Selama ini praktik pengajaran lebih sering membelenggu siswa alias takmemerdekakan siswa. Proses pembelajaran yang terselenggara lebih didominasi guru denganmetode pembelajaran yang monoton, seperti ceramah, hafalan, dan drill soal. Anak terus sajadianggap seperti plastisin yang bisa dibentuk semau guru. Akibatnya, sebagaimana yangpernah dikatakan (alm) Romo Mangunwijaya, anak-anak tidak berproses mekar menjadi dirimereka sendiri, melainkan sebagai objek (Priyono Pasti, 2005).Proses belajar mengajar juga kaku, dibatasi oleh ruang kelas. Aktivitas anak hanyaduduk, berdiri dengan gerakan seadanya. Tak jarang dengan gerak yang terbatas ini anakkelihatan lesu, lemah dan kurang ceria menerima pelajaran.Ketika anak hanya bisa duduk di kursi dan gerak terbatas di kelas, justru anak sulitmengeksplorasi kreativitasnya. Saraf-saraf motoriknya menjadi diam, tak berfungsi secaramaksimal. Hal inilah yang tak disadari semua pihak terutama guru bahwa belajar terbatas diruang kelas malah memasung kebebasan anak untuk mengembangkan daya eksplorasi dankreativitasnya
Parahnya, pendidikan kita juga minus keteladanan. Guru yang sebenarnya tidaksekadar mengajarkan seperangkat ilmu pengetahuan, lebih dari itu harus menjadi teladandalam kehidupan. Malah berperilaku jauh dari ing ngarsa sung tuladha. Sebagian guru kitamasih menampilkan kekerasan saat mengajar, melakukan ujaran kebencian, bersikapintoleransi, pun budaya instan untuk naik pangkat, dan sebagainya.Peserta didik yang kerap disuguhi perilaku tak mendidik lama-lama akanmemunculkan sikap yang menyimpang. Maka tak heran bila persoalan tawuran, amuk massa,pudarnya rasa kesetiakawanan sosial, pupusnya toleransi, dan lain sebagainya masih menjadi"virus" dalam watak anak kita. Ini perlu disadari bagi guru. Bahwa seseorang tidak dapatmenjadi guru hanya bermodal kemauan dan kepintaran. Profesi ini mengharuskan seseorangtampil seutuhnya sebagai pendidik, yakni selalu menjadi contoh dan teladan dalam perilakudan ucapannya (ing ngarsa sung tulada)
Selama ini praktik pengajaran lebih sering membelenggu siswa alias takmemerdekakan siswa. Proses pembelajaran yang terselenggara lebih didominasi guru denganmetode pembelajaran yang monoton, seperti ceramah, hafalan, dan drill soal. Anak terus sajadianggap seperti plastisin yang bisa dibentuk semau guru. Akibatnya, sebagaimana yangpernah dikatakan (alm) Romo Mangunwijaya, anak-anak tidak berproses mekar menjadi dirimereka sendiri, melainkan sebagai objek (Priyono Pasti, 2005).Proses belajar mengajar juga kaku, dibatasi oleh ruang kelas. Aktivitas anak hanyaduduk, berdiri dengan gerakan seadanya. Tak jarang dengan gerak yang terbatas ini anakkelihatan lesu, lemah dan kurang ceria menerima pelajaran.Ketika anak hanya bisa duduk di kursi dan gerak terbatas di kelas, justru anak sulitmengeksplorasi kreativitasnya. Saraf-saraf motoriknya menjadi diam, tak berfungsi secaramaksimal
Selama ini praktik pengajaran lebih sering membelenggu siswa alias takmemerdekakan siswa. Proses pembelajaran yang terselenggara lebih didominasi guru denganmetode pembelajaran yang monoton, seperti ceramah, hafalan, dan drill soal. Anak terus sajadianggap seperti plastisin yang bisa dibentuk semau guru. Akibatnya, sebagaimana yangpernah dikatakan (alm) Romo Mangunwijaya, anak-anak tidak berproses mekar menjadi dirimereka sendiri, melainkan sebagai objek (Priyono Pasti, 2005).Proses belajar mengajar juga kaku, dibatasi oleh ruang kelas. Aktivitas anak hanyaduduk, berdiri dengan gerakan seadanya. Tak jarang dengan gerak yang terbatas ini anakkelihatan lesu, lemah dan kurang ceria menerima pelajaran.Ketika anak hanya bisa duduk di kursi dan gerak terbatas di kelas, justru anak sulitmengeksplorasi kreativitasnya. Saraf-saraf motoriknya menjadi diam, tak berfungsi secaramaksimal. Hal inilah yang tak disadari semua pihak terutama guru bahwa belajar terbatas diruang kelas malah memasung kebebasan anak untuk mengembangkan daya eksplorasi dankreativitasnya
Parahnya, pendidikan kita juga minus keteladanan. Guru yang sebenarnya tidaksekadar mengajarkan seperangkat ilmu pengetahuan, lebih dari itu harus menjadi teladandalam kehidupan. Malah berperilaku jauh dari ing ngarsa sung tuladha. Sebagian guru kitamasih menampilkan kekerasan saat mengajar, melakukan ujaran kebencian, bersikapintoleransi, pun budaya instan untuk naik pangkat, dan sebagainya.Peserta didik yang kerap disuguhi perilaku tak mendidik lama-lama akanmemunculkan sikap yang menyimpang. Maka tak heran bila persoalan tawuran, amuk massa,pudarnya rasa kesetiakawanan sosial, pupusnya toleransi, dan lain sebagainya masih menjadi"virus" dalam watak anak kita. Ini perlu disadari bagi guru. Bahwa seseorang tidak dapatmenjadi guru hanya bermodal kemauan dan kepintaran. Profesi ini mengharuskan seseorangtampil seutuhnya sebagai pendidik, yakni selalu menjadi contoh dan teladan dalam perilakudan ucapannya (ing ngarsa sung tulada)
Selama ini praktik pengajaran lebih sering membelenggu siswa alias takmemerdekakan siswa. Proses pembelajaran yang terselenggara lebih didominasi guru denganmetode pembelajaran yang monoton, seperti ceramah, hafalan, dan drill soal. Anak terus sajadianggap seperti plastisin yang bisa dibentuk semau guru. Akibatnya, sebagaimana yangpernah dikatakan (alm) Romo Mangunwijaya, anak-anak tidak berproses mekar menjadi dirimereka sendiri, melainkan sebagai objek (Priyono Pasti, 2005).Proses belajar mengajar juga kaku, dibatasi oleh ruang kelas. Aktivitas anak hanyaduduk, berdiri dengan gerakan seadanya. Tak jarang dengan gerak yang terbatas ini anakkelihatan lesu, lemah dan kurang ceria menerima pelajaran.Ketika anak hanya bisa duduk di kursi dan gerak terbatas di kelas, justru anak sulitmengeksplorasi kreativitasnya. Saraf-saraf motoriknya menjadi diam, tak berfungsi secaramaksimal
laporan observasi kelompok 1.
Ketua : 1. Agita Nova Purba 131301044
Anggota : 2. Sri Hasyuni 131301016
3. Novita Sari Lubis 131301022
4. Leli Febrina Rosa 131301100
5. Ice Kristiana S. 131301124
laporan observasi kelompok 1.
Ketua : 1. Agita Nova Purba 131301044
Anggota : 2. Sri Hasyuni 131301016
3. Novita Sari Lubis 131301022
4. Leli Febrina Rosa 131301100
5. Ice Kristiana S. 131301124
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratEldi Mardiansyah
Di dalamnya mencakup Presentasi tentang Pendampingan Individu 2 Pendidikan Guru Penggerak Aangkatan ke 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat tahun 2024 yang bertemakan Visi dan Prakarsa Perubahan pada SMP Negeri 4 Ciemas. Penulis adalah seorang Calon Guru Penggerak bernama Eldi Mardiansyah, seorang guru bahasa Inggris kelahiran Bogor.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
INSTRUMEN PENILAIAN PRAKTIK KINERJA KS Dok Rating Observasi (1).docx
Teori Belajar Behavioristik.pptx
1. Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar yang memandang belajar sebagai perubahan perilaku.
Penerapan teori behavioristik di dalam kelas seperti saat guru mengajar pembelajaran IPA tetapi
para peserta didik kurang tertarik dengan pelajaran sehingga cenderung hanya diam saja
kemudian guru memberikan stimulus reward berupa memberikan nilai bintang kepada anak-anak
yang mau menjawab secara benar untuk memacu peserta didik lebih tertarik dan termotivasi
sehingga terjadi perubahan perilaku. Guru memperhatikan bahwa yang tumbuh pada diri anak-
anak adalah hasil dari pemberian reward dan memberikan motivasi kepada mereka sehingga saat
reward diberhentikan anak-anak tetap bersemangat.
2. Teori sosial kognitif
• Teori belajar yang memandang belajar sebagai hasil mengamati dan meniru.
• Penerapan teori ini di dalam kelas seperti guru memberikan contoh demonstrasi pembuatan .....
di kelas. Peserta didik diminta untuk mengamati dan melakukannya. Setelah itu peserta didik
diminta untuk mempresentasikan hasil pembuatannya dan peserta didik lain diminta untuk
memberikan pertanyaan sehingga terjadi proses diskusi dalam kelas.
3. Teori konstruktivisme
Teori belajar yang memandang belajar sebagai proses yang ada di otak (kognitivistik). Penerapan
dalam kelas contohnya peserta didik diberikan LKPD mengenai suatu kasus anak yang terkena
diabetes padahal kedua orang tuanya tidak ada riwayat diabetes. Guru memancing rasa ingin tahu peserta
didik dengan kasus tersebut. Setelah itu peserta didik diminta untuk melakukan penyelidikan dan mencari
solusinya. Kemudian peserta didik diminta untuk memaparkan konsep yang telah diperolehnya. Setelah
siswa sudah dapat memaparkan pemahamannya sendiri maka guru memberikan penguatan materi.