgarnya tersebut, menarik perhatian media massa untuk memberitakan gaya hidup mewah Syahrini. Sehingga, yang tidak memiliki akun Instagram pun akan melihat pesan visual yang sama lewat program infotainment di televisi. Realitas empirik di atas menggambarkan bagaimana dukungan produksi kultural yang dilakukan secara instan oleh Instagram turut membantu kontestasi di arena lain. Praktik sosial menjadi begitu kompleks, Syahrini hanya sebagian kecil dari fenomena sosial budaya. Instagram memberikan kita kemampuan menghadirkan konten visual yang dapat dibuat melalui proses editing secara instan yang pada akhirnya menjadikan foto sebagai reproduksi realitas bukan lagi sekedar refleksi realitas. Dengan demikian, selera bergerak lebih kompleks dalam praktik sosial. Selera semakin tidak netral dari yang diungkapkan Bourdieu. Selera tidak hanya berperan dalam pemilihan foto yang diunggah Syahrini, selera juga mencerminkan apa yang individu ingin refleksikan. Ada kebebasan Syahrini sebagai produsen informasi yang mempengaruhi perputaran informasi seperti apa yang dapat ditampilkan dan mana yang tidak, seberapa dekat citra diri yang ingin ditampilkan dengan
  • 16.     16   konsep foto, sudut pengambilan dan teknis foto yang disesuaikan. Tetapi, ketika ia melakukan praktik tersebut, Syahrini tidak lepas dari disposisi habitus yang ia miliki. KESIMPULAN Praktik sosial menjadi begitu kompleks, Syahrini hanya sebagian kecil dari fenomena sosial budaya. Instagram memberikan kita kemampuan menghadirkan konten visual yang dapat dibuat melalui proses editing secara instan yang pada akhirnya menjadikan foto sebagai reproduksi realitas bukan lagi sekedar refleksi realitas. Dengan demikian, selera bergerak lebih kompleks dalam praktik sosial. Selera semakin tidak netral dari yang diungkapkan Bourdieu. Selera tidak hanya berperan dalam pemilihan foto yang diunggah Syahrini, selera juga mencerminkan apa yang individu ingin refleksikan. Ada kebebasan Syahrini sebagai produsen informasi yang mempengaruhi perputaran informasi seperti apa yang dapat ditampilkan dan mana yang tidak, seberapa dekat citra diri yang ingin ditampilkan dengan konsep foto, sudut pengambilan dan teknis foto yang disesuaikan. Tetapi, ketika ia melakukan praktik tersebut, Syahrini tidak lepas dari disposisi habitus yang ia miliki. Syahrini dengan aksi performatifnya tersebut mengindikasikan bahwa ia menganggap selera dapat dibentuk dengan kapital ekonomi. Padahal, produk mewah dapat dibeli karena Syahrini mampu membayar harga dari standar hidup kelas atas, bukan born into that class. Syahrini menjadi borjuis kecil yang cenderung mengafirmasi produk mewah sebagai simbol status dibandingkan menyikapi gaya hidup dengan kualitas kapital budaya yang baik. Hal ini umum terjadi kepada seseorang yang mengalami mobilitas sosial ke atas, cenderung mengejar kenikmatan dan kesenangan daripada berinvestasi pada kapital budaya yang memerlukan waktu dan daya pikir rasional. Penelitian ini setelah melewati analisis bertahap secara rinci mengupas habitus Syahrini, meneliti akumulasi kapital yang dimilikinya, arena tempatnya bertarung, pola konsumsi yang memperlihatkan upaya distinction, dan penilaian terhadap efektivitas personal branding Syahrini, dapat memberi konklusi bahwa Syahrini tidak berhasil meraih kapital simbolik karena upayanya yang instan, singkat, dan mudah tanpa melewati proses dedikasi yang panjang berlawanan dengan proses pembelajaran sosial yang menurut Bourdieu tidak terjadi tiba-tiba karena proses belajar sosial budaya pada habitus berjalan halus. Sebab itu, Instagram justru menunjukkan proses yang vulgar dan menjadi pembeda dengan kaum Borjuis yang aktivitas budayanya telah melalui pembiasaan sejak lahir.
  • 17.     17   IMPLIKASI PENELITIAN Instagram dalam penelitian ini dari segi teoritis dipandang tidak hanya sebagai media sosial, tetapi shortcut mobilitas sosial, conspicuous consumption, representasi virtual, simulacra, dan saluran personal branding online. Bahkan, di tahun 2014, konsep distinction (Bourdieu, 1984) masih berlaku di Instagram, walaupun berubahnya pola komunikasi masyarakat dengan adanya teknologi internet. Hanya saja, konsep klasifikasi kelas sosial Bourdieu (sosioprofesional) yang digunakan untuk memberikan kriteria pola konsumsi distinction (makanan, penampilan, dan budaya) harus diperbaharui dengan kenyataan sosial era sekarang. Misalnya, makanan dan aktivitas olahraga sebagai gaya hidup mengalami pergeseran akibat globalisasi dan transformasi budaya. Kemudian, era industri budaya populer yang semakin berkembang menjadikan profesi artis tidak seideal (kapital budayanya tinggi) yang digambarkan Bourdieu. Jenis profesi saat ini pun lebih beragam dan dunia sosial berlaga lebih kompleks dengan mobilitas sosial yang berputar cepat. Pada implikasi praktis, kajian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para professional yang hendak membangun personal brand bertumpu pada pentingnya kapital budaya, yakni kompetensi dan kinerja. Kemudian, penilaian terhadap popularitas juga harus dibangun melalui kerja keras. Kembali lagi pada jenis brand apa yang tertanam dalam benak masyarakat, apakah populer dengan talentanya atau sensasi yang melekat pada diri mereka. Popularitas itu bukan jaminan Anda dianggap baik, tetapi karena Anda dikenal. Lalu bagaimana Anda dikenal yang akan menjamin personal brand seseorang. Kemudian, era digitalisasi membuat kehadiran individu penting dalam dunia virtual untuk membangun jaringan yang lebih luas. Pada implikasi sosial, teori harus mampu medorong rasionalitas masyarakat ke arah perubahan dan kemajuan. Masyarakat tidak lagi dijadikan instrumen-instrumen penguasa yang digunakan untuk kepentingan individu atau sekelompok orang tertentu. Kepatuhan menjadikan bentuk-bentuk dominasi semakin langgeng melalui wacana yang dibiarkan larut tanpa untuk dipertanyakan. Kepatuhan karena rasa mengidolakan publik figur tertentu membenarkan bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan simbolik yang menimpa masyarakat. Perhatian masyarakat kabur seolah-olah memang itu yang dianggap benar dan mengamini ‘kewajaran’ yang terjadi. Sikap paling skeptis umumnya sebatas haters yang ditujukan untuk publik figur yang tidak disukai dan itupun biasanya muncul karena ingin melindungi publik figur yang ia gemari. Misalnya, haters Syahrini umumnya dari pecinta
  • 18.     18   Ashanty. Adapun masyarakat umumnya hanya sekedar tidak menyukai dan kesal, tetapi tetap menonton berita infotainment tentang Syahrini dan tetap mengikuti Instagram Syahrini dengan dalih sekedar hiburan untuk ditertawakan. Padahal, sikap-sikap tersebut tidak membuka selubung dominasi dan dampak kekerasan simbolik yang ditimbulkan. Kekerasan yang berjalan dengan atau tanpa persetujuan korbannya harus disingkap. Maka analisa kepentingan di balik bervariasinya wacana tersembunyi merupakan sarana bertindak yang lebih baik. Media sosial menjadi ekstensi ‘kebebasan’ agen sosial yang berada dalam tekanan institusi atau kelompok tertentu di dunia nyata. Mereka merasa memiliki kekuasaan dalam arena media sosial, sebab mereka sendiri yang memilih konten yang akan ditampilkan, dengan siapa mereka ingin berbagi dan berkomunikasi, dan bagaimana mereka ingin dikenal. 'Kuasa' tersebut juga bersifat ilusi karena pengguna media sosial tidak menyadari bahwa dirinya sedang dibatasi oleh aturan-aturan tertentu. Menjadi anggota media sosial merupakan bagian dari kesenangan, pemenuhan hasrat, hiburan, dan penghilang rasa bosan. Kehadiran UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dengan pemerintah sebagai regulator akan menentukan sistem operasi, standar, dan protokol komunikasi sebagai bagian dari aturan permainan di media sosial. Kemudian ada aturan yang seringkali diabaikan begitu saja karena hasrat kesenangan menghilangkan kesadaran pengguna sosialnya, yakni People's Terms and Service Contract sering disetujui secara kilat (tanpa menginvestasikan waktu untuk membacanya terlebih dahulu), sesaat kita menyatakan ‘Ya’ pada ketentuan yang harus disetujui sebelum menjadi bagian dari jaringan sosial tersebut. Yang paling penting untuk diingat bahwa media tidak netral, khususnya Instagram dalam penelitian ini. Media sebagai arena produksi kultural memiliki aturan main yang membentuk bagaimana partisipan didalamnya beraktivitas, membuat relasi, dan meraih kekuasaan. Bahwa klaim media baru (terutama media sosial) merupakan arena yang otonom dari kepentingan melalui retorika 'kebebasan individu', 'demokratisasi wilayah publik', atau 'revolusi komunikasi', justru sebetulnya menyembunyikan kekuatan kapitalisme gaya baru. KETERBATASAN PENELITIAN DAN REKOMENDASI Dengan demikian, persoalan teoritis, topik substantif, dan temuan empiris saat ini menawarkan tantangan ke arah penelitian lebih lanjut, seperti (1) pengembangan kajian
  • 19.     19   multidisipliner yang memiliki pendekatan ‘sosioteknologi’; (2) sistem representasi pada dunia virtual dapat lebih mengerucutkan bagaimana diposisi konsep high art dan low art, seiring dengan teks-teks budaya yang menjadi lebih mudah diakses; (3) penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan kemudahan terhadap akses barang mewah melalui sistem sewa atau cicilan kredit mempermudah akses social climber dalam mencari penerimaan; (4) pola konsumsi yang mengarahkan pada upaya distinction juga dapat dilihat dari fetisisme komoditas yang menjadikan praktik konsumsi terhadap barang mewah dapat menciptakan devaluasi terhadap komoditas mewah tersebut; (5) penelitian ke depan juga dapat menggali bagaimana luxury brands pada suatu kasus, seperti akun Instagram @fashionlover178 menggunakan pengetahuannya terhadap luxury brands sebagai bentuk kapital budaya dalam mempertahankan status quo dirinya sebagai model dan lady couture. DAFTAR REFERENSI Bourdieu, Pierre. (1984[1979]). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, translated by Richard Nice. Cambridge MA: Harvard University Press. ______________. (1986). The Forms of Capital. In J.G. Richardson (Ed.).Handbook for Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press. ______________. (1987). Choses Dites, translated by Ninik Rochani S. Bantul:Kreasi Wacana. ______________. (1990). Homo Academicus, translated by Peter Collier. Stanford, Calif: Standford University Press. ______________. (1992). The Logic of Practice, translated by Richard Nice. Stanford: Stanford University Press. ______________, & Johnson, R. (1993). The Field of Cultural Production (1st ed.). New York: Columbia University Press. Blunden, A. (n.d.). Bourdieu on Status, Class and Culture by Andy Blunden. Home.mira.net. Retrieved 18 September 2013, from http://home.mira.net/~andy/works/bourdieu- review.htm Haryatmoko. (2010). Habitus dan Kapital Dalam Strategi Kekuasaan : Teori Strukturasi Pierre Bourdieu dengan Orientasi Budaya. Papers presented at Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI. Hennink, Monique, Hutter, Inge, dan Bailey, Ajay. (2011). Qualitative Research Methods. Great Britain: Sage Publications. Instagram Press Center. (2013). Retrieved 19 September 2013, from http://instagram.com/press/ Rampersad, K. Hubert. (2008). Authentic Personal Branding: A New Blueprint for Building And Aligning A Powerful Leadership Brand. Jakarta: PPM publishing. Wilson, J., & Blumenthal, I. (2008). Managing brand you (1st ed.). New York: AMACOM/American Management Association.