SlideShare a Scribd company logo
1
DAFTAR ISI
NETRALITAS JOKOWI DI PILKADA DKI
Agus Riewanto 4
SIAPKAH JAKARTA MENYAMBUT GUBERNUR BARU?
Hendri Satrio 8
TNI BIRAWA
Sjafrie Sjamsoeddin 11
KEBERSAMAAN TNI-RAKYAT
Jazuli Juwaini 14
TAMBANG DITEMBAK, REKLAMASI DIBIARKAN
Margarito Kamis 17
PELAJARAN BERHARGA DARI PILKADA JAKARTA
Bagong Suyanto 21
POLISI DAN DIMAS KANJENG
Moh Mahfud MD 24
RADIKALISME
Sarlito Wirawan Sarwono 27
REMISI KORUPTOR: MENKUMHAM VS PRESIDEN
Tjipta Lesmana 30
REVITALISASI HUKUM DAN HANCURNYA MUTU PENEGAKAN HUKUM
Bambang Soesatyo 33
ALEPPO DAN GERAKAN NON-BLOK
Dinna Wisnu 37
HENTIKAN TRIAL BY THE PRESS
Frans H Winarta 40
MEMERANGI PUNGLI BIROKRASI
Medrial Alamsyah 43
MEMBENAHI KEUANGAN PARTAI
Almas Sjafrina 47
URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG PARPOL
Khairul Fahmi 50
AGAMA DAN POLITIK
2
Komaruddin Hidayat 53
TOPIK AHOK DAN MARWAH
Moh Mahfud MD 55
BIROKRAT BENALU
Asep Sumaryana 58
FAKTOR AGAMA DALAM PILKADA
Abdul Mu’ti 61
OPSTIB ALA JOKOWI
Bambang Soesatyo 64
NASIB THAILAND TANPA RAMA IX
Heru Susetyo 67
MOSUL PASCA-ISIS
Dinna Wisnu 71
TAFSIR KONSTITUSI “ORANG INDONESIA ASLI”
Pan Mohamad Faiz 74
KEKUATAN OTONOM DAN DINAMIKA PILKADA
Sudjito 77
OPERASI PEMBERANTASAN PUNGLI
Marwan Mas 80
REFORMASI BIROKRASI DEMI PERUBAHAN LEBIH BAIK
Mirna Annisa 83
OTOKRITIK DPR
Jazuli Juwaini 86
HUKUM YANG TERTATIH
Zainal Arifin Mochtar 89
TITIK BALIK REKONSOLIDASI JOKOWI
Burhanuddin Muhtadi 92
KITAB SUCI DAN PILKADA
Komaruddin Hidayat 95
REFORMASI HUKUM, REFORMASI APA?
Moh Mahfud MD 97
KONTINUITAS PILKADA CALON TUNGGAL
Ikhsan Darmawan 100
3
PERLU PROGRAM DERADIKALISASI MASIF
Asmadji AS Muchtar 103
DEMOKRASI DAMAI
Dewi Aryani 106
KOLOMBIA: PESTA DAMAI YANG TERTUNDA
M Nasir Djamil 109
SEJARAH BARU ATAU SEJARAH BERULANG?
A Alamsyah Saragih 112
DI BALIK PEMILIHAN ANTONIO GUTERRES
Dinna Wisnu 115
OPERASI PEMBERANTASAN PUNGLI
Marwan Mas 118
MENAGIH JANJI NAWACITA
Adi Prayitno 121
POLITISI, PARPOL, DAN MEDIA SOSIAL
Firman Noor 124
ANTARA SABER PUNGLI DAN OPERASI SAPU JAGAD
Tjipta Lesmana 127
PANGGUNG KAMPANYE PILKADA
Gun Gun Heryanto 130
MIRNA SELESAI, JESSICA BERLANJUT
Moh Mahfud MD 133
ADIK BARU KPK: SATGAS SABER PUNGLI
Bambang Soesatyo 136
CATATAN HUKUM KASUS JESSICA
Sudjito 139
KEAMANAN MARITIM & PERMASALAHANNYA
Amarulla Octavian 142
MENANTI JOKOWI MEMBONGKAR KASUS MUNIR
Agus Riewanto 146
MENCARI PEMIMPIN PEMERSATU
Frans H Winarta 150
DEMO YANG ISLAMI?
Abdul Mu’ti 152
4
Netralitas Jokowi di Pilkada DKI
04-10-2016
Tak lama lagi Pilkada DKI Jakarta akan digelar. Tiga pasang calon gubernur dan wakil
gubernur yang telah mendaftar ke KPU DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful
Hidayat (diusung PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem), Agus Harimurti Yudhoyono-
Sylviana Murni (diusung Partai Gerindra dan PKS), dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga
Uno (diusung Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN) siap bertarung.
Pilkada DKI merupakan pesta demokrasi lokal, namun bercita rasa nasional karena posisi
Provinsi DKI berada di jantung kekuasaan Republik Indonesia. Itulah sebabnya lanskap
pemberitaan Pilkada DKI seolah menjadi pesta demokrasi nasional. Bahkan gegap-gempita
dan riuhnya pemberitaan Pilkada DKI tak kalah dengan situasi pemilihan presiden (pilpres).
Tak pelak lagi Pilkada DKI bercita rasa pilpres.
Kecurigaan Presiden Tak Netral
Posisi strategis DKI dalam percaturan nasional bukan saja hanya akan membawa dampak
pada citra politik nasional. Akan tetapi, secara politik karier menjadi gubernur dan wakil
gubernur DKI berpotensi menjadi anak tangga untuk menapaki karier sebagai presiden RI
sebagaimana terjadi pada Joko Widodo (Jokowi). Jejak Jokowi inilah yang memantik minat
elite politik untuk ikut ”bermain” habis-habisan dalam Pilkada DKI. Karena itu,
sesungguhnya di benak tiga pasangan calon dalam Pilkada DKI ini dan elite politik
pendukungnya punya harapan akan berkarier semulus Jokowi.
Di mata publik, Presiden Jokowi punya andil yang cukup besar dalam Pilkada DKI, bukan
hanya dalam soal komitmennya untuk ikut menjaga agar Pilkada DKI dapat berlangsung
damai dan berkualitas, namun yang lebih penting adalah soal komitmen merawat
netralitasnya.
Soal netralitas ini menjadi perhatian publik akhir-akhir ini karena Presiden Jokowi punya
kedekatan secara ideologis dan keintiman psikologis secara pribadi dengan dua orang calon
gubernur DKI, yakni Ahok dan Anies. Dengan Ahok, Presiden Jokowi kini punya kesamaan
ideologis karena sama-sama kader yang disokong PDIP untuk menjadi elite politik. Dengan
Anies Baswedan, Presiden Jokowi punya keintiman pribadi yang cukup kuat. Anies pernah
menjabat sebagai menterinya (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dan pernah terlibat
sebagai tokoh sentral dalam pemenangan Jokowi menapaki karier sebagai presiden.
Kedua calon ini pernah berjasa kepada Presiden Jokowi. Maka potensi Presiden untuk
membalas jasa kedua tokoh ini dalam Pilkada DKI sangat besar. Walaupun Juru Bicara
5
Istana, Johan Budi SP, menyatakan Presiden Jokowi akan netral dalam pilkada DKI (KORAN
SINDO, 2/10/2016), tetap saja publik menaruh curiga yang amat dalam terkait sejauh mana
Presiden Jokowi mampu menempatkan dirinya sebagai pribadi dan Presiden RI yang tak
berpihak pada kedua calon gubernur ini.
Menyuarakan Presiden Netral
Sesungguhnya urgensi Presiden netral dan tak berpihak pada salah satu calon gubernur DKI
ini perlu disuarakan sedini mungkin. Mengingat sejarah pilkada langsung di Indonesia sejak
2005-2015 yang lalu terekspos bercak noda ”permainan kotor” para calon kepala daerah yang
memainkan mesin birokrasi, penyalahgunaan anggaran daerah, pemanfaatan fasilitas
pemerintah, dan kedekatan emosi dengan tokoh-tokoh nasional menjadi pintu-pintu meraih
kemenangan dalam pilkada. Pola-pola ini di bawah alam sadar telah menjelma menjadi
keyakinan publik yang sulit dibantah.
Bahwa sangat besar potensi para calon gubernur DKI, terutama sang petahana (incumbent),
akan memainkan pola yang relatif sama dan ditambah kedekatannya dengan presiden RI.
Padahal, jamak diketahui presiden adalah sumber ”mantra kekuasaan” yang paling sakti
untuk dapat memengaruhi publik, bahkan memainkan aneka bentuk kegiatan dan pencitraan
politik untuk menyokong calon gubernur.
Jumat (30/9) lalu misalnya, Presiden Jokowi membuat panggung publisitas politik bersama
Ahok saat meninjau proyek LTR dan MRT. Bagi publik, kegiatan Presiden Jokowi dan Ahok
itu tentu bukan merupakan perjumpaan alamiah. Kuat dugaan bahwa selalu ada pesan politik
dari setiap konteks perjumpaan antaraktor politik dalam kerangka untuk menaikkan peringkat
citra dan popularitas. Dipastikan aneka kegiatan semacam ini akan kerap dilakukan Presiden
Jokowi yang disembunyikan lewat aneka bentuk kegiatan formal kenegaraan, jika tak
diingatkan untuk bersikap netral dalam pilkada.
Keuntungan Presiden Netral
Paling tidak terdapat tiga keuntungan sekaligus jika Presiden Jokowi bersikap netral dalam
pilkada DKI ini. Pertama, Presiden Jokowi akan dikenang publik sebagai negarawan
(statesman) sejati karena mampu menempatkan dirinya sebagai seorang bapak bangsa yang
melindungi dan bersikap yang sama pada semua orang. Atas nama negara, Presiden harus
mampu menjamin bahwa Pilkada DKI dapat berlangsung secara adil dan demokratis.
Bukankah ketika dia menjabat sebagai presiden berarti dia telah menanggalkan semua atribut
ideologi parpol, kedekatan emosi, dan aneka ikatan primordial. Relevan untuk diingat pesan
dari Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) yang pernah
mengatakan: ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” Kalimat
yang sama pernah pula diucapkan oleh Presiden AS John F Kennedy (1961-1963). Kata bijak
ini mengajarkan pada setiap pemimpin politik untuk menyudahi keinginan pribadi untuk
6
loyal pada ideologi parpol dan ikatan primordial lain ketika ia telah terpilih untuk memanggul
tugas negara. Sikap inilah yang seharusnya ditunjukkan Presiden Jokowi dalam Pilkada DKI.
Kedua, netralitas Presiden Jokowi dalam Pilkada DKI akan menjadi teladan publik, di mana
kini publik telah kehilangan tokoh publik sebagai sandaran moral politik. Hampir semua elite
politik hari-hari ini telah menggadaikan harga dirinya untuk memihak dan hanya menolong
pada kelompoknya serta juga garis ideologi parpolnya.
Negeri ini sedang dan tengah dikelola elite politik yang mengarah pada penguatan pengkotak-
kotakan golongan dan ikatan primordialnya. Lihatlah, realitasnya kini hampir semua lembaga
negara tengah dikaveling para elit politik satu gerbong ideologi dan berusaha untuk membuat
dinasti-dinasti kecil untuk menggenggam aneka proyek dan keuntungan ekonomi politik
untuk menyokong jalannya roda partai politik. Karena harus diakui pembiayaan parpol sangat
mahal, sementara sumber pendanaan parpol sangat terbatas, sedangkan parpol dirancang oleh
UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik sebagai organisasi nirlaba. Maka jalan satu-satunya
adalah memanfaatkan aneka sumber keuangan dari pundi-pundi aneka lembaga negara yang
digawangi oleh kader-kader parpol.
Ketiga, secara politis sebenarnya tak cukup menguntungkan bagi Presiden Jokowi untuk
menyokong atau bersikap tak netral pada salah satu calon gubenur DKI ini, karena siapa pun
pemenangnya dipastikan akan menjadi pesaing Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang.
Karena Pilkada DKI sejak awal hanya dipandang sebagai ajang percobaan para elite politik
untuk menjajaki tangga menuju Pilpres 2019 mendatang.
Pertimbangan rasionalitas politik kompetitor ini seharusnya menyadarkan Presiden Jokowi
bahwa posisi kursi presiden tak akan dibiarkan tetap digenggam Jokowi hingga dua periode.
Tradisi jabatan presiden dua periode ini sebagaimana dialami oleh SBY (2004-2009 dan
2009-2014) tampaknya tak akan terulang di era ini. Karena pola, cara, taktik dan aneka ragam
model pemenangan Jokowi telah direkam dengan baik oleh lawan-lawan Jokowi yang kini
tengah menjadi calon dalam Pilgub DKI atau elite politik di belakang tiga pasangan calon.
Menjaga Indonesia dari Pilkada DKI
Itulah sebabnya pilihan untuk netral dalam Pilkada DKI seharusnya menjadi cara paling bijak
dan elegan bagi Presiden Jokowi, karena sesungguhnya sikap Presiden ini menjadi garansi
masyarakat dunia, bahwa Indonesia telah mampu menjadi negara demokrasi yang besar.
Sebab, demokrasi nasional sesungguhnya dimulai dari praktek demokrasi lokal, seperti
dinyatakan oleh Tip O’Neill (1982) bahwa ”all politics is local,” maknanya jika praktik
politik lokal telah senafas dengan prinsip-prinsip demokrasi maka dipastikan politik nasional
akan bernafas secara naluri demokratis pula.
Jangan biarkan Pilkada DKI diracuni oleh ketidaknetralan Presiden Jokowi. Jakarta adalah
Indonesia, maka saatnya Presiden Jokowi menjaga demokrasi Indonesia dari Pilkada DKI
7
ini.
AGUS RIEWANTO
Doktor Hukum Tata Negara; Pengajar pada Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
8
Siapkah Jakarta Menyambut Gubernur
Baru?
05-10-2016
Sekilas memang judul artikel ini mempertanyakan hal yang terlalu dini. Bagaimana tidak?
Jangankan datang memilih di bilik suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta
saja belum menetapkan secara resmi siapa saja pasangan calon gubernur dan calon wakil
gubernur yang akan berlaga di Pilkada Jakarta 2017 kelak.
Tapi, bila ditelaah lagi, judul di atas tidak terlalu dini. Ada berbagai alasan yang menjelaskan
judul tersebut. Sejarah pilkada langsung di Jakarta mencatat belum pernah ada petahana yang
sukses menjadi gubernur dua periode. Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini
Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada September 2016 lalu menyebutkan 82% publik Jakarta
menyatakan bahwa calon alternatif bisa mengalahkan petahana.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang kemarin merilis hasil survei juga menunjukkan
penurunan elektabilitas yang signifikan bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga di angka
31%. Padahal, survei Kedai-KOPI pada September 2016 masih di level 39% dan memang
turun dari survei Agustus 2016 di level sekitar 41%.
Gelanggang Ciptaan Megawati
Saat PDIP memutuskan untuk mengusung Ahok-Djarot, publik terhenyak–termasuk saya
cukup kaget mendengar keputusan itu. Keputusan yang dianggap antiklimaks karena
akhirnya PDIP memutuskan untuk memberikan tiket calon gubernur bukan kepada kadernya
sendiri.
Ahok-Djarot pasti menang di Jakarta, itu pikir saya. Tapi nampaknya Megawati memiliki
naluri politik berbeda. Patut dicitrakan bahwa Megawati paham betul dua rival politiknya
tidak akan tinggal diam menyerahkan Jakarta begitu saja. Mega memaksa SBY dan Prabowo
membuka kartu jagoan mereka lebih cepat.
Dipilihnya Agus Harimurti oleh SBY dan Anies Baswedan oleh Prabowo membawa dua
keuntungan bagi Megawati, berisiko tapi risiko yang patut diperhitungkan. Megawati bisa
menguji kekuatan Ahok beserta pendukungnya di internal PDIP, sekaligus menguji kekuatan
PDIP di Pemilu 2019. Megawati sukses menciptakan gelanggang pertempuran yang sepadan
bagi Basuki Tjahaja Purnama.
Antara Agus dan Anies
9
Nama Agus, Anies, Silvi pernah mampir di meja diskusi internal KedaiKOPI sebagai calon
gubernur yang diperhitungkan bersama Rizal Ramli, Yusril Ihza, dan Tri Rismaharini, walau
akhirnya perlahan menghilang dari meja diskusi. KedaiKOPI menyisakan Sylviana Murni
yang tetap di atas meja diskusi bersama Djarot, Saifullah, Yusuf Mansur, Teguh Santosa, dan
Marco sebagai yang berpotensial sebagai wakil gubernur.
Tapi tetap saja munculnya nama Agus dan Anies cukup mengejutkan. Kemunculan dua nama
ini menghidupkan kembali aroma kompetisi di Jakarta. Munculnya dua nama ini saya jamin
membuat Ahok berkeringat dalam kompetisi Pilgub Jakarta.
Nama Anies Baswedan mentereng di Jakarta sejak Pilpres 2014. Bahkan keputusan Presiden
Jokowi untuk mengakhiri pengabdian Anies sebagai menteri di Kabinet Kerja menjadi
kontroversi. Di Jakarta Anies memiliki massa sendiri. Massa loyal yang tentu saja mampu
menggerus suara Ahok di Jakarta. Suara Anies dan Ahok hampir mirip di Jakarta, suara
pendukung Jokowi. Nah, bisa jadi suara pendukung Jokowi yang sering berteriak ”Jokowi
Yes, Ahok No!” akan berpindah ke Anies Baswedan.
Bagaimana dengan Agus Harimurti Yudhoyono? Mayor Agus adalah komandan di Kesatuan
203 Arya Kamuning. Publik saat itu langsung salut dan bertanya penuh keingintahuan,
mengapa Agus yang disodorkan sebagai lawan Ahok? Agus ini perhitungan matang partai
pengusungnya. Agus secara alami memiliki brand kuat salah satu tokoh hebat negeri ini,
Yudhoyono. Selain itu, Agus juga disosokkan sebagai orang muda, baru, bersih, dan
memiliki citra disiplin yang kuat. Suara kaum muda, para loyalis SBY, dan mungkin saja
barisan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah wajar bila diincar oleh pengusung Agus.
Hingga kini hanya Agus Harimurti yang belum dikomentari oleh sang petahana, Ahok. Bisa
jadi Ahok sungkan kepada Agus atau Ahok mungkin mengerti tidak ada bad publicity dalam
politik, setiap komentar dia akan menguntungkan Agus karena hanya menambah kepopuleran
anak tertua SBY ini.
Satu atau Dua Putaran
Pilkada Jakarta memang unik dibanding daerah lain. Di Jakarta gubernur terpilih
membutuhkan 50% + 1 untuk dinyatakan menang. Nah, hingga saat ini hasil berbagai survei,
termasuk survei KedaiKOPI, belum menunjukkan satu pun calon yang berhasil meraih 50% +
1. Artinya, kemungkinan besar Pilgub Jakarta akan berlangsung dua putaran. Pemenang
kompetisi ini akan diumumkan Mei 2017 mendatang.
Basuki Tjahaja Purnama memang masih menjadi unggulan. Tingkat kepuasan publik
terhadap Ahok juga masih cukup tinggi, tapi ini belum jaminan dirinya lolos ke putaran
kedua, apalagi menang. Ahok dan Anies akan menilai Agus sebagai kuda hitam yang sangat
diperhitungkan. Keduanya pasti berusaha agar Agus tidak lolos ke putaran kedua. Sebab, bisa
jadi, bila Agus lolos ke putaran kedua, sosok anak muda berusia 38 tahun ini akan membuat
kejutan di Jakarta.
10
Pilihan ada di tangan para pemilik suara. Saat ini semua calon berstatus sama, tidak ada yang
pernah menang sebagai gubernur Jakarta. Publik tidak hanya akan melihat pertarungan
episentrum Teuku Umar-Cikeas-Hambalang. Tapi publik juga akan menantikan kepada siapa
aroma Jokowi yang masih sangat kuat hinggap di salah satu calon. Jokowi dikenal sebagai
tokoh cerdik yang sulit ditebak, jadi bisa jadi tebakan kita tidak tepat.
Akhirnya kita yang harus memutuskan, sosok tokoh baru sebagai gubernur Jakarta atau sosok
pengganti gubernur hasil Pilgub 2012 lalu.
HENDRI SATRIO
Founder Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik
Indonesia); Akademisi Universitas Paramadina
11
TNI Birawa
05-10-2016
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tercatat, Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah
organisasi pengabdian warga negara Republik Indonesia pada profesi militer yang oleh
konstitusi UUD 1945 diamanatkan sebagai alat pertahanan negara untuk menjaga keutuhan
dan kedaulatan negara.
Di masa lalu pemerintah sangat dominan di hampir semua sektor penyelenggaraan negara
yang lazim disebut otoritarian dengan menempatkan ABRI (TNI-Polri) dalam posisi ketat
mengawal pemerintah dengan status sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (hankam)
dan kekuatan sosial politik (sospol) yang dikenal dengan Dwifungsi ABRI.
Dominasi peran ABRI kemudian berubah seiring era Reformasi. Reformasi TNI selain di
bidang struktur dan doktrin juga terhadap aspek kultur, ibarat mengubah kebiasaan lama yang
sudah melembaga terbentuk. Sejak 1998 TNI telah bekerja keras melakukan perubahan-
perubahan mendasar berbagai tatanan, pola pikir, dan perilaku untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan era demokrasi.
Tidak dapat disangkal perubahan mendasar selama 18 tahun masih meninggalkan kesan sikap
trauma, hati-hati, bahkan apatis terhadap fenomena kehidupan politik nasional. Reformasi
internal TNI yang hingga kini diteruskan oleh generasi TNI sangat memerlukan kualitas
integritas kepemimpinan TNI yang konsisten dan komitmen terhadap jati diri TNI seperti
yang dituntut oleh undang-undang.
Politik Negara
Politik TNI adalah politik negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Panglima Besar
Soedirman sudah dipatrikan dalam makna Sapta Marga sebagai prajurit pejuang, prajurit
rakyat, prajurit nasional, dan prajurit profesional.
Di masa kini dan mendatang pada era demokrasi yang penuh keterbukaan, akan sangat
berbeda dengan masa lalu yang hitam-putih memosisikan TNI dalam dua jenis misi di atas.
Di sini perlu kecermatan kepemimpinan dan manajemen TNI untuk menegaskan secara
eksplisit kepada segenap prajurit. Rambu-rambu pelaksanaan misi negara di dalam iklim
demokrasi yang memberikan ruang interaksi sipil-militer perlu menjadi pedoman. Hal ini
penting mengingat pergerakan demokrasi di Indonesia begitu cepat sehingga memungkinkan
fenomena demokrasi memberikan imbas dan menggelitik pribadi prajurit.
12
TNI sudah membuka pintu yang luas bagi bangsa di era Reformasi untuk meneropong
perjalanan TNI dari masa ke masa. Bagi TNI, hal ini tentu memberikan manfaat ganda bagi
kehormatan dan nilai moral yang senantiasa menjadi tanggung jawab generasi TNI. TNI yang
tegas menerjemahkan esensi dan makna politik negara akan menghindari tafsiran tersamar
dari publik yang seolah-olah TNI berdwifungsi.
Memang kita masih sering mendengar pertanyaan dalam obrolan bebas di masyarakat,
bagaimana TNI bersikap jika negara dan bangsa mengalami turbulensi? Bagaimana status
legitimasi dan legalitas TNI dalam misi negara tunduk kepada otoritas sipil yang berdaulat
untuk lingkup penugasan pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis?
TNI bukan penentu akhir, melainkan elemen utama negara untuk menyelamatkan
kelangsungan hidup negara dan bangsa. Sebagai militer profesional, TNI senantiasa
diharapkan secara independen menyampaikan pemberitahuan dini kepada negara terhadap
berbagai fenomena yang berpotensi menimbulkan destabilisasi kelangsungan hidup dan
keselamatan bangsa. Sikap independen adalah tuntutan profesionalitas militer secara
universal yang berpegang kepada prinsip netral dan imparsial.
Sikap independen ini pula menjadi rambu pengaman bagi TNI terhadap kesan publik yang
mencari celah dari sikap dan gerak-gerik yang belum tuntas menghayati dan menjalankan
reformasi kultur TNI, yaitu mengubah rasio dan rasa lama yang sudah tidak relevan bahkan
dapat menimbulkan noda kehormatan TNI.
Integrasi dan Integritas
Suatu keniscayaan perlunya integrasi nasional dalam era demokrasi, diintesifkannya kerja
sama sipil dan militer untuk bahu-membahu dalam memikul beban politik negara. Pergeseran
iklim konflik pada Abad XXI ke dimensi baru konflik tidak beraturan yang dikenal sebagai
perang asimetrik dengan padanan teknologi menjadi opsi efektif dibandingkan penggunaan
hard power yang menggunakan peralatan militer berat di semua spektrum perang, baik di
darat, laut dan udara, dengan persyaratan memerlukan kemampuan ekonomi yang
tinggi. Padahal, kondisi ekonomi global mengalami perlambatan yang sangat pelan dan
cenderung negatif.
Kini secara universal kekuatan militer lebih mengutamakan untuk misi kemanusiaan dan misi
negara demi menjamin stabilitas dan kedaulatan serta tugas perdamaian dunia. Indonesia
mencatat penanganan konflik dalam negeri cenderung diselesaikan melalui diplomasi,
walaupun diakui bahwa operasi militer berperan besar dalam mendorong terbentuknya ruang
diplomasi penyelesaian konflik.
Tantangan integritas TNI adalah bersikap ”tidak” terhadap godaan kepentingan. Selain ini
merupakan nilai moral tertinggi sebagai kehormatan TNI yang ditebus dengan keringat dan
darah, juga menjadi sabuk pengaman bagi TNI di semua lini keprajuritan. Tanggung jawab
13
kewenangan yang hanya mampir seketika di pundak TNI akan menjadi modalitas besar bagi
pengakuan bangsa dan negara hendaknya patut dijaga, agar sistem tidak mengalami distorsi.
Lebih dari itu, revitalisasi manajemen dengan berbagai terobosan sistemik diperlukan dengan
semangat jiwa korsa yang menyatukan rasa dan rasio dari para perwira dan prajuritnya,
sehingga memastikan TNI menjadi kekuatan yang dahsyat dan mengagumkan. Dirgahayu
TNI.
LETJEN TNI (PURN) SJAFRIE SJAMSOEDDIN
Kepala Pusat Pengkajian Strategi Nasional
14
Kebersamaan TNI-Rakyat
06-10-2016
Setiap 5 Oktober kita memperingati Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT
TNI). Kita semua tentu mengucapkan selamat sambari berharap TNI semakin kuat menjaga
kedaulatan Republik.
Kekuatan TNI tidak hanya bertumpu pada gelaran senjata (alutsista) yang dimiliki, tetapi juga
pada kemampuan TNI mendefinisikan ancaman secara tepat dan meresponsnya secara tepat.
Tidak kalah penting bagaimana TNI mampu mengagregasikan potensi kekuatan rakyat
sebagai kekuatan utama negara. Maka, sangat tepat motto HUT yang digagas TNI sejak
beberapa tahun terakhir yang mengafirmasi kebersamaan TNI dengan rakyat merupakan
faktor utama yang menjadikan TNI kuat, hebat, dan profesional.
Hal ini ditegaskan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam amanatnya pada
HUT TNI di Mabes TNI Cilangkap (Rabu, 5/5) yang mengatakan agar TNI selalu terus hidup
berdampingan bersama rakyat karena hal ini merupakan ciri dari TNI yang tidak boleh pudar.
Bersama rakyat TNI kuat.
Jika kita baca sejarah lahirnya, TNI memang tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Jauh sebelum
Indonesia merdeka, cikal bakal TNI adalah laskar-laskar rakyat yang mempersenjatai diri
dengan senjata seadanya untuk melawan penjajah dengan persenjataan yang modern di
masanya. Maka, raison d’ etre TNI ya rakyat itu sendiri sehingga sangat tepat jargon yang
sering kita baca dan dengar: bersama rakyat TNI kuat. Rakyat sebagai kekuatan utama tidak
diragukan lagi. Rakyatlah yang berjuang merebut kemerdekaan saat TNI belum terbentuk.
Dus, keinginan kuat TNI untuk selalu bersama—dan menumbuhkan potensi kekuatan—
rakyat menunjukkan kesadaran sejarah TNI yang bukan saja tepat, tapi juga cerdas.
Kekuatan dan Ancaman
Di awal artikel penulis mengatakan bahwa kekuatan TNI utamanya terletak pada kemampuan
mendefinisikan (potensi) kekuatan negara berikut ancamannya secara tepat pada era yang
terus berubah. Dalam konteks ini, TNI secara tepat mendefinisikan hal tersebut dalam dua
tema yang selalu didengungkan oleh TNI yaitu ”semangat gotong-royong” dan ”ancaman
perang proxy.” Dua tema ini sejatinya berfokus pada satu hal yaitu ”kekuatan rakyat”.
Pesannya jelas sebagaimana ungkapan masyhur Bapak TNI Panglima Besar Jenderal
Sudirman: Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan, dan
tidak ada persatuan tanpa silaturahmi. Indonesia kuat dan jaya jika rakyatnya bersatu dan
pengejawantahan persatuan yang paling konstruktif adalah dalam bentuk semangat ”gotong-
15
royong”. Sementara ancaman terbesar terhadap jiwa dan semangat gotong-royong adalah
upaya pecah belah dalam bentuk ”perang proxy.”
Kurang-lebih satu tahun silam Fraksi PKS DPR secara khusus mengundang Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mempresentasikan perspektif dan analisisnya terhadap
permasalahan kebangsaan pada Seminar Nasional F-PKS dengan tema ”Refleksi 70 Tahun
Kemerdekaan” (26 Agustus 2015). Dalam seminar tersebut, Panglima TNI secara jernih
mengulas anatomi masalah kebangsaan kita sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki
bangsa ini untuk menyelesaikannya.
Panglima mengajak hadirin untuk merefleksi betapa hari ini kita kehilangan karakter sebagai
sebuah bangsa yang santun dan gotong-royong. Betapa sulit sesama anak bangsa saling
memuji, sebaliknya betapa sering kita dengar saling menuduh dan menyalahkan. Rakyat
sangat mudah disulut konflik. Elite politik saling bertarung kepentingan dan melupakan
hakikat musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Di antara lembaga-lembaga
negara—pernah satu masa—bahkan kehilangan kepercayaan (trust) merujuk konflik antara
KPK vs Polri, pemerintah vs DPR, yang pernah mencuat.
Akibat itu, kita menjadi abai pada masalah fundamental bangsa, ikatan kebangsaan menjadi
rapuh, sumber-sumber ekonomi secara tak sadar dikuasai dan dieksploitasi asing, kita
menjadi sulit fokus pada pengembangan ekonomi dalam negeri sebagai basic competitiveness
di antara bangsa-bangsa, arah pembangunan juga menjadi kabur. Dan, fenomena inilah,
menurut Panglima, di antara aktualisasi perang proxy yang mengancam negara kita dan
semestinya kita sadari secara serius.
Perang proxy adalah istilah yang merujuk pada konflik yang terjadi di antara atau di dalam
negara di mana negara/kelompok musuh tidak serta-merta terlibat langsung dalam
peperangan karena melibatkan proxy alias wakil atau kaki tangan mereka. Perang proxy
merupakan bagian dari modus perang asimetris yang tidak dibatasi oleh besaran kekuatan
tempur dan luasan daerah pertempuran sebagaimana dalam perang konvensional. Perang ini
terjadi di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara serta tidak terlihat karena
menggunakan segala macam cara.
Ancaman perang ini semakin sulit ditangani karena sifatnya yang terselubung, musuh yang
tak tampak, tapi sangat efektif melumpuhkan kekuatan inti negara. Ia bisa berupa serbuan
budaya dan ideologi destruktif, media yang merusak, eksploitasi sumber daya alam, dan
perusakan generasi bangsa melalui narkoba dan pergaulan bebas, termasuk upaya menyulut
konflik antarsesama anak bangsa dengan isu-isu tertentu. Itu semua dilakukan melalui pihak
ketiga dan strategi ini terbilang lebih efektif daripada berhadap-hadapan secara diametral.
Solusi dan Harapan
Menghadapi tantangan dan ancaman nyata tersebut kita tentu menyambut baik upaya TNI
yang secara aktif melakukan sosialisasi dan program kemitraan dengan seluruh elemen
16
bangsa untuk menumbuhkan kembali jiwa dan semangat gotong-royong dan menghadang
setiap upaya pelemahan negara dalam bentuk perang proxy. Di sinilah seruan Panglima yang
mengajak kita untuk menengok kembali nilai Pancasila menjadi sangat relevan.
Pancasila sejatinya memberikan alas yang kokoh bagi kebangsaan kita sejak sila pertama
hingga mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana
amanat sila kelima. TNI bisa diharapkan menjadi yang terdepan dalam mempertahankan
ideologi Pancasila, Maka, respons tegas TNI terhadap ancaman ”bangkitnya” paham
komunisme (termasuk juga liberalisme) adalah satu hal yang membanggakan dan kita dukung
penuh.
TNI juga aktif mengarusutamakan ancaman perang proxy. Sejauh ini hanya TNI yang begitu
serius dan konsen terhadap ancaman nyata yang merasuki berbagai lini kehidupan berbangsa
dan bernegara kita ini. Maka, kita berbangga hati dengan langkah TNI melakukan
penandatanganan pakta pertahanan perang proxy media dengan belasan lembaga/organisasi
dalam rangka memerangi ancaman perang proxy media beberapa waktu silam, sembari
berharap agar kerja sama ini semakin diperluas tidak hanya dengan kalangan media dan
masyarakat sipil, tapi juga dengan elemen pendidikan, aparatur negara, lembaga-lembaga
negara, dan tak kalah penting dengan elemen politik (partai politik). Fraksi PKS memastikan
akan mendukung dan ambil bagian dalam pakta pertahanan perang proxy ini.
Terakhir, penulis berharap agar TNI mempertahankan loyalitasnya semata-mata untuk
kepentingan rakyat dan negara dengan menjaga netralitas dan independensinya atas semua
kepentingan politik dan golongan. Tetaplah bersama rakyat dan jangan pernah berhadap-
hadapan dengan rakyat karena di sanalah letak kekuatan utama TNI dalam menjaga
kedaulatan Republik. Dirgahayu TNI Ke-71. Tabik.
DR JAZULI JUWAINI MA
Ketua Fraksi PKS DPR RI; Anggota Komisi I DPR
17
Tambang Ditembak, Reklamasi Dibiarkan
06-10-2016
Sejarah tambang, begitu juga sejarah reklamasi, harus diakui, bukan sejarah tentang uang,
suap, trik kotor, kongkalikong, dan lainnya, tetapi mengabaikannya sama sekali, sungguh,
bukan pilihan bagus.
Uang besar mungkin bukan hal utama yang diburu dalam dua soal itu. Tetapi, kalau keduanya
tak menjanjikan uang besar, tak banyak yang akan memburunya. Itulah sebab utama negara,
di mana pun, harus mengatur, dalam arti mengendalikan pengelolaannya. Hukum, karena
takdir politiknya, diandalkan semua negara untuk dua urusan itu.
Menariknya, 3.966 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan setelah diundangkan UU
Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara bermasalah secara
hukum. Menariknya, izin pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta, untuk sebagian, juga
bermasalah secara hukum. Dari peradilan tipikor pusat nyaring terdengar triliunan rupiah
uang, berlabel kontribusi, diberikan pengusaha kepada Pemerintah DKI Jakarta, tentu karena
disyaratkan oleh Pemerintah DKI.
Administrasi Negara
Masalahnya adalah rezim hukum manakah yang harus digunakan dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dari izin, baik izin usaha pertambangan (IUP) maupun
reklamasi? Hukum pidanakah atau hukum administrasi negara yang harus digunakan? Harus
diingat konsekuensi dan prosedur penggunaan dua hukum berbeda, karena esensinya maupun
sifatnya, memang berbeda.
Hukum administrasi negara, demikian juga hukum pidana, dalam sistem hukum Indonesia,
tidak sekalipun menunjuk satu hukum, dalam arti undang-undang spesifik. Norma hukum
administrasi negara, begitu juga pidana, tersebar pada berbagai undang-undang (UU). UU
Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sekadar sebagai contoh, adalah dua UU yang selain
berisi norma administrasi negara, juga norma pidana.
Karakter hukum administrasi negara dalam dua UU tersebut, terlihat, untuk sebagian, dari
norma yang mengatur wewenang pejabat tata usaha negara, syarat dan prosedur perolehan
izin, plus sanksi administrasi. Peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi atau pencabutan IUP atau reklamasi, jelas
berkapasitas hukum sebagai sanksi administrasi. Esensi fungsional wewenang,
mengualifikasi wewenang menjadi dasar sahnya pejabat tata usaha melakukan tindakan tata
18
usaha negara. Di sisi lain, dalam sifat fungsionalnya, wewenang membatasi dirinya sendiri
atau jangkauannya sendiri. Keduanya menjadi parameter primer penentuan apakah wewenang
tersebut dilampaui, disalahgunakan, atau tidak.
Wewenang menerbitkan IUP, oleh pembentuk UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan
Minerba, diletakkan pada sejumlah figur tata usaha negara. Figur-figur itu adalah menteri,
gubernur, bupati, dan wali kota. Penyebutan figur-figur ini, dalam dirinya, bernilai hukum
sebagai penentuan batas wewenang.
Dalam hal wilayah IUP melintasi dua daerah otonom dalam satu provinsi, UU ini meletakkan
wewenang penerbitan IUP pada gubernur. Berbeda dengan IUP yang didasarkan pada UU,
reklamasi Pantai Jakarta Utara tidak didasarkan pada UU, melainkan Keppres Nomor
52/1996 tentang Reklamasi Pantai Jakarta Utara. Wewenang penyelenggaraan reklamasi,
oleh keppres ini, secara tegas diletakkan pada gubernur, siapa pun orangnya.
Soal hukumnya adalah apakah terminologi menyelenggarakan reklamasi bernilai hukum
pemberian wewenang kepada gubernur DKI menerbitkan izin reklamasi kepada pihak ketiga?
Jelas tidak. Mengapa? Keppres mengharuskan Pemda DKI membentuk Badan Pelaksana
Reklamasi, sebagai penyelenggara teknis reklamasi.
Badan ini, begitulah norma dalam keppres, dimungkinkan melakukan kerja sama usaha
reklamasi dengan pihak ketiga. Konsekuensi hukumnya, Pemda DKI tidak memiliki
wewenang menerbitkan izin penyelenggaraan reklamasi kepada pihak ketiga, betapa pun area
reklamasi yang diselenggarakan oleh pihak ketiga itu tetap berstatus hak pengelolaan dan
dikuasai oleh Pemda DKI.
Lurus
Perbedaan memang telah menjadi penanda mungkin alamiah dalam hidup ini. Tetapi,
membedakan sesuatu yang sama dalam esensi hukumnya, dalam sejarah, baik hukum
maupun politik telah menjadi penanda paling hebat terhadap sejarah bergeloranya korupsi.
Korupsi A ditembak, dan korupsi B dibiarkan, harus diakui, sepanjang sejarahnya, telah
menjadi penyebab terbesar korupsi. Cara itu sama maknanya dengan mengundang korupsi.
Melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang, dua terminologi ordiner dalam UU
Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi, yang diubah dengan UU Nomor 20/2001
tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, telah
disematkan ke Gubernur Sulawesi Tenggara, yang menerbitkan IUP. Hukum apa yang
dilawan dan wewenang apa yang disalahgunakan, jelas menarik, apalagi bila dibandingkan
dengan izin penyelenggaraan reklamasi pantai Jakarta Utara.
Hukum positif Indonesia mengualifikasikan tindakan melawan hukum dan atau
menyalahgunakan wewenang oleh pejabat tata usaha negara; menteri, gubernur, bupati, atau
wali kota, sebagai tindakan melawan hukum administrasi negara, bukan pidana. Konstruksi
19
melawan hukumnya adalah tindakan gubernur dalam menyelenggarakan administrasi negara
bertentangan dengan UU atau menyalahgunakan wewenangnya, atau melampaui
wewenangnya.
Konsekuensi hukum yang timbul adalah konsekuensi administrasi negara. Apabila pejabat
tata usaha negara memiliki wewenang, tetapi disalahgunakan, konsekuensinya IUP atau izin
reklamasi yang telah diterbitkan, demi hukum, harus dibatalkan. Sebaliknya, bila pejabat tata
usaha negara tidak memiliki wewenang, karena tidak diatur dalam UU, izin yang telah
diterbitkan, demi hukum, harus dianggap tidak sah dan harus dikualifikasi tidak pernah ada,
null and void.
Surat keputusan pemberian izin, apa pun itu, termasuk dan tidak terbatas pada IUP dan
reklamasi, yang didasarkan pada keadaan materiil yang cacat, bisa dibatalkan, bukan serta-
merta batal. Cacat materiil itu bisa terjadi karena kekeliruan menilai atau salah kira atas
materi yang dijadikan dasar terbitnya izin-izin itu. Cacat materiil ini juga dapat dikonstruksi
sebagai tindakan melawan hukum, setidak-tidaknya bertentangan dengan asas umum
pemerintahan yang baik.
Tetapi, sekali lagi, tidak serta-merta batal. Ini disebabkan hukum administrasi negara
menempatkan prinsip legalitas, acapkali disinonimkan dengan rechtmatigheid, dalam seluruh
penyelenggaraan administrasi negara. Pada titik ini, tembakan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kepada Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), dan rusaknya senjata KPK
dalam kasus reklamasi pantai utara Jakarta, menarik.
Tidakkah tindakan keduanya adalah tindakan tata usaha negara, tetapi tindakan gubernur
Sultra dikualifikasi melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan, lalu tetapkan jadi
tersangka, sementara tindakan Gubernur DKI tidak melawan hukum dan tidak
menyalahgunakan kewenangan? Tidakkah Gubernur DKI telah kalah di Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, dengan akibat surat keputusannya dibatalkan? Apalagi, ada nyanyian
tentang kontribusi korporasi triliunan rupiah, yang membahana di Pengadilan Tipikor
Jakarta.
Hukum, sesuai asal-usulnya, harus diakui, diandalkan sebagai salah satu cara depersonalisasi
hasrat dan orientasi penguasa. Personalisasi hukum, sesuai asal-usulnya pula, selalu
berbahaya. Berbahaya, karena sejarahnya menceritakan betapa personalisasi hukum menjadi
penyebab terbesar bergeloranya korupsi. Itu sebabnya gemuruh grand corruption pada awal
terbongkarnya kasus dugaan suap-menyuap pembentukan ranperda, kata orang, reklamasi
menjadi signifikan. Signifikan, karena gemuruh itu menjanjikan jalan lurus, sebuah jalan
terdekat ke keadilan.
Lurus di jalan tambang, betapa pun jalan itu berduri, mengharuskan jalan yang sama harus
dilalui dalam kasus reklamasi. Jalan ini mungkin akan dinilai sebagai cara meniadakan
kemungkinan grand corruption berubah menjadi grand kerupuk. Keraguan terhadap
20
keabsahan, dasar hukum, uang kontribusi korporasi ke Pemda DKI, bisa menjadi pintu
menuju jalan lurus itu.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara; Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
21
Pelajaran Berharga dari Pilkada Jakarta
07-10-2016
Berbeda dengan suasana awal pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta yang terkesan adem-ayem
dan harmonis, saat ini suasana panas mulai tampak akibat komentar masing-masing kandidat
terhadap kandidat yang lain.
Sebelumnya tiga pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta 2017, ketika bertemu
saat menjalani tes pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Mintohardjo, Jakarta Pusat, akhir
September lalu, alih-alih saling melontarkan sindiran atau kritik, justru dalam pertemuan itu
tiga pasangan calon mengabadikan momen dengan melakukan selfie bersama. Tetapi, masa
bulan madu itu tampaknya tidak berlangsung lama.
Kini tanda-tanda persaingan antarkandidat menjadi lebih terbuka mulai sedikit terlihat. Isu-
isu tentang perlu-tidak para kandidat ikut program tax amnesty, masuknya nama salah satu
calon dalam Panama Papers, sikap kandidat yang dinilai kerapkali arogan, kandidat yang
dinilai masih terlalu dini dan belum layak untuk menjadi salah satu kandidat pilkada, dan
saling serang kata dan klaim antarkandidat pelan-pelan mulai muncul ke permukaan.
Ke depan apakah persaingan antarkandidat Pilkada DKI Jakarta akan makin menguat, makin
keras, atau tetap dalam proporsi yang bisa diterima secara adab, tentu kita masih harus
menunggu karena waktulah yang akan menentukan apa yang bakal terjadi kemudian.
***
Kalau melihat foto selfie bersama tiga pasangan calon di awal mereka berjumpa, di mana di
sana semua pasangan muncul dengan wajah yang gembira dan tawa yang lebar, masyarakat
niscaya ikut bergembira dan berharap pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung
lancar–tanpa harus diwarnai dengan kasus-kasus, apalagi aksi anarkistis yang merusak citra
pesta demokrasi.
Foto selfie bersama tiga pasangan yang belakangan ini menjadi viral di media sosial
memperlihatkan seolah mereka bukan pasangan calon yang hendak bertanding dalam Pilkada
DKI Jakarta yang sangat prestisius bagi partai-partai yang mengusung masing-masing calon
jagoannya. Foto bersama seluruh pasangan yang akan bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta ini
sungguh sangat menyejukkan dan merupakan indikasi bahwa Pilkada akan memasuki era
baru, sebuah era persaingan program yang rasional–dan bukan lagi era persaingan antarcalon
yang hanya memanfaatkan kelebihan figur dan kelihaian memainkan isu SARA. Benarkah
demikian?
22
Di luar dugaan dan spekulasi yang muncul di media tentang siapa yang akan muncul sebagai
kandidat, pasangan yang resmi diusung partai untuk bersaing di Pilkada DKI Jakarta ternyata
adalah orang-orang dengan kapasitas dan reputasi yang baik. Kekhawatiran sejumlah pihak
bahwa dalam Pilkada DKI Jakarta akan muncul penggunaan isu-isu yang berbau SARA
untuk menohok Ahok kemungkinan besar tidak akan terjadi–minimal tidak akan muncul dari
pasangan yang resmi mencalonkan diri dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta.
Seluruh peserta yang bertarung niscaya telah menyadari bahwa pada era demokrasi dan
tingkat literasi masyarakat yang tinggi seperti sekarang ini, memainkan ”kampanye hitam”
untuk menyerang lawan justru akan berakibat fatal yang merugikan dirinya sendiri. Para
calon gubernur DKI Jakarta mulai dari Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni,
pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan Anies
Baswedan-Sandiaga Uno, semua adalah sosok yang selama ini dikenal jauh dari kebiasaan
mempergunakan isu SARA untuk mencapai tujuannya.
Dalam konteks seperti ini, Ahok-Djarot sebagai pasangan petahana tampaknya harus bekerja
ekstrakeras karena tidak lagi dapat menikmati posisi lebihnya sebagai calon yang teraniaya
dan didiskriminasi dengan isu SARA yang sebetulnya akan kontraproduktif bagi orang yang
memanfaatkannya sebagai senjata menyerang dan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
***
Kalau melihat figur yang mendaftar dan bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta, harus diakui
kini tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk mencemaskan kemungkinan munculnya ihwal
yang tidak diinginkan selama pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta. Dengan memulai era
pertarungan antarkandidat melalui foto bersama yang elegan dan guyub, ketiga calon
pasangan tampaknya ingin mengajak seluruh warga masyarakat untuk memulai era baru
dalam pertarungan politik yang bermartabat.
Tetapi, apakah sikap bijak dan elegan dari tiga pasangan calon yang bertarung di Pilkada DKI
Jakarta akan juga diikuti para konstituen dan tokoh-tokoh partai yang mendukung mereka?
Justru di titik inilah sebagian masyarakat mengkhawatirkan masih ada celah-celah yang dapat
menarik kembali awal persaingan sehat antarkandidat ke bentuk pertarungan keras seperti
yang selama ini terjadi di berbagai pilkada.
Banyak pihak mafhum bahwa lebih dari sekadar pertarungan antarkandidat dalam Pilkada
DKI Jakarta, kalau melihat siapa tokoh-tokoh di balik pengusung para kandidat, pertarungan
dalam Pilkada DKI Jakarta sesungguhnya adalah pertaruhan politik yang setara dengan
pilpres. Kenapa demikian? Karena, tokoh-tokoh utama pengusung antarkandidat, baik itu
Megawati, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh-tokoh yang
sebelumnya bersaing ketat dalam pilpres yang digelar di Tanah Air. Sehingga, siapa yang
mereka dukung saat ini boleh jadi adalah representasi dari kelanjutan pertarungan di antara
mereka sebelumnya.
23
Memang, kalau merujuk pada reputasi pasangan yang bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta,
siapa nanti yang menjadi pemenang dalam pilkada, niscaya pasangan-pasangan lain yang
memang kalah akan bersedia secara jantan menerima kekalahan mereka secara elegan seperti
biasa terjadi dalam pemilu presiden di Amerika Serikat. Di AS sekali pun calon yang
memang belum resmi diumumkan di sana sudah ada tradisi lawan politik yang kalah biasanya
akan sudah memberikan ucapan selamat secara elegan.
Dengan latar belakang pendidikan dan reputasi masing-masing calon yang bertarung,
kemungkinan mereka untuk mau bersikap elegan niscaya akan dilakukan. Pertanyaannya
kemudian, apakah para pendukung di balik majunya calon yang bertarung akan mau belajar
untuk sama-sama bersikap elegan jika calon yang mereka dukung kalah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu masih harus menunggu waktu. Tetapi, sepanjang para
pasangan yang bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta sejak awal hingga akhir terus bermain
cantik, elegan, dan menempatkan persaingan antarprogram sebagai dasar persaingan
antarkandidat, kemungkinan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta bakal ternoda akan dapat
dieliminasi.
Menurut saya, tantangan yang dihadapi tiga pasangan yang bersaing dalam Pilkada DKI
Jakarta, bukan hanya bagaimana mereka memenangkan persaingan dengan calon yang lain.
Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana tiga kandidat dapat ”menjaga jarak” dari
pengaruh tokoh pendukungnya dan kemudian memperlihatkan kemandirian dan
kompetensinya sebagai calon yang memang pantas memimpin Jakarta.
BAGONG SUYANTO
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
24
Polisi Dan Dimas Kanjeng
08-10-2016
Ketika pada 2007 berkunjung ke Suriah, saya bersama AM Fatwa, Wakil Ketua MPR saat
itu, menyempatkan diri berziarah ke Masjid Agung Umayyah di Damaskus.
Di kompleks masjid yang bersejarah itu ada sebongkah batu besar hitam kecokelatan
berdiameter sekitar 2 meter. Menurut guide yang mengantar kami, batu itu jatuh dari langit
sekitar 3.000 tahun yang lalu. ”Bagaimana bisa diketahui ia jatuh dari langit 3.000 tahun yang
lalu?” tanya AM Fatwa serius. Guide itu gelagapan tak bisa menjawab.
Ketika ditanya lagi oleh AM Fatwa guide itu pun tetap tak bisa menjawab. Maka sayalah
yang mengambil alih memberi jawaban. Saya bilang, dulunya batu itu sudah dibawa ke
semua laboratorium tercanggih di dunia, tetapi tak bisa diketahui juga umur dan asal
kedatangannya. Sampai-sampai badan intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Uni Soviet (KGB)
pun saat dimintai bantuan tetap gagal mengungkapnya.
”Setelah semua gagal mengungkap diundanglah polisi dari Indonesia agar menyelidiki batu
itu. Setelah dihajar habis oleh polisi dari Indonesia, barulah batu itu mengaku terus terang
bahwa dirinya jatuh dari sebuah bintang 3.000 tahun yang lalu,” imbuh saya. Pak Fatwa
tertawa lepas dan mengakhiri pertanyaannya.
Cerita canda bersama Pak Fatwa itu tebersit kembali dari kenangan saya ketika saya terlibat
dalam acara dialog di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas, Selasa malam
lalu. Pada acara itu pimpinan Komisi III DPR-RI Benny K Harman mengatakan bahwa dalam
mengungkap kasus Dimas Kanjeng yang sekarang menjadi tersangka penipuan dan diduga
kuat mengotaki pembunuhan dua ”santrinya” itu polisi telah menghajar habis-habisan enam
terduga pelaku eksekutor pembunuhan tersebut. Bahkan satu di antaranya sampai meninggal.
Informasi dari Benny itu mengingatkan kita pada cara kerja polisi di era Orde Baru,
menghajar habis orang yang diperiksa. Pada era Orde Baru ada kesan umum, jika
menginterogasi seseorang, polisi selalu menggunakan cara kekerasan dan menghajar habis si
terperiksa sampai mau mengaku. Ya batu pun kalau dihajar polisi Indonesia ”terpaksa”
mengaku.
Itu dulu. Apakah sekarang masih terjadi seperti yang, kata Benny, dialami para terduga
pembunuh dua santri Dimas Kanjeng? Entahlah, mungkin masih. Bahkan, selain menghajar,
terkadang polisi kita bisa menggunakan rayuan gombal juga. Baru-baru ini Jessica Kumala
Wongso mengaku diperiksa dengan tidak etis. Ada polisi yang meminta Jessica mengaku
meracuni Mirna dengan janji akan dituntut hukuman ringan dengan kemungkinan masih bisa
25
dapat remisi-remisi sehingga kelak bisa cepat keluar dari penjara. ”Ini menyangkut
pertaruhan (karier) saya,” kata polisi itu seperti diceritakan oleh Jessica di persidangan.
Bahkan ada polisi yang merayu Jessica dengan godaan genit. ”Kamu tipe saya banget,
Jessica,” kata polisi itu. Oooi, masak polisi sekarang masih melakukan pemeriksaan dengan
cara-cara seperti itu?
Informasi dari Benny K Harman dan kesaksian Jessica mungkin tidak sepenuhnya benar dan
lebih banyak dramatisasinya. Polisi penyidik dari Polda Jatim yang duduk berdampingan
dengan saya pada acara di ILC itu berbisik kepada saya bahwa info itu dilebih-lebihkan. Kata
sang polisi, dalam melakukan pemeriksaan, polisi mempunyai SOP yang ketat dan
divideokan dari detik ke detik.
Terserahlah, bagaimana faktanya. Biarlah info itu menjadi masukan untuk koreksi Polri ke
dalam. Tapi dari sudut-sudut lain harus diakui ada segi-segi baik dari kerja-kerja polisi. Polisi
kita dikenal bagus dan cekatan dalam mengungkap kasus, terutama kejahatan-kejahatan
berdarah.
Dalam kasus pembunuhan Ismail dan Gani yang diduga melibatkan Dimas Kanjeng
misalnya, polisi bisa mengungkap, padahal mayat keduanya ditemukan secara terpisah di
tempat yang jauh dari padepokan Dimas Kanjeng dan peristiwanya sudah lama terjadi. Polisi
kita juga berhasil mengungkap dengan baik pembunuhan keji yang dilakukan Ryan terhadap
belasan orang yang diduga punya hubungan ”asmara homo” dengan pemuda asal Jombang
itu. Polisi kita bisa mengidentifikasi mayat yang dimutilasi dan bagian-bagian tubuhnya
sudah dibuang di tempat yang terpisah-pisah. Setelah direkonstruksi dan dianalisis potongan-
potongan mayat itu bisa diketahui identitasnya dan diketahui pula pemutilasinya.
Polisi kita bisa menangkap pencuri bayi di rumah sakit dalam waktu singkat. Polisi kita juga
bisa dengan mudah menangkap penghuni penjara yang lari dari penjara dengan menyamar
sebagai perempuan dan memakai jilbab yang diberikan istrinya. Pokoknya, baguslah. Secara
umum dapat dikatakan, Polri kita pun mampu bekerja dengan baik dalam kasus-kasus
kejahatan yang mengerikan seperti dalam memburu terorisme meskipun, tak bisa ditampik,
kadang ada penyimpangan yang menyulut protes masyarakat.
Namun bersamaan dengan kehebatannya itu Polri kita masih perlu memperbaiki diri dalam
penanganan kasus korupsi dan pelaksanaan interogasi. Polri harus terus membersihkan sisa-
sisa kebiasaan buruk yang diwariskan Orde Baru. Akan halnya kasus Dimas Kanjeng,
terlepas dari kritik yang tetap harus disikapi dengan usaha memperbaiki diri, Polri harus terus
bertindak tegas. Dugaan dan sangkaan kejahatan yang dilakukan Dimas Kanjeng dalam
penipuan, pembunuhan, dan penggandaan (pengadaan, penghadiran) uang harus diungkap
sampai tuntas.
Temuan-temuan Polri bahwa Dimas Kanjeng patut diduga dan disangka kuat telah
melakukan berbagai jenis kejahatan, bukan hanya menjadi temuan sepihak dari penyelidikan
26
Polri, melainkan dikonfirmasi oleh laporan masyarakat dan public common sense. Maka itu
permainan Dimas Kanjeng itu harus diungkap tuntas tanpa harus takut kepada orang-orang
besar yang konon terlibat atau melindunginya. Ayolah Polri, majulah maju.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
27
Radikalisme
09-10-2016
Saya baru pulang dari Singapura. Saya diundang sebagai salah satu pembicara di forum
workshop tentang kontraradikalisme yang diselenggarakan oleh Rajaratnam School of
International Studies (RSIS), Nanyang Techonological University (NTU), Singapura. Saya
didudukkan bersama tiga peneliti lain (tentang terorisme) dari negara-negara ASEAN dalam
satu panel, sedangkan panel-panel lainnya terdiri atas peneliti dan praktisi (termasuk petugas-
petugas keamanan) dari beberapa wilayah lain, ada Asia, Eropa, juga Amerika Serikat.
Di antara berbagai paparan ahli tersebut ada satu yang saya pikir menarik untuk saya bagi di
sini, yaitu pengalaman Belgia terkait serangan teror bom pada 22 Maret 2016. Serangan bom
tersebut terjadi di Bandara Brussels (2 bom) dan di Stasiun Metro Maalbeek di Brussels (1
bom), yang menewaskan 32 warga sipil dan tiga pelaku bom bunuh diri, serta sekitar 300
orang terluka. Serangan itu terjadi hanya beberapa saat setelah sel-sel ISIS dibongkar dan
dihancurkan polisi di wilayah Belgia yang berbahasa Prancis (termasuk ibu kota Brussels),
yang diduga terkait dengan serangan terorisme di Paris pada bulan November 2015.
Dari foto-foto penggerebekan, tampak para terduga teroris sama dengan foto-foto ISIS di
mana-mana, termasuk jenggot, bendera hitam, huruf Arab putih, tetapi ini di Belgia, bukan
foto peresmian ISIS di Lapas Nusa Kambangan. Pasalnya, di balik jenggot dan bendera hitam
itu adalah pemuda-pemuda warga negara Belgia, tetapi keturunan migran Arab Maroko dan
Turki (generasi kedua atau ketiga). Mereka tinggal di jantung Kota Brussels, bukan di
pinggiran seperti para migran di Paris. Konsentrasi daerah miskin bersebelahan dengan
daerah kaya, hanya dipisahkan oleh sebuah sungai yang dihubungkan dengan sebuah
jembatan. Di daerah miskin (slums) itulah bermukim komunitas Islam.
Dulu hampir semua migran itu hanya bisa berbahasa Arab dan tidak berpendidikan sehingga
kebanyakan menganggur. Sekarang 40% dari generasi muda migran sudah berpendidikan
tinggi, tetapi tetap tidak tersedia pekerjaan buat mereka. Sebagai orang Maroko dan Turki,
apalagi kalau orang Afrika, mereka susah diterima kerja. Orang Belgia sangat diskriminatif.
Segregasi ras tetap dipraktikkan walau negaranya menganut asas demokrasi.
Ada hubungan yang kuat antara diskriminasi dan ketidakadilan. Di daerah Islam yang kumuh
itu banyak kasus kriminal, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi dan homoseksual. Jarak
sosial antara kaya dan miskin sangat besar di Belgia dan kasatmata, karena kedua kelas sosial
bertetangga yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.
Rasa ketidakadilan yang kemudian tumbuh dimanfaatkan untuk memusuhi pemerintah–”yang
28
mengembangkan” konsep thogut (tidak adil), kafir, dan lain-lain–dengan mengusung agama.
Mengapa demikian? Intinya adalah krisis identitas. Para generasi muda migran ini tidak
punya identitas. Mereka tidak diakui sebagai orang Belgia. Walaupun punya KTP Belgia dan
mahir berbahasa Prancis, mereka ditolak oleh masyarakat Belgia sendiri. Di sisi lain, mereka
juga bukan orang Maroko atau Turki karena mereka bersekolah di sekolah-sekolah Belgia
yang tidak mengajarkan tradisi adat mereka.
Sementara itu, di lingkungan keluarga di rumah tidak banyak terjadi perubahan. Tradisi adat
(Islam) masih diberlakukan dengan ketat, tetapi ulama dan imam didatangkan dari Maroko
atau Turki atau Mesir, yang tidak bisa berbahasa lain kecuali bahasa Arab. Karena tidak tahu
bahasanya, generasi migran itu tidak salat, tidak Jumatan, apalagi ikut pengajian-pengajian
yang semuanya berbahasa Arab. Mereka mengembangkan komunitas sendiri. Sebagai sumber
penghasilan. mereka membuat siwak (alat pembersih gigi seperti yang dipakai Rasulullah)
untuk diekspor ke Indonesia.
Mereka mengembangkan perasaan ”you are the victim of the system, join us.” Maka mereka
mencari makna Islam dari internet, yang justru menawarkan ajaran Islam yang radikal,
bahkan sampai mengajarkan bagaimana caranya membunuh orang lain atau bunuh diri untuk
mencapai korban yang maksimal di pihak kaum thogut.
Itulah yang menyebabkan Ibrahim El Bakraoui (29 thn) dan Najim Laachraoui (24),
keduanya tewas di Bandara Brussels serta Khalid El Bakraoui (27) yang meninggal di Stasiun
Metro di Brussels. Mereka rela tewas dalam serangan bom bunuh diri yang mereka lakukan.
***
Krisis identitas, segregasi, dan diskriminasi. Itulah yang menyebabkan radikalisme
berkembang sampai melahirkan teror di Belgia.
Di Indonesia, tidak ada segregasi dan diskriminasi, semuanya dianggap sesama pribumi dan
diberi pendidikan yang sama. Karena itu, menurut saya, radikalisme (agama) yang terjadi di
Indonesia disebabkan oleh faktor lain, yang berbeda dari di Belgia. Walaupun demikian,
krisis identitas bisa terjadi pada siapa saja dan tidak usah terkait dengan terorisme, namun
dampaknya sama (atau mungkin lebih) dahsyat dari pada radikalisme dan kekerasan.
Krisis identitas yang saya maksud adalah yang bersumber pada keluarga di rumah. Sejak
kecil sampai remaja anak tidak pernah mendapat apresiasi dari bapak-ibunya, karena malas,
tidak masuk peringkat di kelas, dan sebagainya. Seakan-akan dia bukan anak mama dan papa.
Sementara itu, di antara kawan-kawannya, anak ini juga tidak punya kelebihan apa-apa.
Maka kawannya pun terbatas, dia tidak mendapat pengakuan di antara teman-temannya,
karena dia bukan siapa-siapa.
Tidak mengherankan jika anak-anak seperti ini gampang terpengaruh pada sosok atau pihak
yang seakan-akan menawarkan solusi untuk identitas diri. Tentu saja dari teman-temannya,
29
atau juga bisa dari yang bukan teman (misalnya: internet dan dugem), yang akan
mengajaknya ke jalur perdagangan manusia, narkoba, atau bisa juga radikalisme agama itu
sendiri.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Psikologi UI, Universitas Pancasila, Universitas Persada Indonesia YAI, dan
STIK/PTIK
30
Remisi Koruptor: Menkumham vs Presiden
10-10-2016
Zaman berubah, situasi memang berubah juga. Sistem politik berubah, hubungan menteri dan
presiden juga berubah.
Pada era Orde Baru, tidak ada menteri yang berani membangkang, apalagi melawan Presiden
Soeharto. Suatu ketika, ada seorang menteri yang berani mengkritik sesama menteri di ruang
terbuka. Pak Harto marah, lalu dipanggil dan disemprot menteri tersebut. Dan, sang menteri
pun spontan meminta maaf kepada Presiden. Mengkritisi kritik ketika itu dipandang sama
juga mengkritik presiden. Bukankah menteri diangkat langsung oleh presiden?
Setelah Pak Harto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 yang menandakan ambruknya rezim
Orde Baru, Indonesia memasuki era Reformasi, era demokrasi liberal yang penuh hura-hura,
dan penuh kebebasan. Anda mungkin tidak tahu bahwa Indonesia tergolong negara paling
bebas dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, termasuk kebebasan pers. Perilaku media
sosial, aduh—sangat disayangkan.
Kebebasan menyatakan pendapat yang demikian aduhai, rupanya berimbas juga ke atas,
hingga kalangan menteri, dan hubungan menteri-presiden. Dalam era Jokowi, sesama menteri
bisa “saling ngotot” di ranah publik sehingga menimbulkan kegaduhan, kata seorang petinggi
kita. Kalau gaduh antar sesama menteri, stabilitas pemerintah dan stabilitas politik
dikhawatirkan juga terganggu. Saat ini menteri sekalipun berani tidak mengindahkan, bahkan
melawan kehendak Presiden.
Anda tidak percaya? Hal ini terkait sikap keras Menteri Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia
(Menkumham) Yasonna Laoly, untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 22/2012 tentang
Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan dan Permasyarakatan.
Wacana revisi PP Nomor 22/2012 sudah diembuskan sejak enam bulan lalu. Intinya, Laoly
ingin meringankan persyaratan permohonan remisi, termasuk remisi untuk para koruptor.
Alasannya, demi menegakkan hak para narapidana. Padahal, jika Anda gelar survei saat ini,
80% rakyat kita pasti menolak pemberian remisi kepada koruptor. Mereka malah
menghendaki hukuman terhadap koruptor diperberat. Presiden Jokowi pun sesungguhnya
menolak revisi PP Nomor 22/2012 dengan alasan yang sama: koruptor harus dibuat
sejeranya, sehingga siapa saja akan berpikir 10 kali sebelum melakukan tindak kejahatan
korupsi.
31
Untuk menggalang dukungan para ahli hukum, Menteri Hukum dan HAM pekan lalu
menggelar semacam FGD (focus group discussion) di kawasan Puncak yang sejuk. Pemilihan
lokasi yang begitu sejuk, mungkin, dimaksudkan supaya para peserta bisa mendiskusikan
masalah remisi dengan kepala dingin. Ternyata, sebagian peserta FGD tetap berseberangan
pandangannya dengan Laoly. Mereka menggugat peringatan persyaratan remisi kepada para
koruptor, khususnya koruptor besar.
Bagaimana sebenarnya rasional Yasonna Laoly untuk memberikan kemudahan kepada para
napi koruptor mendapatkan remisi? Laoly mengaku sangat setuju (a) pemberian hukuman
seberatnya kepada setiap koruptor; dan (b) hukuman berat dapat membuahkan efek jera
kepada koruptor dan siapa saja yang berani coba-coba merampok uang rakyat. Namun,
pengenaan efek jera itu harus berawal dari proses penyidikan, penuntutan, dan terakhir
pemidanaan. Jaksa/penuntut umum harus berani menuntut hukuman seberatnya kepada
koruptor. Dan terakhir, hakim tipikor harus punya keberanian menjatuhkan hukuman
seberatnya kepada koruptor.
Laoly memuji keberanian hakim agung Artidjo, yang kerap membuat koruptor “gemetar”
dengkulnya. Jika Artidjo memimpin majelis hakim agung dalam persidangan kasasi, hampir
dipastikan hukuman yang dijatuhkan akan lebih berat dibandingkan pidana yang diganjar
oleh majelis hakim tinggi di pengadilan tinggi. Pengacara kondang OC Kaligis, juga anggota
Badan Anggaran DPR Angelina Sondakh, misalnya, betul-betul shock ketika hukuman yang
dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap diri mereka jauh lebih berat. Hal itu karena ada“
algojo” Artidjo di majelis hakim agung yang menyidangkan gugatan kasasi mereka.
Penghukuman (berat) ada di pengadilan, kata Laoly. “Kalau di sini (Kementerian Hukum dan
HAM), di tempat saya, kan pembinaan, pemasyarakatan. Kalau sudah menjalani pemidanaan
maka menjadi wilayah pembinaan untuk menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat
menjadi manusia yang baik.”
Ia balas mengkritik mereka yang mengkritik Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat yang
terkesan suka “obral” remisi. Menurut Yasonna Laoly, jika terpidana terkesan cepat
menjalankan hukumannya, hal itu karena tuntutan jaksa terlalu rendah atau tidak optimal, dan
hakim pun tidak berani menjatuhkan hukuman seberatnya. Karena hukuman yang dijatuhkan
tergolong rendah, jangan salahkan Kemenkumham kalau kemudian terpidana pun cepat
keluar penjara.
Argumentasi Menkumham, menurut kita, tidak seluruhnya benar. Jika Menkumham sungguh-
sungguh anti-korupsi, setidak-tidaknya ingin melihat terpidana koruptor “kapok” atas
tindakan kejahatan yang dilakukannya, pihak LP (lembaga pemasyarakatan) pun tidak boleh
“obral” remisi. Permohonan remisi justru harus diperberat, bukan diperingan.
Yang terjadi sekarang, terpidana koruptor di Indonesia rata-rata hanya menjalankan 2/3 masa
hukuman, bahkan ada yang hanya 60%. Jadi, jika ia dihukum lima tahun, misalnya, paling
32
banter tiga tahun masa tahanan yang dijalankannya. Macam-macam remisi yang bisa diminta,
sampai terakhir remisi yang bernama “pembebasan bersyarat” hingga enam bulan.
Di atas kertas, persyaratan untuk mendapatkan remisi bagi terpidana teroris, narkotika, dan
korupsi cukup berat. Hal itu diatur pada Pasal 34A PP Nomor 99/2012, antara lain: (a)
bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak
pidana yang dilakukannya (justice collaborator); (b) telah membayar lunas denda dan uang
pengganti sesuai dengan putusan pengadilan; (c) telah mengikuti program deradikalisasi; (d)
kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (a) huruf dinyatakan secara
tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam praktik, semua persyaratan itu mudah dipenuhi. Untuk persyaratan pembebasan
bersyarat, juga mudah diperoleh. Pada akhirnya, yang menentukan adalah kepala LP. Dan
bukan rahasia lagi, putusan kepala LP tidak jarang dipengaruhi oleh faktor xyz yang sudah
sama-sama kita ketahui.
Syahdan, ada anekdot yang beredar di masyarakat luas, yaitu tidak sedikit politisi, birokrat,
dan penegak hukum yang nekat melakukan tindak kejahatan korupsi karena mereka tahu
bahwa di “ujung lorong” sana (di LP), nanti bisa diatur. Anda dihukum lima tahun? Tiga
tahun sudah cukup. Kena empat tahun? Paling-paling 2,5 tahun sudah bisa menghirup udara
bebas. Kalau saya sudah berhasil mengantongi Rp2 miliar, apalagi Rp5 miliar, siapa takut?
Maka kalau Menteri Hukum dan HAM betul-betul serius menjadi bagian integral untuk
memerangi korupsi, perberatlah persyaratan remisi, apalagi pembebasan bersyarat. Jangan
lempar kambing hitam ke jaksa dan hakim, meski kita pun harus mengingatkan jaksa dan
hakim untuk betul-betul menjatuhkan tuntutan hukum dan pidana seberatnya kepada
koruptor, terutama koruptor yang benar-benar sengaja menilap uang rakyat dalam jumlah
besar.
Presiden Jokowi sudah menyatakan secara terbuka sikapnya: menolak rencana revisi PP
Nomor 99/2012. SikapPresiden, menurut keyakinan saya, pasti berdasarkan aspirasi
mayoritas rakyat yang sudah muak melihat semakin maraknya praktik korupsi di kalangan
pejabat, politisi, dan penegak hukum. Lalu, apa sebab pembantu presiden, yaitu Menkumham
masih ngotot untuk memperjuangkannya? Agar tidak lagi terjadi polemik yang
berkepanjangan dan tidak produktif, Presiden Jokowi sebaiknya segera memanggil dan
memerintahkan Menkumham menghentikan wacana merevisi PP itu.
PROF TJIPTA LESMANA
Anggota Komisi Konstitusi tahun 2004
33
Revitalisasi Hukum dan Hancurnya Mutu
Penegakan Hukum
10-10-2016
Revitalisasi hukum yang diinisiasi Presiden Joko Widodo hendaknya berfokus awal pada
perbaikan kualitas penegakan hukum.
Ibarat bangunan, penegakan hukum di Indonesia sudah mengalami kerusakan sangat parah.
Demikian parahnya sehingga berbagai kalangan melukiskan situasi saat ini sebagai darurat
penegakan hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan institusi penegak hukum
pun sudah mencapai titik terendah akibat perilaku tak terpuji banyak oknum penegak hukum.
Bahkan, masyarakat pun mencatat bahwa sektor penegakan hukum tak henti-hentinya
diguncang skandal. Banyak oknum penegak hukum justru menjadi bagian tak terpisah dari
praktik mafia hukum dan mafia peradilan. Oknum polisi, oknum jaksa, oknum panitera
hingga oknum hakim serta oknum pejabat tinggi di Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK) telah merusak kualitas penegakan hukum.
Para oknum penegak hukum itu terlibat dalam ragam tindak pidana. Ada oknum yang
menjadi bagian dari sel-sel sindikat narkoba, menjadi pelindung pelaku penyelundupan,
perjudian, dan prostitusi. Ada oknum jaksa menjadi makelar kasus, dan oknum panitera yang
mengatur penyuapan oknum hakim. Hari-hari ini misalnya, Divisi Profesi Pengamanan
(Propam) Mabes Polri masih memeriksa beberapa oknum perwira menengah (pamen) Polri,
yang diduga melakukan pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode etik. Ada pamen Polri
yang diduga menerima suap dari terpidana kasus narkoba atau memeras tersangka kasus
narkoba.
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menindak 106 oknum jaksa sepanjang
semester pertama tahun 2016. Tahun lalu Kejagung bahkan harus menindak 307 oknum
jaksa. Mereka yang ditindak umumnya karena menyalahgunakan wewenang, melakukan
perbuatan tercela, tebang pilih, memundur-majukan penuntutan, serta penggelapan bukti
tindak pidana berupa uang.
Masih lekat dalam ingat masyarakat bahwa seorang mantan ketua MK divonis seumur hidup
karena terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala
daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang. Lalu, sekretaris MA pun terpaksa mundur
dari jabatannya karena harus menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Selain itu, mantan kepala Subdirektorat Kasasi Perdata, Direktorat Pranata dan
34
Tata Laksana Perkara Perdata MA bahkan sudah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan
hukuman sembilan tahun penjara, karena terbukti menerima suap Rp400 juta untuk
kesediaannya menunda pengiriman salinan putusan kasasi dalam perkara korupsi proyek
pembangunan pelabuhan di Lombok Timur.
Itulah rangkaian contoh kasus yang rasanya cukup komprehensif menggambarkan kerusakan
parah kualitas penegakan hukum. Semuanya dilakukan oleh oknum terdidik, pandai serta
paham dan menguasai bidang tugasnya masing-masing. Sayangnya, kualifikasi yang mereka
yang mumpuni itu tidak digunakan untuk menegakan kemurnian penegakan hukum.
Sebaliknya, mereka justru berperilaku manipulatif, sekadar untuk mendapatkan uang suap
dengan modus memeras.
Wajar jika masyarakat kecewa dan marah. Keluhan dan pengaduan masyarakat pun terus
mengalir dengan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Menurut Ombudsman RI
(ORI), sampai Mei 2016 saja, sudah masuk 116 aduan terkait pelayanan administrasi
peradilan. Tahun 2014, ORI total menerima 256 aduan, dan naik menjadi 296 aduan pada
2015. ORI juga mencatat bahwa pengadilan negeri menjadi lembaga yang paling banyak
diadukan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mencapai 394 aduan.
Persepsi negatif masyarakat Indonesia terhadap buruknya kualitas penegakan hukum itu pun
seakan mendapatkan pembenaran oleh World Justice Project yang belum lama ini
memublikasikan Rule of Law Index 2015. Memotret praktik peradilan di tiga kota besar pada
102 negara, Indonesia diposisikan di peringkat 52. Dan, dari 15 negara Asia-Pasifik,
Indonesia ditaruh di peringkat 10.
Kesimpulannya sederhana saja, pun tidak baru; kualitas penegakan hukum Indonesia sangat
rendah. Situasi yang menggambarkan Indonesia darurat penegakan hukum rasanya sudah
terpenuhi. Persepsi publik lokal dan asing pun sama, yakni negatif.
Pola Rekrutmen
Melihat kerusakan parah pada aspek penegakan hukum itu, masyarakat kebanyakan,
termasuk beberapa ahli hukum, berharap Presiden RI mau mengambil inisiatif melakukan
perbaikan. Harapan itu terwujud dengan inisiatif Presiden melakukan revitalisasi hukum,
yang akan dituangkan dalam beberapa paket kebijakan hukum, baik untuk jangka pendek
maupun jangka panjang.
Cakupannya cukup luas, meliputi kualitas aparat penegak hukum, reformasi perundang-
undangan dan peraturan turunannya hingga penyederhanaan izin investasi. Selain itu,
revitalisasi hukum juga memasukan agenda tentang membangun kesadaran masyarakat untuk
taat dan tertib hukum. Sementara KPK mengusulkan masuknya Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perampasan Aset atau asset recovery dalam program revitalisasi hukum itu.
Pendekatan hukum terhadap maraknya penyelundupan hingga masalah daya tampung penjara
(lembaga pemasyarakatan) juga akan diakomodasi dalam paket kebijakan hukum itu.
35
Draf revitalisasi hukum sedang difinalisasi sehingga paket kebijakan hukum pertama
diperkirakan akan diumumkan dalam waktu dekat. Program revitalisasi hukum dirancang
oleh Kantor Menko Polhukam dengan dukungan dari kepala Kantor Staf Kepresidenan,
Kapolri, Jaksa Agung, KPK, serta Menteri Hukum dan HAM.
Karena cakupannya demikian luas, Presiden hendaknya perlu menetapkan prioritas. Dalam
konteks ini, tentu saja Presiden harus menyerap aspirasi masyarakat. Sudah sangat jelas
bahwa masyarakat sangat kecewa dengan kualitas penegakan hukum saat ini. Artinya,
Presiden perlu memprioritaskan kebijakan yang mengarah pada upaya perbaikan kualitas
penegakan hukum.
Penegakan hukum yang rusak parah saat ini bukan disebabkan oleh ketidakmampuan aparat
penegak hukum, melainkan karena faktor moral oknum penegak hukum dan pengawasan
yang masih jauh dari efektif. Moralitas semua penegak hukum memang sudah coba
ditegakkan dalam sumpah jabatan yang diperkuat dengan bekerjanya pengawasan internal.
Namun, sudah terbukti bahwa sumpah jabatan dan pengawasan internal itu belum efektif
meneguhkan moral banyak oknum penegak hukum. Berarti salah satu titik lemah ada pada
tahap rekrutmen. Pola rekrutmen pada semua institusi penegak hukum perlu diperbaiki guna
mendapatkan sumber daya manusia yang mumpuni dari aspek moral.
Sebagai persiapan menindaklanjuti program revitalisasi hukum itu, Kapolri Jenderal Tito
Karnavian akan menerapkan sejumlah kebijakan untuk melanjutkan reformasi di tubuh Polri.
“Pertama, rekrutmen untuk menjadi polisi itu perlu diperbaiki,” kata Jenderal Tito. Selain
perbaikan pola rekrutmen, Kapolri juga akan menerapkan sertifikasi bagi penyidik Polri di
seluruh Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme para penyidik. Ketiga, sistem
pengawasan terhadap penyidik akan lebih ketat. Kapolri akan menerapkan sistem pelaporan
masyarakat untuk mengawasi kinerja penyidik Polri.
Contoh rencana kebijakan internal yang akan dilakukan Polri ini amat relevan dengan
harapan masyarakat tentang urgensi memperbaiki kualitas penegakan hukum. Segala
sesuatunya bermuara dan ditentukan oleh faktor SDM. Dalam konteks penegakan hukum,
moralitas SDM menjadi faktor yang amat signifikan. Karena itu,tidak boleh ada kecerobohan
dalam pola rekrutmen. Pintar dan ahli saja tidak cukup. Setiap institusi penegak hukum harus
cermat dan memberi perhatian khusus pada aspek psikologi dan moralitas individu.
Faktanya memang tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi fakta ini jangan dijadikan alasan
untuk asal-asalan dalam rekrutmen. Andaikata perbaikan rekrutmen dan penetapan kualifikasi
dengan sertifikasi bisa berjalan, masyarakat boleh berharap akan terwujudnya perbaikan
kualitas penegakan hukum.
Karena itu, kreasi kebijakan internal sebagaimana digagas Jenderal Tito itu hendaknya bisa
menginspirasi pimpinan institusi lainnya, seperti Kejagung, Direktorat Jenderal
36
Pemasyarakatan Kemenkumham, Ditjen Bea Cukai dalam konteks menangkal
penyelundupan dan juga pimpinan MA.
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
37
Aleppo dan Gerakan Non Blok
12-10-2016
Debat kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS) antara Hillary Clinton dan Donald
Trump dua hari lalu sempat menarik ketika terjadi ketidaksepahaman pendapat Trump
dengan calon wakil presidennya sendiri dari Partai Republik, Mike Pence, mengenai situasi
kemanusiaan yang terjadi di Suriah.
Pada saat itu moderator debat, Martha Raddatz, mengutip pernyataan Pence yang mengatakan
bahwa provokasi oleh Rusia harus dihadapi dengan kekuatan Amerika. Dan jika Rusia
melanjutkan untuk terlibat dalam penyerangan udara bersama dengan angkatan bersenjata
dari kubu Bashar al-Assad, AS perlu menyiapkan kekuatan militer untuk menghancurkan
target-target militer dari rezim Assad. Trump menjawab bahwa ia tidak sependapat dengan
Pence dan menurutnya yang menjadi target seharusnya adalah ISIS. Beberapa menit
kemudian Trump mengatakan bahwa Iran, Suriah, dan Rusia antre ingin menghancurkan ISIS
dan secara implisit ia ingin mengatakan bahwa sewajarnya mereka justru menjadi aliansi dan
tidak dijadikan musuh.
Pendapat Trump tentu mengejutkan karena jarang dan mungkin tidak pernah ada dalam
sejarah debat yang saya ketahui bahwa ketidakcocokan pendapat antara capres dan cawapres
diungkapkan terbuka untuk umum, apalagi dalam kondisi persaingan antarkubu yang sengit.
Tidak hanya publik di Amerika yang menonton lewat layar televisi, tetapi juga seluruh dunia.
Terlepas dari drama tersebut dan drama-drama lain terkait dengan isi perdebatan yang lebih
dominan diwarnai saling serang terkait etika moral masing-masing calon presiden, saya yakin
tidak banyak juga masyarakat AS dan mungkin kita yang memahami situasi yang terjadi di
Suriah, khususnya kota Aleppo. Aleppo sempat menghebohkan dunia karena dokumentasi
yang merekam korban seorang anak laki-laki yang luka karena aksi serangan udara dari pihak
Rusia dan Angkatan Bersenjata Rusia dukungan rezim Assad.
Kota Aleppo saat ini tidak lagi menjadi simbol kota industri dan keuangan terbesar kedua
setelah Damaskus. Kota ini sudah terbagi-bagi wilayahnya. Terbagi antara wilayah yang
dikuasai kekuatan militer dari pemerintahan Suriah rezim Assad di wilayah barat, para
kelompok-kelompok pemberontak yang terdiri atas kelompok yang moderat hingga Islamic
State, Al-Nusra Front, dan organisasi lain yang berafiliasi kepada Al-Qaeda. Mereka
mayoritas menguasai bagian timur dari Kota Aleppo, sementara di bagian utara dikuasai oleh
pemberontak dari suku Kurdi.
38
Terpecahnya wilayah ini membuat jalan keluar untuk mengatasi krisis kemanusiaan di
Aleppo sangat rumit dan sulit. Sebelum pecah perang di Suriah, kota Aleppo memiliki jumlah
penduduk 2,5 juta pada 2005, paling padat penduduknya di Suriah. Namun dengan
berkecamuknya perang, penduduknya berkurang hingga tinggal 1,5 juta orang. Dan, 250.000
orang yang tinggal di bagian timur Aleppo hidup terisolasi dalam kepungan senjata.
Penduduk ini menderita kelaparan dan sakit karena tidak adanya akses transportasi sipil yang
aman untuk logistik, makanan dan obat-obatan, sementara perang terus berlangsung tanpa
henti setiap hari.
Mayoritas penduduk kota ini adalah muslim Sunni dengan etnis Arab yang mendominasi dan
sebagian adalah bangsa Kurdi dan Turki. Namun, kota ini juga merupakan wilayah dengan
jumlah terbesar penduduk kristiani, Syiah, dan Alawite terbesar. Pembagian demografi ini
juga mewakili titik-titik pertempuran yang sengit antara empat pihak yang bertikai di atas.
Perang yang terjadi di wilayah tersebut mengharuskan mereka untuk terlibat mau atau tidak
mau dalam milisi-milisi yang menyatakan diri berafiliasi ke setiap kelompok yang bertikai.
Gencatan senjata kedua pernah terjadi pada 12 September 2016 sebagai buah perundingan
antara Rusia dan AS. Proses untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata juga tidak mudah.
Amerika ingin bantuan kemanusiaan disalurkan ke seluruh Suriah, terutama kota Aleppo dan
sebagian dari kota Damaskus. Namun, Suriah membatasi hanya di wilayah yang tidak
dikuasai oleh para kelompok ekstremis seperti ISIS atau An-Nusra, karena mereka tidak ingin
gencatan senjata justru membantu kelompok-kelompok itu mendapatkan kekuatan mereka
kembali. Ada pula yang berpendapat bahwa kelompok moderat sebetulnya sudah berkurang
dan tinggal kelompok garis keras yang masih kuat secara militer.
Di satu sisi, sulit untuk memilah secara tegas wilayah mana yang dikuasai atau tidak dikuasai
oleh kelompok ekstremis itu, karena ada wilayah yang dikuasai bersama antara kelompok
moderat, ekstremis, dan kelompok pro-Suriah. Namun, di sisi lain apabila informasi itu
diberikan maka dapat terkuak peta kekuatan dan menjadi legitimasi bagi pemerintah Suriah
untuk menyerang kelompok pemberontak baik yang ekstremis maupun moderat.
Oleh sebab itu, gencatan senjata selama kurang lebih tujuh hari sebetulnya prestasi yang luar
biasa. Namun, kondisi damai itu tidak berlangsung lama terutama setelah terjadi saling
serang, baik pengeboman yang dilakukan oleh Suriah kepada bantuan kemanusiaan yang
dituduh mengangkut persenjataan kepada kelompok pemberontak maupun serangan Amerika
ke tentara Suriah yang sedang mengepung bagian timur provinsi Deir ez-Zor yang dikuasai
ISIS. Saling serang itu selain membatalkan gencatan senjata, juga menggagalkan kesepakatan
membangun Joint Implementation Centre yang berfungsi untuk mengidentifikasi bersama-
sama wilayah yang dikuasai kelompok ISIS dan Jabhat Fateh al-Sham.
***
Berbagai upaya perdamaian di Suriah atau khususnya di Aleppo terus dilakukan, namun
belum ada yang menghasilkan sebuah perjanjian yang bersifat permanen. Dua hari sebelum
39
debat calon presiden AS dilakukan, Dewan Keamanan PBB telah membahas dua proposal
solusi perdamaian bagi Suriah. Satu proposal diusung Prancis dan proposal kedua diusung
Rusia. Proposal yang diusulkan Prancis menuntut dilakukannya no-fly zone in safe zones
seperti yang dimaksudkan oleh Hillary Clinton dan menuntut dibukanya jalur ke seluruh
wilayah untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Sementara proposal Rusia menuntut
dilakukannya gencatan senjata tanpa menyebut penghentian pengeboman. Kedua proposal
sama-sama gagal disetujui Dewan Keamanan PBB. Akibatnya tetap tidak ada perdamaian di
Aleppo walaupun krisis kemanusiaan di sana sudah sangat memprihatinkan.
Seandainya pun proposal Prancis yang menetapkan penghentian serangan udara dan
diberlakukannya larangan terbang seperti yang diinginkan oleh Hillary berhasil disepakati
oleh Dewan Keamanan, tidak berarti ada perdamaian yang langsung terjadi. Tidak ada
jaminan yang dapat menahan Suriah dan Rusia untuk tidak melanggar resolusi itu selama
mereka berpendapat kelompok ISIS masih berkuasa di beberapa wilayah. Dan apabila mereka
melanggar, konflik terbuka antara Suriah dan Rusia berhadapan dengan kekuatan Barat dan
kelompok pemberontak akan pecah.
Dapat disimpulkan bahwa negara-negara besar penentu keputusan di PBB memang tidak
tertarik untuk membuat Suriah dan Aleppo stabil. Dewan Keamanan PBB pada dasarnya
sudah disfungsional, tidak bisa lagi berpihak pada penciptaan perdamaian atau misi
kemanusiaan. Para negara besar pemegang veto terlibat dalam konflik ini dan mereka
memilih untuk mengabaikan upaya perdamaian.
Ini peringatan keras bagi Indonesia karena ada vacuum pada tata kelola global (global
governance). Presiden Joko Widodo yang dinobatkan sebagai tokoh muslim berpengaruh di
dunia sebaiknya memperkuat suara sebagai bagian dari Gerakan Non-Blok untuk mulai
menyuarakan perdamaian di Suriah selain konsisten terus membela Palestina. Kita harus
membangun kesadaran global untuk menolak bertarung pengaruh dengan cara menciptakan
kekacauan politik dan destabilitas sosial di negara-negara lain.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
40
Hentikan Trial by the Press
12-10-2016
Perkembangan teknologi saat ini sudah sangat maju sehingga informasi dalam bentuk apa
pun sangat mudah diterima dan diakses oleh masyarakat luas, baik melalui media cetak
maupun elektronik. Masyarakat aktif mengikuti perkembangan berita menarik yang disiarkan
oleh pers karena kemudahan akses tersebut. Informasi berupa berita yang diberikan oleh
media tersebut wajib memiliki sisi manfaat bagi masyarakat umum yang mengakses sehingga
berita yang diberikan haruslah relevan dan akurat.
Peristiwa hukum, apalagi dalam perkara-perkara yang menarik perhatian publik mulai dari
perkara pencurian, pembunuhan, korupsi, hingga terorisme yang terjadi di Indonesia,
merupakan bagian dari berita yang menarik bagi masyarakat umum dinilai dari sisi edukasi
yang diberikan oleh pers. Masyarakat umum yang awalnya awam mengenai hukum
mendapatkan hak-haknya untuk mengerti dan memahami apa yang terjadi melalui berita yang
disajikan oleh pers. Di lain sisi, pers memiliki kesempatan untuk memberikan supervisi bagi
jalannya penegakan hukum di negara ini, tentunya dengan tetap mengindahkan nilai-nilai etis
dari jurnalistik dan penegakan supremasi hukum.
Masyarakat umum bebas memilih berita yang disajikan oleh berbagai macam media massa,
namun harus jeli dalam memilih berita apa yang akan diserap dan respons apa yang harus
diberikan terkait berita tersebut. Namun, sebagai penerima berita yang memiliki kapasitas
untuk memahami berita tersebut dengan cara yang berbeda-beda, masyarakat umum
cenderung tidak bisa objektif dalam memandang sebuah peristiwa hukum. Secara umum
prasangka itu akan selalu ada.
Di sinilah pengadilan harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Proses hukum
haruslah dijalankan sesuai dengan due process of law yang menaungi prinsip-prinsip
peradilan yang jujur dan tidak memihak, atau yang sering disebut dengan istilah “fair trial”.
Pengadilan adalah sarana satu-satunya dan terakhir dalam rangka menemukan kebenaran dan
menegakkan keadilan.
Persidangan perkara pidana dugaan pembunuhan terhadap Mirna yang sedang berjalan saat
ini sangat menarik perhatian publik, bahkan ruang sidang pun selalu penuh baik oleh hadirin
sidang maupun jurnalis dari berbagai media massa. Masyarakat umum merasa menjadi
bagian dari proses hukum dalam perkara ini. Padahal, berbagai macam prasangka, asumsi,
dan penafsiran sebaiknya tidak terlalu diekspos oleh media karena persidangan yang masih
berjalan saat ini.
Semua proses dalam persidangan seharusnya dijalankan dalam rangka memenuhi prinsip due
41
process of law antara lain hearing, counsel, defense, evidence, dan imparsialitas serta fair
trial. Majelis hakim harus memiliki keyakinan dalam menyatakan apakah perbuatan terdakwa
terbukti atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Tidak boleh ada keraguan di
dalamnya (beyond reasonable doubt).
Jadi, perdebatan di luar persidangan saat ini tidaklah signifikan dan dapat dikatakan
mengganggu proses menggali kebenaran dan menegakkan keadilan. Majelis hakim
membutuhkan konsentrasi yang amat tinggi dalam menyusun putusan tanpa terpengaruh oleh
pihak mana pun. Tanggung jawab majelis hakim adalah kepada Tuhan, bukan kepada
masyarakat. Karena itu, dalam putusannya selalu disebutkan: ”Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dua belah pihak dan publik harus menghormati putusan majelis hakim. Jika ada keberatan
dari putusan majelis hakim nanti, ada koridor hukum yang bisa dipergunakan, yaitu melalui
upaya hukum banding dan kasasi, bukan melalui spekulasi dan komentar yang melecehkan
apalagi menghina pengadilan.
Water Lippmann (1922) pernah berkata, ”News and truth are not the same thing and must be
clearly distinguished ”. Fungsi berita adalah untuk menginformasikan sebuah kejadian,
namun adalah tugas lembaga peradilan untuk menggali kebenaran dan keadilan. Jangan
sampai ada pengadilan di luar lembaga peradilan yang akhirnya menjurus pada contempt of
court. Di sini wibawa pengadilan dan hak asasi terdakwa yang menjadi taruhannya.
Terdakwa juga memiliki hak untuk tidak diintimidasi dengan prasangka karena prinsip-
prinsip fair trial menjamin hak terdakwa untuk berada di dalam perlindungan pengadilan
yang adil dan tidak memihak. Ini bagian dari due process of law atau suatu proses peradilan
yang adil.
Ke depan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu merumuskan pedoman dan tata cara
penyiaran sebuah persidangan. Hal ini diperlukan agar terdapat panduan yang jelas bagi para
wartawan yang bekerja di lapangan sehingga tidak melewati batas-batas peliputan yang dapat
mengingkari due process of law.
Begitu pula dengan Dewan Pers perlu menyusun panduan serupa sehingga peliputan berita
yang dilakukan para wartawan tetap menjamin hak-hak terdakwa dan tidak memengaruhi
independensi dan imparsialitas hakim. Peliputan berita hukum tidak seharusnya melenceng
dari misi pemberitaan pers dan berisi fakta dan bukan kesimpulan atau pendapat yang tidak
sesuai dengan tujuan jurnalis menyajikan fakta kepada masyarakat.
Pers juga diharapkan tidak menyajikan berita yang bersifat spekulatif dan provokatif. Pers
yang sehat sebagai salah satu pilar demokrasi sangat berperan untuk menentukan kemajuan
atau kemunduran hukum dan rule of law di suatu negara, termasuk di Indonesia.
42
FRANS H WINARTA
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
43
Memerangi Pungli Birokrasi
13-10-2016
Presiden Jokowi menyatakan perang terhadap pungutan liar (pungli). “Mulai hari ini
(11/10/16) saya minta kepada seluruh aparat pemerintah, terutama yang melakukan
pelayanan kepada masyarakat agar menghentikan pungli.” Demikian Presiden memberikan
maklumat disertai ancaman pemecatan bila diketahui masih melakukannya.
Tidak sekadar bicara. Presiden kemarin langsung melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke
kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama Menhub dan Kapolri. Hasilnya,
polisi menangkap basah enam orang pelaku, uang bukti Rp95 juta, serta buku tabungan berisi
uang Rp1 miliar, diduga untuk menyimpan hasil pungli untuk dibagi-bagikan ke pihak lain.
Melihat hasil sekecil itu dan melibatkan Presiden secara langsung, DPR berkomentar negatif.
Menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, aksi Presiden itu hanya untuk menutupi kasus besar
yang terjadi hari itu, yaitu keluarnya keputusan MUI yang menyatakan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama telah melakukan penistaan agama.
Tulisan ini mengulas perihal pungli lebih dalam mulai dari definisi, pelaku, kerugian yang
ditimbulkan, cara pelaksanaan, sampai pada solusi yang dianggap tepat dari sekadar gebrak-
menggebrak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pungli adalah meminta sesuatu (uang dan
sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut
peraturan yang lazim. Jadi, berdasarkan definisi itu, pungli berarti apa pun pungutan atau
bayaran di luar ketentuan. Jika ketentuan mengurus sebuah izin atau dokumen dari instansi
pemerintah mengatakan gratis tetapi dimintai biaya, itu pungli. Atau, jika ketentuan
mengatakan biaya seribu, tapi diminta dua ribu, itu berarti pungli.
Dengan demikian, pungli bisa terjadi baik secara eksternal, yaitu meminta bayaran di luar
ketentuan kepada masyarakat (perusahaan, lembaga, atau orang asing); maupun secara
internal, yaitu meminta bayaran di luar ketentuan kepada aparat pemerintah sendiri. Pungli
eksternal biasanya terjadi pada saat pengurusan izin atau dokumen dari pemerintah yang
diperlukan pihak eksternal seperti izin usaha, izin bekerja, izin mengemudi, sertifikat profesi,
KTP, paspor, sampai urusan nikah dan bercerai. Pungli internal biasanya terjadi bila pegawai
ingin naik pangkat atau mutasi. Semuanya masih terjadi kendati kita telah menjalani 18 tahun
reformasi.
Berapa besar pungli terjadi secara keseluruhan, baik eksternal maupun internal, belum ada
data. Data yang tersedia baru di bidang manufaktur. Menurut studi UGM dan USAID total
44
pungli di bidang manufaktur mencapai Rp3 triliun per tahun (http:/ id.m.wikipidia.org/wiki/
pungutan_liar). Konon, biaya tidak resmi pengurusan HGU di Badan Pertanahan Nasional
(BPN) sebesar Rp3.000 per meter persegi. Jika tidak membayar, mereka akan mempersulit
dengan berbagai dalih. Jika angka itu benar, kita akan menemukan angka yang spektakuler.
Sejuta ha saja mencapai Rp30 triliun, jauh melebihi angka anggaran kementeriannya sendiri,
yaitu sekitar hanya Rp7 triliun.
Dampak ekonominya tentu saja sangat luar biasa. Biaya-biaya tersebut tentu akan dibebankan
perusahaan kepada konsumen sehingga konsumen mendapat harga yang lebih besar dari
seharusnya. Bagi investor biaya-biaya tidak pasti tersebut akan membuat mereka enggan
menanamkan investasinya di Indonesia. Tentu saja kerugian-kerugian tersebut susah untuk
dikalkulasi.
Bagaimana praktik bayar-membayar di luar ketentuan itu dilakukan? Secara sederhana dapat
kita bagi dua, yaitu cara primitif atau memberikan secara langsung tunai seperti yang kita
lihat di Kemenhub kemarin. Ini biasanya untuk transaksi kecil-kecil walaupun tidak tertutup
kemungkinan juga untuk transaksi relatif besar.
Cara seperti ini mudah dideteksi, cukup dengan mendatangi kantornya, aparat hukum dengan
mudah menemukan uang-uang yang mencurigakan. Kita sudah sering mendengar di
antaranya di Kementerian ESDM beberapa waktu lalu ditemukan uang dalam jumlah tidak
masuk akal di ruang atau laci pejabat pemerintah.
Cara kedua adalah dengan cara canggih seperti melalui transaksi perusahaan bodong.
Perusahaan tersebut bisa dimiliki oleh aparat bersangkutan secara anonim atau meminjam
perusahaan pihak ketiga yang dipercaya. Secara formal perusahaan itu bertindak sebagai
konsultan perusahaan swasta yang mengurusi perizinan atau lainnya untuk menyamarkan.
Tidak ada transaksi langsung dengan aparat sehingga cara ini lebih susah dilacak atau
dibuktikan.
Seperti kita ketahui pungli sudah berlangsung lama, baik terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi. Secara formal semua aparat pasti membantah, tetapi secara diam-diam di balik
layar terjadi transaksi haram tersebut. Sampai batas-batas tertentu pungli sudah jadi budaya,
baik budaya birokrasi maupun masyarakat. Aparat merasa tidak dihargai ketika pekerjaan
pelayanan yang dilakukan tidak dihargai secara langsung oleh masyarakat. Sebaliknya,
masyarakat merasa salah ketika dia tidak memberi uang lelah atau apa pun namanya setelah
pelayanan sudah didapatkannya.
Menilik angka-angka, cara, dan kedalaman nilai yang sudah tertanam baik di aparat maupun
di masyarakat seperti diuraikan di atas, wajar bila cara dan temuan yang digembar-
gemborkan Presiden saat sidak ke Kemenhub, Selasa kemarin dianggap tidak serius atau
sekadar pencitraan. Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa pemberantasan pungli
tidak bisa sporadis, tetapi memerlukan langkah-langkah sistematis, berdasarkan kajian
45
mendalam dan berkelanjutan. Cara-cara di Kemenhub itu sudah berkali-kali dilakukan di era
Orde Baru, tetapi tidak membuahkan hasil berarti.
Belum Optimal
Sebenarnya ada langkah dengan arah yang benar dilakukan pemerintah sejak lama, yaitu
melalui e-government. Secara teori pungli terjadi karena ada transaksi langsung yang
berlangsung antara aparat dan masyarakat yang dilayani. Karena itu, transaksi secara
elektronik merupakan solusi yang benar karena transaksi langsung akan diminimalisasi. Cara
lain yang benar secara teori adalah melalui transparansi biaya, proses, dan target waktu.
Dengan mencantumkan biaya dan batas waktu pelayanan secara terbuka, masyarakat bisa
protes secara langsung bila ada penyimpangan.
Dalam praktik dua cara di atas, kita lihat sudah menghasilkan perubahan yang cukup berarti,
tetapi belum optimal. Ketidakoptimalan itu disebabkan tiga hal. Pertama, proses teknologi
informatika (TI) seringkali diakali sehingga ada proses-proses tertentu yang disengaja dibuat
manual walaupun secara teknis memungkinkan dilakukan secara elektronik. Maka itu, aparat
yang terlibat dengan gagah bisa mengatakan mereka sudah melakukan transaksi elektronik
sehingga dikesankan mustahil ada permainan. Padahal, kenyataannya di belakang layar
mereka masih leluasa melakukan.
Kedua, target waktu tidak dibuat ketat sehingga masih ada peluang memperjualbelikan
waktu. Umpamanya secara proses riil pelayanan bisa selesai sejam, tetapi dibuat sehari.
Karena sebelumnya penyelesaiannya bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-
minggu, sehari sudah dianggap kemajuan luar biasa. Secara psikologis pasti ada masyarakat
yang enggan bolak-balik atau menunggu seharian sehingga terbuka pasar pungli melalui
negosiasi percepatan waktu.
Ketiga, ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan birokrasi masih rendah sehingga tekanan
terhadap peningkatan pelayanan birokrasi relatif kecil. Dengan demikian, pelayanan yang
seharusnya bisa ditingkatkan lebih signifikan tidak terjadi. Di negara-negara maju
dimasyarakatkan apa yang disebut new public expectation sehingga tuntutan masyarakat
terhadap pelayanan publik terus meningkat.
Sebenarnya banyak variabel yang bisa kita analisis dalam konteks memerangi pungli ini.
Karena keterbatasan ruang, kita batasi pada tiga hal di atas. Dari tiga variabel itu, bisa
dikembangkan setidaknya tiga program konkret pula. Pertama, melakukan penilaian
manajemen birokrasi untuk mengetahui proses, target, dan sistem pengendalian yang bisa
lebih mengoptimalkan kualitas pelayanan sekaligus mengatasi pungli. Kedua, melakukan
audit TI sehingga diketahui apakah sistem TI yang dikembangkan di berbagai instansi saat ini
sudah memanfaatkan semua fitur secara optimal. Ketiga, sosialisasi new public expectation
untuk mendidik masyarakat agar terus-menerus meningkatkan ekspektasi mereka terhadap
pelayanan publik sehingga mendorong aparat terus meningkatkan pelayanannya.
46
Nah, dalam keterbatasan ruang ini saja kita setidaknya membuktikan bahwa memberantas
pungli tidak bisa sporadis, tetapi sistematis dan berkelanjutan.
MEDRIAL ALAMSYAH
Direktur SIGI Indonesia; Pengamat Reformasi Birokrasi
47
Membenahi Keuangan Partai
13-10-2016
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mewacanakan kenaikan bantuan
keuangan untuk partai politik. Wacana tersebut disepakati Komisi II Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada rapat dengar pendapat yang digelar DPR.
Partai politik mengalami paceklik keuangan akibat gagal menghimpun iuran anggota dan
sumbangan publik. Akibat itu, partai membebankan keuangan pada kader yang duduk di
legislatif maupun eksekutif. Walau legal secara hukum, metode pendanaan tersebut memicu
persoalan baru salah satunya korupsi.
Mengacu pada anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik, anggota
legislatif tingkat nasional dan daerah diwajibkan membayar iuran rutin. Tidak tanggung-
tanggung, jumlahnya mencapai 10 hingga 40% dari gaji yang mereka terima sebagai anggota
dewan. Iuran tersebut belum termasuk sumbangan apabila partai mengadakan kegiatan
seperti musyawarah nasional, ulang tahun, dan pemilu.
Jalan pintas untuk menjawab krisis keuangan partai ini disadari Kemendagri dapat memicu
kader partai melakukan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang menyebut
bahwa kasus yang telah in kracht mereka tangani banyak melibatkan kader partai politik.
Menaikkan bantuan keuangan dianggap sebagai cara efektif untuk mulai membenahi partai
dan mencegah korupsi. Walau tidak menjamin korupsi oleh kader partai berkurang 100%,
cara tersebut dapat menjadi titik potong korupsi politik akibat tingginya biaya keuangan
partai. Pembenahan ini juga dapat menjadi pintu masuk pembenahan kaderisasi partai yang
kini kuat menimbang isi tas kader.
Perlu disadari bahwa korupsi kader partai tidak berangkat dari faktor tunggal. Selain faktor
beban keuangan partai yang tinggi, ada faktor lain seperi mengejar keuntungan pribadi.
Karena itu, perhatian Kemendagri sebagai pemerintah terhadap persoalan krusial partai
merupakan langkah tepat. Sudah seharusnya negara tidak menutup mata terhadap persoalan
yang dapat berdampak buruk pada penyelenggaraan negara. Hal tersebut disebabkan
strategisnya peran dan fungsi partai.
Bagaimana pun performa partai saat ini, partai merupakan satu-satunya institusi yang
diamanatkan oleh konstitusi untuk menyiapkan calon penyelenggara negara. Partai melalui
kadernya di pemerintahan secara langsung dan tidak langsung turut menentukan kebijakan
menyangkut penyelenggaraan negara dan kepentingan umum. Pemberantasan korupsi yang
efektif pun membutuhkan kontribusi positif partai selaku aktor utama demokrasi perwakilan.
48
Jangan Setengah Hati
Persoalan keuangan partai tidak hanya mengenai seretnya penerimaan. Keuangan partai juga
berhadapan dengan persoalan tingginya ongkos berpolitik dan akuntabilitas serta transparansi
penggunaan keuangan. Persoalan tersebut wajib dijawab oleh negara melalui regulasi tegas
agar persoalan keuangan partai terjawab secara tuntas, tidak parsial.
Menjawab persoalan keuangan dengan menaikkan angka bantuan melalui revisi PP Nomor
5/2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik hanya akan menjadi cek kosong yang
dikhawatirkan tidak berdampak signifikan pada pembenahan partai. Harapan korupsi oleh
kader partai akan berkurang juga akan sulit terealisasi. Pembenahan keuangan partai harus
dilakukan secara paripurna, mulai dari uang masuk hingga uang tersebut dikelola dan
dipertanggungjawabkan.
Negara harus menjamin bahwa uang yang diberikan negara untuk partai dikelola tepat, sesuai
peruntukan. Pencatatan dan pelaporan keuangan partai yang selama ini dikenal buruk juga
harus dibenahi. Bukan rahasia bahwa partai selama ini tidak akuntabel dan transparan dalam
mengelola keuangannya.
Revisi UU Parpol
Pembenahan perlu dimulai dengan merevisi regulasi aturan utama keuangan partai, yaitu UU
Partai Politik (Parpol). Kelemahan terbesar dalam UU Partai Politik mengenai keuangan
adalah tidak ada lembaga yang diberikan wewenang khusus untuk mengawasi keuangan
partai. Padahal, pengawasan penting dilakukan terhadap keuangan partai yang minim
akuntabilitas, tinggi konflik kepentingan, dan riskan penyalahgunaan. Tanpa lembaga
pengawas dan metode pengawasan yang tepat, berapa pun uang yang dialokasikan negara
untuk partai akan berujung pada persoalan yang sama.
Memang tidak harus membentuk lembaga baru untuk mengawasi keuangan partai. Negara
dapat memaksimalkan peran dari lembaga yang telah ada saat ini seperti Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu). Partai politik sebagai peserta pemilu legislatif dan pengusung kandidat
kepala daerah hingga kepala negara menjadikan institusi tersebut relevan diawasi oleh
Bawaslu yang merupakan pengawas pemilu. Penting bagi negara untuk memastikan pemilu
diikuti oleh partai yang bersih dan akuntabel secara keuangan.
Selain itu, negara juga perlu memperkuat akuntabilitas keuangan partai melalui mekanisme
audit laporan keuangan. Saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya melakukan audit
terhadap laporan keuangan partai yang bersumber dari bantuan negara. Audit tersebut bahkan
hanya merupakan audit kepatuhan atas laporan yang disampaikan partai. Tidak ada
mekanisme verifikasi terhadap realitas penerimaan dan pengeluaran partai politik. Ke depan
BPK atau auditor independen yang ditunjuk oleh BPK seharusnya dapat mengaudit seluruh
laporan keuangan partai. BPK dapat bersinergi dengan lembaga pengawas keuangan partai
49
untuk memastikan apakah laporan keuangan yang disampaikan partai telah sesuai dengan
realitas di lapangan.
Terakhir, UU harus mulai menerapkan sanksi tegas bagi partai. Hal penting yang perlu
dipertimbangkan adalah mengaitkan pelanggaran keuangan partai terhadap kepesertaan partai
dalam pemilu yang diatur dalam UU Pemilu. Sebagai contoh, apabila ditemukan pelanggaran
keuangan partai dalam frekuensi dan tahap tertentu di suatu daerah, partai tersebut dilarang
mengikuti pemilu pada daerah tersebut. Laporan keuangan partai dapat dijadikan sebagai
salah satu syarat administrasi partai menjadi partai politik peserta pemilu atau pengusung
kandidat peserta pemilu.
Pembenahan menyeluruh terhadap keuangan partai ini hanya akan terjadi melalui revisi UU
Partai Politik dan mengaitkannya dengan UU lain seperti UU Pemilu dan UU Tindak Pidana
Korupsi. Tentu, langkah ini membutuhkan komitmen kuat dari pihak pemerintah dan DPR
selaku penyusun UU. Jangan sampai uang negara untuk partai ditambah tanpa upaya
pembenahan yang menyeluruh.
ALMAS SJAFRINA
Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW)
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016

More Related Content

Similar to (sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
ekho109
 
Psi koran solidaritas 12
Psi koran solidaritas 12Psi koran solidaritas 12
Psi koran solidaritas 12
GSaroso PSid
 
Fenomena pilkada
Fenomena pilkadaFenomena pilkada
Fenomena pilkada
Yuca Siahaan
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
ekho109
 
Ppt politik
Ppt politikPpt politik
Ppt politik
Chrestella Agustine
 
Hasil survey ines_pilrpes
Hasil survey ines_pilrpesHasil survey ines_pilrpes
Hasil survey ines_pilrpesindonesianes
 
Musni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI Jakarta
Musni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI JakartaMusni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI Jakarta
Musni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI Jakarta
musniumar
 
Political outlook 2014 indonesia menuju ‘negara korporasi’
Political outlook 2014  indonesia menuju ‘negara korporasi’Political outlook 2014  indonesia menuju ‘negara korporasi’
Political outlook 2014 indonesia menuju ‘negara korporasi’
Rizky Faisal
 
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan perPERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
syaukanisaputra
 
Menyongsong Fajar Baru
Menyongsong Fajar BaruMenyongsong Fajar Baru
Menyongsong Fajar Baru
Sunandar N. Gusti
 
Edisi spesial
Edisi spesialEdisi spesial
Edisi spesial
lidercoi13
 
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan JakartaMencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
musniumar
 
Indonesia menuju ‘negara korporasi’
Indonesia menuju ‘negara korporasi’Indonesia menuju ‘negara korporasi’
Indonesia menuju ‘negara korporasi’Rizky Faisal
 
majalah detik 125 tahun 2014
majalah detik 125 tahun 2014majalah detik 125 tahun 2014
majalah detik 125 tahun 2014
Nofrianto -
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
ekho109
 
Psi koran solidaritas 11
Psi koran solidaritas 11Psi koran solidaritas 11
Psi koran solidaritas 11
GSaroso PSid
 
Koran solidaritas edisi 11
Koran solidaritas edisi 11Koran solidaritas edisi 11
Koran solidaritas edisi 11
Rano Rahman
 
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.PdMateri akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
haidzarzamany21
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
ekho109
 
Psi koran solidaritas 09
Psi koran solidaritas 09Psi koran solidaritas 09
Psi koran solidaritas 09
GSaroso PSid
 

Similar to (sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016 (20)

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
 
Psi koran solidaritas 12
Psi koran solidaritas 12Psi koran solidaritas 12
Psi koran solidaritas 12
 
Fenomena pilkada
Fenomena pilkadaFenomena pilkada
Fenomena pilkada
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 10 mei 2016-22 juni 2016
 
Ppt politik
Ppt politikPpt politik
Ppt politik
 
Hasil survey ines_pilrpes
Hasil survey ines_pilrpesHasil survey ines_pilrpes
Hasil survey ines_pilrpes
 
Musni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI Jakarta
Musni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI JakartaMusni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI Jakarta
Musni Umar: Ancaman Stabilitas Sosial Keamanan di DKI Jakarta
 
Political outlook 2014 indonesia menuju ‘negara korporasi’
Political outlook 2014  indonesia menuju ‘negara korporasi’Political outlook 2014  indonesia menuju ‘negara korporasi’
Political outlook 2014 indonesia menuju ‘negara korporasi’
 
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan perPERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
 
Menyongsong Fajar Baru
Menyongsong Fajar BaruMenyongsong Fajar Baru
Menyongsong Fajar Baru
 
Edisi spesial
Edisi spesialEdisi spesial
Edisi spesial
 
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan JakartaMencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
Mencari Pemimpin untuk Masa Depan Jakarta
 
Indonesia menuju ‘negara korporasi’
Indonesia menuju ‘negara korporasi’Indonesia menuju ‘negara korporasi’
Indonesia menuju ‘negara korporasi’
 
majalah detik 125 tahun 2014
majalah detik 125 tahun 2014majalah detik 125 tahun 2014
majalah detik 125 tahun 2014
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
 
Psi koran solidaritas 11
Psi koran solidaritas 11Psi koran solidaritas 11
Psi koran solidaritas 11
 
Koran solidaritas edisi 11
Koran solidaritas edisi 11Koran solidaritas edisi 11
Koran solidaritas edisi 11
 
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.PdMateri akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
 
Psi koran solidaritas 09
Psi koran solidaritas 09Psi koran solidaritas 09
Psi koran solidaritas 09
 

(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI NETRALITAS JOKOWI DI PILKADA DKI Agus Riewanto 4 SIAPKAH JAKARTA MENYAMBUT GUBERNUR BARU? Hendri Satrio 8 TNI BIRAWA Sjafrie Sjamsoeddin 11 KEBERSAMAAN TNI-RAKYAT Jazuli Juwaini 14 TAMBANG DITEMBAK, REKLAMASI DIBIARKAN Margarito Kamis 17 PELAJARAN BERHARGA DARI PILKADA JAKARTA Bagong Suyanto 21 POLISI DAN DIMAS KANJENG Moh Mahfud MD 24 RADIKALISME Sarlito Wirawan Sarwono 27 REMISI KORUPTOR: MENKUMHAM VS PRESIDEN Tjipta Lesmana 30 REVITALISASI HUKUM DAN HANCURNYA MUTU PENEGAKAN HUKUM Bambang Soesatyo 33 ALEPPO DAN GERAKAN NON-BLOK Dinna Wisnu 37 HENTIKAN TRIAL BY THE PRESS Frans H Winarta 40 MEMERANGI PUNGLI BIROKRASI Medrial Alamsyah 43 MEMBENAHI KEUANGAN PARTAI Almas Sjafrina 47 URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG PARPOL Khairul Fahmi 50 AGAMA DAN POLITIK
  • 2. 2 Komaruddin Hidayat 53 TOPIK AHOK DAN MARWAH Moh Mahfud MD 55 BIROKRAT BENALU Asep Sumaryana 58 FAKTOR AGAMA DALAM PILKADA Abdul Mu’ti 61 OPSTIB ALA JOKOWI Bambang Soesatyo 64 NASIB THAILAND TANPA RAMA IX Heru Susetyo 67 MOSUL PASCA-ISIS Dinna Wisnu 71 TAFSIR KONSTITUSI “ORANG INDONESIA ASLI” Pan Mohamad Faiz 74 KEKUATAN OTONOM DAN DINAMIKA PILKADA Sudjito 77 OPERASI PEMBERANTASAN PUNGLI Marwan Mas 80 REFORMASI BIROKRASI DEMI PERUBAHAN LEBIH BAIK Mirna Annisa 83 OTOKRITIK DPR Jazuli Juwaini 86 HUKUM YANG TERTATIH Zainal Arifin Mochtar 89 TITIK BALIK REKONSOLIDASI JOKOWI Burhanuddin Muhtadi 92 KITAB SUCI DAN PILKADA Komaruddin Hidayat 95 REFORMASI HUKUM, REFORMASI APA? Moh Mahfud MD 97 KONTINUITAS PILKADA CALON TUNGGAL Ikhsan Darmawan 100
  • 3. 3 PERLU PROGRAM DERADIKALISASI MASIF Asmadji AS Muchtar 103 DEMOKRASI DAMAI Dewi Aryani 106 KOLOMBIA: PESTA DAMAI YANG TERTUNDA M Nasir Djamil 109 SEJARAH BARU ATAU SEJARAH BERULANG? A Alamsyah Saragih 112 DI BALIK PEMILIHAN ANTONIO GUTERRES Dinna Wisnu 115 OPERASI PEMBERANTASAN PUNGLI Marwan Mas 118 MENAGIH JANJI NAWACITA Adi Prayitno 121 POLITISI, PARPOL, DAN MEDIA SOSIAL Firman Noor 124 ANTARA SABER PUNGLI DAN OPERASI SAPU JAGAD Tjipta Lesmana 127 PANGGUNG KAMPANYE PILKADA Gun Gun Heryanto 130 MIRNA SELESAI, JESSICA BERLANJUT Moh Mahfud MD 133 ADIK BARU KPK: SATGAS SABER PUNGLI Bambang Soesatyo 136 CATATAN HUKUM KASUS JESSICA Sudjito 139 KEAMANAN MARITIM & PERMASALAHANNYA Amarulla Octavian 142 MENANTI JOKOWI MEMBONGKAR KASUS MUNIR Agus Riewanto 146 MENCARI PEMIMPIN PEMERSATU Frans H Winarta 150 DEMO YANG ISLAMI? Abdul Mu’ti 152
  • 4. 4 Netralitas Jokowi di Pilkada DKI 04-10-2016 Tak lama lagi Pilkada DKI Jakarta akan digelar. Tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang telah mendaftar ke KPU DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (diusung PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem), Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviana Murni (diusung Partai Gerindra dan PKS), dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (diusung Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN) siap bertarung. Pilkada DKI merupakan pesta demokrasi lokal, namun bercita rasa nasional karena posisi Provinsi DKI berada di jantung kekuasaan Republik Indonesia. Itulah sebabnya lanskap pemberitaan Pilkada DKI seolah menjadi pesta demokrasi nasional. Bahkan gegap-gempita dan riuhnya pemberitaan Pilkada DKI tak kalah dengan situasi pemilihan presiden (pilpres). Tak pelak lagi Pilkada DKI bercita rasa pilpres. Kecurigaan Presiden Tak Netral Posisi strategis DKI dalam percaturan nasional bukan saja hanya akan membawa dampak pada citra politik nasional. Akan tetapi, secara politik karier menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI berpotensi menjadi anak tangga untuk menapaki karier sebagai presiden RI sebagaimana terjadi pada Joko Widodo (Jokowi). Jejak Jokowi inilah yang memantik minat elite politik untuk ikut ”bermain” habis-habisan dalam Pilkada DKI. Karena itu, sesungguhnya di benak tiga pasangan calon dalam Pilkada DKI ini dan elite politik pendukungnya punya harapan akan berkarier semulus Jokowi. Di mata publik, Presiden Jokowi punya andil yang cukup besar dalam Pilkada DKI, bukan hanya dalam soal komitmennya untuk ikut menjaga agar Pilkada DKI dapat berlangsung damai dan berkualitas, namun yang lebih penting adalah soal komitmen merawat netralitasnya. Soal netralitas ini menjadi perhatian publik akhir-akhir ini karena Presiden Jokowi punya kedekatan secara ideologis dan keintiman psikologis secara pribadi dengan dua orang calon gubernur DKI, yakni Ahok dan Anies. Dengan Ahok, Presiden Jokowi kini punya kesamaan ideologis karena sama-sama kader yang disokong PDIP untuk menjadi elite politik. Dengan Anies Baswedan, Presiden Jokowi punya keintiman pribadi yang cukup kuat. Anies pernah menjabat sebagai menterinya (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dan pernah terlibat sebagai tokoh sentral dalam pemenangan Jokowi menapaki karier sebagai presiden. Kedua calon ini pernah berjasa kepada Presiden Jokowi. Maka potensi Presiden untuk membalas jasa kedua tokoh ini dalam Pilkada DKI sangat besar. Walaupun Juru Bicara
  • 5. 5 Istana, Johan Budi SP, menyatakan Presiden Jokowi akan netral dalam pilkada DKI (KORAN SINDO, 2/10/2016), tetap saja publik menaruh curiga yang amat dalam terkait sejauh mana Presiden Jokowi mampu menempatkan dirinya sebagai pribadi dan Presiden RI yang tak berpihak pada kedua calon gubernur ini. Menyuarakan Presiden Netral Sesungguhnya urgensi Presiden netral dan tak berpihak pada salah satu calon gubernur DKI ini perlu disuarakan sedini mungkin. Mengingat sejarah pilkada langsung di Indonesia sejak 2005-2015 yang lalu terekspos bercak noda ”permainan kotor” para calon kepala daerah yang memainkan mesin birokrasi, penyalahgunaan anggaran daerah, pemanfaatan fasilitas pemerintah, dan kedekatan emosi dengan tokoh-tokoh nasional menjadi pintu-pintu meraih kemenangan dalam pilkada. Pola-pola ini di bawah alam sadar telah menjelma menjadi keyakinan publik yang sulit dibantah. Bahwa sangat besar potensi para calon gubernur DKI, terutama sang petahana (incumbent), akan memainkan pola yang relatif sama dan ditambah kedekatannya dengan presiden RI. Padahal, jamak diketahui presiden adalah sumber ”mantra kekuasaan” yang paling sakti untuk dapat memengaruhi publik, bahkan memainkan aneka bentuk kegiatan dan pencitraan politik untuk menyokong calon gubernur. Jumat (30/9) lalu misalnya, Presiden Jokowi membuat panggung publisitas politik bersama Ahok saat meninjau proyek LTR dan MRT. Bagi publik, kegiatan Presiden Jokowi dan Ahok itu tentu bukan merupakan perjumpaan alamiah. Kuat dugaan bahwa selalu ada pesan politik dari setiap konteks perjumpaan antaraktor politik dalam kerangka untuk menaikkan peringkat citra dan popularitas. Dipastikan aneka kegiatan semacam ini akan kerap dilakukan Presiden Jokowi yang disembunyikan lewat aneka bentuk kegiatan formal kenegaraan, jika tak diingatkan untuk bersikap netral dalam pilkada. Keuntungan Presiden Netral Paling tidak terdapat tiga keuntungan sekaligus jika Presiden Jokowi bersikap netral dalam pilkada DKI ini. Pertama, Presiden Jokowi akan dikenang publik sebagai negarawan (statesman) sejati karena mampu menempatkan dirinya sebagai seorang bapak bangsa yang melindungi dan bersikap yang sama pada semua orang. Atas nama negara, Presiden harus mampu menjamin bahwa Pilkada DKI dapat berlangsung secara adil dan demokratis. Bukankah ketika dia menjabat sebagai presiden berarti dia telah menanggalkan semua atribut ideologi parpol, kedekatan emosi, dan aneka ikatan primordial. Relevan untuk diingat pesan dari Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) yang pernah mengatakan: ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.” Kalimat yang sama pernah pula diucapkan oleh Presiden AS John F Kennedy (1961-1963). Kata bijak ini mengajarkan pada setiap pemimpin politik untuk menyudahi keinginan pribadi untuk
  • 6. 6 loyal pada ideologi parpol dan ikatan primordial lain ketika ia telah terpilih untuk memanggul tugas negara. Sikap inilah yang seharusnya ditunjukkan Presiden Jokowi dalam Pilkada DKI. Kedua, netralitas Presiden Jokowi dalam Pilkada DKI akan menjadi teladan publik, di mana kini publik telah kehilangan tokoh publik sebagai sandaran moral politik. Hampir semua elite politik hari-hari ini telah menggadaikan harga dirinya untuk memihak dan hanya menolong pada kelompoknya serta juga garis ideologi parpolnya. Negeri ini sedang dan tengah dikelola elite politik yang mengarah pada penguatan pengkotak- kotakan golongan dan ikatan primordialnya. Lihatlah, realitasnya kini hampir semua lembaga negara tengah dikaveling para elit politik satu gerbong ideologi dan berusaha untuk membuat dinasti-dinasti kecil untuk menggenggam aneka proyek dan keuntungan ekonomi politik untuk menyokong jalannya roda partai politik. Karena harus diakui pembiayaan parpol sangat mahal, sementara sumber pendanaan parpol sangat terbatas, sedangkan parpol dirancang oleh UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik sebagai organisasi nirlaba. Maka jalan satu-satunya adalah memanfaatkan aneka sumber keuangan dari pundi-pundi aneka lembaga negara yang digawangi oleh kader-kader parpol. Ketiga, secara politis sebenarnya tak cukup menguntungkan bagi Presiden Jokowi untuk menyokong atau bersikap tak netral pada salah satu calon gubenur DKI ini, karena siapa pun pemenangnya dipastikan akan menjadi pesaing Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang. Karena Pilkada DKI sejak awal hanya dipandang sebagai ajang percobaan para elite politik untuk menjajaki tangga menuju Pilpres 2019 mendatang. Pertimbangan rasionalitas politik kompetitor ini seharusnya menyadarkan Presiden Jokowi bahwa posisi kursi presiden tak akan dibiarkan tetap digenggam Jokowi hingga dua periode. Tradisi jabatan presiden dua periode ini sebagaimana dialami oleh SBY (2004-2009 dan 2009-2014) tampaknya tak akan terulang di era ini. Karena pola, cara, taktik dan aneka ragam model pemenangan Jokowi telah direkam dengan baik oleh lawan-lawan Jokowi yang kini tengah menjadi calon dalam Pilgub DKI atau elite politik di belakang tiga pasangan calon. Menjaga Indonesia dari Pilkada DKI Itulah sebabnya pilihan untuk netral dalam Pilkada DKI seharusnya menjadi cara paling bijak dan elegan bagi Presiden Jokowi, karena sesungguhnya sikap Presiden ini menjadi garansi masyarakat dunia, bahwa Indonesia telah mampu menjadi negara demokrasi yang besar. Sebab, demokrasi nasional sesungguhnya dimulai dari praktek demokrasi lokal, seperti dinyatakan oleh Tip O’Neill (1982) bahwa ”all politics is local,” maknanya jika praktik politik lokal telah senafas dengan prinsip-prinsip demokrasi maka dipastikan politik nasional akan bernafas secara naluri demokratis pula. Jangan biarkan Pilkada DKI diracuni oleh ketidaknetralan Presiden Jokowi. Jakarta adalah Indonesia, maka saatnya Presiden Jokowi menjaga demokrasi Indonesia dari Pilkada DKI
  • 7. 7 ini. AGUS RIEWANTO Doktor Hukum Tata Negara; Pengajar pada Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
  • 8. 8 Siapkah Jakarta Menyambut Gubernur Baru? 05-10-2016 Sekilas memang judul artikel ini mempertanyakan hal yang terlalu dini. Bagaimana tidak? Jangankan datang memilih di bilik suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta saja belum menetapkan secara resmi siapa saja pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan berlaga di Pilkada Jakarta 2017 kelak. Tapi, bila ditelaah lagi, judul di atas tidak terlalu dini. Ada berbagai alasan yang menjelaskan judul tersebut. Sejarah pilkada langsung di Jakarta mencatat belum pernah ada petahana yang sukses menjadi gubernur dua periode. Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada September 2016 lalu menyebutkan 82% publik Jakarta menyatakan bahwa calon alternatif bisa mengalahkan petahana. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang kemarin merilis hasil survei juga menunjukkan penurunan elektabilitas yang signifikan bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga di angka 31%. Padahal, survei Kedai-KOPI pada September 2016 masih di level 39% dan memang turun dari survei Agustus 2016 di level sekitar 41%. Gelanggang Ciptaan Megawati Saat PDIP memutuskan untuk mengusung Ahok-Djarot, publik terhenyak–termasuk saya cukup kaget mendengar keputusan itu. Keputusan yang dianggap antiklimaks karena akhirnya PDIP memutuskan untuk memberikan tiket calon gubernur bukan kepada kadernya sendiri. Ahok-Djarot pasti menang di Jakarta, itu pikir saya. Tapi nampaknya Megawati memiliki naluri politik berbeda. Patut dicitrakan bahwa Megawati paham betul dua rival politiknya tidak akan tinggal diam menyerahkan Jakarta begitu saja. Mega memaksa SBY dan Prabowo membuka kartu jagoan mereka lebih cepat. Dipilihnya Agus Harimurti oleh SBY dan Anies Baswedan oleh Prabowo membawa dua keuntungan bagi Megawati, berisiko tapi risiko yang patut diperhitungkan. Megawati bisa menguji kekuatan Ahok beserta pendukungnya di internal PDIP, sekaligus menguji kekuatan PDIP di Pemilu 2019. Megawati sukses menciptakan gelanggang pertempuran yang sepadan bagi Basuki Tjahaja Purnama. Antara Agus dan Anies
  • 9. 9 Nama Agus, Anies, Silvi pernah mampir di meja diskusi internal KedaiKOPI sebagai calon gubernur yang diperhitungkan bersama Rizal Ramli, Yusril Ihza, dan Tri Rismaharini, walau akhirnya perlahan menghilang dari meja diskusi. KedaiKOPI menyisakan Sylviana Murni yang tetap di atas meja diskusi bersama Djarot, Saifullah, Yusuf Mansur, Teguh Santosa, dan Marco sebagai yang berpotensial sebagai wakil gubernur. Tapi tetap saja munculnya nama Agus dan Anies cukup mengejutkan. Kemunculan dua nama ini menghidupkan kembali aroma kompetisi di Jakarta. Munculnya dua nama ini saya jamin membuat Ahok berkeringat dalam kompetisi Pilgub Jakarta. Nama Anies Baswedan mentereng di Jakarta sejak Pilpres 2014. Bahkan keputusan Presiden Jokowi untuk mengakhiri pengabdian Anies sebagai menteri di Kabinet Kerja menjadi kontroversi. Di Jakarta Anies memiliki massa sendiri. Massa loyal yang tentu saja mampu menggerus suara Ahok di Jakarta. Suara Anies dan Ahok hampir mirip di Jakarta, suara pendukung Jokowi. Nah, bisa jadi suara pendukung Jokowi yang sering berteriak ”Jokowi Yes, Ahok No!” akan berpindah ke Anies Baswedan. Bagaimana dengan Agus Harimurti Yudhoyono? Mayor Agus adalah komandan di Kesatuan 203 Arya Kamuning. Publik saat itu langsung salut dan bertanya penuh keingintahuan, mengapa Agus yang disodorkan sebagai lawan Ahok? Agus ini perhitungan matang partai pengusungnya. Agus secara alami memiliki brand kuat salah satu tokoh hebat negeri ini, Yudhoyono. Selain itu, Agus juga disosokkan sebagai orang muda, baru, bersih, dan memiliki citra disiplin yang kuat. Suara kaum muda, para loyalis SBY, dan mungkin saja barisan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah wajar bila diincar oleh pengusung Agus. Hingga kini hanya Agus Harimurti yang belum dikomentari oleh sang petahana, Ahok. Bisa jadi Ahok sungkan kepada Agus atau Ahok mungkin mengerti tidak ada bad publicity dalam politik, setiap komentar dia akan menguntungkan Agus karena hanya menambah kepopuleran anak tertua SBY ini. Satu atau Dua Putaran Pilkada Jakarta memang unik dibanding daerah lain. Di Jakarta gubernur terpilih membutuhkan 50% + 1 untuk dinyatakan menang. Nah, hingga saat ini hasil berbagai survei, termasuk survei KedaiKOPI, belum menunjukkan satu pun calon yang berhasil meraih 50% + 1. Artinya, kemungkinan besar Pilgub Jakarta akan berlangsung dua putaran. Pemenang kompetisi ini akan diumumkan Mei 2017 mendatang. Basuki Tjahaja Purnama memang masih menjadi unggulan. Tingkat kepuasan publik terhadap Ahok juga masih cukup tinggi, tapi ini belum jaminan dirinya lolos ke putaran kedua, apalagi menang. Ahok dan Anies akan menilai Agus sebagai kuda hitam yang sangat diperhitungkan. Keduanya pasti berusaha agar Agus tidak lolos ke putaran kedua. Sebab, bisa jadi, bila Agus lolos ke putaran kedua, sosok anak muda berusia 38 tahun ini akan membuat kejutan di Jakarta.
  • 10. 10 Pilihan ada di tangan para pemilik suara. Saat ini semua calon berstatus sama, tidak ada yang pernah menang sebagai gubernur Jakarta. Publik tidak hanya akan melihat pertarungan episentrum Teuku Umar-Cikeas-Hambalang. Tapi publik juga akan menantikan kepada siapa aroma Jokowi yang masih sangat kuat hinggap di salah satu calon. Jokowi dikenal sebagai tokoh cerdik yang sulit ditebak, jadi bisa jadi tebakan kita tidak tepat. Akhirnya kita yang harus memutuskan, sosok tokoh baru sebagai gubernur Jakarta atau sosok pengganti gubernur hasil Pilgub 2012 lalu. HENDRI SATRIO Founder Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia); Akademisi Universitas Paramadina
  • 11. 11 TNI Birawa 05-10-2016 Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tercatat, Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah organisasi pengabdian warga negara Republik Indonesia pada profesi militer yang oleh konstitusi UUD 1945 diamanatkan sebagai alat pertahanan negara untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Di masa lalu pemerintah sangat dominan di hampir semua sektor penyelenggaraan negara yang lazim disebut otoritarian dengan menempatkan ABRI (TNI-Polri) dalam posisi ketat mengawal pemerintah dengan status sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (hankam) dan kekuatan sosial politik (sospol) yang dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Dominasi peran ABRI kemudian berubah seiring era Reformasi. Reformasi TNI selain di bidang struktur dan doktrin juga terhadap aspek kultur, ibarat mengubah kebiasaan lama yang sudah melembaga terbentuk. Sejak 1998 TNI telah bekerja keras melakukan perubahan- perubahan mendasar berbagai tatanan, pola pikir, dan perilaku untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan era demokrasi. Tidak dapat disangkal perubahan mendasar selama 18 tahun masih meninggalkan kesan sikap trauma, hati-hati, bahkan apatis terhadap fenomena kehidupan politik nasional. Reformasi internal TNI yang hingga kini diteruskan oleh generasi TNI sangat memerlukan kualitas integritas kepemimpinan TNI yang konsisten dan komitmen terhadap jati diri TNI seperti yang dituntut oleh undang-undang. Politik Negara Politik TNI adalah politik negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Panglima Besar Soedirman sudah dipatrikan dalam makna Sapta Marga sebagai prajurit pejuang, prajurit rakyat, prajurit nasional, dan prajurit profesional. Di masa kini dan mendatang pada era demokrasi yang penuh keterbukaan, akan sangat berbeda dengan masa lalu yang hitam-putih memosisikan TNI dalam dua jenis misi di atas. Di sini perlu kecermatan kepemimpinan dan manajemen TNI untuk menegaskan secara eksplisit kepada segenap prajurit. Rambu-rambu pelaksanaan misi negara di dalam iklim demokrasi yang memberikan ruang interaksi sipil-militer perlu menjadi pedoman. Hal ini penting mengingat pergerakan demokrasi di Indonesia begitu cepat sehingga memungkinkan fenomena demokrasi memberikan imbas dan menggelitik pribadi prajurit.
  • 12. 12 TNI sudah membuka pintu yang luas bagi bangsa di era Reformasi untuk meneropong perjalanan TNI dari masa ke masa. Bagi TNI, hal ini tentu memberikan manfaat ganda bagi kehormatan dan nilai moral yang senantiasa menjadi tanggung jawab generasi TNI. TNI yang tegas menerjemahkan esensi dan makna politik negara akan menghindari tafsiran tersamar dari publik yang seolah-olah TNI berdwifungsi. Memang kita masih sering mendengar pertanyaan dalam obrolan bebas di masyarakat, bagaimana TNI bersikap jika negara dan bangsa mengalami turbulensi? Bagaimana status legitimasi dan legalitas TNI dalam misi negara tunduk kepada otoritas sipil yang berdaulat untuk lingkup penugasan pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis? TNI bukan penentu akhir, melainkan elemen utama negara untuk menyelamatkan kelangsungan hidup negara dan bangsa. Sebagai militer profesional, TNI senantiasa diharapkan secara independen menyampaikan pemberitahuan dini kepada negara terhadap berbagai fenomena yang berpotensi menimbulkan destabilisasi kelangsungan hidup dan keselamatan bangsa. Sikap independen adalah tuntutan profesionalitas militer secara universal yang berpegang kepada prinsip netral dan imparsial. Sikap independen ini pula menjadi rambu pengaman bagi TNI terhadap kesan publik yang mencari celah dari sikap dan gerak-gerik yang belum tuntas menghayati dan menjalankan reformasi kultur TNI, yaitu mengubah rasio dan rasa lama yang sudah tidak relevan bahkan dapat menimbulkan noda kehormatan TNI. Integrasi dan Integritas Suatu keniscayaan perlunya integrasi nasional dalam era demokrasi, diintesifkannya kerja sama sipil dan militer untuk bahu-membahu dalam memikul beban politik negara. Pergeseran iklim konflik pada Abad XXI ke dimensi baru konflik tidak beraturan yang dikenal sebagai perang asimetrik dengan padanan teknologi menjadi opsi efektif dibandingkan penggunaan hard power yang menggunakan peralatan militer berat di semua spektrum perang, baik di darat, laut dan udara, dengan persyaratan memerlukan kemampuan ekonomi yang tinggi. Padahal, kondisi ekonomi global mengalami perlambatan yang sangat pelan dan cenderung negatif. Kini secara universal kekuatan militer lebih mengutamakan untuk misi kemanusiaan dan misi negara demi menjamin stabilitas dan kedaulatan serta tugas perdamaian dunia. Indonesia mencatat penanganan konflik dalam negeri cenderung diselesaikan melalui diplomasi, walaupun diakui bahwa operasi militer berperan besar dalam mendorong terbentuknya ruang diplomasi penyelesaian konflik. Tantangan integritas TNI adalah bersikap ”tidak” terhadap godaan kepentingan. Selain ini merupakan nilai moral tertinggi sebagai kehormatan TNI yang ditebus dengan keringat dan darah, juga menjadi sabuk pengaman bagi TNI di semua lini keprajuritan. Tanggung jawab
  • 13. 13 kewenangan yang hanya mampir seketika di pundak TNI akan menjadi modalitas besar bagi pengakuan bangsa dan negara hendaknya patut dijaga, agar sistem tidak mengalami distorsi. Lebih dari itu, revitalisasi manajemen dengan berbagai terobosan sistemik diperlukan dengan semangat jiwa korsa yang menyatukan rasa dan rasio dari para perwira dan prajuritnya, sehingga memastikan TNI menjadi kekuatan yang dahsyat dan mengagumkan. Dirgahayu TNI. LETJEN TNI (PURN) SJAFRIE SJAMSOEDDIN Kepala Pusat Pengkajian Strategi Nasional
  • 14. 14 Kebersamaan TNI-Rakyat 06-10-2016 Setiap 5 Oktober kita memperingati Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI). Kita semua tentu mengucapkan selamat sambari berharap TNI semakin kuat menjaga kedaulatan Republik. Kekuatan TNI tidak hanya bertumpu pada gelaran senjata (alutsista) yang dimiliki, tetapi juga pada kemampuan TNI mendefinisikan ancaman secara tepat dan meresponsnya secara tepat. Tidak kalah penting bagaimana TNI mampu mengagregasikan potensi kekuatan rakyat sebagai kekuatan utama negara. Maka, sangat tepat motto HUT yang digagas TNI sejak beberapa tahun terakhir yang mengafirmasi kebersamaan TNI dengan rakyat merupakan faktor utama yang menjadikan TNI kuat, hebat, dan profesional. Hal ini ditegaskan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam amanatnya pada HUT TNI di Mabes TNI Cilangkap (Rabu, 5/5) yang mengatakan agar TNI selalu terus hidup berdampingan bersama rakyat karena hal ini merupakan ciri dari TNI yang tidak boleh pudar. Bersama rakyat TNI kuat. Jika kita baca sejarah lahirnya, TNI memang tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, cikal bakal TNI adalah laskar-laskar rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata seadanya untuk melawan penjajah dengan persenjataan yang modern di masanya. Maka, raison d’ etre TNI ya rakyat itu sendiri sehingga sangat tepat jargon yang sering kita baca dan dengar: bersama rakyat TNI kuat. Rakyat sebagai kekuatan utama tidak diragukan lagi. Rakyatlah yang berjuang merebut kemerdekaan saat TNI belum terbentuk. Dus, keinginan kuat TNI untuk selalu bersama—dan menumbuhkan potensi kekuatan— rakyat menunjukkan kesadaran sejarah TNI yang bukan saja tepat, tapi juga cerdas. Kekuatan dan Ancaman Di awal artikel penulis mengatakan bahwa kekuatan TNI utamanya terletak pada kemampuan mendefinisikan (potensi) kekuatan negara berikut ancamannya secara tepat pada era yang terus berubah. Dalam konteks ini, TNI secara tepat mendefinisikan hal tersebut dalam dua tema yang selalu didengungkan oleh TNI yaitu ”semangat gotong-royong” dan ”ancaman perang proxy.” Dua tema ini sejatinya berfokus pada satu hal yaitu ”kekuatan rakyat”. Pesannya jelas sebagaimana ungkapan masyhur Bapak TNI Panglima Besar Jenderal Sudirman: Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tidak ada kekuatan tanpa persatuan, dan tidak ada persatuan tanpa silaturahmi. Indonesia kuat dan jaya jika rakyatnya bersatu dan pengejawantahan persatuan yang paling konstruktif adalah dalam bentuk semangat ”gotong-
  • 15. 15 royong”. Sementara ancaman terbesar terhadap jiwa dan semangat gotong-royong adalah upaya pecah belah dalam bentuk ”perang proxy.” Kurang-lebih satu tahun silam Fraksi PKS DPR secara khusus mengundang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mempresentasikan perspektif dan analisisnya terhadap permasalahan kebangsaan pada Seminar Nasional F-PKS dengan tema ”Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan” (26 Agustus 2015). Dalam seminar tersebut, Panglima TNI secara jernih mengulas anatomi masalah kebangsaan kita sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki bangsa ini untuk menyelesaikannya. Panglima mengajak hadirin untuk merefleksi betapa hari ini kita kehilangan karakter sebagai sebuah bangsa yang santun dan gotong-royong. Betapa sulit sesama anak bangsa saling memuji, sebaliknya betapa sering kita dengar saling menuduh dan menyalahkan. Rakyat sangat mudah disulut konflik. Elite politik saling bertarung kepentingan dan melupakan hakikat musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Di antara lembaga-lembaga negara—pernah satu masa—bahkan kehilangan kepercayaan (trust) merujuk konflik antara KPK vs Polri, pemerintah vs DPR, yang pernah mencuat. Akibat itu, kita menjadi abai pada masalah fundamental bangsa, ikatan kebangsaan menjadi rapuh, sumber-sumber ekonomi secara tak sadar dikuasai dan dieksploitasi asing, kita menjadi sulit fokus pada pengembangan ekonomi dalam negeri sebagai basic competitiveness di antara bangsa-bangsa, arah pembangunan juga menjadi kabur. Dan, fenomena inilah, menurut Panglima, di antara aktualisasi perang proxy yang mengancam negara kita dan semestinya kita sadari secara serius. Perang proxy adalah istilah yang merujuk pada konflik yang terjadi di antara atau di dalam negara di mana negara/kelompok musuh tidak serta-merta terlibat langsung dalam peperangan karena melibatkan proxy alias wakil atau kaki tangan mereka. Perang proxy merupakan bagian dari modus perang asimetris yang tidak dibatasi oleh besaran kekuatan tempur dan luasan daerah pertempuran sebagaimana dalam perang konvensional. Perang ini terjadi di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara serta tidak terlihat karena menggunakan segala macam cara. Ancaman perang ini semakin sulit ditangani karena sifatnya yang terselubung, musuh yang tak tampak, tapi sangat efektif melumpuhkan kekuatan inti negara. Ia bisa berupa serbuan budaya dan ideologi destruktif, media yang merusak, eksploitasi sumber daya alam, dan perusakan generasi bangsa melalui narkoba dan pergaulan bebas, termasuk upaya menyulut konflik antarsesama anak bangsa dengan isu-isu tertentu. Itu semua dilakukan melalui pihak ketiga dan strategi ini terbilang lebih efektif daripada berhadap-hadapan secara diametral. Solusi dan Harapan Menghadapi tantangan dan ancaman nyata tersebut kita tentu menyambut baik upaya TNI yang secara aktif melakukan sosialisasi dan program kemitraan dengan seluruh elemen
  • 16. 16 bangsa untuk menumbuhkan kembali jiwa dan semangat gotong-royong dan menghadang setiap upaya pelemahan negara dalam bentuk perang proxy. Di sinilah seruan Panglima yang mengajak kita untuk menengok kembali nilai Pancasila menjadi sangat relevan. Pancasila sejatinya memberikan alas yang kokoh bagi kebangsaan kita sejak sila pertama hingga mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat sila kelima. TNI bisa diharapkan menjadi yang terdepan dalam mempertahankan ideologi Pancasila, Maka, respons tegas TNI terhadap ancaman ”bangkitnya” paham komunisme (termasuk juga liberalisme) adalah satu hal yang membanggakan dan kita dukung penuh. TNI juga aktif mengarusutamakan ancaman perang proxy. Sejauh ini hanya TNI yang begitu serius dan konsen terhadap ancaman nyata yang merasuki berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini. Maka, kita berbangga hati dengan langkah TNI melakukan penandatanganan pakta pertahanan perang proxy media dengan belasan lembaga/organisasi dalam rangka memerangi ancaman perang proxy media beberapa waktu silam, sembari berharap agar kerja sama ini semakin diperluas tidak hanya dengan kalangan media dan masyarakat sipil, tapi juga dengan elemen pendidikan, aparatur negara, lembaga-lembaga negara, dan tak kalah penting dengan elemen politik (partai politik). Fraksi PKS memastikan akan mendukung dan ambil bagian dalam pakta pertahanan perang proxy ini. Terakhir, penulis berharap agar TNI mempertahankan loyalitasnya semata-mata untuk kepentingan rakyat dan negara dengan menjaga netralitas dan independensinya atas semua kepentingan politik dan golongan. Tetaplah bersama rakyat dan jangan pernah berhadap- hadapan dengan rakyat karena di sanalah letak kekuatan utama TNI dalam menjaga kedaulatan Republik. Dirgahayu TNI Ke-71. Tabik. DR JAZULI JUWAINI MA Ketua Fraksi PKS DPR RI; Anggota Komisi I DPR
  • 17. 17 Tambang Ditembak, Reklamasi Dibiarkan 06-10-2016 Sejarah tambang, begitu juga sejarah reklamasi, harus diakui, bukan sejarah tentang uang, suap, trik kotor, kongkalikong, dan lainnya, tetapi mengabaikannya sama sekali, sungguh, bukan pilihan bagus. Uang besar mungkin bukan hal utama yang diburu dalam dua soal itu. Tetapi, kalau keduanya tak menjanjikan uang besar, tak banyak yang akan memburunya. Itulah sebab utama negara, di mana pun, harus mengatur, dalam arti mengendalikan pengelolaannya. Hukum, karena takdir politiknya, diandalkan semua negara untuk dua urusan itu. Menariknya, 3.966 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan setelah diundangkan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara bermasalah secara hukum. Menariknya, izin pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta, untuk sebagian, juga bermasalah secara hukum. Dari peradilan tipikor pusat nyaring terdengar triliunan rupiah uang, berlabel kontribusi, diberikan pengusaha kepada Pemerintah DKI Jakarta, tentu karena disyaratkan oleh Pemerintah DKI. Administrasi Negara Masalahnya adalah rezim hukum manakah yang harus digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari izin, baik izin usaha pertambangan (IUP) maupun reklamasi? Hukum pidanakah atau hukum administrasi negara yang harus digunakan? Harus diingat konsekuensi dan prosedur penggunaan dua hukum berbeda, karena esensinya maupun sifatnya, memang berbeda. Hukum administrasi negara, demikian juga hukum pidana, dalam sistem hukum Indonesia, tidak sekalipun menunjuk satu hukum, dalam arti undang-undang spesifik. Norma hukum administrasi negara, begitu juga pidana, tersebar pada berbagai undang-undang (UU). UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sekadar sebagai contoh, adalah dua UU yang selain berisi norma administrasi negara, juga norma pidana. Karakter hukum administrasi negara dalam dua UU tersebut, terlihat, untuk sebagian, dari norma yang mengatur wewenang pejabat tata usaha negara, syarat dan prosedur perolehan izin, plus sanksi administrasi. Peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi atau pencabutan IUP atau reklamasi, jelas berkapasitas hukum sebagai sanksi administrasi. Esensi fungsional wewenang, mengualifikasi wewenang menjadi dasar sahnya pejabat tata usaha melakukan tindakan tata
  • 18. 18 usaha negara. Di sisi lain, dalam sifat fungsionalnya, wewenang membatasi dirinya sendiri atau jangkauannya sendiri. Keduanya menjadi parameter primer penentuan apakah wewenang tersebut dilampaui, disalahgunakan, atau tidak. Wewenang menerbitkan IUP, oleh pembentuk UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba, diletakkan pada sejumlah figur tata usaha negara. Figur-figur itu adalah menteri, gubernur, bupati, dan wali kota. Penyebutan figur-figur ini, dalam dirinya, bernilai hukum sebagai penentuan batas wewenang. Dalam hal wilayah IUP melintasi dua daerah otonom dalam satu provinsi, UU ini meletakkan wewenang penerbitan IUP pada gubernur. Berbeda dengan IUP yang didasarkan pada UU, reklamasi Pantai Jakarta Utara tidak didasarkan pada UU, melainkan Keppres Nomor 52/1996 tentang Reklamasi Pantai Jakarta Utara. Wewenang penyelenggaraan reklamasi, oleh keppres ini, secara tegas diletakkan pada gubernur, siapa pun orangnya. Soal hukumnya adalah apakah terminologi menyelenggarakan reklamasi bernilai hukum pemberian wewenang kepada gubernur DKI menerbitkan izin reklamasi kepada pihak ketiga? Jelas tidak. Mengapa? Keppres mengharuskan Pemda DKI membentuk Badan Pelaksana Reklamasi, sebagai penyelenggara teknis reklamasi. Badan ini, begitulah norma dalam keppres, dimungkinkan melakukan kerja sama usaha reklamasi dengan pihak ketiga. Konsekuensi hukumnya, Pemda DKI tidak memiliki wewenang menerbitkan izin penyelenggaraan reklamasi kepada pihak ketiga, betapa pun area reklamasi yang diselenggarakan oleh pihak ketiga itu tetap berstatus hak pengelolaan dan dikuasai oleh Pemda DKI. Lurus Perbedaan memang telah menjadi penanda mungkin alamiah dalam hidup ini. Tetapi, membedakan sesuatu yang sama dalam esensi hukumnya, dalam sejarah, baik hukum maupun politik telah menjadi penanda paling hebat terhadap sejarah bergeloranya korupsi. Korupsi A ditembak, dan korupsi B dibiarkan, harus diakui, sepanjang sejarahnya, telah menjadi penyebab terbesar korupsi. Cara itu sama maknanya dengan mengundang korupsi. Melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang, dua terminologi ordiner dalam UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi, yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, telah disematkan ke Gubernur Sulawesi Tenggara, yang menerbitkan IUP. Hukum apa yang dilawan dan wewenang apa yang disalahgunakan, jelas menarik, apalagi bila dibandingkan dengan izin penyelenggaraan reklamasi pantai Jakarta Utara. Hukum positif Indonesia mengualifikasikan tindakan melawan hukum dan atau menyalahgunakan wewenang oleh pejabat tata usaha negara; menteri, gubernur, bupati, atau wali kota, sebagai tindakan melawan hukum administrasi negara, bukan pidana. Konstruksi
  • 19. 19 melawan hukumnya adalah tindakan gubernur dalam menyelenggarakan administrasi negara bertentangan dengan UU atau menyalahgunakan wewenangnya, atau melampaui wewenangnya. Konsekuensi hukum yang timbul adalah konsekuensi administrasi negara. Apabila pejabat tata usaha negara memiliki wewenang, tetapi disalahgunakan, konsekuensinya IUP atau izin reklamasi yang telah diterbitkan, demi hukum, harus dibatalkan. Sebaliknya, bila pejabat tata usaha negara tidak memiliki wewenang, karena tidak diatur dalam UU, izin yang telah diterbitkan, demi hukum, harus dianggap tidak sah dan harus dikualifikasi tidak pernah ada, null and void. Surat keputusan pemberian izin, apa pun itu, termasuk dan tidak terbatas pada IUP dan reklamasi, yang didasarkan pada keadaan materiil yang cacat, bisa dibatalkan, bukan serta- merta batal. Cacat materiil itu bisa terjadi karena kekeliruan menilai atau salah kira atas materi yang dijadikan dasar terbitnya izin-izin itu. Cacat materiil ini juga dapat dikonstruksi sebagai tindakan melawan hukum, setidak-tidaknya bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik. Tetapi, sekali lagi, tidak serta-merta batal. Ini disebabkan hukum administrasi negara menempatkan prinsip legalitas, acapkali disinonimkan dengan rechtmatigheid, dalam seluruh penyelenggaraan administrasi negara. Pada titik ini, tembakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), dan rusaknya senjata KPK dalam kasus reklamasi pantai utara Jakarta, menarik. Tidakkah tindakan keduanya adalah tindakan tata usaha negara, tetapi tindakan gubernur Sultra dikualifikasi melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan, lalu tetapkan jadi tersangka, sementara tindakan Gubernur DKI tidak melawan hukum dan tidak menyalahgunakan kewenangan? Tidakkah Gubernur DKI telah kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dengan akibat surat keputusannya dibatalkan? Apalagi, ada nyanyian tentang kontribusi korporasi triliunan rupiah, yang membahana di Pengadilan Tipikor Jakarta. Hukum, sesuai asal-usulnya, harus diakui, diandalkan sebagai salah satu cara depersonalisasi hasrat dan orientasi penguasa. Personalisasi hukum, sesuai asal-usulnya pula, selalu berbahaya. Berbahaya, karena sejarahnya menceritakan betapa personalisasi hukum menjadi penyebab terbesar bergeloranya korupsi. Itu sebabnya gemuruh grand corruption pada awal terbongkarnya kasus dugaan suap-menyuap pembentukan ranperda, kata orang, reklamasi menjadi signifikan. Signifikan, karena gemuruh itu menjanjikan jalan lurus, sebuah jalan terdekat ke keadilan. Lurus di jalan tambang, betapa pun jalan itu berduri, mengharuskan jalan yang sama harus dilalui dalam kasus reklamasi. Jalan ini mungkin akan dinilai sebagai cara meniadakan kemungkinan grand corruption berubah menjadi grand kerupuk. Keraguan terhadap
  • 20. 20 keabsahan, dasar hukum, uang kontribusi korporasi ke Pemda DKI, bisa menjadi pintu menuju jalan lurus itu. MARGARITO KAMIS Doktor Hukum Tata Negara; Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
  • 21. 21 Pelajaran Berharga dari Pilkada Jakarta 07-10-2016 Berbeda dengan suasana awal pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta yang terkesan adem-ayem dan harmonis, saat ini suasana panas mulai tampak akibat komentar masing-masing kandidat terhadap kandidat yang lain. Sebelumnya tiga pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta 2017, ketika bertemu saat menjalani tes pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Mintohardjo, Jakarta Pusat, akhir September lalu, alih-alih saling melontarkan sindiran atau kritik, justru dalam pertemuan itu tiga pasangan calon mengabadikan momen dengan melakukan selfie bersama. Tetapi, masa bulan madu itu tampaknya tidak berlangsung lama. Kini tanda-tanda persaingan antarkandidat menjadi lebih terbuka mulai sedikit terlihat. Isu- isu tentang perlu-tidak para kandidat ikut program tax amnesty, masuknya nama salah satu calon dalam Panama Papers, sikap kandidat yang dinilai kerapkali arogan, kandidat yang dinilai masih terlalu dini dan belum layak untuk menjadi salah satu kandidat pilkada, dan saling serang kata dan klaim antarkandidat pelan-pelan mulai muncul ke permukaan. Ke depan apakah persaingan antarkandidat Pilkada DKI Jakarta akan makin menguat, makin keras, atau tetap dalam proporsi yang bisa diterima secara adab, tentu kita masih harus menunggu karena waktulah yang akan menentukan apa yang bakal terjadi kemudian. *** Kalau melihat foto selfie bersama tiga pasangan calon di awal mereka berjumpa, di mana di sana semua pasangan muncul dengan wajah yang gembira dan tawa yang lebar, masyarakat niscaya ikut bergembira dan berharap pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung lancar–tanpa harus diwarnai dengan kasus-kasus, apalagi aksi anarkistis yang merusak citra pesta demokrasi. Foto selfie bersama tiga pasangan yang belakangan ini menjadi viral di media sosial memperlihatkan seolah mereka bukan pasangan calon yang hendak bertanding dalam Pilkada DKI Jakarta yang sangat prestisius bagi partai-partai yang mengusung masing-masing calon jagoannya. Foto bersama seluruh pasangan yang akan bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta ini sungguh sangat menyejukkan dan merupakan indikasi bahwa Pilkada akan memasuki era baru, sebuah era persaingan program yang rasional–dan bukan lagi era persaingan antarcalon yang hanya memanfaatkan kelebihan figur dan kelihaian memainkan isu SARA. Benarkah demikian?
  • 22. 22 Di luar dugaan dan spekulasi yang muncul di media tentang siapa yang akan muncul sebagai kandidat, pasangan yang resmi diusung partai untuk bersaing di Pilkada DKI Jakarta ternyata adalah orang-orang dengan kapasitas dan reputasi yang baik. Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa dalam Pilkada DKI Jakarta akan muncul penggunaan isu-isu yang berbau SARA untuk menohok Ahok kemungkinan besar tidak akan terjadi–minimal tidak akan muncul dari pasangan yang resmi mencalonkan diri dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta. Seluruh peserta yang bertarung niscaya telah menyadari bahwa pada era demokrasi dan tingkat literasi masyarakat yang tinggi seperti sekarang ini, memainkan ”kampanye hitam” untuk menyerang lawan justru akan berakibat fatal yang merugikan dirinya sendiri. Para calon gubernur DKI Jakarta mulai dari Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, semua adalah sosok yang selama ini dikenal jauh dari kebiasaan mempergunakan isu SARA untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks seperti ini, Ahok-Djarot sebagai pasangan petahana tampaknya harus bekerja ekstrakeras karena tidak lagi dapat menikmati posisi lebihnya sebagai calon yang teraniaya dan didiskriminasi dengan isu SARA yang sebetulnya akan kontraproduktif bagi orang yang memanfaatkannya sebagai senjata menyerang dan untuk menjatuhkan lawan politiknya. *** Kalau melihat figur yang mendaftar dan bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta, harus diakui kini tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk mencemaskan kemungkinan munculnya ihwal yang tidak diinginkan selama pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta. Dengan memulai era pertarungan antarkandidat melalui foto bersama yang elegan dan guyub, ketiga calon pasangan tampaknya ingin mengajak seluruh warga masyarakat untuk memulai era baru dalam pertarungan politik yang bermartabat. Tetapi, apakah sikap bijak dan elegan dari tiga pasangan calon yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta akan juga diikuti para konstituen dan tokoh-tokoh partai yang mendukung mereka? Justru di titik inilah sebagian masyarakat mengkhawatirkan masih ada celah-celah yang dapat menarik kembali awal persaingan sehat antarkandidat ke bentuk pertarungan keras seperti yang selama ini terjadi di berbagai pilkada. Banyak pihak mafhum bahwa lebih dari sekadar pertarungan antarkandidat dalam Pilkada DKI Jakarta, kalau melihat siapa tokoh-tokoh di balik pengusung para kandidat, pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta sesungguhnya adalah pertaruhan politik yang setara dengan pilpres. Kenapa demikian? Karena, tokoh-tokoh utama pengusung antarkandidat, baik itu Megawati, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh-tokoh yang sebelumnya bersaing ketat dalam pilpres yang digelar di Tanah Air. Sehingga, siapa yang mereka dukung saat ini boleh jadi adalah representasi dari kelanjutan pertarungan di antara mereka sebelumnya.
  • 23. 23 Memang, kalau merujuk pada reputasi pasangan yang bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta, siapa nanti yang menjadi pemenang dalam pilkada, niscaya pasangan-pasangan lain yang memang kalah akan bersedia secara jantan menerima kekalahan mereka secara elegan seperti biasa terjadi dalam pemilu presiden di Amerika Serikat. Di AS sekali pun calon yang memang belum resmi diumumkan di sana sudah ada tradisi lawan politik yang kalah biasanya akan sudah memberikan ucapan selamat secara elegan. Dengan latar belakang pendidikan dan reputasi masing-masing calon yang bertarung, kemungkinan mereka untuk mau bersikap elegan niscaya akan dilakukan. Pertanyaannya kemudian, apakah para pendukung di balik majunya calon yang bertarung akan mau belajar untuk sama-sama bersikap elegan jika calon yang mereka dukung kalah? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu masih harus menunggu waktu. Tetapi, sepanjang para pasangan yang bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta sejak awal hingga akhir terus bermain cantik, elegan, dan menempatkan persaingan antarprogram sebagai dasar persaingan antarkandidat, kemungkinan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta bakal ternoda akan dapat dieliminasi. Menurut saya, tantangan yang dihadapi tiga pasangan yang bersaing dalam Pilkada DKI Jakarta, bukan hanya bagaimana mereka memenangkan persaingan dengan calon yang lain. Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana tiga kandidat dapat ”menjaga jarak” dari pengaruh tokoh pendukungnya dan kemudian memperlihatkan kemandirian dan kompetensinya sebagai calon yang memang pantas memimpin Jakarta. BAGONG SUYANTO Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
  • 24. 24 Polisi Dan Dimas Kanjeng 08-10-2016 Ketika pada 2007 berkunjung ke Suriah, saya bersama AM Fatwa, Wakil Ketua MPR saat itu, menyempatkan diri berziarah ke Masjid Agung Umayyah di Damaskus. Di kompleks masjid yang bersejarah itu ada sebongkah batu besar hitam kecokelatan berdiameter sekitar 2 meter. Menurut guide yang mengantar kami, batu itu jatuh dari langit sekitar 3.000 tahun yang lalu. ”Bagaimana bisa diketahui ia jatuh dari langit 3.000 tahun yang lalu?” tanya AM Fatwa serius. Guide itu gelagapan tak bisa menjawab. Ketika ditanya lagi oleh AM Fatwa guide itu pun tetap tak bisa menjawab. Maka sayalah yang mengambil alih memberi jawaban. Saya bilang, dulunya batu itu sudah dibawa ke semua laboratorium tercanggih di dunia, tetapi tak bisa diketahui juga umur dan asal kedatangannya. Sampai-sampai badan intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Uni Soviet (KGB) pun saat dimintai bantuan tetap gagal mengungkapnya. ”Setelah semua gagal mengungkap diundanglah polisi dari Indonesia agar menyelidiki batu itu. Setelah dihajar habis oleh polisi dari Indonesia, barulah batu itu mengaku terus terang bahwa dirinya jatuh dari sebuah bintang 3.000 tahun yang lalu,” imbuh saya. Pak Fatwa tertawa lepas dan mengakhiri pertanyaannya. Cerita canda bersama Pak Fatwa itu tebersit kembali dari kenangan saya ketika saya terlibat dalam acara dialog di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas, Selasa malam lalu. Pada acara itu pimpinan Komisi III DPR-RI Benny K Harman mengatakan bahwa dalam mengungkap kasus Dimas Kanjeng yang sekarang menjadi tersangka penipuan dan diduga kuat mengotaki pembunuhan dua ”santrinya” itu polisi telah menghajar habis-habisan enam terduga pelaku eksekutor pembunuhan tersebut. Bahkan satu di antaranya sampai meninggal. Informasi dari Benny itu mengingatkan kita pada cara kerja polisi di era Orde Baru, menghajar habis orang yang diperiksa. Pada era Orde Baru ada kesan umum, jika menginterogasi seseorang, polisi selalu menggunakan cara kekerasan dan menghajar habis si terperiksa sampai mau mengaku. Ya batu pun kalau dihajar polisi Indonesia ”terpaksa” mengaku. Itu dulu. Apakah sekarang masih terjadi seperti yang, kata Benny, dialami para terduga pembunuh dua santri Dimas Kanjeng? Entahlah, mungkin masih. Bahkan, selain menghajar, terkadang polisi kita bisa menggunakan rayuan gombal juga. Baru-baru ini Jessica Kumala Wongso mengaku diperiksa dengan tidak etis. Ada polisi yang meminta Jessica mengaku meracuni Mirna dengan janji akan dituntut hukuman ringan dengan kemungkinan masih bisa
  • 25. 25 dapat remisi-remisi sehingga kelak bisa cepat keluar dari penjara. ”Ini menyangkut pertaruhan (karier) saya,” kata polisi itu seperti diceritakan oleh Jessica di persidangan. Bahkan ada polisi yang merayu Jessica dengan godaan genit. ”Kamu tipe saya banget, Jessica,” kata polisi itu. Oooi, masak polisi sekarang masih melakukan pemeriksaan dengan cara-cara seperti itu? Informasi dari Benny K Harman dan kesaksian Jessica mungkin tidak sepenuhnya benar dan lebih banyak dramatisasinya. Polisi penyidik dari Polda Jatim yang duduk berdampingan dengan saya pada acara di ILC itu berbisik kepada saya bahwa info itu dilebih-lebihkan. Kata sang polisi, dalam melakukan pemeriksaan, polisi mempunyai SOP yang ketat dan divideokan dari detik ke detik. Terserahlah, bagaimana faktanya. Biarlah info itu menjadi masukan untuk koreksi Polri ke dalam. Tapi dari sudut-sudut lain harus diakui ada segi-segi baik dari kerja-kerja polisi. Polisi kita dikenal bagus dan cekatan dalam mengungkap kasus, terutama kejahatan-kejahatan berdarah. Dalam kasus pembunuhan Ismail dan Gani yang diduga melibatkan Dimas Kanjeng misalnya, polisi bisa mengungkap, padahal mayat keduanya ditemukan secara terpisah di tempat yang jauh dari padepokan Dimas Kanjeng dan peristiwanya sudah lama terjadi. Polisi kita juga berhasil mengungkap dengan baik pembunuhan keji yang dilakukan Ryan terhadap belasan orang yang diduga punya hubungan ”asmara homo” dengan pemuda asal Jombang itu. Polisi kita bisa mengidentifikasi mayat yang dimutilasi dan bagian-bagian tubuhnya sudah dibuang di tempat yang terpisah-pisah. Setelah direkonstruksi dan dianalisis potongan- potongan mayat itu bisa diketahui identitasnya dan diketahui pula pemutilasinya. Polisi kita bisa menangkap pencuri bayi di rumah sakit dalam waktu singkat. Polisi kita juga bisa dengan mudah menangkap penghuni penjara yang lari dari penjara dengan menyamar sebagai perempuan dan memakai jilbab yang diberikan istrinya. Pokoknya, baguslah. Secara umum dapat dikatakan, Polri kita pun mampu bekerja dengan baik dalam kasus-kasus kejahatan yang mengerikan seperti dalam memburu terorisme meskipun, tak bisa ditampik, kadang ada penyimpangan yang menyulut protes masyarakat. Namun bersamaan dengan kehebatannya itu Polri kita masih perlu memperbaiki diri dalam penanganan kasus korupsi dan pelaksanaan interogasi. Polri harus terus membersihkan sisa- sisa kebiasaan buruk yang diwariskan Orde Baru. Akan halnya kasus Dimas Kanjeng, terlepas dari kritik yang tetap harus disikapi dengan usaha memperbaiki diri, Polri harus terus bertindak tegas. Dugaan dan sangkaan kejahatan yang dilakukan Dimas Kanjeng dalam penipuan, pembunuhan, dan penggandaan (pengadaan, penghadiran) uang harus diungkap sampai tuntas. Temuan-temuan Polri bahwa Dimas Kanjeng patut diduga dan disangka kuat telah melakukan berbagai jenis kejahatan, bukan hanya menjadi temuan sepihak dari penyelidikan
  • 26. 26 Polri, melainkan dikonfirmasi oleh laporan masyarakat dan public common sense. Maka itu permainan Dimas Kanjeng itu harus diungkap tuntas tanpa harus takut kepada orang-orang besar yang konon terlibat atau melindunginya. Ayolah Polri, majulah maju. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 27. 27 Radikalisme 09-10-2016 Saya baru pulang dari Singapura. Saya diundang sebagai salah satu pembicara di forum workshop tentang kontraradikalisme yang diselenggarakan oleh Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Techonological University (NTU), Singapura. Saya didudukkan bersama tiga peneliti lain (tentang terorisme) dari negara-negara ASEAN dalam satu panel, sedangkan panel-panel lainnya terdiri atas peneliti dan praktisi (termasuk petugas- petugas keamanan) dari beberapa wilayah lain, ada Asia, Eropa, juga Amerika Serikat. Di antara berbagai paparan ahli tersebut ada satu yang saya pikir menarik untuk saya bagi di sini, yaitu pengalaman Belgia terkait serangan teror bom pada 22 Maret 2016. Serangan bom tersebut terjadi di Bandara Brussels (2 bom) dan di Stasiun Metro Maalbeek di Brussels (1 bom), yang menewaskan 32 warga sipil dan tiga pelaku bom bunuh diri, serta sekitar 300 orang terluka. Serangan itu terjadi hanya beberapa saat setelah sel-sel ISIS dibongkar dan dihancurkan polisi di wilayah Belgia yang berbahasa Prancis (termasuk ibu kota Brussels), yang diduga terkait dengan serangan terorisme di Paris pada bulan November 2015. Dari foto-foto penggerebekan, tampak para terduga teroris sama dengan foto-foto ISIS di mana-mana, termasuk jenggot, bendera hitam, huruf Arab putih, tetapi ini di Belgia, bukan foto peresmian ISIS di Lapas Nusa Kambangan. Pasalnya, di balik jenggot dan bendera hitam itu adalah pemuda-pemuda warga negara Belgia, tetapi keturunan migran Arab Maroko dan Turki (generasi kedua atau ketiga). Mereka tinggal di jantung Kota Brussels, bukan di pinggiran seperti para migran di Paris. Konsentrasi daerah miskin bersebelahan dengan daerah kaya, hanya dipisahkan oleh sebuah sungai yang dihubungkan dengan sebuah jembatan. Di daerah miskin (slums) itulah bermukim komunitas Islam. Dulu hampir semua migran itu hanya bisa berbahasa Arab dan tidak berpendidikan sehingga kebanyakan menganggur. Sekarang 40% dari generasi muda migran sudah berpendidikan tinggi, tetapi tetap tidak tersedia pekerjaan buat mereka. Sebagai orang Maroko dan Turki, apalagi kalau orang Afrika, mereka susah diterima kerja. Orang Belgia sangat diskriminatif. Segregasi ras tetap dipraktikkan walau negaranya menganut asas demokrasi. Ada hubungan yang kuat antara diskriminasi dan ketidakadilan. Di daerah Islam yang kumuh itu banyak kasus kriminal, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi dan homoseksual. Jarak sosial antara kaya dan miskin sangat besar di Belgia dan kasatmata, karena kedua kelas sosial bertetangga yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai. Rasa ketidakadilan yang kemudian tumbuh dimanfaatkan untuk memusuhi pemerintah–”yang
  • 28. 28 mengembangkan” konsep thogut (tidak adil), kafir, dan lain-lain–dengan mengusung agama. Mengapa demikian? Intinya adalah krisis identitas. Para generasi muda migran ini tidak punya identitas. Mereka tidak diakui sebagai orang Belgia. Walaupun punya KTP Belgia dan mahir berbahasa Prancis, mereka ditolak oleh masyarakat Belgia sendiri. Di sisi lain, mereka juga bukan orang Maroko atau Turki karena mereka bersekolah di sekolah-sekolah Belgia yang tidak mengajarkan tradisi adat mereka. Sementara itu, di lingkungan keluarga di rumah tidak banyak terjadi perubahan. Tradisi adat (Islam) masih diberlakukan dengan ketat, tetapi ulama dan imam didatangkan dari Maroko atau Turki atau Mesir, yang tidak bisa berbahasa lain kecuali bahasa Arab. Karena tidak tahu bahasanya, generasi migran itu tidak salat, tidak Jumatan, apalagi ikut pengajian-pengajian yang semuanya berbahasa Arab. Mereka mengembangkan komunitas sendiri. Sebagai sumber penghasilan. mereka membuat siwak (alat pembersih gigi seperti yang dipakai Rasulullah) untuk diekspor ke Indonesia. Mereka mengembangkan perasaan ”you are the victim of the system, join us.” Maka mereka mencari makna Islam dari internet, yang justru menawarkan ajaran Islam yang radikal, bahkan sampai mengajarkan bagaimana caranya membunuh orang lain atau bunuh diri untuk mencapai korban yang maksimal di pihak kaum thogut. Itulah yang menyebabkan Ibrahim El Bakraoui (29 thn) dan Najim Laachraoui (24), keduanya tewas di Bandara Brussels serta Khalid El Bakraoui (27) yang meninggal di Stasiun Metro di Brussels. Mereka rela tewas dalam serangan bom bunuh diri yang mereka lakukan. *** Krisis identitas, segregasi, dan diskriminasi. Itulah yang menyebabkan radikalisme berkembang sampai melahirkan teror di Belgia. Di Indonesia, tidak ada segregasi dan diskriminasi, semuanya dianggap sesama pribumi dan diberi pendidikan yang sama. Karena itu, menurut saya, radikalisme (agama) yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor lain, yang berbeda dari di Belgia. Walaupun demikian, krisis identitas bisa terjadi pada siapa saja dan tidak usah terkait dengan terorisme, namun dampaknya sama (atau mungkin lebih) dahsyat dari pada radikalisme dan kekerasan. Krisis identitas yang saya maksud adalah yang bersumber pada keluarga di rumah. Sejak kecil sampai remaja anak tidak pernah mendapat apresiasi dari bapak-ibunya, karena malas, tidak masuk peringkat di kelas, dan sebagainya. Seakan-akan dia bukan anak mama dan papa. Sementara itu, di antara kawan-kawannya, anak ini juga tidak punya kelebihan apa-apa. Maka kawannya pun terbatas, dia tidak mendapat pengakuan di antara teman-temannya, karena dia bukan siapa-siapa. Tidak mengherankan jika anak-anak seperti ini gampang terpengaruh pada sosok atau pihak yang seakan-akan menawarkan solusi untuk identitas diri. Tentu saja dari teman-temannya,
  • 29. 29 atau juga bisa dari yang bukan teman (misalnya: internet dan dugem), yang akan mengajaknya ke jalur perdagangan manusia, narkoba, atau bisa juga radikalisme agama itu sendiri. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Psikologi UI, Universitas Pancasila, Universitas Persada Indonesia YAI, dan STIK/PTIK
  • 30. 30 Remisi Koruptor: Menkumham vs Presiden 10-10-2016 Zaman berubah, situasi memang berubah juga. Sistem politik berubah, hubungan menteri dan presiden juga berubah. Pada era Orde Baru, tidak ada menteri yang berani membangkang, apalagi melawan Presiden Soeharto. Suatu ketika, ada seorang menteri yang berani mengkritik sesama menteri di ruang terbuka. Pak Harto marah, lalu dipanggil dan disemprot menteri tersebut. Dan, sang menteri pun spontan meminta maaf kepada Presiden. Mengkritisi kritik ketika itu dipandang sama juga mengkritik presiden. Bukankah menteri diangkat langsung oleh presiden? Setelah Pak Harto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 yang menandakan ambruknya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki era Reformasi, era demokrasi liberal yang penuh hura-hura, dan penuh kebebasan. Anda mungkin tidak tahu bahwa Indonesia tergolong negara paling bebas dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, termasuk kebebasan pers. Perilaku media sosial, aduh—sangat disayangkan. Kebebasan menyatakan pendapat yang demikian aduhai, rupanya berimbas juga ke atas, hingga kalangan menteri, dan hubungan menteri-presiden. Dalam era Jokowi, sesama menteri bisa “saling ngotot” di ranah publik sehingga menimbulkan kegaduhan, kata seorang petinggi kita. Kalau gaduh antar sesama menteri, stabilitas pemerintah dan stabilitas politik dikhawatirkan juga terganggu. Saat ini menteri sekalipun berani tidak mengindahkan, bahkan melawan kehendak Presiden. Anda tidak percaya? Hal ini terkait sikap keras Menteri Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 22/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan dan Permasyarakatan. Wacana revisi PP Nomor 22/2012 sudah diembuskan sejak enam bulan lalu. Intinya, Laoly ingin meringankan persyaratan permohonan remisi, termasuk remisi untuk para koruptor. Alasannya, demi menegakkan hak para narapidana. Padahal, jika Anda gelar survei saat ini, 80% rakyat kita pasti menolak pemberian remisi kepada koruptor. Mereka malah menghendaki hukuman terhadap koruptor diperberat. Presiden Jokowi pun sesungguhnya menolak revisi PP Nomor 22/2012 dengan alasan yang sama: koruptor harus dibuat sejeranya, sehingga siapa saja akan berpikir 10 kali sebelum melakukan tindak kejahatan korupsi.
  • 31. 31 Untuk menggalang dukungan para ahli hukum, Menteri Hukum dan HAM pekan lalu menggelar semacam FGD (focus group discussion) di kawasan Puncak yang sejuk. Pemilihan lokasi yang begitu sejuk, mungkin, dimaksudkan supaya para peserta bisa mendiskusikan masalah remisi dengan kepala dingin. Ternyata, sebagian peserta FGD tetap berseberangan pandangannya dengan Laoly. Mereka menggugat peringatan persyaratan remisi kepada para koruptor, khususnya koruptor besar. Bagaimana sebenarnya rasional Yasonna Laoly untuk memberikan kemudahan kepada para napi koruptor mendapatkan remisi? Laoly mengaku sangat setuju (a) pemberian hukuman seberatnya kepada setiap koruptor; dan (b) hukuman berat dapat membuahkan efek jera kepada koruptor dan siapa saja yang berani coba-coba merampok uang rakyat. Namun, pengenaan efek jera itu harus berawal dari proses penyidikan, penuntutan, dan terakhir pemidanaan. Jaksa/penuntut umum harus berani menuntut hukuman seberatnya kepada koruptor. Dan terakhir, hakim tipikor harus punya keberanian menjatuhkan hukuman seberatnya kepada koruptor. Laoly memuji keberanian hakim agung Artidjo, yang kerap membuat koruptor “gemetar” dengkulnya. Jika Artidjo memimpin majelis hakim agung dalam persidangan kasasi, hampir dipastikan hukuman yang dijatuhkan akan lebih berat dibandingkan pidana yang diganjar oleh majelis hakim tinggi di pengadilan tinggi. Pengacara kondang OC Kaligis, juga anggota Badan Anggaran DPR Angelina Sondakh, misalnya, betul-betul shock ketika hukuman yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap diri mereka jauh lebih berat. Hal itu karena ada“ algojo” Artidjo di majelis hakim agung yang menyidangkan gugatan kasasi mereka. Penghukuman (berat) ada di pengadilan, kata Laoly. “Kalau di sini (Kementerian Hukum dan HAM), di tempat saya, kan pembinaan, pemasyarakatan. Kalau sudah menjalani pemidanaan maka menjadi wilayah pembinaan untuk menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat menjadi manusia yang baik.” Ia balas mengkritik mereka yang mengkritik Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat yang terkesan suka “obral” remisi. Menurut Yasonna Laoly, jika terpidana terkesan cepat menjalankan hukumannya, hal itu karena tuntutan jaksa terlalu rendah atau tidak optimal, dan hakim pun tidak berani menjatuhkan hukuman seberatnya. Karena hukuman yang dijatuhkan tergolong rendah, jangan salahkan Kemenkumham kalau kemudian terpidana pun cepat keluar penjara. Argumentasi Menkumham, menurut kita, tidak seluruhnya benar. Jika Menkumham sungguh- sungguh anti-korupsi, setidak-tidaknya ingin melihat terpidana koruptor “kapok” atas tindakan kejahatan yang dilakukannya, pihak LP (lembaga pemasyarakatan) pun tidak boleh “obral” remisi. Permohonan remisi justru harus diperberat, bukan diperingan. Yang terjadi sekarang, terpidana koruptor di Indonesia rata-rata hanya menjalankan 2/3 masa hukuman, bahkan ada yang hanya 60%. Jadi, jika ia dihukum lima tahun, misalnya, paling
  • 32. 32 banter tiga tahun masa tahanan yang dijalankannya. Macam-macam remisi yang bisa diminta, sampai terakhir remisi yang bernama “pembebasan bersyarat” hingga enam bulan. Di atas kertas, persyaratan untuk mendapatkan remisi bagi terpidana teroris, narkotika, dan korupsi cukup berat. Hal itu diatur pada Pasal 34A PP Nomor 99/2012, antara lain: (a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator); (b) telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan; (c) telah mengikuti program deradikalisasi; (d) kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (a) huruf dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam praktik, semua persyaratan itu mudah dipenuhi. Untuk persyaratan pembebasan bersyarat, juga mudah diperoleh. Pada akhirnya, yang menentukan adalah kepala LP. Dan bukan rahasia lagi, putusan kepala LP tidak jarang dipengaruhi oleh faktor xyz yang sudah sama-sama kita ketahui. Syahdan, ada anekdot yang beredar di masyarakat luas, yaitu tidak sedikit politisi, birokrat, dan penegak hukum yang nekat melakukan tindak kejahatan korupsi karena mereka tahu bahwa di “ujung lorong” sana (di LP), nanti bisa diatur. Anda dihukum lima tahun? Tiga tahun sudah cukup. Kena empat tahun? Paling-paling 2,5 tahun sudah bisa menghirup udara bebas. Kalau saya sudah berhasil mengantongi Rp2 miliar, apalagi Rp5 miliar, siapa takut? Maka kalau Menteri Hukum dan HAM betul-betul serius menjadi bagian integral untuk memerangi korupsi, perberatlah persyaratan remisi, apalagi pembebasan bersyarat. Jangan lempar kambing hitam ke jaksa dan hakim, meski kita pun harus mengingatkan jaksa dan hakim untuk betul-betul menjatuhkan tuntutan hukum dan pidana seberatnya kepada koruptor, terutama koruptor yang benar-benar sengaja menilap uang rakyat dalam jumlah besar. Presiden Jokowi sudah menyatakan secara terbuka sikapnya: menolak rencana revisi PP Nomor 99/2012. SikapPresiden, menurut keyakinan saya, pasti berdasarkan aspirasi mayoritas rakyat yang sudah muak melihat semakin maraknya praktik korupsi di kalangan pejabat, politisi, dan penegak hukum. Lalu, apa sebab pembantu presiden, yaitu Menkumham masih ngotot untuk memperjuangkannya? Agar tidak lagi terjadi polemik yang berkepanjangan dan tidak produktif, Presiden Jokowi sebaiknya segera memanggil dan memerintahkan Menkumham menghentikan wacana merevisi PP itu. PROF TJIPTA LESMANA Anggota Komisi Konstitusi tahun 2004
  • 33. 33 Revitalisasi Hukum dan Hancurnya Mutu Penegakan Hukum 10-10-2016 Revitalisasi hukum yang diinisiasi Presiden Joko Widodo hendaknya berfokus awal pada perbaikan kualitas penegakan hukum. Ibarat bangunan, penegakan hukum di Indonesia sudah mengalami kerusakan sangat parah. Demikian parahnya sehingga berbagai kalangan melukiskan situasi saat ini sebagai darurat penegakan hukum. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan institusi penegak hukum pun sudah mencapai titik terendah akibat perilaku tak terpuji banyak oknum penegak hukum. Bahkan, masyarakat pun mencatat bahwa sektor penegakan hukum tak henti-hentinya diguncang skandal. Banyak oknum penegak hukum justru menjadi bagian tak terpisah dari praktik mafia hukum dan mafia peradilan. Oknum polisi, oknum jaksa, oknum panitera hingga oknum hakim serta oknum pejabat tinggi di Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah merusak kualitas penegakan hukum. Para oknum penegak hukum itu terlibat dalam ragam tindak pidana. Ada oknum yang menjadi bagian dari sel-sel sindikat narkoba, menjadi pelindung pelaku penyelundupan, perjudian, dan prostitusi. Ada oknum jaksa menjadi makelar kasus, dan oknum panitera yang mengatur penyuapan oknum hakim. Hari-hari ini misalnya, Divisi Profesi Pengamanan (Propam) Mabes Polri masih memeriksa beberapa oknum perwira menengah (pamen) Polri, yang diduga melakukan pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode etik. Ada pamen Polri yang diduga menerima suap dari terpidana kasus narkoba atau memeras tersangka kasus narkoba. Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menindak 106 oknum jaksa sepanjang semester pertama tahun 2016. Tahun lalu Kejagung bahkan harus menindak 307 oknum jaksa. Mereka yang ditindak umumnya karena menyalahgunakan wewenang, melakukan perbuatan tercela, tebang pilih, memundur-majukan penuntutan, serta penggelapan bukti tindak pidana berupa uang. Masih lekat dalam ingat masyarakat bahwa seorang mantan ketua MK divonis seumur hidup karena terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang. Lalu, sekretaris MA pun terpaksa mundur dari jabatannya karena harus menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, mantan kepala Subdirektorat Kasasi Perdata, Direktorat Pranata dan
  • 34. 34 Tata Laksana Perkara Perdata MA bahkan sudah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan hukuman sembilan tahun penjara, karena terbukti menerima suap Rp400 juta untuk kesediaannya menunda pengiriman salinan putusan kasasi dalam perkara korupsi proyek pembangunan pelabuhan di Lombok Timur. Itulah rangkaian contoh kasus yang rasanya cukup komprehensif menggambarkan kerusakan parah kualitas penegakan hukum. Semuanya dilakukan oleh oknum terdidik, pandai serta paham dan menguasai bidang tugasnya masing-masing. Sayangnya, kualifikasi yang mereka yang mumpuni itu tidak digunakan untuk menegakan kemurnian penegakan hukum. Sebaliknya, mereka justru berperilaku manipulatif, sekadar untuk mendapatkan uang suap dengan modus memeras. Wajar jika masyarakat kecewa dan marah. Keluhan dan pengaduan masyarakat pun terus mengalir dengan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Menurut Ombudsman RI (ORI), sampai Mei 2016 saja, sudah masuk 116 aduan terkait pelayanan administrasi peradilan. Tahun 2014, ORI total menerima 256 aduan, dan naik menjadi 296 aduan pada 2015. ORI juga mencatat bahwa pengadilan negeri menjadi lembaga yang paling banyak diadukan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mencapai 394 aduan. Persepsi negatif masyarakat Indonesia terhadap buruknya kualitas penegakan hukum itu pun seakan mendapatkan pembenaran oleh World Justice Project yang belum lama ini memublikasikan Rule of Law Index 2015. Memotret praktik peradilan di tiga kota besar pada 102 negara, Indonesia diposisikan di peringkat 52. Dan, dari 15 negara Asia-Pasifik, Indonesia ditaruh di peringkat 10. Kesimpulannya sederhana saja, pun tidak baru; kualitas penegakan hukum Indonesia sangat rendah. Situasi yang menggambarkan Indonesia darurat penegakan hukum rasanya sudah terpenuhi. Persepsi publik lokal dan asing pun sama, yakni negatif. Pola Rekrutmen Melihat kerusakan parah pada aspek penegakan hukum itu, masyarakat kebanyakan, termasuk beberapa ahli hukum, berharap Presiden RI mau mengambil inisiatif melakukan perbaikan. Harapan itu terwujud dengan inisiatif Presiden melakukan revitalisasi hukum, yang akan dituangkan dalam beberapa paket kebijakan hukum, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Cakupannya cukup luas, meliputi kualitas aparat penegak hukum, reformasi perundang- undangan dan peraturan turunannya hingga penyederhanaan izin investasi. Selain itu, revitalisasi hukum juga memasukan agenda tentang membangun kesadaran masyarakat untuk taat dan tertib hukum. Sementara KPK mengusulkan masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset atau asset recovery dalam program revitalisasi hukum itu. Pendekatan hukum terhadap maraknya penyelundupan hingga masalah daya tampung penjara (lembaga pemasyarakatan) juga akan diakomodasi dalam paket kebijakan hukum itu.
  • 35. 35 Draf revitalisasi hukum sedang difinalisasi sehingga paket kebijakan hukum pertama diperkirakan akan diumumkan dalam waktu dekat. Program revitalisasi hukum dirancang oleh Kantor Menko Polhukam dengan dukungan dari kepala Kantor Staf Kepresidenan, Kapolri, Jaksa Agung, KPK, serta Menteri Hukum dan HAM. Karena cakupannya demikian luas, Presiden hendaknya perlu menetapkan prioritas. Dalam konteks ini, tentu saja Presiden harus menyerap aspirasi masyarakat. Sudah sangat jelas bahwa masyarakat sangat kecewa dengan kualitas penegakan hukum saat ini. Artinya, Presiden perlu memprioritaskan kebijakan yang mengarah pada upaya perbaikan kualitas penegakan hukum. Penegakan hukum yang rusak parah saat ini bukan disebabkan oleh ketidakmampuan aparat penegak hukum, melainkan karena faktor moral oknum penegak hukum dan pengawasan yang masih jauh dari efektif. Moralitas semua penegak hukum memang sudah coba ditegakkan dalam sumpah jabatan yang diperkuat dengan bekerjanya pengawasan internal. Namun, sudah terbukti bahwa sumpah jabatan dan pengawasan internal itu belum efektif meneguhkan moral banyak oknum penegak hukum. Berarti salah satu titik lemah ada pada tahap rekrutmen. Pola rekrutmen pada semua institusi penegak hukum perlu diperbaiki guna mendapatkan sumber daya manusia yang mumpuni dari aspek moral. Sebagai persiapan menindaklanjuti program revitalisasi hukum itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian akan menerapkan sejumlah kebijakan untuk melanjutkan reformasi di tubuh Polri. “Pertama, rekrutmen untuk menjadi polisi itu perlu diperbaiki,” kata Jenderal Tito. Selain perbaikan pola rekrutmen, Kapolri juga akan menerapkan sertifikasi bagi penyidik Polri di seluruh Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme para penyidik. Ketiga, sistem pengawasan terhadap penyidik akan lebih ketat. Kapolri akan menerapkan sistem pelaporan masyarakat untuk mengawasi kinerja penyidik Polri. Contoh rencana kebijakan internal yang akan dilakukan Polri ini amat relevan dengan harapan masyarakat tentang urgensi memperbaiki kualitas penegakan hukum. Segala sesuatunya bermuara dan ditentukan oleh faktor SDM. Dalam konteks penegakan hukum, moralitas SDM menjadi faktor yang amat signifikan. Karena itu,tidak boleh ada kecerobohan dalam pola rekrutmen. Pintar dan ahli saja tidak cukup. Setiap institusi penegak hukum harus cermat dan memberi perhatian khusus pada aspek psikologi dan moralitas individu. Faktanya memang tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi fakta ini jangan dijadikan alasan untuk asal-asalan dalam rekrutmen. Andaikata perbaikan rekrutmen dan penetapan kualifikasi dengan sertifikasi bisa berjalan, masyarakat boleh berharap akan terwujudnya perbaikan kualitas penegakan hukum. Karena itu, kreasi kebijakan internal sebagaimana digagas Jenderal Tito itu hendaknya bisa menginspirasi pimpinan institusi lainnya, seperti Kejagung, Direktorat Jenderal
  • 36. 36 Pemasyarakatan Kemenkumham, Ditjen Bea Cukai dalam konteks menangkal penyelundupan dan juga pimpinan MA. BAMBANG SOESATYO Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
  • 37. 37 Aleppo dan Gerakan Non Blok 12-10-2016 Debat kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS) antara Hillary Clinton dan Donald Trump dua hari lalu sempat menarik ketika terjadi ketidaksepahaman pendapat Trump dengan calon wakil presidennya sendiri dari Partai Republik, Mike Pence, mengenai situasi kemanusiaan yang terjadi di Suriah. Pada saat itu moderator debat, Martha Raddatz, mengutip pernyataan Pence yang mengatakan bahwa provokasi oleh Rusia harus dihadapi dengan kekuatan Amerika. Dan jika Rusia melanjutkan untuk terlibat dalam penyerangan udara bersama dengan angkatan bersenjata dari kubu Bashar al-Assad, AS perlu menyiapkan kekuatan militer untuk menghancurkan target-target militer dari rezim Assad. Trump menjawab bahwa ia tidak sependapat dengan Pence dan menurutnya yang menjadi target seharusnya adalah ISIS. Beberapa menit kemudian Trump mengatakan bahwa Iran, Suriah, dan Rusia antre ingin menghancurkan ISIS dan secara implisit ia ingin mengatakan bahwa sewajarnya mereka justru menjadi aliansi dan tidak dijadikan musuh. Pendapat Trump tentu mengejutkan karena jarang dan mungkin tidak pernah ada dalam sejarah debat yang saya ketahui bahwa ketidakcocokan pendapat antara capres dan cawapres diungkapkan terbuka untuk umum, apalagi dalam kondisi persaingan antarkubu yang sengit. Tidak hanya publik di Amerika yang menonton lewat layar televisi, tetapi juga seluruh dunia. Terlepas dari drama tersebut dan drama-drama lain terkait dengan isi perdebatan yang lebih dominan diwarnai saling serang terkait etika moral masing-masing calon presiden, saya yakin tidak banyak juga masyarakat AS dan mungkin kita yang memahami situasi yang terjadi di Suriah, khususnya kota Aleppo. Aleppo sempat menghebohkan dunia karena dokumentasi yang merekam korban seorang anak laki-laki yang luka karena aksi serangan udara dari pihak Rusia dan Angkatan Bersenjata Rusia dukungan rezim Assad. Kota Aleppo saat ini tidak lagi menjadi simbol kota industri dan keuangan terbesar kedua setelah Damaskus. Kota ini sudah terbagi-bagi wilayahnya. Terbagi antara wilayah yang dikuasai kekuatan militer dari pemerintahan Suriah rezim Assad di wilayah barat, para kelompok-kelompok pemberontak yang terdiri atas kelompok yang moderat hingga Islamic State, Al-Nusra Front, dan organisasi lain yang berafiliasi kepada Al-Qaeda. Mereka mayoritas menguasai bagian timur dari Kota Aleppo, sementara di bagian utara dikuasai oleh pemberontak dari suku Kurdi.
  • 38. 38 Terpecahnya wilayah ini membuat jalan keluar untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Aleppo sangat rumit dan sulit. Sebelum pecah perang di Suriah, kota Aleppo memiliki jumlah penduduk 2,5 juta pada 2005, paling padat penduduknya di Suriah. Namun dengan berkecamuknya perang, penduduknya berkurang hingga tinggal 1,5 juta orang. Dan, 250.000 orang yang tinggal di bagian timur Aleppo hidup terisolasi dalam kepungan senjata. Penduduk ini menderita kelaparan dan sakit karena tidak adanya akses transportasi sipil yang aman untuk logistik, makanan dan obat-obatan, sementara perang terus berlangsung tanpa henti setiap hari. Mayoritas penduduk kota ini adalah muslim Sunni dengan etnis Arab yang mendominasi dan sebagian adalah bangsa Kurdi dan Turki. Namun, kota ini juga merupakan wilayah dengan jumlah terbesar penduduk kristiani, Syiah, dan Alawite terbesar. Pembagian demografi ini juga mewakili titik-titik pertempuran yang sengit antara empat pihak yang bertikai di atas. Perang yang terjadi di wilayah tersebut mengharuskan mereka untuk terlibat mau atau tidak mau dalam milisi-milisi yang menyatakan diri berafiliasi ke setiap kelompok yang bertikai. Gencatan senjata kedua pernah terjadi pada 12 September 2016 sebagai buah perundingan antara Rusia dan AS. Proses untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata juga tidak mudah. Amerika ingin bantuan kemanusiaan disalurkan ke seluruh Suriah, terutama kota Aleppo dan sebagian dari kota Damaskus. Namun, Suriah membatasi hanya di wilayah yang tidak dikuasai oleh para kelompok ekstremis seperti ISIS atau An-Nusra, karena mereka tidak ingin gencatan senjata justru membantu kelompok-kelompok itu mendapatkan kekuatan mereka kembali. Ada pula yang berpendapat bahwa kelompok moderat sebetulnya sudah berkurang dan tinggal kelompok garis keras yang masih kuat secara militer. Di satu sisi, sulit untuk memilah secara tegas wilayah mana yang dikuasai atau tidak dikuasai oleh kelompok ekstremis itu, karena ada wilayah yang dikuasai bersama antara kelompok moderat, ekstremis, dan kelompok pro-Suriah. Namun, di sisi lain apabila informasi itu diberikan maka dapat terkuak peta kekuatan dan menjadi legitimasi bagi pemerintah Suriah untuk menyerang kelompok pemberontak baik yang ekstremis maupun moderat. Oleh sebab itu, gencatan senjata selama kurang lebih tujuh hari sebetulnya prestasi yang luar biasa. Namun, kondisi damai itu tidak berlangsung lama terutama setelah terjadi saling serang, baik pengeboman yang dilakukan oleh Suriah kepada bantuan kemanusiaan yang dituduh mengangkut persenjataan kepada kelompok pemberontak maupun serangan Amerika ke tentara Suriah yang sedang mengepung bagian timur provinsi Deir ez-Zor yang dikuasai ISIS. Saling serang itu selain membatalkan gencatan senjata, juga menggagalkan kesepakatan membangun Joint Implementation Centre yang berfungsi untuk mengidentifikasi bersama- sama wilayah yang dikuasai kelompok ISIS dan Jabhat Fateh al-Sham. *** Berbagai upaya perdamaian di Suriah atau khususnya di Aleppo terus dilakukan, namun belum ada yang menghasilkan sebuah perjanjian yang bersifat permanen. Dua hari sebelum
  • 39. 39 debat calon presiden AS dilakukan, Dewan Keamanan PBB telah membahas dua proposal solusi perdamaian bagi Suriah. Satu proposal diusung Prancis dan proposal kedua diusung Rusia. Proposal yang diusulkan Prancis menuntut dilakukannya no-fly zone in safe zones seperti yang dimaksudkan oleh Hillary Clinton dan menuntut dibukanya jalur ke seluruh wilayah untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Sementara proposal Rusia menuntut dilakukannya gencatan senjata tanpa menyebut penghentian pengeboman. Kedua proposal sama-sama gagal disetujui Dewan Keamanan PBB. Akibatnya tetap tidak ada perdamaian di Aleppo walaupun krisis kemanusiaan di sana sudah sangat memprihatinkan. Seandainya pun proposal Prancis yang menetapkan penghentian serangan udara dan diberlakukannya larangan terbang seperti yang diinginkan oleh Hillary berhasil disepakati oleh Dewan Keamanan, tidak berarti ada perdamaian yang langsung terjadi. Tidak ada jaminan yang dapat menahan Suriah dan Rusia untuk tidak melanggar resolusi itu selama mereka berpendapat kelompok ISIS masih berkuasa di beberapa wilayah. Dan apabila mereka melanggar, konflik terbuka antara Suriah dan Rusia berhadapan dengan kekuatan Barat dan kelompok pemberontak akan pecah. Dapat disimpulkan bahwa negara-negara besar penentu keputusan di PBB memang tidak tertarik untuk membuat Suriah dan Aleppo stabil. Dewan Keamanan PBB pada dasarnya sudah disfungsional, tidak bisa lagi berpihak pada penciptaan perdamaian atau misi kemanusiaan. Para negara besar pemegang veto terlibat dalam konflik ini dan mereka memilih untuk mengabaikan upaya perdamaian. Ini peringatan keras bagi Indonesia karena ada vacuum pada tata kelola global (global governance). Presiden Joko Widodo yang dinobatkan sebagai tokoh muslim berpengaruh di dunia sebaiknya memperkuat suara sebagai bagian dari Gerakan Non-Blok untuk mulai menyuarakan perdamaian di Suriah selain konsisten terus membela Palestina. Kita harus membangun kesadaran global untuk menolak bertarung pengaruh dengan cara menciptakan kekacauan politik dan destabilitas sosial di negara-negara lain. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional @dinnawisnu
  • 40. 40 Hentikan Trial by the Press 12-10-2016 Perkembangan teknologi saat ini sudah sangat maju sehingga informasi dalam bentuk apa pun sangat mudah diterima dan diakses oleh masyarakat luas, baik melalui media cetak maupun elektronik. Masyarakat aktif mengikuti perkembangan berita menarik yang disiarkan oleh pers karena kemudahan akses tersebut. Informasi berupa berita yang diberikan oleh media tersebut wajib memiliki sisi manfaat bagi masyarakat umum yang mengakses sehingga berita yang diberikan haruslah relevan dan akurat. Peristiwa hukum, apalagi dalam perkara-perkara yang menarik perhatian publik mulai dari perkara pencurian, pembunuhan, korupsi, hingga terorisme yang terjadi di Indonesia, merupakan bagian dari berita yang menarik bagi masyarakat umum dinilai dari sisi edukasi yang diberikan oleh pers. Masyarakat umum yang awalnya awam mengenai hukum mendapatkan hak-haknya untuk mengerti dan memahami apa yang terjadi melalui berita yang disajikan oleh pers. Di lain sisi, pers memiliki kesempatan untuk memberikan supervisi bagi jalannya penegakan hukum di negara ini, tentunya dengan tetap mengindahkan nilai-nilai etis dari jurnalistik dan penegakan supremasi hukum. Masyarakat umum bebas memilih berita yang disajikan oleh berbagai macam media massa, namun harus jeli dalam memilih berita apa yang akan diserap dan respons apa yang harus diberikan terkait berita tersebut. Namun, sebagai penerima berita yang memiliki kapasitas untuk memahami berita tersebut dengan cara yang berbeda-beda, masyarakat umum cenderung tidak bisa objektif dalam memandang sebuah peristiwa hukum. Secara umum prasangka itu akan selalu ada. Di sinilah pengadilan harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Proses hukum haruslah dijalankan sesuai dengan due process of law yang menaungi prinsip-prinsip peradilan yang jujur dan tidak memihak, atau yang sering disebut dengan istilah “fair trial”. Pengadilan adalah sarana satu-satunya dan terakhir dalam rangka menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Persidangan perkara pidana dugaan pembunuhan terhadap Mirna yang sedang berjalan saat ini sangat menarik perhatian publik, bahkan ruang sidang pun selalu penuh baik oleh hadirin sidang maupun jurnalis dari berbagai media massa. Masyarakat umum merasa menjadi bagian dari proses hukum dalam perkara ini. Padahal, berbagai macam prasangka, asumsi, dan penafsiran sebaiknya tidak terlalu diekspos oleh media karena persidangan yang masih berjalan saat ini. Semua proses dalam persidangan seharusnya dijalankan dalam rangka memenuhi prinsip due
  • 41. 41 process of law antara lain hearing, counsel, defense, evidence, dan imparsialitas serta fair trial. Majelis hakim harus memiliki keyakinan dalam menyatakan apakah perbuatan terdakwa terbukti atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Tidak boleh ada keraguan di dalamnya (beyond reasonable doubt). Jadi, perdebatan di luar persidangan saat ini tidaklah signifikan dan dapat dikatakan mengganggu proses menggali kebenaran dan menegakkan keadilan. Majelis hakim membutuhkan konsentrasi yang amat tinggi dalam menyusun putusan tanpa terpengaruh oleh pihak mana pun. Tanggung jawab majelis hakim adalah kepada Tuhan, bukan kepada masyarakat. Karena itu, dalam putusannya selalu disebutkan: ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dua belah pihak dan publik harus menghormati putusan majelis hakim. Jika ada keberatan dari putusan majelis hakim nanti, ada koridor hukum yang bisa dipergunakan, yaitu melalui upaya hukum banding dan kasasi, bukan melalui spekulasi dan komentar yang melecehkan apalagi menghina pengadilan. Water Lippmann (1922) pernah berkata, ”News and truth are not the same thing and must be clearly distinguished ”. Fungsi berita adalah untuk menginformasikan sebuah kejadian, namun adalah tugas lembaga peradilan untuk menggali kebenaran dan keadilan. Jangan sampai ada pengadilan di luar lembaga peradilan yang akhirnya menjurus pada contempt of court. Di sini wibawa pengadilan dan hak asasi terdakwa yang menjadi taruhannya. Terdakwa juga memiliki hak untuk tidak diintimidasi dengan prasangka karena prinsip- prinsip fair trial menjamin hak terdakwa untuk berada di dalam perlindungan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Ini bagian dari due process of law atau suatu proses peradilan yang adil. Ke depan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu merumuskan pedoman dan tata cara penyiaran sebuah persidangan. Hal ini diperlukan agar terdapat panduan yang jelas bagi para wartawan yang bekerja di lapangan sehingga tidak melewati batas-batas peliputan yang dapat mengingkari due process of law. Begitu pula dengan Dewan Pers perlu menyusun panduan serupa sehingga peliputan berita yang dilakukan para wartawan tetap menjamin hak-hak terdakwa dan tidak memengaruhi independensi dan imparsialitas hakim. Peliputan berita hukum tidak seharusnya melenceng dari misi pemberitaan pers dan berisi fakta dan bukan kesimpulan atau pendapat yang tidak sesuai dengan tujuan jurnalis menyajikan fakta kepada masyarakat. Pers juga diharapkan tidak menyajikan berita yang bersifat spekulatif dan provokatif. Pers yang sehat sebagai salah satu pilar demokrasi sangat berperan untuk menentukan kemajuan atau kemunduran hukum dan rule of law di suatu negara, termasuk di Indonesia.
  • 42. 42 FRANS H WINARTA Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
  • 43. 43 Memerangi Pungli Birokrasi 13-10-2016 Presiden Jokowi menyatakan perang terhadap pungutan liar (pungli). “Mulai hari ini (11/10/16) saya minta kepada seluruh aparat pemerintah, terutama yang melakukan pelayanan kepada masyarakat agar menghentikan pungli.” Demikian Presiden memberikan maklumat disertai ancaman pemecatan bila diketahui masih melakukannya. Tidak sekadar bicara. Presiden kemarin langsung melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bersama Menhub dan Kapolri. Hasilnya, polisi menangkap basah enam orang pelaku, uang bukti Rp95 juta, serta buku tabungan berisi uang Rp1 miliar, diduga untuk menyimpan hasil pungli untuk dibagi-bagikan ke pihak lain. Melihat hasil sekecil itu dan melibatkan Presiden secara langsung, DPR berkomentar negatif. Menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, aksi Presiden itu hanya untuk menutupi kasus besar yang terjadi hari itu, yaitu keluarnya keputusan MUI yang menyatakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah melakukan penistaan agama. Tulisan ini mengulas perihal pungli lebih dalam mulai dari definisi, pelaku, kerugian yang ditimbulkan, cara pelaksanaan, sampai pada solusi yang dianggap tepat dari sekadar gebrak- menggebrak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pungli adalah meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim. Jadi, berdasarkan definisi itu, pungli berarti apa pun pungutan atau bayaran di luar ketentuan. Jika ketentuan mengurus sebuah izin atau dokumen dari instansi pemerintah mengatakan gratis tetapi dimintai biaya, itu pungli. Atau, jika ketentuan mengatakan biaya seribu, tapi diminta dua ribu, itu berarti pungli. Dengan demikian, pungli bisa terjadi baik secara eksternal, yaitu meminta bayaran di luar ketentuan kepada masyarakat (perusahaan, lembaga, atau orang asing); maupun secara internal, yaitu meminta bayaran di luar ketentuan kepada aparat pemerintah sendiri. Pungli eksternal biasanya terjadi pada saat pengurusan izin atau dokumen dari pemerintah yang diperlukan pihak eksternal seperti izin usaha, izin bekerja, izin mengemudi, sertifikat profesi, KTP, paspor, sampai urusan nikah dan bercerai. Pungli internal biasanya terjadi bila pegawai ingin naik pangkat atau mutasi. Semuanya masih terjadi kendati kita telah menjalani 18 tahun reformasi. Berapa besar pungli terjadi secara keseluruhan, baik eksternal maupun internal, belum ada data. Data yang tersedia baru di bidang manufaktur. Menurut studi UGM dan USAID total
  • 44. 44 pungli di bidang manufaktur mencapai Rp3 triliun per tahun (http:/ id.m.wikipidia.org/wiki/ pungutan_liar). Konon, biaya tidak resmi pengurusan HGU di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebesar Rp3.000 per meter persegi. Jika tidak membayar, mereka akan mempersulit dengan berbagai dalih. Jika angka itu benar, kita akan menemukan angka yang spektakuler. Sejuta ha saja mencapai Rp30 triliun, jauh melebihi angka anggaran kementeriannya sendiri, yaitu sekitar hanya Rp7 triliun. Dampak ekonominya tentu saja sangat luar biasa. Biaya-biaya tersebut tentu akan dibebankan perusahaan kepada konsumen sehingga konsumen mendapat harga yang lebih besar dari seharusnya. Bagi investor biaya-biaya tidak pasti tersebut akan membuat mereka enggan menanamkan investasinya di Indonesia. Tentu saja kerugian-kerugian tersebut susah untuk dikalkulasi. Bagaimana praktik bayar-membayar di luar ketentuan itu dilakukan? Secara sederhana dapat kita bagi dua, yaitu cara primitif atau memberikan secara langsung tunai seperti yang kita lihat di Kemenhub kemarin. Ini biasanya untuk transaksi kecil-kecil walaupun tidak tertutup kemungkinan juga untuk transaksi relatif besar. Cara seperti ini mudah dideteksi, cukup dengan mendatangi kantornya, aparat hukum dengan mudah menemukan uang-uang yang mencurigakan. Kita sudah sering mendengar di antaranya di Kementerian ESDM beberapa waktu lalu ditemukan uang dalam jumlah tidak masuk akal di ruang atau laci pejabat pemerintah. Cara kedua adalah dengan cara canggih seperti melalui transaksi perusahaan bodong. Perusahaan tersebut bisa dimiliki oleh aparat bersangkutan secara anonim atau meminjam perusahaan pihak ketiga yang dipercaya. Secara formal perusahaan itu bertindak sebagai konsultan perusahaan swasta yang mengurusi perizinan atau lainnya untuk menyamarkan. Tidak ada transaksi langsung dengan aparat sehingga cara ini lebih susah dilacak atau dibuktikan. Seperti kita ketahui pungli sudah berlangsung lama, baik terang-terangan maupun sembunyi- sembunyi. Secara formal semua aparat pasti membantah, tetapi secara diam-diam di balik layar terjadi transaksi haram tersebut. Sampai batas-batas tertentu pungli sudah jadi budaya, baik budaya birokrasi maupun masyarakat. Aparat merasa tidak dihargai ketika pekerjaan pelayanan yang dilakukan tidak dihargai secara langsung oleh masyarakat. Sebaliknya, masyarakat merasa salah ketika dia tidak memberi uang lelah atau apa pun namanya setelah pelayanan sudah didapatkannya. Menilik angka-angka, cara, dan kedalaman nilai yang sudah tertanam baik di aparat maupun di masyarakat seperti diuraikan di atas, wajar bila cara dan temuan yang digembar- gemborkan Presiden saat sidak ke Kemenhub, Selasa kemarin dianggap tidak serius atau sekadar pencitraan. Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa pemberantasan pungli tidak bisa sporadis, tetapi memerlukan langkah-langkah sistematis, berdasarkan kajian
  • 45. 45 mendalam dan berkelanjutan. Cara-cara di Kemenhub itu sudah berkali-kali dilakukan di era Orde Baru, tetapi tidak membuahkan hasil berarti. Belum Optimal Sebenarnya ada langkah dengan arah yang benar dilakukan pemerintah sejak lama, yaitu melalui e-government. Secara teori pungli terjadi karena ada transaksi langsung yang berlangsung antara aparat dan masyarakat yang dilayani. Karena itu, transaksi secara elektronik merupakan solusi yang benar karena transaksi langsung akan diminimalisasi. Cara lain yang benar secara teori adalah melalui transparansi biaya, proses, dan target waktu. Dengan mencantumkan biaya dan batas waktu pelayanan secara terbuka, masyarakat bisa protes secara langsung bila ada penyimpangan. Dalam praktik dua cara di atas, kita lihat sudah menghasilkan perubahan yang cukup berarti, tetapi belum optimal. Ketidakoptimalan itu disebabkan tiga hal. Pertama, proses teknologi informatika (TI) seringkali diakali sehingga ada proses-proses tertentu yang disengaja dibuat manual walaupun secara teknis memungkinkan dilakukan secara elektronik. Maka itu, aparat yang terlibat dengan gagah bisa mengatakan mereka sudah melakukan transaksi elektronik sehingga dikesankan mustahil ada permainan. Padahal, kenyataannya di belakang layar mereka masih leluasa melakukan. Kedua, target waktu tidak dibuat ketat sehingga masih ada peluang memperjualbelikan waktu. Umpamanya secara proses riil pelayanan bisa selesai sejam, tetapi dibuat sehari. Karena sebelumnya penyelesaiannya bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu- minggu, sehari sudah dianggap kemajuan luar biasa. Secara psikologis pasti ada masyarakat yang enggan bolak-balik atau menunggu seharian sehingga terbuka pasar pungli melalui negosiasi percepatan waktu. Ketiga, ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan birokrasi masih rendah sehingga tekanan terhadap peningkatan pelayanan birokrasi relatif kecil. Dengan demikian, pelayanan yang seharusnya bisa ditingkatkan lebih signifikan tidak terjadi. Di negara-negara maju dimasyarakatkan apa yang disebut new public expectation sehingga tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik terus meningkat. Sebenarnya banyak variabel yang bisa kita analisis dalam konteks memerangi pungli ini. Karena keterbatasan ruang, kita batasi pada tiga hal di atas. Dari tiga variabel itu, bisa dikembangkan setidaknya tiga program konkret pula. Pertama, melakukan penilaian manajemen birokrasi untuk mengetahui proses, target, dan sistem pengendalian yang bisa lebih mengoptimalkan kualitas pelayanan sekaligus mengatasi pungli. Kedua, melakukan audit TI sehingga diketahui apakah sistem TI yang dikembangkan di berbagai instansi saat ini sudah memanfaatkan semua fitur secara optimal. Ketiga, sosialisasi new public expectation untuk mendidik masyarakat agar terus-menerus meningkatkan ekspektasi mereka terhadap pelayanan publik sehingga mendorong aparat terus meningkatkan pelayanannya.
  • 46. 46 Nah, dalam keterbatasan ruang ini saja kita setidaknya membuktikan bahwa memberantas pungli tidak bisa sporadis, tetapi sistematis dan berkelanjutan. MEDRIAL ALAMSYAH Direktur SIGI Indonesia; Pengamat Reformasi Birokrasi
  • 47. 47 Membenahi Keuangan Partai 13-10-2016 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mewacanakan kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik. Wacana tersebut disepakati Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada rapat dengar pendapat yang digelar DPR. Partai politik mengalami paceklik keuangan akibat gagal menghimpun iuran anggota dan sumbangan publik. Akibat itu, partai membebankan keuangan pada kader yang duduk di legislatif maupun eksekutif. Walau legal secara hukum, metode pendanaan tersebut memicu persoalan baru salah satunya korupsi. Mengacu pada anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik, anggota legislatif tingkat nasional dan daerah diwajibkan membayar iuran rutin. Tidak tanggung- tanggung, jumlahnya mencapai 10 hingga 40% dari gaji yang mereka terima sebagai anggota dewan. Iuran tersebut belum termasuk sumbangan apabila partai mengadakan kegiatan seperti musyawarah nasional, ulang tahun, dan pemilu. Jalan pintas untuk menjawab krisis keuangan partai ini disadari Kemendagri dapat memicu kader partai melakukan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang menyebut bahwa kasus yang telah in kracht mereka tangani banyak melibatkan kader partai politik. Menaikkan bantuan keuangan dianggap sebagai cara efektif untuk mulai membenahi partai dan mencegah korupsi. Walau tidak menjamin korupsi oleh kader partai berkurang 100%, cara tersebut dapat menjadi titik potong korupsi politik akibat tingginya biaya keuangan partai. Pembenahan ini juga dapat menjadi pintu masuk pembenahan kaderisasi partai yang kini kuat menimbang isi tas kader. Perlu disadari bahwa korupsi kader partai tidak berangkat dari faktor tunggal. Selain faktor beban keuangan partai yang tinggi, ada faktor lain seperi mengejar keuntungan pribadi. Karena itu, perhatian Kemendagri sebagai pemerintah terhadap persoalan krusial partai merupakan langkah tepat. Sudah seharusnya negara tidak menutup mata terhadap persoalan yang dapat berdampak buruk pada penyelenggaraan negara. Hal tersebut disebabkan strategisnya peran dan fungsi partai. Bagaimana pun performa partai saat ini, partai merupakan satu-satunya institusi yang diamanatkan oleh konstitusi untuk menyiapkan calon penyelenggara negara. Partai melalui kadernya di pemerintahan secara langsung dan tidak langsung turut menentukan kebijakan menyangkut penyelenggaraan negara dan kepentingan umum. Pemberantasan korupsi yang efektif pun membutuhkan kontribusi positif partai selaku aktor utama demokrasi perwakilan.
  • 48. 48 Jangan Setengah Hati Persoalan keuangan partai tidak hanya mengenai seretnya penerimaan. Keuangan partai juga berhadapan dengan persoalan tingginya ongkos berpolitik dan akuntabilitas serta transparansi penggunaan keuangan. Persoalan tersebut wajib dijawab oleh negara melalui regulasi tegas agar persoalan keuangan partai terjawab secara tuntas, tidak parsial. Menjawab persoalan keuangan dengan menaikkan angka bantuan melalui revisi PP Nomor 5/2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik hanya akan menjadi cek kosong yang dikhawatirkan tidak berdampak signifikan pada pembenahan partai. Harapan korupsi oleh kader partai akan berkurang juga akan sulit terealisasi. Pembenahan keuangan partai harus dilakukan secara paripurna, mulai dari uang masuk hingga uang tersebut dikelola dan dipertanggungjawabkan. Negara harus menjamin bahwa uang yang diberikan negara untuk partai dikelola tepat, sesuai peruntukan. Pencatatan dan pelaporan keuangan partai yang selama ini dikenal buruk juga harus dibenahi. Bukan rahasia bahwa partai selama ini tidak akuntabel dan transparan dalam mengelola keuangannya. Revisi UU Parpol Pembenahan perlu dimulai dengan merevisi regulasi aturan utama keuangan partai, yaitu UU Partai Politik (Parpol). Kelemahan terbesar dalam UU Partai Politik mengenai keuangan adalah tidak ada lembaga yang diberikan wewenang khusus untuk mengawasi keuangan partai. Padahal, pengawasan penting dilakukan terhadap keuangan partai yang minim akuntabilitas, tinggi konflik kepentingan, dan riskan penyalahgunaan. Tanpa lembaga pengawas dan metode pengawasan yang tepat, berapa pun uang yang dialokasikan negara untuk partai akan berujung pada persoalan yang sama. Memang tidak harus membentuk lembaga baru untuk mengawasi keuangan partai. Negara dapat memaksimalkan peran dari lembaga yang telah ada saat ini seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Partai politik sebagai peserta pemilu legislatif dan pengusung kandidat kepala daerah hingga kepala negara menjadikan institusi tersebut relevan diawasi oleh Bawaslu yang merupakan pengawas pemilu. Penting bagi negara untuk memastikan pemilu diikuti oleh partai yang bersih dan akuntabel secara keuangan. Selain itu, negara juga perlu memperkuat akuntabilitas keuangan partai melalui mekanisme audit laporan keuangan. Saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya melakukan audit terhadap laporan keuangan partai yang bersumber dari bantuan negara. Audit tersebut bahkan hanya merupakan audit kepatuhan atas laporan yang disampaikan partai. Tidak ada mekanisme verifikasi terhadap realitas penerimaan dan pengeluaran partai politik. Ke depan BPK atau auditor independen yang ditunjuk oleh BPK seharusnya dapat mengaudit seluruh laporan keuangan partai. BPK dapat bersinergi dengan lembaga pengawas keuangan partai
  • 49. 49 untuk memastikan apakah laporan keuangan yang disampaikan partai telah sesuai dengan realitas di lapangan. Terakhir, UU harus mulai menerapkan sanksi tegas bagi partai. Hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah mengaitkan pelanggaran keuangan partai terhadap kepesertaan partai dalam pemilu yang diatur dalam UU Pemilu. Sebagai contoh, apabila ditemukan pelanggaran keuangan partai dalam frekuensi dan tahap tertentu di suatu daerah, partai tersebut dilarang mengikuti pemilu pada daerah tersebut. Laporan keuangan partai dapat dijadikan sebagai salah satu syarat administrasi partai menjadi partai politik peserta pemilu atau pengusung kandidat peserta pemilu. Pembenahan menyeluruh terhadap keuangan partai ini hanya akan terjadi melalui revisi UU Partai Politik dan mengaitkannya dengan UU lain seperti UU Pemilu dan UU Tindak Pidana Korupsi. Tentu, langkah ini membutuhkan komitmen kuat dari pihak pemerintah dan DPR selaku penyusun UU. Jangan sampai uang negara untuk partai ditambah tanpa upaya pembenahan yang menyeluruh. ALMAS SJAFRINA Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW)