SlideShare a Scribd company logo
1
DAFTAR ISI
DEMO DAN RITUAL DEMOKRASI
Komaruddin Hidayat 4
REFLEKSI DUA TAHUN PARTAI PERINDO
Mardiansyah M Sidik 6
MENIMBANG SANKSI PELAKU PUNGLI
Ninik Rahayu 9
MENGHADANG PROPAGANDA POLITIK OPM
Bambang Usadi 13
BENCANA EKOLOGIS
Asep Sumaryana 17
AGAR PEMILIHAN REKTOR TIDAK KOTOR
Amzulian Rifai 20
KANALISASI PERANG INFORMASI
Gun Gun Heryanto 24
INTERPOL DAN HAMBATAN KERJA SAMA
Bambang Soesatyo 27
DEGRADASI PRESIDEN
Sudarnoto Abdul Hakim 30
KREDIBILITAS KAMPANYE DAN PENDIDIKAN POLITIK
Ferry Kurnia Rizkiyansyah 33
MENYAMBUT PRESIDEN BARU AS
Dinna Wisnu 37
WAJAH BARU AMERIKA SERIKAT
Tirta N Mursitama 40
TRUMP, POPULISME POLITIK DAN PROSPEKNYA
M Alfan Alfian 43
AHOK, PENISTAAN, DAN PEMAAFAN
JM Muslimin 46
MELIHAT DERITA KORUPTOR
Moh Mahfud MD 48
DEMONSTRAN DAN KEGAGALAN PARTY LINKAGE
2
Firman Noor 51
TAFSIR HUKUM PENISTAAN AGAMA
Marwan Mas 54
TRUMP ADALAH KITA
Dinna Wisnu 57
ISIS PASCA-OPERASI MOSUL
Hasibullah Satrawi 60
PENYELIDIKAN “RASA” PENYIDIKAN
Junaedi 63
MENEBAK SAFARI POLITIK JOKOWI
Adi Prayitno 66
MELIHAT SENYUM KORUPTOR
Moh Mahfud MD 69
PARTAI BARU DAN PILPRES 2019
Veri Junaidi 72
ADA DURI DALAM DAGING NKRI
Bambang Soesatyo 75
DEMO KUNING-MERAH
Sudarnoto Abdul Hakim 79
NASIONALISME, TRISAKTI, DAN GLOBALISASI
Eko Sulistyo 82
MUNGKINKAH MEMAKZULKAN PRESIDEN?
Arya Fernandes 86
UJIAN DEMOKRASI PASCA-AKSI 4 NOVEMBER
M Alfan Alfian 89
BERHUKUM HARUS BERSABAR
Moh Mahfud MD 92
MAKAR
Pangi Syarwi Chaniago 95
KOMITMEN KESETIAAN TNI
Sabartain Simatupang 99
RAPOR MERAH JAKSA AGUNG
Wana Alamsyah 103
3
SIAGA TNI-POLRI JELANG 212
Bambang Soesatyo 106
KUBA PASCA-FIDEL CASTRO
Ahmad Dahlan 110
CASTRO
Dinna Wisnu 114
AKSI SUPERDAMAI
Sudjito 118
“RUANG GELAP” SEKITAR AKSI BELA ISLAM
Jazilul Fawaid 121
MENAFSIRKAN AKSI 212
Fauzan 124
AHOK DAN PENDIDIKAN POLITIK
Komaruddin Hidayat 127
JUMAT 212 DAN SIMBOL KETIDAKADILAN
M Bambang Pranowo 129
DOA DEMO DAN DEMO IBADAH
Moh Mahfud MD 132
EKSPRESI POLITIK DAN POTRET DEMOKRASI MUSLIM INDONESIA
Hurriyah 135
MAKAR DI ERA REFORMASI
Bambang Soesatyo 138
UNI EROPA DI PERSIMPANGAN JALAN
Dinna Wisnu 142
HASRAT POLITIK TNI
Muradi 145
MAKAR IDEOLOGIS
Komaruddin Hidayat 147
MAKAR DAN MAKAN
Moh Mahfud MD 149
MAKAR DI LORONG KONSTITUSI
Margarito Kamis 152
BUKAN SEKADAR MENAYANGKAN FAKTA
Jamalul Insan 156
4
Demo dan Ritual Demokrasi
04-11-2016
Ada ungkapan klasik, democracy is noisy and restless. Demokrasi itu gaduh dan tak pernah
tenang. Selalu saja ribut.
Maklum, sejak awal yang namanya demokrasi memang dirancang untuk menampung dan
mendengarkan suara dan aspirasi yang berbeda-beda. Terlebih bagi masyarakat Indonesia
yang sangat majemuk, pilihan demokrasi paling cocok untuk mengakomodasi pluralitas
aspirasi dan kehendak dalam rangka membangun dan mengisi kemerdekaan.
Konsekuensinya, bermunculan parpol, ormas, dan lembaga swadaya masyarakat sebagai
wadah penyaluran aspirasi dan partisipasi masyarakat untuk memajukan bangsa.
Repotnya jika yang lebih dominan hanyalah kebebasan berekspresi, tetapi kurang menghargai
supremasi hukum dan kerja produktif, maka demokrasi di mata masyarakat hanyalah
keributan dan debat, tetapi ekonomi dan lapangan kerja semakin susah, pendidikan mahal,
ujungnya hanyalah memperoleh ijazah.
Salah satu ciri demokrasi adalah adanya keterwakilan dan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan. Lebih dari itu adalah kebebasan untuk mengkritik pemerintah. Sekarang ini
ruang dan saluran kritik rakyat terhadap pemerintah terbuka lebar, baik melalui surat kabar,
mimbar televisi, media sosial, atau pun demonstrasi. Isu yang masih sensitif adalah soal
agama. Sekalipun Ahok belum sampai di meja pengadilan, apakah dia sudah memenuhi
persyaratan sebagai penista agama, masyarakat sudah menjatuhkan hukuman bahwa dia telah
menistakan Alquran sehingga polisi harus segera mencekalnya dan memproses ke meja
pengadilan dan masuk tahanan. Namun prosesnya tentu saja tidak semudah itu karena
diperlukan proses dan tahapan yang lazim dalam dunia peradilan.
Mengamati dinamika sosial politik yang tengah terjadi, satu hal fenomenal adalah peran
agama yang sangat signifikan sebagai alat pemersatu (faktor integratif) ketika martabat
agama dilecehkan. Para pengamat Barat sudah lama mengingatkan, misalnya Wilfred
Cantwell Smith dari Universitas Harvard, bahwa umat Islam di seluruh dunia pasti akan
marah jika Nabi Muhammad dan Alquran dilecehkan.
Dalam hal ini Ahok telah terpeleset membawa-bawa ayat suci Alquran untuk kepentingan
politik. Akibat dari sebuah peristiwa ucapan dalam durasi yang amat pendek, dia mesti
membayar akibat teramat besar. Yang membayar tidak hanya dia sendiri, tetapi aparat
keamanan dan masyarakat dibuatnya sibuk. Muncul pro-kontra dalam masyarakat Indonesia.
Sekali lagi, ini menunjukkan betapa isu, simbol, dan tokoh agama telah memenuhi ruang
publik.
5
Hari-hari ini wacana agama yang berkaitan dengan pilkada memenuhi pemberitaan, obrolan,
diskusi, khotbah, Jumat dan sebagainya. Ini kenyataan sosiologis yang tak terbantahkan. Tapi
jika isu agama mengambil dosis paling tinggi, lalu memandang kecil pembangunan bidang
ekonomi, sains, pendidikan, dan infrastruktur, sulit bangsa ini untuk maju bersaing dengan
negara-negara lain. Dengan kata lain, agama jangan hanya menonjol sebagai ideologi dan
kekuatan fight against, tetapi juga berperan aktif konstruktif sebagai kekuatan fight for.
Artinya agama mesti berperan sebagai kekuatan konstruktif-produktif untuk mendukung
pembangunan peradaban, bukan semata sebagai kekuatan oposisi, fight against. Dalam
ungkapan konvensional, agama mesti punya keseimbangan agenda amar ma’ruf dan nahi
munkar. Mengajak dan memberi contoh aktif sebagai kekuatan konstruktif, baru kemudian
diikuti agenda mencegah kemungkaran.
Demo hari ini merupakan ekspresi keprihatinan sebagian umat Islam untuk menjaga martabat
agama, utamanya kemuliaan Alquran, dengan turun ke jalan, gara-gara ucapan Ahok yang
dinilai melecehkan Alquran. Dari segi hukum, biarlah polisi yang memproses. Demo itu
merupakan hak konstitusional warga negara yang mesti dihargai. Sementara itu pihak
kepolisian memiliki hak dan kewajiban untuk menertibkan para demonstran. Lalu masyarakat
umum pengguna jalan raya juga memiliki hak dari gangguan demonstran jangan sampai
membuat macet.
Jadi kalau tiap pihak saling menghargai hak orang lain, demo akan berjalan meriah, tertib,
dan damai. Jika ini terwujud, kepercayaan rakyat pada parpol, polisi, dan demokrasi akan
naik. Tapi jika lepas kendali—semoga saja tidak terjadi—, harapan yang mulai tumbuh
terhadap demokrasi dan pilkada akan buyar. Kita semua yang merugi.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
6
Refleksi Dua Tahun Partai Perindo
04-11-2016
Dewasa ini tidak sulit kita temukan kondisi ekonomi yang makin berat dipikul oleh rakyat,
apalagi masyarakat di perdesaan.
Hampir kita semua sepakat bahwa perlambatan ekonomi melanda negeri ini yang tengah
memasuki 71 tahun kemerdekaannya. Sebut saja, harga kebutuhan pokok melonjak tinggi,
turunnya daya beli masyarakat, kelangkaan pupuk dan benih yang terus berulang, hasil laut
nelayan yang menurun, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah rentetan
kesusahan yang mafhum ”dinikmati” oleh rakyat kecil.
Di bidang penegakan hukum, tak jauh berbeda, urung menunjukkan potret menggembirakan.
Melodrama hukum baik yang melibatkan KPK, kepolisian, dan kejaksaan juga turut
membingungkan rakyat, sesungguhnya seperti apa hukum Indonesia dan bagaimana
implementasinya.
Tugas Besar
Berulang tahun artinya mengulang (proses) memori kelahiran. Sama halnya dengan republik
ini (yang telah berulang tahun), Partai Perindo kini berusia dua tahun pada 8 Oktober lalu.
Dalam usia yang terbilang sangat muda, deretan masalah bangsa di atas juga menjadi bagian
tak terpisahkan sebagai bentuk tanggung jawab yang diemban Partai Perindo.
Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dalam beberapa kesempatan kerap
mengingatkan bahwa partai ini lahir bukan sekadar meramaikan, melainkan turut serta ambil
bagian memberikan solusi atas persoalan bangsa. Ini penegasan yang mencerminkan
tanggung jawab besar partai yang berada di dalam maupun di tengah kehidupan masyarakat,
partai yang lahir dari dan oleh ”nafas” kehendak rakyat. Indonesia besar, Indonesia kuat,
Indonesia kaya, Indonesia sejahtera bukanlah pemanis atau angan-angan belaka. Realita
”kebesaran” itu sesungguhnya sudah kita alami bahkan dijalani dalam proses panjang
mengisi kemerdekaan. Hanya, pencapaian yang dihasilkan masih belum sebanding dengan
kekuatan sesungguhnya yang kita miliki. Dalam ranah yang demikian, seharusnya partai
politik mengambil peran lebih sebagai agregasi komunikasi sekaligus sosialisasi politik.
Partai Perindo sepenuhnya memahami kedigdayaan bangsa kita dengan menghimpun seluruh
kekuatan rakyat dari berbagai latar belakang, suku, agama, ras, status ekonomi/sosial untuk
bergabung dalam rumah besar Persatuan Indonesia menuju Indonesia sejahtera. Pesan dasar
kemerdekaan bangsa sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945 ”merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur” secara sadar penuh diterjemahkan dalam visi Partai Perindo,
7
yakni mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu, adil, makmur, sejahtera, berdaulat,
bermartabat, dan berbudaya (Pasal 4 AD Partai Perindo).
Kiprah dua tahun dirasakan belum banyak hal besar yang dilahirkan oleh Partai Perindo.
Namun, faktanya begitu banyak hal kecil bermakna yang justru dirasakan bermanfaat oleh
rakyat kecil seperti keberpihakan pada pemberdayaan UMKM dan koperasi, kepedulian pada
bencana alam maupun sosial yang memerlukan bantuan sigap dan cepat, pelatihan
keterampilan diri dan pendidikan politik, termasuk program rutin perayaan hari besar
keagamaan.
Luncuran program UMKM mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah-daerah
seperti pembagian gerobak UMKM secara gratis, pendirian Warung Sejahtera untuk
meningkatkan jiwa wirausaha, Kelompok Tani dan Nelayan Perindo, termasuk revitalisasi
perahu nelayan dan pembentukan Koperasi Perindo.
Eksistensi partai di tengah masyarakat dalam balutan Indonesia Raya semata-mata adalah
perwujudan visi dan tujuan Partai Perindo, antara lain: (1) mempertahankan dan
mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945; (2) mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945; dan (3) mewujudkan negara
yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di tengah aksi nyata Partai Perindo yang selama ini digulirkan tentu masih banyak
kekurangan dan kelemahan seraya manajemen partai terus menata diri lebih baik agar mampu
berbuat lebih banyak bagi kesejahteraan rakyat.
Maju dan Sejahtera
Wajah dua tahun Partai Perindo terbilang menarik. Tanpa bermaksud membedakan usia,
sebagian besar pengurus DPP adalah hasil rekrutmen kader-kader terbaik berusia muda (rata-
rata 30-40 tahun/di bawah 50 tahun). Darah segar dari pemuda-pemudi ini setidaknya
menular positif pada jajaran kepengurusan di tingkat wilayah maupun kabupaten/kota yang
juga berisikan orang-orang relatif muda.
Energi muda yang identik dengan pembaharu dan penggerak turut memudahkan langkah
Partai Perindo mengimplementasikan nilai dasar perjuangan yang penulis sebut dengan maju
PESAT sebagai upaya integral meng-”Indonesia”-kan kekuatan dan kebesaran sejati kita.
Maju PESAT dalam arti: maju pemikiran, maju bersikap, dan maju tindakan. Pertama, maju
pemikiran Partai Perindo tercermin pada keterbukaan dan kemajemukan kader dan anggota
yang bergabung dalam partai baik dari latar belakang pekerjaan, status sosial, suku, agama,
serta lapisan dan kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
Kedua, maju bersikap dengan mengambil posisi sebagai partai tengah-moderat dengan
ideologi Pancasila yang berjuang bersama rakyat mewujudkan cita-cita proklamasi dan
reformasi. Ketiga, maju tindakan ditandai dengan komitmen kuat Partai Perindo tampil
8
sebagai partai modern yang mengedepankan profesionalisme. Partai dikelola dalam suasana
kerja kelompok dan berdasarkan sistem, mengembangkan budaya organisasi yang egaliter,
transparan, dan demokratis, termasuk menerapkan reward and punishment dan merit system
dalam kepemimpinan partai.
Indonesia sejahtera adalah visi besar yang diemban Partai Perindo guna menjawab apatisme
sebagian besar rakyat kita akan keberadaan partai politik dan mungkin juga skeptisme akan
masa depan Indonesia. Parameternya sederhana, yaitu meluasnya kesempatan kerja sehingga
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pelayanan pendidikan yang merata, bermutu
dan terjangkau, serta pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang memadai.
Bagi Partai Perindo, kesejahteraan tidak hanya ditinjau dari perspektif ekonomi, tetapi juga
dilihat dari capaian di sektor sosial utamanya pendidikan dan kesehatan yang terukur pada
tingkat melek huruf (TMH) dan tingkat harapan hidup (THH) rakyat Indonesia. Dus,
lengkaplah di usia dua tahun kelahirannya, Partai Perindo akan terus bergerak
memperjuangkan terwujudnya negara sejahtera sehingga rakyat dan Indonesia sejahtera.
MARDIANSYAH M SIDIK SP
Wakil Ketua UMKMK DPP Partai Perindo
9
Menimbang Sanksi Pelaku Pungli
04-11-2016
Beberapa minggu belakangan ini secara terus menerus, pemerintah—dikawal langsung
Presiden—serius melakukan pemberantasan pungli.
Dugaan awal saya ini hanya wake-up call kepada aparat dan pengawas internal lembaga
layanan publik agar sigap dan berbenah terhadap pemberantasan pungli. Setelah itu saya
menduga, Presiden memerintahkan pembersihan aparatur dan menggantinya dengan orang-
orang yang teruji. Terutama di lingkungan institusi layanan publik yang sejak awal
berdasarkan hasil evaluasi pemerintah banyak ditemukan pungli sehingga layanan publiknya
buruk dan mengganggu rasa keadilan masyarakat.
Rupanya bukan tindakan penggantian aparat yang dilakukan sebagai bagian dari pembenahan
struktur hukum. Pemerintah justru membuat kebijakan baru dengan pertimbangan kebijakan
yang ada belum ”serius” memberantas pungli. Penerbitan Perpres RI Nomor 87/2016 tentang
Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar diharapkan dapat menyapu bersih pungli di
lembaga-lembaga yang memberikan layanan publik karena kebijakan yang ada sebelumnya
diduga tidak cukup efektif.
Pemaknaan ”Kejahatan” Pungli
Meski begitu, ”pungli” diberi pemaknaan yang beragam baik oleh masyarakat maupun
aparatur, tetapi ada kecenderungan yang sama dalam memandang jumlah kerugian dan sanksi
yang diberikan kepada pelaku. Misalnya, dalam wawancara di salah satu stasiun televisi
bersama seorang pemimpin lembaga penegak hukum. Ketika ia ditanya apa sanksi yang akan
dijatuhkan bila ada oknum yang terbukti pungli? Iamenjawab:”Ya, karena pungli ini kan nilai
pungutannya kecil-kecil, dan ini kan persoalan etik saja, maka sanksi kepada pelaku paling
berat adalah dicopot dari jabatannya. Tentu dilihat tingkat kesalahannya: mulai dari teguran,
pencopotan jabatan, atau pemecatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS).” Sanksi ini dianggap
lebih tinggi nilainya ketimbang sanksi lain, yakni proses hukum.
Praktik serupa juga dilakukan Kemendagri yang menjatuhkan sanksi berupa pemecatan
kepada pegawai Dukcapil di Batam karena hasil penyelidikan membuktikan pegawai tersebut
melakukan pungli dalam pengurusan e-KTP. Pertanyaannya kemudian: Bagaimana
sesungguhnya peraturan hukum mengatur soal pungli ini? Apakah betul pungli berupa
pelanggaran etik dan tidak perlu dilanjutkan dalam proses hukum hanya karena nilainya
kecil? Apakah sanksi teguran sampai pemecatan sebagai sanksi yang paling berat bagi pelaku
sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat? Kerugian akibat pungli benarkah nilainya
kecil?
10
Meski jika dilihat dari ”harga satuan” kerugiannya kecil, tetapi karena pungli terjadi dalam
waktu yang lama dan terus-menerus (sistemik), tidak benar jika disebut kerugian kecil secara
kuantitatif. Secara kualitatif kejahatan ini juga kejahatan ”berjamaah” karena ada dugaan kuat
pemimpin di tingkat menengah sampai atas mengetahui aktivitas pungli ini, tetapi kondisi ini
seperti terus ”dibiarkan”.
Menilik laporan yang masuk ke kantong pengaduan Ombudsman RI pada 2015, ada 384
praktik suap dan pungli yang disampaikan masyarakat. Pada 2016 Ombudsman RI menerima
434 laporan. Angka itu meningkat 13% dibanding tahun sebelumnya. Sektor pendidikan
menjadi favorit masyarakat untuk melapor ke Ombudsman RI terkait suap dan pungli dengan
45% dari semua laporan. Selebihnya, pertanahan (10%), penegakan hukum (7%),
administrasi kependudukan (6%), cukai dan pajak (6%), kepegawaian (5%), perhubungan
(5%), perizinan (4%), kesehatan (3%), dan lain-lain (9%). Sementara penyedia layanan yang
banyak dilaporkan terjadi suap dan pungli adalah pemerintah daerah (53%). Lembaga
berikutnya, yakni sekolah negeri (17%), kementerian (8%), kepolisian (6%), BUMN dan
BUMD (4%), BPN (4%), dan lembaga lain (8%). Artinya, hampir semua aktivitas layanan
publik sudah dapat dipastikan ada rangkaian struktur penyelenggara yang permanen, bukan
ad hoc.
Ada rangkaian aktivitas yang seharusnya lebih mudah dilakukan monitoring dan evaluasi jika
terjadi kesalahan. Selayaknya layanan publik, seharusnya sudah tersedia prosedur dan tata
cara yang seharusnya dipatuhi penyelenggaraannya oleh masyarakat terutama aparatur. Maka
itu, ketika melakukan pelanggaran prosedur, sanksi yang dijatuhkan pun seharusnya lebih
tinggi. Pemberatan sanksi juga perlu dijatuhkan kepada para pejabat, baik yang secara
langsung maupun tidak langsung, membiarkan pungli terjadi di wilayah kerjanya.
Sebagai pejabat seharusnya melakukan monitoring dan evaluasi kinerja aparaturnya
merupakan sebuah keniscayaan. Para pejabat juga selaiknya melakukan aneka upaya
perbaikan mekanisme kerjanya jika ditemukan indikasi ketidakefektifan dan menyebabkan
terjadi pungli atau ketidakefisiensian birokrasi. Pembiaran bahkan ”menikmati” hasil pungli
yang dilakukan anak buah, jika tidak ditegakkan sanksi bagi pejabat, hanya mengingkari
fakta bahwa pungli adalah salah satu bentuk kejahatan sistemik. Apalagi, penangkapan dan
sanksi kepada pelaku hanya dijatuhkan kepada mereka yang tertangkap tangan di lapangan
saat ”menadah” tangan.
Aturan Hukum dan Kelembagaan
Selain kelembagaan pengawas internal di masing-masing lembaga layanan publik, aparat
penegak hukum dan sekretaris bersama pemberantasan pungli juga dibentuk oleh pemerintah.
Selain itu, dalam hukum pidana juga diatur tentang sanksi hukum bagi pelaku pungli:
”Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk
memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau
11
supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Ketentuan Pasal 368 KUHP ini secara gamblang menerangkan larangan dan aktivitas
menguntungkan diri sendiri. Ketentuan ini juga dipertegas ketentuan pidananya bagi aparatur
dalam Pasal 243 KUHP yang berbunyi: ”Bahwa pegawai negeri yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu,
melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau
melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya enam tahun”.
Dari rumusan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa yang dilarang di dalam pasal ini
adalah perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain untuk
menyerahkan sesuatu, untuk melakukan suatu pembayaran, untuk menerima pemotongan
yang dilakukan terhadap suatu pembayaran, dan untuk melakukan suatu pekerjaan untuk
pribadi pelaku.
Dengan demikian, tindakan menyalahgunakan ”kekuasaan” dengan memaksa orang lain
untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, menerima pemotongan yang
dilakukan terhadap suatu pembayaran, dan melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku
itu merupakan tindak-tindak pidana materiil. Hingga orang baru dapat berbicara tentang
selesai dilakukannya tindak-tindak pidana tersebut, jika akibat-akibat yang tidak dikehendaki
oleh undang-undang karena perbuatan-perbuatan itu telah timbul atau telah terjadi.
Maka itu, ketika istilah pungutan liar atau ”pungli” lalu mengalami degradasi dalam
pemaknaan hukum, seakan-akan bukan kejahatan yang perlu diproses hukum karena
dianggap pelanggaran etik saja atau pelanggaran administratif saja, seketika itu juga istilah
pungli seakan dikerdilkan ruang lingkupnya. Kita semua berharap ada pelurusan tentang
pemaknaan pungli yang sebenarnya berasal dari istilah korupsi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 12 huruf e dan f UU Nomor 20 Tahun 2001.
Karena itu, seyogianya kita harus menghentikan pemaknaan pungli atau pembiaran pungli
yang dianggap sebagai kejahatan administratif atau etik tanpa proses hukum karena
sebenarnya pungli merupakan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 423 atau Pasal 425
KUHP jo Pasal 12 UU Nomor 20/2001.
Maka itu, kepada pelaku seharusnya tetap dilakukan proses hukum dan diadili, tidak hanya
tindakan administratif. Jika pun dalam proses hukum di kemudian hari menunjukkan tidak
cukup bukti dan lain, yang berhak menghentikan prosesnya adalah kejaksaan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 35 huruf c UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN
Tahun 2004 Nomor 67, yang berwenang menyampingkan suatu perkara berdasarkan
kepentingan umum itu hanyalah Jaksa Agung.
12
Penegakan hukum ini penting. Bagaimanapun hukum kita menghendaki semua pelaku tindak
pidana dihukum tanpa kecuali dan dituntut menurut hukum yang berlaku serta diproses
hukumnya atau asas legalitas dalam hukum. Memegang teguh asas ini penting agar upaya
menjunjung tinggi implementasi negara hukum tidak terjebak pada main hakim sendiri atau
menyelesaikan akibat hukum dari suatu tindak pidana tanpa melalui proses peradilan
(saverbond van eigen richting).
Langkah-langkah degradasi proses hukum dalam kasus pungli harus dihentikan karena tertib
hukum tidak boleh lagi ditawar. KUHP Pasal 36B yang juga memberikan ancaman hukuman
sembilan tahun bagi pelaku pemerasan.
NINIK RAHAYU
Anggota Ombudsman RI
13
Menghadang Propaganda Politik OPM
05-11-2016
Kelompok negara-negara Kepulauan Pasifik yang tergabung dalam Pacific Island Forum
(PIF) yang terdiri dari Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Nauru, dan Kepulauan Marshall
menyatakan keprihatinannya terhadap berbagai tekanan yang dinilai dilakukan Pemerintah
Indonesia terhadap masyarakat Papua pada tanggal 5 Oktober 2016 dalam Sidang Umum
PBB Ke-71 yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat. Negara-negara tersebut
menyuarakan isu hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua.
Masih teringat peristiwa 3 tahun lalu, ketika terdengar rencana pendirian kantor perwakilan
OPM di Oxford, Inggris, yang mengejutkan publik Indonesia tentang eksistensi dan militansi
gerakan OPM dalam menggalang dukungan internasional. Namun, Pemerintah Indonesia
melalui pernyataan Menteri Luar Negeri segera menegaskan bahwa tidak satu pun negara
anggota PBB yang mempersoalkan isu kedaulatan Indonesia atas Papua. Namun, pokok
persoalannya adalah militansi OPM telah menunjukkan eksistensinya dengan terus berupaya
meningkatkan dukungan internasional, melalui berbagai pendekatan diplomatis dengan
membuka kantor perwakilan baru di Oxford, Inggris, dan berencana mendirikan kantor
perwakilan di beberapa negara lainnya.
Beberapa fakta tersebut seharusnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk semakin
mengintensifkan berbagai strategi pendekatan yang lebih simpatik dalam menangani masalah
Papua. Menghadapi eksistensi OPM tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan represif yang
berlebihan, karena tidak jarang memiliki ekses yang justru kontraproduktif terhadap tujuan
mulia menyelesaikan Papua secara beradab dan bertanggung jawab, yang justru
menguntungkan kepentingan propaganda OPM di dunia internasional dan bisa jadi mengikis
kepercayaan sebagian masyarakat Papua terhadap komitmen Pemerintah Pusat untuk
sungguh-sungguh dan tulus membangun Papua.
Militansi gerakan Papua Merdeka, termasuk gerakan internasionalisasi konflik Papua, sejak
awal sesungguhnya dilatarbelakangi aspirasi Papua Merdeka secara ideologis dan politis,
yang dalam perkembangannya mengalami dinamika dengan diwarnai berbagai permasalahan,
yang justru berperan menjadi katalisator terjadinya insiden kekerasan melibatkan Gerakan
Papua Merdeka dan mengganggu stabilitas keamanan di Papua.
Gerakan Papua Merdeka merupakan gerakan yang dimotori para elite baru tahun 1960-an di
kalangan penduduk asli Papua, yang terbentuk jauh setelah terjadinya penyatuan eksistensi
elite gerakan pembebasan Papua oleh pahlawan nasional Indonesia dari Papua asli dengan
gerakan kemerdekaan Indonesia.
14
Jadi, terasa agak impulsif apabila eksistensi OPM lebih disandarkan pada persoalan
kesenjangan pembangunan Papua dibanding daerah lainnya di Indonesia, termasuk dugaan
berbagai bentuk pelanggaran HAM, meski kedua faktor tersebut menjadi bagian tak
terpisahkan dari masalah Papua.
Internasionalisasi Isu Papua
Upaya diplomasi dari isu internasionalisasi Papua dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
cara dan beberapa jalur. Baru-baru ini kelompok gerakan OPM mengklaim pertemuan PIF
Ke-47 di Negara Federasi Mikronesia (FSM) yang berakhir 11 September 2016 akan
membawa isu pelanggaran HAM Papua menjadi agenda dan perhatian para pemimpin negeri
Pasifik, yang akhirnya membawa masalah West Papua ke Sidang Umum PBB di New York.
Sebelumnya isu pendirian kantor perwakilan OPM di Oxford pada tahun 2013 sedikit-banyak
dinilai mengusik hubungan diplomatis Indonesia-Inggris, meski Dubes Inggris untuk
Indonesia membantah dukungan resmi kebijakan Pemerintah Inggris terhadap eksistensi
OPM di Oxford tersebut. Internasionalisasi isu Papua sepenuhnya didukung oleh eksistensi
On West Papua Forum dengan berbagai kegiatan yang didukung NGO dari beberapa negara
Eropa dan Asia.
Penegasan Inggris yang masih tetap pada posisi sikap diplomatisnya untuk mendukung penuh
kedaulatan Indonesia atas Papua, sesungguhnya sejalan dengan sikap Uni Eropa secara
umum. Posisi sikap diplomatis negara-negara yang masuk dalam zona Uni Eropa secara
umum lebih memilih mendukung penerapan otonomi khusus pasca-meninjau langsung situasi
di Papua dan menekankan perlunya penegakan HAM di tanah Papua, termasuk posisi sikap
lembaga kerja sama regional dan internasional seperti ASEAN, PBB dan lembaga keuangan
internasional yang lebih mendukung langkah kebijakan Indonesia dalam menerapkan
Otonomi Khusus di Papua (Elisabeth, 2006).
Namun, beberapa negara yang memiliki kepentingan bisnis dan ekonomi secara langsung
maupun tidak langsung, termasuk korporasi dan pihak-pihak yang turut menikmati bisnis
eksploitasi sumber daya alam di Papua tentu akan memainkan perannya dalam pergolakan
Papua.
Isu internasionalisasi permasalahan Papua yang dikampanyekan oleh Organisasi Papua
Merdeka (OPM) dalam strategi lobi dan negosiasi dengan pemerintah negara asing,
masyarakat internasional, organisasi non-pemerintah di tingkat internasional, dan lembaga
dunia. Kadang kala agenda setting OPM dilakukan dengan menciptakan insiden di Papua, isu
gelombang suaka politik ke negara lain, atau melakukan berbagai agenda demonstrasi di
Papua, atau demo di Jakarta setiap tanggal 1 Desember bertepatan dengan hari lahirnya OPM,
dan bahkan demo di kedutaan Indonesia di negara sahabat untuk menarik perhatian dan
simpati masyarakat, pemerintah negara lain, dan dunia internasional pada umumnya.
Konstruksi isu versi OPM ini diharapkan mampu melahirkan simpati beberapa negara asing
15
yang mendukung gerakan Papua Merdeka. Nantinya, simpati itu akan ditindaklanjuti dalam
bentuk rencana aksi dengan kegiatan yang merugikan kepentingan diplomasi Indonesia
terkait masalah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Resolusi Isu Papua
Apabila dilihat dari sejarah terbentuknya OPM, akar permasalahan mendasar gerakan OPM
sesungguhnya adalah kepentingan kekuasaan dan politik. Gerakan Papua Merdeka
memandang bahwa wilayah Papua terpisah dari kekuasaan Indonesia, bukan terintegrasi
menyatu dengan Indonesia. Kelompok ini merasa menjadi bangsa yang berbeda dan bukan
bagian dari bangsa Indonesia. Gerakan ini mengembangkan paham bahwa berdasarkan akar
kesejarahan terbentuknya geologi dan ekosistem bahkan secara politik sesungguhnya Papua
bukan bagian dari Indonesia.
Berbagai pendekatan yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia meliputi: Pertama, upaya
diplomasi Indonesia di tingkat internasional, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
memanfaatkan posisi tawar kekuatan diplomatis hubungan antar negara dengan Indonesia dan
menyosialisasikan posisi kebenaran sejarah Papua harus dioptimalkan memberikan manfaat
bagi pengendalian dan pencegahan usaha-usaha diplomatis gerakan OPM secara
internasional, termasuk upaya pendirian kantor perwakilan OPM dan menyampaikan nota
protes diplomatik terhadap penyelenggaraan kegiatan-kegiatan OPM di negara sahabat.
Kedua, kenyataan motivasi ideologis dan politik tokoh OPM seharusnya menegaskan bahwa
pendekatan yang paling efektif dalam menyelesaikan berkembangnya isu Papua merdeka
berdasarkan akar permasalahan gerakan OPM adalah langsung membangun interaksi dengan
tokoh-tokoh OPM, dengan berupaya meluruskan sejarah bengkok tentang Papua dan OPM
agar kembali menjadi sejarah utuh yang menyatu dengan sejarah Indonesia dan mampu
memberikan garansi peran penting keterlibatan orang Papua asli dalam penyelenggaraan
pemerintahan di pusat dan di seluruh daerah di Indonesia.
Ketiga, pada tingkat akar rumput, aparatur keamanan dan pemerintahan harus membangun
kedekatan kultural dan sosial dengan masyarakat setempat dan dengan berbagai komponen
masyarakat secara intensif, meningkatkan kohesi antara masyarakat lokal dengan masyarakat
pendatang, termasuk meningkatkan interaksi dan saling pengertian antar-budaya yang
beragam dan antar-etnis yang saling berkontribusi membangun peradaban dan kemajuan
Papua yang jauh lebih menjanjikan di masa-masa depan.
Keempat, sementara permasalahan mengatasi keadilan pembangunan dan penegakan HAM
harus terus diupayakan secara konsisten dan berkesinambungan untuk tetap menunjukkan
niat tulus Pemerintah Indonesia kepada rakyatnya di Papua, dan dalam upaya
mempertahankan pandangan Internasional atas niat baik dalam memberikan perlakuan yang
sama dengan daerah lain dan selayaknya bagi Papua sebagai bagian integral dari Indonesia.
Kelima, membentuk badan khusus/desk Papua bukan ad hoc atau setingkat dirjen di
16
kementerian terkait, yang bekerja khusus menangani masalah Papua secara terus-menerus,
termasuk dalam mengupayakan pergerakan OPM dapat dikendalikan dan diminimalisasi.
Keenam, mengembangkan operasi intelijen dalam dan luar negeri, dan mengoptimalkan
peran NGO pro-Pemerintah Indonesia yang harus dioptimalkan untuk menyuarakan
kepentingan aspirasi masyarakat Papua yang sesungguhnya untuk tetap menyatu dengan
Indonesia.
Ketujuh, melakukan pengawasan LSM/NGO, peneliti, wartawan asing, seminari dan aktivis
sosial multinasional untuk mengantisipasi adanya hidden agenda yang berhubungan dengan
kepentingan propaganda OPM di dalam dan di luar negeri.
Kedelapan, melakukan pengetatan pengawasan penyaluran anggaran daerah yang berpeluang
dimanfaatkan oleh organisasi non-pemerintah, yang pada akhirnya justru disalurkan dan
digunakan untuk membiayai kegiatan dalam mendukung berbagai agenda Organisasi Papua
Merdeka.
Bagaimana pun, OPM harus menyadari bahwa tren global saat ini adalah dunia semakin
menyatu dalam entitas-entitas kewilayahan, sebagaimana tren terbentuknya kawasan Uni
Eropa dengan mata uang tunggal, tren penyatuan Korea, tren menyatunya kawasan ASEAN,
dan lain-lain. Tren global juga menegaskan kegiatan separatis tidak mendapatkan tempat di
mata negara-negara di dunia. Oleh karena itu, pilihan terbaik adalah dengan tetap menjaga
integrasi Papua menyatu dengan Indonesia untuk selamanya, dan tetap memastikan
pembangunan yang merata, berkesinambungan, menyejahterakan dan berkeadilan terjadi dan
tetap berlangsung di Papua.
BRIGJEN POL. DR. BAMBANG USADI, MM
Karobankum dan Divkum Polri
17
Bencana Ekologis
05-11-2016
Agaknya banjir semakin meluas di musim penghujan ini. Hal demikian bisa diartikan daya
dukung lingkungan semakin rendah.
Jika ekologi dipandang sebagai hubungan timbal balik makhluk (khususnya manusia) dengan
lingkungan sekitarnya (Soemarwoto, 1997), maka kebutuhan lahan yang tinggi
mempersempit ruang gerak air yang terus bertambah banyak. Dampaknya, risiko kebanjiran
tidak hanya terjadi pada lahan yang biasa tetapi bisa terus bertambah seperti kebanjiran di
beberapa tempat di Kota Bandung.
Negara sebagai organisasi superbody yang event organizeran oleh pemerintah memiliki
kedudukan penting sesuai konstitusi. Kesatupaduan pemikiran dan langkah antara pusat-
daerah serta daerah dengan daerah akan menunjukkan hadirnya negara dalam kehidupan
rakyatnya.
Tatkala disharmonisasi muncul, beragam persoalan bisa mewarnai perjalanan pemerintah
yang melahirkan ketidakpercayaan rakyat dan berujung kekecewaan. Oleh karenanya, rule of
law seperti digariskan dalam karakteristik good governance menjadi prioritas untuk
dijalankan pemerintah.
Rehabilitasi
Rehabilitasi kerusakan yang ada pastilah harus berangkat dari pemikiran seluruh stakeholder.
Egoisme sektoral yang senantiasa bertahan perlu direhabilitasi pula karena hal seperti itu
menunjukkan kesombongan dan memberikan teladan buruk bagi rakyat. Praktik tawuran,
sengketa etnis dan agama, agaknya berkaitan dengan kelangkaan contoh untuk hidup
harmonis di tataran suprastrukturnya.
Dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai utama, serta birokrat sebagai
pelayan publiknya, maka integrasi dan integritas harus diacu agar tidak memiliki loyalitas
ganda. Sebagai pelayan publik, kompetensi teknis atas apa yang harus dijalankan menandai
penting agar publik tidak memperoleh kekesalan. Kendati demikian, publik juga diajarkan
bagaimana bekerja dengan kesungguhan sehingga keteladanan dapat muncul tatkala
pelayanan publik dilaksanakan.
Kepuasan publik yang diraihnya tidak hanya ketika durasi penilaian award pelayanan
diberlakukan. Dengan atau tanpa award pun, pelayanan harus tetap berlangsung dengan
18
peningkatan kompetensi secara signifikan. Hal demikian penting, mengingat perkembangan
zaman menyebabkan dinamika publik pun terus berangsur tinggi dan harus dipuaskan.
Bowman (2010) benar bila kompetensi di atas tidak hanya tunggal, namun perlu disertai
dengan kompetensi etika. Dalam konteks ini birokrat tidak hanya mengajarkan beretika,
namun juga meneladaninya. Tidak hanya meneladani dalam berinteraksi dengan sesama
birokrat untuk saling menghargai dan mengecilkan egoisme sektoralnya, namun juga dalam
hal memperlakukan alam sesuai kaidah etika yang ada.
Dengan menempatkan alam sebagai mitra yang menemani hidup manusia, maka baik
buruknya kehidupan manusia ditentukan oleh perilakunya dalam memperlakukan alam.
Kerusakan lingkungan bisa sebagai akibat rendahnya kompetensi etika terhadap
lingkungannya. Kesadaran pemangku kepentingan akan dampak bencana, maka kesepakatan
untuk menjaga hulu menjadi penting. Harmonisasi pun patut dibangun antara akademisi
dengan praktisi sehingga birokrat berangkat dari pengawalan etika ekologis dalam
memberikan perizinan atas sejumlah lahan yang merusak ekologis.
Kemampuan menolak atau pun mengarahkan peminta izin patut disertai kompetensi
leadership. Hal demikian dimaknai agar birokrat atau pun elite negeri mampu memberikan
arah yang didengar, dimengerti dan dipatuhi oleh siapa pun. Sebagai leader, birokrat mesti
ditempa untuk bisa menyatu antara ucapan, tekadnya, serta perilakunya.
Konsistensi ini menjadi penting menurut Edward III (1980) agar dalam mentransmisikan
dilakukan pada orang yang tepat secara kompetensinya. Demikian halnya dengan kejelasan
yang harus disampaikan kepada stakeholder sehingga dalam konteks tersebut konsistensi
memegang kedudukan pentingnya.
Syahwat
Mungkin saja bencana menjadi indikasi bahwa kebutuhan mendesak etika. Penggundulan
hutan sebagai area hulu atau pembiaran illegal logging, secara perlahan menuai banjir dan
longsor di hilir. Resapan air pun terus susut lantaran ada alih fungsi lahan untuk kebutuhan
pembangunan fisik. Persediaan air tanah pun menjadi berkurang dan menyebabkan
kekeringan di musim kemarau. Sedangkan, musim hujan malahan membuat air berlebih.
Semuanya telah dipahami seluruh birokrat, namun karena desakan kebutuhan, tidak banyak
yang mampu mengamalkannya. Syahwat yang kencang mendera menyebabkan etika
dibiarkan ditelanjangi sampai lupa bahwa alam merupakan pinjaman dari generasi
mendatang.
Bisa jadi birokrat harus belajar dari sejumlah suku yang hidup menyatu dengan
alamnya. Kearifan memperlakukan alam sering tampak pada sejumlah suku yang justru
dianggap primitif oleh saudaranya yang merasa hidup modern. Dengan nilai luhur yang
19
diadopsi pemerintah untuk kenyamanan hidup, maka syahwat rakus sejumlah pihak patut
diredam agar tidak menimbulkan bencana di kemudian hari.
Bisa saja pandangan adat yang menyebutkan jika bencana akibat murkanya penghuni hutan
yang ada di gua atau pun di pohon direnungi esensinya, bukan lantas dianggap syirik. Karena
itu, hidup yang modern bukan terletak pada gemerlapnya keduniawian, namun yang mampu
menghadirkan hutan di lingkungannya sendiri.
Pengelolaan syahwat menjadi penting agar tidak diobral secara besar-besaran. Melalui
kecerdasan front line di birokrasi, perizinan dikawal ketat sesuai aturan. Kekompakan
pemerintah secara vertikal atau pun horizontal pun menjadi penting untuk mengawal
sejumlah kawasan strategis negeri ini. Bahkan, posisi hulu yang sering melampaui kekuasaan
kabupaten/kota mesti ditangani oleh pemerintah yang lebih tinggi agar seluruh aktivitas yang
berkaitan dengan gangguan ekologis dapat dikendalikan.
Oleh sebab itu, syahwat lingkungan dekat birokrat atau pun elite mesti dikelola dengan baik
agar tidak memberikan informasi sesat yang disesuaikan dengan syahwat serakahnya seperti
Kast (1986) tuliskan. Mungkin sedikit waktu untuk introspeksi diri dari pejabat, aparat atau
pun birokrat atas sejumlah bencana yang melebar. Hal demikian bisa dilantarankan oleh
desakan syahwat yang kuat dari lingkungan sekitar, atau mungkin karena desakan kebutuhan
yang mengalahkan nilai yang dianutnya.
Atau mungkin karena integritas publiknya rendah seperti Sutor (1999) tuliskan. Untuk itu,
integritas seperti itu patut didorong dan ditanamkan agar tidak dikalahkan oleh predator yang
menempatkan negeri ini sebagai panggung untuk meraup keuntungan sampai energinya
habis. Setelahnya pastilah akan mencari panggung baru yang alamnya masih perawan. Bila
hal demikian dibiarkan, maka bencana ekologis akan menjadi langganan negeri ini dengan
intensitas yang semakin tinggi.
ASEP SUMARYANA
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
20
Agar Pemilihan Rektor Tidak Kotor
07-11-2016
Isu suap pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) mencuat di antaranya karena
adanya laporan maladministrasi ke Ombudsman.
Misalnya ada laporan ijazah calon rektor di luar kewajaran, tuduhannya menempuh studi S-3
lewat jalur online, tetapi tetap dipaksakan. Laporan di PTN lainnya jumlah anggota senat
universitas yang tidak wajar, membengkak. Bahkan belasan anggota senat yang sedang
menempuh pendidikan di provinsi lain tetap memiliki hak pilih.
Gaung isu suap ini diperkuat oleh Ketua KPK Agus Rahardjo yang secara terang-terangan di
hadapan publik menyampaikan secara langsung kepada Menristek Dikti soal isu suap ini. Hal
itu diungkapkan dalam acara Corruption Summit di UGM, Yogyakarta. Dipertegas pula oleh
Direktur Pendidikan Tinggi Bappenas ketika sebagai narasumber dalam diskusi Perspektif
Indonesia beberapa waktu lalu.
Sungguhpun harus dibuktikan, informasi ke Ombudsman tidak kalah mencengangkannya.
Ada informasi bahwa untuk menjadi rektor ada yang memberikan uang pelicin Rp1,5 miliar-
5 miliar. Bagi Ombudsman ini sekadar informasi yang bukan menjadi kewenangan lembaga
negara ini untuk mendalaminya. Ombudsman RI hanya fokus pada perbuatan maladministrasi
saja. Lembaga ini tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan korupsi. Soal
pembuktian ada tidaknya korupsi dalam pemilihan rektor perguruan tinggi milik pemerintah
menjadi ranah penegak hukum, termasuk KPK. Informasi soal dugaan suap ini pun sudah
masuk ke KPK dan menjadi kewenangan lembaga ini untuk menuntaskannya. Wajar saja jika
Ketua KPK menyampaikan langsung soal ini kepada Menristek Dikti ketika acara antikorupsi
di Yogyakarta itu.
Pastilah banyak pihak menyangkal adanya suap pemilihan rektor. Namun merebaknya soal
ini memunculkan dua hal yang tidak baik. Pertama, cerita adanya suap dalam pemilihan
rektor ini sudah menjadi bahan cerita di banyak tempat. Bukan lagi bisik-bisik, tetapi dalam
banyak kesempatan sudah terang-terangan ceritanya.
Selain itu isu adanya suap dalam pemilihan rektor sangat merugikan perguruan tinggi dan
Kemenristek Dikti serta dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Betapa tidak, selama ini
perguruan tinggi dinilai sebagai tempat yang identik dengan nilai-nilai moral. Apalagi
perguruan tinggi pula yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi dan antikorupsi. Bagaimana
jadinya jika ternyata ada di antara pemilihan rektor sebagai hasil dari praktik menyimpang
dalam bentuk suap?
21
Atasi Akar Masalahnya
Di masa lalu, tidak pernah terdengar adanya isu suap dalam pemilihan rektor di perguruan
tinggi milik pemerintah sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Jabatan rektor hanyalah
sebagai tugas tambahan bagi seorang dosen yang masih memiliki kemampuan untuk
mengembannya. Salah satu sebabnya mungkin di masa lalu itu kampus memiliki otonomi
dalam pemilihan rektornya, tidak ada campur tangan dari pihak luar. Jikapun menteri berhak
menentukan siapa yang dilantik di antara calon yang terpilih oleh senat universitas, akan
sangat langka menteri berpendapat lain, tidak sama dengan yang diputuskan oleh para
anggota senat.
Namun kemandirian perguruan tinggi negeri dalam memilih pimpinan tertingginya berubah
sangat signifikan ketika diterbitkannya peraturan menteri yang menjadikan menteri sangat
dominan. Ketentuan itu adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada
Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Pemerintah. Memang kemudian diperbaharui
dengan Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2015. Selanjutnya diterbitkan lagi Permenristek
Dikti No. 1 Tahun 2016.
Namun esensi untuk mekanisme pemilihan rektor dalam dua peraturan menteri perubahan
tersebut sama saja, yaitu memberikan suara mayoritas kepada Menristek Dikti. Dalam
Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri, Pasal 7 menegaskan: (e) pemilihan
rektor/ketua/direktur dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan:
(1) menteri memiliki 35% (tiga puluh lima persen) hak suara dari total pemilih; dan (2) senat
memiliki 65 (enam puluh lima persen) hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki
hak suara yang sama.
Mungkin sebagian besar publik tidak memahami bahwa dalam pelaksanaannya, Menristek
Dikti sesungguhnya memiliki jumlah suara di atas 50%. Menteri menerbitkan aturan dan cara
hitung-hitungan sendiri dalam soal pembagian suara 35% versus 65% tersebut. Saya awam
soal matematika karena membayangkan 35% dari 100 kertas suara itu sama dengan 35 kertas
suara. Artinya, anggota senat 100 lembar kertas suara dan menteri 35 kertas suara. Ternyata
dalam praktik, hitung-hitungannya tidak demikian. Ada rumus tersendiri yang saya juga tidak
pahami. Kebetulan saya pernah dua periode menjadi sekretaris senat universitas dan pernah
pula memimpin prosesi pemilihan rektor.
Rumus yang disampaikan kepada panitia pemilihan untuk diikuti ada tersendiri lagi. Cara
menghitungnya adalah 35 dibagi 65 lalu dikalikan n (jumlah anggota senat). Artinya jika
anggota senat suatu PTN adalah 100 orang, menteri memiliki kertas suara sebanyak 54
lembar.
Sesuai ketentuan, calon rektor yang masuk final itu tiga orang sebelum menteri menggunakan
hak suaranya. Biasanya 100 suara anggota senat itu akan menyebar kepada tiga calon. Tidak
22
pernah menumpuk hanya kepada satu kandidat saja. Sementara suara menteri sudah
menunggu 54 suara. Artinya kepada siapa suara menteri ini dibagikan, “sudah pasti” dialah
yang bakal menjadi rektor.
Pokok pangkal masalah sesungguhnya adalah pada hak suara 35% (dalam praktik lebih dari
50%) ini yang menjadi persoalan. Itu sebabnya cara paling ampuh mengatasi masalah ini
adalah dengan mencabut peraturan menteri tentang hak suara tersebut. Berikan saja 100%
suara kepada anggota senat universitas. Kementerian lebih fokus pada pengembangan
universitas dari aspek fasilitas dan akademiknya.
Bukan Era Mohammad Nasir
Saya ingin menegaskan bahwa terbitnya ketentuan 35% suara (dalam praktik sesungguhnya
lebih dari 50% suara) diterbitkan oleh menteri periode sebelumnya, bukan oleh Menteri
Mohammad Nasir. Salah juga jika ada yang menuduh bahwa beliau yang sengaja membuat
aturan ini untuk kepentingannya. Saya menilai Menteri Mohammad Nasir sangat terbuka
dengan perbaikan-perbaikan mengenai mekanisme pemilihan rektor yang dipersoalkan itu.
Menteri secara tegas menyatakan “silakan lapor ke polisi” terhadap siapa saja yang terlibat.
Kita mendukung sikap tegas beliau. Hanya saja, dalam soal hak suara 35% (dalam praktik
lebih dari 50%) ini ada perbedaan mendasar antara menteri era kini dan masa sebelumnya. Di
era menteri sebelumnya suara lebih disebar. Ada pembagian “agak merata” antarkandidat. Di
era sekarang ini, suara menteri tumplek blek diserahkan kepada satu kandidat saja.
Tentu ada plus-minus dengan cara fokus kepada satu kandidat saja, tidak satu pun diberikan
kepada kandidat lain. Pertama, cara ini memungkinkan kandidat dengan suara paling rendah
di tingkat universitas terpilih sebagai rektor karena mengantongi semua suara menteri yang
lebih dari 50% tadi.
Akibat “tidak sehatnya” juga cukup nyata. Rektor terpilih mengantongi suara minoritas di
tingkat grass root. Akibatnya sangat mungkin bakal agak kewalahan melaksanakan program-
programnya karena dukungan yang tidak penuh. Selain itu, ini celah masuknya, suara 50%
lebih yang dimiliki menteri dan mutlak diberikan kepada satu calon menjadi sangat
menggiurkan. Menggiurkan bagi “tim sukses” rektor dan menjanjikan pula bagi mereka yang
mampu memanfaatkan peluang ini untuk melakukan berbagai manuver yang berujung pada
urusan finansial.
Kampus sebagai Teladan
Selama ini perguruan tinggi itu menjadi rujukan banyak hal, terutama soal moralitas dan
kredibilitas. Jika benar apa yang dirumorkan, moralitas dan kredibilitas itu runtuh sudah.
Tidak sejalan dengan topik yang sering dikuliahkan. Selama ini perguruan tinggi paling
lantang meneriakkan soal rendahnya moralitas dan kredibilitas dalam pilkada,
23
misalnya. Pihak luar sekarang dapat juga mengarahkan telunjuknya ke perguruan tinggi
sekaligus dengan cibirannya.
Itu sebabnya harus segera diambil langkah nyata mengatasi persoalan ini. Setidaknya ada dua
hal yang membuat kita mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Mensristek
Dikti. Pertama, komitmen beliau untuk memproses hukum siapa saja yang benar-benar
terbukti terlibat dalam suap pemilihan rektor tersebut. “Lapor saja ke aparat hukum,”
demikian berkali-kali diucapkan dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika saya kontak
beliau menginformasikan soal ini.
Selain itu Menristek Dikti telah pula mengundang Ombudsman, KPK, dan KASN
membicarakan aturan pemilihan rektor. Dibicarakan bagaimana sebaiknya aturan pemilihan
ke depan dengan cara merevisi ketentuan yang ada. Sebagaimana juga banyak suap di negeri
ini, mungkin hanya sebagian kecil saja yang mampu dibongkar. Sulit mencari orang yang
berani memberikan kesaksian. Boleh jadi karena di antara mereka menjadi bagian dari tindak
pidana itu. Seandainya benar-benar ada, mana mungkin “rektor terpilih” berkenan bercerita
apa adanya.
Kita mengapresiasi “langkah cepat” Menristek Dikti yang segera merespons temuan
Ombudsman RI yang juga di-echo oleh KPK. Saya yakin bakal ada rumusan-rumusan
perbaikan aturan. Namun haruslah tuntas revisi aturan pemilihan rektor itu. Langkah penting
menuntaskan isu kotor pemilihan rektor ini dengan to the point saja, batalkan hak suara
menteri 35%. Apalagi dalam praktiknya, suara menteri tersebut dengan kalkulasi khusus,
sesungguhnya sekitar 54%, bukan 35%. Inilah satu-satunya cara cepat agar pemilihan rektor
tidak kotor dan tidak terus menjadi rumor.
PROF AMZULIAN RIFAI, PhD
Ketua Ombudsman RI
24
Kanalisasi Perang Informasi
08-11-2016
Banjir informasi kini terjadi di hampir seluruh kanal komunikasi warga. Sama seperti halnya
banjir bandang, informasi yang meluap dan deras menerjang bisa meluluhlantakkan ragam
barang kepemilikan serta membuat situasi tak nyaman.
Unjuk rasa warga di 4 November lalu bukan peristiwa biasa, situasi penuh paradoks yang
menjadi gejala ada anomali dalam konstelasi politik kita. Informasi berhamburan dan
dipertukarkan nyaris tanpa takaran. ”Hujan deras” informasi yang membanjiri media massa
dan media sosial tanpa jeda. Butuh langkah konkret pemerintah, penegak hukum, tokoh
agama, dan tokoh masyarakat agar curah hujan informasi bisa dikanalisasi dengan baik
sehingga tak berpotensi melahirkan tsunami.
Media Sosial
Kini banjir informasi yang harus diwaspadai ada media sosial. Media ini penetratif ke ruang-
ruang personal nyaris tanpa batas. Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward &
Cahill dalam tulisan mereka “Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political
Communication” (2007) menyadari era kemunculan komunikasi di mana media cetak dan
penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik di era
melimpahnya informasi. Ide, informasi, dan berita politik disebarluaskan melalui media
online.
Pertarungan informasi luar biasa. Setiap saat, warga terpapar ”berita” yang dipertukarkan
lewat jejaring sosial media mereka. Polanya sama, memancing warga untuk terlibat dalam
bauran antara fakta dan fantasi, berita dan opini, data dengan rumor dan gosip, serta antara
jurnalisme warga dan propaganda.
Pola acak komunikasi dimainkan dengan titik tekan pada ”tawuran opini” dan pengaburan
arti penting verifikasi. Publik dibuat tak berdaya menggunakan nalarnya, sehingga sadar atau
tidak sadar menjadi mata rantai kebohongan dan manipulasi psikologis ala viral media sosial.
Harus disadari bahwa situasi ini nyaris sempurna menggambarkan sosial media bisa dipakai
dalam operasi second hand reality atau realitas buatan.
Meminjam istilah C. Wright Mills dalam buku klasiknya The Power Elite (1968) fenomena
ini sebagai penyajian dunia ”pulasan”. Jika Mills dulu melihat dunia pulasan ada di media
massa, saat ini nyaris sempurna ada di media sosial warga. Benang merah pertarungan
biasanya sama, yakni operasi propaganda dengan ragam tekniknya. Informasi dan isu
25
diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan sehingga media sosial disesaki gelembung isu
(bubble issues) yang mengaburkan faktanya itu sendiri.
Unjuk rasa 4 November sudah dibawa ke mana-mana. Jelas ada perang di dunia siber (cyber
war) dan menjadikan media sosial warga sebagai medan perang asimetris. Kelompok warga
dibentur-benturkan dengan kelompok lainnya dengan isu berdaya ledak tinggi yakni isu suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA). Di situasi seperti ini yang harus diwaspadai adalah
para penunggang bebas (free rider) yang memanfaatkan chaos sebagai cara berlindung
mereka.
Demonstrasi adalah komunikasi yang dilindungi konstitusi. Tetapi, provokasi dan stimulasi
perang opini di media dan media sosial menjadikan demonstrasi bisa berpotensi menjadi
tsunami yang memorak-porandakan keindonesiaan kita.
Stimulan Positif
Meski sulit, semua pihak harus turut menganalisasi informasi di media sosial. Hal ini bisa
dilakukan dengan stimulan informasi positif terutama oleh para gate keeper.
Pertama, pemerintah merupakan pihak pertama yang harus memiliki tanggung jawab sosial
atas informasi di masyarakat. Jangan asal tuduh tanpa bukti memadai. Presiden sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus menyampaikan pernyataan yang terukur,
bukan ngawur. Tuduhan bahwa ada aktor yang menunggangi demo 4 November harus
berbasis data verifikatif bukan mengira-ngira.
Selain itu, juga harus ada niat baik dan niat politik yang kuat untuk mendorong penegakan
hukum atas dugaan adanya penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama tanpa
intervensi dan kesan melindungi. Wakil Presiden sudah mengikrarkan waktu dua pekan untuk
kasus Ahok. Pernyataan tersebut harus jelas peran informasinya, apakah yang dimaksud
adalah kejelasan status Ahok atau apa yang dimaksud?
Kedua, para tokoh ulama dan tokoh masyarakat yang menjadi public figure umat yang
berdemonstrasi wajib memastikan bahwa mereka menyampaikan pernyataan-pernyataan
yang benar, terukur, dan tidak menabrak etika, hukum serta keadaban publik.
Saat ini, pernyataan mereka akan menjadi panduan, sekaligus asupan tak hanya pada level
kognisi melainkan juga pada gerak tindakan warga akar rumput. Pernyataan tokoh yang
provokatif apalagi mengumbar ujaran kebencian bisa turut memanaskan situasi dan
berdampak destruktif jika dikutip dan disebarluaskan melalui media sosial milik warga.
Ketiga, warga punya tanggung jawab sosial untuk berkomunikasi dengan cerdas dalam
menyikapi pola acak di media sosial. Jangan cepat larut dalam histeria massa. Nalar politik
dan melek informasi digital sangat berguna untuk menyaring mana informasi yang baik dan
benar, serta mana informasi yang sesat dan menyesatkan. Saat mengakses informasi di media
26
sosial, harus ada komparasi lebih dari satu sumber. Jangan sampai mudah teperdaya oleh
viral di media sosial dan menjadi bagian dari mata rantai informasi tak bertuan. Karakter kuat
warga rasional tak mudah mempercayai berita tanpa verifikasi data.
Ikut menyebarkan kebohongan, fitnah, dan informasi tak jelas, membuat siapa pun yang
melakukannya akan merusak kohesi sosial dan politik yang ujungnya merusak rumah besar
Indonesia.
DR. GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
27
Interpol Dan Hambatan Kerja Sama
08-11-2016
Sengketa geopolitik, terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi, human trafficking,
hingga cyber crime, dan perusakan lingkungan menjadi tantangan terkini semua negara.
Untuk merespons ragam tantangan itu dibutuhkan kerja sama penegak hukum antara negara
yang satu dan negara lain. Indonesia bisa memperluas kerja sama bilateral dengan
memanfaatkan Sidang Umum International Police (Interpol) Ke-85 di Bali pada 7-10
November 2016.
Wilayah perairan Indonesia di kawasan Natuna masih menyimpan potensi sengketa, karena
Cina tetap mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan para
nelayan dari Negeri Tirai Bambu. Selain itu, maraknya penyelundupan narkoba ke dalam
negeri menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi target bagi pelaku kejahatan transnasional
terorganisasi.
Menurut data Security Threat 2013, sebagaimana dilaporkan oleh State of The Internet 2013,
Indonesia adalah negara paling berisiko mengalami serangan cyber crime. Indonesia pun
berada di urutan kedua dalam daftar lima besar negara asal serangan cyber crime. Bareskrim
Polri mencatat bahwa kejahatan siber terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode
Januari-Oktober 2015 misalnya, tercatat 1.325 laporan dengan jumlah perkara yang
diselesaikan sebanyak 355. Dari 2012 sampai April 2015 Polri telah menangkap 497 orang
tersangka kasus kejahatan di dunia maya. Dari jumlah itu, 389 orang di antaranya adalah
warga negara asing.
Sementara itu, kerugian Indonesia akibat praktik illegal fishing sangat besar. Menurut Badan
Pangan Dunia atau FAO, kerugian Indonesia akibat illegal fishing mencapai Rp30 triliun per
tahun. Tetapi, pemerintah punya perhitungan lain. Ketika Indonesia masih pasif, ada ribuan
kapal yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia. Kerugian negara pun
diperkirakan mencapai Rp240 triliun per tahunnya.
Fakta tentang kejahatan yang mengarah pada perusakan lingkungan di Indonesia juga terlihat
berkesinambungan. Pada Maret 2014 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut dalam skala
besar di Riau, Sumatera. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut
asap. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang
dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim. Menurut para ahli,
pembukaan lahan untuk tujuan agrikultur menjadi pendorong utama dari terjadinya kebakaran
hutan dan lahan gambut.
28
Inilah beberapa contoh kasus nyata terkini yang terus dihadapi Indonesia dan menjadi
pekerjaan harian aparatur penegak hukum. Ibarat gelombang laut, kasus demi kasus terus
bermunculan, tak putus-putus. Arus penyelundupan narkoba terbilang sangat tinggi. Begitu
juga dengan praktik illegal fishing di perairan Indonesia. Tindakan tegas Indonesia dengan
menembak mati gembong narkoba dan menghancurkan kapal penangkap ikan ilegal ternyata
belum mampu menumbuhkan efek jera.
Kadang, muncul pertanyaan, apakah kapasitas aparatur penegak hukum Indonesia cukup
besar serta mampu menampung dan memproses tumpukan kasus itu? Fakta-fakta dengan
kecenderungan seperti itu menjadi bukti bahwa Indonesia memang tidak bisa sendirian dalam
menumpas ragam kejahatan lintas negara. Koordinasi dan kerja sama dengan aparat penegak
hukum negara lain menjadi kebutuhan yang nyaris tak terhindarkan.
Globalisasi memunculkan sejumlah konsekuensi logis, karena setiap negara menjadi begitu
terbuka. Keterbukaan menjadi tuntutan demi efisiensi dan kelancaran lalu lintas manusia,
barang, dan jasa. Namun, sudah terbukti bahwa keterbukaan itu menghadirkan sejumlah
ekses, termasuk kejahatan lintas negara.
Pada pekan kedua November 2016 ini Indonesia menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan
sidang umum Interpol. Kepercayaan kepada Indonesia menjadi tuan rumah sidang Interpol
punya makna khusus. Ia mencitrakan profil polisi Indonesia. Kendati begitu, jauh lebih
penting adalah bagaimana Indonesia bisa memaksimalkan pemanfaatan forum itu untuk
meningkatkan efektivitas kemampuan Polri merespons ragam tantangan terkini.
Mengatasi Hambatan
Sidang Umum Interpol Ke- 85 bertema “Setting a Global Roadmap for International
Policing” itu diselenggarakan di Nusa Dua Convention Center, Bali. Dihadiri delegasi polisi
dari 190 negara, acara penting ini dijadwalkan berlangsung pada 7-10 November 2016.
Rangkaian acaranya sudah diawali dengan parade bendera negara anggota pada 30 Oktober
2016. Presiden Joko Widodo membuka pelaksanaan Sidang Umum Interpol Ke-85 itu.
Sidang umum Interpol merupakan wadah kerja sama internasional untuk meningkatkan
penegakan hukum. Juga menjadi wadah pembahasan penanganan berbagai modus kejahatan
dari jaringan internasional seperti narkoba dan terorisme. Pada sidang di Bali ini ada empat
program prioritas yang akan dibahas: terorisme, emerging and organized crime, cyber crime,
dan illegal fishing.
Ada juga agenda pembahasan tenang isu-isu korupsi. Tetapi khusus tentang perburuan
koruptor di luar negeri, masing-masing anggota diberi keleluasaan untuk mengikat kerja sama
bilateral antarnegara. Kerja sama bilateral diperlukan dengan alasan menghormati kedaulatan
hukum masing-masing negara anggota. Karena Polri masih harus memburu puluhan buron
koruptor, sidang umum Interpol kali ini hendaknya dimanfaatkan Polri untuk membangun
29
kerja sama dengan sejumlah negara yang selama ini diketahui sebagai tujuan pelarian para
buron itu. Antara lain Singapura, Cina, Kamboja, Australia, dan Amerika Serikat (AS).
Indonesia mendapat kehormatan karena menampilkan dua keynote speaker, yakni Kapolri
Jenderal Tito Karnavian dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Jenderal Tito
akan membahas isu penanggulangan terorisme, sedangkan Menteri Susi memaparkan
masalah dan penanganan illegal fishing.
Menjadi tuan rumah sidang umum Interpol punya makna strategis bagi Indonesia, Polri
khususnya. Pujian dari komunitas internasional kepada Indonesia atas penanganan terorisme
bukanlah cerita baru. Untuk pekerjaan yang satu ini Indonesia dinilai sangat kredibel. Dalam
beberapa forum tingkat global, Indonesia pun sering diminta untuk berbagi pengalaman.
Sikap tegas dan lugas yang diperlihatkan Indonesia dalam merespons illegal fishing juga
mengundang decak kagum dari banyak negara. Beberapa alasan inilah yang diduga menjadi
pertimbangan Interpol memilih Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan sidang umum ke-
85.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun mengapresiasi Polri. Penunjukan itu merupakan
pengakuan masyarakat internasional atas kontribusi Indonesia dalam menjaga ketertiban
dunia. “Selamat kepada Polri untuk menjadi tuan rumah sidang umum Interpol. Sidang ini
sangat penting agar peran Indonesia di dunia internasional semakin kentara,” kata Menlu.
Penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah diumumkan pada sesi terakhir sidang umum
Interpol di Monaco, November 2014. Sidang umum Interpol merupakan salah satu sidang
terbesar setelah sidang umum PBB. Dalam sidang umum Interpol, biasanya akan muncul
inisiatif atau gagasan kerja sama baru antarnegara, baik dalam skala bilateral maupun
regional.
Dalam sidang umum Interpol di Monaco, Polri menyoroti sejumlah hambatan dalam kerja
sama kepolisian antarnegara. Ada empat faktor yang bisa menghambat kerja sama kepolisian
antarnegara. Pertama, batas yurisdiksi dan perbedaan sistem hukum antarnegara. Kedua,
perbedaan setiap negara dalam mendefinisikan kejahatan transnasional. Ketiga, perbedaan
metode dalam menangani kejahatan transnasional; keempat, persoalan political will dari tiap
negara.
Apakah Sidang Umum Interpol Ke-85 di Bali bisa mengatasi hambatan-hambatan kerja sama
kepolisian antarnegara itu? Satu hal yang pasti bahwa kejahatan lintas negara kian marak
karena para pelaku tidak peduli dengan persoalan batas negara maupun perbedaan peraturan.
Anggota Interpol, mau tak mau, harus inovatif. Selamat bersidang.
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
30
Degradasi Presiden
09-11-2016
Ada beberapa catatan penting terkait dengan Demo 4 November.
Pertama, ini merupakan demo besar dan penting di Asia Tenggara, jauh lebih dahsyat
dibandingkan Demo Bersih Empat di Kuala Lumpur tahun silam. Demo yang melibatkan
mantan PM Mahathir Mohamad untuk menurunkan PM Najib Razak karena antara lain
diyakini ada aliran dana yang masuk ke rekening pribadinya sebesar RM9 triliun, menuntut
pemilu bersih, pemerintah bersih, penyelamatan ekonomi, dan hak membantah (berpendapat).
Isunya demokrasi esensial, meskipun gagal menurunkan Najib.
Demonstrasi damai 4 November lalu melibatkan jutaan jiwa terdiri dari banyak elemen
masyarakat dan kepentingan dan berasal dari berbagai kota, Demo Bersih hanya puluhan ribu
orang.
Kedua, demo ini melibatkan komunitas dan organisasi muslim serta melibatkan para
pemimpinnya seperti ulama dan ustaz. Elemen anak-anak muda dan mahasiswa seperti
Pemuda Muhammadiyah, IMM, HMI juga penting. Tak terkecuali FPI, yang selama ini
dikenal sebagai ormas Islam yang sering dinilai sebagai hardliner dan kasar, menjadi bagian
sangat penting dari demo yang damai ini.
Di bawah kendali efektif anak muda yang smart dan pemberani seperti Dahnil, Imam Besar
FPI Habib Rizieq, Ustaz Arifin Ilham, dan para tokoh komunitas atau organisasi muslim lain
serta jutaan orang melakukan demo secara damai. Provokasi kerusuhan memang dilakukan
oleh segelintir orang dan itu pun sudah ditangkap. Sikap represif juga terjadi oleh aparat dan
menyakitkan. Tapi, Demo 4 November telah berhasil meruntuhkan pandangan akan
terjadinya destruksi besar-besaran seperti kasus Malari, kerusuhan mengiringi atau mengotori
gerakan reformasi, atau bahkan seperti a bloody racial clash di Kuala Lumpur pada 1969.
Demo ini meskipun menyangkut soal esensial dalam hal religiositas umat Islam tetap bisa
dilakukan dengan damai. Tentu ini sebuah kekuatan atau energi positif ajaran agama yang
bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi substantif, yaitu kedamaian.
Ini juga bisa menjadi gambaran penting bahwa Indonesia benar-benar merupakan bangsa
muslim terbesar di dunia dan bisa menjadi contoh bagi banyak bangsa. Media global di arus
utama yang sering menyudutkan Islam, hemat saya, bisa gagal membaca gelombang besar
umat Islam yang ternyata melaksanakan non-violent demonstration.
Siapa yang Gagal?
31
Isu yang diusung saat demo damai adalah sesuatu yang sangat substansial, bahkan dalam
demokrasi, yaitu penegakan keadilan hukum, terutama terkait penistaan agama. Agama,
sesuai dengan sila pertama Pancasila, adalah esensial dan negara berkewajiban untuk
melindunginya. Tidak boleh ada diskriminasi dan tidak boleh ada yang menista.
Penistaan terhadap agama dengan dalih apa pun merusak prinsip HAM, menista
kemanusiaan, dan tentu menista Pancasila. Menista agama adalah sebuah kemunduran dan
ketololan (jahil/jahiliyah) yang sangat luar biasa, siapa pun yang melakukannya. Menista
dengan demikian menentang keluhuran dan keadaban dan penista agama berarti tidak
beradab.
Tugas penting negara, sekali lagi, melindungi agama dari penistaan, apalagi dilakukan oleh
pejabat publik karena merupakan amanat ideologis dan konstitusional. Jika negara
mengabaikan, berarti negara menjadi bagian—karena melakukan pembiaran—dari
viktimisasi terhadap agama.
Tekanan arus liberalisme, pragmatisme ekonomi dan politik, tampaknya mendorong Presiden
enggan melakukan komunikasi dengan komunitas muslim untuk mendengarkan dan
berempati sedalam-dalamnya kepada rakyatnya sendiri. Presiden enggan menerima ajakan
baik-baik rakyatnya (bukan musuhnya) untuk mendengar permintaan hukum secara adil
terhadap penista agama. Presiden sebagai representasi negara telah gagal karena kehilangan
sensitivitasnya untuk melindungi dan menghormati hak-hak esensial kemanusiaan rakyatnya
sendiri. Bagi kekuatan muslim, keengganan Presiden menyapa dan berkomunikasi dan
ketidakhadiran negara justru menjadi peluang untuk melanjutkan perjuangan mengingatkan
elite penguasa agar kezaliman dihentikan.
Apa yang terjadi tentunya juga berdimensi politik di samping agama dan hukum. Berdimensi
politik karena menyangkut pejabat penting, yaitu gubernur dan presiden, yang di belakangnya
ada partai-partai dan kekuatan ekonomi yang tidak ringan. Presiden dan Gubernur nampak
percaya diri dengan dukungan politik dan kekuatan modal, bahkan terasa sejak pemilu, untuk
tidak perlu bersikap empatik. Tapi justru kecenderungan untuk memperlihatkan kekuasaan
dengan cara seperti inilah yang menjadi preseden negatif, terutama bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia. Dan ini yang sebetulnya terjadi bahwa demokrasi sering dirusak
justru oleh penguasa atau elite politik.
Karena itu, political distrust dan moral delegitimacy terhadap kekuasaan yang telah diberikan
oleh rakyat melalui sebuah kontrak atau perjanjian yang disebut dengan pemilu tidak bisa
dihindar. Peristiwa 4 November kemarin memberikan gambaran secara kasatmata bahwa baik
Gubernur DKI maupun Presiden telah mengalami political distrust dan moral delegitimacy
seperti di atas.
Padahal, tidak diniatkan oleh jutaan demonstran untuk mendegradasi Gubernur dan Presiden
secara politik, akan tetapi sikap tak sensitif dan tak peduli Presiden terhadap permintaan
32
demonstran telah mendegradasi dengan sendirinya. Presiden telah kehilangan momentum
penting dan indah untuk memperkokoh dan meningkatkan kualitas demokrasi.
SUDARNOTO ABDUL HAKIM
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta; Peneliti Malaysia; Ketua Komisi
Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat
33
Kredibilitas Kampanye Dan Pendidikan
Politik
09-11-2016
Pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota
di 101 daerah telah ditetapkan.
Masa kampanye telah dimulai sejak 28 Oktober 2016 dan berakhir pada 11 Februari 2015.
Alokasi waktu untuk berkampanye bagi para kandidat, tim kampanye, dan relawan cukup
panjang, sekitar tiga bulan. Masa kampanye yang panjang itu diharapkan dapat digunakan
oleh para kandidat untuk menyosialisasikan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat.
Undang-Undang Nomor 10/2016 telah mengatur bahwa pasangan calon dapat menggunakan
tujuh metode kampanye untuk merebut hati pemilih, yaitu pertemuan terbatas, pertemuan
tatap muka dan dialog, debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran
bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan di media massa cetak dan elektronik, dan
kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundang-undangan.
Dalam menjalankan tujuh metode kampanye tersebut, terdapat tiga prinsip yang mesti
dipahami dan dijalankan oleh para kandidat ketika berkampanye, yaitu jujur, terbuka, dan
dialogis. Pasangan calon dituntut menaati semua aturan dalam berkampanye dan tidak
melakukan bentuk kecurangan apa pun. Politik uang, intimidasi dan kekerasan dalam
berkampanye tidak dapat ditoleransi karena mendistorsi kehendak rakyat yang genuine atau
asli.
Kandidat mesti memuliakan pemilih sebagai manusia yang punya akal dan budi. Karena itu
”jualan” kandidat kepada pemilih semestinya bertolak dari ide, gagasan, dan program untuk
menyejahterakan masyarakat lahir dan batin. Pasangan calon juga dituntut bersikap terbuka
kepada masyarakat. Tidak boleh ada yang terkesan samar-samar, apalagi semacam ruang
gelap pada diri kandidat. Mereka harus berani membuka diri kepada publik dengan cara
memberikan informasi secara luas, detail dan benar terkait dengan visi, misi, dan programnya
kepada masyarakat.
Masa kampanye merupakan ruang untuk membangun proses deliberatif di tengah-tengah
masyarakat. Kandidat mesti ikut mendorong agar masyarakat aktif membedah dan
mendiskusikan visi, misi, dan program yang mereka tawarkan. Karena kampanye juga
merupakan bagian dari pendidikan politik untuk melahirkan pemilih yang rasional, cerdas,
dan mandiri.
34
Kampanye di era modern tidak dapat dilepaskan dari penggunaan media massa. Tren
penggunaan media dari waktu ke waktu berubah. Jika pemilu 2004 dan 2009, penggunaan
media arus utama seperti koran dan televisi masih mendominasi, kini situasinya mulai
bergeser sejak pemilu 2014. Penggunaan lanskap media sosial meningkat tajam. Kini tim
kampanye tidak lagi menyesaki ruang-ruang publik dan bekerja door to door untuk
membentuk dan menggiring opini publik. Mereka bekerja di ruang maya dan secara real time
bergerak memasuki ratusan platform media sosial yang digunakan oleh masyarakat modern
untuk berkomunikasi.
Pemanfaatan media, termasuk media sosial dalam menyebarkan visi, misi, dan program
kepada masyarakat (pemilih) merupakan bagian dari modernisasi kampanye politik.
Perubahan metode kampanye dari cara-cara yang konvensional menuju modernisasi
diharapkan dapat melahirkan kampanye yang efektif dan efisien. Informasi yang disampaikan
kandidat kepada masyarakat dapat diterima dengan mudah dan murah. Sebaliknya, kandidat
dapat menyebarkan informasi dan berdialog dengan pemilih dalam arena yang sangat luas,
tetapi tidak membutuhkan biaya besar.
Begitu besarnya manfaat media dalam kegiatan kampanye, maka semestinya dapat digunakan
secara positif dan konstruktif. Media sebagai arena pertukaran ide dan gagasan antar kandidat
dengan masyarakat luas dalam mengonstruksi sebuah gagasan besar untuk dijalankan
bersama. Proses dialog melalui beragam media itu diharapkan dapat membangun hubungan
resiprokal yang kuat antara kandidat dengan pemilih. Hubungan yang tidak bersifat sesaat
pada masa-masa kampanye saja, tetapi dapat berlanjut pada masa-masa pengelolaan tata
pemerintahan pasca-pemilihan.
Alokasi waktu kampanye selama tiga bulan diharapkan dapat dimanfaatkan para kandidat
secara efektif untuk meyakinkan pemilih. Praktik depolitisasi warga pada tahap kampanye
harus dihindari. Politik pencitraan dalam skala yang berlebihan dan hanya bertujuan
membangun kesadaran palsu atau false consciousness di tengah-tengah masyarakat mesti
dikesampingkan.
Masyarakat membutuhkan perbincangan tentang isu-isu politik yang substantif seperti
perbaikan akses dan pelayanan kesehatan, pendidikan, perbaikan taraf hidup, dan lainnya
yang pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan, keadilan, pemerataan, dan
kebahagiaan.
Masyarakat membutuhkan informasi berkualitas tentang pribadi, gagasan, dan rekam jejak
para kandidat. Bernard Grofman dalam Information, Partisipation and Choice: An Economic
Theory of Democracy in Prespective (1995) mengatakan informasi level tinggi merupakan
kondisi penting bagi stabilitas demokrasi, karena bila para pemilih tidak memiliki
pemahaman tentang apa yang akan mereka pilih akan terjadi kesenjangan ekspektasi dari
warga negara yang akan mengarah pada erosi kepercayaan dalam demokrasi. Karena itu,
kandidat harus berani membuka diri, berinteraksi dan membangun dialog dengan warga.
Jangan membungkus diri dengan berbagai bentuk pencitraan yang tidak perlu.
35
KPU dalam pengaturan kampanye pilkada 2015 dan 2017 telah mendorong kandidat untuk
memperbanyak pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan dialog dengan masyarakat.
Kampanye yang bersifat massal dan monolog seperti kampanye rapat umum
dikurangi. Untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, kampanye rapat umum maksimal dua
kali dan pemilihan bupati/wakil bupati serta wali kota/wakil wali kota hanya boleh satu kali.
Kampanye rapat umum selain tidak efektif dalam hal penyampaian pesan-pesan politik juga
membutuhkan biaya besar.
Kampanye dialogis kita harapkan menjadi budaya dalam masyarakat yang
multikultural. Proses dialog antar pemimpin dengan masyarakat tidak saja menjadi gambaran
pada masa-masa kampanye. Proses dialog justru lebih dibutuhkan pada perumusan kebijakan,
setelah seorang kandidat memenangi kontes dan menduduki kekuasaan. Seseorang yang
dipilih melalui mekanisme demokrasi maka pengelolaan pemerintahannya pun harus
dilakukan dengan cara-cara demokratis melalui proses dialog, uji publik, debat publik dan
berbagai bentuk pelibatan publik lainnya untuk mencapai sebuah konsensus bersama dalam
menata pemerintahan.
Penggunaan media sosial dalam berkampanye menjadi tantangan bagi stakeholders pemilihan
(penyelenggara, peserta, dan pemilih). KPU telah mengantisipasi pemanfaatan media sosial
agar tidak dijadikan sebagai alat untuk melakukan kampanye hitam antarkandidat. Kandidat
wajib mendaftarkan akun media sosial yang akan digunakan sebagai media kampanye ke
KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai tingkatannya paling lambat satu hari sebelum
pelaksanaan kampanye.
KPU akan melakukan pemantauan secara intensif terhadap akun-akun resmi tersebut.
Penggunaan media sosial untuk menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan dan
penyebaran informasi yang bersifat menghasut, memfitnah dan adu domba dapat dikenai
sanksi pidana.
Tim pengelola media sosial para kandidat juga diharapkan tidak terjebak dalam praktik
hiperrealitas media yang melanda dunia pertelevisian kita. Melalui media sosial, profil
pasangan calon harus dikomunikasikan secara nyata dan utuh kepada pemilih. Pencitraan
politik yang berlebihan akan menghadirkan kesemuan dan kepalsuan. Ini bertentangan
dengan tujuan kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik.
Publik membutuhkan informasi yang objektif dan kredibel tentang kandidat. Jangan sampai
kandidat dan tim pengelola media sosialnya menciptakan disinformasi yang penuh
ketidakpastian. Disinformasi tentang kandidat berbahaya karena mengakibat terjadinya
depolitisasi terhadap masyarakat pemilih.
Pasangan calon dan tim pengelola sosial media perlu mengingat bahwa pengguna media
sosial umumnya adalah usia muda 18-35 tahun. Mereka umumnya masuk kategori rational
voters atau pemilih rasional dan undecided voters atau orang-orang yang belum menentukan
pilihan politik. Mereka ini potensial untuk direbut dan dapat menjadi penentu
36
kemenangan. Tetapi, rebutlah hati dan pikiran mereka dengan pendekatan yang rasional.
Kampanyekanlah dengan gagasan-gagasan segar dan realistis yang dapat memancing mereka
terlibat berdiskusi dan menelurkan ide-ide kreatifnya. Feedback atau umpan balik dari
pengguna media sosial tersebut akan memperkaya kandidat dan timnya dalam mempertajam
visi, misi, dan program kerja yang akan diwujudkan pasca-pemilihan. Selamat berkampanye.
FERRY KURNIA RIZKIYANSYAH
Komisioner KPU RI
37
Menyambut Presiden Baru AS
09-11-2016
Pagi ini Amerika Serikat (AS) sudah memilih presiden baru. Namun siapa pun dia, sejauh
yang ditampilkan di media massa, kedua kandidat Presiden AS tidak menunjukkan perhatian
kepada wilayah Asia-Pasifik atau pun Asia Tenggara. Politik luar negeri yang
diperbincangkan selama kampanye lebih terkait dengan ISIS, krisis di Timur Tengah,
hubungan dengan Rusia, Cina, dan Meksiko. Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia sebagai
negara yang masih memiliki pengaruh di ASEAN dan Asia-Pasifik perlu membangun
pendekatan yang lebih intensif lagi kepada presiden baru AS.
Politik global saat ini tidak bisa dikatakan bipolar alias terdiri dari dua kubu kekuatan yang
saling berebut pengaruh, sementara negara-negara lain melakukan positioning sesuai kubu-
kubu tersebut atau mengambang. Cina memang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru yang
dikhawatirkan negara-negara Barat akan merebut hegemoni dunia. Tetapi, dari aspek militer,
kita tidak bisa abai pada kekuatan Rusia, bahkan pada pilihan kerja sama militer India. Dalam
banyak aspek, hubungan internasional pun jauh lebih kompleks daripada urusan persenjataan
atau militer.
Di Asia Tenggara, penetrasi China dari sisi ekonomi ke kawasan ASEAN memang membawa
sisi positif dalam pertumbuhan ekonomi, namun melemahkan dalam sisi politik. Karena itu,
Indonesia perlu mengupayakan terciptanya bangunan sistem ekonomi-politik yang seimbang
di kawasan regional, yang tidak bergantung pada dominasi ekonomi segelintir negara saja.
Tujuannya, agar manfaat pembangunan yang telah kita capai dapat berjalan stabil dan
berjangka panjang.
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia perlu aktif mendekatkan diri kepada presiden
Amerika yang baru. Salah satunya karena sepanjang kampanye kita melihat bahwa kedua
calon presiden, baik Hillary Clinton maupun Donald Trump, tidak memperlihatkan konsep
politik luar negeri yang jelas di Asia.
Energi kampanye mereka tercurah untuk memperkuat keamanan nasional AS dari ancaman
yang terutama datang dari kelompok-kelompok teroris seperti ISIS atau Al-Qaeda atau
negara seperti Iran. Fokus itu memang tidak dapat dihindarkan. Karena Donald Trump yang
banyak diklasifikasikan sebagai politisi demagogue atau politisi yang menggunakan alasan-
alasan prejudice atau menakut-nakuti masyarakat luas untuk mendapatkan dukungan populer
memaksa pihak Hillary Clinton untuk mendiskusikan topik-topik yang dilontarkan
Trump. Akibatnya, dunia masih bertanya-tanya apa langkah konkret salah satu dari mereka
apabila terpilih menjadi presiden hari ini.
38
Sejauh yang kita dengar dalam kampanye, kebijakan politik luar negeri AS di kawasan Asia
selalu tidak lepas dari faktor Cina. Cina dianggap sebagai kompetitor menakutkan terbesar
untuk Amerika. Donald Trump dalam kampanye di Monessen, Pennsylvania (28/ 6),
mengatakan bahwa masuknya Cina ke WTO telah memungkinkan terjadinya pencurian
pekerjaan terbesar di dalam sejarah dunia. Tidak kalah kerasnya Hillary Clinton di San Diego
California juga menyebut bahwa ”negara-negara seperti Rusia dan Cina selalu bekerja
melawan kita (Amerika Serikat), Beijing membuang baja murah di pasar kita. Itu
menyakitkan para buruh di Amerika.”
Begitu besarnya momok Cina dalam kampanye presiden AS hingga menenggelamkan
keberadaan negara-negara lain di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Di sisi lain,
kenyataan itu juga membuka mata kita bahwa negara-negara ASEAN masih dipandang
sebelah mata oleh negara maju seperti AS.
Padahal, apabila dikaitkan dengan masalah terorisme yang selalu menghantui Amerika,
negara-negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas muslim telah berhasil mengurangi
radikalisasi terorisme di dalam wilayahnya dibandingkan dengan negara-negara di Timur
Tengah. Negara-negara mayoritas muslim di Asia juga memiliki pasar dan pertumbuhan
ekonomi yang lebih baik daripada negara-negara muslim di Timur Tengah. Artinya, dengan
fakta-fakta yang positif itu politisi Amerika, khususnya Donald Trump, masih belum
memandang positif negara-negara Asia yang berpenduduk muslim dan terus membuat stigma
negatif atau stereotipe bahwa muslim itu sama dengan teroris.
Kelemahan politik luar negeri AS terhadap Asia adalah salah satu pekerjaan rumah yang
harus diperbaiki. Sayangnya, pekerjaan rumah itu tidak hanya perlu diselesaikan oleh
Pemerintah AS sendiri tetapi juga negara-negara di Asia khususnya Indonesia. Kegagalan AS
dalam melihat potensi yang besar dari negara-negara Asia dapat juga melemahkan kedaulatan
dan kemerdekaan ekonomi dan politik di mata negara lain, khususnya Cina. Dalam praktik
konkretnya, ketika pengaruh Amerika melemah, sementara pengaruh negara-negara Asia
khususnya ASEAN tidak menguat dan atau tidak makin kompak, pengaruh Cina akan
membesar. Membesarnya pengaruh tersebut dapat berpotensi membuat ketergantungan baru
yang akan merugikan kita terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah saat ini seperti di
Laut Cina Selatan atau masalah-masalah baru di kemudian hari. Tugas ini adalah pekerjaan
yang harus dilakukan oleh para diplomat kita.
Kita perlu bijak juga dalam merancang strategi politik luar negeri dan tidak hanya mengikuti
perasaan atau euforia seperti yang dilakukan oleh Presiden Filipina, Duterte. Seperti kita
ketahui bahwa dalam beberapa pernyataannya baik di dalam maupun di luar negeri, Presiden
Duterte menyatakan untuk tidak melanjutkan kerja sama atau mengurangi pengaruh Amerika
Serikat terhadap Filipina dan secara terbuka menyatakan diri berpihak kepada Cina. Presiden
Duterte bahkan mengatakan di hadapan para pengusaha Filipina dan Cina bahwa ia bercita-
cita untuk membangun aliansi Rusia-Chna-Filipina untuk melawan Barat. Presiden Duterte
mungkin masih membayangkan bahwa politik luar negeri dunia saat ini masih bipolar seperti
zaman Perang Dingin lalu.
39
AS membutuhkan sesuatu untuk diyakini tentang semua potensi ekonomi dan politik yang
dimiliki oleh Indonesia secara khusus dan ASEAN secara umum di kawasan regional. Kita
perlu meyakinkan presiden AS yang baru untuk menyeimbangkan kebijakan proteksionisnya
di dalam negeri dengan pengorbanan yang harus dibuat untuk membuat sukses kerja sama
dengan negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara dan Asia-Pasifik. Tanpa adanya
pengorbanan, yaitu membuat negara-negara di Asia diuntungkan dari kerja sama dengan AS,
maka Paman Sam akan kehilangan pengaruhnya di Asia.
Pendekatan kita kepada AS bukan berarti kita menghamba atau bersedia berada di bawah
subordinasi mereka. Tetapi hal ini sebagai salah satu strategi untuk mencapai atau
membangun sebuah keseimbangan yang lebih permanen dan stabil di masa depan. Apabila
kita hanya fokus membangun perekonomian di dalam negeri tanpa membangun jaminan
kestabilan ekonomi-politik di kawasan, hasil pembangunan itu tidak akan bermanfaat
maksimal. Kita membutuhkan sebuah kawasan yang stabil agar produk-produk dalam negeri
kita yang semakin kompetitif akibat pembangunan infrastruktur yang sudah dilakukan oleh
Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dapat diserap oleh pasar di negara-negara lain.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
40
Wajah Baru Amerika Serikat
10-11-2016
Tak seperti yang diprediksikan banyak pengamat, Donald Trump memenangi kursi
kepresidenan Amerika Serikat 2017-2021. Trump meraih 276 electoral votes dari 270 yang
dibutuhkan. Ia mengalahkan Hillary Clinton yang hanya memperoleh 218 electoral votes.
Tidak hanya menjungkir-balikkan ramalan para pengamat, tetapi hasil ini menggambarkan
perbedaan ekspektasi masyarakat Amerika Serikat. Apa makna kemenangan Trump bagi
masyarakat Amerika Serikat (AS), dunia, dan Indonesia?
Akar Kontroversi
Sejak awal proses pemilihan presiden AS ini berlangsung, kontroversi menyelimuti
terpilihnya Trump menjadi kandidat presiden mewakili Partai Republik. Secara individu
sosok Trump inheren bukan merupakan sosok yang ideal merepresentasikan Partai Republik.
Sebagai sosok businessman yang sukses dengan karakter yang keras namun cenderung
arogan, bertolak belakang dengan gambaran kaum Republik yang cenderung konservatif dan
menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Selama kampanye pun Trump memersonifikasi dirinya sebagai sosok kanan yang keras.
Pandangannya lebih inward looking, bahkan memperlihatkan Amerika Serikat yang
isolasionis. Trump menolak migrasi, keras terhadap pelintas batas, khususnya dari Mexico
yang memasuki Amerika Serikat. Bahkan ia bermaksud membangun tembok pembatas antara
kedua negara. Selain itu, ketidaksukaan terhadap penduduk kulit hitam, kaum muslim, hingga
penolakan terhadap pengungsi dari Timur Tengah antara lain dari Suriah menunjukkan sisi
Trump yang bertolak belakang dengan karakteristik masyarakat AS yang plural dan
menghargai perbedaan.
Makna Kemenangan
Hasil ini tentu mengejutkan bagi partai yang berkompetisi dan bagi masyarakat AS sendiri.
Sejak awal Partai Demokrat optimis akan memenangkan kursi kepresidenan walau mereka
sadar tidak akan diraih dengan sangat mudah. Hasil beberapa polling yang selalu
menunjukkan keunggulan Hillary semakin memupuk aroma kemenangan. Namun, mereka
lupa bahwa swing voters (massa mengambang) yang berkisar 20% di setiap polling ternyata
susah ditebak pilihannya.
Masyarakat yang belum menentukan pilihan sejak awal dan menunggu hingga akhir masa
pencoblosan memperlihatkan punya pilihan sendiri dengan alasan beragam. Banyak yang
41
menentukan pilihan karena ketidaksukaan terhadap pemerintah sekarang yang dianggap
terlalu lunak. Sebagian lain menentukan pilihan mungkin karena ingin melihat AS dipimpin
oleh sosok lain di luar partai yang berkuasa sekarang dengan mengharapkan perubahan.
Bisa jadi, massa mengambang jenis ini sebenarnya tidak bermaksud secara serius memilih
Trump untuk sebuah perubahan atas AS yang mereka idam-idamkan. Pilihan terakhir ini
mungkin lebih banyak didasarkan pada keisengan belaka atau lebih bersifat emosional sesaat.
Mereka tidak berpikir lebih panjang bila pilihan mereka akan membawa kemenangan bagi
Trump dan akan membawa AS empat tahun ke depan ke arah yang tidak bisa diprediksikan.
Suka atau tidak, kemenangan Trump menggambarkan wajah baru AS yang berbeda dengan
delapan tahun kepemimpinan Obama. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan terhadap
efektivitas kepemimpinan Trump empat tahun ke depan tidak hanya secara domestik, tetapi
juga terhadap dunia internasional.
Implikasi
Kemenangan Trump ini membawa implikasi yang beragam bagi negara mitra AS maupun
negara lain secara global. Mexico tentu sekarang harus lebih berhati-hati bila kebijakan
pengetatan atau bahkan penutupan perbatasannya dengan AS dilaksanakan. Walau ide ini
sebenarnya terlihat muskil diterapkan karena selama ini AS, Mexico, dan Kanada telah
mengenyam banyak manfaat dari kerja sama perdagangan lintas batas.
Implikasi lain adalah ketidakjelasan arah dan pilihan kebijakan luar negeri yang akan
diterapkan AS di bawah kepemimpinan Trump. Misalnya, dari sisi kerja sama ekonomi,
penolakan terhadap Trans-Pacific Partnership (TPP) akan semakin mempersulit posisi AS
dalam memimpin tata kelola ekonomi global. Di sisi lain, bila ini benar-benar terjadi maka
Cina akan mengambil alih kendali dan semakin melaju kencang dengan Regional
Comprehensive Economic Partnerships (RCEP). Bila ini terjadi, relakah AS
menyaksikannya?
Dengan pandangan AS yang isolasionis maka harus dihitung ulang kemitraan strategis di
bidang keamanan yang selama ini dijalin, misalnya di Asia dengan Jepang dan Korea Selatan.
Bila AS memilih lebih fokus pada isu domestik menampilkan sosok yang kurang bersahabat
terhadap negara-negara lain, maka pertanyaannya kemudian apakah Jepang akan berani
mengambil pilihan lebih asertif menggantikan kepemimpinan AS di Asia. Dengan kata lain,
AS membiarkan Jepang berhadapan dengan Cina sendirian.
Bagi Indonesia, pergantian rezim ini kemungkinan tidak akan memberikan perubahan
hubungan yang mendasar dari era Obama yang memiliki keterikatan batin dengan Indonesia
sehingga kebijakannya lebih preferable. Secara alamiah, para presiden dari Partai Republik
biasanya berhubungan lebih baik dengan Indonesia dengan dukungan kalangan bisnisnya.
Hal ini berbeda dengan pola hubungan yang biasanya terjadi bila presiden dari kalangan
42
Demokrat yang cenderung memojokkan Indonesia untuk lebih menghormati nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun, perlu diingat bahwa terpilihnya seorang presiden dalam pemilu adalah satu hal dan
menjalani kepresidenan adalah hal yang berbeda. Trump saat ini telah memenangi pemilu,
tetapi sepanjang sejarah politik domestik AS memperlihatkan bahwa seorang presiden terpilih
tidak akan serta-merta dengan mudah menjalankan kebijakan yang radikal. Ia berada dalam
sistem politik AS yang menerapkan checks and balances dan mempertimbangkan opini
publik. Dapatkah Trump melewati semua itu semudah mengungkapkan kata-kata kerasnya
seperti dalam kampanyenya selama ini?
PROF TIRTA N MURSITAMA, PhD
Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University
43
Trump, Populisme Politik Dan Prospeknya
11-11-2016
Mengagetkan. Donald Trump menang dalam pilpres Amerika Serikat tahun ini. Ia telah
menyampaikan pidato kemenangannya secara lebih kalem. Prediksi-prediksi yang melihat
peluang kemenangan Hillary Clinton lebih besar pun lewat sudah. Hillary pun telah memberi
ucapan selamat.
Meskipun banyak yang kecewa dan khawatir, kemenangan Trump merupakan buah
demokrasi. Masyarakat internasional harus menghargainya dan segera menyesuaikan dengan
perkembangan baru tersebut.
Fenomena Trump menggambarkan kemenangan populisme politik di AS. Ragam ulasan
mengenainya telah menyertai kehadiran Trump dalam kontestasi pilpres. Di majalah Foreign
Affair edisi November-Desember 2016, komentator politik kenamaan Farid Zakaria mengulas
fenomena populisme Trump sebagai sosok yang berbeda, yang menurut Newt Gingrich,
”unik, luar biasa pengalamannya.” Trump termasuk selebriti yang ”luwes dengan kenyataan”.
Sosoknya nyentrik (unusual).
Di AS, catat Michael Kazin di majalah yang sama, populisme politik terkait dengan
sejarahnya yang panjang. Trump tergolong ”populis yang tak disukai”, kendatipun ia sekadar
menyuguhkan ”anggur lama” ke dalam ”botol baru”. Tak hanya menyangkut karakter sosok,
ketidaklaziman Trump ditunjukkan pula dalam aneka kampanyenya yang kontroversial.
Trump suka menyerempet isu sensitif yang membuat kelompok-kelompok tertentu jengah.
Banyak yang menolak lontaran-lontarannya yang cenderung ”anti-imigran” dan
”diskriminatif”, tetapi pemilih mengambang yang selama ini lebih banyak diam rupanya suka
dengan isu-isu populis semacam itu.
Kini, populisme politik tak terelakkan lagi di AS setelah fenomena seperti ini marak
diperbincangkan dengan mengambil contoh kasus kehadirannya di Eropa, Amerika Latin,
hingga Asia, termasuk Asia Tenggara, bahkan Indonesia dan Filipina. Kemenangan Trump
seolah menandai gelombang populisme politik di abad kita.
Zakaria melihat populisme sebagai sesuatu yang berbeda dari kelaziman politik arus
utama. Ada ciri kecurigaan dan permusuhan terhadap elite dan lembaga politik arus utama.
Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang biasa yang dilupakan. Juga sering
membayangkan dirinya sebagai representasi patriotisme asli. Trump misalnya pernah menulis
di The Wall Street Journal (April 2016) bahwa satu-satunya penangkal terhadap ”dekade
kehancuran pemerintahan yang dikendalikan oleh segelintir kecil elite” adalah dengan
44
keberaniannya menyuntikkan ”kehendak rakyat”. Trump mengkritik negerinya diurus oleh
”elite pemerintahan yang salah”.
Pada mulanya populisme politik selalu membawa-bawa namarakyat. Politisi populis suka
mengklaim apa yang hendak dilakukannya seiring kehendak rakyat. Mereka sangat sadar
yang mereka pidatokan merupakan bagian dari ikhtiarnya mengendalikan alam bawah sadar
orang kebanyakan dengan mengeksploitasi ragam kekecewaan terhadap realitas.
Isu-isu yang disampaikannya biasanya bersifat ekstrem untuk kasus-kasus tertentu, bahkan
kerap antipati pada kelompok-kelompok tertentu, terutama minoritas. Retorika-retorika
Donald Trump mencirikan semua itu. Muaranya jargon ”Make America Great Again!”
What Next?
Kemenangan Trump tak dapat dilepaskan dari konteks keamerikaan masa kini yang bukan
tanpa masalah. Jargon ”Make America Great Again!” jelas memberangkatkannya dari adanya
masalah-masalah krusial yang menggejala dan bermuara pada ”melemahnya” AS sebagai
negara adidaya. Dalam retorika Trump, kepemimpinan Barack Obama digambarkan lemah
dalam berbagai hal, sehingga AS tak lagi ”hebat”.
Trump mengaitkannya dengan masalah-masalah domestik yang membuat ”masyarakat AS”
tidak nyaman sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap imigran
hingga penerapan pajak bagi orang kaya yang dinilai berlebihan. Trump sempat dikritik oleh
para tokoh Partai Republik telah ”membawa lari” isu-isu konservatisme AS ke ranah yang
lebih membahayakan.
Tentang kebijakan politik luar negeri AS, Trump telah menguraikannya dalam aneka
kampanye dan debat antarcapres. Banyak hal yang akan dilakukannya untuk menunjukkan
perbedaannya dengan pemerintahan Obama. Akan ada rekalkulasi AS terhadap berbagai
kebijakannya terhadap negara-negara Timur Tengah, Cina, hingga Korea Utara. Pendekatan-
pendekatannya, merujuk retorika Trump, akan ”lebih keras” dalam menyelesaikan konflik
dalam garis kepentingan nasional AS. Muaranya, menunjukkan AS adidaya yang lebih
hebat.
Gaya komunikasinya yang atraktif dan menggebu-gebu dalam merespons isu-isu
internasional yang krusial membuat Trump terbayangkan bak koboi yang siap menembak
musuh-musuhnya. Politik luar negeri AS pasca-Obama, bisa lain sama sekali. Doktrin Obama
akan segera digusur Doktrin Trump dengan cita rasa yang lain.
Barangkali masyarakat internasional punya gambaran minimal, di mana gaya kepemimpinan
Trump bisa lebih mirip dengan George Bush Jr yang juga dari Partai Republik. Ia akan lebih
atraktif, terlepas dari latar belakangnya sebagai aktor ”reality show”. Risikonya, politik
internasional potensial lebih gaduh dan tegang, konflik-konflik lama belum tentu
terselesaikan justru oleh ketika konflik baru hadir. Jargon ”Make America Great Again!”
45
menggambarkan bagaimana AS harus lebih dominan dalam penentuan keputusan-keputusan
strategis internasional dan lebih tampil gagah dalam merespons ”musuh-musuhnya”. Gaya
semacam ini justru bisa memicu konflik.
Namun, Trump akan dihadapkan pada sejumlah hal yang membuatnya dipaksa berpikir ulang
dalam mengambil kebijakan, apakah dari oposisi atau pun publik anti-Trump. Di sisi lain,
pasar juga akan turut mengoreksi. Demikian pula dari sisi politik internasional, tidak mudah
kini AS mendiktekan kehendak sebagaimana pada masa Perang Dingin. Kritisisme
masyarakat internasional bukanlah sesuatu yang statis pula. Realitas politik multipolar yang
ditandai hadirnya aktor-aktor strategis di luar AS, seperti Cina, Rusia, Iran dan yang lain,
menghendaki pola-pola komunikasi politik baru yang ”lebih rasional”.
Merujuk genealogi populisme politik Trump, prospek pemerintahannya justru akan lebih
banyak ditentukan oleh reaksi-reaksi politik yang muncul atau melawan kebijakan-
kebijakannya. Trump harus mampu mengelola semua itu, kecuali akan terus menjadi bulan-
bulanan di tengah labirin politiknya yang terbalut jargon ”Make America Great Again!”.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
46
Ahok, Penistaan Dan Pemaafan
11-11-2016
Gonjang-ganjing akibat ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belumlah reda. Seperti yang
terlihat dalam aksi unjuk rasa di berbagai belahan kota Indonesia, umat Islam menunjukkan
sikap dan keprihatinannya.
Di Jakarta yang merupakan episentrum dari denyut nadi politik nasional, luapan massa itu
begitu menyeruak dan menggema, khususnya dalam aksi demo 4 November. Mereka merasa
terpanggil untuk menyatakan sikap dan ketersinggungannya. Di sisi lain, publik khawatir,
cemas dan waspada karena gelombang demonstrasi begitu masif dan membahana. Beruntung,
tidak ada insiden yang dikhawatirkan banyak orang tersebut. Demonstrasi berjalan relatif
damai, meski sempat disusul oleh letupan vandalisme dan kekerasan. Khususnya di kawasan
Penjaringan, Jakarta Utara.
Suka atau tidak, dilihat dari materinya, ucapan Ahok di Pulau Seribu memang kontroversial
dan potensial untuk memecah harmonitas sosial. Ia merujuk kepada Alquran (surah al-
Maidah, 51) untuk menyimpulkan larangan memilih pemimpin non-muslim. Dalam
ucapannya, Ahok menyampaikan, ayat tersebut dipakai untuk mengelabui (menipu)
masyarakat. Sontak, kalimat tersebut menyulut emosi dan mengingatkan adanya pasal tentang
penistaan agama.
Legalitas dan High Context
Rezim kebebasan beragama di Indonesia adalah rezim kebebasan terikat (gebonden vrijheid).
Artinya, keyakinan untuk menghayati, meyakini, dan meresapi kerohanian sebagai perasaan
keagamaan internal-personal, sepenuhnya dijamin undang-undang. Karena hal itu merupakan
aspek internal kebebasan, hak yang tidak dapat dicabut. Namun, menyatakan atau berbuat
sesuatu yang bersinggungan dengan konteks keagamaan atau bersumberkan dari nilai
keagamaan di dalam keterkaitannya dengan relasi sosial, tidaklah berpangkal pada kebebasan
mutlak.
Oleh karena itu, meski pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-
Undang (UU) Nomor 5/1969 atau yang dikenal dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 masih
dinyatakan berlaku, di mana Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut berbunyi: ”Setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-
kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama itu”.
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016

More Related Content

Similar to (sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016

Kebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMAKebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMA
atika rizki
 
Ppt demokrasi era reformasi
Ppt demokrasi era reformasiPpt demokrasi era reformasi
Ppt demokrasi era reformasi
muhammad riezky
 
Pemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar Pancasila
Pemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar PancasilaPemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar Pancasila
Pemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar Pancasila
jumadana00
 
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama IslamKELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
abdulhamidalyFKIP
 
PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin
PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin
PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin
LiePo
 
Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...
Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...
Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...
Succes Zen
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat Madani
Fauzan 'Math
 
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASIMASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
 
Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.
rifaldynawawi
 
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasanRizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
RizkyDarmawan49
 
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
ssuser5713c0
 
Ppt pp kn demokrasi indonesia
Ppt pp kn demokrasi indonesiaPpt pp kn demokrasi indonesia
Ppt pp kn demokrasi indonesia
yuhanaenggar
 
PPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptx
PPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptxPPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptx
PPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptx
ArulArya1
 
Kejujuran Dalam Politik
Kejujuran Dalam PolitikKejujuran Dalam Politik
Kejujuran Dalam Politik
Midway Writer
 
Perkembangan Demokrasi diIndonesia
Perkembangan Demokrasi diIndonesiaPerkembangan Demokrasi diIndonesia
Perkembangan Demokrasi diIndonesia
WahyuElfina
 
Kelompok 11 masyarakat madani
Kelompok 11   masyarakat madaniKelompok 11   masyarakat madani
Kelompok 11 masyarakat madani
dayurikaperdana19
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
Nurul Fajriyah
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
Dewi Sanusi Noor
 
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
Eny Ardhika Putri
 

Similar to (sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016 (20)

Kebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMAKebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMA
 
Ppt demokrasi era reformasi
Ppt demokrasi era reformasiPpt demokrasi era reformasi
Ppt demokrasi era reformasi
 
Pemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar Pancasila
Pemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar PancasilaPemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar Pancasila
Pemahaman Tentang Demokrasi Profil Pelajar Pancasila
 
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama IslamKELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
 
PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin
PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin
PPT Masa Transisi Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin
 
Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...
Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...
Kebijakan Pemberlakuan Politik Demokrasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahtera...
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat Madani
 
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASIMASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
 
Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.Mengkaji pidato bungkarno.
Mengkaji pidato bungkarno.
 
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasanRizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
 
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
56-Article Text-85-2-10-20190418.pdf
 
Ppt pp kn demokrasi indonesia
Ppt pp kn demokrasi indonesiaPpt pp kn demokrasi indonesia
Ppt pp kn demokrasi indonesia
 
PPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptx
PPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptxPPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptx
PPT 2 3 pemahaman ttg Demokrasi.pptx
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Kejujuran Dalam Politik
Kejujuran Dalam PolitikKejujuran Dalam Politik
Kejujuran Dalam Politik
 
Perkembangan Demokrasi diIndonesia
Perkembangan Demokrasi diIndonesiaPerkembangan Demokrasi diIndonesia
Perkembangan Demokrasi diIndonesia
 
Kelompok 11 masyarakat madani
Kelompok 11   masyarakat madaniKelompok 11   masyarakat madani
Kelompok 11 masyarakat madani
 
Masyarakat madani
Masyarakat madaniMasyarakat madani
Masyarakat madani
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI, DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKA...
 

(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI DEMO DAN RITUAL DEMOKRASI Komaruddin Hidayat 4 REFLEKSI DUA TAHUN PARTAI PERINDO Mardiansyah M Sidik 6 MENIMBANG SANKSI PELAKU PUNGLI Ninik Rahayu 9 MENGHADANG PROPAGANDA POLITIK OPM Bambang Usadi 13 BENCANA EKOLOGIS Asep Sumaryana 17 AGAR PEMILIHAN REKTOR TIDAK KOTOR Amzulian Rifai 20 KANALISASI PERANG INFORMASI Gun Gun Heryanto 24 INTERPOL DAN HAMBATAN KERJA SAMA Bambang Soesatyo 27 DEGRADASI PRESIDEN Sudarnoto Abdul Hakim 30 KREDIBILITAS KAMPANYE DAN PENDIDIKAN POLITIK Ferry Kurnia Rizkiyansyah 33 MENYAMBUT PRESIDEN BARU AS Dinna Wisnu 37 WAJAH BARU AMERIKA SERIKAT Tirta N Mursitama 40 TRUMP, POPULISME POLITIK DAN PROSPEKNYA M Alfan Alfian 43 AHOK, PENISTAAN, DAN PEMAAFAN JM Muslimin 46 MELIHAT DERITA KORUPTOR Moh Mahfud MD 48 DEMONSTRAN DAN KEGAGALAN PARTY LINKAGE
  • 2. 2 Firman Noor 51 TAFSIR HUKUM PENISTAAN AGAMA Marwan Mas 54 TRUMP ADALAH KITA Dinna Wisnu 57 ISIS PASCA-OPERASI MOSUL Hasibullah Satrawi 60 PENYELIDIKAN “RASA” PENYIDIKAN Junaedi 63 MENEBAK SAFARI POLITIK JOKOWI Adi Prayitno 66 MELIHAT SENYUM KORUPTOR Moh Mahfud MD 69 PARTAI BARU DAN PILPRES 2019 Veri Junaidi 72 ADA DURI DALAM DAGING NKRI Bambang Soesatyo 75 DEMO KUNING-MERAH Sudarnoto Abdul Hakim 79 NASIONALISME, TRISAKTI, DAN GLOBALISASI Eko Sulistyo 82 MUNGKINKAH MEMAKZULKAN PRESIDEN? Arya Fernandes 86 UJIAN DEMOKRASI PASCA-AKSI 4 NOVEMBER M Alfan Alfian 89 BERHUKUM HARUS BERSABAR Moh Mahfud MD 92 MAKAR Pangi Syarwi Chaniago 95 KOMITMEN KESETIAAN TNI Sabartain Simatupang 99 RAPOR MERAH JAKSA AGUNG Wana Alamsyah 103
  • 3. 3 SIAGA TNI-POLRI JELANG 212 Bambang Soesatyo 106 KUBA PASCA-FIDEL CASTRO Ahmad Dahlan 110 CASTRO Dinna Wisnu 114 AKSI SUPERDAMAI Sudjito 118 “RUANG GELAP” SEKITAR AKSI BELA ISLAM Jazilul Fawaid 121 MENAFSIRKAN AKSI 212 Fauzan 124 AHOK DAN PENDIDIKAN POLITIK Komaruddin Hidayat 127 JUMAT 212 DAN SIMBOL KETIDAKADILAN M Bambang Pranowo 129 DOA DEMO DAN DEMO IBADAH Moh Mahfud MD 132 EKSPRESI POLITIK DAN POTRET DEMOKRASI MUSLIM INDONESIA Hurriyah 135 MAKAR DI ERA REFORMASI Bambang Soesatyo 138 UNI EROPA DI PERSIMPANGAN JALAN Dinna Wisnu 142 HASRAT POLITIK TNI Muradi 145 MAKAR IDEOLOGIS Komaruddin Hidayat 147 MAKAR DAN MAKAN Moh Mahfud MD 149 MAKAR DI LORONG KONSTITUSI Margarito Kamis 152 BUKAN SEKADAR MENAYANGKAN FAKTA Jamalul Insan 156
  • 4. 4 Demo dan Ritual Demokrasi 04-11-2016 Ada ungkapan klasik, democracy is noisy and restless. Demokrasi itu gaduh dan tak pernah tenang. Selalu saja ribut. Maklum, sejak awal yang namanya demokrasi memang dirancang untuk menampung dan mendengarkan suara dan aspirasi yang berbeda-beda. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, pilihan demokrasi paling cocok untuk mengakomodasi pluralitas aspirasi dan kehendak dalam rangka membangun dan mengisi kemerdekaan. Konsekuensinya, bermunculan parpol, ormas, dan lembaga swadaya masyarakat sebagai wadah penyaluran aspirasi dan partisipasi masyarakat untuk memajukan bangsa. Repotnya jika yang lebih dominan hanyalah kebebasan berekspresi, tetapi kurang menghargai supremasi hukum dan kerja produktif, maka demokrasi di mata masyarakat hanyalah keributan dan debat, tetapi ekonomi dan lapangan kerja semakin susah, pendidikan mahal, ujungnya hanyalah memperoleh ijazah. Salah satu ciri demokrasi adalah adanya keterwakilan dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Lebih dari itu adalah kebebasan untuk mengkritik pemerintah. Sekarang ini ruang dan saluran kritik rakyat terhadap pemerintah terbuka lebar, baik melalui surat kabar, mimbar televisi, media sosial, atau pun demonstrasi. Isu yang masih sensitif adalah soal agama. Sekalipun Ahok belum sampai di meja pengadilan, apakah dia sudah memenuhi persyaratan sebagai penista agama, masyarakat sudah menjatuhkan hukuman bahwa dia telah menistakan Alquran sehingga polisi harus segera mencekalnya dan memproses ke meja pengadilan dan masuk tahanan. Namun prosesnya tentu saja tidak semudah itu karena diperlukan proses dan tahapan yang lazim dalam dunia peradilan. Mengamati dinamika sosial politik yang tengah terjadi, satu hal fenomenal adalah peran agama yang sangat signifikan sebagai alat pemersatu (faktor integratif) ketika martabat agama dilecehkan. Para pengamat Barat sudah lama mengingatkan, misalnya Wilfred Cantwell Smith dari Universitas Harvard, bahwa umat Islam di seluruh dunia pasti akan marah jika Nabi Muhammad dan Alquran dilecehkan. Dalam hal ini Ahok telah terpeleset membawa-bawa ayat suci Alquran untuk kepentingan politik. Akibat dari sebuah peristiwa ucapan dalam durasi yang amat pendek, dia mesti membayar akibat teramat besar. Yang membayar tidak hanya dia sendiri, tetapi aparat keamanan dan masyarakat dibuatnya sibuk. Muncul pro-kontra dalam masyarakat Indonesia. Sekali lagi, ini menunjukkan betapa isu, simbol, dan tokoh agama telah memenuhi ruang publik.
  • 5. 5 Hari-hari ini wacana agama yang berkaitan dengan pilkada memenuhi pemberitaan, obrolan, diskusi, khotbah, Jumat dan sebagainya. Ini kenyataan sosiologis yang tak terbantahkan. Tapi jika isu agama mengambil dosis paling tinggi, lalu memandang kecil pembangunan bidang ekonomi, sains, pendidikan, dan infrastruktur, sulit bangsa ini untuk maju bersaing dengan negara-negara lain. Dengan kata lain, agama jangan hanya menonjol sebagai ideologi dan kekuatan fight against, tetapi juga berperan aktif konstruktif sebagai kekuatan fight for. Artinya agama mesti berperan sebagai kekuatan konstruktif-produktif untuk mendukung pembangunan peradaban, bukan semata sebagai kekuatan oposisi, fight against. Dalam ungkapan konvensional, agama mesti punya keseimbangan agenda amar ma’ruf dan nahi munkar. Mengajak dan memberi contoh aktif sebagai kekuatan konstruktif, baru kemudian diikuti agenda mencegah kemungkaran. Demo hari ini merupakan ekspresi keprihatinan sebagian umat Islam untuk menjaga martabat agama, utamanya kemuliaan Alquran, dengan turun ke jalan, gara-gara ucapan Ahok yang dinilai melecehkan Alquran. Dari segi hukum, biarlah polisi yang memproses. Demo itu merupakan hak konstitusional warga negara yang mesti dihargai. Sementara itu pihak kepolisian memiliki hak dan kewajiban untuk menertibkan para demonstran. Lalu masyarakat umum pengguna jalan raya juga memiliki hak dari gangguan demonstran jangan sampai membuat macet. Jadi kalau tiap pihak saling menghargai hak orang lain, demo akan berjalan meriah, tertib, dan damai. Jika ini terwujud, kepercayaan rakyat pada parpol, polisi, dan demokrasi akan naik. Tapi jika lepas kendali—semoga saja tidak terjadi—, harapan yang mulai tumbuh terhadap demokrasi dan pilkada akan buyar. Kita semua yang merugi. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 6. 6 Refleksi Dua Tahun Partai Perindo 04-11-2016 Dewasa ini tidak sulit kita temukan kondisi ekonomi yang makin berat dipikul oleh rakyat, apalagi masyarakat di perdesaan. Hampir kita semua sepakat bahwa perlambatan ekonomi melanda negeri ini yang tengah memasuki 71 tahun kemerdekaannya. Sebut saja, harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, turunnya daya beli masyarakat, kelangkaan pupuk dan benih yang terus berulang, hasil laut nelayan yang menurun, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah rentetan kesusahan yang mafhum ”dinikmati” oleh rakyat kecil. Di bidang penegakan hukum, tak jauh berbeda, urung menunjukkan potret menggembirakan. Melodrama hukum baik yang melibatkan KPK, kepolisian, dan kejaksaan juga turut membingungkan rakyat, sesungguhnya seperti apa hukum Indonesia dan bagaimana implementasinya. Tugas Besar Berulang tahun artinya mengulang (proses) memori kelahiran. Sama halnya dengan republik ini (yang telah berulang tahun), Partai Perindo kini berusia dua tahun pada 8 Oktober lalu. Dalam usia yang terbilang sangat muda, deretan masalah bangsa di atas juga menjadi bagian tak terpisahkan sebagai bentuk tanggung jawab yang diemban Partai Perindo. Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dalam beberapa kesempatan kerap mengingatkan bahwa partai ini lahir bukan sekadar meramaikan, melainkan turut serta ambil bagian memberikan solusi atas persoalan bangsa. Ini penegasan yang mencerminkan tanggung jawab besar partai yang berada di dalam maupun di tengah kehidupan masyarakat, partai yang lahir dari dan oleh ”nafas” kehendak rakyat. Indonesia besar, Indonesia kuat, Indonesia kaya, Indonesia sejahtera bukanlah pemanis atau angan-angan belaka. Realita ”kebesaran” itu sesungguhnya sudah kita alami bahkan dijalani dalam proses panjang mengisi kemerdekaan. Hanya, pencapaian yang dihasilkan masih belum sebanding dengan kekuatan sesungguhnya yang kita miliki. Dalam ranah yang demikian, seharusnya partai politik mengambil peran lebih sebagai agregasi komunikasi sekaligus sosialisasi politik. Partai Perindo sepenuhnya memahami kedigdayaan bangsa kita dengan menghimpun seluruh kekuatan rakyat dari berbagai latar belakang, suku, agama, ras, status ekonomi/sosial untuk bergabung dalam rumah besar Persatuan Indonesia menuju Indonesia sejahtera. Pesan dasar kemerdekaan bangsa sebagaimana tersurat dalam pembukaan UUD 1945 ”merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” secara sadar penuh diterjemahkan dalam visi Partai Perindo,
  • 7. 7 yakni mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu, adil, makmur, sejahtera, berdaulat, bermartabat, dan berbudaya (Pasal 4 AD Partai Perindo). Kiprah dua tahun dirasakan belum banyak hal besar yang dilahirkan oleh Partai Perindo. Namun, faktanya begitu banyak hal kecil bermakna yang justru dirasakan bermanfaat oleh rakyat kecil seperti keberpihakan pada pemberdayaan UMKM dan koperasi, kepedulian pada bencana alam maupun sosial yang memerlukan bantuan sigap dan cepat, pelatihan keterampilan diri dan pendidikan politik, termasuk program rutin perayaan hari besar keagamaan. Luncuran program UMKM mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah-daerah seperti pembagian gerobak UMKM secara gratis, pendirian Warung Sejahtera untuk meningkatkan jiwa wirausaha, Kelompok Tani dan Nelayan Perindo, termasuk revitalisasi perahu nelayan dan pembentukan Koperasi Perindo. Eksistensi partai di tengah masyarakat dalam balutan Indonesia Raya semata-mata adalah perwujudan visi dan tujuan Partai Perindo, antara lain: (1) mempertahankan dan mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945; (2) mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945; dan (3) mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di tengah aksi nyata Partai Perindo yang selama ini digulirkan tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan seraya manajemen partai terus menata diri lebih baik agar mampu berbuat lebih banyak bagi kesejahteraan rakyat. Maju dan Sejahtera Wajah dua tahun Partai Perindo terbilang menarik. Tanpa bermaksud membedakan usia, sebagian besar pengurus DPP adalah hasil rekrutmen kader-kader terbaik berusia muda (rata- rata 30-40 tahun/di bawah 50 tahun). Darah segar dari pemuda-pemudi ini setidaknya menular positif pada jajaran kepengurusan di tingkat wilayah maupun kabupaten/kota yang juga berisikan orang-orang relatif muda. Energi muda yang identik dengan pembaharu dan penggerak turut memudahkan langkah Partai Perindo mengimplementasikan nilai dasar perjuangan yang penulis sebut dengan maju PESAT sebagai upaya integral meng-”Indonesia”-kan kekuatan dan kebesaran sejati kita. Maju PESAT dalam arti: maju pemikiran, maju bersikap, dan maju tindakan. Pertama, maju pemikiran Partai Perindo tercermin pada keterbukaan dan kemajemukan kader dan anggota yang bergabung dalam partai baik dari latar belakang pekerjaan, status sosial, suku, agama, serta lapisan dan kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Kedua, maju bersikap dengan mengambil posisi sebagai partai tengah-moderat dengan ideologi Pancasila yang berjuang bersama rakyat mewujudkan cita-cita proklamasi dan reformasi. Ketiga, maju tindakan ditandai dengan komitmen kuat Partai Perindo tampil
  • 8. 8 sebagai partai modern yang mengedepankan profesionalisme. Partai dikelola dalam suasana kerja kelompok dan berdasarkan sistem, mengembangkan budaya organisasi yang egaliter, transparan, dan demokratis, termasuk menerapkan reward and punishment dan merit system dalam kepemimpinan partai. Indonesia sejahtera adalah visi besar yang diemban Partai Perindo guna menjawab apatisme sebagian besar rakyat kita akan keberadaan partai politik dan mungkin juga skeptisme akan masa depan Indonesia. Parameternya sederhana, yaitu meluasnya kesempatan kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pelayanan pendidikan yang merata, bermutu dan terjangkau, serta pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang memadai. Bagi Partai Perindo, kesejahteraan tidak hanya ditinjau dari perspektif ekonomi, tetapi juga dilihat dari capaian di sektor sosial utamanya pendidikan dan kesehatan yang terukur pada tingkat melek huruf (TMH) dan tingkat harapan hidup (THH) rakyat Indonesia. Dus, lengkaplah di usia dua tahun kelahirannya, Partai Perindo akan terus bergerak memperjuangkan terwujudnya negara sejahtera sehingga rakyat dan Indonesia sejahtera. MARDIANSYAH M SIDIK SP Wakil Ketua UMKMK DPP Partai Perindo
  • 9. 9 Menimbang Sanksi Pelaku Pungli 04-11-2016 Beberapa minggu belakangan ini secara terus menerus, pemerintah—dikawal langsung Presiden—serius melakukan pemberantasan pungli. Dugaan awal saya ini hanya wake-up call kepada aparat dan pengawas internal lembaga layanan publik agar sigap dan berbenah terhadap pemberantasan pungli. Setelah itu saya menduga, Presiden memerintahkan pembersihan aparatur dan menggantinya dengan orang- orang yang teruji. Terutama di lingkungan institusi layanan publik yang sejak awal berdasarkan hasil evaluasi pemerintah banyak ditemukan pungli sehingga layanan publiknya buruk dan mengganggu rasa keadilan masyarakat. Rupanya bukan tindakan penggantian aparat yang dilakukan sebagai bagian dari pembenahan struktur hukum. Pemerintah justru membuat kebijakan baru dengan pertimbangan kebijakan yang ada belum ”serius” memberantas pungli. Penerbitan Perpres RI Nomor 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar diharapkan dapat menyapu bersih pungli di lembaga-lembaga yang memberikan layanan publik karena kebijakan yang ada sebelumnya diduga tidak cukup efektif. Pemaknaan ”Kejahatan” Pungli Meski begitu, ”pungli” diberi pemaknaan yang beragam baik oleh masyarakat maupun aparatur, tetapi ada kecenderungan yang sama dalam memandang jumlah kerugian dan sanksi yang diberikan kepada pelaku. Misalnya, dalam wawancara di salah satu stasiun televisi bersama seorang pemimpin lembaga penegak hukum. Ketika ia ditanya apa sanksi yang akan dijatuhkan bila ada oknum yang terbukti pungli? Iamenjawab:”Ya, karena pungli ini kan nilai pungutannya kecil-kecil, dan ini kan persoalan etik saja, maka sanksi kepada pelaku paling berat adalah dicopot dari jabatannya. Tentu dilihat tingkat kesalahannya: mulai dari teguran, pencopotan jabatan, atau pemecatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS).” Sanksi ini dianggap lebih tinggi nilainya ketimbang sanksi lain, yakni proses hukum. Praktik serupa juga dilakukan Kemendagri yang menjatuhkan sanksi berupa pemecatan kepada pegawai Dukcapil di Batam karena hasil penyelidikan membuktikan pegawai tersebut melakukan pungli dalam pengurusan e-KTP. Pertanyaannya kemudian: Bagaimana sesungguhnya peraturan hukum mengatur soal pungli ini? Apakah betul pungli berupa pelanggaran etik dan tidak perlu dilanjutkan dalam proses hukum hanya karena nilainya kecil? Apakah sanksi teguran sampai pemecatan sebagai sanksi yang paling berat bagi pelaku sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat? Kerugian akibat pungli benarkah nilainya kecil?
  • 10. 10 Meski jika dilihat dari ”harga satuan” kerugiannya kecil, tetapi karena pungli terjadi dalam waktu yang lama dan terus-menerus (sistemik), tidak benar jika disebut kerugian kecil secara kuantitatif. Secara kualitatif kejahatan ini juga kejahatan ”berjamaah” karena ada dugaan kuat pemimpin di tingkat menengah sampai atas mengetahui aktivitas pungli ini, tetapi kondisi ini seperti terus ”dibiarkan”. Menilik laporan yang masuk ke kantong pengaduan Ombudsman RI pada 2015, ada 384 praktik suap dan pungli yang disampaikan masyarakat. Pada 2016 Ombudsman RI menerima 434 laporan. Angka itu meningkat 13% dibanding tahun sebelumnya. Sektor pendidikan menjadi favorit masyarakat untuk melapor ke Ombudsman RI terkait suap dan pungli dengan 45% dari semua laporan. Selebihnya, pertanahan (10%), penegakan hukum (7%), administrasi kependudukan (6%), cukai dan pajak (6%), kepegawaian (5%), perhubungan (5%), perizinan (4%), kesehatan (3%), dan lain-lain (9%). Sementara penyedia layanan yang banyak dilaporkan terjadi suap dan pungli adalah pemerintah daerah (53%). Lembaga berikutnya, yakni sekolah negeri (17%), kementerian (8%), kepolisian (6%), BUMN dan BUMD (4%), BPN (4%), dan lembaga lain (8%). Artinya, hampir semua aktivitas layanan publik sudah dapat dipastikan ada rangkaian struktur penyelenggara yang permanen, bukan ad hoc. Ada rangkaian aktivitas yang seharusnya lebih mudah dilakukan monitoring dan evaluasi jika terjadi kesalahan. Selayaknya layanan publik, seharusnya sudah tersedia prosedur dan tata cara yang seharusnya dipatuhi penyelenggaraannya oleh masyarakat terutama aparatur. Maka itu, ketika melakukan pelanggaran prosedur, sanksi yang dijatuhkan pun seharusnya lebih tinggi. Pemberatan sanksi juga perlu dijatuhkan kepada para pejabat, baik yang secara langsung maupun tidak langsung, membiarkan pungli terjadi di wilayah kerjanya. Sebagai pejabat seharusnya melakukan monitoring dan evaluasi kinerja aparaturnya merupakan sebuah keniscayaan. Para pejabat juga selaiknya melakukan aneka upaya perbaikan mekanisme kerjanya jika ditemukan indikasi ketidakefektifan dan menyebabkan terjadi pungli atau ketidakefisiensian birokrasi. Pembiaran bahkan ”menikmati” hasil pungli yang dilakukan anak buah, jika tidak ditegakkan sanksi bagi pejabat, hanya mengingkari fakta bahwa pungli adalah salah satu bentuk kejahatan sistemik. Apalagi, penangkapan dan sanksi kepada pelaku hanya dijatuhkan kepada mereka yang tertangkap tangan di lapangan saat ”menadah” tangan. Aturan Hukum dan Kelembagaan Selain kelembagaan pengawas internal di masing-masing lembaga layanan publik, aparat penegak hukum dan sekretaris bersama pemberantasan pungli juga dibentuk oleh pemerintah. Selain itu, dalam hukum pidana juga diatur tentang sanksi hukum bagi pelaku pungli: ”Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau
  • 11. 11 supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Ketentuan Pasal 368 KUHP ini secara gamblang menerangkan larangan dan aktivitas menguntungkan diri sendiri. Ketentuan ini juga dipertegas ketentuan pidananya bagi aparatur dalam Pasal 243 KUHP yang berbunyi: ”Bahwa pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya enam tahun”. Dari rumusan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa yang dilarang di dalam pasal ini adalah perbuatan-perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, untuk melakukan suatu pembayaran, untuk menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran, dan untuk melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku. Dengan demikian, tindakan menyalahgunakan ”kekuasaan” dengan memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, menerima pemotongan yang dilakukan terhadap suatu pembayaran, dan melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi pelaku itu merupakan tindak-tindak pidana materiil. Hingga orang baru dapat berbicara tentang selesai dilakukannya tindak-tindak pidana tersebut, jika akibat-akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang karena perbuatan-perbuatan itu telah timbul atau telah terjadi. Maka itu, ketika istilah pungutan liar atau ”pungli” lalu mengalami degradasi dalam pemaknaan hukum, seakan-akan bukan kejahatan yang perlu diproses hukum karena dianggap pelanggaran etik saja atau pelanggaran administratif saja, seketika itu juga istilah pungli seakan dikerdilkan ruang lingkupnya. Kita semua berharap ada pelurusan tentang pemaknaan pungli yang sebenarnya berasal dari istilah korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e dan f UU Nomor 20 Tahun 2001. Karena itu, seyogianya kita harus menghentikan pemaknaan pungli atau pembiaran pungli yang dianggap sebagai kejahatan administratif atau etik tanpa proses hukum karena sebenarnya pungli merupakan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 423 atau Pasal 425 KUHP jo Pasal 12 UU Nomor 20/2001. Maka itu, kepada pelaku seharusnya tetap dilakukan proses hukum dan diadili, tidak hanya tindakan administratif. Jika pun dalam proses hukum di kemudian hari menunjukkan tidak cukup bukti dan lain, yang berhak menghentikan prosesnya adalah kejaksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf c UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, LN Tahun 2004 Nomor 67, yang berwenang menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum itu hanyalah Jaksa Agung.
  • 12. 12 Penegakan hukum ini penting. Bagaimanapun hukum kita menghendaki semua pelaku tindak pidana dihukum tanpa kecuali dan dituntut menurut hukum yang berlaku serta diproses hukumnya atau asas legalitas dalam hukum. Memegang teguh asas ini penting agar upaya menjunjung tinggi implementasi negara hukum tidak terjebak pada main hakim sendiri atau menyelesaikan akibat hukum dari suatu tindak pidana tanpa melalui proses peradilan (saverbond van eigen richting). Langkah-langkah degradasi proses hukum dalam kasus pungli harus dihentikan karena tertib hukum tidak boleh lagi ditawar. KUHP Pasal 36B yang juga memberikan ancaman hukuman sembilan tahun bagi pelaku pemerasan. NINIK RAHAYU Anggota Ombudsman RI
  • 13. 13 Menghadang Propaganda Politik OPM 05-11-2016 Kelompok negara-negara Kepulauan Pasifik yang tergabung dalam Pacific Island Forum (PIF) yang terdiri dari Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Nauru, dan Kepulauan Marshall menyatakan keprihatinannya terhadap berbagai tekanan yang dinilai dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat Papua pada tanggal 5 Oktober 2016 dalam Sidang Umum PBB Ke-71 yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat. Negara-negara tersebut menyuarakan isu hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua. Masih teringat peristiwa 3 tahun lalu, ketika terdengar rencana pendirian kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, yang mengejutkan publik Indonesia tentang eksistensi dan militansi gerakan OPM dalam menggalang dukungan internasional. Namun, Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Menteri Luar Negeri segera menegaskan bahwa tidak satu pun negara anggota PBB yang mempersoalkan isu kedaulatan Indonesia atas Papua. Namun, pokok persoalannya adalah militansi OPM telah menunjukkan eksistensinya dengan terus berupaya meningkatkan dukungan internasional, melalui berbagai pendekatan diplomatis dengan membuka kantor perwakilan baru di Oxford, Inggris, dan berencana mendirikan kantor perwakilan di beberapa negara lainnya. Beberapa fakta tersebut seharusnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk semakin mengintensifkan berbagai strategi pendekatan yang lebih simpatik dalam menangani masalah Papua. Menghadapi eksistensi OPM tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan represif yang berlebihan, karena tidak jarang memiliki ekses yang justru kontraproduktif terhadap tujuan mulia menyelesaikan Papua secara beradab dan bertanggung jawab, yang justru menguntungkan kepentingan propaganda OPM di dunia internasional dan bisa jadi mengikis kepercayaan sebagian masyarakat Papua terhadap komitmen Pemerintah Pusat untuk sungguh-sungguh dan tulus membangun Papua. Militansi gerakan Papua Merdeka, termasuk gerakan internasionalisasi konflik Papua, sejak awal sesungguhnya dilatarbelakangi aspirasi Papua Merdeka secara ideologis dan politis, yang dalam perkembangannya mengalami dinamika dengan diwarnai berbagai permasalahan, yang justru berperan menjadi katalisator terjadinya insiden kekerasan melibatkan Gerakan Papua Merdeka dan mengganggu stabilitas keamanan di Papua. Gerakan Papua Merdeka merupakan gerakan yang dimotori para elite baru tahun 1960-an di kalangan penduduk asli Papua, yang terbentuk jauh setelah terjadinya penyatuan eksistensi elite gerakan pembebasan Papua oleh pahlawan nasional Indonesia dari Papua asli dengan gerakan kemerdekaan Indonesia.
  • 14. 14 Jadi, terasa agak impulsif apabila eksistensi OPM lebih disandarkan pada persoalan kesenjangan pembangunan Papua dibanding daerah lainnya di Indonesia, termasuk dugaan berbagai bentuk pelanggaran HAM, meski kedua faktor tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari masalah Papua. Internasionalisasi Isu Papua Upaya diplomasi dari isu internasionalisasi Papua dilakukan dengan memanfaatkan berbagai cara dan beberapa jalur. Baru-baru ini kelompok gerakan OPM mengklaim pertemuan PIF Ke-47 di Negara Federasi Mikronesia (FSM) yang berakhir 11 September 2016 akan membawa isu pelanggaran HAM Papua menjadi agenda dan perhatian para pemimpin negeri Pasifik, yang akhirnya membawa masalah West Papua ke Sidang Umum PBB di New York. Sebelumnya isu pendirian kantor perwakilan OPM di Oxford pada tahun 2013 sedikit-banyak dinilai mengusik hubungan diplomatis Indonesia-Inggris, meski Dubes Inggris untuk Indonesia membantah dukungan resmi kebijakan Pemerintah Inggris terhadap eksistensi OPM di Oxford tersebut. Internasionalisasi isu Papua sepenuhnya didukung oleh eksistensi On West Papua Forum dengan berbagai kegiatan yang didukung NGO dari beberapa negara Eropa dan Asia. Penegasan Inggris yang masih tetap pada posisi sikap diplomatisnya untuk mendukung penuh kedaulatan Indonesia atas Papua, sesungguhnya sejalan dengan sikap Uni Eropa secara umum. Posisi sikap diplomatis negara-negara yang masuk dalam zona Uni Eropa secara umum lebih memilih mendukung penerapan otonomi khusus pasca-meninjau langsung situasi di Papua dan menekankan perlunya penegakan HAM di tanah Papua, termasuk posisi sikap lembaga kerja sama regional dan internasional seperti ASEAN, PBB dan lembaga keuangan internasional yang lebih mendukung langkah kebijakan Indonesia dalam menerapkan Otonomi Khusus di Papua (Elisabeth, 2006). Namun, beberapa negara yang memiliki kepentingan bisnis dan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung, termasuk korporasi dan pihak-pihak yang turut menikmati bisnis eksploitasi sumber daya alam di Papua tentu akan memainkan perannya dalam pergolakan Papua. Isu internasionalisasi permasalahan Papua yang dikampanyekan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam strategi lobi dan negosiasi dengan pemerintah negara asing, masyarakat internasional, organisasi non-pemerintah di tingkat internasional, dan lembaga dunia. Kadang kala agenda setting OPM dilakukan dengan menciptakan insiden di Papua, isu gelombang suaka politik ke negara lain, atau melakukan berbagai agenda demonstrasi di Papua, atau demo di Jakarta setiap tanggal 1 Desember bertepatan dengan hari lahirnya OPM, dan bahkan demo di kedutaan Indonesia di negara sahabat untuk menarik perhatian dan simpati masyarakat, pemerintah negara lain, dan dunia internasional pada umumnya. Konstruksi isu versi OPM ini diharapkan mampu melahirkan simpati beberapa negara asing
  • 15. 15 yang mendukung gerakan Papua Merdeka. Nantinya, simpati itu akan ditindaklanjuti dalam bentuk rencana aksi dengan kegiatan yang merugikan kepentingan diplomasi Indonesia terkait masalah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Resolusi Isu Papua Apabila dilihat dari sejarah terbentuknya OPM, akar permasalahan mendasar gerakan OPM sesungguhnya adalah kepentingan kekuasaan dan politik. Gerakan Papua Merdeka memandang bahwa wilayah Papua terpisah dari kekuasaan Indonesia, bukan terintegrasi menyatu dengan Indonesia. Kelompok ini merasa menjadi bangsa yang berbeda dan bukan bagian dari bangsa Indonesia. Gerakan ini mengembangkan paham bahwa berdasarkan akar kesejarahan terbentuknya geologi dan ekosistem bahkan secara politik sesungguhnya Papua bukan bagian dari Indonesia. Berbagai pendekatan yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia meliputi: Pertama, upaya diplomasi Indonesia di tingkat internasional, baik secara bilateral maupun multilateral dengan memanfaatkan posisi tawar kekuatan diplomatis hubungan antar negara dengan Indonesia dan menyosialisasikan posisi kebenaran sejarah Papua harus dioptimalkan memberikan manfaat bagi pengendalian dan pencegahan usaha-usaha diplomatis gerakan OPM secara internasional, termasuk upaya pendirian kantor perwakilan OPM dan menyampaikan nota protes diplomatik terhadap penyelenggaraan kegiatan-kegiatan OPM di negara sahabat. Kedua, kenyataan motivasi ideologis dan politik tokoh OPM seharusnya menegaskan bahwa pendekatan yang paling efektif dalam menyelesaikan berkembangnya isu Papua merdeka berdasarkan akar permasalahan gerakan OPM adalah langsung membangun interaksi dengan tokoh-tokoh OPM, dengan berupaya meluruskan sejarah bengkok tentang Papua dan OPM agar kembali menjadi sejarah utuh yang menyatu dengan sejarah Indonesia dan mampu memberikan garansi peran penting keterlibatan orang Papua asli dalam penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan di seluruh daerah di Indonesia. Ketiga, pada tingkat akar rumput, aparatur keamanan dan pemerintahan harus membangun kedekatan kultural dan sosial dengan masyarakat setempat dan dengan berbagai komponen masyarakat secara intensif, meningkatkan kohesi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang, termasuk meningkatkan interaksi dan saling pengertian antar-budaya yang beragam dan antar-etnis yang saling berkontribusi membangun peradaban dan kemajuan Papua yang jauh lebih menjanjikan di masa-masa depan. Keempat, sementara permasalahan mengatasi keadilan pembangunan dan penegakan HAM harus terus diupayakan secara konsisten dan berkesinambungan untuk tetap menunjukkan niat tulus Pemerintah Indonesia kepada rakyatnya di Papua, dan dalam upaya mempertahankan pandangan Internasional atas niat baik dalam memberikan perlakuan yang sama dengan daerah lain dan selayaknya bagi Papua sebagai bagian integral dari Indonesia. Kelima, membentuk badan khusus/desk Papua bukan ad hoc atau setingkat dirjen di
  • 16. 16 kementerian terkait, yang bekerja khusus menangani masalah Papua secara terus-menerus, termasuk dalam mengupayakan pergerakan OPM dapat dikendalikan dan diminimalisasi. Keenam, mengembangkan operasi intelijen dalam dan luar negeri, dan mengoptimalkan peran NGO pro-Pemerintah Indonesia yang harus dioptimalkan untuk menyuarakan kepentingan aspirasi masyarakat Papua yang sesungguhnya untuk tetap menyatu dengan Indonesia. Ketujuh, melakukan pengawasan LSM/NGO, peneliti, wartawan asing, seminari dan aktivis sosial multinasional untuk mengantisipasi adanya hidden agenda yang berhubungan dengan kepentingan propaganda OPM di dalam dan di luar negeri. Kedelapan, melakukan pengetatan pengawasan penyaluran anggaran daerah yang berpeluang dimanfaatkan oleh organisasi non-pemerintah, yang pada akhirnya justru disalurkan dan digunakan untuk membiayai kegiatan dalam mendukung berbagai agenda Organisasi Papua Merdeka. Bagaimana pun, OPM harus menyadari bahwa tren global saat ini adalah dunia semakin menyatu dalam entitas-entitas kewilayahan, sebagaimana tren terbentuknya kawasan Uni Eropa dengan mata uang tunggal, tren penyatuan Korea, tren menyatunya kawasan ASEAN, dan lain-lain. Tren global juga menegaskan kegiatan separatis tidak mendapatkan tempat di mata negara-negara di dunia. Oleh karena itu, pilihan terbaik adalah dengan tetap menjaga integrasi Papua menyatu dengan Indonesia untuk selamanya, dan tetap memastikan pembangunan yang merata, berkesinambungan, menyejahterakan dan berkeadilan terjadi dan tetap berlangsung di Papua. BRIGJEN POL. DR. BAMBANG USADI, MM Karobankum dan Divkum Polri
  • 17. 17 Bencana Ekologis 05-11-2016 Agaknya banjir semakin meluas di musim penghujan ini. Hal demikian bisa diartikan daya dukung lingkungan semakin rendah. Jika ekologi dipandang sebagai hubungan timbal balik makhluk (khususnya manusia) dengan lingkungan sekitarnya (Soemarwoto, 1997), maka kebutuhan lahan yang tinggi mempersempit ruang gerak air yang terus bertambah banyak. Dampaknya, risiko kebanjiran tidak hanya terjadi pada lahan yang biasa tetapi bisa terus bertambah seperti kebanjiran di beberapa tempat di Kota Bandung. Negara sebagai organisasi superbody yang event organizeran oleh pemerintah memiliki kedudukan penting sesuai konstitusi. Kesatupaduan pemikiran dan langkah antara pusat- daerah serta daerah dengan daerah akan menunjukkan hadirnya negara dalam kehidupan rakyatnya. Tatkala disharmonisasi muncul, beragam persoalan bisa mewarnai perjalanan pemerintah yang melahirkan ketidakpercayaan rakyat dan berujung kekecewaan. Oleh karenanya, rule of law seperti digariskan dalam karakteristik good governance menjadi prioritas untuk dijalankan pemerintah. Rehabilitasi Rehabilitasi kerusakan yang ada pastilah harus berangkat dari pemikiran seluruh stakeholder. Egoisme sektoral yang senantiasa bertahan perlu direhabilitasi pula karena hal seperti itu menunjukkan kesombongan dan memberikan teladan buruk bagi rakyat. Praktik tawuran, sengketa etnis dan agama, agaknya berkaitan dengan kelangkaan contoh untuk hidup harmonis di tataran suprastrukturnya. Dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai utama, serta birokrat sebagai pelayan publiknya, maka integrasi dan integritas harus diacu agar tidak memiliki loyalitas ganda. Sebagai pelayan publik, kompetensi teknis atas apa yang harus dijalankan menandai penting agar publik tidak memperoleh kekesalan. Kendati demikian, publik juga diajarkan bagaimana bekerja dengan kesungguhan sehingga keteladanan dapat muncul tatkala pelayanan publik dilaksanakan. Kepuasan publik yang diraihnya tidak hanya ketika durasi penilaian award pelayanan diberlakukan. Dengan atau tanpa award pun, pelayanan harus tetap berlangsung dengan
  • 18. 18 peningkatan kompetensi secara signifikan. Hal demikian penting, mengingat perkembangan zaman menyebabkan dinamika publik pun terus berangsur tinggi dan harus dipuaskan. Bowman (2010) benar bila kompetensi di atas tidak hanya tunggal, namun perlu disertai dengan kompetensi etika. Dalam konteks ini birokrat tidak hanya mengajarkan beretika, namun juga meneladaninya. Tidak hanya meneladani dalam berinteraksi dengan sesama birokrat untuk saling menghargai dan mengecilkan egoisme sektoralnya, namun juga dalam hal memperlakukan alam sesuai kaidah etika yang ada. Dengan menempatkan alam sebagai mitra yang menemani hidup manusia, maka baik buruknya kehidupan manusia ditentukan oleh perilakunya dalam memperlakukan alam. Kerusakan lingkungan bisa sebagai akibat rendahnya kompetensi etika terhadap lingkungannya. Kesadaran pemangku kepentingan akan dampak bencana, maka kesepakatan untuk menjaga hulu menjadi penting. Harmonisasi pun patut dibangun antara akademisi dengan praktisi sehingga birokrat berangkat dari pengawalan etika ekologis dalam memberikan perizinan atas sejumlah lahan yang merusak ekologis. Kemampuan menolak atau pun mengarahkan peminta izin patut disertai kompetensi leadership. Hal demikian dimaknai agar birokrat atau pun elite negeri mampu memberikan arah yang didengar, dimengerti dan dipatuhi oleh siapa pun. Sebagai leader, birokrat mesti ditempa untuk bisa menyatu antara ucapan, tekadnya, serta perilakunya. Konsistensi ini menjadi penting menurut Edward III (1980) agar dalam mentransmisikan dilakukan pada orang yang tepat secara kompetensinya. Demikian halnya dengan kejelasan yang harus disampaikan kepada stakeholder sehingga dalam konteks tersebut konsistensi memegang kedudukan pentingnya. Syahwat Mungkin saja bencana menjadi indikasi bahwa kebutuhan mendesak etika. Penggundulan hutan sebagai area hulu atau pembiaran illegal logging, secara perlahan menuai banjir dan longsor di hilir. Resapan air pun terus susut lantaran ada alih fungsi lahan untuk kebutuhan pembangunan fisik. Persediaan air tanah pun menjadi berkurang dan menyebabkan kekeringan di musim kemarau. Sedangkan, musim hujan malahan membuat air berlebih. Semuanya telah dipahami seluruh birokrat, namun karena desakan kebutuhan, tidak banyak yang mampu mengamalkannya. Syahwat yang kencang mendera menyebabkan etika dibiarkan ditelanjangi sampai lupa bahwa alam merupakan pinjaman dari generasi mendatang. Bisa jadi birokrat harus belajar dari sejumlah suku yang hidup menyatu dengan alamnya. Kearifan memperlakukan alam sering tampak pada sejumlah suku yang justru dianggap primitif oleh saudaranya yang merasa hidup modern. Dengan nilai luhur yang
  • 19. 19 diadopsi pemerintah untuk kenyamanan hidup, maka syahwat rakus sejumlah pihak patut diredam agar tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Bisa saja pandangan adat yang menyebutkan jika bencana akibat murkanya penghuni hutan yang ada di gua atau pun di pohon direnungi esensinya, bukan lantas dianggap syirik. Karena itu, hidup yang modern bukan terletak pada gemerlapnya keduniawian, namun yang mampu menghadirkan hutan di lingkungannya sendiri. Pengelolaan syahwat menjadi penting agar tidak diobral secara besar-besaran. Melalui kecerdasan front line di birokrasi, perizinan dikawal ketat sesuai aturan. Kekompakan pemerintah secara vertikal atau pun horizontal pun menjadi penting untuk mengawal sejumlah kawasan strategis negeri ini. Bahkan, posisi hulu yang sering melampaui kekuasaan kabupaten/kota mesti ditangani oleh pemerintah yang lebih tinggi agar seluruh aktivitas yang berkaitan dengan gangguan ekologis dapat dikendalikan. Oleh sebab itu, syahwat lingkungan dekat birokrat atau pun elite mesti dikelola dengan baik agar tidak memberikan informasi sesat yang disesuaikan dengan syahwat serakahnya seperti Kast (1986) tuliskan. Mungkin sedikit waktu untuk introspeksi diri dari pejabat, aparat atau pun birokrat atas sejumlah bencana yang melebar. Hal demikian bisa dilantarankan oleh desakan syahwat yang kuat dari lingkungan sekitar, atau mungkin karena desakan kebutuhan yang mengalahkan nilai yang dianutnya. Atau mungkin karena integritas publiknya rendah seperti Sutor (1999) tuliskan. Untuk itu, integritas seperti itu patut didorong dan ditanamkan agar tidak dikalahkan oleh predator yang menempatkan negeri ini sebagai panggung untuk meraup keuntungan sampai energinya habis. Setelahnya pastilah akan mencari panggung baru yang alamnya masih perawan. Bila hal demikian dibiarkan, maka bencana ekologis akan menjadi langganan negeri ini dengan intensitas yang semakin tinggi. ASEP SUMARYANA Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad
  • 20. 20 Agar Pemilihan Rektor Tidak Kotor 07-11-2016 Isu suap pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) mencuat di antaranya karena adanya laporan maladministrasi ke Ombudsman. Misalnya ada laporan ijazah calon rektor di luar kewajaran, tuduhannya menempuh studi S-3 lewat jalur online, tetapi tetap dipaksakan. Laporan di PTN lainnya jumlah anggota senat universitas yang tidak wajar, membengkak. Bahkan belasan anggota senat yang sedang menempuh pendidikan di provinsi lain tetap memiliki hak pilih. Gaung isu suap ini diperkuat oleh Ketua KPK Agus Rahardjo yang secara terang-terangan di hadapan publik menyampaikan secara langsung kepada Menristek Dikti soal isu suap ini. Hal itu diungkapkan dalam acara Corruption Summit di UGM, Yogyakarta. Dipertegas pula oleh Direktur Pendidikan Tinggi Bappenas ketika sebagai narasumber dalam diskusi Perspektif Indonesia beberapa waktu lalu. Sungguhpun harus dibuktikan, informasi ke Ombudsman tidak kalah mencengangkannya. Ada informasi bahwa untuk menjadi rektor ada yang memberikan uang pelicin Rp1,5 miliar- 5 miliar. Bagi Ombudsman ini sekadar informasi yang bukan menjadi kewenangan lembaga negara ini untuk mendalaminya. Ombudsman RI hanya fokus pada perbuatan maladministrasi saja. Lembaga ini tidak memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan korupsi. Soal pembuktian ada tidaknya korupsi dalam pemilihan rektor perguruan tinggi milik pemerintah menjadi ranah penegak hukum, termasuk KPK. Informasi soal dugaan suap ini pun sudah masuk ke KPK dan menjadi kewenangan lembaga ini untuk menuntaskannya. Wajar saja jika Ketua KPK menyampaikan langsung soal ini kepada Menristek Dikti ketika acara antikorupsi di Yogyakarta itu. Pastilah banyak pihak menyangkal adanya suap pemilihan rektor. Namun merebaknya soal ini memunculkan dua hal yang tidak baik. Pertama, cerita adanya suap dalam pemilihan rektor ini sudah menjadi bahan cerita di banyak tempat. Bukan lagi bisik-bisik, tetapi dalam banyak kesempatan sudah terang-terangan ceritanya. Selain itu isu adanya suap dalam pemilihan rektor sangat merugikan perguruan tinggi dan Kemenristek Dikti serta dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Betapa tidak, selama ini perguruan tinggi dinilai sebagai tempat yang identik dengan nilai-nilai moral. Apalagi perguruan tinggi pula yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi dan antikorupsi. Bagaimana jadinya jika ternyata ada di antara pemilihan rektor sebagai hasil dari praktik menyimpang dalam bentuk suap?
  • 21. 21 Atasi Akar Masalahnya Di masa lalu, tidak pernah terdengar adanya isu suap dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi milik pemerintah sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Jabatan rektor hanyalah sebagai tugas tambahan bagi seorang dosen yang masih memiliki kemampuan untuk mengembannya. Salah satu sebabnya mungkin di masa lalu itu kampus memiliki otonomi dalam pemilihan rektornya, tidak ada campur tangan dari pihak luar. Jikapun menteri berhak menentukan siapa yang dilantik di antara calon yang terpilih oleh senat universitas, akan sangat langka menteri berpendapat lain, tidak sama dengan yang diputuskan oleh para anggota senat. Namun kemandirian perguruan tinggi negeri dalam memilih pimpinan tertingginya berubah sangat signifikan ketika diterbitkannya peraturan menteri yang menjadikan menteri sangat dominan. Ketentuan itu adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Pemerintah. Memang kemudian diperbaharui dengan Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2015. Selanjutnya diterbitkan lagi Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2016. Namun esensi untuk mekanisme pemilihan rektor dalam dua peraturan menteri perubahan tersebut sama saja, yaitu memberikan suara mayoritas kepada Menristek Dikti. Dalam Permenristek Dikti No. 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri, Pasal 7 menegaskan: (e) pemilihan rektor/ketua/direktur dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan: (1) menteri memiliki 35% (tiga puluh lima persen) hak suara dari total pemilih; dan (2) senat memiliki 65 (enam puluh lima persen) hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak suara yang sama. Mungkin sebagian besar publik tidak memahami bahwa dalam pelaksanaannya, Menristek Dikti sesungguhnya memiliki jumlah suara di atas 50%. Menteri menerbitkan aturan dan cara hitung-hitungan sendiri dalam soal pembagian suara 35% versus 65% tersebut. Saya awam soal matematika karena membayangkan 35% dari 100 kertas suara itu sama dengan 35 kertas suara. Artinya, anggota senat 100 lembar kertas suara dan menteri 35 kertas suara. Ternyata dalam praktik, hitung-hitungannya tidak demikian. Ada rumus tersendiri yang saya juga tidak pahami. Kebetulan saya pernah dua periode menjadi sekretaris senat universitas dan pernah pula memimpin prosesi pemilihan rektor. Rumus yang disampaikan kepada panitia pemilihan untuk diikuti ada tersendiri lagi. Cara menghitungnya adalah 35 dibagi 65 lalu dikalikan n (jumlah anggota senat). Artinya jika anggota senat suatu PTN adalah 100 orang, menteri memiliki kertas suara sebanyak 54 lembar. Sesuai ketentuan, calon rektor yang masuk final itu tiga orang sebelum menteri menggunakan hak suaranya. Biasanya 100 suara anggota senat itu akan menyebar kepada tiga calon. Tidak
  • 22. 22 pernah menumpuk hanya kepada satu kandidat saja. Sementara suara menteri sudah menunggu 54 suara. Artinya kepada siapa suara menteri ini dibagikan, “sudah pasti” dialah yang bakal menjadi rektor. Pokok pangkal masalah sesungguhnya adalah pada hak suara 35% (dalam praktik lebih dari 50%) ini yang menjadi persoalan. Itu sebabnya cara paling ampuh mengatasi masalah ini adalah dengan mencabut peraturan menteri tentang hak suara tersebut. Berikan saja 100% suara kepada anggota senat universitas. Kementerian lebih fokus pada pengembangan universitas dari aspek fasilitas dan akademiknya. Bukan Era Mohammad Nasir Saya ingin menegaskan bahwa terbitnya ketentuan 35% suara (dalam praktik sesungguhnya lebih dari 50% suara) diterbitkan oleh menteri periode sebelumnya, bukan oleh Menteri Mohammad Nasir. Salah juga jika ada yang menuduh bahwa beliau yang sengaja membuat aturan ini untuk kepentingannya. Saya menilai Menteri Mohammad Nasir sangat terbuka dengan perbaikan-perbaikan mengenai mekanisme pemilihan rektor yang dipersoalkan itu. Menteri secara tegas menyatakan “silakan lapor ke polisi” terhadap siapa saja yang terlibat. Kita mendukung sikap tegas beliau. Hanya saja, dalam soal hak suara 35% (dalam praktik lebih dari 50%) ini ada perbedaan mendasar antara menteri era kini dan masa sebelumnya. Di era menteri sebelumnya suara lebih disebar. Ada pembagian “agak merata” antarkandidat. Di era sekarang ini, suara menteri tumplek blek diserahkan kepada satu kandidat saja. Tentu ada plus-minus dengan cara fokus kepada satu kandidat saja, tidak satu pun diberikan kepada kandidat lain. Pertama, cara ini memungkinkan kandidat dengan suara paling rendah di tingkat universitas terpilih sebagai rektor karena mengantongi semua suara menteri yang lebih dari 50% tadi. Akibat “tidak sehatnya” juga cukup nyata. Rektor terpilih mengantongi suara minoritas di tingkat grass root. Akibatnya sangat mungkin bakal agak kewalahan melaksanakan program- programnya karena dukungan yang tidak penuh. Selain itu, ini celah masuknya, suara 50% lebih yang dimiliki menteri dan mutlak diberikan kepada satu calon menjadi sangat menggiurkan. Menggiurkan bagi “tim sukses” rektor dan menjanjikan pula bagi mereka yang mampu memanfaatkan peluang ini untuk melakukan berbagai manuver yang berujung pada urusan finansial. Kampus sebagai Teladan Selama ini perguruan tinggi itu menjadi rujukan banyak hal, terutama soal moralitas dan kredibilitas. Jika benar apa yang dirumorkan, moralitas dan kredibilitas itu runtuh sudah. Tidak sejalan dengan topik yang sering dikuliahkan. Selama ini perguruan tinggi paling lantang meneriakkan soal rendahnya moralitas dan kredibilitas dalam pilkada,
  • 23. 23 misalnya. Pihak luar sekarang dapat juga mengarahkan telunjuknya ke perguruan tinggi sekaligus dengan cibirannya. Itu sebabnya harus segera diambil langkah nyata mengatasi persoalan ini. Setidaknya ada dua hal yang membuat kita mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Mensristek Dikti. Pertama, komitmen beliau untuk memproses hukum siapa saja yang benar-benar terbukti terlibat dalam suap pemilihan rektor tersebut. “Lapor saja ke aparat hukum,” demikian berkali-kali diucapkan dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika saya kontak beliau menginformasikan soal ini. Selain itu Menristek Dikti telah pula mengundang Ombudsman, KPK, dan KASN membicarakan aturan pemilihan rektor. Dibicarakan bagaimana sebaiknya aturan pemilihan ke depan dengan cara merevisi ketentuan yang ada. Sebagaimana juga banyak suap di negeri ini, mungkin hanya sebagian kecil saja yang mampu dibongkar. Sulit mencari orang yang berani memberikan kesaksian. Boleh jadi karena di antara mereka menjadi bagian dari tindak pidana itu. Seandainya benar-benar ada, mana mungkin “rektor terpilih” berkenan bercerita apa adanya. Kita mengapresiasi “langkah cepat” Menristek Dikti yang segera merespons temuan Ombudsman RI yang juga di-echo oleh KPK. Saya yakin bakal ada rumusan-rumusan perbaikan aturan. Namun haruslah tuntas revisi aturan pemilihan rektor itu. Langkah penting menuntaskan isu kotor pemilihan rektor ini dengan to the point saja, batalkan hak suara menteri 35%. Apalagi dalam praktiknya, suara menteri tersebut dengan kalkulasi khusus, sesungguhnya sekitar 54%, bukan 35%. Inilah satu-satunya cara cepat agar pemilihan rektor tidak kotor dan tidak terus menjadi rumor. PROF AMZULIAN RIFAI, PhD Ketua Ombudsman RI
  • 24. 24 Kanalisasi Perang Informasi 08-11-2016 Banjir informasi kini terjadi di hampir seluruh kanal komunikasi warga. Sama seperti halnya banjir bandang, informasi yang meluap dan deras menerjang bisa meluluhlantakkan ragam barang kepemilikan serta membuat situasi tak nyaman. Unjuk rasa warga di 4 November lalu bukan peristiwa biasa, situasi penuh paradoks yang menjadi gejala ada anomali dalam konstelasi politik kita. Informasi berhamburan dan dipertukarkan nyaris tanpa takaran. ”Hujan deras” informasi yang membanjiri media massa dan media sosial tanpa jeda. Butuh langkah konkret pemerintah, penegak hukum, tokoh agama, dan tokoh masyarakat agar curah hujan informasi bisa dikanalisasi dengan baik sehingga tak berpotensi melahirkan tsunami. Media Sosial Kini banjir informasi yang harus diwaspadai ada media sosial. Media ini penetratif ke ruang- ruang personal nyaris tanpa batas. Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka “Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication” (2007) menyadari era kemunculan komunikasi di mana media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik di era melimpahnya informasi. Ide, informasi, dan berita politik disebarluaskan melalui media online. Pertarungan informasi luar biasa. Setiap saat, warga terpapar ”berita” yang dipertukarkan lewat jejaring sosial media mereka. Polanya sama, memancing warga untuk terlibat dalam bauran antara fakta dan fantasi, berita dan opini, data dengan rumor dan gosip, serta antara jurnalisme warga dan propaganda. Pola acak komunikasi dimainkan dengan titik tekan pada ”tawuran opini” dan pengaburan arti penting verifikasi. Publik dibuat tak berdaya menggunakan nalarnya, sehingga sadar atau tidak sadar menjadi mata rantai kebohongan dan manipulasi psikologis ala viral media sosial. Harus disadari bahwa situasi ini nyaris sempurna menggambarkan sosial media bisa dipakai dalam operasi second hand reality atau realitas buatan. Meminjam istilah C. Wright Mills dalam buku klasiknya The Power Elite (1968) fenomena ini sebagai penyajian dunia ”pulasan”. Jika Mills dulu melihat dunia pulasan ada di media massa, saat ini nyaris sempurna ada di media sosial warga. Benang merah pertarungan biasanya sama, yakni operasi propaganda dengan ragam tekniknya. Informasi dan isu
  • 25. 25 diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan sehingga media sosial disesaki gelembung isu (bubble issues) yang mengaburkan faktanya itu sendiri. Unjuk rasa 4 November sudah dibawa ke mana-mana. Jelas ada perang di dunia siber (cyber war) dan menjadikan media sosial warga sebagai medan perang asimetris. Kelompok warga dibentur-benturkan dengan kelompok lainnya dengan isu berdaya ledak tinggi yakni isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Di situasi seperti ini yang harus diwaspadai adalah para penunggang bebas (free rider) yang memanfaatkan chaos sebagai cara berlindung mereka. Demonstrasi adalah komunikasi yang dilindungi konstitusi. Tetapi, provokasi dan stimulasi perang opini di media dan media sosial menjadikan demonstrasi bisa berpotensi menjadi tsunami yang memorak-porandakan keindonesiaan kita. Stimulan Positif Meski sulit, semua pihak harus turut menganalisasi informasi di media sosial. Hal ini bisa dilakukan dengan stimulan informasi positif terutama oleh para gate keeper. Pertama, pemerintah merupakan pihak pertama yang harus memiliki tanggung jawab sosial atas informasi di masyarakat. Jangan asal tuduh tanpa bukti memadai. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus menyampaikan pernyataan yang terukur, bukan ngawur. Tuduhan bahwa ada aktor yang menunggangi demo 4 November harus berbasis data verifikatif bukan mengira-ngira. Selain itu, juga harus ada niat baik dan niat politik yang kuat untuk mendorong penegakan hukum atas dugaan adanya penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama tanpa intervensi dan kesan melindungi. Wakil Presiden sudah mengikrarkan waktu dua pekan untuk kasus Ahok. Pernyataan tersebut harus jelas peran informasinya, apakah yang dimaksud adalah kejelasan status Ahok atau apa yang dimaksud? Kedua, para tokoh ulama dan tokoh masyarakat yang menjadi public figure umat yang berdemonstrasi wajib memastikan bahwa mereka menyampaikan pernyataan-pernyataan yang benar, terukur, dan tidak menabrak etika, hukum serta keadaban publik. Saat ini, pernyataan mereka akan menjadi panduan, sekaligus asupan tak hanya pada level kognisi melainkan juga pada gerak tindakan warga akar rumput. Pernyataan tokoh yang provokatif apalagi mengumbar ujaran kebencian bisa turut memanaskan situasi dan berdampak destruktif jika dikutip dan disebarluaskan melalui media sosial milik warga. Ketiga, warga punya tanggung jawab sosial untuk berkomunikasi dengan cerdas dalam menyikapi pola acak di media sosial. Jangan cepat larut dalam histeria massa. Nalar politik dan melek informasi digital sangat berguna untuk menyaring mana informasi yang baik dan benar, serta mana informasi yang sesat dan menyesatkan. Saat mengakses informasi di media
  • 26. 26 sosial, harus ada komparasi lebih dari satu sumber. Jangan sampai mudah teperdaya oleh viral di media sosial dan menjadi bagian dari mata rantai informasi tak bertuan. Karakter kuat warga rasional tak mudah mempercayai berita tanpa verifikasi data. Ikut menyebarkan kebohongan, fitnah, dan informasi tak jelas, membuat siapa pun yang melakukannya akan merusak kohesi sosial dan politik yang ujungnya merusak rumah besar Indonesia. DR. GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
  • 27. 27 Interpol Dan Hambatan Kerja Sama 08-11-2016 Sengketa geopolitik, terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi, human trafficking, hingga cyber crime, dan perusakan lingkungan menjadi tantangan terkini semua negara. Untuk merespons ragam tantangan itu dibutuhkan kerja sama penegak hukum antara negara yang satu dan negara lain. Indonesia bisa memperluas kerja sama bilateral dengan memanfaatkan Sidang Umum International Police (Interpol) Ke-85 di Bali pada 7-10 November 2016. Wilayah perairan Indonesia di kawasan Natuna masih menyimpan potensi sengketa, karena Cina tetap mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan para nelayan dari Negeri Tirai Bambu. Selain itu, maraknya penyelundupan narkoba ke dalam negeri menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi target bagi pelaku kejahatan transnasional terorganisasi. Menurut data Security Threat 2013, sebagaimana dilaporkan oleh State of The Internet 2013, Indonesia adalah negara paling berisiko mengalami serangan cyber crime. Indonesia pun berada di urutan kedua dalam daftar lima besar negara asal serangan cyber crime. Bareskrim Polri mencatat bahwa kejahatan siber terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode Januari-Oktober 2015 misalnya, tercatat 1.325 laporan dengan jumlah perkara yang diselesaikan sebanyak 355. Dari 2012 sampai April 2015 Polri telah menangkap 497 orang tersangka kasus kejahatan di dunia maya. Dari jumlah itu, 389 orang di antaranya adalah warga negara asing. Sementara itu, kerugian Indonesia akibat praktik illegal fishing sangat besar. Menurut Badan Pangan Dunia atau FAO, kerugian Indonesia akibat illegal fishing mencapai Rp30 triliun per tahun. Tetapi, pemerintah punya perhitungan lain. Ketika Indonesia masih pasif, ada ribuan kapal yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia. Kerugian negara pun diperkirakan mencapai Rp240 triliun per tahunnya. Fakta tentang kejahatan yang mengarah pada perusakan lingkungan di Indonesia juga terlihat berkesinambungan. Pada Maret 2014 terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut dalam skala besar di Riau, Sumatera. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim. Menurut para ahli, pembukaan lahan untuk tujuan agrikultur menjadi pendorong utama dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.
  • 28. 28 Inilah beberapa contoh kasus nyata terkini yang terus dihadapi Indonesia dan menjadi pekerjaan harian aparatur penegak hukum. Ibarat gelombang laut, kasus demi kasus terus bermunculan, tak putus-putus. Arus penyelundupan narkoba terbilang sangat tinggi. Begitu juga dengan praktik illegal fishing di perairan Indonesia. Tindakan tegas Indonesia dengan menembak mati gembong narkoba dan menghancurkan kapal penangkap ikan ilegal ternyata belum mampu menumbuhkan efek jera. Kadang, muncul pertanyaan, apakah kapasitas aparatur penegak hukum Indonesia cukup besar serta mampu menampung dan memproses tumpukan kasus itu? Fakta-fakta dengan kecenderungan seperti itu menjadi bukti bahwa Indonesia memang tidak bisa sendirian dalam menumpas ragam kejahatan lintas negara. Koordinasi dan kerja sama dengan aparat penegak hukum negara lain menjadi kebutuhan yang nyaris tak terhindarkan. Globalisasi memunculkan sejumlah konsekuensi logis, karena setiap negara menjadi begitu terbuka. Keterbukaan menjadi tuntutan demi efisiensi dan kelancaran lalu lintas manusia, barang, dan jasa. Namun, sudah terbukti bahwa keterbukaan itu menghadirkan sejumlah ekses, termasuk kejahatan lintas negara. Pada pekan kedua November 2016 ini Indonesia menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan sidang umum Interpol. Kepercayaan kepada Indonesia menjadi tuan rumah sidang Interpol punya makna khusus. Ia mencitrakan profil polisi Indonesia. Kendati begitu, jauh lebih penting adalah bagaimana Indonesia bisa memaksimalkan pemanfaatan forum itu untuk meningkatkan efektivitas kemampuan Polri merespons ragam tantangan terkini. Mengatasi Hambatan Sidang Umum Interpol Ke- 85 bertema “Setting a Global Roadmap for International Policing” itu diselenggarakan di Nusa Dua Convention Center, Bali. Dihadiri delegasi polisi dari 190 negara, acara penting ini dijadwalkan berlangsung pada 7-10 November 2016. Rangkaian acaranya sudah diawali dengan parade bendera negara anggota pada 30 Oktober 2016. Presiden Joko Widodo membuka pelaksanaan Sidang Umum Interpol Ke-85 itu. Sidang umum Interpol merupakan wadah kerja sama internasional untuk meningkatkan penegakan hukum. Juga menjadi wadah pembahasan penanganan berbagai modus kejahatan dari jaringan internasional seperti narkoba dan terorisme. Pada sidang di Bali ini ada empat program prioritas yang akan dibahas: terorisme, emerging and organized crime, cyber crime, dan illegal fishing. Ada juga agenda pembahasan tenang isu-isu korupsi. Tetapi khusus tentang perburuan koruptor di luar negeri, masing-masing anggota diberi keleluasaan untuk mengikat kerja sama bilateral antarnegara. Kerja sama bilateral diperlukan dengan alasan menghormati kedaulatan hukum masing-masing negara anggota. Karena Polri masih harus memburu puluhan buron koruptor, sidang umum Interpol kali ini hendaknya dimanfaatkan Polri untuk membangun
  • 29. 29 kerja sama dengan sejumlah negara yang selama ini diketahui sebagai tujuan pelarian para buron itu. Antara lain Singapura, Cina, Kamboja, Australia, dan Amerika Serikat (AS). Indonesia mendapat kehormatan karena menampilkan dua keynote speaker, yakni Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Jenderal Tito akan membahas isu penanggulangan terorisme, sedangkan Menteri Susi memaparkan masalah dan penanganan illegal fishing. Menjadi tuan rumah sidang umum Interpol punya makna strategis bagi Indonesia, Polri khususnya. Pujian dari komunitas internasional kepada Indonesia atas penanganan terorisme bukanlah cerita baru. Untuk pekerjaan yang satu ini Indonesia dinilai sangat kredibel. Dalam beberapa forum tingkat global, Indonesia pun sering diminta untuk berbagi pengalaman. Sikap tegas dan lugas yang diperlihatkan Indonesia dalam merespons illegal fishing juga mengundang decak kagum dari banyak negara. Beberapa alasan inilah yang diduga menjadi pertimbangan Interpol memilih Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan sidang umum ke- 85. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun mengapresiasi Polri. Penunjukan itu merupakan pengakuan masyarakat internasional atas kontribusi Indonesia dalam menjaga ketertiban dunia. “Selamat kepada Polri untuk menjadi tuan rumah sidang umum Interpol. Sidang ini sangat penting agar peran Indonesia di dunia internasional semakin kentara,” kata Menlu. Penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah diumumkan pada sesi terakhir sidang umum Interpol di Monaco, November 2014. Sidang umum Interpol merupakan salah satu sidang terbesar setelah sidang umum PBB. Dalam sidang umum Interpol, biasanya akan muncul inisiatif atau gagasan kerja sama baru antarnegara, baik dalam skala bilateral maupun regional. Dalam sidang umum Interpol di Monaco, Polri menyoroti sejumlah hambatan dalam kerja sama kepolisian antarnegara. Ada empat faktor yang bisa menghambat kerja sama kepolisian antarnegara. Pertama, batas yurisdiksi dan perbedaan sistem hukum antarnegara. Kedua, perbedaan setiap negara dalam mendefinisikan kejahatan transnasional. Ketiga, perbedaan metode dalam menangani kejahatan transnasional; keempat, persoalan political will dari tiap negara. Apakah Sidang Umum Interpol Ke-85 di Bali bisa mengatasi hambatan-hambatan kerja sama kepolisian antarnegara itu? Satu hal yang pasti bahwa kejahatan lintas negara kian marak karena para pelaku tidak peduli dengan persoalan batas negara maupun perbedaan peraturan. Anggota Interpol, mau tak mau, harus inovatif. Selamat bersidang. BAMBANG SOESATYO Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
  • 30. 30 Degradasi Presiden 09-11-2016 Ada beberapa catatan penting terkait dengan Demo 4 November. Pertama, ini merupakan demo besar dan penting di Asia Tenggara, jauh lebih dahsyat dibandingkan Demo Bersih Empat di Kuala Lumpur tahun silam. Demo yang melibatkan mantan PM Mahathir Mohamad untuk menurunkan PM Najib Razak karena antara lain diyakini ada aliran dana yang masuk ke rekening pribadinya sebesar RM9 triliun, menuntut pemilu bersih, pemerintah bersih, penyelamatan ekonomi, dan hak membantah (berpendapat). Isunya demokrasi esensial, meskipun gagal menurunkan Najib. Demonstrasi damai 4 November lalu melibatkan jutaan jiwa terdiri dari banyak elemen masyarakat dan kepentingan dan berasal dari berbagai kota, Demo Bersih hanya puluhan ribu orang. Kedua, demo ini melibatkan komunitas dan organisasi muslim serta melibatkan para pemimpinnya seperti ulama dan ustaz. Elemen anak-anak muda dan mahasiswa seperti Pemuda Muhammadiyah, IMM, HMI juga penting. Tak terkecuali FPI, yang selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang sering dinilai sebagai hardliner dan kasar, menjadi bagian sangat penting dari demo yang damai ini. Di bawah kendali efektif anak muda yang smart dan pemberani seperti Dahnil, Imam Besar FPI Habib Rizieq, Ustaz Arifin Ilham, dan para tokoh komunitas atau organisasi muslim lain serta jutaan orang melakukan demo secara damai. Provokasi kerusuhan memang dilakukan oleh segelintir orang dan itu pun sudah ditangkap. Sikap represif juga terjadi oleh aparat dan menyakitkan. Tapi, Demo 4 November telah berhasil meruntuhkan pandangan akan terjadinya destruksi besar-besaran seperti kasus Malari, kerusuhan mengiringi atau mengotori gerakan reformasi, atau bahkan seperti a bloody racial clash di Kuala Lumpur pada 1969. Demo ini meskipun menyangkut soal esensial dalam hal religiositas umat Islam tetap bisa dilakukan dengan damai. Tentu ini sebuah kekuatan atau energi positif ajaran agama yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi substantif, yaitu kedamaian. Ini juga bisa menjadi gambaran penting bahwa Indonesia benar-benar merupakan bangsa muslim terbesar di dunia dan bisa menjadi contoh bagi banyak bangsa. Media global di arus utama yang sering menyudutkan Islam, hemat saya, bisa gagal membaca gelombang besar umat Islam yang ternyata melaksanakan non-violent demonstration. Siapa yang Gagal?
  • 31. 31 Isu yang diusung saat demo damai adalah sesuatu yang sangat substansial, bahkan dalam demokrasi, yaitu penegakan keadilan hukum, terutama terkait penistaan agama. Agama, sesuai dengan sila pertama Pancasila, adalah esensial dan negara berkewajiban untuk melindunginya. Tidak boleh ada diskriminasi dan tidak boleh ada yang menista. Penistaan terhadap agama dengan dalih apa pun merusak prinsip HAM, menista kemanusiaan, dan tentu menista Pancasila. Menista agama adalah sebuah kemunduran dan ketololan (jahil/jahiliyah) yang sangat luar biasa, siapa pun yang melakukannya. Menista dengan demikian menentang keluhuran dan keadaban dan penista agama berarti tidak beradab. Tugas penting negara, sekali lagi, melindungi agama dari penistaan, apalagi dilakukan oleh pejabat publik karena merupakan amanat ideologis dan konstitusional. Jika negara mengabaikan, berarti negara menjadi bagian—karena melakukan pembiaran—dari viktimisasi terhadap agama. Tekanan arus liberalisme, pragmatisme ekonomi dan politik, tampaknya mendorong Presiden enggan melakukan komunikasi dengan komunitas muslim untuk mendengarkan dan berempati sedalam-dalamnya kepada rakyatnya sendiri. Presiden enggan menerima ajakan baik-baik rakyatnya (bukan musuhnya) untuk mendengar permintaan hukum secara adil terhadap penista agama. Presiden sebagai representasi negara telah gagal karena kehilangan sensitivitasnya untuk melindungi dan menghormati hak-hak esensial kemanusiaan rakyatnya sendiri. Bagi kekuatan muslim, keengganan Presiden menyapa dan berkomunikasi dan ketidakhadiran negara justru menjadi peluang untuk melanjutkan perjuangan mengingatkan elite penguasa agar kezaliman dihentikan. Apa yang terjadi tentunya juga berdimensi politik di samping agama dan hukum. Berdimensi politik karena menyangkut pejabat penting, yaitu gubernur dan presiden, yang di belakangnya ada partai-partai dan kekuatan ekonomi yang tidak ringan. Presiden dan Gubernur nampak percaya diri dengan dukungan politik dan kekuatan modal, bahkan terasa sejak pemilu, untuk tidak perlu bersikap empatik. Tapi justru kecenderungan untuk memperlihatkan kekuasaan dengan cara seperti inilah yang menjadi preseden negatif, terutama bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Dan ini yang sebetulnya terjadi bahwa demokrasi sering dirusak justru oleh penguasa atau elite politik. Karena itu, political distrust dan moral delegitimacy terhadap kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat melalui sebuah kontrak atau perjanjian yang disebut dengan pemilu tidak bisa dihindar. Peristiwa 4 November kemarin memberikan gambaran secara kasatmata bahwa baik Gubernur DKI maupun Presiden telah mengalami political distrust dan moral delegitimacy seperti di atas. Padahal, tidak diniatkan oleh jutaan demonstran untuk mendegradasi Gubernur dan Presiden secara politik, akan tetapi sikap tak sensitif dan tak peduli Presiden terhadap permintaan
  • 32. 32 demonstran telah mendegradasi dengan sendirinya. Presiden telah kehilangan momentum penting dan indah untuk memperkokoh dan meningkatkan kualitas demokrasi. SUDARNOTO ABDUL HAKIM Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta; Peneliti Malaysia; Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat
  • 33. 33 Kredibilitas Kampanye Dan Pendidikan Politik 09-11-2016 Pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di 101 daerah telah ditetapkan. Masa kampanye telah dimulai sejak 28 Oktober 2016 dan berakhir pada 11 Februari 2015. Alokasi waktu untuk berkampanye bagi para kandidat, tim kampanye, dan relawan cukup panjang, sekitar tiga bulan. Masa kampanye yang panjang itu diharapkan dapat digunakan oleh para kandidat untuk menyosialisasikan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat. Undang-Undang Nomor 10/2016 telah mengatur bahwa pasangan calon dapat menggunakan tujuh metode kampanye untuk merebut hati pemilih, yaitu pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, iklan di media massa cetak dan elektronik, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundang-undangan. Dalam menjalankan tujuh metode kampanye tersebut, terdapat tiga prinsip yang mesti dipahami dan dijalankan oleh para kandidat ketika berkampanye, yaitu jujur, terbuka, dan dialogis. Pasangan calon dituntut menaati semua aturan dalam berkampanye dan tidak melakukan bentuk kecurangan apa pun. Politik uang, intimidasi dan kekerasan dalam berkampanye tidak dapat ditoleransi karena mendistorsi kehendak rakyat yang genuine atau asli. Kandidat mesti memuliakan pemilih sebagai manusia yang punya akal dan budi. Karena itu ”jualan” kandidat kepada pemilih semestinya bertolak dari ide, gagasan, dan program untuk menyejahterakan masyarakat lahir dan batin. Pasangan calon juga dituntut bersikap terbuka kepada masyarakat. Tidak boleh ada yang terkesan samar-samar, apalagi semacam ruang gelap pada diri kandidat. Mereka harus berani membuka diri kepada publik dengan cara memberikan informasi secara luas, detail dan benar terkait dengan visi, misi, dan programnya kepada masyarakat. Masa kampanye merupakan ruang untuk membangun proses deliberatif di tengah-tengah masyarakat. Kandidat mesti ikut mendorong agar masyarakat aktif membedah dan mendiskusikan visi, misi, dan program yang mereka tawarkan. Karena kampanye juga merupakan bagian dari pendidikan politik untuk melahirkan pemilih yang rasional, cerdas, dan mandiri.
  • 34. 34 Kampanye di era modern tidak dapat dilepaskan dari penggunaan media massa. Tren penggunaan media dari waktu ke waktu berubah. Jika pemilu 2004 dan 2009, penggunaan media arus utama seperti koran dan televisi masih mendominasi, kini situasinya mulai bergeser sejak pemilu 2014. Penggunaan lanskap media sosial meningkat tajam. Kini tim kampanye tidak lagi menyesaki ruang-ruang publik dan bekerja door to door untuk membentuk dan menggiring opini publik. Mereka bekerja di ruang maya dan secara real time bergerak memasuki ratusan platform media sosial yang digunakan oleh masyarakat modern untuk berkomunikasi. Pemanfaatan media, termasuk media sosial dalam menyebarkan visi, misi, dan program kepada masyarakat (pemilih) merupakan bagian dari modernisasi kampanye politik. Perubahan metode kampanye dari cara-cara yang konvensional menuju modernisasi diharapkan dapat melahirkan kampanye yang efektif dan efisien. Informasi yang disampaikan kandidat kepada masyarakat dapat diterima dengan mudah dan murah. Sebaliknya, kandidat dapat menyebarkan informasi dan berdialog dengan pemilih dalam arena yang sangat luas, tetapi tidak membutuhkan biaya besar. Begitu besarnya manfaat media dalam kegiatan kampanye, maka semestinya dapat digunakan secara positif dan konstruktif. Media sebagai arena pertukaran ide dan gagasan antar kandidat dengan masyarakat luas dalam mengonstruksi sebuah gagasan besar untuk dijalankan bersama. Proses dialog melalui beragam media itu diharapkan dapat membangun hubungan resiprokal yang kuat antara kandidat dengan pemilih. Hubungan yang tidak bersifat sesaat pada masa-masa kampanye saja, tetapi dapat berlanjut pada masa-masa pengelolaan tata pemerintahan pasca-pemilihan. Alokasi waktu kampanye selama tiga bulan diharapkan dapat dimanfaatkan para kandidat secara efektif untuk meyakinkan pemilih. Praktik depolitisasi warga pada tahap kampanye harus dihindari. Politik pencitraan dalam skala yang berlebihan dan hanya bertujuan membangun kesadaran palsu atau false consciousness di tengah-tengah masyarakat mesti dikesampingkan. Masyarakat membutuhkan perbincangan tentang isu-isu politik yang substantif seperti perbaikan akses dan pelayanan kesehatan, pendidikan, perbaikan taraf hidup, dan lainnya yang pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan, keadilan, pemerataan, dan kebahagiaan. Masyarakat membutuhkan informasi berkualitas tentang pribadi, gagasan, dan rekam jejak para kandidat. Bernard Grofman dalam Information, Partisipation and Choice: An Economic Theory of Democracy in Prespective (1995) mengatakan informasi level tinggi merupakan kondisi penting bagi stabilitas demokrasi, karena bila para pemilih tidak memiliki pemahaman tentang apa yang akan mereka pilih akan terjadi kesenjangan ekspektasi dari warga negara yang akan mengarah pada erosi kepercayaan dalam demokrasi. Karena itu, kandidat harus berani membuka diri, berinteraksi dan membangun dialog dengan warga. Jangan membungkus diri dengan berbagai bentuk pencitraan yang tidak perlu.
  • 35. 35 KPU dalam pengaturan kampanye pilkada 2015 dan 2017 telah mendorong kandidat untuk memperbanyak pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan dialog dengan masyarakat. Kampanye yang bersifat massal dan monolog seperti kampanye rapat umum dikurangi. Untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, kampanye rapat umum maksimal dua kali dan pemilihan bupati/wakil bupati serta wali kota/wakil wali kota hanya boleh satu kali. Kampanye rapat umum selain tidak efektif dalam hal penyampaian pesan-pesan politik juga membutuhkan biaya besar. Kampanye dialogis kita harapkan menjadi budaya dalam masyarakat yang multikultural. Proses dialog antar pemimpin dengan masyarakat tidak saja menjadi gambaran pada masa-masa kampanye. Proses dialog justru lebih dibutuhkan pada perumusan kebijakan, setelah seorang kandidat memenangi kontes dan menduduki kekuasaan. Seseorang yang dipilih melalui mekanisme demokrasi maka pengelolaan pemerintahannya pun harus dilakukan dengan cara-cara demokratis melalui proses dialog, uji publik, debat publik dan berbagai bentuk pelibatan publik lainnya untuk mencapai sebuah konsensus bersama dalam menata pemerintahan. Penggunaan media sosial dalam berkampanye menjadi tantangan bagi stakeholders pemilihan (penyelenggara, peserta, dan pemilih). KPU telah mengantisipasi pemanfaatan media sosial agar tidak dijadikan sebagai alat untuk melakukan kampanye hitam antarkandidat. Kandidat wajib mendaftarkan akun media sosial yang akan digunakan sebagai media kampanye ke KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai tingkatannya paling lambat satu hari sebelum pelaksanaan kampanye. KPU akan melakukan pemantauan secara intensif terhadap akun-akun resmi tersebut. Penggunaan media sosial untuk menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan dan penyebaran informasi yang bersifat menghasut, memfitnah dan adu domba dapat dikenai sanksi pidana. Tim pengelola media sosial para kandidat juga diharapkan tidak terjebak dalam praktik hiperrealitas media yang melanda dunia pertelevisian kita. Melalui media sosial, profil pasangan calon harus dikomunikasikan secara nyata dan utuh kepada pemilih. Pencitraan politik yang berlebihan akan menghadirkan kesemuan dan kepalsuan. Ini bertentangan dengan tujuan kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik. Publik membutuhkan informasi yang objektif dan kredibel tentang kandidat. Jangan sampai kandidat dan tim pengelola media sosialnya menciptakan disinformasi yang penuh ketidakpastian. Disinformasi tentang kandidat berbahaya karena mengakibat terjadinya depolitisasi terhadap masyarakat pemilih. Pasangan calon dan tim pengelola sosial media perlu mengingat bahwa pengguna media sosial umumnya adalah usia muda 18-35 tahun. Mereka umumnya masuk kategori rational voters atau pemilih rasional dan undecided voters atau orang-orang yang belum menentukan pilihan politik. Mereka ini potensial untuk direbut dan dapat menjadi penentu
  • 36. 36 kemenangan. Tetapi, rebutlah hati dan pikiran mereka dengan pendekatan yang rasional. Kampanyekanlah dengan gagasan-gagasan segar dan realistis yang dapat memancing mereka terlibat berdiskusi dan menelurkan ide-ide kreatifnya. Feedback atau umpan balik dari pengguna media sosial tersebut akan memperkaya kandidat dan timnya dalam mempertajam visi, misi, dan program kerja yang akan diwujudkan pasca-pemilihan. Selamat berkampanye. FERRY KURNIA RIZKIYANSYAH Komisioner KPU RI
  • 37. 37 Menyambut Presiden Baru AS 09-11-2016 Pagi ini Amerika Serikat (AS) sudah memilih presiden baru. Namun siapa pun dia, sejauh yang ditampilkan di media massa, kedua kandidat Presiden AS tidak menunjukkan perhatian kepada wilayah Asia-Pasifik atau pun Asia Tenggara. Politik luar negeri yang diperbincangkan selama kampanye lebih terkait dengan ISIS, krisis di Timur Tengah, hubungan dengan Rusia, Cina, dan Meksiko. Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia sebagai negara yang masih memiliki pengaruh di ASEAN dan Asia-Pasifik perlu membangun pendekatan yang lebih intensif lagi kepada presiden baru AS. Politik global saat ini tidak bisa dikatakan bipolar alias terdiri dari dua kubu kekuatan yang saling berebut pengaruh, sementara negara-negara lain melakukan positioning sesuai kubu- kubu tersebut atau mengambang. Cina memang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru yang dikhawatirkan negara-negara Barat akan merebut hegemoni dunia. Tetapi, dari aspek militer, kita tidak bisa abai pada kekuatan Rusia, bahkan pada pilihan kerja sama militer India. Dalam banyak aspek, hubungan internasional pun jauh lebih kompleks daripada urusan persenjataan atau militer. Di Asia Tenggara, penetrasi China dari sisi ekonomi ke kawasan ASEAN memang membawa sisi positif dalam pertumbuhan ekonomi, namun melemahkan dalam sisi politik. Karena itu, Indonesia perlu mengupayakan terciptanya bangunan sistem ekonomi-politik yang seimbang di kawasan regional, yang tidak bergantung pada dominasi ekonomi segelintir negara saja. Tujuannya, agar manfaat pembangunan yang telah kita capai dapat berjalan stabil dan berjangka panjang. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia perlu aktif mendekatkan diri kepada presiden Amerika yang baru. Salah satunya karena sepanjang kampanye kita melihat bahwa kedua calon presiden, baik Hillary Clinton maupun Donald Trump, tidak memperlihatkan konsep politik luar negeri yang jelas di Asia. Energi kampanye mereka tercurah untuk memperkuat keamanan nasional AS dari ancaman yang terutama datang dari kelompok-kelompok teroris seperti ISIS atau Al-Qaeda atau negara seperti Iran. Fokus itu memang tidak dapat dihindarkan. Karena Donald Trump yang banyak diklasifikasikan sebagai politisi demagogue atau politisi yang menggunakan alasan- alasan prejudice atau menakut-nakuti masyarakat luas untuk mendapatkan dukungan populer memaksa pihak Hillary Clinton untuk mendiskusikan topik-topik yang dilontarkan Trump. Akibatnya, dunia masih bertanya-tanya apa langkah konkret salah satu dari mereka apabila terpilih menjadi presiden hari ini.
  • 38. 38 Sejauh yang kita dengar dalam kampanye, kebijakan politik luar negeri AS di kawasan Asia selalu tidak lepas dari faktor Cina. Cina dianggap sebagai kompetitor menakutkan terbesar untuk Amerika. Donald Trump dalam kampanye di Monessen, Pennsylvania (28/ 6), mengatakan bahwa masuknya Cina ke WTO telah memungkinkan terjadinya pencurian pekerjaan terbesar di dalam sejarah dunia. Tidak kalah kerasnya Hillary Clinton di San Diego California juga menyebut bahwa ”negara-negara seperti Rusia dan Cina selalu bekerja melawan kita (Amerika Serikat), Beijing membuang baja murah di pasar kita. Itu menyakitkan para buruh di Amerika.” Begitu besarnya momok Cina dalam kampanye presiden AS hingga menenggelamkan keberadaan negara-negara lain di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Di sisi lain, kenyataan itu juga membuka mata kita bahwa negara-negara ASEAN masih dipandang sebelah mata oleh negara maju seperti AS. Padahal, apabila dikaitkan dengan masalah terorisme yang selalu menghantui Amerika, negara-negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas muslim telah berhasil mengurangi radikalisasi terorisme di dalam wilayahnya dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah. Negara-negara mayoritas muslim di Asia juga memiliki pasar dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik daripada negara-negara muslim di Timur Tengah. Artinya, dengan fakta-fakta yang positif itu politisi Amerika, khususnya Donald Trump, masih belum memandang positif negara-negara Asia yang berpenduduk muslim dan terus membuat stigma negatif atau stereotipe bahwa muslim itu sama dengan teroris. Kelemahan politik luar negeri AS terhadap Asia adalah salah satu pekerjaan rumah yang harus diperbaiki. Sayangnya, pekerjaan rumah itu tidak hanya perlu diselesaikan oleh Pemerintah AS sendiri tetapi juga negara-negara di Asia khususnya Indonesia. Kegagalan AS dalam melihat potensi yang besar dari negara-negara Asia dapat juga melemahkan kedaulatan dan kemerdekaan ekonomi dan politik di mata negara lain, khususnya Cina. Dalam praktik konkretnya, ketika pengaruh Amerika melemah, sementara pengaruh negara-negara Asia khususnya ASEAN tidak menguat dan atau tidak makin kompak, pengaruh Cina akan membesar. Membesarnya pengaruh tersebut dapat berpotensi membuat ketergantungan baru yang akan merugikan kita terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah saat ini seperti di Laut Cina Selatan atau masalah-masalah baru di kemudian hari. Tugas ini adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh para diplomat kita. Kita perlu bijak juga dalam merancang strategi politik luar negeri dan tidak hanya mengikuti perasaan atau euforia seperti yang dilakukan oleh Presiden Filipina, Duterte. Seperti kita ketahui bahwa dalam beberapa pernyataannya baik di dalam maupun di luar negeri, Presiden Duterte menyatakan untuk tidak melanjutkan kerja sama atau mengurangi pengaruh Amerika Serikat terhadap Filipina dan secara terbuka menyatakan diri berpihak kepada Cina. Presiden Duterte bahkan mengatakan di hadapan para pengusaha Filipina dan Cina bahwa ia bercita- cita untuk membangun aliansi Rusia-Chna-Filipina untuk melawan Barat. Presiden Duterte mungkin masih membayangkan bahwa politik luar negeri dunia saat ini masih bipolar seperti zaman Perang Dingin lalu.
  • 39. 39 AS membutuhkan sesuatu untuk diyakini tentang semua potensi ekonomi dan politik yang dimiliki oleh Indonesia secara khusus dan ASEAN secara umum di kawasan regional. Kita perlu meyakinkan presiden AS yang baru untuk menyeimbangkan kebijakan proteksionisnya di dalam negeri dengan pengorbanan yang harus dibuat untuk membuat sukses kerja sama dengan negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara dan Asia-Pasifik. Tanpa adanya pengorbanan, yaitu membuat negara-negara di Asia diuntungkan dari kerja sama dengan AS, maka Paman Sam akan kehilangan pengaruhnya di Asia. Pendekatan kita kepada AS bukan berarti kita menghamba atau bersedia berada di bawah subordinasi mereka. Tetapi hal ini sebagai salah satu strategi untuk mencapai atau membangun sebuah keseimbangan yang lebih permanen dan stabil di masa depan. Apabila kita hanya fokus membangun perekonomian di dalam negeri tanpa membangun jaminan kestabilan ekonomi-politik di kawasan, hasil pembangunan itu tidak akan bermanfaat maksimal. Kita membutuhkan sebuah kawasan yang stabil agar produk-produk dalam negeri kita yang semakin kompetitif akibat pembangunan infrastruktur yang sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dapat diserap oleh pasar di negara-negara lain. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
  • 40. 40 Wajah Baru Amerika Serikat 10-11-2016 Tak seperti yang diprediksikan banyak pengamat, Donald Trump memenangi kursi kepresidenan Amerika Serikat 2017-2021. Trump meraih 276 electoral votes dari 270 yang dibutuhkan. Ia mengalahkan Hillary Clinton yang hanya memperoleh 218 electoral votes. Tidak hanya menjungkir-balikkan ramalan para pengamat, tetapi hasil ini menggambarkan perbedaan ekspektasi masyarakat Amerika Serikat. Apa makna kemenangan Trump bagi masyarakat Amerika Serikat (AS), dunia, dan Indonesia? Akar Kontroversi Sejak awal proses pemilihan presiden AS ini berlangsung, kontroversi menyelimuti terpilihnya Trump menjadi kandidat presiden mewakili Partai Republik. Secara individu sosok Trump inheren bukan merupakan sosok yang ideal merepresentasikan Partai Republik. Sebagai sosok businessman yang sukses dengan karakter yang keras namun cenderung arogan, bertolak belakang dengan gambaran kaum Republik yang cenderung konservatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Selama kampanye pun Trump memersonifikasi dirinya sebagai sosok kanan yang keras. Pandangannya lebih inward looking, bahkan memperlihatkan Amerika Serikat yang isolasionis. Trump menolak migrasi, keras terhadap pelintas batas, khususnya dari Mexico yang memasuki Amerika Serikat. Bahkan ia bermaksud membangun tembok pembatas antara kedua negara. Selain itu, ketidaksukaan terhadap penduduk kulit hitam, kaum muslim, hingga penolakan terhadap pengungsi dari Timur Tengah antara lain dari Suriah menunjukkan sisi Trump yang bertolak belakang dengan karakteristik masyarakat AS yang plural dan menghargai perbedaan. Makna Kemenangan Hasil ini tentu mengejutkan bagi partai yang berkompetisi dan bagi masyarakat AS sendiri. Sejak awal Partai Demokrat optimis akan memenangkan kursi kepresidenan walau mereka sadar tidak akan diraih dengan sangat mudah. Hasil beberapa polling yang selalu menunjukkan keunggulan Hillary semakin memupuk aroma kemenangan. Namun, mereka lupa bahwa swing voters (massa mengambang) yang berkisar 20% di setiap polling ternyata susah ditebak pilihannya. Masyarakat yang belum menentukan pilihan sejak awal dan menunggu hingga akhir masa pencoblosan memperlihatkan punya pilihan sendiri dengan alasan beragam. Banyak yang
  • 41. 41 menentukan pilihan karena ketidaksukaan terhadap pemerintah sekarang yang dianggap terlalu lunak. Sebagian lain menentukan pilihan mungkin karena ingin melihat AS dipimpin oleh sosok lain di luar partai yang berkuasa sekarang dengan mengharapkan perubahan. Bisa jadi, massa mengambang jenis ini sebenarnya tidak bermaksud secara serius memilih Trump untuk sebuah perubahan atas AS yang mereka idam-idamkan. Pilihan terakhir ini mungkin lebih banyak didasarkan pada keisengan belaka atau lebih bersifat emosional sesaat. Mereka tidak berpikir lebih panjang bila pilihan mereka akan membawa kemenangan bagi Trump dan akan membawa AS empat tahun ke depan ke arah yang tidak bisa diprediksikan. Suka atau tidak, kemenangan Trump menggambarkan wajah baru AS yang berbeda dengan delapan tahun kepemimpinan Obama. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas kepemimpinan Trump empat tahun ke depan tidak hanya secara domestik, tetapi juga terhadap dunia internasional. Implikasi Kemenangan Trump ini membawa implikasi yang beragam bagi negara mitra AS maupun negara lain secara global. Mexico tentu sekarang harus lebih berhati-hati bila kebijakan pengetatan atau bahkan penutupan perbatasannya dengan AS dilaksanakan. Walau ide ini sebenarnya terlihat muskil diterapkan karena selama ini AS, Mexico, dan Kanada telah mengenyam banyak manfaat dari kerja sama perdagangan lintas batas. Implikasi lain adalah ketidakjelasan arah dan pilihan kebijakan luar negeri yang akan diterapkan AS di bawah kepemimpinan Trump. Misalnya, dari sisi kerja sama ekonomi, penolakan terhadap Trans-Pacific Partnership (TPP) akan semakin mempersulit posisi AS dalam memimpin tata kelola ekonomi global. Di sisi lain, bila ini benar-benar terjadi maka Cina akan mengambil alih kendali dan semakin melaju kencang dengan Regional Comprehensive Economic Partnerships (RCEP). Bila ini terjadi, relakah AS menyaksikannya? Dengan pandangan AS yang isolasionis maka harus dihitung ulang kemitraan strategis di bidang keamanan yang selama ini dijalin, misalnya di Asia dengan Jepang dan Korea Selatan. Bila AS memilih lebih fokus pada isu domestik menampilkan sosok yang kurang bersahabat terhadap negara-negara lain, maka pertanyaannya kemudian apakah Jepang akan berani mengambil pilihan lebih asertif menggantikan kepemimpinan AS di Asia. Dengan kata lain, AS membiarkan Jepang berhadapan dengan Cina sendirian. Bagi Indonesia, pergantian rezim ini kemungkinan tidak akan memberikan perubahan hubungan yang mendasar dari era Obama yang memiliki keterikatan batin dengan Indonesia sehingga kebijakannya lebih preferable. Secara alamiah, para presiden dari Partai Republik biasanya berhubungan lebih baik dengan Indonesia dengan dukungan kalangan bisnisnya. Hal ini berbeda dengan pola hubungan yang biasanya terjadi bila presiden dari kalangan
  • 42. 42 Demokrat yang cenderung memojokkan Indonesia untuk lebih menghormati nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, perlu diingat bahwa terpilihnya seorang presiden dalam pemilu adalah satu hal dan menjalani kepresidenan adalah hal yang berbeda. Trump saat ini telah memenangi pemilu, tetapi sepanjang sejarah politik domestik AS memperlihatkan bahwa seorang presiden terpilih tidak akan serta-merta dengan mudah menjalankan kebijakan yang radikal. Ia berada dalam sistem politik AS yang menerapkan checks and balances dan mempertimbangkan opini publik. Dapatkah Trump melewati semua itu semudah mengungkapkan kata-kata kerasnya seperti dalam kampanyenya selama ini? PROF TIRTA N MURSITAMA, PhD Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University
  • 43. 43 Trump, Populisme Politik Dan Prospeknya 11-11-2016 Mengagetkan. Donald Trump menang dalam pilpres Amerika Serikat tahun ini. Ia telah menyampaikan pidato kemenangannya secara lebih kalem. Prediksi-prediksi yang melihat peluang kemenangan Hillary Clinton lebih besar pun lewat sudah. Hillary pun telah memberi ucapan selamat. Meskipun banyak yang kecewa dan khawatir, kemenangan Trump merupakan buah demokrasi. Masyarakat internasional harus menghargainya dan segera menyesuaikan dengan perkembangan baru tersebut. Fenomena Trump menggambarkan kemenangan populisme politik di AS. Ragam ulasan mengenainya telah menyertai kehadiran Trump dalam kontestasi pilpres. Di majalah Foreign Affair edisi November-Desember 2016, komentator politik kenamaan Farid Zakaria mengulas fenomena populisme Trump sebagai sosok yang berbeda, yang menurut Newt Gingrich, ”unik, luar biasa pengalamannya.” Trump termasuk selebriti yang ”luwes dengan kenyataan”. Sosoknya nyentrik (unusual). Di AS, catat Michael Kazin di majalah yang sama, populisme politik terkait dengan sejarahnya yang panjang. Trump tergolong ”populis yang tak disukai”, kendatipun ia sekadar menyuguhkan ”anggur lama” ke dalam ”botol baru”. Tak hanya menyangkut karakter sosok, ketidaklaziman Trump ditunjukkan pula dalam aneka kampanyenya yang kontroversial. Trump suka menyerempet isu sensitif yang membuat kelompok-kelompok tertentu jengah. Banyak yang menolak lontaran-lontarannya yang cenderung ”anti-imigran” dan ”diskriminatif”, tetapi pemilih mengambang yang selama ini lebih banyak diam rupanya suka dengan isu-isu populis semacam itu. Kini, populisme politik tak terelakkan lagi di AS setelah fenomena seperti ini marak diperbincangkan dengan mengambil contoh kasus kehadirannya di Eropa, Amerika Latin, hingga Asia, termasuk Asia Tenggara, bahkan Indonesia dan Filipina. Kemenangan Trump seolah menandai gelombang populisme politik di abad kita. Zakaria melihat populisme sebagai sesuatu yang berbeda dari kelaziman politik arus utama. Ada ciri kecurigaan dan permusuhan terhadap elite dan lembaga politik arus utama. Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang biasa yang dilupakan. Juga sering membayangkan dirinya sebagai representasi patriotisme asli. Trump misalnya pernah menulis di The Wall Street Journal (April 2016) bahwa satu-satunya penangkal terhadap ”dekade kehancuran pemerintahan yang dikendalikan oleh segelintir kecil elite” adalah dengan
  • 44. 44 keberaniannya menyuntikkan ”kehendak rakyat”. Trump mengkritik negerinya diurus oleh ”elite pemerintahan yang salah”. Pada mulanya populisme politik selalu membawa-bawa namarakyat. Politisi populis suka mengklaim apa yang hendak dilakukannya seiring kehendak rakyat. Mereka sangat sadar yang mereka pidatokan merupakan bagian dari ikhtiarnya mengendalikan alam bawah sadar orang kebanyakan dengan mengeksploitasi ragam kekecewaan terhadap realitas. Isu-isu yang disampaikannya biasanya bersifat ekstrem untuk kasus-kasus tertentu, bahkan kerap antipati pada kelompok-kelompok tertentu, terutama minoritas. Retorika-retorika Donald Trump mencirikan semua itu. Muaranya jargon ”Make America Great Again!” What Next? Kemenangan Trump tak dapat dilepaskan dari konteks keamerikaan masa kini yang bukan tanpa masalah. Jargon ”Make America Great Again!” jelas memberangkatkannya dari adanya masalah-masalah krusial yang menggejala dan bermuara pada ”melemahnya” AS sebagai negara adidaya. Dalam retorika Trump, kepemimpinan Barack Obama digambarkan lemah dalam berbagai hal, sehingga AS tak lagi ”hebat”. Trump mengaitkannya dengan masalah-masalah domestik yang membuat ”masyarakat AS” tidak nyaman sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap imigran hingga penerapan pajak bagi orang kaya yang dinilai berlebihan. Trump sempat dikritik oleh para tokoh Partai Republik telah ”membawa lari” isu-isu konservatisme AS ke ranah yang lebih membahayakan. Tentang kebijakan politik luar negeri AS, Trump telah menguraikannya dalam aneka kampanye dan debat antarcapres. Banyak hal yang akan dilakukannya untuk menunjukkan perbedaannya dengan pemerintahan Obama. Akan ada rekalkulasi AS terhadap berbagai kebijakannya terhadap negara-negara Timur Tengah, Cina, hingga Korea Utara. Pendekatan- pendekatannya, merujuk retorika Trump, akan ”lebih keras” dalam menyelesaikan konflik dalam garis kepentingan nasional AS. Muaranya, menunjukkan AS adidaya yang lebih hebat. Gaya komunikasinya yang atraktif dan menggebu-gebu dalam merespons isu-isu internasional yang krusial membuat Trump terbayangkan bak koboi yang siap menembak musuh-musuhnya. Politik luar negeri AS pasca-Obama, bisa lain sama sekali. Doktrin Obama akan segera digusur Doktrin Trump dengan cita rasa yang lain. Barangkali masyarakat internasional punya gambaran minimal, di mana gaya kepemimpinan Trump bisa lebih mirip dengan George Bush Jr yang juga dari Partai Republik. Ia akan lebih atraktif, terlepas dari latar belakangnya sebagai aktor ”reality show”. Risikonya, politik internasional potensial lebih gaduh dan tegang, konflik-konflik lama belum tentu terselesaikan justru oleh ketika konflik baru hadir. Jargon ”Make America Great Again!”
  • 45. 45 menggambarkan bagaimana AS harus lebih dominan dalam penentuan keputusan-keputusan strategis internasional dan lebih tampil gagah dalam merespons ”musuh-musuhnya”. Gaya semacam ini justru bisa memicu konflik. Namun, Trump akan dihadapkan pada sejumlah hal yang membuatnya dipaksa berpikir ulang dalam mengambil kebijakan, apakah dari oposisi atau pun publik anti-Trump. Di sisi lain, pasar juga akan turut mengoreksi. Demikian pula dari sisi politik internasional, tidak mudah kini AS mendiktekan kehendak sebagaimana pada masa Perang Dingin. Kritisisme masyarakat internasional bukanlah sesuatu yang statis pula. Realitas politik multipolar yang ditandai hadirnya aktor-aktor strategis di luar AS, seperti Cina, Rusia, Iran dan yang lain, menghendaki pola-pola komunikasi politik baru yang ”lebih rasional”. Merujuk genealogi populisme politik Trump, prospek pemerintahannya justru akan lebih banyak ditentukan oleh reaksi-reaksi politik yang muncul atau melawan kebijakan- kebijakannya. Trump harus mampu mengelola semua itu, kecuali akan terus menjadi bulan- bulanan di tengah labirin politiknya yang terbalut jargon ”Make America Great Again!”. M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
  • 46. 46 Ahok, Penistaan Dan Pemaafan 11-11-2016 Gonjang-ganjing akibat ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belumlah reda. Seperti yang terlihat dalam aksi unjuk rasa di berbagai belahan kota Indonesia, umat Islam menunjukkan sikap dan keprihatinannya. Di Jakarta yang merupakan episentrum dari denyut nadi politik nasional, luapan massa itu begitu menyeruak dan menggema, khususnya dalam aksi demo 4 November. Mereka merasa terpanggil untuk menyatakan sikap dan ketersinggungannya. Di sisi lain, publik khawatir, cemas dan waspada karena gelombang demonstrasi begitu masif dan membahana. Beruntung, tidak ada insiden yang dikhawatirkan banyak orang tersebut. Demonstrasi berjalan relatif damai, meski sempat disusul oleh letupan vandalisme dan kekerasan. Khususnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Suka atau tidak, dilihat dari materinya, ucapan Ahok di Pulau Seribu memang kontroversial dan potensial untuk memecah harmonitas sosial. Ia merujuk kepada Alquran (surah al- Maidah, 51) untuk menyimpulkan larangan memilih pemimpin non-muslim. Dalam ucapannya, Ahok menyampaikan, ayat tersebut dipakai untuk mengelabui (menipu) masyarakat. Sontak, kalimat tersebut menyulut emosi dan mengingatkan adanya pasal tentang penistaan agama. Legalitas dan High Context Rezim kebebasan beragama di Indonesia adalah rezim kebebasan terikat (gebonden vrijheid). Artinya, keyakinan untuk menghayati, meyakini, dan meresapi kerohanian sebagai perasaan keagamaan internal-personal, sepenuhnya dijamin undang-undang. Karena hal itu merupakan aspek internal kebebasan, hak yang tidak dapat dicabut. Namun, menyatakan atau berbuat sesuatu yang bersinggungan dengan konteks keagamaan atau bersumberkan dari nilai keagamaan di dalam keterkaitannya dengan relasi sosial, tidaklah berpangkal pada kebebasan mutlak. Oleh karena itu, meski pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Undang- Undang (UU) Nomor 5/1969 atau yang dikenal dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 masih dinyatakan berlaku, di mana Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut berbunyi: ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan- kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok- pokok ajaran agama itu”.