1. Edisi XII 2017
CURHAT TSAMARA
Bangkit Menggebuk Bersama Jokowi
SOLIDARITAS KITA
Revolusi Mental Fajar
DISKURSUS
Jokowi dan Masa Depan
Demokrasi Indonesia
SIKAP KITA
Menguatkan
Solidaritas Bangsa
OPINI
Anwar saragih
Berselancar Bersama Jokowi
Mikhail Gorbachev Dom
Jokowi di Mata Generasi
Muda Peduli Lingkungan
MANUSIA
JOKOWI
MANUSIA
JOKOWI
2. Pembina/Penasehat : Dewan Pimpinan Pusat PSI | Pemimpin Redaksi : Ramli Hussein
Redaktur Pelaksana : Sudi Arto | Tim Redaksi : Sjahrazad Ilyas, Bung Kecil | Ilustrator : Bodro Wilowo | Layout : Fahrul Rozi
IT : Endika Wijaya, Uji Baskoro | Promosi Digital : Endika Wijaya
Jl. K.H. Wahid Hasyim No.194, Tanah Abang, Jakarta Pusat 10250
Email: redaksi@solidaritas.org | Informasi dan Laporan: info@solidaritas.org
Opini: opini@solidaritas.org | Promosi: promo@solidaritas.org
Tlp: +62 21 389 019 37 ext. 114
Editorial
MENUJU POLITIK YANG JOKO-wi
Dalam tata Bahasa Indonesia dikenal istilah akhiran atau sufiks, yakni
imbuhan yang ditambahkan di akhir kata. Sebut saja yang berkaitan
dengan kata benda misalnya: pikiran, hadirin, rohaniawan, makanan,
minuman, dan seterusnya. Atau ada juga yang berkenaan dengan kata
sifat: nasionalisasi, intoleransi, parlementer, elementer dan lain-lain.
Selain itu, salah satu yang banyak digunakan adalah akhiran yang
berbunyi ‘wi’ seperti manusiawi, duniawi, dan kimiawi. Tidak terdapat
perubahan makna bagi kata yang diberi akhiran. Penambahan akhiran
‘wi’ untuk mempertegas pengaruh sebuah benda terhadap sifat. Kimiawi
adalah mempertegas bahwa sifat atau proses yang terjadi merupakan
bagian dari benda-benda kimia. Manusiawi berarti sifat yang dimaksud
secara umum memiliki kesamaan atau seperti yang terdapat pada
manusia.
Joko adalah salah nama yang popular digunakan di Indonesia, selain
nama Muhammad, Agus, Surya, Udin dll. Sebut saja tokoh-tokoh
nasional seperti Djoko Santoso, Djoko Susilo, Joko Anwar dan terakhir
Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Bisa diartikan
bahwa Joko dengan akhiran ‘wi’ menunjukkan sifat seperti atau serupa
dengan Joko.
Joko dalam bahasa Jawa adalah nama anak laki-laki muda, pemuda,
anak muda, atau anak muda sukses. Joko juga lebih populer sebagai
nama depan, hampir tidak pernah sebagai nama belakang, meski
kadang ditemukan berada di tengah. Merujuk arti dan karakter yang
melekat pada nama Joko, jika ditambah akhiran ‘wi’ maka bisa
diterjemahkan sebagai tindakan yang mencerminkan kemudaan,
kegagahan, ulet, pantang menyerah dan selalu terdepan. Karenanya
Jokowi seharusnya juga adalah harapan, jika harapan kita maknai
sebagai akibat yang muncul setelah tindakan dan kerja, bukan dari
proses termenung.
Karakter jokowi tampaknya bisa kita lihat terpancar dari tindakan dan
kerja dari Presiden RI yang ke-7 Joko Widodo. Kemudaannya tidak bisa
disembunyikan, tertawa dan mencari hal lucu yang terselip dalam
rutinitasnya setiap hari menunjukkan bahwa Joko Widodo bahagia
menjalankan tugas-tugasnya. Dia bekerja nyaris tak berhenti,
menteri-menteri dipaksa mengikuti ritme Sang Presiden, wajar
beberapa `tokoh senior agak kewalahan mendampingi presiden.
Joko Widodo punya mimpi membawa Indonesia sebagai poros maritim
dunia, namun pekerjaan rumah tentu tidak sedikit: konektivitas
barat-tengah-timur Indonesia harus segera dibereskan. Satu karakter
yang membedakan anak muda dan politisi senior adalah tentang
bermimpi. Politisi senior terlalu ribet dengan tata krama politik,
sehingga melambatkan gerak bahkan terkadang mematut-matutkan diri
menjadikan kemasan lebih utama dibandingkan substansi.
Pertanyaannya sekarang, jika politik tertinggal dibelakang Joko Widodo,
atau dalam kata lain jika partai politik tidak mampu melakukan
reorganisasi dan modernisasi dalam gerak langkah politiknya atau
menjadi partai politik yang lebih Jokowi daripada Joko Widodo, maka
itu bisa dikatakan partai politik sebagai titik pijak harapan kewargaan
akan tertinggal jauh. Karena tertinggal, parpol lalu bisa menjelma
menjadi veto actors dalam pergaulan demokrasi Indonesia modern.
Saya tidak mengatakan bahwa semua parpol di Indonesia saat ini
berupaya menjadi veto actors, namun kecenderungan mengutak-atik
aturan hukum pemilu, pelemahan KPK oleh DPR-RI adalah sedikit dari
sekian banyak contoh Lembaga legislatif tersebut mencoba
mempertahankan gaya politik lamanya, ketimbang melakukan
perbaikan dari dalam. Wajar kemudian publik menempatkan DPR
sebagai lembaga paling tidak dipercaya publik pada tahun 2016. PDIP
sebagai partai asal Joko Widodo harusnya mampu lebih Jokowi
ketimbang parpol lainnya, dalam beberapa kesempatan PDIP justru
terkesan malah mengawasi Pak Jokowi, sehingga wajar jika kemudian
Golkar, Nasdem, Hanura merasa lebih Jokowi ketimbang PDIP.
PDIP tentu punya perhitungan sendiri, namun waku terus bergulir dan
parpol lain sudah lebih dulu mengambil ceruk “paling Jokowi” itu.
Terlepas dari itu semua, Presiden Joko Widodo sebaiknya menyiapkan
diri lebih baik pada tahun 2019. Pilkada DKI Jakarta 2017, membuktikan
bahwa kerja keras dan prestasi masih belum mampu membendung
isu-isu politik yang menggunakan sentimen SARA sebagai bahan
kampanye.
Joko Widodo harus menghitung Parpol diluar PDIP (dengan asumsi
PDIP sudah pasti mencalonkan kembali Joko Widodo sebagai Presiden
2019) yang paling memiliki karakter muda, terdepan, pekerja keras,
tangguh dan ulet. Yang terpenting adalah partai yang memiliki mimpi
yang sama dengan Joko Widodo dan tidak berpotensi menjadi veto
actors dalam postur demokrasi Indonesia yang Jokowi.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru yang sudah
menyatakan akan mencalonkan Joko Widodo adalah pilihan yang bijak.
Sama merah, sama mimpi, satu senior, satunya muda. PDIP
membutuhkan citra muda dan baru, dua hal yang tidak mungkin
dibangun dalam waktu dekat. Sementara PSI membutuhkan citra
berpengalaman menjalankan kekuasaan, juga tidak mudah
membentuknya dalam waktu dekat.
Joko Widodo tentu tidak melihat parpol di Indonesia sebagaimana
Emmanuel Macron melihatnya di Perancis sana, ketimbang ikut karam
bersama kapal, Macron memilih membangun En Marhce, meski baru
namun lebih dekat kepada makna “politik yang Jokowi.” Politik yang
muda, berani, cepat, kerja keras, ulet dan tangguh. Lalu karenanya maka
politik bisa menjadi harapan yang selalu berada paling depan dalam
sebuah mimpi mewujudkan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3. Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
tersebut. Partai politik lama sejak dulu memang lebih memilih cara
instan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hasil beberapa riset di
penghujung tahun 2016 yang menunjukkan DPR RI dan partai politik
adalah lembaga yang paling tidak dipercaya publik, seakan tidak
sedikitpun membuat elit politik merasa terusik. Juga angka kedekatan
atau identifikasi pemilih terhadap partai yang merosot jauh. Di mana
pada tahun 1999 (data SMRC) jumlah pemilih yang menyatakan sudah
memiliki afiliasi partai sebesar lebih dari 70%. Kini pada tahun 2016
hanya sekitar 17% pemilih menyatakan sudah memiliki afiliasi partai
politik.
Namun mungkin benar kata Nikita Krushcev, “politisi sama di mana pun,
mereka selalu berjanji membangun jembatan, meski ditempat itu tidak
ditemukan sungai.” Undang-undang Pemilu jelas adalah sebuah lelucon
paling anyar dari gedung DPR RI yang konon bangunannya sudah agak
miring itu.
Betapa tidak, jelas, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan
bahwa verifikasi partai poilitik sebagai peserta Pemilu itu berlaku sama,
antara parpol baru maupun lama. Logikanya sederhana, apakah Partai
JOKOWI DAN MASA DEPAN
DEMOKRASI INDONESIA
Undang-Undang Pemilu Baru Untuk Siapa?
Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-undang
Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang akan menjadi aturan main pesta
demokrasi Indonesia pada tahun 2019 yang akan datang.
Ada dua hal yang secara logika tidak masuk akal: pertama adalah
mengenai upaya partai lama agar terhindar dari verifikasi Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon peserta Pemilu. Perihal kedua,
terkait dengan ditetapkannya President Threshold sebesar 20% suara
partai atau gabungan partai-partai, atau 25% kursi parlemen.
Sebenarnya tidak butuh menunggu lama untuk mengetahui keputusan
Oleh:
Ramli Husein
Pemimpin Redaksi Koran Solidaritas
Diskursus
4. Pendukung nasionalis tentu sangat sulit untuk dialihkan dari Jokowi,
satu-satunya jalan untuk menjegal Jokowi adalah dengan memecah
kekuatan Islam Moderat yang selama ini masih setia berpihak pada
pemerintahan Jokowi. Kelompok Islam tradisional seperti Nahdhatul
Ulama mungkin sudah tidak masuk dalam hitungan mereka. Namun
diluar itu masih mungkin dilakukan.
Keluarnya Perppu Pembubaran Ormas membawa suasana yang cukup
hangat di akar rumput. Kelompok Islam Moderat, yang masih berdiam
diri, dalam hal ini Muhammadiyah adalah satu kekuatan yang tidak
mudah untuk diikat. Ini dikarenakan organisasi yang besar dan kultur
yang tidak hirarkis dan feodal.
Wacana kedekatan Muhammadiyah dengan paham Wahabi secara
sistematis dihembuskan untuk mendesak Muhammadiyah
mengeluarkan sikap yang jelas. Seakan rejim Jokowi yang melakukan
desakan itu, padahal ini bisa jadi adalah salah satu isu yang
dihembuskan untuk mengelabui opini publik. Dengan harapan,
Muhammadiyah kesal dengan pemerintahann Jokowi dan akhirnya pada
tahun 2019, mengalihkan dukungan kepada siapapun “selain Jokowi.”
Keadaan itu sudah cukup membantu agar penggerusan terjadi pada
suara kubu Jokowi, sementara pihak oposisi bisa utuh tanpa tergerus.
Nama Anies Baswedan yang belakangan mulai sering berkunjung ke
wilayah di luar Jakarta, seakan sinyal bahwa Anies bukan lagi sekedar
Gubernur DKI Jakarta (yang belum dilantik), namun ini adalah sebuah
persiapan untuk menuju ken jenjang yang lebih tinggi yakni tahta
presiden. Ini bukan tidak mungkin, karena jika ingin menggerus suara
pro-Jokowi maka Anies adalah pilihan yang tepat. Suara Anies, tidak
mungkin menggerus suara Gerindra dan lainnya. Jika ini terjadi, ada
baiknya Jokowi mulai merapatkan barisannya. Baik Poros Gerindra,
Poros Demokrart dan Poros PDIP, tidak akan ada yang bisa memastikan
hasil akhir Pemilu 2019.
Satu Capres, Seribu Wapres
Dibawah komando Prabowo Subianto, memutuskan cawapres bukanlah
hal yang sulit, namun tidak demikian jika hendak memutuskan siapa
cawapres yang akan mendampingi Jokowi kelak. Ini dilema tersendiri
yang muncul dari syarat dukungan 20% suara untuk pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.
Meskipun suara bulat mendukung pencalonan kembali Jokowi menjadi
Capres 2019 sudah jauh hariu diumumkan oleh beberapa Parpol: Golkar
termasuk yang pertama, lalu partai baru PSI, disusul Hanura dan PKPI.
Sementara beberapa partai lainnya, termasuk PDIP mungkin hanya
menunggu waktu untuk mengumumkan dukungannnya.
Tapi bukankah capres dan cawapres adalah satu paket yang akan
dicantumkan di kertas suara? Bagaimana jika salah satu partai
pendukung tidak setuju dengan nama Calon Wapres yang akan
mendampingi Jokowi? Nasdem dan Partai Amanat Nasional sudah lebih
dulu menyebut nama Gatot Nurmantyo, Panglima TNI sebagai nama
yang pantas mendampingi Jokowi.
Tentu menarik untuk menunggu bagaimana dinamika pengajuan nama
cawapres, besar kemungkinan keputusan akhir akan kembali ke tangan
Megawati Soekarnoputri. Namun karena adanya syarat dukungan
parpol, maka PDI-P tidak serta merta memegang kendali koalisi, Jokowi
kembali akan disandera oleh kepentingan parpol. Celakanya, kadang
partai yang memperoleh suara kecil kadang lebih galak dari pemilik
suara terbanyak.
Pemilu 2019: Perebutan Suara Diluar dan
Di Dalam Koalisi Jokowi
Pasca aksi demonstrasi 411, 212 dan sejenisnya, juga kalahnya
Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta tentu bisa memberikan gambaran
bahwa peta pertarungan suara akan memperebutkan suara Islam
Moderat. Bisa dipastikan barisan Islam yang selama ini berjaringan
Golkar tidak pernah mengganti kepengurusan sejak lima tahun yang
lalu, jika ada pergantian siapakah yang bisa memastikan bahwa
kepengurusan Partai Golkar memenuhi syarat keterwakilan 30%
perempuan, misalnya.
Pertanyaan lain, adakah yang bisa memastikan jumlah kantor Partai
Hanura sudah mnemenuhi persyaratan 100% Provinsi, 75% Kab/Kota
dan 50% Kecamatan di seluruh Indonesia? Pasca pertikaian antara
WIranto dan Hary Tanoe misalnya. Atau kisruh yang melanda PPP,
apakah kepengurusan yang kini ada, adalah kepengurusan yang sah
secara ketentuan undang-undang? Atas dasar itulah maka MK
memutuskan verifikasi ulang seluruh parpol, baik yang baru maupun
yang lama.
Berikutnya lebih lucu lagi, syarat mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden pada tahun 2019 adalah yang bersangkutan harus diusung
minimal 20% suara partai atau gabungan partai-partai, atau 25% jumlah
kursi di parlemen. Bukankah MK memutuskan Pilpres dan Pileg diadakan
bersamaan? Lalu darimana penetapan dukungan suara partai dan kursi
parlemen?
DPR RI menyatakan bahwa itu diambil dari hasil perolehan suara Pemilu
2014 yang lalu. dengan demikianm partai baru tidak akan mungkin bisa
mencalonkan calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 yang
akan datang. Harus diketahui bahwa jumlah pemilih pemula pada tahun
2019 yang akan datang kurang lebih berjumlah 15%, yang artinya mereka
adalah bukan pemilih pada tahun 2014. Lalu apakah hak mereka dalam
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 bisa
dihilangkan? Saya rasa ini adalah hak warga negara yang esensial dan
substantif.
Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
Diskursus
Skenario Dua dan Tiga Pasang
Jokowi masih berada dipuncak tertinggi survei Mei 2017 yang dilakukan
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Sebanyak 32% pemilih
masih akan memilih Jokowi jika Jokowi maju kembali sebagai kandidat
presiden. Namun jika berhadapan head to head antara Jokowi dan
Prabowo Subianto, maka posisi suara tidak jauh berbeda dengan hasil
Pilpres 2014 yang lalu. Jokowi unggul 55% dan Prabowo Subianto 45%,
hanya terpaut 10% dengan masih tersisa dua tahun untuk
masing-masing bekerja.
Sebagai oposisi, Prabowo sangat leluasa untuk terus memupuk kritik
dan kekuatan oposisi yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi-JK,
sementara Jokowi harus berbagi dengan tugas kenegaraan dan
keribetan ‘mengeloni’ anggota koalisi yang masing-masing punya
kepentingan yang berbeda.
Pasca pertemuan SBY dengan Prabowo Subianto, muncul spekulasi
bahwa akan terjadi koalisi besar dipihak opsosisi yang akan
menghadang kemenangan Jokowi pada pilpres mendatang. Juga ada
yang mengatakan, bahwa pertemuan itu membahas tentang bagaimana
untuk memecah basis suara Jokowi dengan mengajukan pasangan
calon ketiga.
5. dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akan berafiliasi dengan kubu
oposisi, begitu juga dengan yang memang sudah sejak awal tidak
memilih Jokowi, kembali akan merapat ke kubu oposisi.
Barisan Nahdhatul Ulama, meskipun tidak seluruhnya mendukung
Jokowi, namun mereka merasa memiliki kewajiban untuk berada pada
kubu berseberangan dengan kubu yang didukung oleh Islam yang
beraliran takfiri atau anti keragaman. Bagi mereka, negara dan
keislaman adalah hal yang tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang
lain.
Masih banyak lagi suara Islam moderat di seluruh Indonesia yang belum
tentu mengalir ke Jokowi. Di sinilah pertarungan sesungguhnya akan
terjadi. Tercatat sebaran mereka mulai dari Sumatera, Jakarta, Jawa
Tengah, Jogjakarta, Solo dan beberapa kota besar lainnya. Ini adalah
kantong-kantong perebutan kursi dan suara.
Dilema tersendiri akan terjadi di kubu Koalisi Indonsia Hebat (KIH),
partai yang bernafaskan Islam mayoritas dikuasai PKB, sementara kubu
nasionalis akan terbagi ke PDIP, Nasdem, Hanura, PKPI dan pendatang
baru PSI besutan Grace Natalie. Jika pemilih religus dan menyukai
Jokowi, maka mereka akan memilih PKB, sementara jika dia seorang
nasionalis maka belum tentu pilihannya jatuh ke PDIP, bisa jadi ke PSI
sebagai alternatif baru.
Artinya sebenarnya, bisa terjadi kejutan dalam Pemilu 2019 yang akan
datang, terutama dalam konfigurasi perolehan suara Partai Politik untuk
legislatif. Semakin Partai yang kini memiliki kursi di DPR RI menunjukkan
wataknya yang arogan, maka peluang partai baru untuk mendapat
simpati publik akan sangat besar.
Jokowi, PDIP dan PSI
Jokowi pasti akan sedikit direpotkan oleh syarat dukungan 20% suara
Parpol dan 25% kursi DPR RI. Bukan karena sulit mendapatkan
dukungan 20% suara, namun karena harus kembali melakukan
kompromi politik dengan partai-partai pendukungnya. Jokowi dengan
kerja yang luar biasa cepat, diikuti dengan pemerintahan yang bersih
dan komitmen kuat menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila, tampak
sangat selaras dengan apa yang memjadi pegangan teguh Megawati
Soekarnoputri.
Namun, PDIP sebagai partai politik tampaknya tidak begitu mampu
melakukamn kapitalisasi kekuatan itu, dalam beberapa kesempatan
PDIP tampak seperti berseberangan dengan keputusan pemerintah.
Dalam hal komitmen pemberantasan korupsi dan perlawanan terhadap
Intoleransi, tampak PSI lebih mampu melakukan inovasi gerakan, apalagi
kekuatan media social mereka sudah jauh melampaui partai lain.
Menurut data INTRANS per Maret 2017, jumlah audiens dan keterlibatan
orang di media social, menempatkan PSI sedikit lebih unggul dari PDIP
dan kini berada di posisi kedua di bawah Partai Gerindra. Sementara
PDIP dibayang-bayangi oleh PKS dan Demokrat.
Kelebihan PSI adalah karena mampu menunjukkan dirinya sebagai
satu-satunya partai Baru dan muda. Konsistensi pesan, inovasi
teknologi, komunikasi politik, dan keberanian melakukan gesekan politik
menjadi catatan penting bagi partai lainnya. Namun tentu PSI tidak
mudah untuk merebut brand “berpengalaman di pemerintahan” yang
dimiliki oleh PDIP misalnya. Namun “berpengalaman” bisa menjadi
konotasi negatif jika tidak dikomunikasikan dengan baik oleh PDIP.
Jokowi membutuhkan suara kelompok nasionalis, dan itu mayoritas
akan diambil oleh PDIP, begitu juga Jokowi membutuhkan PKB, jika bisa
PAN dengan tentu mengharapkan gerbong pemilih Muhammadiyah ikut
serta didalamnya (meski PAN tidak pernah merupakan saluran suara
tunggal Muhammadiyah).
Dan. mengingat angka bonus demografi Indonesia yang menempatkan
pemilih muda sebagai pemilik suara mayoritas di 2019, maka suka tidak
suka Jokowi membutuhkan PSI untuk berada dibarisan pendukungnya.
Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
Diskursus
Menghadang Populisme Kanan
Pilkada DKI Jakarta ternyata tidak begitu berpengaruh terhadap
konfigurasi pilihan politik di tingkat nasional. Namun meski demikian,
setidaknya Jokowi harus lebih waspada dan taktis, sebab kekuatan yang
sama akan dihadapinya di Pemilu 2019 yang akan datang. Membubarkan
HTI tentu tidak cukup, namun bagaimana melakukan konsolidasi politik
terhadap relawan-relawannya yang kini tersebar dimana-mana. Begitu
juga merapikan kembali struktur koalisinya dengan menghitung
kekuatan dan potensi suara lain yang belum pernah serius terpikirkan
karena sibuknya kerja kenegaraan.
Jokowi pasti sudah paham, bagaimana fakta pemilih Jakarta yang
begitu rasional bisa kalah oleh sebuah gerakan pemenangan yang nyaris
tidak terduga akan digunakan pihak lawan Ahok dan Djarot saat itu.
Dalam politik cara lama selalu digunakan, namun dengan nama dan
inovasi yang lebih baru. Persoalannya ini bukan hanya fenomena di
Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat dengan kemenangan Trump, dan
juga ketika jajak pendapat di Inggris mengakhiri keanggotaan Inggris
dari Uni Eropa.
Yang bisa kita lihat dari tiga kasus: Brexit di Inggris, Trump di Amerika,
dan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta adalah bahwa kemenangan
itu selalu menunggangi ketakutan yang paling mendasar dari identitas
satu bangsa atau keyakinan. Ketika ketakutan itu mampu menarik
ketakutan, trauma dan phobia yang langsung beririsan dengan identitas
primordial, maka rasionalitas dalam menjatuhkan pilihan politik tidak
akan bisa diprediksi dengan cara biasa.
Hal itu diperparah dengan kegagapan kaum pro-demokrasi untuk
menjawab tuduhan-tuduhan teoritik mengenai kedekatan demokrasi
dengan kapitalisme yang kemudian juga melahirkan ketimpangan sosial
dan ekspolitasi dimana-mana. Demokrasi juga mendapatkan kritikan
tajam, bagaima mungkin sistem demokrasi mampu melahirkan perang
dan arogansi politik diberbagai belahan dunia. Apalagi jika kemudian
demokrasi juga dituding sebagai penyebab terjadinya perpecahan
politik di Jazirah Arab yang meningkatkan ketegangan Timur dan Barat,
serta juga dunia Islam dengan dunia lainnya.
Namun disela ketegangan dunia baru itu, muncul fenomena Jokowi di
Indonesia, Trudeau di Canada dan Macron di Perancis. Secara singkat
ketiganya mencoba mengambil alih kendali demokrasi dengan
menorehkan kemenangan yang mengesankan di negara masing,
masing. Mereka hendak mengakhiri sinisme banyak orang terhadap
demokrasi. Mereka menunjukkan bahwa selain hal yang buruk,
demokrasi masih melahirkan juga hal-hal yang baik.
Demokrasi tidak pernah menutup pintu harapan, sekecil apapun itu,
setiap kemungkinan bisa menjadi kenyataan baru.
6. Curhat Tsamara
Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
BANGKIT MENGGEBUK
BERSAMA JOKOWI
Oleh:
Tsamara Amany
Ketua Dewan Pimpinan
Pusat Partai Solidaritas
Indonesia
Sejak Pilkada Jakarta hingga beberapa waktu terakhir, banyak orang
yang berani bersuara lantang merasa geram dengan orang-orang yang
memilih untuk diam. Kegeraman itu masuk akal. Kelompok moderat
yang berani harus menghadapi tekanan kuat dari kelompok ekstrem
kanan. Tapi pembelaan terhadap kelompok moderat oleh para
pendukungnya cenderung minim; berbeda dengan pembelaan
pendukung kelompok ekstrem kanan yang cenderung terorganisir dan
sistematis.
Apakah ini karena mayoritas masyarakat di Indonesia bagian dari
kelompok ekstrem kanan tersebut? Tidak, sama sekali tidak. Memang,
tak ada data pendukung yang kuat untuk menjustifikasi pernyataan ini.
Namun, jika mayoritas masyarakat Indonesia adalah ekstrem kanan,
mungkin hari ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah
tidak ada lagi. Kenyataannya, kita masih bersama, kita masih NKRI.
Lalu, ke mana suara mayoritas ini?
Untuk menjelaskan fenomena ini, ada baiknya kita melihat teori spiral of
silence yang dicetuskan Elizabeth Noelle-Neumann. Ia menjelaskan
bagaimana dalam kelompok, orang yang memiliki suara berbeda
dengan kebanyakan orang di kelompok tersebut cenderung untuk diam
dan memilih untuk setuju dibanding melawan atau menyatakan yang
sebenarnya mereka pikirkan.
7. Curhat Tsamara
Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
Ada tiga penjelasan yang dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neumann.
Pertama, mayoritas orang yang memiliki pandangan sama akan
melakukan isolasi terhadap individu atau sebagian orang yang
berpandangan berbeda.
Kedua, ketakutan akan isolasi membuat individu atau sebagian orang
menimbang-nimbang opini yang beredar di sekitarnya. Ketiga, opini
publik mempengaruhi perilaku individu atau sebagian orang dalam
menyatakan pandangannya di depan publik.
Jika dilihat di Indonesia sendiri, bukankah ketiga penjelasan
Noelle-Neumann itu memang dirasakan masyarakat kita hari ini? Tak
usah jauh-jauh. Kita bisa melihatnya dalam konteks saling bertetangga
saja. Jika ada 10 orang yang tinggal dalam lingkungan 5 orang setiap
harinya dengan lantang menyatakan ideologi khilafah tak bertentangan
dengan Pancasila, kemudian sisanya menganggap bahwa itu jelas
bertentangan dengan Pancasila, maka apa yang akan dilakukan 5 orang
lainnya yang tak begitu lantang itu?
Mungkin ada yang memilih berani bersuara, tapi banyak pula yang diam.
Alasannya sederhana, mereka takut dimusuhi oleh
tetangga-tetangganya tersebut yang beropini bahwa khilafah tak
bertentangan dengan Pancasila. Bahkan agar tak dicurigai berbeda,
mereka cenderung menyetujui hal tersebut. Belum lagi cap yang
ditujukan bagi mereka yang tak setuju begitu membebani: anti-Islam.
Bayangkan jika di setiap kelompok-kelompok terkecil dalam lingkungan
masyarakat, orang-orang yang waras tak mau menyatakan pendapat
dan sikap mereka. Akhirnya banyak kumpulan orang-orang waras yang
memilih diam semata-mata karena takut dan tak mau ribut hanya soal
mempertahankan pendapat dan sikap mereka. Inilah yang disebut
dengan mayoritas diam (silent majority).
Selalu ada tokoh sentral yang mampu mempengaruhi banyak orang
tersebut hingga akhirnya mendukung pendapat tertentu. Misalnya,
dalam hal ini setuju bahwa khilafah dan Pancasila bisa berjalan
beriringan. Ini pun terjadi di zaman NAZI, sebagaimana diceritakan
dalam buku The Art of Thinking Clearly, Joseph Goebbels seorang
menteri propaganda Jerman pernah bertanya kepada kerumunan massa
pada tahun 1943.
“Anda ingin perang total? Jika perlu, apakah Anda ingin perang yang
lebih total dan radikal dari apa yang bahkan bisa kita bayangkan
hari ini?” teriak Goebbels. Kerumunan massa pun langsung bersorak
setuju. Tapi, menurut Rolf Dobelli dalam buku itu pula,
fenomena ini menarik karena terkadang meskipun mereka bersorak
setuju dalam kerumunan massa seperti itu, bisa saja jika kita
menanyakan mereka satu per satu, pendapat mereka bisa berbeda dan
bahkan tidak setuju.
Itulah bahayanya diam. Akibatnya mereka yang beraliran keras
mengklaim menjadi mayoritas karena kelantangan suara mereka dan
diamnya mayoritas yang sebenarnya toleran. Di Indonesia, silent
majority yang toleran, moderat, dan mencintai NKRI ini terkesan takut
untuk melawan suara sebagian orang yang lantang.
Hal ini tak bisa sepenuhnya disalahkan. Silent majority menganggap
selama ini pemerintah abai dalam menangani kelompok ekstrem kanan
ini. Mereka pun bermain aman. Apa pula jaminannya jika mereka
bersuara lantang membela pemerintah? Jika intimidasi dan tekanan
menghampiri mereka, apakah pemerintah akan berada di garda
terdepan menjaga mereka? Atau justru hanya diam seribu bahasa?
Bangkit “Menggebuk”
Mungkin itu pikiran-pikiran mereka yang selama ini diam karena rasa
takut. Tapi di sisi lain, mereka pasti sudah muak untuk diam. Tak kuasa
melihat negerinya menjadi tempat tebar kebencian kelompok ekstrem
kanan tersebut.
Namun, harapan kembali muncul setelah Presiden Joko Widodo
didampingi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin,
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faisal, dan sejumlah tokoh lintas
agama lainnya menyatakan bahwa akan memerintahkan Kapolri dan
Panglima TNI untuk menindak tegas pihak-pihak yang mengancam
keberlangsungan NKRI dan Pancasila.
Pernyataan ini telah ditunggu-tunggu banyak orang. Namun,
sebenarnya pernyataan Presiden yang lebih membangkitkan semangat
adalah soal gebuk. Ini pernyataan tegas yang sesungguhnya jarang
keluar dari sosok santun seperti Jokowi. Tapi mungkin sama seperti
banyak dari silent majority yang geram, kata keras seperti gebuk ini pun
keluar dari mulutnya.
Menurut Arif Zulkifli, Pemimpin Redaksi Tempo yang hadir dalam
pertemuan dengan Presiden ketika itu, kata gebuk ditujukan Jokowi
kepada kelompok ekstrem kanan. “Statement ‘gebuk’ @Jokowi tidak
cuma ditujukan pada PKI tapi juga kelompok Islam radikal, ” cuit Arif
Zulkifli melalui account Twitternya @arifz_tempo (18/05/2017).
Pernyataan “gebuk” Presiden Jokowi semacam wake up call. No more
silent, it’s time to speak up!
Tentu gebuk yang dimaksud oleh Presiden Jokowi bukan kekerasan.
Gebuk yang dimaksud adalah penegakan hukum terhadap mereka yang
mencoba bermain-main dengan bentuk negara kesatuan, terhadap
Pancasila sebagai ideologi negara, terhadap mereka yang menebar
kebencian kepada sesama anak bangsa. Itu yang harus digebuk dengan
hukum yang tegas dan tak pandang bulu!
Gebuk yang dimaksud Presiden Jokowi juga dapat diartikan dengan
merebut kembali klaim-klaim mayoritas yang selama ini mereka
gunakan. Salah satu klaim yang sedang gencar digaungkan bahwa
mayoritas umat Islam melihat Presiden Jokowi dan pemerintahannya
anti-Islam dan anti-ulama karena dirinya pro terhadap Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Bisakah ini diterima oleh akal sehat? Tidak! Jika betul Presiden Jokowi
anti-Islam dan anti-ulama, mengapa Ketua MUI KH Ma’ruf Amin hadir
dalam konferensi pers bersama Presiden dan menyatakan sikap
mendukung langkah beliau itu? Mana mungkin KH Ma’ruf Amin sebagai
pimpinan majelis ulama mau mendukung seorang Presiden yang
anti-Islam dan ulama, apalagi seorang Presiden yang pro-PKI, mana
mungkin?
Ah, tak heran jika Presiden geram! Seorang Jawa Muslim sejak kecil yang
moderat dan nasionalis dituduh PKI hanya karena ia tak setuju dengan
khilafah, hanya karena ia ingin mempertahankan kesatuan negerinya,
hanya karena ia menganggap keberagaman adalah anugerah, hanya
karena ia menganggap Pancasila sudah final?
Cukup sudah. Tak ada lagi diam. Menjelang Hari Kebangkitan Nasional,
kita katakan ini waktunya bangkit menggebuk!
Bersuara lantang dan mendukung penegakan hukum.
(Tulisan ini juga pernah dimuat Geotimes)
8. “Pilihan PSI menjadi partai anak muda dan menyaratkan pengurus PSI
tidak pernah terlibat partai politik sebelumnya menjadi diferensiasi
dengan partai lainnya. Setiap hari mesti bergaul dengan pemilih pemula
yang akan menjadi basis utama PSI, sehingga PSI tahu persis apa
aspirasi mereka.”
Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
“Indonesia tak tersusun dari batas peta, tapi gerak dan peran besar
kaum muda. Namun, bagaimana akan bersikap anti-korupsi, jika sejak
muda hanya sibuk dengan urusan sendiri?”
Najwa Shihab
News Anchor Metro TV
“Kebaikan itu menular, kindness is viral. Karena itu, penting menebar
“virus” indahnya berbagi di negeri ini.”
Vikra Ijas
Kitabisa.com
“Bagi saya, sikap kepahlawanan itu adalah berani menempuh jalan sulit
dan menunda kesenangan demi kemenangan orang banyak.”
Irfan Amalee
Peace Generation Indonesia
“Solidaritas itu adalah keberanian dan kepedulian untuk ikut
memperbaiki negeri. Bergabung dengan partai politik adalah salah satu
langkah nyata peduli nasib bangsa. Selamat kepada anak muda yang
berani bergabung dengan partai politik seperti PSI.”
Djayadi Hanan
Direktur / Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)
9. Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
BERSELANCAR BERSAMA JOKOWI
Oleh:
Anwar Saragih
Penulis, Peneliti
dan Peminum Kopi
Para petarung politik bukan hanya untuk mereka yang bernyali, tapi
juga untuk orang-orang yang siap kecewa dan kehilangan reputasi.
Masuk ke gelanggang politik lalu siap sedia dengan segala
kemungkinan: menang atau kalah, eksis atau teralienasi, berkerumun
atau ditinggal sendiri.
Sebab, diam adalah sikap terburuk, apalagi pasrah begitu saja menerima
keadaan di tengah berbagai korupsi dan tindakan intoleransi yang
semakin merajalela tentu bukan pilihan. Ini bukan soal untung rugi. Ini
tentang kewajiban menjalankan garis ideologi. Mengutip Bung Karno
yang kerap mengucapkan kalimat, yang diambil kitab Bhagawad Gita;
“Karma Nevad Ni Adikaraste Ma Phaleshu Kada Chana”, Kerjakanlah
kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan untung dan rugi.
3 tahun lalu, ketika Jokowi mengumumkan akan bertarung di pilpres 9
juli 2014. Revolusi Mental adalah bahasa pertama yang
dikumandangkannya dalam perubahan paradigma, budaya politik, dan
pendekatan nation building (pembangunan bangsa) yang lebih
manusiawi sesuai dengan ke-Indonesia-an kita.
Bukan tanpa alasan, pun hanya sebuah retorika untuk perebutan
kekuasaan semata. Bahasa itu, Ia jelaskan secara empirik dalam
perjalanan panjang politiknya yang bukan berasal dari kalangan kiai,
militer atau mantan anak presiden yang kerap kita baca dalam setiap
curriculum vitae seorang capres di setiap pemilu Indonesia pasca
reformasi 1998.
Jokowi berasal dari orang biasa, jujur, bersih dan tulus menapaki setiap
anak tangga politik yang dilaluinya. Mulai dari; walikota Surakarta,
Opini
10. Opini
Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
gubernur Jakarta hingga menjadi calon presiden Republik Indonesia.
Sejak itu, dirinya seakan menjadi role model harapan anak-anak muda
dalam berpolitik, dengan keyakinan bahwa setiap warga negara
Indonesia memiliki hak untuk dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi
presiden sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945.
Pun ketika Jokowi terpilih dan dilantik menjadi presiden pada 20
Oktober 2014 lalu, hingga hari ini. Kepercayaan dan amanah itu masih
terus dijaga dengan konsisten. Bersikap keras terhadap koruptor, tegas
dalam merawat kebinekaan dan kokoh melawan segala tindakan
intoleran yang mengancam keutuhan bangsa. Meski terkadang sikapnya
itu bertentangan dengan partai-partai pendukungnya di pemerintahan.
Sebab harus diakui, meski legalitas Presiden Jokowi sangat kuat
dihadapan seluruh rakyat Indonesia. Di partai politik, posisinya sangat
lemah, Ia tidak memiliki jabatan strategis untuk mengeluarkan sikap dan
kebijakan politik.
Lebih lanjut, dalam sejarah politik Indonesia pasca pemilu 1998. Hanya
Jokowi presiden yang bukan merupakan ketua umum partai maupun
punya posisi strategis di partai politik. Layaknya ; Presiden Abdulrahman
Wahid (1999-2001) yang merupakan ketua umum PKB, Presiden
Megawati Soekarnoputri (2001-2004) yang merupakan ketua umum
PDIP dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) yang juga
merupakan ketua dewan pembina/ketua umum Partai Demokrat.
Melawan korupsi
Komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi tentu tidak
bisa diragukan lagi. Hal ini ditunjukan melalui berbagai kebijakan yang
dikeluarkan. Misalnya; Di awal-awal pembentukan kabinet, pada 27
oktober 2014 lalu. Satu minggu setelah dilantik menjadi presiden,
Jokowi langsung bergerak cepat menyusun kabinet.
Poin utama dan terpenting menjadi bagi orang yang ingin menjabat
menteri di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla. Orang tersebut harus bebas
dari segala korupsi. Hal ini dikonfirmasi dan dikonsultasikan Jokowi
langsung ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga KPK
mengeluarkan istilah rapor hijau, kuning dan merah untuk para calon
menteri. Rapor hijau kategori bebas korupsi, sementara rapor kuning
dan merah tidak layak menjabat pembantu presiden karena terindikasi
korupsi.
Pun ketika Jokowi batal melantik Jendral Budi Gunawan menjadi Kapolri
pada 13 februari 2015 yang lalu. Alasan utamanya adalah informasi dari
KPK tentang rekening gendut Budi Gunawan. Saat itu, beberapa
petinggi PDIP marah besar kepada Jokowi. Bahkan dibanyak
pemberitaan media disebut batalnya pelantikan Budi Gunawan
membuat hubungan Jokowi dan ketua umum PDIP, Megawati
Soekarnoputri memanas. Jokowi teguh pada pendiriannya soal
pemberantasan korupsi. Hingga akhirnya drama itu berakhir pada
dilantiknya Jendral Badrodin Haiti menjadi Kapolri baru.
Melawan Intoleransi
Beberapa bulan yang lalu, pemberitaan di Indonesia bahkan dunia
dihebohkan oleh pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lebih
lanjut, pembubaran HTI dilakukan pemerintah karena ideologi khilafah
yang diperjuangkan HTI dianggap mengancam kedaulatan dan
eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang orientasinya
meniadakan negara-bangsa. Pada bagian ini, pegangan utama Jokowi
adalah Pancasila juga kebinekaan Indonesia, yang terdiri dari ragam;
agama, budaya, adat-istiadat dan sumber daya yang harus tetap dijaga
dan dirawat dalam bingkai NKRI.
Tidak hanya itu, berbagai permasalahan teorisme, diskriminasi etnis dan
tindakan persekusi terhadap minoritas di lawan oleh Jokowi melalui
kebijakan-kebijakannya. Jokowi tidak memberi toleransi kepada
tindakan-tindakan intoleran.
Kesetaraan Gender
Politik itu milik semua orang, tua atau muda, minoritas atau mayoritas
atau laki-laki atau perempuan. Artinya semua orang punya akses yang
sama terhadap politik dalam menyentuh kekuasaan dan sumber daya.
Jokowi menyadari hal ini, sedari awal Ia akan memimpin republik ini. Hal
ini dibuktikan dengan jumlah menteri perempuan di Kabinet Kerja yang
jumlahnya 9 orang yakni; Puan Maharani, Sri Mulyani, Khofifah Indar
Parawansa, Susi Pudjiastuti, Yohana Susana Yembise, Nila F Moeloek,
Rini Soemarno, Retno Marsudi, serta Siti Nurbaya.
Lebih lanjut, pada 21 Mei 2015 yang lalu, bertepatan dengan peringatan
17 tahun reformasi, presiden Jokowi mengumumkan panitia seleksi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang keseluruhannya adalah
perempuan, yang lebih lanjut dikenal dengan 9 (sembilan) srikandi, yaitu
; Destri Damayanti, Enny Nurbaningsih, Harkristuti Harkrisnowo, Betty
Alisjahbana, Yenti Garnasih, Supra Wimbarti, Natalia Subagyo, Diani
Sadiawati, dan Meuthia Ganie Rochman.
Presiden Millenial
Ini era millenial, era digitalisasi, pada zaman ini semua manusia sudah
sangat lekat dengan internet dan ragam media sosial. Pun soal aktivitas,
semua aktivitas tidak hanya terjadi di dunia nyata tapi juga dunia maya.
Sebagai presiden yang hidup di era millenial, Jokowi memahami ini
sebagai sebuah perubahan penting dalam menghadapi arus globalisasi.
Tak ketinggalan dengan rakyatnya yang gemar menggunakan internet,
Jokowi-pun tak “jaim” menggunakan media sosial seperti; twitter,
facebook, instagram hingga vlog di youtube. Tak jarang dalam
menyerap dan merespon aspirasi masyrarakat media sosial kerap
digunakan presiden Jokowi. Dari pembicaraan yang sangat serius
hingga menjawab pertanyaan tidak serius dari para millenial, seperti
pembicaraan soal musik dan kartun avatar.
Berselancar dengan Jokowi
Sebagai partai anak muda, partai millenial dan partai yang ramah
terhadap perempuan, sudah seharusnya Partai Solidaritas Indonesia
(PSI) mengambil sikap mendukung Jokowi. Sebab, sebagai politisi baru,
kita mempercayai bahwa politik juga harus dimiliki oleh orang-orang
muda. Politik dengan penuh kegembiraan, layaknya kita gembira
menggunakan media sosial.
Lebih lagi, PSI memiliki trilogi perjuangan; “Menebar Kebajikan, Merawat
Keragaman dan Mengukuhkan Solidaritas” yang secara ideologi
konsisten melawan korupsi dan intoleransi. Kita sudah melihat
bagaimana komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi pun
dengan sikap keras Jokowi bertarung melawan perilaku persekusi,
diskriminasi dan tindakan intoleransi.
Mendukung Jokowi bukan berarti mengekor pada pemerintahan, kita
tidak bertarung untuk itu. Kita hanya melihat, saat ini, secara ideologi
dan kebijakan politik hanya Jokowi yang mampu memenuhi kriteria PSI.
Sosok yang tidak terikat dosa politik masa lalu, sosok yang jauh dari
korupsi, presiden millenial, dan presiden yang berdiri diatas semua etnis
dan golongan.
Untuk itu, PSI tidak boleh membiarkan Jokowi berjuang melawan
diskriminasi, melawan korupsi dan melawan intoleransi seorang diri. PSI
harus menemani Jokowi berjalan mengarungi gelombang, melawan
ombak demokrasi terkadang harus mempertaruhkan jabatannya.
Menemaninya menjaga integitas. Melawan Arus, Menantang Bahaya.
Harapan kita, tentu akan lahir politisi dan negarawan seperti Jokowi di
masa depan. PSI tentu terbuka juga untuk mereka yang berjuang
merawat kebinekaan dan penuh kebajikan. Seperti tagline yang
dikampanyekan PSI akhir-akhir ini, “Terbuka, Progresif. Itu Kita”. Karena
PSI akan selalu bersama orang-orang baik di negeri ini.
11. Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
JOKOWI DI MATA GENERASI
MUDA PEDULI LINGKUNGAN
Oleh:
Mikhail Gorbachev Dom
Dewan Kota Cerdas Bekasi Komisi
Energi & Lingkungan Hidup,
Koordinator Adaptasi Perubahan Iklim
APIKI Network Jawa Bagian Barat
Presiden Joko Widodo atau biasa disapa Pak Jokowi adalah harapan
para pemerhati lingkungan. Bagaimana tidak, Pak Jokowi adalah lulusan
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang paling tidak
paham mengenai ekologi, sehingga para pemerhati lingkungan
menantikan kebijakan-kebijakan pro lingkungan dari Pak Jokowi.
Pak Jokowi punya kharisma tersendiri di mata generasi muda, karena
beliau dinilai berjiwa muda dengan figurnya yang menyukai musik rock.
Di sisi lain generasi muda adalah yang paling melek lingkungan.
Generasi muda melek lingkungan itu harus, karena generasi muda
adalah pewaris bumi, kita tentunya tidak ingin diwarisi bumi yang kotor
penuh sampah dengan sumber daya alam yang habis terkuras, karena
itu generasi muda adalah yang paling keras jika berbicara masalah
lingkungan.
Segera setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 Pak Jokowi lalu
memgumumkan kabinet kerja pada 26 Oktober 2014, pada awalnya para
pemerhati lingkungan tidak tahu harus sedih ataupun senang dengan
disatukannya 2 kementerian besar Lingkungan Hidup dan Kehutanan
serta Agraria dan Tata Ruang. Kementerian Lingkungan Hidup yang
menyatu tersebut dianggap akan melemah, meski begitu dapat
diharapkan bahwa permasalahan lingkungan kebakaran hutan yang
mencoreng nama Indonesia di mata dunia dapat teratasi.
Namun, para pemerhati lingkungan tentunya menyambut gembira
Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang diharapkan akan
menyelesaikan permasalahan pelanggaran rencana tata ruang yang
dianggap sebagai permasalahan lingkungan paling serius, dengan
menghilangnya sempadan sungai, danau dan pantai ataupun masalah
konversi hutan menjadi wilayah terbangun.
Jadi pada masa awal pemerintahan Pak Jokowi para pemerhati
lingkungan masih harap- harap cemas terhadap kondisi lingkungan
berbagai kritik dan saran pun berseliweran menghiasi sosial media.
Namun puncak dari hal ini adalah kebakaran hutan yang terjadi pada
Juni – Oktober yang menghanguskan 2,6 juta hektar lahan (setara
dengan 450% luas pulau Bali) dan menimbulkan kerugian 221 Triliun
Rupiah. Hal ini menimbulkan kekecewaan luar biasa para pemerhati
lingkungan, kementerian yang dirombak digabung dan dipecah
memang membuat perkerjaan banyak terhambat hal teknis dan hasilnya
lingkungan kita harus tercederai sebesar itu.
Meski begitu Pak Jokowi membayar ini semua dengan hadir pada
Conference of Parties to the United Nation Convention on Climate
Change 21th (COP 21) di Paris pada tanggal 30 November 2015 dan
menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi sampai
29% pada tahun 2030 yang menjadikan Indonesia salah satu negara
berkembang dengan komitmen yang tinggi.
Komitmen itu lalu disahkan dalam kerangka legal dengan
Undang-undang nomor 16 tahun 2016. Sampai di sini para pemerhati
lingkungan boleh bersenang hati bahwa perbaikan lingkungan akan
segera terjadi di Indonesia. Perlahan tapi pasti Pak Jokowi berkerja,
tanpa memikirkan kritik dan saran dari berbagai pihak, Pak Jokowi
hanya berkerja dan pekerjaannya mulai menunjukkan hasil nyata.
Masalah kebakaran hutan juga dibereskan Pak Jokowi pada tahun 2016
dengan prestasinya menurunkan luas areal yang terbakar sebesar
82,83%. Sampai di sini saya pikir saya tidak bisa tidak memberi pujian
untuk kinerja Pak Jokowi, Pak Jokowi rupanya berkerja dengan sangat
rapih berbekal kejadian di tahun sebelumnya.
Untuk tahun 2017 sendiri pada 23 januari 2017 Pak Jokowi memberikan
pengarahan pada rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan. Saya mulai paham di sini bagaimana cara berkerja Pak
Jokowi yang tekun dan teliti sampai ke detailnya tanpa memperdulikan
kabar berita yang berseliweran tentang dia.
Gebrakan lain yang dilakukan Pak Jokowi adalah melakukan
pembangunan yang menyeluruh bukan hanya infrastruktur yang beliau
bangun tapi juga superstructure dalam artian jiwa dan karakter manusia
Indonesia. Hal ini pertama tercermin dalam Indonesia yang memiliki
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tapi
hal ini dikukuhkan dengan ditandatanganinya Instruksi Presiden nomor
12 tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental pada 6
Desember 2016.
Para pemerhati lingkungan boleh bersuka cita karena salah satu dari 5
gerakan amanat Inpres ini adalah Gerakan Indonesia Bersih yang di
leading oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko
Maritim).
Penunjukan Kemenko Maritim sebagai panglima Gerakan Indonesia
Bersih sangat tepat karena sampah yang paling mengkhawatirkan
adalah sampah di laut dunia. Laut dunia sudah dicemari oleh
microplastic yang merupakan hasil dari plastik yang terurai, pada tingkat
mikro plastik ini masuk pada rantai makanan. Plastik mikro ini termakan
oleh ikan kecil, lalu ikan kecil dimakan ikan besar, terus saja masuk ke
rantai makanan sampai akhirnya termakan manusia yang suka
menyantap hidangan laut.
Lebih menakutkan lagi saat ini plastik mikro ini terurai lagi menjadi
nanoplastic. Pada tingkat nano, plastik dapat masuk ke dalam
(menembus membran) sel dan meniru hormon, hasilnya sel tersebut
bisa berubah menjadi sel kangker. Semua masalah ini berawal hanya
karena kita suka mengkonsumsi plastik sekali pakai (air minum dalam
kemasan, snack, dll) dan membuang sampahnya secara sembarangan di
sungai sungai yang membawanya ke laut.
Jadi bagi saya Pak Jokowi lewat pekerjaannya menyelamatkan
lingkungan dengan caranya sendiri, dan pencapaian Pak Jokowi di
bidang lingkungan hidup lebih dari sekedar aksi pungut sampah. Beliau
mengurusi hulu sampai hilirnya, dari komitmen pemerintah,
infrastruktur, sampai pada perilaku masyarakat pun dipikirkannya.
Saat saya sebagai aktifis lingkungan rapat di Kemenko Maritim bersama
komunitas lainnya, kami tidak melihat adanya air minum dalam kemasan
(baik yang botol ataupun gelas) semuanya menggunakan gelas beling,
ini saja menurut saya adalah kemajuan besar dalam upaya
penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Salam Solidaritas
Lingkungan Hidup!
Opini
12. Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
PSI DUKUNG
JOKOWI
MENGUATKAN
SOLIDARITAS
BANGSA
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung setiap langkah
Presiden Joko Widodo untuk menguatkan solidaritas rakyat Indonesia,
keutuhan bangsa, dan menindak tegas segala bentuk tindakan yang
mengganggu persatuan dan menyulut perpecahan.
Solidaritas adalah kekuatan utama PSI. PSI menghimbau mari
sama-sama menjaga persatuan, menebar kebajikan, dan menguatkan
kembali solidaritas kita sebagai putra dan putri bangsa untuk kemajuan
Indonesia, bukan perpecahan bangsa.
Pada Mei lalu, Presiden Jokowi menyampaikan pidato mengenai gejolak
perpecahan di tengah masyarakat, setelah menerima sejumlah tokoh
lintas agama di Istana Merdeka (16/5). Pidato Presiden Jokowi sangat
menyatu dengan kekuatan utama PSI, yang intinya adalah jangan
menganggu NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam pidatonya, Jokowi menegaskan bahwa kebebasan berpendapat,
berserikat dan berkumpul dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan
tersebut harus sejalan dengan koridor hukum. Harus sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945, dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
PSI juga menyatakan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo
dalam pemilihan presiden 2019 mendatang. PSI siap mendukung
Jokowi di 2019 karena PSI sedikit banyak terinspirasi oleh sosok Jokowi.
Selama ini pemerintahan Jokowi-JK sudah sesuai dengan yang
diharapkan. Jokowi tidak berjarak dengan rakyat. Jokowi mau
mendengarkan masukan dari rakyat.
Sikap Kita
13. Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
HAK ANGKET KPK, BIKIN BURUK
CITRA PARPOL INDONESIA
Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni menilai,
Hak Angket KPK bertujuan melemahkan KPK dan bisa dipandang
sebagai serangan balik koruptor untuk melemahkan KPK.
Menurut Sekjen PSI, korupsi merupakan "extra ordinary crime" yang
pemberantasannya juga harus ekstra melalui KPK. Semestinya parpol
menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia berharap, parpol-parpol yang mengusulkan hak angket KPK agar
mencabut hak angket demi menjaga citra positif dalam memberantas
korupsi. Dengan demikian, parpol bisa kembali dipercaya rakyat.
Diketahui, DPR tetap membentuk Pansus Angket KPK meski mendapat
kritikan berbagai pihak.
PSI DAN POETRY FOR INTEGRITY
Hari Jumat Keramat, 14 Juli 2017 di depan Gedung KPK seluruh jajaran
DPP PSI hadir dan mendukung acara Poetry for Integrity. Ketua DPP PSI
Tsamara Amany turut pula memberi orasi.
Menurut Sammy, sapaan akrab Tsamara Amany, PSI memberikan
dukungan pada KPK, karena KPK adalah garda terdepan memberantas
koruptor. PSI mendukung keberadaan KPK dan tak ingin ada upaya
pelemahan KPK. PSI berdiri di belakang KPK karena perjuangan
melawan korupsi itu belum selesai.
Dalam acara ini, ada dukungan 43 organisasi, seperti ICW, Kontras,
PSHK, BEM UI, Aliansi Masyarakat Sipil, Transparency Internasional,
Amnesty Indonesia, Sosialisasi Mahasiswa Antikorupsi, dan lain-lain.
MENJAGA AL-AQSA
Aksi pembatasan ibadah serta tindakan kekerasaan di Masjid Al-Aqsa
merupakan pelanggaran HAM berat.
Kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah adalah hak siapapun,
di mana pun dengan identitas apa pun, begitulah pandangan Danik Eka
Rahmaningtyas, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP PSI ini dalam
menyikapi tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan Israel
terhadap warga Palestina di Komplek Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, yang
menewaskan 3 warga Palestina dan lebih dari 100 orang luka-luka.
Menuru Danik, sejatinya penjajahan adalah keserakahan, ketamakan
yang membabi-buta hingga melupakan kemanusiaan sebagai manusia.
Kita sebagai mahluk yang beradab seharusnya mampu memposisikan
seandainya kita adalah pihak yang menjadi korban. Jika menginginkan
hak-hak dan keberadaan kita diakui, maka jangan pernah membiarkan
penjajah, apalagi menjajah.
Info Solidaritas
14. Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
Solidaritas Kita
REVOLUSI MENTAL FAJAR
ajar Riza Ul Haq sosok yang tak asing bagi kalangan intelektual
muda dan agamawan di Indonesia. Saat menjabat sebagai Direktur
Eksekutif MAARIF Institute for Culture and Humanity (Desember
2009-Pebruari 2017), Fajar seringkali mengisi ruang media di tanah air.
Dan ia sering terlihat bersama tokoh bangsa, Buya Syafii Maarif.
Fajar meraih pendidikan master pada Centre for Religious and
Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gajah Mada (2006), dan
pendidikan S1 di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah
Surakarta (2002).
Fajar juga memiliki latar belakang pengalaman yang cukup kuat di
kancah gerakan kemahasiswaan dan kemasyarakatan; Ketua Umum
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Sukoharjo, Ketua
Dewan Pimpinan Daerah IMM Jawa Tengah, Ketua Dewan Pimpinan
Pusat IMM, Sekretaris Bidang Hikmah PP Pemuda Muhammadiyah,
dan sekarang sebagai Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP
Muhammadiyah (2015-2020).
Fajar yang acapkali menyuarakan toleransi di Indonesia sudah terpilih
dan berpartisipasi aktif dalam pelbagai forum Internasional diantaranya
pembicara Global Counter Terrorism Forum's Practisioners Workshop di
Washington (2013), United Nations Alliance of Civilizations di Wina
(2013), International Visitor Leadership Program of US State Department
(2012), ASEAN-Australia Emerging Leaders Program (2012), Global
Counter Terrorism Forum-Working Group di Manila (2012), Chevening
Fellowship di Centre for Studies in Security and Diplomacy, University
Birmingham (2009), The 17 New Generation Seminar, the East West
Centre, Hawai (2007), Facilitation of Dialogue Process and Mediation
Efforts, Folke Bernadotte Academy, swedia (2007), dan Program
Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange (2005).
Alumni Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shobron, Solo, ini telah
melahirkan beberapa karya publikasi, diantaranya : Membangun
Keragaman, Meneguhkan Pemihakan: Visi Baru Politik Muhammadiyah
(2004) dan Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa:
Muhammadiyah dan Seni Lokal (dkk, 2003).
Ia juga menyunting dan mengedit beberapa buku diantaranya
Pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM: Buku
Pegangan Guru (2008), Pendidikan Al Islam Berwawasan HAM (2008),
Pendidikan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008) serta Islam,
HAM, dan Keindonesiaan (2007). Juga, tulisan-tulisan artikelnya dapat
dijumpai di pelbagai media cetak dan on line seperti Kompas, Republika,
Sindo, dan detikcom.com.
Revolusi mental menurut Fajar, ada dua hal yang harus dilakukan. Satu,
reformasi birokrasi adalah hal yang sangat fundamental dalam
pemerintahan di Indonesia. Kedua, adalah pendidikan. Pendidikan
sebagai strategi revolusi kebudayaan. Karena satu-satunya hal yang
dapat mengubah yakni pendidikan, atau lebih spesifik adalah
pendidikan karakter. Itu harus dimulai sejak dini, sejak masih
kanak-kanak.
“Karena mengubah satu pola pikir itu sulit, ibaratnya bambu kalau sudah
tua itu sulit untuk dibengkokkan. Jika bisa pun akan patah. Namun, kalau
yang masih muda bisa dibentuk,” kata Fajar dalam sebuah jurnal.
Sekarang, selain menjadi Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP
Muhammadiyah, Fajar diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Semuanya untuk mewujudkan
revolusi mental, begitu kan Fajar?
F
15. Kolom
Koran Solidaritas, Edisi XII 2017
JOKOWI PILIH KASIH
Oleh:
Denny Siregar
Penulis dan Bloger
Ada pertanyaan menarik yang kudapat dari seorang teman.
"Di Indonesia ini agama ada Kristen, Budha, Hindu, Katolik dan Islam.
Tetapi Pak Jokowi hanya memperhatikan Islam saja, agama lain seperti
anak tiri saja baginya.."
Saya tersenyum, sambil dalam berkata dalam hati, "Masak sih ?"
Buat saya, Pak Jokowi sebenarnya tidak sedang berbicara agama dalam
semua tindakannya. Hanya, memang secara kebetulan dia beragama
Islam..
Jika ia terlihat banyak mengunjungi pesantren-pesantren, itu adalah
bagian dari strateginya untuk menenangkan keadaan, bukan karena ia
lebih mengutamakan Islam. Seperti kita tahu, agama Islam di Indonesia
ini sedang dalam situasi ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu demi
ambisi mereka.
Maka bersafarilah ia dengan mendekati Islam moderat seperti Nahdlatul
Ulama. Gerakan ini penting untuk meminimalisir tudingan bahwa ia PKI
seperti fitnah yang terjadi selama ini. Dan ini menjadi salah satu prioritas
tinggi dalam kebijakannya.
Kita tidak bisa mengesampingkan bahwa agama Islam adalah agama
mayoritas di negeri ini. Ketika mayoritas ini rusak, maka dampaknya bisa
kemana-mana dan mengerikan. Semuanya kena tidak perduli apa
agama, suku dan ras kita.
Karena itu sangat perlu seorang Jokowi turun langsung untuk meredam
situasi yang sempat panas kemarin-kemarin. Jokowi juga pernah
mengundang para pemuka lintas agama untuk duduk mencari solusi
terhadap situasi yang terjadi.
Selain itu, ia sering menghadiri undangan-undangan dari berbagai
daerah yang mayoritas penduduknya non muslim di mana ia
dihadiahkan marga kehormatan, seperti kunjungannya kepada
masyarakat batak.
Bahkan Papua, yang mayoritas non muslim pun mendapat prioritas
tertingginya. Dengan pembangunan infrastruktur yang jauh lebih besar
daripada daerah lainnya, menunjukkan Jokowi sama sekali tidak
membahas agama dalam kebijakannya.
Jika ia dianggap memprioritaskan Islam misalnya, kenapa Jokowi tidak
membangun besar-besaran di Aceh saja, misalnya? Atau di Sumatera
barat? Kenapa kok harus Papua?
Jadi sebenarnya masalahnya bukan di Jokowi, tapi yang bertanyalah
yang harus dipertanyakan. Ngapain kok dia ngomongin agama
bukannya lebih melihat kinerja Jokowi?
Jokowi bukan tipikal orang suka bertanya, "Agamamu oppo?" Karena
dia tahu, kalau Oppo itu merk handphone, bukan nama agama.
Ngelantur kan jadinya? Kurang seruput kayaknya.
Sumber: dennysiregar.com, diterbitkan Sabtu, 22 Juli 2017